Anda di halaman 1dari 10

islamic-wedding.

com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

2. Aqad Nikah

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu
adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai


2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali

Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak
untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas.
Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah,
kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama
di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata,
“Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara
ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai
penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih
mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing
urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan
apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

1 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

،ٌ‫ﺃَﻱُّﻡَﺍ اﻢْﺭَﺃَﺓٍ ﻥَﻙَﺡَﺕْ ﺏِﻍَﻱْﺭِ ﺇِﺫْﻥِ ﻭَﻝِﻱِّﻩَﺍ ﻑَﻥِﻙَاﺢُﻩَﺍ ﺏَاﻂِﻝ‬


‫ ﻑَﺇِﻥْ ﺩَﺥَﻝَ ﺏِﻩَﺍ ﻑَﻝَﻩَﺍ‬،ٌ‫ ﻑَﻥِﻙَاﺢُﻩَﺍ ﺏَاﻂِﻝ‬،ٌ‫ﻑَﻥِﻙَاﺢُﻩَﺍ ﺏَاﻂِﻝ‬
ُ‫ ﻑَﺇِﻥِ اﺶْﺕَﺝَﺭُﻭْﺍ ﻑَاﻠﺲُّﻝْﻁَاﻦ‬،‫اﻞْﻡَﻩْﺭُ ﺏِﻡَﺍ اﺲْﺕَﺡَﻝَّ ﻡِﻥْ ﻑَﺭْﺝِﻩَﺍ‬
ُ‫ﻭَﻝِﻱُّ ﻡَﻥْ ﻟﺎَ ﻭَﻝِﻱَّ ﻝَﻩ‬

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah),
pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu
berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka
berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ﻟﺎَ ﻥِﻙَاﺢَ ﺇِﻟﺎَّ ﺏِﻭَﻝِﻱ‬

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ْ‫ﻟﺎَ ﻥِﻙَاﺢَ ﺇِﻟﺎَّ ﺏِﻭَﻝِﻱٍّ ﻭَﺵَاﻪِﺩَﻯ ﻉَﺩ‬

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda
menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga
berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

2 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

Allah Ta’ala berfirman:


"Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka
jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah
terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada
orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu
dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini.
Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan
al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar,
sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

ْ‫ﺯَﻭَّﺝْﺕُ ﺃُﺥْﺕًﺍ ﻝِﻱْ ﻡِﻥْ ﺭَﺝُﻝٍ ﻑَﻁَﻝَّﻕَﻩَﺍ ﺡَﺕَّﻯ ﺇِﺫَﺍ اﻦْﻕَﺽَﺕ‬


َ‫ ﺯَﻭَّﺝْﺕُﻙَ ﻭَﻑَﺭَﺵْﺕُﻙ‬:ُ‫ ﻑَﻕُﻝْﺕُ ﻝَﻩ‬،‫ﻉِﺩَّﺕُﻩَﺍ ﺝَاءَ ﻱَﺥْﻁُﺏُﻩَﺍ‬
َ‫ ﻭَاﻠﻠﻪِ ﻟﺎ‬،َ‫ﻭَﺃَﻙْﺭَﻡْﺕُﻙَ ﻑَﻁَﻝَّﻕْﺕَﻩَﺍ ﺙُﻡَّ ﺝِﺉْﺕَ ﺕَﺥْﻁُﺏُﻩَا؟ ﻟﺎ‬
ُ‫ﺕَﻉُﻭْﺩُ ﺇِﻝَﻱْﻙَ ﺃَﺏَﺩًﺍ! ﻭَﻙَاﻦَ ﺭَﺝُﻟﺎً ﻟﺎَ ﺏَﺃْﺱَ ﺏِﻩِ ﻭَﻙَاﻦَﺕِ اﻞْﻡَﺭْﺃَﺓ‬
:ُ‫ ﻑَﺃَﻥْﺯَﻝَ اﻠﻠﻪُ ﻩَﺫِﻩِ ﺍْﻟآﻲَﺓِ ﻑَﻕُﻝْﺕ‬.ِ‫ﺕُﺭِﻱْﺩُ ﺃَﻥْ ﺕَﺭْﺝِﻉَ ﺇِﻝَﻱْﻩ‬
ُ‫ ﻑَﺯَﻭَّﺝَﻩَﺍ ﺇِﻱَّاﻪ‬:َ‫ ﻕَاﻞ‬.ِ‫ﺍْﻟآﻦَ ﺃَﻑْﻉَﻝُ ﻱَﺍ ﺭَﺱُﻭْﻝَ اﻠﻠﻪ‬

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu
menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami)
datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan
mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya.
Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali
kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun
menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya
(mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara
perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan
sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah
nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang
berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang
akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah
Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan
menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik
dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

3 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali
dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya
wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan
wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi
mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu
Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya,
maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda
maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya,
pamannya, atau anak laki-laki pamannya...” [9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak
berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan
kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah.
Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ﻟﺎَ ﻥِﻙَاﺢَ ﺇِﻟﺎَّ ﺏِﻭَﻝِﻱ‬

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan

Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga
meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut
seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut
seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

4 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ﻟﺎَ ﺕُﻥْﻙَﺡُ ﺍْﻟﺄَﻱِّﻡُ ﺡَﺕَّﻯ ﺕُﺱْﺕَﺃْﻡَﺭَ ﻭَﻟﺎَ ﺕُﻥْﻙَﺡُ اﻞْﺏِﻙْﺭُ ﺡَﺕَّﻯ‬


ْ‫ ﺃَﻥ‬:َ‫ ﻭَﻙَﻱْﻑَ ﺇِﺫْﻥُﻩَا؟ ﻕَاﻞ‬،ِ‫ ﻱَﺍ ﺭَﺱُﻭْﻝَ اﻠﻠﻪ‬:‫ ﻕَاﻞُﻭْﺍ‬.َ‫ﺕُﺱْﺕَﺃْﺫَﻥ‬
َ‫ﺕَﺱْﻙُﺕ‬

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang
gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi
Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya,
sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan
kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya).
[12]

• Mahar

“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian
yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab
pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar
oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh
seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan
dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.

5 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

‫ﺇِﻥَّ ﻡِﻥْ ﻱُﻡْﻥِ اﻞْﻡَﺭْﺃَﺓِ ﺕَﻱْﺱِﻱْﺭُ ﺥِﻁْﺏَﺕِﻩَﺍ ﻭَﺕَﻱْﺱِﻱْﺭُ ﺹَﺩَاﻖِﻩَﺍ‬


‫ﻭَﺕَﻱْﺱِﻱْﺭُ ﺭَﺡِﻡِﻩَﺍ‬

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah
rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

ُ‫ﺥَﻱْﺭُ اﻠﻦِّﻙَاﺢِ ﺃَﻱْﺱَﺭُﻩ‬

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh
membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]

• Khutbah Nikah

Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang
dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah
sebagai berikut:

6 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

ُ‫ ﻭَﻥَﻉُﻭْﺫ‬،ُ‫ ﻥَﺡْﻡَﺩُﻩُ ﻭَﻥَﺱْﺕَﻉِﻱْﻥُﻩُ ﻭَﻥَﺱْﺕَﻍْﻑِﺭُﻩ‬،ِ‫ﺇِﻥَّ اﻞْﺡَﻡْﺩَ ِﻟﻠﻪ‬


ِ‫ ﻡَﻥْ ﻱَﻩْﺩِﻩ‬،‫ﺏِاﻠﻠﻪِ ﻡِﻥْ ﺵُﺭُﻭْﺭِ ﺃَﻥْﻑُﺱِﻥَﺍ ﻭَﻡِﻥْ ﺱَﻱِّﺉَاﺖِ ﺃَﻉْﻡَاﻞِﻥَﺍ‬
َ‫ ﻭَﺃَﺵْﻩَﺩُ ﺃَﻥْ ﻟﺎ‬،ُ‫ ﻭَﻡَﻥْ ﻱُﺽْﻝِﻝْ ﻑَﻟﺎَ ﻩَاﺪِﻱَ ﻝَﻩ‬،ُ‫اﻠﻠﻪُ ﻑَﻟﺎَ ﻡُﺽِﻝَّ ﻝَﻩ‬
‫ ﻭَﺃَﺵْﻩَﺩُ ﺃَﻥَّ ﻡُﺡَﻡَّﺩًﺍ‬،ُ‫ﺇِﻝَﻩَ ﺇِﻟﺎَّ اﻠﻠﻪُ ﻭَﺡْﺩَﻩُ ﻟﺎَ ﺵَﺭِﻱْﻙَ ﻝَﻩ‬
ُ‫ﻉَﺏْﺩُﻩُ ﻭَﺭَﺱُﻭْﻝُﻩ‬

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal
perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa
kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

"Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah
kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' : 1]

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni
dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang
dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember
2006]

7 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

__________
Foote Note
[1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.
[2]. Fat-hul Baari (IX/187).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah
(no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no.
1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no.
1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah
(no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid),
al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi (VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu
‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir (XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain.
Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no.
7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib adanya wali adalah hadits-hadits yang
shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij Ahaadiits Manaris
Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981),
dan lainnya, dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Fat-hul Baari (IX/187).
[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.
[9]. l-Muhalla (IX/451).
[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H,
tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud
(no. 2092), at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah
(no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281).
[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid)
dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul
Ghaliil (VI/350).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262
al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no.
3300).
[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).
[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah
al-Ma’arif, th. 1421 H, dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij
wa ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H.
[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah (ÎõØúÈóÉõ ÇáúÍóÇÌóÉö), yaitu khutbah pembuka
yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap
majelisnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para
Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no.

8 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

1097 dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892),
al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan
al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Hadits
ini shahih.
Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:
1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).
2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).
3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).
4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).
5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.
Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Yu’allimuhaa
Ash-haabahu, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab
al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji
dan menyanjung Allah Ta’ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat)
sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat:
1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “... Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du....” (HR.
Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)
2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)
3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “...Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan
kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari, no. 924)
4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri
khutbah pada waktu petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung
serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan
pujian, kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari no. 925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ‫ﻙُﻝُّ ﺥُﻁْﺏَﺓٍ ﻝَﻱْﺱَ ﻑِﻱْﻩَﺍ ﺕَﺵَﻩُّﺩٌ ﻑَﻩِﻱَ ﻙَاﻞْﻱَﺩِ اﻞْﺝَﺫْﻡَاء‬

“Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang
berpenyakit lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no.
1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

9 / 10
islamic-wedding.com - Tata Cara Pernikahan Dalam Islam: Aqad Nikah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Selasa, 03 Februari 2009 12:47 - Terakhir Diupdate Selasa, 03 Februari 2009 18:23

Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul
haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat
radhiyallaahu ‘anhum, yaitu: “Innalhamdalillaah...” (Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan
ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya....
Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah
nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hamba-hamba
Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya...” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni
Taimiyyah, XVIII/286-287)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “...Sesungguhnya khutbah ini


dibaca sebagai pembuka setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau
yang lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah
nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang...” (Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/
Maktabah al-Ma’arif).

Kemudian beliau melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya
membawakan hal ini untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru,
pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan
mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga
Allah merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif,
dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420 H.)

Copy paste dari: almanhaj.or.id

10 / 10

Anda mungkin juga menyukai