Anda di halaman 1dari 2

Naqshbandi Al - Haqqoni Batam Site

Tingkatan - tingkatan Halal dan Haram


Kontribusi dari zawiyah

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim


Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin
wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

TingkatanTingkatan Halal dan Haram

Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban yang sangat dipujikan. Memakan, mengenakan, dan mencukupkan diri
dengannya sekadar yang amat dibutuhkan saja pasti men-datangkan faedah amat besar serta hasil amat berharga dan
sangat didambakan. Sebagaimana hal itu juga merupakan dasar utama dalam menyuburkan jiwa, menyucikannya,
melembut-kannya, meneranginya, memperindahnya, dan menghiasinya dengan akidah-akidah mulia dan lurus, serta
sifat-sifat dan akhlak luhur yang menyelamatkan. Di samping itu, berpegang pada segala yang halal, seperti tersebut di
atas, merupakan dasar utama pula guna meningkatkan fungsi dan gairah anggota tubuh dan pancaindra seseorang
dalam mengerjakan amal-amal saleh, ketaatan-ketaatan yang mumi, serta ucapan-ucapan yang benar.

Mengenai barang-barang yang halal itu sendiri dapat dibagi dalam beberapa tingkatan:
Yang paling tinggi dan paling utama adalah sesuatu yang halal secara sempurna dari asalnya dan tetap seperti
ke-adaannya sejak semula, dari segenap seginya. Sebagai contoh, air sungai dan rumput yang tumbuh di tanah tak
bertuan, atau hasil perburuan di daratan dan lautan; yang seseorang dapat memperolehnya serta mencukupkan dirinya
dengannya. Selama ia mengambilnya sesuai dengan aturan yang dibolehkan dalam syariat, dengan selalu ber-hati-hati
dan dengan meniatkannya untuk mendatangkan kekuatan tubuh yang-selanjutnya- digunakan untuk me-laksanakan
ketaatan kepada Allah, beribadah untuk-Nya, dan menegakkan perintah-Nya— dan untuk itu, ia hanya mengambil
sekadar yang amat diperlukannya— maka ia dapat disebut sebagai "mengambil yang halal secara mutlak atau
secara sempurna".

Beberapa dari kalangan salaf saleh rahimahullâh hanya mau makan rerumputan saja sehingga badannya "meng-hijau".
Sufyan Al-Tsauri dan Ibrahim bin Adham (semoga keduanya dirahmati Allah) bilamana tidak menjumpai sesuatu yang
benar-benar halal, keduanya biasa menghirup pasir sebagai pengganti makanan pengisi perutnya. Berbagai rerumputan
yang bertebaran di gunung-gunung dan lembah-lembah dapat pula dijadikan makanan oleh seseorang yang hendak
mencukupkan dirinya dengan itu. Allah Swt. selalu menolong hamba-Nya sekadar niat dan tujuannya.

Sesuatu yang halal secara sempurna dan murni, tetapi dari satu sisinya saja. Contohnya, orang yang mengumpulkan
rerumputan dan kayu-kayuan dari lembah-lembah dengan ber-ihtiyath1 dalam mengambilnya. Kemudian,
mengangkutnya ke tempat penjualannya. Lalu, dengan harga yang di-terimanya itu, ia membeli makanan dan lain-lain
yang dibutuhkannya seraya memerhatikan sikap wara' dalam segala tindakannya, dan mencukupkan diri dalam
makanan dan pakaiannya sekadar yang benar-benar diperlukannya saja. Banyak dari para salaf saleh yang telah
membiasakan diri dengan cara ini.

Sesuatu yang halal, tetapi tidak termasuk dalam kategori "barang yang halal secara murni dan sempurna dari semua
isinya". Yaitu, penghasilan yang diperoleh dengan cara menggunakan alat atau dengan cara menerima upah
ke-terampilan, misalnya sebagai penulis, penjahit, tukang kayu, dan sebagainya atau dengan cara berdagang, jual-beli,
dan sebagainya. Semuanya itu mesti dengan berpegang teguh pada sifat-sifat takwa, wara', hati-hati, dan ihtiyath serta
disertai niat yang tulus-demi menjadikan penghasilannya itu sebagai sarana ketaatan kepada Allah dan pelaksanaan
perintah-perintah- Nya-seraya mencukupkan diri dalam makanan dan pakaian serta kebutuhan lainnya, dengan sesedikit
mungkin atau yang tidak dapat dihindari sama sekali. Adapun selebihnya dari itu, disedekahkan dan di-infakkan dalam
amal khair dan berbagai kebajikan demi Allah semata-mata.

Sesuatu yang halal, tetapi sebagiannya bercampur dengan yang haram. Yaitu, harta milik orang-orang yang
memper-olehnya dengan mencampurbaurkan segala sesuatu dalam usaha-usaha mereka. Biasanya, orang-orang
seperti ini kurang berhati-hati, kurang pula menghindari hal-hal yang bersifat syubhat. Pada umumnya, orang-orang
seperti ini tidak peduli dari mana mereka memperoleh keuntungan dan kurang bertakwa dalam segala yang mereka
ambil atau tinggalkan. Dengan demikian, makin banyak pula syubhat dalam harta mereka dan pencampuradukan dalam
segala yang mereka miliki. Kepada mereka patut ditujukan kecaman: Barang siapa tidak peduli dari mana ia beroleh
harta, Allah pun tak peduli dari pintu mana Dia akan memasukkannya ke dalam Neraka Jahanam.

Inilah empat tingkatan halal yang diimbangi oleh empat tingkatan haram dan pantangan serta syubhat dan segala yang
diliputi ke-musykil2-an, yaitu:
1. Sesuatu yang haram secara sempurna yang tidak dihalalkan dengan cara apa pun kecuali dalam keadaan yang
sangat darurat, seperti bangkai, darah, daging babi, dan khamr3.
http://naqshbandibatam.org _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 27 August, 2009, 22:40
Naqshbandi Al - Haqqoni Batam Site

2. Sesuatu yang pada dasarnya halal, seperti beras, gandum, kurma, kismis, dan sebagainya, tetapi kepunyaan orang
lain. Dengan begitu, ia menjadi haram untukmu sampai kaumiliki dengan cara yang dibenarkan dalam syariat, seperti
dengan pembelian, hibah, warisan, dan sebagainya.

3. Sesuatu yang syubhat yang diambil dari sesuatu yang asalnya haram, mungkin ia telah menjadi halal tetapi dengan
suatu cara yang diragukan. Yakni, suatu cara yang tak akan di-lakukan oleh seorang ahli takwa yang berpegang pada
ke-benaran, dan tidak akan berani mengambilnya kecuali orang yang sedikit ilmu dan takwanya atau terkalahkan oleh
hawa nafsunya.

4. Hampir sama dengan yang ketiga, sesuatu syubhat yang berasal dari sesuatu yang halal, kemudian timbul
kebimbangan bahwa ia mungkin telah menjadi haram karena sesuatu sebab atau adanya sesuatu keraguan yang
melekat padanya. Dalam sebuah hadis shahih disebutkan:
"Barang siapa menjerumuskan diri dalam syubhat, ia sesung-guhnya telah terjerumus dalam haram. Seperti seorang
penggem-bala yang menggembalakan hewannya sekitar tempat terlarang, dikhawatirkan ia akan terjerumus di
dalamnya."

Ada lagi hadis masyhur tentang keraguan seorang sahabat bernama 'Uqbah terhadap seorang wanita yang telah
dikawini-nya, kemudian datang seorang budak perempuan berkulit hitam yang mengaku bahwa pada masa lalu ia telah
menyusui 'Uqbah dan juga menyusui wanita yang dikawininya itu. Rasulullah Saw. kemudian berkata kepada 'Uqbah,
"Tinggalkanlah ia."4

Contoh-contoh dalam hal ini amat banyak dan telah diurai-kan secara panjang lebar oleh Imam Al-Ghazhali
rahimahullah pada Bab Al-Halal wa al-Haram dalam kitabnya, Ihya Ullumuddin.

Adapun hal-hal yang termasuk musykil ialah sesuatu yang halal pada lahirnya, tetapi diperoleh dengan cara yang agak
kurang berhati-hati dan acuh tak acuh terhadap si pemilik per-tama, yakni orang yang diterima barang tersebut dari
tangannya. Atau, ia memilikinya atau memakannya untuk bermewah--mewah, berlebih-lebihan, boros, dan bersenang-
senang. Hal itu akan menyempitkan yang halal tersebut dan menjerumuskan orang itu dalam bahaya, baik bahaya yang
berasal dari barang yang diambilnya, dari segi mu'amalah5-nya, ataupun dalam cara hidupnya yang mulai mengarah
pada mengikuti nafsu syahwat dan menikmati berbagai macam kelezatan duniawi.

Telah dikatakan bahwa "kehalalan tidak tahan terhadap hidup berlebihan.”6 Nabi Saw. pernah bersabda:
"Seseorang tidak akan mencapai derajat ahli takwa sampai ia meninggalkan sesuatu yang tidak mengapa (tidak ada
larangan padanya), demi meng-hindarkan diri dari sesuatu yang 'ada apa--apanya'."

Diriwayatkan pula dari ucapan seorang sahabat Nabi Saw , "Kami biasa meninggalkan sembilan dari sepuluh yang halal
karena khawatir terjerumus dalam yang haram."

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sayidina Husain atau Hasan bin 'Ali bin Abi Thalib r.a. terdapat isyarat mengenai
hal itu:
"Tinggalkanlah semua yang meragukanmu dan beralihlah pada yang tidak meragukanmu. " (HR Ahmad)
Wallahu a’lam.0

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!

Keterangan :
1. Ihtiyath: menangani sesuatu dengan cara yang lebih berhati-hati agar lebih jauh terhindar dari dosa atau bencana.
2. Musykil: sesuatu yang rumit dan pelik. Tidak mudah diketahui cara yang terbaik untuk menangani dan
menghadapinya.
3. Khamr: minuman yang memabukkan.
4. Lihat Nail Al-Authar karangan Al-Syaukani (H.M.).
5. Mu'amalah: transaksi antarmanusia seperti jual beli dan se-bagainya.
6. Maksudnya, hidup bermewah-mewah walaupun dengan yang halal dapat menarik orang ke dalam bahaya yang
haram.

http://naqshbandibatam.org _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 27 August, 2009, 22:40

Anda mungkin juga menyukai