Anda di halaman 1dari 5

Nama : ATIYAH

Prodi : HUKUM KELUARGA ISLAM

Matkul : Ulumul Hadis

Sem / Reg : 01 / 01

Hadis shahih,hasan, dhaif,dan maudhu


A. Hadist Shahih

Hadist shahih Menurut Ibnu Ash Shalah adalah Hadist yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak
ber’illat.
Hadist shahih Menurut Hajar al-Asqalani adalah Hadist yang diriwayatkan
oleh orang-orang yang adil, sempurna kedhabittannya, bersambung sanadnya, tidak
ber’illat dan tidak syadz.
Syarat – syarat Hadits Shohih
a. Sanadnya bersambung
Yang dimaksudsanad bersambung adalah tiap–tiap periwayatan dalam sanad
hadits menerima periwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan ini
berlangsung demikian sampai akhir anad dari hadits itu.
b. Periwayatan bersifat adil
Adil di sini adalah periwayat seorang muslim yang baligh, berakal sehat,
selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan – perbuatan
maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit

Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya
dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.

d. Tida Janggal atau Syadz


Adalah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang sudahdiketahui
tinggi kualitas ke-shahih-annya.
e. Terhindar dari „illat (cacat)
Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal – hal
yang tidak bak, yang kelihatannya samar – samar
Contoh hadist shohih

Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya, ia berkata,

‫َح َّد َثَنا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن ُيوُسَف َقاَل َأْخ َبَر َنا َم اِلٌك َع ْن اْبِن ِش َهاٍب َع ْن ُمَحَّمِد ْبِن ُج َبْيِر ْبِن ُم ْط ِع ٍم‬
‫َع ْن َأِبيِه َقاَل َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقَر َأ ِفي اْلَم ْغ ِر ِب ِبالُّطوِر‬

”Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata, ‘Telah


mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin
Muth’im dari ayahnya, ia berkata, ”Aku pernah mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬
dalam shalat Maghrib membaca “Ath-Thur.”

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, dalam Kitab Al-Adzan, no.


765]

B. Hadist Hasan

Menurut pendapat Ibnu Hajar, ”Hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan
oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak
cacat dan tidak ganjil.”38 Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut :
Tiap-tiap hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada
matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula
melalui jalan lain”
Syarat-syaratv yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan
sebagai hadist hasan, yaitu:
a. Para perawinya yang adil,
b. Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
c. Sanad-sanadnya bersambung,
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
e. Tidak mengandung „illat
Salah satu contoh hadis hasan dapat ditemukan dalam kibat Sunan Tirmidzi:

‫إن أبواب الحنة تحت ظالل السيوف‬

Artinya: "Sesungguhnya pintu surga berada di bawah bayangan pedang." (HR.


Tirmizi)
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis di atas adalah hadis hasan gharib.

Gharib artinya diriwayatkan oleh satu jalur perawi.

Di samping itu, hadis ini dinilai hasan karena empat perawinya terpercaya atau tsiqah.
Namun, terkecuali satu perawi bernama Ja’far bin Sulaiman al-Dha’i yang kekuatan
hafalannya tidak terlalu kuat.

Kedudukan
Kebanyakan ulama ahli ilmu dan fuqaha, bersepakan menggunakan hadits
hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits
hasan dapat dipergunakan hujjah, bila memnuhi sifat-sifat yang dapat diterima.
Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab sifat-sifat yang
dapat diterima itu , ada yang tinggi, menengah dan rendah. Hadits yang mempunyai
sifat dapat diterima yang tinggi dan menengah , adalah hadits shahis, sedangkan hadits
yang mempunyai sifat dapat diterima yang rendah adalah hadits hasan. Hadits-hadits
yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai hujjah, disebut hadits makbul
dan hadits yang tidak mempunyai sifat yang dapat diterima disebut hadits mardud.

C. Hadist Daif
Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan
tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi : “Hadist
yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist
Hasan.

‫َع ِن الَّنْض ِر ْبِن َشْيَباَن َقاَل َلِقيُت َأَبا َس َلَم َة ْبَن َع ْبِد الَّرْح َمِن َفُقْلُت َح ِّد ْثِني ِبَحِد يٍث َسِم ْعَتُه ِم ْن َأِبيَك‬
‫َيْذ ُك ُر ُه ِفي َشْهِر َر َم َض اَن َقاَل َنَعْم َح َّد َثِني َأِبي َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َذ َك َر َشْهَر َر َم َض اَن‬
‫َفَقاَل َش ْهٌر َكَتَب ُهَّللا َع َلْيُك ْم ِصَياَم ُه َو َس َنْنُت َلُك ْم ِقَياَم ُه َفَم ْن َص اَم ُه َو َقاَم ُه ِإيَم اًنا َو اْح ِتَس اًبا َخ َر َج ِم ْن‬
‫ُذ ُنوِبِه َك َيْو ِم َو َلَد ْتُه ُأُّم ُه‬

“Dari Nadhir bin Syaibân, ia mengatakan, ‘Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah
bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, ‘Ceritakanlah kepadaku
sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin
‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) tentang Ramadhân.’ Ia mengatakan, ‘Ya, bapakku
(maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) pernah menceritakan
kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut bulan
Ramadhân lalu bersabda, ‘Bulan yang Allâh Azza wa Jalla telah wajibkan atas kalian
puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa
yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan
ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya
sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya“. [HR Ibnu Mâjah, no. 1328 dan Ibnu
Khuzaimah, no. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaibân]

Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu layyinul hadîts (orang
yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar
rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga telah menilai hadits ini lemah dan beliau
rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang sah adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

D. Hadist Maudhu
Hadits Maudhu’, yaitu hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat yang
selanjutnya dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.Adapun ciri-ciri hadits maudhu’
dari segi matan dapat diketahuiapabila terdapat suatu kerancuan pada lafazh hadits
yang diriwayatkan, tidak dapat diterima akal, bertentangan dengan Nash,hadits
mutawatir, atau ijma’, kemudian hadits yang menyalahi fakta sejarah yang terjadi
pada masa Nabi Muhammad SAW,matan hadits mendukung mazhabnya sendiri,
suatu riwayatmengenai peristiwa besar yang telah terjadi dihadapan umum tetapi
hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja, dan hadits yangmenerangkan pahala
yang sangat besar terhadap perbuatan kecil,dan biasanya hadits-hadits ini terdapat
pada kisah-kisah.

Hadits tentang tafakkur ini merupakan salah satu contoh hadits maudhu.
Berikut haditsnya:

‫فكرة ساعة خير من عبادة ستين سنة‬

Fikroh sa’ah khoirun min ‘ibadati sittiina sanah."

Artinya: “Berfikir sesaat lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.”

Hadits ini maudhu’. Diriwayatkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab al-Maudhu’at dengan
sanad dari Utsman bin Abdullah al-Qurasyi dari ishaq bin Najih al-Multhi, dari atha’
Al-Khurasani dari Abu Hurairah. Ibnul Jauzi berkata, “Utsman dan gurunya adalah
pendusta.”

Sejarah dan Faktor-faktor Penyebab Pemalsuan Hadis Kebanyakan pakar hadis


menyatakan bahwa pemalsuan hadis berawal sejak masa pemerintahan Khalifah
'Alî bin Abî Thâlib ra, ketika terjadinya berbagai gelombang fitnah yang melanda
umat Islam sehingga mereka saling berselisih satu sama lain. Akan tetapi, melihat
beberapa informasi hadis sendiri, tersirat bahwa tindakan pemalsuan hadis sudah
terjadi sejak zaman Nabi Muhammad saw. sendiri.
Adapun sebab-sebab yang memotivasi terjadinya pemalsuan hadis adalah
sebagai berikut.
1. Keinginan mempertahankan kepentingan pribadi
2. Keinginan mendekatkan diri kepada para penguasa
3. Keinginan mencari pekerjaan
4. Keinginan menegakkan dan membela suatu pendapat.
5. Keinginan menarik simpati orang ke dalam perbuatan yang di tekuni, dan
6. Keinginan mendidik anak.

Hukum periwayatan hadis palsu diatur secara tersendiri dengan ketentuan


sebagai berikut:
1. Secara mutlak, meriwayatkan hadis palsu adalah haram, yaitu bagi mereka yang
sudah mengetahui secara jelas kepalsuannya.
2. Bagi mereka yang meriwayatkan hadis palsu dengan tujuan untuk memberitahu
orang bahwa hadis itu palsu, ini tidak berdosa, dan
3. Bagi mereka yang tidak tahu sama sekali bahwa suatu hadis palsu, maka mereka
tidak berdosa baik dalam hal meriwayatkan maupun mengamalkannya. Akan
tetapi sesudah mengetahui kepalsuannya, mereka harus menghentikan, jika tetap
mengamalkan dan tidak ditemukan jalur lain yang tidak palsu, maka hukumnya
haram.

Anda mungkin juga menyukai