Anda di halaman 1dari 11

DHARURIYYATUL-KHAMS (LIMA KEBUTUHAN PENTING YANG HARUS DIJAGA OLEH KAUM MUSLIMIN)

Oleh

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari

Apa yang dimaksud dengan dharûriyyâtul-khams? Makna dharûriyyâtul-khams, yaitu menyangkut lima
kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dan dalam masalah ini, Al-Qur‘an dan
as-Sunnah telah memberikan perhatian yang besar. Berikut ini ulasan berkaitan dengan pembahasan
judul di atas. Kami angkat berdasarkan ceramah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah
Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada
pertengahan bulan Februari 2007, dan mengacu dengan kitab Maqâshidusy- Syarî’ah ‘Inda Ibni
Taimiyyah, karya Dr. Yûsuf bin Muhammad Al-Badawi yang menjadi pegangan Syaikh dalam daurah
tersebut

Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan terhadap dîn (agama), jiwa,
keturunan, akal, dan harta.

1. MENJAGA DIN (AGAMA).

Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan tertinggi. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :

َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬


‫س إِاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz-
Dzâriyat/51: 56]

Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan inilah, maka para rasul diutus
dan kitab-kitab diturunkan. Sebagaimana firman-Nya.

‫اس َعلَى هَّللا ِ ُح َّجةٌ بَ ْع َد الرُّ س ُِل‬


ِ َّ‫ُر ُساًل ُمبَ ِّش ِرينَ َو ُم ْن ِذ ِرينَ لِئَاَّل يَ ُكونَ لِلن‬
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya
tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An-Nisâ/4: 165].

Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

َ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُك ِّل أُ َّم ٍة َر ُسواًل أَ ِن ا ْعبُدُوا هَّللا َ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغوت‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiaptiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [An-Nahl/16 : 36]

Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga din (agama) dari kerusakan, karena din merupakan dharuriyat
yang paling besar dan terpenting, maka syari’at juga mengharamkan riddah (murtad), memberi sanksi
kepada orang yang murtad dan dibunuh. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ‫َم ْن بَ َّد َل ِدينَهُ فَا ْقتُلُوه‬

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]

Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

‫ك لِ ْل َج َما َع ِة‬ ِ َّ‫ق لِ ِدينِ ِه الت‬


ُ ‫ار‬ ِ َ‫س َوالثَّيِّبُ ال َّزانِي َو ْال ُمف‬
ُ ‫ار‬ ِ ‫ث النَّ ْفسُ بِالنَّ ْف‬
ٍ ‫ئ ُم ْسلِ ٍم إِاَّل بِإِحْ دَى ثَاَل‬
ٍ ‫اَل يَ ِحلُّ َد ُم ا ْم ِر‬

“Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh, Red.), kecuali dengan salah satu di antara tiga
sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang tua yang berzina (dibunuh dengan dirajam, Red.), orang yang
murtad meninggalkan agamanya dan jama’ahnya” [HR Bukhari]

Ini semua untuk menjaga din. Realisasinya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan :
(a). Beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui Asmâ dan Sifat
Allahl.

(b). Berpegang teguh dengan agama, mempelajarinya, lalu mendakwahkannya.

(c). Menjauhi dan memperingatkan dari perbuatan syirik dan riya’.

(d). Memerangi orang-orang yang murtad.

(e). Mengingatkan dari perbuatan bid’ah dan melawan ahlul bid’ah.[1]

2. MENJAGA JIWA (HIFZHUN-NAFSI).

Menjaga jiwa juga termasuk dharûriyatul-khamsi, dan din tidak akan bisa tegak, jika tidak ada jiwa-jiwa
yang menegakkannya. Kalau kita ingin menegakkan din, artinya, kita harus menjaga jiwa-jiwa yang akan
menegakkan din ini. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah Azza wa Jalla berfirman :

ِ ‫اص َحيَاةٌ يَا أُولِي اأْل َ ْلبَا‬


َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa” [Al-Baqarah/2:179]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash sebagai salah satu sebab kelestarian kehidupan,
padahal qishash itu merupakan kematian. Mengapa? Karena, dengan keberadaan hukum qishash, maka
para pelaku kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi, qishash merupakan salah satu
sebab terwujudnya kehidupan yang damai, tenang, dan dalam naungan hidayah.

ِّ ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ إِاَّل بِ ْال َح‬


َ‫ق َواَل يَ ْزنُون‬ َ ‫َواَل يَ ْقتُلُونَ النَّ ْف‬

“: (Di antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina”. [Al-
Furqân/25: 68]
Yang disebut dengan al-haq (kebenaran), yaitu harus dengan dalil dan bukti. Jika tidak, berarti
melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar. Dan berdasarkan Al-Qur‘an dan as-Sunnah,
melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar, hukumnya terlarang.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang penjagaan terhadap jiwa:

‫َار َجهَنَّ َم يَتَ َر َّدى خَالِدًا ُم َخلَّدًا فِيهَا أَبَدًا‬


ِ ‫َم ْن تَ َر َّدى ِم ْن َجبَ ٍل فَقَتَ َل نَ ْف َسهُ فَه َُو فِي ن‬

“Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan
berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya”. [HR Imam Bukhari]

Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap seseorang yang berpendapat “saya bebas melakukan apa
saja atas diri saya”. Perkataan seperti ini merupakan perkataan keliru, karena di dalam Al- Qur`anul-
Karim disebutkan tentang ucapan yang benar, sebagai petunjuk bagi kaum Mukminin jika tertimpa
musibah. Allah Azza wa Jalla berfirman.

َ‫صيبَةٌ قَالُوا إِنَّا هَّلِل ِ َوإِنَّا إِلَ ْي ِه َرا ِجعُون‬ َ َ‫الَّ ِذينَ إِ َذا أ‬
ِ ‫صابَ ْتهُ ْم ُم‬

“ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un.” [Al-Baqarah/2: 156]

Inna lillahi (sesungguhnya kita milik Allah) dengan demikian, kita ini milik Allah Azza wa Jalla, tidak boleh
berbuat sewenang-wenang atas diri kita, tidak boleh menyengaja melukai tangan sendiri lalu berkata
“ini tangan saya, saya bebas melakukan apa saja terhadapnya”. Apalagi sampai mengatakan “ini adalah
jiwaku, saya ingin membunuh diri atau menjatuhkan diri dari gunung, atau menenggak racun”, maka
semua ini tidak boleh, karena termasuk berbuat sewenangwenang pada sesuatu yang bukan miliknya.

Wahai Hamba Allah! Jiwa yang pada dirimu itu adalah milik Pencipta dan Rabbmu, Dzat yang engkau
ibadahi, yaitu Allah Azza wa Jalla . Engkau tidak boleh berbuat sewenang-wenang padanya.
Dalam hadits “barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati),
maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya”
terdapat pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa orang tersebut kekal selamanya dalam Neraka
Jahannam, sedangkan di dalam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah –di antaranya terdapat kaidah- Perbuatan
dosa-dosa besar termasuk dalam kategori dosa-dosa yang bisa diampuni Allah Azza wa Jalla jika Allah
berkehendak. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

َ ِ‫ك بِ ِه َويَ ْغفِ ُر َما ُدونَ ٰ َذل‬


‫ك لِ َم ْن يَشَا ُء‬ َ ‫إِ َّن هَّللا َ اَل يَ ْغفِ ُر أَ ْن يُ ْش َر‬

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [An-Nisâ/4: 48]

Bunuh diri, termasuk dalam bagian pertama ayat ini, ataukah bagian yang kedua? Apakah bunuh diri
termasuk syirik, ataukah berada di bawah syirik? Jawabnya, bunuh diri termasuk dalam dosa di bawah
dosa syirik. Namun dalam hadits itu dijelaskan, dia kekal selamanya di neraka. Lantas bagaimana
jawabnya?

Para ulama mengatakan, pengertian hadits ini dibawa kepada orang yang membunuh diri, karena ia
menganggapnya halal, atau karena meremehkan hukum syari’at, bukan karena maksiat semata, baik
yang kecil maupun yang besar. Akan tetapi, ini merupakan pelanggaran terhadap dasar hukum syari’at,
dia menentangnya dan menghalalkannya. Dalam kondisi seperti itu, maka dosa maksiat ini menjadi dosa
kekufuran.

Oleh karena itu, Abu Ja’far ath-Thahawi, di dalam kitab ‘aqidah beliau yang masyhur, beliau
mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan ahlul-qiblah (kaum Muslimin) dengan sebab dosa, selama dia
tidak menganggapnya halal.”

Pelaku perbuatan dosa ini, jika menganggapnya halal, maka dia menjadi kafir, meskipun perbuatan dosa
tersebut lebih kecil atau lebih sedikit dari bunuh diri.

Secara ringkas, hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:


(a). Pada saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi menyambung hidup, meskipun
yang ada saat itu sesuatu yang haram pada asalnya.

(b). Memenuhi kebutuhan diri, berupa makanan, minuman dan pakaian.

(c). Mewajibkan pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi yang membunuh, jika sudah terpenuhi syarat-
syaratnya, Red.) dan mengharamkan menyakiti atau menyiksa diri [2]

3. MENJAGA AKAL (HIFZHUL-AQLI).

Sarana untuk menjaga akal ialah ilmu.

Kalimat wahyu pertama kali yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyentuh
telinga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kalimat iqra’ (bacalah!), setelah itu kalimat:

‫َعلَّ َم اإْل ِ ْنسَانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬

“(Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. [Al-Alaq/96: 5]

Karena membaca merupakan jalan mendapatkan ilmu, meskipun bukan jalan satu-satunya, akan tetapi
dia merupakan jalan terpenting.

Dalam nash Al-Qur‘an yang lain, Allah berfirman,

‫َوقُلْ َربِّ ِز ْدنِي ِع ْل ًما‬

“(dan katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” [Thaha/20 : 114]

Akan tetapi ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk diketahui, namun
dengan ilmu agar bertakwa, beramal shalih, serta menjauhan diri dari perbuatan maksiat dengan
landasan takwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karenanya dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 91
disebutkan.
َ‫صاَل ِة ۖ فَهَلْ أَ ْنتُ ْم ُم ْنتَهُون‬ ُ َ‫ضا َء فِي ْالخَ ْم ِر َو ْال َم ْي ِس ِر َوي‬
َّ ‫ص َّد ُك ْم ع َْن ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َع ِن ال‬ َ ‫إِنَّ َما ي ُِري ُد ال َّش ْيطَانُ أَ ْن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْال َعدَا َوةَ َو ْالبَ ْغ‬

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu,
dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)”.

Khamr dan perjudian telah menyebabkan manusia terhalang dari jalan Allah k dan bisa menghilangkan
akal (kesadaran), sedangkan akal sangat dibutuhkan manusia untuk memahami perintah dan hukum-
hukum syari’ah.

Dalam ayat ini, setelah Allah Azza wa jalla menjelaskan hukum syar’i dan menjelaskan kewajiban,
kemudian seolah-olah Allah Azza wa Jalla hendak menggugah perhatian manusia. Allah Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya: (maka berhentilah kamu [dari mengerjakan pekerjaan itu]). Mengapa kalian
tidak berhenti dari hal-hal yang kalian dilarang darinya, berupa kebiasaan orang-orang Jahiliyah, yaitu
khamr dan perjudian? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:.

‫ُكلُّ ُم ْس ِك ٍر َخ ْم ٌر َو ُكلُّ َخ ْم ٍر َح َرا ٌم‬

“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram”.

Meskipun banyak pabrik membuat produk, lalu setan membuat istilah-istilah untuk produk tersebut,
namun kita memiliki kaidah yang mencakup semua nama, meskipun nama tersebut baru dan
dirubahrubah, tetapi, setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram.

Dan bahwasanya, untuk menjaga kebaikan akal, maka syari’at mengharamkan semua yang bisa
merusaknya, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, nyanyian, memandang sesuatu yang
diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr, narkoba serta memberikan sanksi kepada yang
melakukannya.[3]

4. MENJAGA KETURUNAN (HIFZHUN-NASLI).


Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan dijaga dalam syari’at, yaitu menjaga keturunan. Allah
Azza wa Jalla berfirman :

‫َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّزنَا ۖ إِنَّهُ َكانَ فَا ِح َشةً َو َسا َء َسبِياًل‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk”. [Al-Isrâ/17: 32]

Bentuk penjagaan agar manusia menjauhkan manusia dari perbuatan zina, maka syari’at
memperbolehkan dan menganjurkan pernikahan poligami, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla
menyebutkan.

َ ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثن َٰى َوثُاَل‬


‫ث َو ُربَا َع‬ َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬

“Maka kawinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat”[An-Nisâ/4: 3]

Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda :

‫ب َم ْن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ْم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوجْ َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬
ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaklah dia menikah.
Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia melakukan puasa (sunat). Karena
sesungguhnya puasa itu menjadi obat bagi dia”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

‫اَل يَ ْزنِي ال َّزانِي ِحينَ يَ ْزنِي َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن‬


“Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatan zina, sedangkan dia dalam keadaan beriman”.

Dalam sebagian riwayat dijelaskan, iman tercerabut darinya. Jika ia berhenti dari berzina, maka
keimanannya kembali kepadanya. Semua nash-nash ini untuk menjaga keturunan.

Pemeliharaan keturunan ini, bisa dilihat dari beberapa hal berikut:

(a). Anjuran untuk melakukan pernikahan.

(b). Persaksian dalam pernikahan.

(c). Kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anak, termasuk kewajiban memperhatikan
pendidikan anak.

(d). Mengharamkan nikah dengan pezina.

(e). Melarang memutuskan untuk thalaq jika tidak karena terpaksa.

(f). Mengharamkan ikhtilâth. [4]

5. MENJAGA HARTA (HIFZHUL-MALI).

Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga oleh syari’at. Yakni sesuatu yang menjadi penopang
hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu menjaga harta. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

‫َواَل تُ ْؤتُوا ال ُّسفَهَا َء أَ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِي َج َع َل هَّللا ُ لَ ُك ْم قِيَا ًما َوارْ ُزقُوهُ ْم فِيهَا َوا ْكسُوهُ ْم َوقُولُوا لَهُ ْم قَوْ اًل َم ْعرُوفًا‬

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang
ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [An-Nisâ‘/4 : 5]

Maksudnya, kemapanan keberadaan manusia ialah dengan harta. Oleh karenanya terdapat perintah
mengeluarkan zakat, shadaqah. Dan zakat merupakan hak Allah k . Sehingga orang yang berhak
menerimanya terjaga dan harta yang mengeluarkannya juga menjadi bersih dan suci.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


َ ‫ق ْالبَ ْي‬
ُ‫ضةَ فَتُ ْقطَ ُع يَ ُده‬ ُ ‫ْر‬
ِ ‫ق يَس‬ ِ ‫لَعَنَ هَّللا ُ الس‬
َ ‫َّار‬

“Allah Azza wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu tangannya dipotong”.

Dalam syari’at Allah yang bijak ini, juga terdapat larangan melakukan perbuatan tabdzir (pemborosan).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫َواَل تُبَ ِّذرْ تَ ْب ِذيرًا إِ َّن ْال ُمبَ ِّذ ِرينَ كَانُوا إِ ْخ َوانَ ال َّشيَا ِطي ِن ۖ َو َكانَ ال َّش ْيطَانُ لِ َربِّ ِه َكفُورًا‬

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-


pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya”. [Al-
Isrâ : 26-27]

Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang isrâf (berlebih-lebihan), sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya.

ِ ‫ْرفُوا ۚ إِنَّهُ اَل ي ُِحبُّ ْال ُمس‬


َ‫ْرفِين‬ ِ ‫َواَل تُس‬

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan” [Al-An’am/6 :141]

Di antara cara dalam pemeliharaan harta ialah:

(a). Islam mewajibkan beramal dan berusaha.

(b). Memelihara harta manusia dalam kekuasaan mereka.

(c). Islam menganjurkan bershadaqah, memperbolehkan jual beli dan hutang-piutang.

(d). Islam mengharamkan perbuatan zhalim terhadap harta orang lain dan wajib menggantinya.

(e). Kewajiban menjaga harta dan tidak menyia-nyiakannya.[5]


Demikian beberapa nash dari Al-Qur‘an dan as- Sunnah, yang berkaitan dengan dharûriyyâtul-khams .

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kaum Muslimin lainnya untuk
memahaminya, sehingga semakin menambah dan mengokohkan keyakinan terhadap kebenaran din,
agama yang haq ini. Wallahu a’lam bish-Shawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196]

_______

Footnote

[1]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 448-458

[2]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 462-465.

[3]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 467-468.

[4]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 473-478.

[5]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 481-487.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3373-dharuriyyatul-khams-lima-kebutuhan-penting-yang-harus-dijaga-
oleh-kaum-muslimin.html

Anda mungkin juga menyukai