Anda di halaman 1dari 39

Mengenal Aqidah

Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah
Prinsip-prinsip Aqidah
Karakteristik Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Asal Muasal Istilah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 106:


‫َي ْو َم َت ْب َي ُّض ُو ُج وٌه َو َت ْس َو ُّد ُو ُج وٌه‬
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka
yang hitam muram... ” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
‫َت ْب َي ُّض ُو ُج ْو ُه َأ ْه ُّس َّن َو ْل َج َم َع َو َت ْس َو ُّد ُو ُج ْو ُه َأ ْه ْل ْد َع َو ْل ُف ْر َق‬
‫ِل ا ِب ِة ا ِة‬ ، ‫ِل ال ِة ا ا ِة‬
“Putih berseri wajah Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan hitam muram wajah
ahli bid’ah dan kelompok yang memisahkan diri (dari jama’ah kaum
muslimin, pen.)”
(Imam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkamil Quran, 4/167. Tafsir Ibnu Abi Hatim, 3/124. Imam Al Baghawi, Ma’alimut Tanzil, 2/87. Imam
Asy Syaukani, Fathul Qadir, 2/10. Imam Ibnul Jauzi, Zaadul Masir, 1/393. Imam As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 2/407)
Imam Muhammad bin Sirin radhiallahu ‘anhu menyebut
nama “Ahlus Sunnah”, dan ini merupakan riwayat yang lebih
valid dibanding sebelumnya.
‫َح َّد َث َن ا َأ ُب و َج ْع َف ُم َح َّم ُد ْب ُن الَّص َّب ا َح َّد َث َن ا ْس َم ِع يُل ْب ُن َز َك َّي اَء‬
‫َع ْن َع ا اَأْلْح ٍرَو َع ْن اْب ي يَنِح َق اَل َل ْم ِإَي ُك وُن وا َي ْس َأ ُل وَن ِرَع ْن‬
‫ْس َن ِص َفٍم َل َّم َو َق َعِل ْت ْل ْتَنِنُة َقِس ُلِر َس ُّم َل َن َج َل ُك ْم َف ُي ْن َظ ُر َل‬
‫ِإ ى‬ ‫ا‬ ‫ِر‬ ‫ا‬ ‫َأ‬ ‫وا‬ ‫وا‬ ‫ا‬ ‫ِف‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ِد‬ ‫ا‬ ‫ِإْل‬
‫َأ‬ ‫ا‬
‫ْه ُّس َّن َف ُي ْؤ َخ ُذ َح ُث ُه ْم َو ُي ْن َظ ُر َل ْه ْل َد َف اَل ُي ْؤ َخ ُذ‬
‫ِد ي َح ُث ُه ْم ِإ ى ِل ا ِب ِع‬ ‫ِل ال ِة‬
‫ِد ي‬
Berkata kepada kami Ja’far Muhammad bin Shabbah,
berkata kepada kami Ismail bin Zakariya, dari ‘Ashim, dari
Ibnu Sirin, katanya: Dahulu mereka tidak pernah
menanyakan tentang isnad. Ketika terjadi fitnah mereka
mengatakan: “Sebutlah nama periwayat kalian kepada
kami, maka jika dilihat dari Ahli Sunnah maka diambil
hadits mereka, dan jika dilihat dari Ahli Bid’ah maka jangan
ambil hadits darinya.”
(Shahih Muslim, Bab Bayan Annal Isnaad minad Diin)
Definisi Ahlus
Sunnah wal
Jama’ah
Berkata Syaikh Muhammad Khalil
Hiras:
‫ْيَه‬ ‫َّط َق ُة َّل َك َن َع َل‬ ‫َّن‬ ‫ُّس‬ ‫ُد‬ ‫َر‬ ‫َو ُمْل‬
‫ا‬ ‫ ال ي ا ي ا‬: ‫ا ا ال‬
‫َر ُس وُل الَّلِب َص َّل ِةى الَّل ُه ِرَع َل ْي َو ِتَس َّل َم َو َأ َص ْح اُب ُه‬
‫َق ِهْب َل ُظ ُه ْل َد ِه َو َمْلَق اَل‬
‫وِر ا ِب ِع ا ا ِت‬
Maksud dari As Sunnah adalah
jalan yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya ada di atasnya,
sebelum nampaknya bid’ah dan
perkataan-perkataan menyimpang.
‫ اْل َق ْو ُم‬: ‫َو اْل َج َم اَع ُة ي اَأْلْص‬
‫ُمْلْج َت ُع َن َوِف ُمْلَر ُد ِلْم ُه َن َس َل ُف‬
‫ ا ا ِب ِه ا‬، ‫ا ِمُأْل و‬
، ‫َه َّلِذ ِه ا َّم ِة ِم َن الَّصَل َح اَبْلِة َو الَّت اِب ِع يَن‬
‫ا ِذ يَن اْج َت َم ُع وا َع َلى ا َح ِّق الَّص ِر ِحي‬
‫ُس‬ ‫َر‬ ‫َّن‬ ‫ُس‬ ‫َو‬ ‫َع‬ ‫َّل َت‬ ‫َت‬ ‫ْن‬
‫و‬
‫ِة َّل ِل ِه‬ ‫ى‬ ‫َل‬ ‫ا‬ ‫ال‬ ‫ا‬
‫ِم ِك ِب َّل ِه‬
‫َم‬ ‫َس‬ ‫َو‬ ‫َع‬ ‫ُه‬
‫ َص ى ال ْي‬. ‫َّل‬
‫ِه‬
“Sedangkan Al Jama’ah pada
asalnya, bermakna: Kaum yang
berkumpul, tetapi yang dimaksud
di sini adalah pendahulu umat ini
dari kalangan sahabat, tabi’in,
dan orang-orang yang berkumpul
di atas kebenaran yang jelas dari
Kitabullah dan Sunnah RasulNya
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
(Syaikh Muhammad Khalil Hiras, Syarh Al
‘Aqidah Al Wasithiyyah, Hal. 26)
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu tentang makna Al-Jama’ah:
‫ َو ن ُك ْنَت َو ْح َد َك‬، ‫الَج َم اَع ُة َم ا َو اَف َق اَل َح ّق‬
‫ِإ‬
“Al Jama’ah adalah apa-apa yang bersesuaian dengan kebenaran, walau
pun kau seorang diri.”
(Syaikh Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsari, Al Wajiz fi ‘Aqidah As Salaf Ash Shalih, Hal. 25)
Nama-nama Lain Ahlus Sunnah

Al-Firqatun Najiyah (Golongan yang Selamat)


Dari ‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
‫الَّن َص اَر ى َع َل ى ْن َت ْي‬ ‫اْف َت َر َق ْت اْل َي ُه وُد َع َل ى ْح َد ى َو َس ْب يَن ْر َق ًة َف َو ا َد ٌة ي اْل َج َّن َو َس ْبُع وَن ي الَّن ا َو اْف َت َر َق ْت‬
‫َل َتْف َت َق َّن ُأ ِثَع َل ِن‬ ‫ِة‬ ‫ِح‬ ‫ِع ِف‬
‫َو َس ْب يَن ْر َق ًة َف ِإْح َد ى َو َس ْبُع وَن ي الَّن ا َو َو ا َد ٌة ِف ي اْل َج َّن َو اَّل ي َن ْفِف ُس ُم ِرَح َّم ٍد َي‬
‫ِر ْلَّم ِت ي ى‬ ‫ِد‬ ‫ِة ِذ‬ ‫َث اَل ِع َو َس ِف َن ِإ َق ًة َو َد ٌة ْل ِفَج َّن َو ْنِر َت ِحَو َس ِف‬
‫ُه ْم َق َل َج َم َع ُة‬
‫ا ا ا‬ ‫ْبُع وَن ي الَّن ا يَل َي ا َر ُس وَل الَّل ِب َم ِهْن‬ ‫ٍث ْب ِع ي ِف ْر‬
‫ِه‬ ‫ِر ِق‬ ‫ِف‬ ‫اِح ِف ي ا ِة ِث اِن‬
“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu di surga, yang 70 di neraka. Nasrani terpecah
menjadi 72 golongan, satu di surga, 71 di neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di
tanganNya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu di surga, 72 di neraka.”
Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau menjawab: Al Jama’ah.” (HR.
Ibnu Majah)
At-Thaifatul Manshurah (Kelompok yang Ditolong)
Dari Tsauban Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
‫اَل َت َز اُل َط ا َف ٌة ْن ُأ َّم ي َظ ا يَن َع َل ى اْل َح اَل َي ُض ُّر ُه ْم َم ْن َخ َذ َل ُه ْم َح َّت ى َي ْأ َي َأ ْم ُر الَّل َو ُه ْم َك َذ َك‬
‫ِل‬ ‫ِه‬ ‫ِت‬ ‫ِّق‬ ‫ِئ ِم ِت ِه ِر‬
“Ada sekelompok umatku yang senantiasa di atas kebenaran, tidaklah
memudharatkan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka, sampai
Allah datangkan urusannya (kiamat), dan mereka tetap demikian.”
(HR. Muslim No. 1920)
Sawadul A’dzam (Kelompok Mayoritas)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
‫اَل َيْج َم ُع َّل ُه َه ُأْلَّم َة َع َل َّض اَل َل َأ َب ًد َو َق َل َي ُد َّل َع َل ْل َج َم َع َف َّت ُع َّس َو َد َأْلْع َظ َم َف َّنُه َم ْن َش َّذ َش َّذ‬
‫ ِإ‬، ‫ « ال ِه ى ا ا ِة ا ِب وا ال ا ا‬: ‫ى ال ِة ا» ا‬
‫ي ال اَّن‬
‫ال ِذ ِه ا‬
‫ِر‬ ‫ِف‬
“Tidaklah Allah kumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya.” Dan
beliau juga bersabda: “Tangan Allah atas jamaah, maka ikutilah As
Sawadul A’zham, maka barangsiapa yang menyempal, maka dia
menyempal ke neraka.”
(HR. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 391)
As-Salafiyyah
Istilah ini diinspirasikan dari hadits Aisyah Radhiallahu
‘Anha berikut, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda kepadanya:
‫َو ْع َم َّس َل ُف َأ َن َل‬
‫ا ِك‬ ‫ِن ال‬
“Aku adalah sebaik-baiknya salaf (pendahulu) bagimu.”
(HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Anjuran Mengikuti
Ahlus Sunnah
‫ُأ ُك ْم َتْق َو ى َّل َو َّس ْم َو َّط َع َو ْن َع ْب ًد َح َب ًّي َف َّنُه َم ْن َي ْش ْن ُك ْم َب ْع َف َس َي َر ى ْخ َالًف‬
‫ا ِت ا‬ ‫ِع ِم َل ِد ى‬ ‫ِإ‬ ‫ا ِش ا‬ ‫ِإ‬ ‫ِة‬ ‫ال ِه ال ِع ْل َلال ا‬ ‫ِب‬ ‫َل‬ ‫وِص ي‬
‫َك يًر ا َف َع ْي ُك ْم ُس َّن ى َو ُس َّن ا ُخ َف اِء اَمْلْه ِد يَن الَّر ا ِد يَن َت َم َّس ُك وا َه ا َو َع ُّض وا َع ْيَه ا الَّن َو ا ِذ َو َّي اُك ْم‬
‫ِب ِت َو ُم ْح َد ِةَث ُألُم َف َّن ِّي ُك ُم ْحِشَد َث ْد َع ٌة َو ُك ِب ْد َع َض َال َل ٌة ِب ِج ِإ‬ ‫ِث‬
‫َّل ِب ٍة‬ ‫ِب‬ ‫ٍة‬ ‫َّل‬
‫اِت ا وِر ِإ‬
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada
pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena
barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan
yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur
Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia
dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap
perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”
(HR. At Tirmidzi no. 2676)
Contoh Kelompok yang Menyimpang

Syi’ah Khawarij Haruriyah


• Ghuluw (berlebih- • Mengkafirkan orang • Pelaku dosa besar
lebihan) dalam yang berada di luar adalah kafir dan halal
memuliakan Ali kelompoknya. darahnya.
radhiallahu ‘anhu dan • Bersemangat dan keras • Mereka mengatakan
Ahlul Bait. dalam beragama tapi bahwa Allah tidak
• Mengkafirkan orang- minim ilmu. memiliki nama dan sifat,
orang yang berselisih sebab jika memiliki
dengan Ali keduanya, maka Allah
• Ali dan para Imam sama dengan makhluq.
Ma’shum.
Mu’tazilah Murji’ah
• Orang yang berdosa besar itu berada di • Iman itu hanyalah dibenarkan di hati dan
manzilah baina al manzilatain lisan saja, tanpa memasukkan amalan.
• Pelaku dosa besar masuk ke neraka kekal • Para pelaku dosa besar imannya tetap
selamanya sempurna, dia tidak berhak dimasukkan ke
• Berpendapat bahwa sesungguhnya manusia dalam neraka.
menciptakan perbuatannya sendiri bukan
karena kehendak Allah (qadariyah)
• Mereka menolak semua sifat Allah,
menyatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat
pada hari kiamat, dan menyatakan Al-Qur’an
itu makhluk bukan kalamullah. Mereka juga
menyatakan Allah bi kulli makan; menurut
mereka orang mu’min tidak masuk neraka,
cuma mendatangi, karena jika masuk neraka,
tak mungkin keluar lagi dari neraka sama
sekali. Mereka pun mengingkari siksa kubur
Mujassimah Jahmiyah Nawashib

• Mereka menganggap Allah • Dalam hal asma wa shifat • Mereka adalah orang-orang
memiliki jism (wujud) seperti mereka berfaham ta’thil yang berkeyakinan bahwa
manusia. Mereka melakukan (mengingkari adanya asma wa membenci dan memusuhi ‘Ali
tasybih (penyerupaan) dan sifat bagi Allah). bin Abi Thalib dan anak cucunya
tamtsil (perumpamaan) Allah • Dalam hal perbuatan manusia (Ahlul Bait) merupakan bagian
dengan makhluk. Allah mereka berfaham Jabr dari agama. (Lihat Lisanul ‘Arab
memiliki wajah seperti wajah (Jabariyah/fatalis). dan Minhajus Sunnah, 4/554).
makhluk, tanganNya seperti • Dalam hal dosa dan iman • Mereka sangat bangga ketika
makhluk, betisNya seperti mereka berfaham Irja’ berhasil menyakiti Ahlul Bait,
makhluk, marahNya seperti (murji’ah), bahwa bagi mereka sampai-sampai tokoh kondang
makhluk, tertawaNya seperti pelaku dosa besar tetaplah mereka yang bernama ‘Imran
makhluk, bersemayamNya sempurna imannya, dan tidak bin Hiththan melantunkan bait-
seperti makhluk, dan lain-lain. berhak dimasukkan ke dalam bait kegembiraannya atas
neraka. keberhasilan Abdurrahman bin
Muljim Al-Muradi dalam
operasinya membunuh ‘Ali bin
Abi Thalib.
Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Ma’rifat kepada Allah; Ma’rifat kepada alam yang berada di balik alam semesta (malaikat, jin,
iblis, ruh); Ma’rifat kepada kitab-kitab, nabi, rasul, hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang
mengiringinya, dan takdir.
‫ْم‬ ‫َي‬ ‫ٌل‬ ‫ُج‬ ‫َر‬ ‫ُه‬ ‫ْذ َأ َت‬ ‫َّن‬ ‫َع ْن َأ ُه َر ْي َر َة َر َي َّل ُه َع ْنُه َأ َّن َر ُس َل َّل َص َّل َّل ُه َع َل ْي َو َس َّل َم َك َن َيْو ًم َب ًز‬
‫آْلِش ي‬ ‫ْل‬ ‫ا اِر ا ِل ل اِس ِإ ا‬ ‫ا‬ ‫اَل‬ ‫ِه‬ ‫و ال َأِه ى ال‬ ‫ِض ال‬ ‫ِب ي‬
‫َبْع‬ ‫َن‬ ‫َو ُت َو ُر ُس َو َق َو ُتْؤ‬ ‫ُك‬ ‫َك‬ ‫َم‬ ‫َو‬ ‫َّل‬ ‫َن‬ ‫َق‬
‫َم َم ُن َل َم ُن ْن ُتْؤ‬ ‫َّل‬ ‫َل‬ ‫ُس‬ ‫َر‬ ‫َي‬ ‫َل‬ ‫َف َق‬
‫ِل ِه ِل اِئِه ِم ِب ا ِث ا ِخ ِر‬ ‫ِئ ِتِه ِب ِه‬ ‫ِم ِب ال ِه‬ ‫ا ا و ال ِه ا اِإْل ي ا ا اِإْل ي ا‬
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sedang berada bersama orang-orang, lalu datanglah seorang laki-laki dengan
berjalan kaki, lantas bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah iman itu?” Beliau
menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya,
pertemuan dengan-Nya, dan kebangkitan di hari akhir.”
(HR. Bukhari No. 4404)
Ilahiyat (Ketuhanan)
Sifat Wajib bagi Allah Sifat Mustahil bagi Allah

1. Wujud (ada, tanpa sebab akibat) 1. ‘Adam (tidak ada)


2. Qidam (terdahulu, tanpa permulaan) 2. Huduts (baru, ada permulaannya)
3. Baqa’ (kekal/abadi)
3. Fana’ (rusak/binasa)
4. Mukhalafatuhu lil Hawadits (berbeda dengan
makhluk/semua perkara yang baru) 4. Mumatsalatu lil hawaditsi
5. Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri pada Dzat-Nya, (menyerupai makhluknya)
tidak butuh pada sesuatu apa pun)
5. Qiyamuhu bi ghairihi (berdiri pada
6. Wahdaniyat (esa/tunggal)
selainnya)
7. Qudrat (kuasa)
6. Ta’addud (berbilang)
7. Ajzun (lemah)
Sifat Wajib bagi Allah Sifat Mustahil bagi Allah
8. Karahah (terpaksa)
8. Iradat (berkehendak)
9. Jahlun (bodoh)
9. Ilmu (mengetahui)
10. Mautun (mati)
10. Hayat (hidup)
11. Shamamun (tuli)
11. Sama’ (mendengar) 12. ‘Umyun (buta)
12. Bashar (melihat) 13. Bukmun (bisu)
13. Kalam (berfirman) 14. ‘Ajizan (yang lemah)
14. Qadiran (Maha Kuasa) 15. Mukrahan (dipaksa melakukan
15. Muridan (Yang Berkehendak) sesuatu)
16. ‘Aliman (Maha Mengetahui) 16. Jahilan (yang bodoh)
17. Hayyan (Maha Hidup) 17. Mayyitan (yang mati)
18. Ashamma (yang tuli)
18. Sami’an (Maha Mendengar)
19. A’ma (yang buta)
19. Bashiran (Maha Melihat)
20. Abkam (yang bisu)
20. Mutakalliman (Maha
Berbicara)
Sikap Ahlus Sunnah
Terhadap Asmaul Husna dan
Shifatul Ulya

Secara umum, sikap Ahlus Sunnah wal


Jama’ah terhadap nama-nama Allah dan
sifat-saifatNya, terbagi atas tiga bagian,
yakni tatsbit (menetapkan apa adanya
sesuai zhahir
nash), tafwidh (menyerahkan maknanya
kepada Allah Ta’ala),
dan ta’wil (memberikan maknanya).
Bukan tahrif (menyimpangkan/merubah),
ta’thil (menafikan atau mengingkari),
dan tasybih (menyerupakan dengan
makhluk).
Dalam Fathul Bari, Al Imam Ibnu Hajar mengutip ucapan Ibnul Munayyar sebagai berikut:
‫َف َك ْل َع ْي َو ْل َو ْج َو ْل َي َث اَل َث َأ ْق َو َأ َح َه َأ َّن َه َف َذ َأ ْث َب َت َه َّس ْم َو اَل‬ ‫َه‬ ‫َو َأِلْه ْل َك اَل‬
‫ د ا ا ِص ات ْل ات ا ْلال ع‬: ‫ِل َلا ْلم ِف ي ِذ ِه الِّص َأات ْل ا ِن ا ه ا د ْل ة ال ْل‬
‫َّث‬
‫ َو ا َو ْج ه ِك اَي ة‬، ‫ َو ا َي د ِك َن اَي ة َع ْن ِص َلَف ة ا ُق ْد َر ةَل‬، ‫ َو ال اِن ْلي َّن ا َع ْي ن ِك َن اَي ة َع ْن ِص َف َلة ا َبَص ر‬، ‫َي ْه َت ِد ي ِإ ْيَه ا ا َع ْق ل‬
‫َن‬
‫َّل َت‬ ‫َف‬ ‫َو َّث‬
‫َع‬
‫ا ا ا ِإ ى ال ه ا ى‬ ‫َه‬ ‫َن‬ ‫ْع‬ ‫َم‬ ‫ًض‬ ‫َّو‬ ‫ُم‬ ‫ْت‬ ‫َء‬ ‫ ال اِل ث ِإ ار ا ى ا ا‬، ‫َع ْن ِص َف ة ا ُو ُج ود‬
‫َج‬ ‫َم‬ ‫َع‬ ‫َه‬ ‫َر‬ ‫ْم‬
Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga
pendapat:
1. Sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan oleh pendengaran (wahyu) dan tidak
mampu bagi akal untuk mengetahuinya.
2. Bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari
kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud.
3. Melewatinya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya
kepada Allah Ta’ala. (Fathul Bari, 20/484)
Fenomena Memprihatinkan

Diantara kelompok-kelompok tersebut ada yang saling klaim bahwa


pendapat merekalah yang paling tepat, dan merekalah Ahlus
Sunnah.
Kelompok tatsbit, menganggap para pelaku ta’wil telah melakukan
bid’ah, dan mereka menjulukinya dengan kaum Asy’ariyah.
Sementara, para pelaku ta’wil menganggap bahwa pihak tatsbit
telah menganggap Allah Ta’ala serupa dengan makhluk (tasybih)
dan memiliki jasad (tajsim) karena menetapkan (itsbat) bahwa Allah
Ta’ala memiliki kaki, tangan, wajah, dan bersemayam. Sebab, ini
semua layak disandarkan kepada makhluk, bukan khaliq.
Tatsbit

Al Khalal berkata: telah mengabarkanku Ali bin ‘Isa bahwa Hambal


berkata kepada mereka: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam
Ahmad bin Hambal) tentang hadits yang meriwayatkan bahwa
‘Allah Ta’ala turun ke langit dunia’, ‘Allah melihat’, ‘Allah meletakkan
kakiNya’ , dan hadits-hadits semisalnya?
Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu menjawab: “Kami
mengimaninya dan membenarkannya, kami tidak membantahnya
sama sekali, dan kami mengetahui bahwa apa-apa yang datang dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar, jika sanadnya
shahih, dan kami tidaklah membantah firmanNya, dan kami
tidaklah mensifatiNya lebih banyak dari Dia sifatkan terhadap
diriNya, dengan tanpa batas, dan tanpa ujung. “Tidak ada yang
serupa denganNya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Hal. 61. Syaikh
Dr. Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 57)
Tafwidz
Imam Adz Dzahabi rahimahullah
mengatakan bahwa sikap salaf
terhadap Bab Sifat-Sifat Allah Ta’ala
adalah tafwidh, berikut ucapannya:
،‫ واالمرار‬،‫ االقرار‬:‫فقولنا في ذلك وبابه‬
‫وتفويض معناه إلى قائله الصادق‬
‫املعصوم‬
Adapun pendapat kami tentang itu
dan dalam bab ini adalah mengakui,
membiarkan, dan menyerahkan
(tafwidh) maknanya kepada
pengucapnya yang benar dan
ma’shum
(Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An
Nubala, 8/105)
Ta’wil
‫َّل‬ ‫َي‬ ‫َل‬ ‫ْض‬ ‫َف‬ ‫ُق ْل َّن ْل‬
‫ِب ِد ال ِه‬ ‫ِإ ا‬
“ Katakanlah: ‘Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah..”’ (QS. Ali
Imran, 3: 73)
“Yaitu semua urusan di bawah pengaturanNya. Dialah yang memberi
dan menolak. Dia memberikan karunia berupa ilmu, iman, dan seluruh
tindakan kepada siapa saja secara sempurna. Serta menyesatkan,
membutakan penglihatannya dan mata hatinya, menutup
pendengarannya dan hatinya, dan menjadikan pada pandangannya
halangan, dan Dialah yang memiliki hujjah dan hikmah.”
(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/60)
Dalam ayat lain, yang
menyebutkan sifat Wajhullah
(Wajah Allah), para Imam
Ahlus Sunnah pun
melakukan ta’wil:
Imam Ibnu Katsir
Rahimahullah mengatakan:
‫ٌك‬ ‫َه‬ ‫ْي‬ ‫َش‬ ‫ُّل‬ ‫ُك‬
‫ٍء اِل ِإ ال‬ { :‫وهكذا قوله ها هنا‬
‫ إال إياه‬:‫َو ْج َه ُه } أي‬.
“Demikian juga, firmanNya di
sini: “Segala sesuatu akan
binasa kecuali wajah-Nya”,
yaitu kecuali DiriNya” (Imam
Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 6/261)
Sikap ta’wil ini di dukung deretan para
Imam kaum muslimin, baik fuqaha dan
muhadditsin, seperti:

1. Imam Al Ghazali 10.Imam Izzuddin bin Abdusalam


2. Imam An Nawawi 11.Imam Abul Faraj bin Al Jauzi
3. Imam Ibnu Hajar Al 12.Imam An Nasafi
Asqalani 13.Imam Al Bulqini
4. Imam Al Khathabi 14.Imam Ar Rafi’I
5. Imam Fakruddin Ar Razi 15.Imam Al Baidhawi
6. Imam Al Jashash 16. Imam Al Amidi,
7. Imam As Suyuthi 17.Imam Al ‘Iraqi
8. Imam Al Baqillani 18.Imam Ibnu Al ‘Arabi
9. Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id
19.Imam Al Qurthubi 28.Imam As Sarakhsi
20.Imam Al Qadhi ‘Iyadh 29.Imam At Taftazani
21.Imam Al Qarrafi 30.Imam Al Bazdawi
22.Imam Asy Syathibi 31.Imam Ibnul Hummam
23.Imam Abu Bakar Ath Thurthusi 32.Imam Ibnu Nujaim
24.Imam Syahrustani 33.Imam Al Karkhi
25.Imam Al Maziri 34.Imam Al Kasani
26.Imam Isfirayini 35.Imam As Samarqandi,
27.Imam Dabusi
Jika kita perhatikan, maka jumhur
ulama adalah melakukan ta’wil.
Namun, para ulama salaf (terdahulu),
lebih sedikit melakukan ta’wil. Ada
apa dibalik ini?
Ini bisa terjadi, lantaran Islam dan Al
Quran pada masa setelah mereka telah
menyebar ke seluruh penjuru dunia
yang penduduknya bukan berbahasa
Arab.
Sehingga, jika ayat-ayat dan hadits-
hadits sifat ini dibaca dan difahami
secara literal (zhahiriyah), maka bisa
menggelincirkan pemahaman orang
awam yang tidak bercita rasa bahasa
Arab. Oleh karena itu, bangkitlah para
ulama untuk melindungi nash-nash
tersebut, dari kemungkinan tafsiran
berbahaya orang-orang ‘Ajam (non
Arab).
Dari sisi ini, maka sebenarnya antara
salaf dan khalaf, memiliki tujuan yang
sama dengan sikap mereka itu, yakni
menjaga kesucian Al Quran.
Oleh karena itu, walau kita lebih
condong kepada pemahaman salaf,
tidak selayaknya menjadikan polemik
ini sebagai ajang saling pengkafiran
sesama umat Islam. sebab, para
ulama yang berselisih pun tidak
sampai tingkat seperti itu.
Sebab memojokkan
kaum Asy’ariyah (para penakwil) dan
menuduhnya keluar dari Ahlus
Sunnah, sama juga memojokkan
nama-nama para Imam kaum
muslimin di atas yang telah mendapat
posisi penting di hati umumnya kaum
muslimin.
Sikap Moderat
“Bersamaan ini, kami juga meyakini bawah ta’wil – ta’wil kaum
khalaf tidaklah mengharuskan jatuhnya hukum kafir dan fasik
kepada mereka, dan jangan sampai terjadi pertentangan
berkepanjangan di antara mereka dan selain mereka, baik yang
terdahulu dan sekarang, dada Islam lebih luas dari itu semua.
Orang yang paling kuat dalam memegang pendapat salaf –semoga
Allah meridhai mereka- pun telah melakukan ta’wil pada beberapa
tempat, dia adalah Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu. DI
antaranya adalah ta’wilnya terhadap hadts: “Hajar Aswad adalah
Tangan Kanan Allah di muka bumi.” Dan hadits lainnya: “Hati
seorang mu’min berada di antara dua jari dari jari-jari Ar Rahman.”
Dan hadits: “Sesungguhnya saya mendapatkan Zat Ar Rahman dari
arah Yaman.”
(Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 368.
Al Maktabah At Tafiqiyah)
Nubuwat (Kenabian)

Definisi Nabi dan Rasul menurut Al-Alusi:


‫ َو الَّن ُّي ُه َو‬، ‫أَّن الَّر ُس ْو َل ُه َو َم ْن ُأ ْو َي َل ْي َش ْر َج ْي ٍد‬
‫ِب‬ ‫َمْلْبُع ْو ُث ِحَتْق ِإْي ِهَش ِبْر َمٍع ْن َقِدْب ُهَل‬
‫ِل ِد ِر ِع‬ ‫ا‬.
“Rasul adalah seseorang yang diberi wahyu
oleh Allah Ta’ala dengan syariat baru,
sedangkan nabi adalah orang yang diutus
untuk menetapkan dan syariat rasul
sebelumnya.”
Tujuan Diutusnya Nabi dan Rasul

Allah Ta’ala berfirman,


‫َو َل َق ْد َب َع ْث َن ا ي ُك ُأ َّم َر ُس اًلو َأ اْع ُب ُد وا الَّل َه َو اْج َت ُب وا الَّط اُغ وَت‬
‫ِن‬ ‫ِن‬ ‫ِف ِّل ٍة‬
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah thaghut itu’” (QS. An-Nahl, 16: 36)
‫ُد‬ ‫ُب‬ ‫ْع‬ ‫َل ْي َأ َّنُه اَل َل َه اَّل َأ َن َف‬ ‫َو َم َأ ْر َس ْل َن ْن َق ْب َك ْن َر ُس اَّل ُن‬
‫ِإ ِإ ا ا وِن‬ ‫وٍل ِإ وِح ي ِإ ِه‬ ‫ا ِم ِل ِم‬ ‫ا‬
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’” (QS. Al-Anbiyaa: 25)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ْم‬ ‫ُه‬ ‫َّنُه َل ْم َي ُك ْن َن ٌّي َق ْب ْي َّال َك َن َح ًّق َع َل ْي َأ ْن َي ُد َّل ُأ َّم َتُه َع َل َخ ْي َم َي ْع َل ُم ُه َل ُه ْم َو ُي ْن ُر ُه ْم َش َّر َم َي ْع َل ُم ُه َل‬
)‫(رواه مسلم‬ ‫ا‬ ‫ِذ‬ ‫ى ِر ا‬ ‫ا ِه‬ ‫ِب ِل ِإ ا‬ ‫ِإ‬.
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali diwajibkan kepadanya menunjuki umatnya kepada kebaikan
yang ia ketahui dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang ia ketahui.” (HR. Muslim)
Sifat Para Nabi 1. Shidiq (jujur) tidak kidzib
(berdusta)
dan Rasul 2. Amanah (terjaga
perbuatan, perkataan, dan
tingkah lakunya) tidak
khianat.
3. Tabligh (menyampaikan
semua yang diwahyukan)
tidak kitman
(menyembunyikan wahyu)
4. Fathanah (cerdas,
memiliki kekuatan hujjah),
tidak baladah.
Kema’shuman Para
Nabi dan Rasul
Ma’shum artinya terjaga dari terjerumus dalam
kekufuran, kesyirikan, melakukan dosa besar
dan dosa kecil yang mengandung kehinaan dan
kerendahan, menjauhi hal-hal yang merusak
harga diri dan menodai kemuliaan. Baik sebelum
menjadi nabi, maupun setelah menjadi nabi.
Para nabi dan rasul adalah manusia yang paling
sempurna dari segi fisik, paling suci amal
perbuatannya, paling bersih jiwanya, dan paling
indah perilakunya.
• Para nabi dan rasul memiliki sifat-sifat yang
lumrah/boleh terjadi kepada mereka, yakni
sifat-sifat kemanusiaan yang tidak
Sifat Jaiz Para Nabi membawa pada kekurangan dalam derajat
mereka yang luhur.
dan Rasul • Mereka merasakan kelelahan, menguap,
mengantuk, tidur, makan, minum, berjalan
di pasar, menikah, sakit, dan lain-lain.
Jumlah Para Nabi dan Rasul

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah, disebutkan


bahwa Abu Dzar pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam: “Berapa tepatnya jumlah para nabi.” Beliau
menjawab,
‫ِم اَئ ُة َأ ْل ٍف َو َأ ْر َب َع ٌة َو ِع ْش ُر وَن َأ ْل ًف ا الُّر ُس ُل ِم ْن َذ ِل َك َث اَل ُث ِم اَئ ٍة َو َخ ْم َس َة َع َش َر َج ًّم ا َغ ِف ي اًر‬
“Jumlah para nabi 124.000 orang, 315 diantara mereka adalah
rasul. Banyak sekali.” (HR. Ahmad)
Diantara sekian banyak nabi dan rasul
tersebut ada yang dikisahkan oleh
Allah Ta’ala kepada kita di dalam Al-
Quran dan disebutkan nama-namanya,
dan ada juga di antara mereka yang
tidak dikisahkan kepada kita.
Allah Ta’ala berfirman,
‫َو ُر ُس ال َق ْد َق َص ْص َن اُه ْم َع َل ْي َك ْن َق ْب ُل َو ُر ُس ال َل ْم‬
‫ًم‬ ‫َن ْق ُص ْص ُه ْم َع َل ْي َك َو َك َّل َم َّل ُهِم ُم َس َت ْك‬
‫ال و ى ِل ي ا‬
“Dan (Kami telah mengutus) rasul-
rasul yang sungguh telah kami
kisahkan tentang mereka kepadamu
dahulu, dan rasul-rasul yang tidak
kami kisahkan tentang mereka
kepadamu, dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan langsung.” (QS.
An-Nisa, 4: 164).
Nabi dan Rasul yang dikisahkan oleh Allah Ta’ala kepada kita jumlahnya ada 25 orang. Delapan belas
diantaranya disebutkan dalam firman-Nya berikut ini,
‫)َو َو َه ْب َن ا َل ُه ْس َح اَق َو َي ْع ُق وَب ُك ال َه َد ْي َن ا َو ُن وًح ا َه َد ْي َن ا ِم ْن َق ْب ُل‬٨٣( ‫َو ِت ْل َك ُح َّج ُتَن ا آَت ْي َن اَه ا ْب َر اِه يَم َع َل ى َق ْو ِم ِه َن ْر َف ُع َد َر َج اٍت َم ْن َن َش اُء َّن َر َّب َك َح ِك يٌم َع ِل يٌم‬
‫)َو َز َك ِإَّي ا َو َيْح َي ى َو يَس ى َو ْل َي اَس ُك ٌّل َن الَّص ا يَن‬٨٤( ‫َو ْن ُذ َّي َد اُو َدِإ َو ُس َل ْيَم اَن َو َأ ُّي وَب َو ُي وُس َف َو ُم وَس ى َو َه اُر وَنِإ َو َك َذ َك َن ْج ي اُمْلْح يَن‬
‫ِل ِح‬ ‫ِم‬ ‫ِإ‬ ‫ِع‬ ‫َن‬ ‫َو ْس َم َل َو ْل َي َس َع َو ُي ُن ِلَس َو ُل ِزًط َو ُك ِسَف ِنَّض ْل َن َع َل ْل َعِر‬ ‫ِم ِّر ِتِه‬
)٨٦( ‫ا ى ا اِمَل ي‬ ‫و ا ال‬ ‫و‬ ‫) ِإ اِع ي ا‬٨٥(
”Dan Itulah hujjah kami yang kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami
tinggikan siapa yang kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui. Dan kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada
keduanya masing-masing telah kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah kami
beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf,
Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan
Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya termasuk orang-orang yang shaleh. Dan Ismail, Alyasa’,
Yunus dan Luth. masing-masing kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).”
(QS. Al-An’am, 6: 83-86)
Sisanya disebutkan dalam: QS. Ali Imran, 3: 33; QS. Al-A’raf, 7: 65; QS. Hud, 11: 61; QS. Hud, 11: 84;
QS. Al-Anbiya, 21: 85-86; QS. Al-Ahzab, 33: 40; QS. An-Nahl, 16: 63.
1. Perhatian terhadap Kitabullah dan sunnah.
2. Masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan.
3. Menjunjung persatuan (ijtima’) serta meninggalkan perpecahan
dan perbedaan dalam agama.
4. Meneladani (iqtida’) dan mengikuti petunjuk (ihtida’) para
Karakteristik imam pembawa petunjuk yang kredibel (aimmatul huda
al-‘udul).
Pengikut Ahlus
Sunnah 5. Tasamuh (toleran) dan Tawazun (seimbang)
6. Tawassuth (Pertengahan), Tidak berlebihan (ghuluw) dan
memudah-mudahkan (tafrith), tidak menyulit-nyulitkan
(mufrithin) dan tidak meremehkan (mufarrithin).
7. Da’wah (mengajak) kepada Allah, beramar ma’ruf nahyi
munkar, berjihad dan melakukan Tajdid (pembaharuan) dalam
Agama.
8. Inshaf (obyektif) dan adil, mereka mengedepankan hak Allah
Ta’ala di atas hak pribadi atau kelompok.
Wallahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai