Anda di halaman 1dari 9

Nama kelompok :

1)
2)
3)
4)

Mega Dewi sinta


Ardalinda januariah ( 06051181419075 )
Serly (06051181419079 )
Suci sulista

Hadits Shahih

a) Pengertian Hadits Shahih


Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha yashihhu suhhan wa sihhatan
artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :

. . .
Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan
yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan hadits yang bersambung sanadnya,
dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak berilat.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafii memberikan
penjelasan
tentang
riwayat
yang
dapat
dijadikan
hujah,
yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya,
dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan
hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits
yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari
tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak
sampai kepada Nabi.
b) Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya.
Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai
kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi,bersambung
dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari
rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang
dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil

Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong
terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan, dan terjaganya sifat Muruah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah
laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang
sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya
terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus
mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu
menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang
lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya
atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia
sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang
bersangkutan.
5) Tidak Berillat
Hadits berillat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi
atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena
jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits
tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang
dimaksud hadits tidak berillat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau
keragu-raguan. Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang paling banyak terjadi adalah
pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

.

( ) .

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan
kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin mathami dari ayahnya
ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat atthur (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut
menurut para ulama aj-jarhu wa tadil sebagai berikut :

a) Abdullah bin yusuf

= tsiqat muttaqin

b) Malik bin Annas

= imam hafidz

c) Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz


d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e) Jubair bin muthimi

= Shahabat.

3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
c) Klasifikasi Hadits Shahih
1) Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan
sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada
syadz dan Illat yang tercela.
2) Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan lidazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut
meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih lighairihi.



Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi. Hadits ini semula merupakan
hadits hasan, karena adanya mutabi dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi
shahih li-Ghairihi.
d) Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau
dalil syara sesuai ijma para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan
ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu,
tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.Sebagian besar ulama menetapkan
dengan dalil-dalil qati, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad
tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan aqidah.
e) Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada kedhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi mawla (mawla = budak yang telah
dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash

tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari
Anas.
Ketiga. adaf al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang
secara berurutan sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.
7) Shahih Al-Abani.
2. Hadits Hasan
a) Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat al-husna artinya indah,
cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar
Al-Atsqalani yaitu:

. . .
Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang
dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya
dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun
sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah
sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:


:
..
: :

Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu jafar bin
sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asyari ia berkata: aku
mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya
pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu
Fadhailil

jihadi).
b) Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak
sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (Illat)
yang merusak hadits.
2) Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah
orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat
dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin
memeberikan definisi tentang haditst hasan li-Ghairihi sebagai berikut:

, .

Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya),
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan
matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari
sesuatu
segi
yang
lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dhaif. Kemudian ada petunjuk lain
yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada
yang menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dhaif.
c) Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih,
adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam
menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan
fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.
3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;


Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu
syarat dari syarat-syarat hadits hasan
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih
atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits
tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhaiif yang sangat lemah. Karena kualitasnya
dhaif, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;

:
.
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami dari abi tamimah alHujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita
haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah
mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : kami tidak mengetahui
hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh
Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab
didhaifkan pula oleh para ulama hadits
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab Taqribut Tahdzib : Hakim al-Atsromi
pada
rawi
tersebut
adalah
seorang
yang
bermuka
dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama
adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
(a) Muallaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara
berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabiin
(Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
(d) Munqoti adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk
dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya
apa yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang
lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam adalah dan dhobit (hafalannya),
adapun yang pertama penyakit pada adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bidah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu
b) Klasifikasi Hadits Dhaif

1) Dhaif karena tidak bersambung sanadnya


(a) Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama
seseorang yang tidak dikenal.
(b) Hadits Muallaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara
berturut-turut.
(c) Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin. Yang dimaksud dengan gugur di sini,
ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama
menerima hadits dari Rasul saw.
(1) Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabiin besar.
(2) Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabiin yang masih kecil. Hal ini terjadi
karena hadits yang diriwayatkan oleh tabiin tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan
sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
(d) Hadits Mudhal
Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabii,
tabii bersama tabi al-tabiin maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabiiy.
(e) Hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak
terdapat cacat.
2) Dhaif karena tiadanya syarat adil
(a) Hadits al-Maudhu
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya dinisbatkan kepada
Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
(b) Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang
diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau
orang yang banyak lupa maupun ragu.
3) Dhaif karena tiadanya Dhabit.
(a) Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
(b) Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian
didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau
mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu

pada tempat yang lain.


(c) Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau
lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
(d) Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena
perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu
hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk
tulisannya tidak berubah.
4) Dhaif karena Kejanggalan dan kecacatan
(a) Hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya)
dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
(b) Hadits Muallal
hadits yang diketahui Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada
lahirnya tampak selamat dari cacat
5) Dhaif dari segi matan
(a) Hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya.
Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.
(b) Hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun
perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabiin.
c) Kehujahan Hadits Dhoif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar AlAsqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
1) Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari
yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.Maka menurut para ulama,
masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara
aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah,
boleh digunakan untuk perkara fadahilul amal (keutamaan amal).
2) Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul amal,
harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak
boleh hadits dhaif jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3) Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa
ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah
bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
4. Hadis Maudhu

a. Hadis maudhu adalah sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada
rasulullah secara dusta
b. Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu
1). Pertentangan Politik
2). Usaha Kaum Zindiq
3). Sikap Fanatik Buta
4). Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat
5). Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
6). Lobby dengan penguasa
7). Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan
c. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu
1) Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis
2) Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya
3) Adanya indikasi pada isi hadis
d. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu
Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhudari orang yang
mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan
kemaudhuannya Fsafsa
e. Kitab-kitab Hadis Maudhu
1). al-Maudhuat, karya Ibn al-Jauzi
2). al-Laali al-Mashum fi al-Hadis al-Maudhuah, karya as-Suyuthi
3). Silsilah al-Hadis ad-Dhaifah, karya al-Albani

Anda mungkin juga menyukai