Anda di halaman 1dari 24

MUKJIZAT HADITS LALAT : Studi Ilmiah Hadîts Lalat dalam Perspekstif

Islâm dan Ilmu Medis Modern


http://abusalma.wordpress.com

Oleh :

Abū Salmâ Muhammad Rachdie, S.Si

Sungguh, Allôh Azza wa Jalla telah menganugerahkan nikmat yang besar kepada ummat
Muhammad Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, yaitu Allôh jadikan agama mereka sebagai
khôtimul Adyân (penutup agama-agama) dan menjadikan nabi mereka sebagai khôtimul
Anbiyâ` (penutup para nabi) serta menjadikan mereka sebagai sebaik-baik ummat. Allôh
juga berjanji untuk menjaga agama mereka, yang mashdar (sumber) pertamanya adalah
al-Qur`ân al-’Azhîm kemudian as-Sunnah al-Muthohharoh. Maka barangsiapa yang
berpegang dengan keduanya, niscaya Allôh akan menjaganya dari segala keburukan dan
fitnah, dan cukuplah bagi kita, wasiat Nabî kita ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm :

‫ ولن يتفرقا حتى يردا على الحوض‬، ‫تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهم ( ما تمسكتم بهما ) كتاب هللا وسنتي‬

”Telah aku tinggalkan dua hal untuk kalian, yang kalian tidak akan pernah tersesat
setelahnya selama kalian berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullâh dan sunnahku.
Dan kalian tidak akan pernah berpisah sampai kalian menemui telagaku (di hari kiamat
kelak).” [Dikeluarkan oleh Imâm Mâlik dan Hâkim, dan beliau menshahîhkannya].

Kita acap kali melihat adanya tulisan-tulisan yang berangkat dari kedengkian dan
kebodohan, yang menyebarkan syubhât dan isykâlât (problema) seputar ayat-ayat dan
hadîts- hadîts, baik dengan sengaja atau tidak, yang menimbulkan keragu-raguan dan
kerancuan terhadap aqidah kaum muslimin. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
zanâdiqoh (orang-orang zindîq), mustasyriqîn (orientalis) dan ’ilmânîyîn (sekuler)
[termasuk juga kaum liberalis dan rasionalis], terutama di negeri-negeri kâfir sehingga
menyebabkan tasykîk (keragu-raguan) yang melanda kaum muslimin terhadap agamanya.
Bisa juga hal ini disebabkan oleh kebodohan anak-anak kaum muslimin yang membebek
terhadap setiap isu yang tidak benar, sehingga mereka ditimpa keragu-raguan oleh sebab
syubhât dan racun-racun berbahaya yang menimpa pemikiran mereka. [disarikan dari
Syubuhât wa Isykâlât haula Ba’dhil Ahâdîts wal Ậyât, Dârun Nasyr wat Tauzî’, hal. 35,
cet. I, 1422].

Kaum muslimin yang berbahagia, sesungguhnya umat Islâm generasi awal telah
bersepakat seluruhnya, bahwa sunnah nabawîyah merupakan marja’ (referensi/rujukan)
kedua di dalam syariat Islam, baik di dalam masalah yang bersifat ghaibîyah i’tiqâdiyah
(keimanan yang bersifat ghaib), ahkâm ‘amalîyahsiyâsîyah (politik) maupun tarbawîyah
(pendidikan), dan tidak boleh menyelisihinya sedikit pun hanya karena ro’yu (pemikiran),
ijtihâd ataupun qiyâs (analog) seseorang. Sebagaimana yang diutarakan oleh al-Imâm asy-
Syâfi’î rahimahullâh di dalam akhir kitab “ar-Risâlah” : (hukum-hukum praktek),

‫ال يحل القياس والخبر موجود‬

“Tidak halal menggunakan qiyâs sedangkan khobar (hadîts) masih ada”

Dan yang semisal dengan ucapan beliau adalah, perkataan yang masyhūr dari ‘ulamâ` al-
Ushūl al-Muta’âkhirîn (kontemporer), yaitu :

‫إذا ورد األثر بطل النظر‬

“Apabila atsar (hadîts) masih ada, pemikiran (pendapat) batal (tidak sah).”

Atau ucapan :

‫ال اجتهاد في مورد النص‬

”Tidak ada ijtihâd ketika nash (teks dalil) masih ada”

Karena sandaran dan landasan mereka adalah al-Kitâb al-Karîm dan as-Sunnah al-
Muthohharoh. [Disarikan dari al-Hadîts Hujjatun Binafsihi fil Aqô`id wal Ahkâm, al-
Imâm al-Albânî, softcopy http://sahab.org]

Setiap muslim wajib menerima segala apa yang disampaikan oleh Nabî Shallâllâhu ’alaihi
wa Sallam, karena sesungguhnya Nabî itu :

‫ق َع ِن ْالهَ َوى ِإ ْن هُ َو إِاَّل َوحْ ٌي يُو َحى‬


ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬

”Tidaklah ia berucap dari hawa nafsunya melainkan ia berucap dari wahyu yang
diwahyukan kepadanya.” (QS an-Najm : 3-4)

Setiap muslim wajib meyakini dan mengimani, bahwa apa saja yang disampaikan oleh
Nabî, selama itu shahîh dan tetap dari beliau, maka itu pasti haq dan benar, walaupun
seakan-akan hal itu sesuatu yang tidak masuk akal. Kaum muslimin wajib meyakini,
bahwa seluruh ayat al-Qur`ân dan hadîts nabî yang shahîh pastilah tidak akan
bertentangan dengan realitas dan fakta.

Di antara hadîts yang masih menjadi kontroversi di kalangan kaum muslimin adalah
hadîts yang shahîh tentang lalat. Yaitu :

َ‫ْت أَبَا ه َُر ْي َرة‬


ُ ‫ال أَ ْخبَ َرنِي ُعبَ ْي ُد بْنُ حُ نَي ٍْن قَا َل َس ِمع‬ َ َ‫َح َّدثَنَا خَ الِ ُد بْنُ َم ْخلَ ٍد َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ بِاَل ٍل قَا َل َح َّدثَنِي ُع ْتبَةُ بْنُ ُم ْسلِ ٍم ق‬
‫ب أَ َح ِد ُك ْم فَ ْليَ ْغ ِم ْسهُ ثُ َّم لِيَ ْن ِز ْعهُ فَإ ِ َّن فِي إِحْ دَى‬
ِ ‫الذبَابُ فِي َش َرا‬ ُّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َوقَ َع‬
َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬:ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ يَقُول‬
ِ ‫َر‬
َ ْ ُ ‫أْل‬
‫َاح ْي ِه دَا ًء َوا خ َرى ِشفا ًء‬ َ ‫َجن‬

”Khâlid bin Makhlid menceritakan kepada kami, Sulaimân bin Bilâl menceritakan kepada
kami, beliau berkata : ’Utsbah bin Muslim bercerita kepadaku bahwa beliau berkata :
’Ubaid bin Hunain mengabarkan kepadaku bahwa beliau berkata : Aku mendengar Abū
Hurairoh Radhiyallâhu ’anhu berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam
bersabda : ”Apabila seekor lalat jatuh ke dalam gelas salah seorang dari kalian, maka
celupkanlah lalat itu lalu angkatlah (buanglah) karena pada salah satu sayapnya terdapat
penyakit dan pada sayap satunya terdapat obat.”.” [Shahîh al-Bukhârî, bâb Idzâ Waqo’a
adz-Dzubâb fî Syarôbi Ahadikum, XI:99, hadîts no. 3073]

Lafazh yang serupa juga diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhârî di dalam Shâhîh-nya (bâb
Idzâ Waqo’a adz-Dzubâb fîl Inâ`, hâdîts no. 5336, XVIII:79)

‫ق ع َْن أَبِي‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل بْنُ َج ْعفَ ٍر ع َْن ُع ْتبَةَ ْب ِن ُم ْسلِ ٍم َموْ لَى بَنِي تَي ٍْم ع َْن ُعبَ ْي ِد ْب ِن ُحنَي ٍْن َموْ لَى بَنِي ُز َر ْي‬
ْ
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل إِ َذا َوقَ َع ال ُّذبَابُ فِي إِنَا ِء أَ َح ِد ُك ْم فَ ْليَ ْغ ِم ْسهُ ُكلَّهُ ثُ َّم لِيَط َرحْ هُ فَإ ِ َّن‬
َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
ِ ‫هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫خَر دَا ًء‬
ِ ‫آْل‬‫ا‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫و‬ ‫ء‬ ‫ا‬َ ‫ف‬‫ش‬ ‫ه‬
َِ ً ِ ِ َ َ َِ ِْ
‫ي‬ ‫ح‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ج‬ ‫د‬ ‫ح‬ َ ‫أ‬ ‫ي‬ ‫ف‬

”Qutaibah menceritakan kepada kami, Ismâ’îl bin Ja’far menceritakan kepada kami dari
’Utbah bin Muslim Maulâ (mantan budak) Banî Taim dari ’Ubaid bin Hunain Maulâ Banî
Zuraiq dari Abu Hurairoh Radhiyallâhu ’anhu, bahwa Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa
Sallam bersabda : ”Apabila seekor lalat jatuh ke dalam wadah minum kalian, maka
celupkanlah seluruh tubuhnya kemudian buanglah, karena sesungguhnya pada salah satu
sayapnya terdapat obat dan pada sayap lainnya terdapat penyakit.”

Hadîts ini adalah hadîts yang shahîh tanpa ada keraguan sedikitpun. Al-Muhaddits al-
Albânî rahimahullâh menshahîhkannya dalam as-Silsilah ash-Shahîhah (I/58-59), beliau
berkata bahwa hadîts ini datang dari 3 sahabat, yaitu :

Pertama : Abū Hurairoh, darinya ada beberapa jalan :

1. Dari ‘Ubaid bin Hunain beliau berkata, Aku mendegar Abū Hurairoh berkata,
kemudian beliau menyebutkan hadîtsnya. Jalan hadîts ini dikeluarkan oleh al-
Bukhârî (II/329 dan IV/71-72), ad-Dârimî (II/99), Ibnu Mâjah (3505) dan Ahmad
(II/398)
2. Dari Sa’îd bin Abî Sa’îd dari Abū Hurairoh. Jalan hadîts ini dikeluarkan oleh Abū
Dâwūd (3844) dari jalan Ahmad di dalam Musnad-nya (III/229,2466), al-Hasan
bin ‘Arofah di dalam Juz`-nya (qôf I/91) dari jalan Muhammad bin ‘Ajlân dengan
tambahan “Dan lalat itu berlindung dengan sayapnya yang di dalamnya
terkandung penyakit, maka celupkanlah seluruh badannya” dan isnadnya hasan.
Ibrâhîm bin Fadhl menyertai riwayat ini dari Sa’îd dengan riwayat yang sama.
Dikeluarkan oleh Ahmad (II/443) dan Ibrâhîm ini adalah al-Makhzūmî al-Madanî,
dia adalah seorang yang dha’îf.
3. Dari ‘Tsumâmah bin ‘Abdillâh bin Anas dari Abū Hurairoh. Jalan hadîts ini
dikeluarkan oleh ad-Dârimî dan Ahmad (II/263,355,388) dan sanadnya shahîh
menurut syarat Muslim.
4. Dari Muhammad bin Sîrîn dari Abū Hurairoh. Jalan hadîts ini dikeluarkan oleh
Ahmad (II/355,388) dan sanadnya juga shahîh.
5. Dari Abū Shâlih dari Abū Hurairoh. Jalan hadîts ini dikeluarkan oleh Ahmad
(II/340), al-Fâkihî dalam Hadits-nya (II/50/2) dengan sanad yang hasan.

Kedua : Abū Sa’îd al-Khudrî, dengan lafazh :

‫ و يؤخر الشفاء‬، ‫ فإنه يقدم السم‬، ‫ فاملقوه‬، ‫ فإذا وقع في الطعام‬، ‫إن أحد جناحي الذباب سم و اآلخر شفاء‬

“Sesungguhnya pada salah satu sayap lalat terdapat racun dan pada sayap lainnya obat.
Apabila seekor lalat jatuh pada makanan, maka celupkanlah, karena ia akan
mendahulukan mengeluarkan racun dan mengakhirkan mengeluarkan obat.”

Dikeluarkan oleh Ahmad (III/67), dengan jalur : Yazid meriwayatkan kepada kami, Ibnu
Abî Dzi`b meriwayatkan kepada kami, dari Sa’îd bin Khâlid beliau berkata : Aku datang
mengunjungi Abū Salamah dan beliau menghidangkan kepada kami bubur dan gandum,
lalu seekor lalat jatuh pada makanan, namun Abū Salamah malah mencelupkan lalat itu
dengan telunjuknya. Saya berkata : “Wahai paman, apa yang anda lakukan?”, beliau
menjawab : “Sesungguhnya Abū Sa’îd al-Khudrî mengabarkan kepadaku dari Rasūlullâh
Shallâllâhuu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda -menyebutkan hadîts di atas-.

Dikeluarkan pula oleh Ibnu Mâjah (3504) dengan jalur : Abū Bakr bin Abî Syaibah
meriwayatkan kepada kami, Yazîd bin Hârūn menceritakan kepada kami secara marfu’
tanpa menceritakan kisah seperti di atas.

Ath-Thoyâlîsî juga meriwayatkan di dalam Musnad-nya (2188) : Ibnu Abi Dzi`b


meriwayatkan kepada kami dari Abū Sa’îd al-Khudrî.

Diriwayatkan pula oleh an-Nasâ`î 9II/193), Abū Ya’lâ dalam Musnad-nya (qôf II/65) dan
Ibnu Hibbân dalam ats-Tsiqôt (II/102).

Syaikh al-Albânî berkata : sanad hadîts ini shahîh dan rijâl (perawi)-nya tsiqât (kredibel)
merupakan rijâlnya syaikhain (Bukhâri-Muslim) selain Sa’îd bin Khâlid, karena dia
adalah al-Qôrizhî yang statusnya shodūq, sebagaimana dinyatakan oleh adz-Dzahabî dan
al-‘Asqolânî.

Ketiga : Hadîts Anas, diriwayatkan oleh al-Bazzâr dan rijâl-nya adalah rijâl yang shahîh.
Diriwayatkan pula oleh ath-Thabrânî dalam al-Ausath sebagaimana pula di dalam
Majma’uz Zawâ`id (V/38) dan oleh Ibnu Abî Khaitsamah di dalam Târîkh al-Kabîr-nya.
Al-Hâfizh berkata : isnadnya shahîh, sebagaimana di dalam Nailul Authâr (I/55). [selesai
ucapan Imâm al-Albânî Rahimahullâh dari as-Silsilah ash-Shahîhah I/58-59).

Kesimpulan : Hadîts ini shahîh dan isnadnya tsabat dari tiga sahabat yang mulia: Abū
Hurairoh, Abū Sa’îd al-Khudrî dan Anas bin Malik Radhiyallâhu ‘anhum, tanpa
menyisakan sedikitpun celah keragu-raguan atau penolakan terhadapnya.

Dengan waridnya isnad dari tiga sahabat ini, maka tertolaklah klaim para pengingkar
sunnah dan pencelanya, baik dari kaum Syiah dan rasionalis ekstrem, yang menuduh dan
menghujat Abū Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu dengan tuduhan-tuduhan dusta dan keji lagi
tak berdasar, yang dengannya mereka menuduh bahwa hadîts ini tidak kuat, dikarenakan
infirâd (bersendirinya) Abū Hurairoh dalam periwayatan. Sekiranya hadîts ini pun hanya
datang dari riwayat Abū Hurairoh secara infirâd, tetap merupakan hujjah dan menjadi
dalil.

Sebagian lagi membuat keragu-raguan terhadap hadîts ini, dengan asumsi bahwa hadîts
ini menyelisihi realitas dan ilmu kedokteran. Menurut mereka, lalat itu adalah binatang
kotor yang senang dengan hal-hal kotor. Apabila lalat jatuh pada makanan atau minuman,
tentu saja lalat tersebut akan menularkan berbagai macam penyakit. Untuk itulah,
sebagian mereka meng-‘ilal (mencacat) hadîts ini secara matan, dan memalingkan makna
zhahirnya walaupun defajat hadîts ini shahîh.

Ironinya, diantara para penyebar tasykîk (keragu-raguan) terhadap hadîts ini adalah para
tokoh Islâm yang dikenal akan kegigihannya di dalam membela Islâm dari tuduhan kaum
orientalis dan kuffâr, semisal Syaikh Muhammad al-Ghozâlî, Mahmūd Syaltūt, al-
Maraghî Rahimahumullâhu dan selainnya, termasuk pula DR. Yusuf al-Qaradhâwî
wafaqonâllâhu wa iyâhu ila sabîlil haq.

Imâm al-Albâni Rahimahullâhu berkata :

“Sesungguhnya banyak orang merasa rancu dengan dengan hadîts ini, yang dianggap
menyelisihi apa yang ditetapkan oleh para dokter, yaitu bahwa lalat itu membawa kuman-
kuman penyakit yang apabila hinggap di makanan atau minuman, maka ia akan
menyebarkan kuman-kuman tersebut. Realitanya sebenarnya hadîts ini tidak menyelisihi
ilmu kedokteran sama sekali, bahkan menyokongnya. Karena hadîts ini memberitakan
bahwa pada salah satu sayap lalat terdapat penyakit, namun ada tambahan informasi, yaitu
pada sayap satunya ada obatnya.

Hal ini merupakan perkara yang ilmunya belum bisa diketahui secara pasti (saat ini,
pent.), maka wajib mengimaninya apabila mereka mengaku sebagai kaum muslimin, atau
tawaqquf (mendiamkan) apabila mereka bukan termasuk umat Islâm jika mereka
termasuk orang yang berakal dan berilmu! Karena, ilmu yang benar itu menyatakan
bahwa ketidaktahuan akan sesuatu tidak otomatis menyatakan sesuatu itu tidak ada...

Pakar kedokteran sendiri berbeda pendapat seputar masalah ini. Saya telah banyak
membaca artikel-artikel di berbagai majalah, yang sebagiannya menyokong dan
sebagiannya lagi membantah. Kami meyakini akan keshahîhan hadîts ini dan kami yakin
bahwa Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam tidaklah berucap dari hawa nafsunya melainkan
wahyu yang diwahyukan kepadanya. Kami tidaklah memusingkan banyaknya analisis
yang dilakukan oleh pakar kedokteran tentangnya, karena hadîts adalah penjelas yang
berdiri sendiri tidak butuh pengukuhan dari luar. Namun, jiwa ini akan semakin
bertambah keimanannya apabila melihat hadîts yang selaras dengan ilmu modern yang
benar.

Oleh karena itu, saya rasa cukup banyak faidahnya apabila saya menukilkan kepada para
pembaca sekalian, ringkasan ceramah yang dihadiri oleh salah seorang pakar medis di
Jum’îyah al-Hidâyah al-Islâmîyah di Mesir seputar hadîts ini. Beliau (pakar medis ini)
berkata :

”Lalat hinggap di atas tempat-tempat jorok yang penuh dengan kuman-kuman berbagai
penyakit. Sebagian kuman tersebut menempel di bagian tubuhnya dan sebagiannya lagi
termakan. Oleh karena itulah di dalam tubuh lalat membentuk suatu (antibody) terhadap
kuman tersebut berupa senyawa yang disebut oleh pakar kedokteran sebagai
”antibacterial”, dan antibacterial ini membunuh banyak kuman-kuman penyakit, sehingga
tidak memungkinkan lagi bagi kuman-kuman tersebut tetap hidup atau memberikan
pengaruh terhadap tubuh manusia dalam keadaan eksisnya antibacterial ini. Dan ada lagi
kekhususan salah satu sayap lalat ini, yaitu ia memojokkan bakteri sampai ke ujungnya.
Dengan demikian, apabila ada lalat yang jatuh ke dalam minuman atau makanan, ia akan
menurunkan kuman yang menempel di tubuhnya pada minuman tersebut, karena kuman
tersebut berada di bagian tubuhnya yang terdekat, dan yang pertama kali melindungi dari
kuman ini adalah antibacterial yang dibawa lalat di dalam perutnya yang dekat dengan
salah satu sayapnya, yang apabila ada penyakit maka obat penawarnya adalah pada bagian
terdekat penyakit itu (yaitu di bagian sayap lainnya). Maka cukuplah kiranya untuk
membunuh kuman itu dengan cara mencelupkan lalat tersebut (ke dalam minuman)
kemudian membuangnya...” [selesai ucapan Imâm al-Albânî Rahimahullâh dari Silsîlah
ash-Shahîhah (I/59) dengan diringkas].

Imâm al-Albânî Rahimahullâh melanjutkan :

“Kemudian saya pernah membaca Majalah “al-‘Arobî al-Kuwaitîyah” no. 82, hal. 144,
artikel yang berjudul “Anta Tas`al wa Nahnu Nujîb” (Anda bertanya Kami menjawab),
buah pena ‘Abdul Wârits Kabîr, yang memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai
hadîts lalat ini, apakah shahîh ataukah dha’îf? Dia menjawab :

“Adapun hadîts lalat dan penjelasan bahwa pada kedua sayapnya terhadap penyakit dan
obatnya, maka hadîtsnya dha’îf. Bahkan hadîts tersebut secara akal adalah hadîts yang
dibuat-buat, karena telah jelas bahwa lalat itu membawa kuman dan penyakit… Tidak ada
seorangpun yang mengatakan bahwa pada satu sayap lalat terdapat penyakit dan pada
sayap satunya terdapat obat, melainkan orang yang memalsukan hadîts ini atau mengada-
adakannya. Kalau hadîts ini shahîh, niscaya ilmu hadîts akan mengungkapkan bahayanya
lalat dan mendorong untuk menjauhinya.”

(Imâm al-Albânî mengomentari) Ringkasnya, ucapan orang ini berangkat dari tipu
muslihat dan kebodohannya yang harus dibongkar sebagai pembelaan terhadap hadîts
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan perlindungan padanya dari penipuan yang
dilakukan orang ini dengan kata-kata yang dihiasinya (dengan kebodohan dan tipu
muslihat). Saya (Imâm al-Albânî) katakan :

Pertama : ia menuduh bahwa hadîts ini dha’îf, yaitu dari bidang keilmuan hadîts dengan
dalil ucapannya : “Bahkan hadîts tersebut secara akal adalah hadîts yang dibuat-buat”.
Tuduhannya ini adalah tuduhan yang nyata-nyata bathil, yang dapat diketahui dari takhrîj
hadîts yang telah dipaparkan sebelumnya dari jalan periwayatan tiga orang sahabat dari
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, dan kesemuanya shahîh. Cukuplah bagi anda
dalil atas hal ini bahwa tidak ada seorangpun ulama yang berpendapat bahwa hadîts ini
dha’îf sebagaimana yang dilakukan oleh penulis yang buruk ini!

Kedua : ia menuduh bahwa hadîts ini secara akal adalah dibuat-buat. Tuduhannya ini tidak
kalah jelasnya akan kebatilannya dibandingkan dengan tuduhannya pertama. Karena
tuduhannya ini hanyalah sekedar tuduhan belaka, tanpa disokong oleh dalîl sedikitpun
melainkan berangkat dari kebodohannya, yang tidak mungkin ia menguasainya
sepenuhnya. Tidakkah anda melihat bahwa ia mengatakan : “Tidak ada seorangpun…
Kalau hadîts ini shahîh, niscaya ilmu hadîts akan mengungkapkan…”

Apakah ilmu hadîts, wahai orang yang miskîn (ilmu), telah dapat mengetahui segala
sesuatunya secara sempurna… padahal ahli hadîts apabila mendapatkan ilmu mereka
mengatakan :

‫ ازددنا معرفة بجهلنا‬، ‫إننا كلما ازددنا علما بما في الكون و أسراره‬

“Sesungguhnya kami, apabila bertambah ilmu kami tentang alam dan rahasianya, maka
bertambahlah pengetahuan kami akan kebodohan kami.”

Karena yang benar adalah sebagaimana firman Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ :

‫و ما أوتيتم من العلم إال قليال‬

“Dan tidaklah kami dianugerahi ilmu melainkan hanya sedikit.”

Ketiga : Kami telah menukilkan kepada anda sebelumnya apa yang telah ditetapkan oleh
dunia kedokteran hari ini, bahwa lalat membawa di dalam perutnya apa yang disebut
dengan “antibacterial” yang dapat membunuh kuman. Hal ini, walaupun belum bisa
dikatakan membuktikan hadîts ini secara mendetail, namun secara umum telah cukup
untuk mengingkari sang penulis dan orang semisalnya bahwa lalat memiliki penyakit dan
obat sekaligus dalam tubuhnya. Bukannya tidak mungkin bahwa pada masa yang akan
datang, akan tersingkaplah mukjizat Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam tentang
tetapnya perincian masalah ini secara ilmiah.

‫ بعد حين‬، ‫و لتعلمن نبأه‬

“Dan Sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) beritanya setelah beberapa


waktu lagi.” [Dinukil secara ringkas dari Silsîlah al-Ahâdîts ash-Shahîhah I/59-60].

Iya, apa yang syaikh Rahimahullâh katakan adalah benar, bahwa bukti-bukti ilmiah telah
menjelaskan secara terperinci dan mendetail kebenaran hadîts lalat ini, sebagaimana akan
saya jelaskan nanti. Hal yang sama juga diutarakan oleh Fadhîlatusy Syaikh ‘Athiyah
Shaqr, salah satu mufti Mesir dan guru besar al-Azhar, dalam Fatâwâ al-Azhar (VIII/206)
ketika ditanya tentang hadîts lalat ini, beliau berkata :

“Al-Bukhârî meriwayatkan dari Abi Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu bahwa Nabî Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam bersabda “Apabila seekor lalat jatuh ke dalam Syarôb (minuman) salah
seorang dari kalian, maka benamkanlah (falyaghmushu) lalat tersebut kemudian angkat
(buang)-lah. Karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya
terdapat obat.” Di dalam riwayat selain al-Bukhârî dikatakan “inâ`” (gelas/wadah) sebagai
pengganti “syarôb” dan dikatakan “famqulūhu” (celupkanlah) sebagai pengganti
“falyaghmushu”. Bahwasanya lalat, (ketika jatuh) mendahulukan sayap yang di dalamnya
terkandung penyakit dan mengakhirkan sayap yang mengandung obat, dan hadîts di atas
memerintahkan untuk membuang lalat setelah membenamkannya ke dalam minuman dan
tidak membiarkannya begitu saja di dalam gelas.

Para dokter sendiri, saling berselisih sengit seputar hadîts ini, dan setiap kubu berdalil
dengan wijhah nazhorpent]. Para peneliti sendiri telah menemukan bahwa lalat –terutama
dari jenis yang dikenal dengan sebutan az-Zanbūr- di dalam tubuhnya terdapat bisa/racun
sekaligus antidotnya, atau dengan kata lain penyakit dan obatnya. Suatu hal yang telah
ma’rūf (diketahui) oleh orang banyak bahwa bisa/racun kalajengking dapat diobati dengan
bisa kalajengking pula setelah mengalami perlakuan khusus. Dan kekebalan (imunitas)
terhadap beberapa penyakit, dapat diperoleh dari penyakit itu sendiri setelah melemahkan
mikroba atau virus –menurut istilah mereka- dengan suatu metode tertentu. [semisal
vaksinasi, pent.] (analisis) masing-masing. Namun suatu hal yang jelas dari pendapat
mereka, bahwa mereka para ilmuwan dalam bidang medis/kedokteran, menyatakan bahwa
ilmu kedokteran senantiasa masih diliputi oleh suatu rahasia yang belum terkuak hingga
sekarang [maksudnya belum selesai,

Ulama kita yang mulia telah mengukuhkan bahwa hadîts ini adalah hadîts yang tsabat
(tetap) dari jalur riwayat yang shahîh. Oleh karena itu tidak sepatutnya kita terlalu
gegabah mendustakannya walaupun hadîts tersebut menyelisihi suatu hal yang umum
yang mana tidak sampai kepada tingkatan haqîqoh (realita) yang pasti. Tidak pula kita
tergesa-gesa menakwilkannya untuk menyelaraskan dengan hal yang kita hadapi, kecuali
apabila (realitasnya) telah tetap secara pasti dan tidak menyisakan suatu keraguan
sedikitpun, maka pada saat itulah takwil dibolehkan dan cara penakwilan dalam hal ini
banyak.

Pertentangan antara nash dengan realitas semata-mata merupakan pertentangan zhahir


nash belaka, bukan hakikatnya. Karena dua hal yang realitas tidak akan saling
bertentangan selamanya dengan bentuk pertentangan yang menyeluruh dari segala
aspeknya. Diantara ulama yang menghabiskan waktunya di dalam menyelaraskan antara
dua riwayat yang terkesan saling bertentangan antara satu dengan lainnya adalah : Ibnu
Qutaibah ad-Dînawarî (w. 276 H), beliau membahas hadîts lalat ini di dalam buku beliau
yang berjudul Ta`wil Mukhtalafil Hadîts dan beliau paparkan pendapat ahli pengobatan
tentangnya.

Almarhūm [lebih utama menyebut dengan Rahimahullâhu, walaupun Imâm Ibnu


‘Utsaimîn memperbolehkan menyebut kata ini dengan maksud tafaâ’ul (optimistis) dan
doa, pent.] Yūsuf ad-Daujî telah memberikan jawaban tentang hadîts ini dengan jawaban
yang belum pernah dikeluarkan sebelumnya, dan pendapat beliau ini disokong oleh as-
Sayyid Ibrâhîm Musthofâ ‘Abdah –salah seorang apoteker dan ahli farmasi medis- dalam
salah satu muhâdhoroh (ceramah) beliau di Jum’îyah (Perhimpunan) al-Hidâyah al-
IslâmîyahAl-Islâm” tertanggal 30 Desember 1932 dengan sokongan tambahan informasi
medis dari ahli medis senior di dunia. Hal ini juga dipublikasikan oleh Majalah “Al-
Azhar” edisi Rojab 1378. Pembahasan akan Hadîts ini juga termaktub dalam risalah
(disertasi) yang dipresentasikan oleh Almarhūm as-Syaikh Muhammad Muhammad Abū
Syuhbah dalam rangka meraih gelar profesor pada tahun 1946, dan di dalamnya terdapat
penukilan-penukilan medis dari ahli medis ternama, anda dapat merujuk pembahasan ini
dalam kitab beliau, Difâ’ ‘anis Sunnah, halaman 199. di Kairo pada tanggal 19 Maret
1931, dan ceramah beliau ini dipublikasikan oleh Majalah “

Pembahasan serupa juga datang dari ceramah al-Ustadz Ibrâhîm Musthofâ, bahwa lalat
seringkali hinggap di tempat-tempat busuk dan kotor yang banyak mengandung kuman,
dan mengubah apa yang dimakannya di dalam tubuhnya menjadi apa yang disebut oleh
ahli medis sebagai “Bacteriophage” [perusakan bakteri oleh agen litik, pent.], yang
membantu membunuh mayoritas kuman-kuman tersebut. Beliau menetapkan hal ini dari
jurnal ilmiah yang beliau nukil dari Majalah at-Tajârub ath-Thibbîyah al-Injilîziyah
[Farmakologi Medis] no. 1037, tahun 1927. [selesai penukilan dari Fatawa al-Azhar].

Kepada para penolak hadîts lalat –dan pengingkar hadîts Nabî lainnya-, lihatlah
bagaimana benarnya Nabîyullâh Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, dan
bagaimana mukjizat beliau akhirnya terkuak oleh sains dan pengetahuan modern.

Berikut ini adalah sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Tim Departemen
Mikrobiologi Medis, Fakultas Sains, Universitas Qâshim, Kerajaan Arab Saudi, beberapa
peneliti muda yang terdiri dari :

1. Sâmi Ibrâhîm at-Tailî


2. ‘Ậdil ‘Abdurrahmân al-Misnid
3. Khâlid Dza’âr al-Utaibî
Yang dibimbing oleh Dr. Jamâl Hâmid, dan dikoordinasi oleh DR. Shâlih ash-Shâlih
(seorang da’i terkenal di Eropa, pen.), melakukan penelitian tentang analisa mikrobiologi
tentang sayap lalat. Laporan ini mereka presentasikan ke acara ”Student Research
Seminar” di Universitas Qâshim, KSA.

Metode yang mereka gunakan cukup sederhana, yaitu mengkultivasi (menumbuhkan) air
steril yang telah dicelupkan lalat ke media Agar [media yang berasal dari musilaginosa
kering yang diekstrak dari ganggang mereh, yang mencair pada suhu 100oC dan memadat
pada suhu 40oC yang tidak dapat dicerna oleh mikroba, pen.] kemudian mengidentifikasi
mikroba yang tumbuh.

Lalat yang digunakan ada beberapa spesies, dan sample yang digunakan untuk tiap spesies
terdiri dari dua sample, yaitu (1) sample air steril dimana lalat dimasukkan sedemikian
rupa sehingga hanya pada bagian sayap lalat saja, dan (2) sample air steril yang
dimasukkan lalat yang dicelup seluruh tubuhnya. Semua ini dilakukan secara aseptis
(bebas mikroba) di ruangan khusus, untuk menghindarkan terjadinya kontaminasi luar
yang akan membuat hasil penelitian menjadi bias.

Setelah itu, sample air tadi dikultivasi ke media Agar dan diinkubasi selama beberapa hari
sehingga kultur (biakan) mikroba tumbuh dan tampak secara jelas. Hasil kultur mikroba
tersebut diidentifikasi untuk mengetahui jenis mikroba tersebut. Berikut ini adalah
hasilnya.

Keterangan : Spesies Lalat A

Cawan Petri 1 : sampel kultur air yang diambil dari sebuah tabung yang berisi air steril
yang dicelupkan lalat secara sempurna (seluruh tubuhnya terbenam).

Cawan Petri 2 : sampel kultur air yang diambil dari sebuah tabung yang berisi air steril
yang dijatuhkan seekor lalat ke dalamnya tanpa membenamkannya.

Hasil :

Pada cawan petri 2, setelah diidentifikasi ternyata media ditumbuhi oleh koloni bakteri
patogen tipe E. Coli, yang merupakan penyebab berbagai macam penyakit. Adapun pada
cawan 1, pada awal mulanya tampak tumbuh koloni kecil tipe E. Coli, namun
pertumbuhannya terhambat oleh mikororganisme yang setelah diidentifikasi merupakan
bakteri Actinomyces yang dapat memproduksi antibiotik. Bakteri ini biasanya
menghasilkan antibiotik yang dapat diekstrak, yaitu actinomycetin dan actinomycin yang
berfungsi melisiskan bakteri dan bersifat antibakteri dan antifungi.
Keterangan : Spesies Lalat B

Cawan Petri 1 : sampel kultur air yang diambil dari sebuah tabung yang berisi air steril
yang dicelupkan lalat secara sempurna (seluruh tubuhnya terbenam).

Cawan Petri 2 : sampel kultur air yang diambil dari sebuah tabung yang berisi air steril
yang dijatuhkan seekor lalat ke dalamnya tanpa membenamkannya.

Hasil :

Pada cawan petri 2, setelah diidentifikasi ternyata media ditumbuhi oleh koloni bakteri
patogen tipe Coynobacterium dephteroid, yang merupakan penyebab berbagai macam
penyakit. Adapun pada cawan 1, tumbuh mikororganisme yang setelah diidentifikasi
merupakan bakteri Actinomyces yang memproduksi antibiotik. Bakteri ini biasanya
menghasilkan antibiotik yang dapat diekstrak, yaitu actinomycetin dan actinomycin yang
berfungsi melisiskan bakteri dan bersifat antibakteri dan antifungi.
 

Keterangan : Spesies Lalat C

Cawan Petri 1 : sampel kultur air yang diambil dari sebuah tabung yang berisi air steril
yang dicelupkan lalat secara sempurna (seluruh tubuhnya terbenam).

Cawan Petri 2 : sampel kultur air yang diambil dari sebuah tabung yang berisi air steril
yang dijatuhkan seekor lalat ke dalamnya tanpa membenamkannya.

Hasil :

Pada cawan petri 2, setelah diidentifikasi ternyata media ditumbuhi oleh koloni bakteri
patogen tipe Staphylococcus sp., yang merupakan penyebab berbagai macam penyakit.
Adapun pada cawan 1, tumbuh mikororganisme yang setelah diidentifikasi merupakan
bakteri Actinomyces yang memproduksi antibiotik. Bakteri ini biasanya menghasilkan
antibiotik yang dapat diekstrak, yaitu actinomycetin dan actinomycin yang berfungsi
melisiskan bakteri dan bersifat antibakteri dan antifungi.

Hasil yang serupa diperoleh untuk jenis lalat lain yang banyak mengandung bakteri
patogen Salmonella sp.Proteus sp., yang terhambat oleh pertumbuhan Actinomyces. dan

 
Kesimpulan :

Masuknya lalat pada makanan atau minuman, dengan tanpa dicelup dan dicelup, ternyata
memberikan hasil berbeda yang signifikan. Hal ini membenarkan apa yang disabdakan
oleh baginda Nabî yang mulia, Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, bahwa pada sayap lalat itu
terdapat penyakit sekaligus penawarnya. Maha benar Allôh dan Maha benar Rasūlullâh
Shallâllâhu alaihi wa Sallam.

......
Beriman kepada Al-Qur'an Al-
Karim

Abu Bakr Jabir al-Jazairi    

Orang Muslim beriman bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah firman Allah Ta'ala yang
diturunkan kepada manusia terbaik, nabi terbaik, dan rasul termulia, Muhammad saw.,
sebagaimana Allah Ta'ala menurunkan kitab-kitab yang lain kepada rasul-rasul
sebelumnya. Orang muslim juga menyakini bahwa Al-Qur'an Al-Karim dengan hukum-
hukumnya itu menghapus semua hukum-hukum pada kitab-kitab samawi terdahulu,
sebagaimana risalah pembawanya (Rasulullah saw.) itu menghapus semua risalah
terdahulu.

Orang Muslim menyakini bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah Kitab yang mengandung
Undang-Undang Rabbani Terbesar. Allah Ta'ala yang menurunkannya menjamin bahwa
orang yang mengambilnya, pasti bahagia di kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat, dan
mengancam bahwa barang siapa berpaling daripadanya dan tidak mengambilnya, ia pasti
celaka di kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Orang Muslim menyakini bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah kitab satu-satunya yang
dijamin bersih oleh Allah Ta'ala dari kekurangan, penambahan, pengartian, dan perubahan
serta menjamin abadi hingga Dia mengangkatnya pada akhir usia kehidupan ini. orang
menyakini itu semua berdasarkan dalil-dalil wahyu, dan dalil-dalil akal.

Dalil-dalil Wahyu

Penjelasan Allah Ta'ala tentang hal tersebut dalam banyak firman-Nya misalnya firman-
firman-Nya berikut.
"Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar
dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (Al-Furqan: 1).
"Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur'an ini
kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk
orang-orang yang belum mengetahui." (Yunus: 3)
"Sesungguhnya Kami telah meurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (terhadap orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat." (An-Nisa': 105).
"Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan
kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari sisi Allah, dan kitab
yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya terang-benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al-Ma'idah: 15-16).
"Maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
(Thaha: 123-124)
"Sesungguhnya Al-Qur'an itu kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya kebatilan
baik dari depan mau pun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang
Mahabijaksana dan Maha Terpuji." (Fushshilat: 41-42).
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya." (Al-Hijr: 9).
Pejelasan Rasulullah saw. dalam hadits-haditsnya, misalnya hadits-hadits berikut.
"Ketahuilah, aku telah diberi Al-Kitab (Al-Qur'an) dan diberi hal yang sama dengannya."
(Diriwayatkan Abu Daud, At-Tarmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih).
"Orang yang terbaik diantara kalian ialah orang yang belajar Al-Qur'an, dan
mengajarkannya." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
"Tidak boleh dengki, kecuali kepada dua orang: Orang yang diberi Al-Qur'an oleh Allah,
kemudian ia membacanya di pertengahan malam dan pertengahan siang. Dan orang yang
diberi harta, kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertangahan
siang." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
"Tidaklah salah seorang dari para nabi, melainkan ia diberi apa yang seperti ayat-ayat
yang diimani manusia. Namun yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan
Allah kepadaku. Aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya."
(Diriwayatkan Muslim).
"Seandainya Musa atau Isa masih hidup, maka tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali
mengikutiku." (Diriwayatkan Abu Ya'la).
Keimanan miliaran kaum Muslimin bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah kitab Allah Ta'ala,
dan wahyu-Nya yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, pembacaan Al-Qur'an oleh mereka,
hafalnya sebagian besar dari mereka, dan pengamalan mereka terhadap syari'at dan
hukum-hukumnya.

Dalil-Dalil Akal

Cakupan Al-Qur'an Al-Karim terhadap banyak sekali ilmu pengetahuan seperti berikut,
padahal nabi yang menerimanya adalah buta huruf yang tidak bisa baca tulis, tidak pernah
menemui penulis, atau masuk sekolah:
Pengetahuan tentang alam semesta.
Pengetahuan tentang sejarah.
Pengetahuan tentang perundang-undangan dan hukum.
Pengetahuan tentang perang dan politik.
Kandungan Al-Qur'an Al-Karim terhadap itu semua adalah bukti bahwa Al-Qur'an adalah
firman Allah Ta'ala, dan wahyu dari-Nya. Sebab, akal memutuskan kemunculan ilmu
pengetahuan seperti di atas dari orang buta huruf yang tidak bisa baca-tulis.

Allah Ta'ala menurunkan Al-Qur'an menantang manusia untuk membuat seperti Al-Qur'an
dengan firman-Nya, "Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya merka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain." (Al-Isra': 88).
Allah Ta'ala menantang para pakar bahasa Arab untuk membuat sepuluh surat seperti Al-
Qur'an, atau satu surat saja, namun mereka tidak mampu melakukannya.

Ini semua bukti kuat, dan argumen akurat, bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala,
dan sama sekali bukan ucapan manusia.

Kandungan Al-Qur'an terdapat banyak sekali informasi tentang hal-hal yang ghaib, dan
sebagiannya terjadi persis seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an tanpa tambahan atau
pengurangan. (Misalnya, penjelasan Al-Qur'an bahwa orang-orang Persia akan dikalahkan
dalam beberapa tahun lagi. Dan betul, tidak lama setelah itu, orang-orang Persia
dikalahkan orang-orang Romawi. Allah Ta'ala berfirman, "Aliif laam miim. Telah
dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat dan mereka, sesudah dikalahkan itu,
akan menang. Dalam beberapa tahun lagi." (Ar-Ruum: 1-3).
Selagi AllahTa'ala menurunkan Kitab-Kitab lain kepada selain Nabi Muhammad saw.,
seperti Taurat kepada Nabi Musa Alaihi Sallam, dan Injil Kepada Nabi Isa Alaihi Sallam,
maka tidak bisa dipungkiri, bahwa Allah Ta'ala juga menurunkan Al-Qur'an, sebagaimana
Dia menurunkan Kitab-Kitab sebelumnya. Apakah akal memustahilkan penurunan Al-
Qur'an, dan menolaknya? Tidak, justru akal mewajibkan turunnya Al-Qur'an, dan
mengharuskannya.
Ramalan-ramalan Al-Qur'an terbukti terjadi persis seperti yang diramalkan Al-Qur'an dan
kisal-kisahnya juga terjadi persis seperti diceritakan Al-Qur'an. Selain itu, hukum-
hukumnya, syari'at-syari'atnya, dan undang-undangnya dipraktekkan kemudian berhasil
mewujudkan apa yang diinginkannya, yaitu, keamanan, kejanyaan kemuliaan dan ilmu.
Ini dibuktikan oleh sejarah negara khulafa'ur rasyidin.
Setelah ini semua, dalil apa lagi yang diminta untuk membuktikan bahwa Al-Qur'an
adalah firman Allah Ta'ala, dan wahyu-Nya yang Dia turunkan kepada makhluk-Nya yang
terbaik, penutup para nabi dan penutup para Rasul-Nya?

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi
Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 27-31.

.................
Mengingat Kembali
Warisan Nabi
MediaMuslim.Info. Jika kita sakit gigi, tentunya kita berobat dokter gigi bukan? Kenapa
kita tidak pergi ke dokter kulit atau tukang cukur tatkala kita sakit gigi? Ya!’, tepat sekali,
karena dokter gigilah yang mengetahui masalah penyakit gigi, bukan yang lainnya. Itulah
pentingnya ilmu, dan ilmu itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, Ilmu
Yang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala Turunkan.
Di antara nama-nama Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang husna (baik, bagus) adalah al
‘Aliim, yang artinya Maha Mengetahui. Alloh Subhanallohu wa Ta’ala adalah Dzat yang
Maha Mengetahui, baik perkara-perkara yang lahir maupun yang batin, baik yang kecil,
ataupun yang besar. Dan sifat ilmu Alloh Subhanallohu wa Ta’ala merupakan ilmu yang
sempurna, tidak didahului oleh sifat kebodohan dan tidak pula dihinggapi sifat lupa.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Pengetahuan (ilmu) tentang hal itu, ada pada
Tuhanku, di dalam sebuah kitab Tuhanku yang tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.”
(QS: Thooha: 52) (Al Qowaa’idul Mutslaa, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin).

Alloh Ta’ala menurunkan dua macam ilmu kepada manusia. Yaitu, ilmu duniawi dan ilmu
syar’i. Adapun ilmu duniawi, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah, yakni jika
sudah ada orang yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban orang yang lainnya. Dan ilmu
duniawi ini bisa sebagai sarana untuk tujuan kebaikan atau untuk kejahatan, sehingga
hukumnya pun sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya. Sedangkan yang dimaksud
dengan ilmu syar’i adalah ilmu yang diturunkan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala
kepada Rosululloh Muhammad shollAlloh Subhanallohu wa Ta’ala u’alaihi wa sallam
yang berupa keterangan-keterangan dan petunjuk yang terkait dengan keselamatan dan
kebaikan seorang hamba, yang mana pemilik ilmu inilah yang mendapatkan pujian dari
Alloh Subhanallohu wa Ta’ala . (Kitabul ‘Ilmi, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin).

Sebagaimana sabda Rosululloh, yang artinya: “Barangsiapa yang dirinya dikehendaki


kebaikan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala , maka akan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala
pahamkan dia tentang ilmu agama.” (HR: Al Bukhori).

Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala,  yang artinya: “…Alloh Subhanallohu wa Ta’ala


akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat…” (QS: Al Mujaadilah: 11). Hukum mempelajarinya adalah wajib
bagi setiap muslim, berdasarkan sabda Rosululloh, yang artinya: “Menuntut ilmu (syar’i)
adalah kewajiban bagi setiap muslim (baik laki-laki ataupun wanita).” (HR: Ibnu Majah,
Abu Ya’la dan Ath Thobroni)

Dan ilmu syar’i inilah yang menjadi warisan para Nabi. Rosululloh bersabda, yang
artinya: “Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham (harta
benda), akan tetapi hanyalah mereka mewariskan ilmu syar’i, maka barangsiapa yang
mengambilnya, sungguh dia mengambil bagian (warisan) yang banyak.” (HR: Abu
Dawud dan Tirmidzi). Ilmu ini merupakan ilmu yang terlupakan dari perhatian kaum
muslimin. Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Mereka hanya
mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan)
akherat adalah lalai.” (QS: Ar Ruum: 7), yakni kebanyakan manusia tidaklah mempunyai
ilmu kecuali tentang ilmu dunia, dan yang terkait dengannya. Mereka sangat pandai
dengan hal tersebut, namun lalai dalam masalah-masalah agama mereka dan apa yang bisa
memberikan manfaat bagi akherat mereka. (Tafsirul Quranil Azhim, Al Imam Ibnu
Katsir).

Perlu diketahui, bahwasanya Alloh Subhanallohu wa Ta’ala membenci setiap orang yang
pandai dalam masalah-masalah dunia namun bodoh tentang perkara akherat, Rosululloh
bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Alloh Subhanallohu wa Ta’ala membenci setiap
orang yang ‘alim (pandai) dalam perkara duniawi, namun jahil terhadap perkara akherat.”
(Shahihul Jami’: 1875).

Menuntut Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) = Jihad

Tatkala disebut kata jihad, yang tergambar dalam pikiran adalah perang dengan berbagai
kesulitannya. Perlu diketahui, bahwa syariat jihad bertujuan agar agama Islam ini tegak di
muka bumi. Dan Islam tidaklah tegak tanpa adanya jihad. Namun, perlu digaris bawahi,
bahwasanya jihad ada dua bentuk, yang pertama adalah jihad dengan ilmu dan burhan
(keterangan), dan yang kedua adalah jihad dengan perang dan pedang. Jihad yang pertama
lebih didahulukan dibandingkan yang kedua, sebagaimana Rosululloh tidak akan
memerangi suatu kaum sebelum dakwah sampai kepada mereka (Kitabul ‘Ilmi, Al Imam
Ibnu ‘Utsaimin).

Abu Darda, salah seorang sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, berkata, yang
artinya: “Tidaklah seseorang pergi siang hari ke Masjid untuk kebaikan yang akan
dipelajarinya atau diajarkannya, melainkan akan ditulis untuknya pahala sebagaimana
pahala mujahid. Ia tidak pulang melainkan dalam keadaan mendapatkan rampasan
perang.” Hal ini sesuai dengan sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu (agama), ia berada di jalan Alloh
Subhanallohu wa Ta’ala hingga ia pulang.” (HR: At Tirmidzi dan At Thobroni). Begitu
pula Muadz bin Jabal, sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, berkata,
“Hendaklah kalian menuntut ilmu (agama), karena mempelajarinya dengan ikhlash
membuat orang takut kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala , mengkajinya adalah ibadah,
dan mendiskusikannya adalah tasbih, dan pergi mencarinya adalah jihad.” (Al ‘Ilmu, Al
Imam Ibnul Qoyyim).

Ilmu Dulu, Baru Amal

Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “…barangsiapa yang mengharap perjumpaan


dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS: Al Kahfi: 110).
Yakni siapa saja yang mengharap pahala dan balasan yang baik dari-Nya, hendaknya ia
mengerjakan amal yang sholeh, yakni amal yang sesuai dengan tuntunan Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan tidak mempersekutukan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala
dalam beribadah, yakni hanya mengharap pahala dan wajah Alloh Subhanallohu wa Ta’ala
semata dari amal ibadahnya.
Di dalam ayat ini, terdapat dua rukun amal sebagai syarat diterimanya amal tersebut oleh
Alloh Subhanallohu wa Ta’ala , amal tersebut haruslah: (1) Ikhlash ditujukan kepada
Alloh Subhanallohu wa Ta’ala , dan (2) Sesuai dengan tuntunan dari Rosululloh. (Tafsirul
Quranil ‘Azhim, Al Imam Ibnu Katsir). Maka dari itu, seseorang yang hendak
mengerjakan amal ibadah, selain berusaha mengikhlashkan amal ibadahnya hanya kepada
Alloh Subhanallohu wa Ta’ala , juga harus mengetahui (mengilmui) apakah amal
ibadahnya tersebut diperintahkan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala atau dituntunkan
oleh Rosululloh. Karena tidaklah setiap amal perbuatan yang dimaksudkan untuk
beribadah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mesti diterima oleh Alloh Subhanallohu
wa Ta’ala . Rosululloh bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu
amalan yang bukan merupakan perintah kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR:
Muslim). Dengan begitu, ilmu lebih didahulukan daripada amal perbuatan.

Begitu pula dengan firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya: “Ketahuilah
(ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah
kecuali hanya Alloh Subhanallohu wa Ta’ala , dan mohonlah ampunan atas dosamu…”
(QS: Muhammad: 19). Al Imam Al Bukhori menggunakan ayat ini sebagai dalil mengenai
kewajiban memulai dengan ilmu sebelum berbicara dan beramal. Ini merupakan dalil dari
Al Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia mengetahui terlebih dahulu, kemudian baru
beramal. Sebab suatu ucapan maupun amalan tidak bisa diterima kecuali bila dilakukan
sesuai dengan ketentuan syariah, padahal tidak mungkin seseorang mengetahui bahwa
amalnya sesuai dengan ketentuan syariah kecuali dengan ilmu (Syaroh Tsalaatsatul Ushul,
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin).

Bersikaplah Adil, Sahabat....

Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengabarkan bahwa setelah meninggal, manusia akan


dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatannya sewaktu
hidup di dunia. Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Alloh tidak
ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang akan ditanya…” (QS: Al
Anbiya’: 21). Kemudian manusia akan menempati tempatnya di akherat. Jika tempatnya
di surga, di surgalah dia. Namun jika tempatnya di neraka, di nerakalah dia. Dan perlu
diingat, bahwasanya kehidupan akherat itu kekal. Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala,
yang artinya: “Dan kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS: Al A’laa:
17). Sebagaimana manusia tidak suka jika ada orang yang tidak adil kepadanya, maka
hendaknya dia pun berbuat adil kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala.

Jadi, tidaklah boleh seseorang hanya mementingkan kehidupan dunia tanpa memikirkan
kehidupan akherat. Sehingga, kalau dia mampu meluangkan kesempatan belajar ilmu
duniawi, tentunya dia pun harus bisa meluangkan kesempatan belajar ilmu syar’i.
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…” (QS: Al Maidah: 8)

...................
Beriman kepada Nama-Nama Allah Ta'ala dan Sifat-
Sifatnya
Abu Bakr Jabir al-Jazairi    

Orang Muslim beriman kepada asmaul husna (nama-nama baik), dan sifat-sifat agung
yang dimiliki Allah Ta’ala. Ia tidak mempersekutukan Allah Ta’ala dengan lain-Nya, tidak
menafsirkannya kemudian meniadakannya, dan tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat
manusia dengan cara menyerupakan Allah Ta’ala dengan manusia. Itu sesuatu yang
mustahil. Orang Muslim tidak bersifat seperti itu. Namun ia menegaskan untuk Allah
Ta’ala apa yang telah ditegaskan Allah Ta’ala untuk diri-Nya, dan sifat-sifat dan nama-
nama yang ditegaskan Rasulullah saw. untuk Allah Ta’ala. Ia buang dari Allah Ta’ala apa
yang dibuang Allah Ta’ala dari dalam diri-Nya, dan aib dan kekurangan yang dibuang
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari diri-Nya baik secara umum, atau secara
rinci. Itu semua berdasarkan dalil-dalil wahyu, dan dalil-dalil akal seperti berikut.

Dalil-Dalil Wahyu
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), "Hanya milik Allah asmaul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna dan tinggalkanlah orang-orang
yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A’raaf: 180).

"Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian
seru. Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang terbaik)'." (Al-Isra: 110).

Allah Ta’ala mensifati diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Kuat, Maha Perkasa, Maha Lembut, Maha Menerima
Syukur, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih, Dia berdialog dengan Nabi
Musa, bersemayam di atas Arasy-Nya, Dia menciptakan dengan kedua tangan-Nya,
mencintai orang-orang yang baik, ridha kepada kaum mukminin, dan sifat-sifat
kepribadian dan sifat-sifat tindakan lainnya seperti Dia datang, turun, dan lain sebagainya
yang telah Dia turunkan di Kitab-Nya, dan diucapkan Rasul-Nya saw.

Rasulullah saw. menjelaskan tentang hal tersebut dalam hadits-hadits shahih dan tegas
dari beliau. Sabda beliau saw. (yang artinya), "Allah tertawa kepada dua orang salah
seorang dari keduanya membunuh orang satunya, namun keduanya masuk surga."
(Muttafaq Alaih).

"Neraka Jahannam tidak henti-hentinya dimasuki (penghuninya). Jahannam berkata,


‘Adakah tambahan lagi?’ Hingga kemudian Pemilik kebesaran meletakkan kaki-Nya ke
dalamnya – dalam riwayat lain telapak kaki-Nya – kemudian sebagian Jahannam menyatu
dengan sebagian yang lain. Jahannam berkata, ‘Sudah, sudah’." (Muttafaq Alaih)

"Tuhan kita turun ke langit dunia pada setiap malam, tepatnya pada sepertiga malam
terakhir, kemudian berfirman, ‘Siapakah yang berdoa kepada-Ku kemudian Aku kabulkan
doanya? Siapakah yang memnita kepada-Ku kemudian dia Aku beri? Siapakah yang
meminta ampunan kepada-Ku kemudian dia Aku beri ampunan?" (Muttafaq Alaih).
"Allah pasti lebih berbhagia dengan taubat hamba-Nya daripada kebahagiaan seseorang
dengan hewannya yang hilang kemudian ia temukan kembali." (Diriwayatkan Muslim).

Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada salah seorang budak wanita, "Di
mana Allah?" Budak wanita tersebut menjawab, "Di langit". Rasulullah saw. bersabda,
"Siapa saya?" Budak wanita tersebut menjawab, "Engkau Rasulullah," Rasulullah saw.
bersabda,"Merdekakan budak wanita ini, karena ia beriman."

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Allah menggenggam bumi pada hari kiamat,
dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman, ‘Aku raja. Mana raja-
raja dunia?" (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Pengakuan generasi salafush shalih dari para sahabat, tabi’in, dan empat imam tentang
sifat-sifat Allah Ta’ala, ketidakmauan mereka mentakwilkannya, atau menolaknya, atau
mengeluarkannya dari arti dzahirnya. Tidak ada seorang sahabat pun yang mentakwil
salah satu sifat Allah Ta’ala, atau menolaknya, atau berkata bahwa arti dzahirnya tidak
tidak seperti itu. Mereka beriman kepada maksud sifat, dan membawanya kepada arti
dzahirnya. Mereka tahu, bahwa sifat-sifat Allah Ta’ala tidak sama dengan sifat-sifat
makhluk-makhluk-Nya. Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang maksud
firman Allah Azza wa Jalla, "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di
atas Arasy." (Thaha: 5).

Imam Malik menjawab, "Bersemayam itu sudah bisa diketahui, caranya itu tidak
diketahui, dna menanyakan caranya adalah bid’ah."

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata, "Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang
dibawa dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan kepada apa yang dibawa dari beliau sesuai dengan
maksud beliau."

Imam Ahmad Rahimahullah berkata seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa


Sallam, "Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, sesungguhnya Allah melihat pada
hari kiamat, sesungguhnya Allah merasa takjub, Allah tetawa dan marah, Allah ridha,
membenci dan mencintai."

Imam Ahmad juga berkata, "Kita beriman kepada itu semua, dan membernarkan tidak
dengan cara dan maknanya. Maksudnya, bahwa kita beriman bahwa Allah itu turun, bisa
dilihat, dan di atas Arasy jauh dari makhluk-Nya. Namun kita tidak tahu cara turunnya
Allah, cara penglihatan oleh-Nya, cara bersemayamnya Allah, dan arti hakiki itu semua.
Kita serahkan pengetahuan tentang itu semua kepada Alah yang berfirman, dan
mewahyukan kepada Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kita tidak membantah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak mensifati Allah melebihi penyifatan Allah
terhadap Diri-Nya, dan tidak mensifati-Nya melebihi penyifatan oleh Rasul-Nya terhadap-
Nya tanpa batas, dan tanpa tujuan. Kita tahu, bahwa tidak ada sesuatu yang mirip Allah,
dan Allah Maha Mendengar, dan Maha Melihat."

Dalil-Dalil Akal

Allah Ta’ala telah mensifati Diri-Nya dengan sejumlah sifat, menamakan Diri-Nya
dengan sejumlah nama, tidak melarang kita mensifati-Nya dengan sifat-sifat-Nya dan
menamakan-Nya dengan nama-nama-Nya, serta tidak memerintahkan kita
mentakwilkannya, atau membawanya kepada arti di luar arti dzahirnya. Apakah masuk
akal kalau dikatakan, jika kita mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat-Nya itu berarti kita
telah menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya sehingga itu mengharuskan kita
mentakwil arti sifat-sifat tersebut, dan membawanya kepada arti di luar arti dzahirnya?
Kalau begitu, kita berarti menjadi orang-orang yang meniadakan, membuang sifat-sifat
Allah Ta’ala, dan tidak mengakui nama-nama-Nya.

Allah Ta’ala mengancam orang-orang seperti itu dengan firman-Nya, "Hanya milik Allah
asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-
nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan." (Al-A’raaf: 180).

Bukankah orang yang menolak salah satu sifat Allah Ta’ala dengan alasan takut
menyerupakan-Nya dengan makhluk itu malah menyerupakan sifat Allah Ta’ala dengan
sifat-sifat makhluk? Ia takut menyerupakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat makhluk,
kemudian ia lari dari padanya menuju kepada penolakan sifat-sifat Allah Ta’ala, dan
meniadakannya. Ia tolak sifat-sifat Allah Ta’ala yang ditegaskan Allah Ta’ala untuk Diri-
Nya, dan ia meniadakannya. Jadi ia menghimpun dua dosa besar dosa menyerupakan sifat
Allah Ta’ala dengan sifat makhluk, dan meniadakan sifat-sifat-Nya.

Dalam kondisi seperti itu, bukankah masuk akal kalau Allah Ta’ala bisa disifati dengan
sifat-sifat yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya, dan dengan sifat-sifat yang disifatkan
Rasulullah saw. untuk Diri-Nya dengan disertai keyakinan bahwa Dia mempunyai sifat-
sifat yang tidak mirip dengan sifat-sifat makhluk, dan bahwa Dzat Allah Azza wa Jalla
tidak sama dengan dzat makhluk?

Iman kepada sifat-sifat Allah Ta’ala, dan pensifatan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat-Nya
tidak berarti menyerupakan sifat-sifat Allah Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk, sebab akal
tidak memustahilkan Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat dengan Dzat-Nya yang tidak mirip
dengan sifat-sifat makhluk, dan sifat-sifat-Nya tersebut tidak mempunyai titik temu
dengan sifat-sifat makhluk kecuali pada namanya saja, sebab Al-Khaliq (Pencipta)
memiliki sifat-sifat khusus untuk Diri-Nya, dan makhluk juga memiliki sifat-sifat khusus
untuk dirinya.

Ketika orang Muslim beriman kepada sifat-sifat Allah Ta’ala, dan mensifati-Nya dengan
sifat-sifat-Nya, maka ia sama sekali tidak meyakini, dan bahkan tidak terlintas dalam
benaknya bahwa tangan Allah Tabaraka wa Ta’ala itu sama dengan tangan makhluk dalam
makna apa pun selain sama pada namanya saja. Ini karena perbedaan besar antara
makhluk dan Al-Khaliq (Pencipta) dalam dzat, sifat, dan perbuatan.

Allah Ta’ala berfirman, "Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperankan. Dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’." (Al-Ikhlas: 1-4).

Allah Ta’ala berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi
Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 14-19.
 

................
Surat-Surat Makkiyah Dan
Madaniyah

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (www.almanhaj.or.id)

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara


berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun, sebagian besar waktu Rasulullah
dihabiskan di Makkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian” [Al-Israa : 106]

Oleh karena itu para ulama rahimahullahu membagi Al-Qur’an menjadi dua bagian :
Makkiyah dan Madaniyah.

Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebelum berhijrah ke Madinah.

Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam setelah berhijrah ke Madinah.

Dengan dasar ini, maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ma’idah : 3]

Termasuk ayat Madaniyah walaupun diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam pada haji Wada’ di Arafah.

Dalam kitab Shahih Bukhari [1] diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
dia mengatakan : “Kami tahu hari itu dan tempat wahyu tersebut turun kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahyu tersebut turun sementara Rasulullah sedang berdiri
berkhutbah hari Jum’at di padang Arafah”.

PERBEDAAN ANTARA AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN AYAT-AYAT MADANIYAH


DILIHAT DARI KONTEKS KALIMAT DAN KANDUNGAN

[a]. Perbedaan Pada Konteks Kalimat.


1. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena
kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok
mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat Al-
Qamar.

Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak


karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat Al-Maa’idah.

2. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena


kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti
kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur.

Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang


hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi obyek yang
didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.

[b]. Perbedaan Pada Materi Pembahasan


1. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah berisikan penetapan tauhid dan aqidah yang benar,
khususnya yang berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah dan iman kepada hari kebangkitan ;
karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari hal itu.

Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan berisikan perincian masalah ibadah dan


muamalah, karena obyek yang didakwahi sudah memiliki Tauhid dan aqidah yang benar
sehingga mereka membutuhkan perincian ibadah dan muamalah.

2. Penjelasan secara rinci tentang jihad berserta hukum-hukumnya dan kaum munafik
beserta segala permasalahannya karena memang kondisinya menuntut demikian. Hal itu
ketika disyariatkannya jihad dan timbulnya kemunafikan, berbeda halnya dengan ayatayat
Makkiyah.

MANFAAT MENGETAHUI PEMBAGIAN MAKKIYAH DAN MADANIYAH


Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah adalah bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an
yang sangat penting. Hal itu karena pada pengetahuan tersebut memiliki beberapa
manfaat, di antaranya.

1. Nampak jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum
diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi ; dari ketegasan,
kelugasan, kelunakan dan kemudahan.

2. Nampak jelas puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara


berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta
kesiapan mereka dalam menerima dan taat.

3. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk
mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan
mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan
kelunakan pada tempatnya masing-masing

4. Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan
Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai
nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat
Makkiyah.

[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah
Farid Qurusy]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Iman, Bab ; Ziyaadatul Iman Wa Nuqshaanuhu
(Bertambah dan berkurangnya keimanan), hadits nomor 45, Muslim, Kitab At-Tafsir, Bab
Fii Tafsiri Aayaatin Mutafarriqah, hadits nomor 3015

Anda mungkin juga menyukai