َ ت َو َن ْبلُو ُك ْم ِبال َّشرِّ َو ْال َخي ِْر ِف ْت َن ًة َوإِ َل ْي َنا ُترْ َجع
ُون ِ س َذا ِئ َق ُة ْال َم ْو
ٍ ُك ُّل َن ْف
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu
dikembalikan.
A. HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT & YANG MELAYAT
1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat dengan
sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya; misalnya,
seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.
4. Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja’ (berharap).
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian Beliau
bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab: “Wahai, Rasulullah!
Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan dosa-dosaku.”
Kemudian Rasulullah bersabda:
ب َع ْب ٍد فِي م ِْث ِل َه َذا ْال َم ْوطِ ِن إِاَّل أَعْ َطاهُ هَّللا ُ َما َيرْ جُو َوآ َم َن ُه
ِ ان فِي َق ْل
ِ اَل َيجْ َتم َِع
ُِممَّا َي َخاف
Tidaklah berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja’) di dalam hati seseorang, dalam
kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah berikan rasa
aman dari ketakutannya. [HR At Tirmidzi 905].
5. Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia juga
meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya memberikan
wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau zakatnya.
صا ِئمًا َقا َل أَبُو َب ْك ٍر أَ َنا َقا َل َ صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َمنْ أَصْ َب َح ِم ْن ُك ْم ْال َي ْو َم
َ ِ َقا َل َرسُو ُل هَّللا
از ًة َقا َل أَبُو َب ْك ٍر أَ َنا َقا َل َف َمنْ أَ ْط َع َم ِم ْن ُك ْم ْال َي ْو َم ِمسْ كِي ًنا َقا َل أَبُو
َ َف َمنْ َت ِب َع ِم ْن ُك ْم ْال َي ْو َم َج َن
َ ِ َب ْك ٍر أَ َنا َقا َل َف َمنْ َعادَ ِم ْن ُك ْم ْال َي ْو َم َم ِريضًا َقا َل أَبُو َب ْك ٍر أَ َنا َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا
ُ صلَّى هَّللا
ئ إِاَّل دَ َخ َل ْال َج َّن َة
ٍ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َما اجْ َت َمعْ َن فِي امْ ِر
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa dari kalian yang berpuasa hari ini?
Abu Bakr menjawab; 'Saya.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya lagi: 'siapa
dari kalian yang telah mengantar jenazah pada hari ini? Abu Bakr menjawab; 'Saya.'
Rasulullah bertanya lagi; 'siapa dari kalian yang telah memberi makan orang miskin pada
hari ini? ' Abu Bakr menjawab; 'Saya.' Rasulullah bertanya lagi: 'Siapa dari kalian yang telah
menjenguk orang yang sakit pada hari ini? Abu Bakr menjawab lagi; 'Saya.' Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tidaklah semua amalan tadi
dilaksanakan oleh seseorang kecuali niscaya dia akan masuk surga.'// HR Muslim : 4400
Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali, supaya
akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.
Tanda-Tanda Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati.
Di antaranya:
a. Terhentinya nafas.
h. Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya.
[Lihat Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti’ (5/331)].
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang
melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah
menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
َ ص ُر َفالَ َتقُ ْولُ ْوا إِالَّ َخيْرً ا َفإِنَّ ْال َماَل ِئ َك َة ي َُؤ ِّم ُن
ون َع َلى َ ض َت ِب َع ُه ْال َب
َ وح إِ َذا قُ ِبَ ُّإِنَّ الر
oَ َُما َتقُول
ون
Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka
janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan
mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR Muslim].
3. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang
semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha, beliau
berkata:
Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan
wajahnya.
o أَسْ ِرعُوا:َو َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة رضي هللا عنه َع ِن اَل َّن ِبيِّ صلى هللا عليه وسلم َقا َل
ْضعُو َن ُه َعن ُ َوإِنْ َت,ِصال َِح ًة َف َخ ْي ٌر ُت َق ِّدمُو َن َها إِ َل ْيه
َ ك سِ َوى َذل َِك َف َشرٌّ َت َ ِب ْال َج َن
ُ َفإِنْ َت,ِازة
َ ك
ِر َق ِاب ُك ْم
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Bersegera dalam mengurus jenazah, karena jika ia baik maka engkau telah memajukan
suatu kebaikan untuknya, dan jika tidak maka engkau menurunkan suatu kejelekan dari
lehermu."[HR.Ahmad 6969]
Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim adalah untuk
disegerakan jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang
dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.
Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu
terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada
zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini,
sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/330), Al
Mughni (3/367)].
7. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa
zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk, seperti
mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi
hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut,
maka Allah yang akan melunasinya
8. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha
berkata:
Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.
D. MEMANDIKAN MAYIT
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan
oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil
sabda Nabi tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan
terlempar dari untanya:
Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh
isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya.
Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah
bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki).
Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling
mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha:
3. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun,
baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa
seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika
hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].
َوالَ َتقُ ْم َع َلى َقب ِْر ِه إِ َّن ُه ْم َك َفر ُْوا ِباهللoات أَ َب ًدا
َ ص ِّل َع َلى أَ َح ٍد ِم ْن ُه ْم َم
َ َوالَ ُت
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan
janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.
[At Taubah:84].
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang
muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke
dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah n memerintahkan
untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke
dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar.
[HR Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].
صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ْ َعنْ أ ُ ِّم عَطِ َّي َة َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن َها َقا َل
َ ت َلمَّا َغس َّْل َنا ِب ْن
َ ِّت ال َّن ِبي
ع ْالوُ ضُو ِء ِم ْن َهاoِ َِقا َل َل َنا َو َنحْ نُ َن ْغسِ لُ َها ابْدَ ءُوا ِب َم َيا ِم ِن َها َو َم َواض
Dari Ummu 'Athiyyah radliallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berkenaan pemandian puteri Beliau yang meninggal
dunia: "Mulailah dengan anggota badan yang kanan dan anggota wudhu' dari
badan" [HR Bukhorie:1178]
ُصلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َو َنحْ ن َ ُّت دَ َخ َل َع َل ْي َنا ال َّن ِبي ْ َعنْ أ ُ ُّم عَطِ َّي َة َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن َها َقا َل
اغسِ ْل َن َها َثاَل ًثا أَ ْو َخمْ سًا أَ ْو أَ ْك َث َر ِمنْ َذل َِك إِنْ َرأَ ْي ُتنَّ َذل َِك ِب َما ٍء ْ َن ْغسِ ُل ا ْب َن َت ُه َف َقا َل
ت َف َلمَّا َف َر ْغ َنا أَ ْل َقى إِ َل ْي َنا
ْ َوسِ ْد ٍر َواجْ َع ْل َن فِي اآْل خ َِر ِة َكافُورً ا َفإِ َذا َف َر ْغ ُتنَّ َفآ ِذ َّننِي َقا َل
ُِح ْق َوهُ َف َقا َل أَ ْش ِعرْ َن َها إِيَّاه
Dari Ummu 'Athiyyah radliallahu 'anha : "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemui
kami saat kami sedang memandikan putri Beliau yang wafat lalu berkata:
"Mandikanlah ia dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga
kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang
terakhirnya dengan kafur barus dan bila kalian telah selesai beritahu aku". Berkata,
Ummu 'Athiyyah radliallahu 'anha: "Ketika kami telah selesai, Beliau kemudian
memberikan kain Beliau kepada kami seraya berkata: "Pakaikanlah ini kepadanya”
[HR Bukhorie : 1182]
Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan
tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di
tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka
mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan
kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
6. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun
dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.
Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun
orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap
dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah
tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid,
mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/364).
7. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka
dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:
ُصلَّى َع َل ْي ِه َوي ُْد َعى ل َِوالِدَ ْي ِه ِب ْال َم ْغف َِر ِة َوالرَّ حْ َم ِة ُ ال ِّس ْق:الط ْف ُل (و في رواية
َ ط) ي ِّ َو
Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan
dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud
2766 dan Ahmad 17468
Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits
tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Mas’ud.
E. MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :
Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal,
menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah,
mahal dan yang indah.” [Ahkamul Janaiz, 58].
2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar
hutangnya.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di
dekat Yaman.
ْيض َسحُولِ َّي ٍة ِمن ٍ صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ُك ِّف َن فِي َثاَل َث ِة أَ ْث َوا
ٍ ب َي َما ِن َي ٍة ِب َ ِ أَنَّ َرسُو َل هَّللا
ِيهنَّ َق ِميصٌ َواَل عِ َما َم ٌة َ ف َلي
ِ ْس ف ٍ ُكرْ ُس
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (ketika wafat) dikafani jasadnya dengan tiga
helai kain yang sangat putih terbuat dari katun dari negeri Yaman dan tidak dikenakan
padanya baju dan serban (tutup kepala). [HR Bukhorie : 1185]
4. Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
5. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh
untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al
Qur’annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.
6. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita
adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak
dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang
lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’
(5/393) dan Ahkamul Janaiz,
1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyolati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak
panah:
. Shalatkanlah saudara kalian. [HR Muslim] صاح ِِب ُك ْمَ َع َلىoصلُّ ْوا َ
َ ان َز ْي ٌد َيعْ نِي اب َْن أَرْ َق َم ُي َك ِّب ُر َع َلى َج َنائ ِِز َنا أَرْ َبعًا َوإِ َّن ُه َكب ََّر َع َلى َج َن
از ٍة َخمْ سًا َ َك
صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ُي َك ِّب ُر َها
َ ِ ان َرسُو ُل هَّللا َ َف َسأ َ ْل ُت ُه َف َقا َل َك
Zaid yaitu Ibnu Arqam bertakbir ketika menshalatkan jenazah kami empat kali (takbir). Dan
ia pernah bertakbir ketika menshalatkan jenazah lima kali (takbir). Kemudian aku bertanya
kepadanya. Kemudian ia berkata; dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bertakbir sebanyak itu. [HR Abu Daud : 2782]
َ ف َف َق ْد أَ ْو َج
ب ُ صلَّى َع َل ْي ِه َثاَل َث ُة
ٍ صفُو َ َْمن
Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia
diampuni. [HR At Tirmidzi]
از ٍة َف َقا َل َ صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َع َلى َج َن َ ِ صلَّى َرسُو ُل هَّللا َ َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة َقا َل
ير َنا َو َذ َك ِر َنا َوأ ُ ْن َثا َنا َو َشا ِه ِد َنا َو َغائ ِِب َناِ ِير َنا َو َك ِب
ِ صغ ْ اللَّ ُه َّم
َ اغ ِفرْ ل َِح ِّي َنا َو َم ِّي ِت َنا َو
ان َو َمنْ َت َو َّف ْي َت ُه ِم َّنا َف َت َو َّف ُه َع َلى اإْل ِسْ اَل ِمِ اللَّ ُه َّم َمنْ أَحْ َي ْي َت ُه ِم َّنا َفأَحْ ِي ِه َع َلى اإْل ِي َم
ُاللَّ ُه َّم اَل َتحْ ِرمْ َنا أَجْ َرهُ َواَل ُتضِ لَّ َنا َبعْ دَ ه
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam penah menshalati jenazah kemudian beliau
mengucapkan: ALLAAHUMMAGHFIR LIHAYYINAA WA MAYYITINA, WA SHAGHIIRINAA
WA KABIIRINAA WA DZAKARINAA WA UNTSAANAA, WA SYAHIDINAA WA
GHAAIBINAA. ALLAAHUMMA, MAN AHYAITAHU MINNAA FA AHYIHI 'ALAL IIMAAN WA
MAN TAWAFFAITAHU MINNAA FATAWAFFAHU 'ALAL ISLAAM. ALLAHUMMA LAA
TAHRIMAN AJRAHU WA LAA TUDHILLANAA BA'DAHU (ya Allah, ampunilah orang-orang
yang masih hidup diantara kami, dan yang telah mati, anak kecil dan yang dewasa kami,
laki-laki kami dan wanita kami, orang-orang yang hadir diantara kami dan yang tidak hadir.
Ya Allah, siapapun diantara kami yang Engkau hidupkan maka hidupkanlah di atas
keimanan dan siapapun diantara kami yang Engkau wafatkan maka wafatkanlah dalam
keadaan beragama Islam, ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari mendapatkan
pahalanya dan janganlah Engkau sesatkan kami setelah kematiannya!"//
e. Takbir ke empat
َ ت َهدَ ْي َت َها لِإْل ِ سْ الَ ِم َوأَ ْن
َ ْت َق َبض
ت َ ت َر َز ْق َت َها َوأَ ْن
َ ت َخ َل ْق َت َها َوأَ ْنَ ت َر ُّب َها َوأَ ْنَ اَللَّ ُه َّم أَ ْن
-رواه أبوداود- ها َ اغ ِفرْ َل ُ ت أَعْ َل ُم ِبسِ رَّ َها َو َعالَ ِن َّي َت َها ِج ْئ َنا
ْ ش َف َعا َء َف َ ر ُْو َح َها َوأَ ْن
Ya Allah, engkau adalah Tuhan jenazah tersebut, Engkau telah menciptakannya, dan
Engkau telah memberinya petunjuk untuk memeluk agama Islam, dan Engkau telah
mencabut nyawanya, Engkau lebih mengetahui terhadap rahasianya dan perkaranya
yang nampak. Kami datang kepadaMu sebagai perantara, maka ampunilah baginya
f. Di antara dalil yang menunjukkan salam ِ ال َّساَل ُم َع َل ْي ُك ْم َو َرحْ َم ُة هَّللاdua kali dalam shalat
jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas’ud.
Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama
saja, karena hadits Abu Hurairah:
از ِة َف َكب ََّر َع َل ْي َها أَرْ َبعًا َو َسلَّ َم َتسْ لِ ْي َم ًة ْ ىع َل
َ ىال َج َن َ َّصل
َ صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ِ أَنَّ َرسُو َل
َ هللا
َواحِدَ ًة
Sesungguhnya Rasulullah dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam
satu kali. (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul ‘Anbas
dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
3. Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan
shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika matahari
sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini
disebutkan sebagaimana di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir.
4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama’ah. Dan
tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah Radhiyallahu anhuma
menyalatkan jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash.
5. Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh
dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling
dekat dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling
afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan imam.
6. Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin.
Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya
mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa
memberikan syafa’at untuknya. [HR Muslim].
ون ِباهَّلل ِ َش ْي ًئا إِاَّل َش َّف َع ُه ْم هَّللا ُ فِي ِه َ از ِت ِه أَرْ َبع
َ ُون َر ُجاًل اَل ُي ْش ِر ُك َ ُوت َف َيقُو ُم َعلَى َج َن
ُ َما مِنْ َرج ٍُل مُسْ ل ٍِم َيم
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh empatpuluh orang
yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan syafa’at kepada mereka
untuknya. [HR Muslim].
7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai
dengan sifatnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Apabila dia salam dan tidak mengqadha’, tidaklah
mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,’Tidak mengqadha’. Dan dikarenakan shalat jenazah
merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri’.” [Lihat Al Mughni (2/511)].
8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara berjama’ah, maka dia shalat sendirian selama
belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutk#an, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari
dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul
Ma’ad (1/512)].
Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas waktu
tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang menyalatkan sudah
menjadi orang yang sah shalatnya.
9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula.
Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar, mayat ghaib
yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat
ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia
mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah
dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu
saat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu
ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian
ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam
keadaan yang berbeda. Wallahu a’lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul
Qayyim rahimahullah.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/520)].
10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam
atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang
berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyalatkannya.
11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang
yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri
harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ َع َلىoصلُّ ْوا
صاح ِِب ُك ْم َ
Shalatkanlah saudara kalian. [HR Abu Dawud].
Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati karena
bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu , berkata:
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin), maka
Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran bagi orang yang semisalnya. Akan
tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk menyalatkannya.
12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga
dishalatkan
13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha , beliau
berkata:
ْضا َء َوأَ ِخ ْي ِه إِاَّل فِي ِ صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َع َلى ُس َهي ِْل ب
َ ْن َبي َ ِ صلَّى َرسُو ُل هَّللا
َ هللا َما
ِ َو
ْال َمسْ ِج ِد
Demi, Allah! Tidaklah Nabi menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha’ dan saudaranya
(Sahl), kecuali di masjid. [HR Muslim].
Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang disediakan untuk
shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti’ (5/444)].
G. MENGUBURKAN JENAZAH
َ صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ي َُعلِّ ُم ُه ْم إِ َذا َخ َرجُوا إِ َلى ْال َم َق ِاب ِر َك
:ُان َقا ِئلُ ُه ْم َيقُول َ ِ ان َرسُو ُل هَّللا َ َك
ون َنسْ أ َ ُل
َ ُِين َوإِ َّنا إِنْ َشا َء هَّللا ُ ِب ُك ْم اَل ِحق
َ ِين َو ْالمُسْ لِم َ ار ِمنْ ْالم ُْؤ ِمن َ
ِ ال َّساَل ُم َع َل ْي ُك ْم أهْ َل ال ِّد َي
هَّللا َ َل َنا َو َل ُك ْم ْال َعا ِف َي َة
Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian wahai penduduk alam barzah, dari kaum
mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami akan menyusul kalian insya Allah. Dan kami
meminta Allah untuk kami dan kalian agar diberi keselamatan. " -HR.Ibnu Majah-