Anda di halaman 1dari 5

Nama : Desi Rajisma

NIM : 2011020014

Kelas : 1SPI-A

Matkul : Al-Qur'an dan Hadits

Bismillahirrahmanirrahim

1. Mustafidh

Menurut bahasa kata mustafidh berbentuk isim fail dari kata istafadha, kata pecahan dari fadha yang
artinya sesuatu yang tersebar. Menurut istilah, definisi hadis mustafidh ada 3 pendapat: pertama, hadis
mustafidh searti dengan hadis masyhur. Kedua, mustafidh lebih khusus daripda masyhur, karena bagi
mustafidh disyaratkan jumlah perawi pada ujung sanadnya sama, yakni pada awal dan akhir sanad
terdiri dari tiga perawi, sedang mashur tidak. Ketiga, kebalikan pendapat kedua.

Ulama yang membedakan hadis mustafidh dengan masyhhur ini, mendefinisikan hadis mustafidh
sebagai berikut:

‫ما يكون من ابتداءه وانتهائه سواء ال ينقص من ثالثة‬

“Mustafidh adalah khabar yang dari permulaannya sampai kesudahannya bersamaan tidak kurang dari 3
orang”, Sedang hadis masyhur lebih umum dari itu. Ulama lain, Ibn Al-Hajib berkata:

‫ما زاد نقلته على ثالثة‬

“hadis mustafidh adalah hadis yang penukilannya lebih dari 3 orang”

Bahkan Ash-shairafi menjelaskan bahwa hadis mustafidh semakna dengan hadis mutawatir.

Hadits mustafidl lebih spesifik dari hadits masyhur, karena pada hadits mustafidl disyaratkan pada kedua
ujung sanadnya harus sama, sedangkan pada hadits masyhur hal itu tidak disyaratkan.

Hadits mustafidl lebih umum dari hadits masyhur, yaitu berlawanan dengan pendapat kedua.
2. Hasan Shahih

“Jika digabungkan (shahih dan Hasan), maka terjadi perbedaan dari orang yang menukilnya, yang mana
hal tersebut apakah satu kesatun (Hasan dan shahih) atau memiliki 2 sanad (Hasan atau Shahih).

Ta’liq :

Imam Tirmidzi dalam kitab sunannya, sering menggunakan istilah “hadits Hasan Shahih”. Al Hafidz Ibnu
Hajar menjelaskan bahwa maksud perkataan Imam Tirmidzi ada 2 yakni :

1. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa pada hadits tersebut terdapat 2 jenis jalan yaitu jenis
yang pertama, haditsnya Hasan dan jenis yang kedua, haditsnya shahih. Sehingga seolah-olah Imam
Tirmidzi berkata haditsnya Hasan dan shahih. Namun terdapat sedikit isykal padanya, ketika diketahui
bahwa hadits shahih adalah tingkatan yang paling tinggi, maka labih elok kalau dikatakan hadits shahih
hasan, namun kenyataannya terbalik. Berdasarkan keterangan ini maka kedudukannya diatas hadits
yang sekedar dikatakan shahih saja.

2. Maksudnya adalah terjadi perselisihan didalam penilaian ulama terhadap perowinya, apakah ia
perowi shahih atau perowi hasan, sehingga seolah-olah Imam Tirmidzi berkata : ‘hadits hasan atau
shahih’. Berdasarkan keterangan ini maka kedudukannya seolah-olah diatas hadits hasan, namun
dibawah hadits shahih.

Ada sebagian ulama lagi yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah :

Hasan (bagus) dari segi isinya dan shahih ditinjau dari segi sanadnya. Namun penafsiran ini juga masih
menyisakan isykal, yaitu terkadang isi haditsnya adalah perkara neraka jahanam, hudud dan semisalnya,
sehingga sangat rancu kalau dikatakan hasan matannya (isinya).

3. Majhul Haal

Majhul Hal (Majhul ‘Adalah) ini terbagi menjadi dua, yaitu:

Majhul Hal (Majhul ‘Adalah) Dhahir dan Bathin. Yaitu seorang rawi yang tidak dikenal keadilannya, baik
dhahir maupun bathin, dan tidak pula disebutkan tentang cacat dan terpercayanya. Rawi yang
mempunyai catatan pribadi yang sedemikian itu, menurut Imam Al-Khatib dan Imam Al-Nawawi serta
mayoritas ulama, riwayatnya tidak dapat diterima.

Majhul Hal (Majhul ‘Adalah) Bathin, atau yang terkenal dengan sebutan ‘Adil Bathin, atau disebut Hadits
Mastur. Yaitu seorang rawi yang telah menjadi marfu’ ‘ain oleh karena adanya riwayat satu orang atau
lebih, sebagaimana tersebut di atas, dan rawi itu telah jelas cacat atau terpercayanya. Rawi yang
memiliki catatan pribadi yang demikian itu, menurut kebanyakan ahli tahqiq hadits, riwayatnva tidak
bisa dijadikan hujjah. Pendapat ini dikuatkan oleh Sulaim bin Ayub Al-Faqih dan sejalan pula dengan
pendapat Ibnu Al-Shalah.

Contoh hadis Majhul hal; Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra, (8/232)
dengan jalan dari

ِ ‫ْض قَوْ ِم ِه َأ َّن َعلِيًّا َر‬


‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َر َج َم لُوْ ِطيًّا‬ ِ ‫اس ِم ْب ِن ْال َولِ ْي ِد ع َْن بَع‬
ِ َ‫ك َع ِن ْالق‬
ٍ ‫َر ْي‬
ِ ‫ش‬

Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin Madzkur, bahwasan-nya Ali merajam orang
homoseksual Yazid bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.

4. Dajjaal

Lafazh ad-Dajjal diambil dari perkataan orang Arab ( ‫ د ََج َل ْالبَ ِعي َْر‬dajala al-ba‘īr), maknanya adalah dicat
dengan tertutupi dan menutupi dengannya. Makna asal dari kata ( ‫ َّد َج ُل‬:::‫ )ال‬ad-Dajalu adalah
َ ِ‫ ”د ََج َل ِإ َذا لَب‬maknanya adalah merancukan dan mengaduk-aduk.
mencampuradukkan, dikatakan “ َ‫س َو َم َّوه‬

Jadi, Dajjal adalah orang yang merancukan, pendusta dan yang diberikan sesuatu yang luar biasa. Kata
tersebut termasuk bentuk mubaalaghah (melebihkan) dengan wazan ( ‫)فَعَّا ٌل‬, jadi maknanya adalah
banyaknya kebohongan juga kerancuan darinya. Bentuk jamaknya ( َ‫) َدجَّالُوْ ن‬, sementara Imam Malik
menjamakkannya dengan kata ( ُ‫) َد َجا َجلَة‬, dan termasuk jama’ taksir.

Kemudian kata Dajjal menjadi kosakata Arab yang lazim digunakan untuk istilah "nabi palsu". Namun
istilah Ad-Dajjal, merujuk pada sosok "Penyamar" atau "Pembohong" yang muncul menjelang kiamat.
Istilahnya adalah Al-Masih Ad-Dajjal (Bahasa Arab untuk "Al Masih Palsu") adalah terjemahan dari istilah
Syria Meshiha Deghala yang telah menjadi kosakata umum dari Timur Tengah selama lebih dari 400
tahun sebelum Al-Quran diturunkan. Penjelasan ini telah disampaikan oleh Muhammad tentang akan
adanya kedatangan Dajal dan para nabi sebelum Muhammad telah mengingatkan kepada kaumnya akan
kedatangannya.

Keluarnya Dajjal merupakan di antara tanda datangnya kiamat. Fitnah (cobaan) yang ditimbulkan oleh
Dajjal adalah seberat-beratanya ujian yang akan dihadapi manusia.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan,

‫ق َأ ْكبَ ُر ِمنَ ال َّدجَّا ِل‬


ٌ ‫ق آ َد َم ِإلَى قِيَ ِام السَّا َع ِة َخ ْل‬
ِ ‫َما بَ ْينَ َخ ْل‬

“Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya
(cobaannya) lebih besar dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946) An Nawawi rahimahullah menerangkan,
“Yang dimaksud di sini adalah tidak ada fitnah dan masalah yang lebih besar daripada fitnah Dajjal.”

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di
hadapan manusia lalu memuji Allah karena memang Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian
kemudian beliau menceritakan Dajjal. Beliau bersabda,

َ :‫ونَ َأنَّهُ َأ ْع‬::‫ تَ ْعلَ ُم‬، ‫ ِه‬:‫هُ نَبِ ٌّى لِقَوْ ِم‬:‫ َولَ ِكنِّى َأقُو ُل لَ ُك ْم فِي ِه قَوْ الً لَ ْم يَقُ ْل‬، ُ‫ لَقَ ْد َأ ْن َذ َر نُو ٌح قَوْ َمه‬، ُ‫ َو َما ِم ْن نَبِ ٍّى ِإالَّ َأ ْن َذ َرهُ قَوْ َمه‬، ُ‫ِإنِّى ُأل ْن ِذ ُر ُك ُموه‬
َ ‫ َوَأ َّن هَّللا‬، ‫و ُر‬:
‫ْس بَِأ ْع َو َر‬ َ ‫لَي‬

“Aku akan menceritakannya kepada kalian dan tidak ada seorang Nabi pun melainkan telah
menceritakan tentang Dajjal kepada kaumnya. Sungguh Nabi Nuh ‘alaihis salam telah mengingatkan
kaumnya. Akan tetapi aku katakan kepada kalian tentangnya yang tidak pernah dikatakan oleh seorang
Nabi pun kepada kaumnya, yaitu Dajjal itu buta sebelah matanya sedangkan Allah sama sekali tidaklah
buta“. (HR. Bukhari no. 3337 dan Muslim no. 169)

Dari Anas, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوِإ َّن بَ ْينَ َع ْينَ ْي ِه َم ْكتُوبٌ كَافِ ٌر‬، ‫ْس بَِأ ْع َو َر‬ َ ‫ث نَبِ ٌّى ِإالَّ َأ ْن َذ َر ُأ َّمتَهُ اَأل ْع َو َر ْال َك َّذ‬
َ ‫ َوِإ َّن َربَّ ُك ْم لَي‬، ‫ َأالَ ِإنَّهُ َأ ْع َو ُر‬، ‫اب‬ َ ‫َما ب ُِع‬

“Tidaklah seorang Nabi pun diutus selain telah memperingatkan kaumnya terhadap yang buta sebelah
lagi pendusta. Ketahuilah bahwasanya dajjal itu buta sebelah, sedangkan Rabb kalian tidak buta sebelah.
Tertulis di antara kedua matanya “KAAFIR”.” (HR. Bukhari no. 7131)

Dalam sebuah hadits shahih, dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ذر أمته‬:::‫دجال و إن هللا عز و جل لم يبعث نبيا إال ح‬:::‫اس ! إنها لم تكن فتنة على وجه األرض منذ ذرأ هللا ذرية آدم أعظم من فتنة ال‬:::‫يا أيها الن‬
‫الدجال و أنا آخر األنبياء و أنتم آخر األمم و هو خارج فيكم ال محالة‬

“Wahai sekalian manusia, sungguh tidak ada fitnah yang lebih besar dari fitnah Dajjal di muka bumi ini
semenjak Allah menciptakan anak cucu Adam. Tidak ada satu Nabi pun yang diutus oleh Allah melainkan
ia akan memperingatkan kepada umatnya mengenai fitnah Dajjal. Sedangkan Aku adalah Nabi yang
paling terakhir dan kalian juga ummat yang paling terakhir, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
Dajjal akan muncul di tengah-tengah kalian.” (Dikeluarkan dalam Shahih Al Jaami’ Ash Shoghir no.
13833. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

5. Shaduq Insya Allah

Shaduq adalah perawi yang jujur dan dapat dipercaya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau
keseluruhan perawi pada rantai sanad. Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi
adalah dengan memberikan ujian

Setiap lafal yang menunjukkan derajat rawi, dengan mempergunakan suatu lafal dengan lafal tersebut di
atas kemudian diiringi kata-kta yang tidak menunjukkan keteguhan lafal-lafal itu. Malahan hanya
merupakan pengharap saja dari kejujuran dan keteguhan rawi itu. Lafal tersebut ialah: Shaduq Insya
Allah, Laisa bi Ba’idin min al-Shawab, Shuwailah,Maqbul.

Anda mungkin juga menyukai