1. Definisi
a. menurut bahasa: merupakan sifat musyabbahah dari kata ( الحسنal-husnu), yang berarti al-
jamal (bagus).
b. Menurut istilah: para ulama memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai hadits hasan,
karena melihat bahwa hadits hasan itu berada di tengah-tengah, yaitu antara hadits shahih
dan hadits dlaif, ditambah lagi sebagian ulama-ulama itu mendefinisikannya dengan
mencakup salah satu dari dua kategori tersebut.
3. Adapun definisi yang paling tepat bagi hadits hasan: berpijak pada definisi Ibnu Hajar:
yaitu
خف ضبطه عن مثله أىل منتهاه من غري شذوذ والعلة
ّ احلديث احلسن هو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي
hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang derajat
kedlabitannya lebih ringan dari orang yang serupa hingga akhirnya, tidak ada syadz maupun
‘ilat.
4. Hukum hadits hasan: sebagaimana hadits shahih bisa dijadikan sebagai hujjah (argumen),
meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan
mengamalkannya, begitu pula sebagian besar para ulama ahli hadits dan ulama ushul, kecuali
mereka dari para ulama yang beraliran keras. Sebagian ulama yang lebih longgar
mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan
hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumnya. Mereka itu seperti al-Hakim, Ibnu Hibban
dan Ibnu Khuzaimah.
7. Kualitas ucapan mereka dari ahli hadits حديث صحيح االسنادatau حسن االسناد:
Pernyataan ahli hadits: “Hadits ini shahih isnad” berbeda (maknanya) dengan pernyataan “ini hadits
shahih.” Begitu pula halnya dengan pernyataan mereka: “Hadits ini hasan isnad” berbeda
(maknanya) dengan pernyataan “Ini hadits hasan”. Pernyataan (hadits ini shahih isnad atau hadits
ini hasan isnad) karena sanadnya memang shahih atau hasan tanpa memperhatikan matan, syudzudz
maupun adanya ‘ilat. Apabila seorang ahli hadits mengatakan: “Hadits ini shahih” itu berarti hadits
itu telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yang lima. Lain lagi jika ia menyatakan: “Hadits ini
shahih isnad” itu berarti hadits itu memenuhi tiga syarat keshahihan saja, yaitu sanadnya
bersambung, rawinya adil dan dlabith. Adapun tidak adanya syudzudz dan ‘ilat, berarti hadits
tersebut tidak bisa memenuhinya. Karena itu tidak bisa ditetapkan sebagai hadits shahih atau hasan.
Meski demikian, apabila seorang hafidh mu’tamad (dalam hadits) meringkas pernyataannya
dengan : “Hadits ini shahih isnad” sementara ia tidak menyebutkan adanya ‘ilat, maka berarti
matannya juga shahih. Sebab, pada dasarnya hadist tersebut tidak memiliki ‘ilat maupun syudzudz.
Jadi, seakan-akan orang yang mengatakan hal itu menunjukkan adanya perbedaan di kalangan para
ulama mengenai status (hukum) hadits tersebut, atau tidak memperkuat status (hukum) hadits
tersebut (apakah shahih ataukah hasan).