Anda di halaman 1dari 27

Mutiara Dana Elita

SABTU, 27 JUNI 2015

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI DITERIMA (MAQBUL) DAN


DITOLAKNYA (MARDUD)
PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI DITERIMA (MAQBUL) DAN
DITOLAKNYA (MARDUD)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa hadits mutawatir adalah wajib
diterima dan diamalkan oleh segenap ummat Islam dan tidak perlu dipersoalkan lagi
tentang mutu dan kedudukannya. Namun sebaliknya hadits ahad yang terdiri dari
hadits masyhur, hadits 'aziz dan hadits gharib masih perlu dipersoalkan di sini.
Karena sebagian dari hadits-hadits ahad tersebut ada yang shahih, hasan dan ada
pula yang dla'if.
Hadits shahih dan hadits hasan selanjutnya digolongkan ke dalam hadits yang
diterima (maqbul), sedangkan hadits dla'if digolongkan ke dalam hadits yang ditolak
(mardud).

A. Hadist Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa ialah sehat, lawan dari kata saqim yang artinya sakit.
Shahih kadang diartikan benar dan baik, lawan dari kata salah dan batil. Adapun
pengertian shahih menurut istilah ahli hadits adalah:

Artinya:
"Suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya, tidak cacat dan tidak berlawanan dengan dalil
yang lebih tinggi".

2. Syarat-Syarat Hadits Shahih


Berdasarkan definisi hadits shahih di atas, maka suatu hadits dapat dipandang
shahih apabila memenuhi lima syarat, yaitu
a. Perawinya harus adil yaitu perawi yang selalu memelihara perbuatan taat dan
menjauhi perbuatan maksiat dan juga selalu menjuhi perbuatan dosa sekalipun

b.
c.
d.
e.

dosa kecil. Ia juga selalu menjaga dirinya dari tingkah laku yang tidak sopan seperti
kata-kata keji, kencing di muka umum sambil berdiri dan lain sebagainya.
Perawinya harus sempurna ingatannya (dlabit), yaitu bahwa daya ingatannya
sangat tajam. Ia lebih banyak ingat daripada lupa, dan kebenarannya lebih banyak
daripada salahnya.
Rangkaian perawi/sanad tidak terputus-putus. Yaitu bahwa setiap perawi harus
saling bertemu dan menerima langsung dari gurunya yang memberikan hadits itu.
Tidak mempunyai cacat. Yaitu suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshahihan suatu hadits.
Tidak mempunyai kejanggalan, yaitu isi kandungan hadits tersebut tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, yakni Al Qur'an dan hadits mutawatir.
3. Pembagian Hadits Shahih
Hadits shahih dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadits shahih lidzatih
(hadits shahih karena dirinya) dan hadits shahih lighairih (hadits shahih yang bukan
karena dirinya).
a. Hadits shahih li dzatih
Hadits shahih li dzatih adalah hadits yang memenuhi secara lengkap syaratsyarat hadits shahih, seperti yang sudah dikemukakan di atas. Contohnya adalah
hadits berikut ini:












( )



Artinya:
"Bukhari berkata: Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, lalu berkata:
Malik dari Nafi' dari Abdullah mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah saw.
bersabda: apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta
orang ketiga". (HR. Bukhari)

Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf
menerimanya dari Malik. Malik menerimanya dari Nafi. Nafi' menerimanya dari
Abdullah, dan Abdullah itu adalah shahabat Rasulullah saw. yang mendengar beliau
bersabda, seperti hadits di atas. Semua nama-nama tersebut mulai dari Bukhari
sampai Abdullah (shahabat Nabi) adalah rawi-rawi yang adil, dlabith, dan benar
bersambung, tidak cacat, baik pada sanad, maupun pada matan. Dengan demikian
hadits di atas termasuk hadits shahih li dzatih.
b. Hadits shahih li ghairih
Hadits shahih li ghairih adalah hadits di bawah tingkatan shahih yang menjadi
hadits shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits lain. Sekiranya hadits lain yang
memperkuat itu tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatan hadits
hasan. Hadits shahih li ghairih (hadits shahih yang bukan karena dirinya sendiri, tapi

karena diperkuat oleh hadits yang lain) pada hakekatnya adalah hadits hasan li
dzatih (hadits hasan karena dirinya sendiri). Supaya lebih jelas, perhatikan hadits
berikut!











( )

Artinya:
"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Sekiranya aku tidak
menyusahkan ummatku, tentu aku menyuruh mereka menyikat gigi menjelang
setiap shalat". (HR. Bukhari dan At Turmudzi)

Perlu diketahui lebih dahulu bila suatu hadits diriwayatkan oleh lima buah
sanad, maka hadits itu dihitung bukan sebagai satu hadits, tetapi lima hadits. Hadits
yang diriwayatkan oleh empat buah sanad, dihitung sebagai empat hadits bukan
satu hadits. Jadi, hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan sanad
tersendiri dan Imam At Turmudzi dengan sanad tersendiri pula, dihitung sebagai dua
hadits. Pertama adalah hadits Bukhari yang dinilai sebagai hadits shahih li dzatih;
dan kedua adalah hadits Turmudzi, yang dinilai sebagai hadits hasan li dzatih.
Hadits Turmudzi itu karena diperkuat oleh hadits Bukhari, naik tingkatannya menjadi
hadits shahih li ghairih.

a.
b.
c.
d.
e.

4. Kedudukan Hadits Shahih


Kedudukan hadits shahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari
kedudukan hadits hasan dan hadits dla'if, tetapi berada di bawah kedudukan hadits
mutawatir. Karena itu hadits mutawatir sering disebut sebagai hadits shahih
mutawatir, maka dapat pula dikatakan bahwa hadits shahih ahad lebih tinggi
kedudukannya dari hadits hasan dan hadits dla'if, tetapi lebih rendah dari
kedudukan hadits mutawatir.
Hadits shahih mutawatir adalah hadits yang pasti shahih (benar) berasal dari
Rasulullah. Hadits shahih ahad tidaklah pasti, tetapi dekat kepada kepastian. Hadits
shahih 'aziz lebih dekat kepada kepastian dibanding dengan hadits shahih gharib,
dan hadits shahih masyhur (mustafidl) paling dekat kepada kepastian benarnya
bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw.
Selain perincian di atas, ada pula penentuan urutan tingkat (martabat) hadits
shahih sebagai berikut:
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syaratsyarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim (berarti rawi-rawinya terdapat dalam
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syaratsyarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.

f. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syaratsyarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
g. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang (mu'tabar).
Semua ulama sepakat menerima hadits shahih mutawatir sebagai sumber
ajaran Islam atau sebagai hujjah, baik dalam bidang hukum, akhlak, maupun dalam
bidang aqidah. Siapa yang menolak hadits shahih mutawatir dipandang kafir.
Semua ulama juga sepakat menerima hadits shahih ahad sebagai sumber ajaran
Islam atau hujjah dalam bidang hukum dan moral, tetapi mereka berbeda pendapat
tentang kehujjahannya dalam bidang aqidah. Sebagian ulama menolak kehujjahan
hadits shahih ahad dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak
mengkafirkan mereka yang menolak.
5. Martabat Hadits Shahih
Kekuatan hadits shahih itu kurang lebih mengingat sifat kedlabitan dan
keadilan rawinya. Hadits shahih yang paling tinggi derajatnya ialah hadits yang
bersanad ashahhul-asanid, kemudian berturut-turut sebagai berikut:
a. Hadits yang muttafaqun 'alaih atau muttafaqun 'alaih shihhatihi. Yaitu hadits shahih
yang telah disepakati oleh kedua imam hadits Bukhari dan Muslim tentang
sanadnya.
Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa kesepakatan antara kedua Imam
Bukhari dan Muslim itu maksudnya adalah persesuaian keduanya dalam mentakhrij-kan asal hadits dari shahabi, kendatipun terdapat perbedaan-perbedaan
dalam gaya bahasa (siyaqul kalam)nya. Misalnya hadits Bukhari yang bersanadkan
Isma'il, Malik, Tsaur bin Zaid, Abil Ghais, dan Abu Hurairah r.a.:

Artinya:
"Orang-orang yang memelihara janda dan orang miskin itu, bagaikan pejuang
sabilillah atau bagaikan orang yang berpuasa di siang hari dan bertahajjut di malam
hari".

Dengan hadits Muslim yang bersanadkan 'Abdullah bin Masalamah, Malik, Tsaur bin
Zaid, Abil Ghais, dan Abu Hurairah:

Artinya:

"Orang yang memelihara janda dan orang miskin itu bagaikan orang yang tiada
henti-hentinya bertahajjut di malam hari dan bagaikan orang yang berpuasa tiada
berbuka-buka".
Walaupun kedua hadits Bukhari dan Muslim tersebut mempunyai sanad dan
gaya bahasa yang berbeda, namun karena shahabat yang menjadi rawi pertama
adalah orang yang sama, tetap dikatakan muttafaqun 'alaih.
Berbeda dengan hadits Bukhari yang bersanadkan 'Abdullah bin Shalih, Yahya,
Sa'id, 'Amrah dan 'Aisyah r.a. yang mengabarkan bahwa 'Aisyah mendengar
Rasulullah saw. bersabda:



:






:












,


Artinya:
"'Aisyah berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Jiwa-jiwa itu
merupakan kumpulan jenis, setiap jiwa saling bermesraan dengan jenis yang
dikenalinya dan saling bersengketaan dengan jenis yang tidak dikenalinya
(diingkarinya)".

Walaupun Imam Muslim meriwayatkan juga hadits yang semakna dengan


hadits tersebut, namun tidak lazim dikatakan dengan muttafaqun 'alaih, lantaran
Imam Muslim men-takhrij-kan hadits yang semisal itu dari shahabat Abu Hurairah,
bukan dari 'Aisyah r.a.
Istilah muttafaqun 'alaih, bukan berarti telah mendapat persetujuan dari seluruh
ummat, hingga harus diterima bulat-bulat. Namun demikian, menurut Ibnu-sh
Shalah bahwa hadits yang telah disepakati oleh kedua imam tersebut, harus
diterima oleh seluruh ummat Islam, disebabkan sebagian ummat Islam bisa
menerimanya.
Pendapat Ibnu-sh Shalah ini, sungguh dapat dibenarkan, mengingat
kemasyhuran dan kemampuan beliau amat mencakup bidang ilmu hadits, dan
beliau termasuk sponsornya. Demikian juga ketekunan dan ketelitian beliau dalam
mentapis hadits-hadits shahih melebihi ulama lain yang terdahulu dan yang
terkemudian. Oleh karena itulah para Muhadditsin dan ummat Islam, secara
aklamasi menerima pen-tarjih-an Ibnu-sh Shalah, bahwa semua hadits yang
diriwayatkan (di-tarjih-kan) oleh kedua imam hadits tersebut, menurut globalnya
adalah ashahhush shihhah.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri, sedang Imam Muslim tidak
meriwayatkannya.
Para Muhadditsin menamainya dengan infarada bihil Bukhari. Misalnya hadits:


:











:






:









Artinya:
"Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah saw: Dua buah kenikmatan
yang sangat besar dan harus dibelinya dengan harga yang tinggi oleh kebanyakan
orang, ialah kesehatan dan kelimpahan waktu untuk taat kepada Tuhan". (HR.
Bukhari)

Walaupun Imam At Turmudzi dan Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits
tersebut dalam kitab sunannya, namun karena Imam Muslim tidak meriwayatkannya
tetap dikatakan infarada bihil Bukhari.
c. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri sedang Imam Bukhari
tidak meriwayatkannya. Para Muhadditsin menamainya dengan infarada bihi
Muslim.Misalnya hadits:






: .





:





:





( )


Artinya:
"Dari Abi Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dary r.a. berkata: Bahwasannya Nabi
Muhammad saw. bersabda: Agama itu nasihat. Kami bertanya: Untuk siapa? Rasul
menjawab: Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin
dan segenap kaum muslimin".

Para imam hadits, seperti Ahmad, Abu Dawud, At Tumudzi, An Nasa'i, Ibnu
Majah, Asy Syafi'i, dan Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits tersebut, hanya
Imam Bukhari saja yang tidak meriwayatkannya. Karena itu, hadits tersebut masih
lazim dikatakan infarada bihi Muslim, jika dinisbatkan kepada dua imam hadits
Bukhari dan Muslim.
d. Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari
dan Muslim, yang disebut shahihun 'ala syarthi'l Bukhari wa Muslim, sedang kedua
imam tersebut tidak meriwayatkannya.
Yang dimasud dengan istilah menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim ialah
bahwa rawi-rawi yang dikemukakan itu terdapat di dalam kedua kitab shahih
Bukhari dan Muslim.

Demikian
juga
halnya,
kalau
dikatakan shahihun
'ala
syarthil
Bukhari atau syarthi Muslim, artinya rawi-rawi yang menjadi sanad hadits yang ditakhrij-kan tersebut terdapat di dalam shahih Bukhari atau shahih Muslim. Para
Muhadditsin yang berpendapat demikian antara lain Ibnu Daqiqil 'Id, An Nawawi,
dan Adz Dzahabi.
Contoh hadits shahih yang menurut syarat kedua Imam Bukhari dan Muslim
adalah:

Artinya:
"Dari 'Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Termasuk penyempurnaan
iman seorang mu'min ialah keluhuran budi pekertinya dan kelemah lembutan
terhadap keluarga". (Riwayat At Turmudzi dan Hakim dan ia berkata bahwa hadits
ini syarat Bukhari dan Muslim)

e. Hadits shahih yang menurut syarat Bukhari, sedang beliau sendiri tidak mentakhrij-kannya. Hadits yang demikian ini, disebut dengan shahihun 'ala syarthil
Bukhari.
f. Hadits yang menurut syarat Muslim, sedang Imam Muslim sendiri tidak men-takhrijkannya. Hadits yang demikian ini dikenal dengan nama shahihun 'ala syarthil
Muslim.
g. Hadits shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim.
Ini berarti bahwa si pen-takhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi atau guru-guru
Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih
diperselisihkan tetapi hadits yang di-takhrij-kan tersebut dishahihkan oleh imamimam hadits yang kenamaan. Misalnya hadits-hadits shahih yang terdapat dalam
Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan Shahih Al Hakim.
Faedah pembagian derajat-derajat hadits tersebut adalah untuk men-tarjih-kan
bila ternyata terdapat ta'arudl (perlawanan) satu sama lain. Pen-tarjih-an di sini
maksudnya ialah pen-tarjih-an menurut globalnya (keseluruhan), bukan pen-tarjihan kesatuan hadits dengan kesatuan hadits lain. Yakni hadits yang dinilai
dengan muttafaqun 'alaih adalah lebih rajih dan mempunyai derajad yang lebih
tinggi dari infarada bihil Bukhari. Hadits yang di-takhrij-kan oleh Imam Bukhari
sendiri mempunyai derajad yang lebih tinggi daripada hadits yang hanya di-takhrijkan oleh Imam Muslim sendiri (infarada bihil Muslim) dan seterusnya menurut tertib
tersebut di atas. Yang demikian itu andai kata terdapat perlawanan satu sama lain.
Tetapi kalau dilihat dari nilai kesatuannya (satu per satunya), ada kemungkinan
kita mendapati sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, misalnya

sebuah hadits disamping diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga diriwayatkan oleh
Imam Muslim; akan tetapi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mempunyai
beberapa sanad sedang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari hanya mempunyai
satu sanad. Jadi, hadits Imam Muslim dalam perumpamaan ini, lebih rajih daripada
hadits Imam Bukhari. Demikian juga jika hadits yang diriwayatkan oleh Imam selain
Imam Bukhari dan Muslim itu mempunyai sanad yang ashahhul asanid niscaya
lebih rajih daripada hadits muttafaqun 'alaih yang tidak ashahhul asanid.
Hadits shahih yang paling tinggi tingkatannya ialah perawinya terdiri dari
Bukhari dan Muslim (muttafaqun 'alaih), kemudian hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari saja, oleh Muslim saja, dan sebagainya.
Kedudukan hadits shahih sungguh pun demikian tetap berada di bawah
derajad hadits mutawatir. Sebab setiap hadits mutawatir sudah pasti shahih,
sedangkan tidak setiap hadits shahih itu mutawatir.

B. Hadits Hasan
1. Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa hasan artinya baik atas segala sesuatu yang diingini, yang
dirindui dan disenangi oleh keinginan hawa nafsu. Sedangkan menurut istilah hadits
hasan adalah:

Artinya:
"Hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh berdusta, tiada
terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu
jurusan melainkan mempunyai banyak jalan yang sepadan dengan maknanya".
Menurut definisi lain, hadits hasan ialah:

Artinya:
"Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang daya ingatannya,
bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz".

Dengan demikian hadits hasan dan hadits shahih hampir sama. Bedanya ialah
bahwa pada hadits hasan perawinya kurang sempurna ingatannya, sedangkan pada
hadits shahih perawinya terdiri dari orang yang kuat daya ingatannya.
2. Syarat-Syarat Hadits Hasan
Berdasarkan pengertian di atas, maka hadits hasan harus mempunyai syaratsyarat sebagai berikut:
a. Perawinya orang yang adil.
b. Perawinya agak kurang daya ingatannya.
c. Bersambung-sambung sanadnya.

d. Tidak mempunyai cacat/'illat.


e. Tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat.
Penjelasan untuk masing-masing syarat di atas sama dengan penjelasan yang
telah diterangkan pada pembahasan hadits shahih.
3. Pembagian Hadits Hasan
Hadits hasan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadits hasan li dzatih dan
hadits hasan li ghairih.
a. Hadits hasan li dzatih
Hadits hasan li dzatih adalah hadits yang memiliki persyaratan hadits hasan
tersebut di atas. Hadits itu menjadi hadits hasan bukan karena diperkuat oleh hadits
yang lain, tapi karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya
memenuhi semua syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi-rawinya kurang
dlabit (kurang kuat hafalannya).
Di antara hadits-hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih, sebagian tetap
saja pada tingkatan hadits hasan tersebut, tetapi sebagian lainnya dapat naik pada
tingkatan hadits shahih li ghairih. Bila suatu hadits hasan li dzatih tidak diperkuat
oleh hadits yang lain yang berada pada tingkatan hadits shahih atau pada tingkatan
hadits hasan li dzatih pula, maka hadits tersebut tetap berada pada tingkatan hadits
hasan li dzatih.
Sebaliknya, bila suatu hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih diperkuat
oleh hadits yang lain (baik berada pada tingkatan hadits shahih maupun pada
tingkatan hadits hasan li dzatih), maka hadits tersebut naik tingkatannya menjadi
hadits shahih li ghairih. Hadits demikian dapat disebut secara lengkap hadits hasan
li dzatih shahih li ghairih(hadits hasan karena dirinya, shahih karena lainnya), dan
juga dapat disebut lebih singkat:hadits hasan shahih. Hanya saja perlu diketahui
bahwa disamping ada ulama yang mengartikan sebutan hadits hasan shahih
dengan hadits hasan lidzatih shahih li ghairih, ada pula ulama yang mengartikan
sebutan tersebut dengan dua hadits yang sama matannya, tapi hadits yang satu
mempunyai sanad yang hasan, sedangkan hadits yang lain memiliki sanad yang
shahih.
Contoh hadits hasan li dzatih adalah hadits tentang menyikat gigi menjelang
shalat, yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Abu Hurairah (sudah dikemukakan
pada pembahasan hadits shahih li ghairih).
b. Hadits hasan li ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke
tingkatan hadits hasan, karena ada hadits lain yang menguatkannya. Dengan kata
lain, hadits hasan li ghairih adalah hadits dla'if yang karena dikuatkan oleh hadits
lain, meningkat menjadi hadits hasan.
Hadits dla'if yang dikuatkan oleh hadits dla'if yang lain bisa menjadi hadits
hasan li ghairih, dan bisa pula tidak naik tingkatannya. Hal ini disebabkan keadaan
hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if beraneka ragam. Hadits dla'if karena

lemahnya hafalan rawi (padahal rawinya dikenal jujur), dapat meningkat menjadi
hadits hasan li ghairih, bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain yang juga
diriwayatkan oleh rawi yang lemah hafalannya. Demikian pula hadits dha'if lain,
yang disebabkan oleh tidak disebutkannya rawi tingkatan shahabat Nabi atau tidak
dikenal salah seorang perawinya, dapat meningkat menjadi hadits hasan li ghairih,
bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits yang lain.
Tidak demikian halnya dengan hadits dla'if yang disebabkan oleh rawi yang
dikenal pendusta atau dikenal fasik. Hadits dla'if seperti itu, bila dikuatkan oleh
hadits lain yang serupa tidaklah hilang kedla'ifannya (kelemahannya), bahkan
bertambah dla'if (bertambah lemah), jadi tidak bisa meningkat menjadi hadits hasan
li ghairih.
Contoh hadits hasan li ghairih adalah:







:






( )








Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: Merupakan hak atas kaum muslim, mandi pada hari
jum'at". (HR. At Turmudzi).

Hadits di atas diterima oleh Turmudzi melalui dua sanad:


Pertama: dari Ali bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, dari Yazid bin
Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua : dari Ahmad bin Mani', dari Hasyim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi
Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Rawi-rawi dalam sanad pertama cukup terpercaya, kecuali Abu Yahya bin
Ibrahim At Taimi yang dianggap lemah hafalannya. Karena itu, hadits yang dirawikan
sanad pertama dipandang sebagai hadits dla'if. Rawi-rawi dalam sanad kedua juga
cukup terpercaya, kecuali Hasyim yang dikenal mudallis (menyembunyikan cacat
suatu hadits). Karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh sanad kedua juga
dipandang sebagai hadits dla'if. Kedua hadits tersebut (karena ada dua sanad harus
dihitung dua hadits) saling meguatkan, oleh sebab itu masing-masing hadits naik
tingkatannya menjadi hadits hasan li ghairih.
4. Kedudukan Hadits Hasan
Para Ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadits hasan berada sedikit
di bawah tingkatan hadits shahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
kedudukannya sebagai sumber hukum Islam atau sebagai hujjah. Sebagian ulama
menolak hadits hasan sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang
aqidah. Sebaliknya jumhur (mayoritas) ulama memperlakukan hadits hasan seperti
hadits shahih, mereka menerima hadits hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran
Islam, baik dalam bidang hukum, moral maupun dalam bidang aqidah.

C. Hadits Dlaif

1. Pengertian Hadits Dla'if


Hadits dla'if ialah:

Artinya:
"Ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih
atau hadits hasan".

Hadits dla'if banyak macamnya, dan mempunyai perbedaan derajad satu sama
lain, hal ini disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau
hasan yang tidak dipenuhinya. Hadits dla'if yang disebabkan karena tidak
bersambung-sambung sanadnya dan tidak adil rawinya adalah lebih dla'if dari pada
hadits dla'if yang hanya keguguran satu syarat maqbul (syarat-syarat yang diterima
untuk hadits shahih dan hasan) saja, baik pada sanadnya maupun pada rawinya.
Hadits dla'if yang keguguran tiga syarat maqbul adalah lebih dla'if daripada hadits
dla'if yang keguguran dua syarat.
Al 'Iraqi membagi hadits dla'if menjadi 42 bagian dan sebagian ulama yang lain,
membaginya menjadi 129 bagian.
2. Klasifikasi Hadits Dla'if Menurut Muhadditsin
Dari segi diterima atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah, hadits
ahad terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Yang
termasuk hadits maqbul yaitu hadits shahih dan hadits hasan, sedangkan yang
termasuk hadits mardud yaitu hadits dla'if dengan segala macamnya. Untuk
mengetahui syarat-syarat suatu hadits dapat diterima (maqbul), tidak dapat
dipisahkan dengan pengetahuan tentang sebab-sebab ditolaknya suatu hadits.
Para Muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua
jurusan. Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.
a. Dari jurusan sanad diperinci menjadi dua bagian
1) Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun
hafalannya.
2) Ketidak bersambung-sambungnya sanad dikarenakan adanya seorang rawi atau
lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.

a)
b)
c)
d)

Keterangan:
1) Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi ada 10 macam:
Dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya dusta disebut hadits maudlu'.
Tertuduh dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya tertuduh dusta disebut hadits
matruk.
Fasiq.
Banyak salah.

e) Lengah dalam menghafal. Hadits dla'if yang karena rawinya fasiq, banyak salah,
dan lengah disebut hadits munkar.
f) Banyak waham (purbasangka). Hadits dla'if yang karena rawinya waham disebut
hadits mu'allal.
g) Menyalahi riwayat orang kepercayaan. Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan
tersebut karena dengan penambahan suatu sisipan maka hadits ini disebut hadits
mudraj; Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan memutar
balikkan, maka hadits ini disebut hadits maqlub; Kalau menyalahi riwayat orang
kepercayaan tersebut dengan menukar-bukar rawi, maka hadits ini disebut hadits
mudltharib, Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan merubah
syakal huruf, maka hadits ini disebut hadits muharraf; dan kalau perubahan itu
tentang titik-titik kata, maka hadits ini disebut hadits mushahhaf.
h) Tidak diketahui identitasnya (jahalah). Hadits dla'if yang karena jahalah ini disebut
hadits mubham.
i) Penganut bid'ah. Hadits dla'if yang karena rawinya penganut bid'ah disebut hadits
mardud.
j) Tidak baik hafalannya. Hadits dla'if yang karena ini disebut hadits syadz dan
mukhtalith.
2) Sebab-sebab tertolaknya hadits karena sanadnya digugurkan (tidak
bersambung)
a) Kalau yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut hadits mu'allaq.
b) Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat) disebut hadits mursal.
c) Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits
mu'dlal.
d) Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi'.
b. Dari jurusan matan
Hadits dla'if yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan ialah hadits
mauquf dan hadits maqthu'.
1) Hadits mauquf
Al mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi
menghentikan sebuah hadits. Hadits mauquf menurut istilah ialah:

Artinya:
"Segala yang disandarkan kepada shahabat r.a. baik perkataan, perbuatan, atau
taqrir, baik bersambung-sambung sanadnya, maupun yang terputus-putus".

Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali yang dihukumi marfu'.
Karena itulah ia dihukumi dla'if, meskipun sanadnya shahih. Di antara contohnya
ialah:
a) Perkataan Ibnu Mas'ud










( )


Artinya:
"Qalbu-qalbu itu tempat menyimpan, karena itu penuhilah dia dengan Al Qur'an, dan
janganlah kamu memenuhinya dengan selain Al Qur'an". (HR. Al Khathib)
b) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hibban, katanya:

Artinya:
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani, dapat menahan marah, faqih
lagi 'alim".

2) Hadits maqthu'
Al Maqthu' menurut bahasa berarti yang diputuskan atau yang terputus.
Sedangkan menurut istilah hadits maqthu' yaitu:

Artinya:
"Segala yang disandarkan kepada tabi'in baik perkataan maupun perbuatannya".

Karena hadits mauquf saja tidak dapat dijadikan hujjah, apalagi hadits maqthu',
tentu lebih tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itulah ia dihukumi dla'if, meskipun
sanadnya shahih. Az Zarkasyi menegaskan, bahwa "perkataan tabi'i bukan sekalikali hadits".
Di antara contoh hadits maqthu' ialah:
a) Perkataan Ad Dlahhak Ibnu Muzahim

( )





Artinya:
Akan datang pada manusia suatu masa yang di dalamnya hadits-hadits begitu
banyak, sehingga tinggallah mushhaf dengan debunya tidak pernah dilihat". (HR.
Ibnu 'Abdil Bar)
b) Perkataan Ibnu Syihab Az Zuhry




( )



Artinya:
"Kalau sekiranya tidak ada hadits-hadits yang datang dari timur yang kami ingkari,
yang tidak kami kenal, tentulah kami tidak menulis hadits dan tidak mengizinkan
orang menulisnya". (HR. Al Khathib)

3. Macam-Macam Hadits Dla'if Berdasarkan Rawi-Rawinya Tercatat Keadilan dan


Kedlabitannya
a. Hadits maudlu'
Maudlu' menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan. Sedangkan menurut
istilah hadits maudlu' ialah:










Artinya:
"Hadits yang tercipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan itu
dibangsakan kepada Rasulullah saw. secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja
atau tidak".

Yang dikatakan dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah saw. ialah
mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali dalam
seumur hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima meskipun
mereka telah bertaubat. Lain halnya dengan periwayatan orang yang pernah
bersaksi palsu, jika mereka telah bertaubat dengan sungguh-sungguh maka
riwayatnya dapat diterima.
b. Ciri-ciri hadits maudlu'
Sebagaimana para ulama menciptakan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan
untuk mengetahui shahih, hasan, atau dla'ifnya suatu hadits, mereka juga
menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudlu'-an suatu hadits. Mereka
menentukan ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan ciri-ciri yang terdapat pada
matan hadits.
1) Ciri-ciri yang terdapat pada sanad
a) Pengakuan dari si pembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru tasawuf ketika
ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al Qur'an serenta menjawab:

Artinya:
"Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi serenta kami
melihat manusia-manusia sama membenci Al Qur'an, kami ciptakan untuk mereka
hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al Qur'an), agar mereka menaruh perhatian
untuk mencintai Al Qur'an".

Pengakuan seorang rawi, menurut Ibnu Daqiqil 'Id, belum dapat dipastikan memaudlu'-kan suatu hadits, karena mungkin saja si rawi itu berbohong dalam
pengakuannya.

b) Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudlu'.


Misalnya:
Seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah
bertemu dengan guru tersebut. Atau menerima dari seorang guru yang telah
meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
c) Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
d) Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim tatkala ia berkunjung
ke rumah Al Mahdi yang tengah bermain dengan burung merpati. Katanya:

Artinya:
"Tidak sah perlombaan itu selain mengadu anak panah, mangadu onta, mangadu
kuda, atau mengadu burung".

Perkataan
(mengadu burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri, dengan
spontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud untuk
membesarkan hati atau setidak-tidaknya membenarkan tindakan Al Mahdi yang
sedang melombakan burung. Tingkah laku Ghiyats semacam itu menjadi qarinah
untuk menetapkan ke-maudlu'-an suatu hadits.
2) Ciri-ciri yang terdapat pada matan
Ciri-ciri yang terdapat pada matan dapat ditinjau dari segi makna dan dari segi
lafadznya. Dari segi maknanya, maka makna hadits itu bertentangan dengan Al
Qur'an, hadits mutawatir, ijma', dan bertentangan dengan logika yang sehat.
a) Contoh hadits maudlu' yang maknanya bertentangan dengan Al Qur'an

Artinya:
"Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan".

Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan surat Al An'am 164:

Artinya:
"Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain".

Kandungan ayat di atas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat


dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani
dosa orang tuanya.
Contoh lain hadits yang menjelaskan tentang umur dunia:

Artinya:

"Umur dunia itu 7000 tahun dan sekarang datang pada ribuan yang ke-7."
Hadits di atas adalah sedusta-dustanya hadits. Sebab andaikata hadits itu benar,
niscaya orang sekarang ini tinggal beberapa puluh tahun saja. Padahal Allah telah
menjelaskan bahwa hanya beliau sendiri yang mengetahui kapan datangnya hari
qiyamat itu. Allah berfirman:


,















(187 : )

Artinya:
"Mereka menanyakan kepadamu tentang hari qiyamat: bilakah terjadinya?
Sesungguhnya pengetahuan tentang hari qiyamat itu adalah pada sisi Tuhanku,
tidak seorang pun yang dapat menjelaskan kedatangannya sampai hari qiyamat
selain dari Dia". (Q.S. Al A'raf: 187)

b) Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan hadits mutawatir ialah hadits
yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad.


( )










Artinya:
"Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad dan Ahmad) ini,
tidak akan dimasukkan di neraka".

Hadits di atas bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah saw. yang


menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditembus dengan nama-nama tersebut,
akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keimanan dan amal shalih.
c) Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan ijma' ialah hadits-hadits yang
dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah saw. kepada Ali r.a.
untuk menjadi khalifah yang menurut mereka bahwa shahabat bersepakat untuk
membekukan wasiat tersebut.










,



:
,









,



Artinya:
"Bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Ali bin Abi Thalib r.a. dihadapan para
shahabat seluruhnya yang baru kembali dari haji Wada'. Kemudian Rasulullah
membangkitkan Ali, sehingga para shahabat mengetahui semuanya. Lalu beliau

bersabda: Ini adalah wasiatku (orang yang saya beri wasiat) dan saudaraku, serta
khalifah setelah saya mati. Oleh karena itu, dengarlah dan taatilah".
Hadits di atas adalah maudlu', karena bertentangan dengan ijma' seluruh ummat,
bahwa Rasulullah saw. tidak menetapkan (menunjuk) seorang pengganti sesudah
beliau meninggal dunia.
Dari segi lafadznya, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih.
Termasuk dalam hal ini ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya
berlebih-lebihan. Kalau ketidak fasihan itu hanya terletak pada redaksinya saja
sedang isinya tidak kacau, menurut pendapat Ibnu Hajar tidak dapat dipastikan
sebagai hadits maudlu', sebab ada kemungkinan bahwa rawi hanya meriwayatkan
maknanya saja, sedang redaksinya yang ia susun sendiri kurang fasih.
Contoh hadits maudlu' dari segi lafadznya, yaitu hadits yang berisikan pahala
yang sangat besar bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil):

Artinya:
"Sesuap makanan di perut si lapar labih baik daripada membangun seribu masjid
Jami'".

Artinya:
"Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ila ha illallah) maka Allah menciptakan dari
kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan dan setiap lisan
mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya".

c. Sumber-sumber yang diriwayatkan


Para pembuat hadits maudlu' dalam menjalankan tugasnya kadang-kadang
mengambil dari fikiran sendiri-sendiri dan kadang-kadang menukil dari perkataan
orang-orang yang dipandang 'alim pada waktu itu atau perkataan orang 'alim
mutaqaddimin.
Misalnya hadits maudlu' yang dinukil dari perkataan orang-orang mutaqaddimin
ialah:
Artinya:
"Cinta keduniaan adalah modal kesalahan".

Perkataan di atas, sesungguhnya adalah perkataan Malik bin Dinar, tetapi oleh
pembuat hadits maudlu' dibangsakan (didakwakan) kepada Nabi Muhammad saw.
d. Motif-motif yang mendorong untuk membuat hadits maudlu'
Motif-motif yang mendorong mereka membuat hadits maudlu' dan lingkungan
yang menyebabkan tumbuhnya, antara lain:
1) Mempertahankan ideologi partainya (golongannya) sendiri dan menyerang
partai lawannya.
Pertentangan politik kekhilafahan yang timbul sejak akhir kekhilafahan 'Utsman
dan awal pemerintahan Ali merupakan penyebab langsung munculnya hadits-hadits
maudlu'. Pada waktu itu timbul partai Syi'ah dan golongan Mu'awiyah. Setelah
Perang Shiffin selesai, timbul pula golongan Khawarij. Di antara golongan-golongan
tersebut, golongan Syi'ah Rafidlahlah yang paling banyak membuat hadits maudlu'.
Imam Syafi'i berkata: "saya tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta
selain kaum Rafidlah". Mereka membuat hadits maudlu' tentang keutamaan Ali dan
Alil bait (keluarga-keluarganya).
Tentang keutamaan Fatimah, mereka menciptakan hadits:

Artinya:
"Ketika Nabi Muhammad saw. diisra'kan, Jibril datang memberikan buah Saparjalah
(semacam Apel) dari surga lalu dimakannya. Kemudian Sayyidah Khadijah
menghubungkan buah tersebut dengan Fatimah. Karena itu apabila Rasulullah saw.
rindu bau-bauan surga beliau lalu mencium Fatimah".

Kemaudlu'an hadits di atas sangat jelas. Sebab Fatimah dilahirkan sebelum


terjadi peristiwa Isra' sebagaimana Khadijah meninggal sebelum Isra'.
Di samping golongan Syi'ah membuat hadits-hadits maudlu' untuk menuju
golongan sendiri, mereka juga membuat hadits maudlu' yang isinya untuk menjelekjelekkan lawannya. Misalnya, untuk menjelekkan Mu'awiyah mereka membuat
hadits:

Artinya:
"Apabila kamu melihat Mu'awiyah di atas mimbarku, bunuhlah".

Pengikut golongan lain yang merasa golongannya dihina, segera membuat


hadits maudlu' untuk mengadakan revance atau setidak-tidaknya untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat padanya. Misalnya hadits maudlu' yang

diciptakan oleh golongan yang membenarkan kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan
'Utsman.


,






,





,

Artinya:
"Di surga tidak ada satu pohon pun, selain pohon yang daunnya ditulis dengan
kalimat la ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq, 'Umar Al
Faruq, dan 'Utsman Dzunnurain".

Golongan Abbasyiyah juga tidak ketinggalan dalam membuat hadits maudlu'


untuk mempertahankan golongannya. Misalnya:

Artinya:
"Bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda kepada Al 'Abbas: Bila telah tiba tahun 135
H, maka tahun itu adalah untukmu dan anak-anakmu, yakni Abul 'Abbas As Safah,
An Manshur, dan Al Mahdi".

Golongan Khawarij walaupun termasuk golongan terkecil dari golongan Syi'ah


juga tidak ketinggalan dalam membuat hadits maudlu'. Ibnu Hatim mengutip
perkataan seorang guru dari golongan Khawarij yang telah taubat, sebagai berikut:

Artinya:
"Bahwa hadits-hadits ini adalah suatu agama. Oleh karena itu telitilah dari siapa
kamu mengambil pelajaran agama! Kamu sendiri bila menghendaki sesuatu hal, hal
itu kami rubah (sedemikian rupa) menjadi suatu hadits".
2) Untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam.
Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Zindiq. Mereka itu
adalah orang-orang yang dongkol hatinya melihat kepesatan tersiarnya agama
Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka sakit hati melihat orang berbondongbondong masuk agama Islam. Hal ini terjadi karena Islam menjamin kemerdekaan
berpikir memberikan kemuliaan pribadi dan kebenaran aqidahnya. Dengan maksud
mengeruhkan dan merusak agama Islam, mereka membuat beribu-ribu hadits
maudlu' dalam bidang aqidah, akhlak, pengobatan dan hukum tentang halal
haramnya suatu perbuatan.

Di antara hadits maudlu' yang mereka ciptakan ialah:

Artinya:
"Tuhan kami turun dari langit pada sore hari di 'Arafah dengan kendaraan unta
kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan
memeluk orang-orang yang berjalan".
Dan hadits maudlu':

Artinya:
"Aku telah melihat Tuhanku tanpa hijab antara aku dan Dia. Karena itu kulihat
segala sesuatu hingga kulihat sebuah mahkota yang terhias dari mutiara".
Tokoh-tokoh mereka yang terkenal dalam membuat hadits maudlu' adalah:
a) Abdul Karim bin Abil-Auja', yang akhirnya dibunuh oleh Muhammad bin Sulaiman,
Walikota Basrah. Ketika ia dikerek di tiang gantungan untuk dipenggal kepalanya,
mengaku telah membuat hadits maudlu' sebanyak 4000 hadits.
b) Bayan bin Sam'an Al Mahdi, yang mati dibunuh oleh Khalid bin Abdillah.
c) Muhammad bin Sa'id Al Mashlub yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja'far Al Mansyur.
Khalifah yang mempunyai perhatian serius untuk memberantas gerakan Zindiq
ialah Khalifah Al Mahdi. Beliau mengadakan biro khusus untuk mengikis faham
Zindiqiyah.
3) Fanatik kebangsaan, kesukuan, kedaerahan, kebahasaan, dan kultus individu
terhadap imam mereka
Mereka yang ta'ashshub (fanatik) kepada bangsa dan bahasa Persi
mengutarakan hadits maudlu':

Artinya:
"Sungguh Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan bila
rela menurunkan wahyu dengan bahasa Persi".
Kemudian mereka
menandinginya:

yang

merasa

tersinggung

membuat

hadits

untuk

Artinya:
"Sungguh Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Persi dan bila
rela menurunkan wahyu dengan bahasa Arab".
Mereka yang mendewa-dewakan Abu Hanifah membuat hadits maudlu':

Artinya:
"(Rasulullah saw. bersabda): Nanti bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku
yang bernama Abu Hanifah An Nu'man sebagai pelita ummatku".

Kemudian golongan Syaf'iyah yang sempit pandangannya melibatkan diri untuk


membuat hadits maudlu' untuk malawan pengikut-pengikut Hanafiyah:

Artinya:
"(Rasulullah saw. bersabda): Nanti bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku
yang bernama Muhammad bin Idris yang paling menggentarkan ummatku daripada
iblis".

4) Membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat untuk menarik minat para


pendengarnya
Kisah dan nasihat-nasihat yang mereka buat itu didakwakan berasal dari Nabi
Muhammad saw. Misalnya kisah-kisah yang menggembirakan tentang surga, ia
lukiskan:

Artinya:
"Di dalam surga itu terdapat bidadari-bidadari yang berbau harum semerbak, masa
tuanya berjuta-juta tahun dan Allah menempatkan mereka di suatu istana yang
terbuat dari mutiara putih. Pada istana itu terdapat 70.000 paviliun yang setiap
paviliun mempunyai 70.000 kubah. Yang demikian itu tetap berjalan sampai 70.000
tahun tidak bergeser sedikitpun".

5) Mempertahankan mazhab dalam masalah khilafiyah fiqhiyah dan kalamiyah


Mereka yang menganggap tidak sah sembahyang dengan mengangkat tangan
tatkala sembahyang, membuat hadits maudlu':

Artinya:
"Barangsiapa mengangkan kedua tangannya di dalam shalat maka tidak sah
shalatnya".

Golongan Mutakallimin mengkafirkan orang yang berpendapat bahwa Al Qur'an


itu makhluk (ciptaan baru), dengan mengeluarkan hadits yang didakwakan berasal
dari Nabi Muhammad saw.

:








,








Artinya:
"Setiap yang ada di langit, di bumi, dan di antara keduanya adalah makhluk, kecuali
Allah dan Al Qur'an. Nanti bakal datang kaum-kaum dari ummatku yang
mengatakan bahwa Al Qur'an itu makhluk (baharu). Oleh sebab itu, barangsiapa
mengatakan demikian, sungguh kafir terhadap Allah Yang Maha Besar, dan
tertalaklah istrinya sejak saat itu".

6) Mencari muka di hadapan para penguasa untuk mencari kedudukan atau


mencari hadiah
7) Kejahilan mereka dalam ilmu agama disertai dengan adanya kemauan keras
untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya
Mereka menganggap bahwa membuat hadits untuk tarqhib dan tarhib, demi
untuk taqarrub kepada Allah dan berkhidmat kepada agama, diperbolehkan. Mereka
banyak membuat hadits maudlu' tentang keutamaan surat-surat Al Qur'an di luar
apa yang telah diterangkan oleh nash-nash yang sharih.
e. Usaha-usaha para ulama dalam memberantas pemalsuan hadits
Usaha-usaha para ulama dalam memelihara sunnah dan membersihkannya
dari pemalsuan hadits ialah:
1) Meng-isnad-kan hadits
Pada awal-awal Islam, yakni sejak dari masa Rasulullah saw. masih hidup
sampai dengan timbulnya fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan r.a. para
shahabat saling percaya-mempercayai satu sama lain. Para tabi'in tidak ragu-ragu
menerima berita dari shahabat tentang hadits Rasulullah saw. Akan tetapi setelah
terjadi fitnah dan kaum muslimin sudah mulai berpecah belah dalam beberapa

partai dan golongan serta mulai bertebaran pemalsuan hadits-hadits Rasulullah,


maka para shahabat dan tabi'in sangat berhati-hati dalam menerima hadits dari
rawi-rawinya.
Mulailah mereka meminta sanad kepada orang yang menyampaikan hadits dan
akhirnya menetapkan sanad suatu hadits. Sebab, sanad bagi hadits bagaikan nasab
bagi seseorang.
Muhammad bin Sirrin (seorang tabi'i yang lahir tahun 33 H meninggal tahun
110 H) menceritakan bahwa "para shahabat yang semula dalam menerima hadits
tidak selalu menanyakan sanadnya. Akan tetapi setelah terjadi fitnah, mereka selalu
meminta untuk disebutkan sanadnya. Kemudian setelah disebutkan sanadnya, lalu
diteliti; kalau sanad itu terdiri dari ahli sunnah, diambilnya dan kalau terdiri dari ahli
bid'ah, ditolaknya".
2) Meningkatkan perlawatan hadits
Mereka meningkatkan perlawatan mencari hadits dari satu kota ke kota lain
untuk menemui para shahabat yang meriwayatkan hadits. Sejak saat itu, para
penuntut hadits apabila mendengar suatu hadits dari seorang rawi, dengan segera
mereka mencari shahabat Rasulullah untuk memperkuatnya. Demikian juga para
shahabat mengadakan perlawatan mencari hadits dari kawannya shahabat yang
berada di luar daerahnya. Misalnya shahabat Ayyub menemui shahabat 'Uqbah bin
Amir di Mesir dan shahabat Jabir menemui shahabat 'Abdullah bin Anis untuk
mencari suatu hadits.
Abu 'Aliyah mengatakan bahwa ia tidak rela kalau mendengar hadits dari
shahabat Rasulullah saw. yang berada di Basrah, sekiranya ia tidak pergi ke
Madinah untuk mendengarkan hadits tersebut dari para shahabat yang berada di
sana.
3) Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits
Dalam rangka berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari
mereka, menumpas para pemalsu hadits, melarang mereka (pemalsu hadits) untuk
meriwayatkan hadits dan menyerahkan pemalsu hadits kepada penguasa.
'Amir Asy Sya'bi pernah bertemu dengan Abu Shalih dan beliau memarahinya.
Bentaknya: "Celaka kamu! Kenapa kamu menafsirkan Al Qur'an, padahal kamu
tidak baik membacanya".
Murrah Al Hamdani pernah mendengar sebuah hadits dari Al Harits Al A'war
pendukung golongan Syi'ah yang banyak membuat hadits maudlu', lalu ia disuruh
jongkok di muka pintu dan kemudian dibunuh.
4) Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya
Para shahabat, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in mempelajari biografi para rawi, tingkah
lakunya, kelahirannya, kamatiannya, keadilannya, daya ingatannya, dan
kemampuan menghafalnya untuk membedakan hadits yang shahih dan yang palsu.
Jika terdapat sifat-sifat yang tercela, mereka beritahukan kepada khalayak umum.
Mereka mengkritik atau memuji identitas seorang rawi, hanya semata-mata takut

a)
b)
c)
d)

kepada Allah. Mereka mengambil hadits dari seorang rawi, bukan karena takut
kepada rawi tersebut atau karena belas kasihan.
Untuk kepentingan itu, mereka membuat ketentuan-ketentuan untuk
menetapkan sifat-sifat rawi yang dapat dan tidak dapat diambil, ditulis atau
diriwayatkan haditsnya.
Para rawi yang tidak boleh diambil haditsnya ialah:
Orang yang mendustakan Rasulullah saw.
Orang yang berdusta dalam pembicaraan umum, walaupun tidak berdusta kepada
Rasulullah saw.
Ahli bid'ah.
Orang Zindiq, fasiq, pelupa dan orang yang tidak mengerti apa yang diceritakannya.

Adapun para rawi yang ditangguhkan periwayatannya ialah:


a) Orang yang diperselisihkan tentang jarh (cacat) dan ta'dil (keadilan)-nya.
b) Orang yang banyak salahnya daripada benarnya serta banyak berlawanan dengan
periwayatan orang tsiqah.
c) Orang yang banyak lupa.
d) Pelupa karena lanjut usia.
e) Orang yang kurang baik hafalannya.
5) Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits
Mereka membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih, hasan, dan
hadits dla'if.
6) Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudlu'
Mereka membuat ketentuan mengenai tanda-tanda (ciri-ciri) hadits maudlu',
baik ciri-ciri yang terdapat pada sanad maupun matannya. [1]
4. Kedudukan Hadits Dla'if
Sebagaimana telah kita ketahui, tidaklah sama hal-hal yang menyebabkan
hadits menjadi jatuh ke dalam hadits dla'if. Cacat hadits dla'if berbeda-beda, baik
macamnya maupun berat ringannya. Oleh karena itu tingkatan (martabat) hadits
dla'if juga berbeda. Dari hadits yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau
matannya, maka hadits yang paling buruk atau paling rendah martabatnya adalah
hadits maudlu' dan berturut-turut hadits matruk, hadits munkar, hadits mu'allal,
hadits mudraj, hadits maqlub dan seterusnya. Dari hadits-hadits yang gugur rawi
atau sejumlah rawinya, maka hadits yang paling lemah adalah hadits mu'allaq
(kecuali hadits-hadits shahih yang diriwayatkan secara mu'allaq oleh Bukhari dalam
kitab shahihnya), dan selanjutnya hadits mu'dlal, hadits munqathi', yang terakhir
hadits mursal.
Kendati berbeda tingkatan hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if, namun
hadits dla'if tetaplah hadits dla'if yang harus dipandang sebagai bukan hadits
Rasulullah saw. Oleh sebab itu, para ulama sepakat untuk menolak hadits dla'if

sebagai hujjah (dasar, dalil, alasan) dalam menetapkan akidah dan hukum. Para
ulama memang berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memakai hadits dla'if
tertentu, yang menjelaskan tentang berbagai keutamaan yang terkandung dalam
suatu amal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagian ulama
membolehkan karena memandang bahwa hadits tersebut dapat mendorong orang
untuk lebih giat mewujudkan amal yang diperintahkan itu. Tapi sebagian lagi tidak
membolehkan memakai hadits dla'if manapun, karena khawatir bahwa orang
banyak akan memandang hadits dla'if yang dipakai itu sebagai hadits Rasulullah.
Padahal hadits tersebut harus dipandang bukan sebagai hadits beliau.
Jadi, hadits dla'if seperti halnya dengan pembicaraan manusia lainnya yang
bukan Rasulullah, tidak mempunyai kedudukan sebagai sumber pokok ajaran Islam
dalam semua aspeknya.

Diposkan oleh Mutiara Dana Elita di 01.08


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar

Posting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
MENGENAI SAYA

Mutiara Dana Elita


Follow your heart, not your head. Follow your passion
Lihat profil lengkapku
ARSIP BLOG

2015 (1
2)

o
Juni (12)

PEMBAGIAN
HADITS DARI

SEGI
DITERIMA
(MAQBUL)
DAN D...

Macam - Macam
Fungsi Bahasa

Biografi Khalifah
Abu ja' Far ar
rasyid

Biografi Imam AlBukhari dan


Imam Muslim

Fungsi Menu pada


Corel Draw X3

KTSP

Puisi

Macam - Macam
Jenis Penjelajah
Internet

Pengertian Drama,
Fungsi Drama,
Karakteristik
Dram...

Puisi

Pembagian Hadits
Ditinjau Dari
Segi Bilangan
Para ...

Pengaruh
Globalisasi
Terhadap
Kebudayaan

Indonesia...
Template Picture Window. Gambar template oleh lobaaaato. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai