Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang

Hadits adalah  sumber hukum islam kedua setelah al qur’an. Hadits merupakan segala tinkah
laku, ucapan, keteetapan nabi Muhammad saw.
Hadits dibagi menjadi dua, yakni berdasarkan kuantitas rawi  dan berdasarkan kualitas rawi.
Hadits berdasarkan kuantitas rawi dibagi menjadi dua, yakni hadits mutawattir dan hadits
ahad.
Sedangkan hadits berdasarkan kualitas rawi dibagi menjadi tiga, yakni hadits Shahih, hadits
Hasan, hadits Dha’if.
Pada makalah ini kami akan mencoba menjelaskan tentang hadits Hasan. Mengenai
pengertian, klasifikasi, dan kehujjahannya.

BAB II
PEMBAHASAN
HADITS HASAN
2.1. PENGERTIAN HADITS HASAN
Secara bahasa, hasan  bermakna al-jamal, yaitu bagus,[1] keindahan.[2]

‫س َومَتِْي ِل اِلَْي ِه‬ َ ‫َما تَ ْستَ ِهْي ِه‬


ِ ‫الن ْف‬
Sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.[3]
Sedangkan secara istilah, hadits hasan didefinisikan secara beragam oleh ahli Hadits, sebagai
berikut :
1.      Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
َّ ‫ فإ ن‬، ‫ بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل وال شا ذ هوالصحيح لذاته‬T‫َوخبراألحاد‬
‫خف الضبط فا‬
‫الحسن لذا ته‬.
Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabit-annya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syadz dinamakn shahih lidzatih. Jika kurang sedikit ke-
dhabit-annya disebut hasan lidzatih.[4]

‫ ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلل وال شا ذ‬.

Hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya,
tidak mengandung illat, dan tidak pula mengandung syadz.[5]
2.      Menurut Imam at-Tirmidzi
‫ من غير وجه نحو‬T‫ ال يكو ن فى إسنا ده من يّتّهم با لكذب وال يكو ن الحديث شا ّدا و يروى‬T‫كل حديث يروى‬
‫ذالك‬ .
Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya
tidak  terdapat keganjalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai
banyak jalan) yang sepadan dengannya.
Definisi hadits hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi hadits
yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib, sekalipun pada hakikatnya
berstatus hasan.  Tidak dapat dirimuskan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut
disyariatkan tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan periwayatan).
Meskipun demikian, melalui definisi ini at-Tirmidzi tidak bermaksud menyamakan hadits hasan
dengan hadits shahih, sebab justru at-Tirmidzilah yang mula-mula memunculkan istilah hadits hasan
ini.[6]
3.      Menurut At-Thibi
‫ من شدو ٍذ ا وال علة‬T‫ كال هما من غير وجه وسلم‬T‫ مسند من قرب من درجة الثقة أو مرسل ثقة وروي‬.
Hadits musnad ( muttasil dan marfu’ ) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau hadits
mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits itu terhindar
dari syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan).[7]
Dengan kata lain hadis hasan adalah :
‫ هو ما ا تصل سنده بنقل العدل الذى ق َّل ضبطه و خال من ال ّشذوذ والعلة‬.
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat. [8]
Dengan kata lain, syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut.
         Sanadnya bersambung
         Perawinya adil
         Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya dibawah ke-dhabit-an perawi hadits shohih
           Tidak terdapat kejanggalan (syadz)
         Tidak ada illat (cacat)[9]

B. Klasifikasi Hadits Hasan


1. Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hasan li dzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi
segala kriteria dan persyaratan yang ditentukan. [10]
Syarat untuk hadits hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadits shahih, kecuali bahwa perawinya
hanya termasuk kelompok keempat ( shaduq ) atau istilah lain yang setaraf atau sama dengan
tingkatan tersebut.[11]
Sebuah hadits dikategorikan sebagai hasan li dzatih karena jalur periwayatannya, hanya melalui satu
jalur periwayatan saja. Sementara hadits hasan pada umumnya, ada kemungkinan melalui jalur
riwayat yang lebih dari satu. Atau didukung dengan riwayat yang lainnya. Bila hadits hasan ini
jumlah jalur riwayatnya hanya satu, maka hadits hasan itu disebut dengan hadits  hasan li
dzatih. Tetapi jika jumlahnya banyak, maka ia akan saling menguatkan dan akan naik derajatnya
menjadi hadits shahih li ghairih.[12]

Contoh hadits hasan lidzatih :


ّ ‫ اال شعر‬T‫الضبعي عن ابي عمران الجو ن ّي عن ابي بكر بن ابي موسى‬
 ‫ى‬ ٌّ ‫حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليما ن‬
‫إن ابواب الجنّة تحت ظالل السيوف‬
ّ ‫ ة العد ِّو يقول قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬T‫قال سمعت أبي بحضر‬
“......dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, (berkata), saya mendengar ayahku ketika berada
dihadapan musuh berkata, Rasulullah saw. Bersabda: ‘sesungguhnya pintu-pintu surga berada
dibawah bayang-bayang pedang’.” (HR.al-Tirmidzi)
Menurut Mahmud al-Thalan, Hadits diatas berkualitas hasan, karena para rawinya
terpercaya (tsiqah), kecuali Ja’far bin Sulaiman al-Dhuba’iy. Karena itulah, Hadits tersebut tidak
mencapai hadits shahih. Terkait rawi yang satu ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
berkomentar :  ‫حسن‬ ‫الحديث‬  (hadits yang disampaikannya baik). Penilaian Ibnu Hajar ini menunjukkan
bahwa hadits itu berkualitas hasan.
2.      Hadits Hasan Li Ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah hadits-hadits dhaif yang tidak terlalu parah (kedhaifannya)
dan diriwayatkan dengan melalui beberapa jalur. Beberapa periwayatan hadits yang dhaif ini
kemudian saling menguatkan, dan akhirnya naik menjadi hasan. Sementara bila beberapa riwayat
hadits itu termasuk kategori dha’if yang berat, seperti hadits matruk, munkar, maudhu. Dan
sebagainya, maka hadits itu tidak bisa naik menjadi hasan li ghairih.[13]
Hadits dha’if bisa naik menjadi hadits hasan li ghairih dengan dua syarat, yaitu :
  Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang saling seimbang dan lebih kuat.
  Sebab kedha’ifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan sepert hapalan yang kurang
atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identiras perawi. [14]
Contoh hadits hasan li ghairih
Hadits tentang keutamaan malam nishfu sya’ban (tanggal 15 sya’ban). Hadits-hadits tentang
tema ini cukup banyak. Dalam hitungan Ali Mustafa Ya’qub, jumlah hadits-hadits tersebut tidak
kurang dari sembilan buah. Namun disini akan di kemukakan lima saja. Hadits-hadits tersebut adalah
:
Hadits riwayat Ali bin Abi Thalib
‫على الخاّل ل حدثنا عبد الرزاق انبأنا ابن ابي سبرة عن ابرا هيم بن محمد بن معا وية بن‬ ٍّ ‫حدثنا الحسن بن‬
‫ اذا كانت ليلة النصف من شعبان‬-  ‫م‬.‫ ل هللا ص‬T‫عب ِدهللا بن جعفر عن ابيه عن علي بن طا لب قال قال رسو‬
‫ فإن هللا ينزل فيها لغروب الشمس الى سماء الدنيا فيقول أال من مستغفر فأغفر‬. ‫فقو موا ليلها فصو موا يومها‬
)‫ (رواه ابن ما جه‬. ‫أال كذا أال كذا حتّى يطلع الفجر‬  ُ‫له أال مسترزق فأرزقه أال مبتلًى فأ ُ عا فِيَه‬
“....diriwayatkan dari Ali ra., beliau berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda : Apabila datang
malam nishfu sya’ban, maka shalatlah kalian pada malam itu dan puasalah besoknya ! karena Allah
akan turun ke langiy dunia (yang terdekat dengan bumi) seraya berkata : Adakah orang yang minta
ampun ? (bila ada)  maka Aku akan memberinya ampunan. Adkah orang yang meminta rizki ? (mala
bila ada), Ku akan beri rizki. Adakah yang sakit (yang meminta kesembuhan)? (maka bila ada), Aku
akan menyembuhkannya. Adakah yang meminta ini dan itu. Allah melakukan hal itu sejak terbenam
matahari sampai terbit fajar.”
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majjah. Dalam rangkaian sanadnya terdapat
seorang rawi yang bernama Ibn Abi Sabrah. Menurut imam Ahmad bin Hanbal, rawi ini adalah
seorang pendusta dan emalsu hadits. Imam al-Bukhari menambahkan, bahwa Ibn Abi Sabrah
adalah  ‫الحديثمنكر‬ (haditsnya munkar karena banyak berbuat maksiat). Sementara menurut imam al-
Nasa’i Ibn Abi Sabrah adalah matruk (dituduh pendusta ketika meriwayatkan hadits).
Dengan beberapa penilain dari ulama hadits diatas, maka bisa disimpulkan bahwa riwayatnya
berkualitas dhaif sekali, yaitu termasuk Hadits munkar dan matruk. Dengan demikian. Hadits diatas
tidak tidak bisa dijadikan dalil sama sekali.

Hadits Abu Musa al-Asy’ari


 ‫ّملي ح ّد ثنا الوليد عن ابن لهيعة عن الضّحا ك بن أيمن عن الضّحا ك‬
ُّ ‫ح ّد ثنا را شد بن سعيد بن راشد الر‬
ّ ّ ‫م قال‬.‫ هللا ص‬T‫عن رسول‬  ‫ي‬
‫إن هللا ليطل ُع في ليلة‬ ّ ‫ب عن ابي موسى األ شعر‬ ٍ ‫بن عبد الرّحمن بن عر ز‬
ٍ ‫النصف من شعبا ن فيغفر لجميع خلقه إاّل لمشرك أو مشا‬
‫حن‬
“Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra., dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda : ‘pada malam
nishfu Sya’ban, Allah akan melihat semua makhluk-Nya, kemudian mengampuni mereka kecuali
yang musyrik (menyekutukan Allah) dan orang yang memusuhi orang lain’.”
Dalam rangkaian sanad Hadits riwayat Abu Musa al-Asy’ari di atas, menurut Imam al-
Bushairi dalam kitab al-Zawa’id, ada seorang rawi yang dinilai dha’if, yaitu Ibn Lahi’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal dari Abdullah bin Amr ra.. menurut
Imam al-Mundziri, sanad hadits ini kualitasnya ‫ليّن‬  (lunak Haditsnya), yang menunjukkan lemah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, dari Katsir bin Murrah. Menurut Imam al-
Baihaqi sendiri, sanad Hadits ini nilai mursal jayyid (mursal yang baik).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dari Aisyaj ra.. Sanad Hadits ini munqathi
(terputus).
Dari beberapa penilaian para Ulama hadits diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa hadits
riwayat Ali bin Abi Thalib pada nomor satu termasuk kategori Hadits dha’if kelas berat, yaitu
munkar dan matruk. Sekali lagi, riwayat hadits ini tidak bisa dijadikan dalil dalam hukum. Sementara
empat riwayat selainnya, memang termasuk kategori dha’if, hanya saja tidak termasuk kedalam kelas
berat. Karenanya ia bisa saling menguatkan antara yang satu dengan lainnya, sehingga naik
derajatnya menjadi hadits hasan li ghairihi. Dan hadits ini bisa dijadikan dalil dalam hukum islam. [15]

C. ISTILAH-ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM HADITS HASAN


a.       Diantar gelar ta’dil para perawi ysng digunakan dalam hadits maqbul atau hasan sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah :
‫المعروف‬                    : Orang yang dikenal / orang baik
‫المحفوظ‬                        : Terpelihara
ُ‫ال ُمج َّو د‬                       : Orang baik
‫الثّابت‬                           : Orang yang teguh/ kuat
ُّ‫القَ ِوى‬                          : Orang kuat
ُ‫ال ُمشبَّه‬                           : Serupa dengan Shahih
‫ الجيِّد‬/ ‫الصّلح‬                : Orang baik / bagus
Sebagian ulama mempersamakan dalam gelar ta’dil para perawi hadits dalam kitab al-Jayyid
= bagus antara shahih dan hasan, sebagia ulama laim berpendsapat bahwa sekaligus gelar
aljayyid  dengan makna shahih, tetapi pars muhsditsin senior tidak pindah dalam menilai shahih
menjadi al-jyyid tersebut kecuali ada tujuan tertentu. Misalnya naiknya hadits hasan lidzaih dan ragu
mencapai derajat shahih, berarti tingkat hadits gelar al-jayyid ini dibawah shahih, demikian juga
gelar al-qowi.
Gelar ta’dil as-Shahih berlaku bagi shahih dan hasan karena keduanya layak dijadikan hujjah
dan berlaku bagi hadits dha’if yang patut dalam penelitian pencarian sanad lain. Gelar al-ma’ruf
lawan dari al-munkar, al-Mahfudz lawan dari asy-syadzdz, al-Mujawwad dab ats-Tsabit berlaku
untuk shahih dan hasan, dan bagi hasan serta yang mendekatinya, al-musyabbah terhadap haidt hasan
bagaikan a-ljayyid terhadap hadits shahih.
b.      Perkataan mereka muhadditsin  ‫حسن اإلسنا د‬ ‫هذا حديث‬ = ini hadits hasan sanadnya. Maknanya hadits
ini hanya hasan sanad-nya saja sedang matan-nya perlu penelitian lebih lanjut. Mukharrij hadits
tersebut tidak menanggung kehasanan matan mungkin ada syadzdz atau illat.berararti ada
kesempatan luas bagi para peneliti belakangna untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang atan
hadits tersebut apakah matannya juga hasan atau tidak.
c.       Ungkapan at-Tirmidzi dan yang lain : ‫حديث حسن صحيح‬  = ini hadits hasan shahih. Makna ungkapan
ini ada beberapa pendapat, diantaranya :
1.      Haddits tersebut memiliki dua sanad, yang shahih dan hasan.
2.      Terjadi perbedaab dalam penilaian hadits sebagian berpendapat shahih dan golongan lain
berpendapat hasan.
3.      Atau dinilai hasan li dzatih dan hasan li ghairih.

D. KEHUJJAHAN HADITS HASAN


Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah haidts shahih. Semua
fuqaha, sebagian muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang
yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian
muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukannya ke dalam
hadits shahih, sepert al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah. [16]
Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan sebagi
hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan
peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menngah, dan
rendah. Hadits yang sifat dapat diterima tinggi dan menengah adalah hadits shahih, sedangkan hadits
yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadits hasan.
Hadits-hadits yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadits maqbul, dan
hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits mardud.
Yang termasuk hadits maqbul  adalah :
1.      Hadits shahih, baik shahih li dzatihi maupun shahih li ghairih
2.      Hadits hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih.
Yang termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dha’if. Hadits mardud tidak dapat
diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya. [17]
E. KITAB-KITAB YANG MENGANDUNG HADITS HASAN
1.      Jami’ At-Tirmidzi
2.      Sunan Abu Dawud
3.      Sunan ad-Daruquthni

BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.
Hadits hasan dibagi menjadi :
1.      Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hasan li dzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi
segala kriteria dan persyaratan yang ditentukan.
2.      Hadits Hasan Li Ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah hadits-hadits dhaif yang tidak terlalu parah (kedhaifannya)
dan diriwayatkan dengan melalui beberapa jalur. Beberapa periwayatan hadits yang dhaif ini
kemudian saling menguatkan, dan akhirnya naik menjadi hasan. Sementara bila beberapa
riwayat hadits itu termasuk kategori dha’if yang berat, seperti hadits matruk, munkar, maudhu.
Dan sebagainya, maka hadits itu tidak bisa naik menjadi hasan li ghairih.
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah haidts shahih. Semua
fuqaha, sebagian muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan
orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan
sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukannya ke dalam hadits shahih, sepert al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan sebagi
hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima.

DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i,Zuhdi.2008. Mengenal Imlu Hadits.Jakarta: al-Ghuraba.
Majid Khon,Abdul.2009. Ulumul Hadits.Jakarta: Amzah.
Sahrani,Sohari.2002. Ulumul Hadits.Bogor: Ghalia Indonesia.
Idri. 2010.Studi Hadits.Jakarta: Kencana.
Solahudin,Agus dan Agus Suyadi.2009. Ulumul Hadits.Bandung: Pustaka Setia.
Mudasir, 1999, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia.
Ismail, Syuhudi. 1987, Ilmu Hadits, Bandung: Penerbit Angkasa.
Al-Qaththan, Manna’. 2004, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

[1] Zuhdi Rifa’i, Mengenal Imlu Hadits, cet-1, (Jakarta: al-Ghuraba,2008)hlm 161


[2]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet-3(Jakarta: Amzah,2009) hlm 159
[3] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, cet-1 (Bogor: Ghalia Indonesia,2002) hlm 114
[4] Abdul Majid Khon, Loc. Cit
[5]Idri, Studi Hadits, cet-1, (Jakarta: Kencana,2010) hlm159
[6] Sohari Sahrani, Loc. Cit
[7] Sohari Sahrani, Ibid hlm 115
[8] Abdul Majid Khon, Loc. CIt
[9][9] Sohari Sahrani, Ibid hlm 116
[10][10] Abdul Majid Khon, Ibid hlm 161
[11][11] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, cet-1 (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm
146
[12][12] Zuhdi Rifa’i, Ibid  hlm 167
[13][13] Ibid hlm 166-167
[14][14] Abdul Majid Khon, Ibid hlm 161
[15] Zuhdi Rifa’i, Ibid  hlm 167-170
[16][16] Abdul Majid Khon,Ibid hlm 161
[17][17] Agus Solahuddin dan agus Suyadi, Ibid hlm 147

Anda mungkin juga menyukai