Anda di halaman 1dari 6

PENGERTIAN TENTANG KEMATIAN MENURUT

QADA DAN QADAR


KELOMPOK:
-SABRINA AMANDA
-LIA
AJAL/KEMATIAN
Secara bahasa kata ajal berasal dari kata: ajila–ya‘jalu–ajal[an]. Menurut al-
Khalil al-Farahidi dalam Kitâb al-‘Ayn dan ash-Shahib ibn ‘Abad di dalam Al-
Muhîth fî al-Lughah, dikatakan ajila asy-syay‘u ya‘jalu wahuwa âjilun artinya
naqîdu al-‘âjil (lawan dari segera). Dengan demikian, al-ajal (bentuk pluralnya
al-âjalu) secara bahasa artinya terlambat atau tertunda.
Selain itu, secara bahasa, kata ajal juga memiliki beberapa makna sebagai
berikut:
o Ghâyah al-waqti fî al-mawti wa mahalu ad-dayn wa nahwuhu (akhir
waktu pada kematian dan jatuh tempo utang dan semacamnya) (Al-
Azhari, Tahdzîb al-Lughah).
o Muddah asy-syay‘i (jangka waktu sesuatu) (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab;
al-Jauhari, Ash-Shihah fî al-Lughah).
o Muddatuhu wa waqtuhu al-ladzî yahillu fîhi (jangka waktunya dan waktu
saat sesuatu itu berlalu) (Al-Fayumi, Mishbâh al-Munîr).
o Jangka waktu yang ditetapkan untuk sesuatu atau perbuatan (Rawas
Qal’ahji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’).
o Waktu yang ditetapkan untuk habisnya sesuatu (Abu Hilal al-‘Askari, al-
Furûq al-Lughawiyah).
Dari sini ajal al-insân (ajal manusia) adalah akhir kehidupan seseorang atau
habisnya umur seseorang. Artinya, saat ajal seseorang itu tiba, saat itu pulalah
kematian datang menjemputnya.
Di dalam al-Quran kata ajal dan bentukannya disebutkan sekitar 55 kali. Di
antaranya dalam arti jangka waktu (misal: QS al-Baqarah [2]: 231, 232, 234,
235; al-A’raf [7]: 135); umur (misal; QS al-A’raf [7]: 34; Yunus [10]: 11, 49);
akhir umur/akhir kehidupan (misal: QS an-Nahl [16]: 61; Fathir [35]: 45).
Sebab Kematian: Berakhirnya Ajal
Ayat-ayat al-Quran yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah menyatakan secara
pasti bahwa Allah SWT sajalah Zat Yang menghidupkan dan mematikan. Allah
SWT berfirman:
ُ‫َّللاُ يُحْ ِيي َوي ُِميت‬
‫َو ه‬
Allah menghidupkan dan mematikan (QS. Ali Imran [3]: 156).
Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya (lihat QS. al-
Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj [22]: 6, al-
Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).
Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat maupun individu.
Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya sebagai suatu
ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan. Allah
SWT berfirman:
‫َو َما َكانَ ِلنَ ْف ٍس أ َ ْن ت َ ُموتَ إِال بِإ ِ ْذ ِن ه‬
‫َّللاِ ِكت َابًا ُم َؤ هجال‬
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (QS. Ali Imran [3]: 145).
َ‫َما ت َ ْسبِ ُق ِم ْن أ ُ هم ٍة أ َ َجلَ َها َو َما يَ ْست َأ ْ ِخ ُرون‬
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat
memundurkannya (QS. al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)
Pernyataan senada antara lain terdapat dalam QS. Yunus [10]: 49; an-Nahl
[16]: 61 dan QS al-Munafiqun [63]: 11. Jadi, habisnya ajal atau datangnya
kematian adalah sesuatu yang pasti (QS al-‘Ankabut [29]: 5). Karena kematian
adalah pasti datangnya maka manusia tidak akan bisa lari menghindar darinya.
Allah SWT menegaskan:
‫قُ ْل ِإ هن ْال َم ْوتَ الهذِي ت َ ِف ُّرونَ ِم ْنهُ فَإِنههُ ُمالقِي ُك ْم‬
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya tetp akan
menemui kalian.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 8).
Allah SWT juga menegaskan:
َ ‫أ َ ْينَ َما ت َ ُكونُوا يُد ِْر ُك ُك ُم ْال َم ْوتُ َولَ ْو ُك ْنت ُ ْم فِي ب ُُروجٍ ُم‬
ٍ‫شيهدَة‬
Di mana saja kalian berada, kematian akan menjumpai kalian kendati kalian
berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. an-Nisa’ [4]: 78).
Ayat ini menegaskan, jika orang berupaya menghindar dari kematian—dengan
jalan membentengi diri dari apa saja yang dia sangka menjadi sebab datangnya
kematian seakan dia berlindung dalam benteng yang tinggi lagi sangat kokoh
sekalipun—maka hal itu tidak akan bisa menghindarkannya dari kematian.
Sebab, semua yang disangka sebagai sebab maut itu baik berupa sakit, perang,
dsb, sejatinya bukanlah sebab maut. Semua itu hanyalah kondisi yang
didalamnya kadang terjadi kematian, namun kadang juga tidak.
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa satu-satunya sebab kematian adalah
habisnya ajal, yaitu habisnya jangka waktu yang ditetapkan untuk manusia;
atau datangnya ajal, yaitu datangnya batas akhir umur manusia. Ketika itulah,
Allah SWT mematikannya dengan mengutus Malaikat Maut untuk mencabut
ruh dari jasad. (QS. as-Sajdah [32]: 11).
Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki. Ajal dan umur tiap orang telah
ditetapkan oleh Allah. Allah SWT juga menegaskan tidak akan memajukan atau
menangguhkan ajal seseorang. Allah tidak akan menambah atau mengurangi
jatah umur seseorang. Dalam QS al-Munafiqun [63]: 11, Allah mengungkapkan
dengan kata lan yang merupakan penafian selama-lamanya (Lihat pula QS.
Fathir [35]: 11).
Kepastian Datangnya Ajal
Datangnya ajal adalah pasti, tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan.
Berjihad, berdakwah, amar makruf nahi mungkar, mengoreksi penguasa, dsb,
tidak akan menyegerakan ajal atau mengurangi umur.
Begitu pula berdiam diri, tidak berjihad, tidak berdakwah, tidak mengoreksi
penguasa, tidak beramar makruf nahi mungkar, dan tidak melakukan
perbuatan yang disangka berisiko mendatangkan kematian, sesungguhnya
tidak akan bisa memundurkan kematian dan tidak akan memperpanjang umur.
Semua itu jelas dan tegas dinyatakan oleh ayat-ayat al-Quran seperti di atas.
Memang, ada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
ِ َ‫سأ َ لَهُ فِى أَث َ ِر ِه فَ ْلي‬
ُ‫ص ْل َر ِح َمه‬ َ ‫ط لَهُ ِر ْزقُهُ أ َ ْو يُ ْن‬ َ ‫س هرهُ أ َ ْن يُ ْب‬
َ ‫س‬ َ ‫َم ْن‬
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah
ia bersilaturahmi. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).
Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Yang bertambah tidak lain
adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga maknanya
adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis, yakni
peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus mendatangkan manfaat
dan pahala setelah kematian biologisnya. Abu Darda menuturkan bahwa Rasul
saw. pernah bersabda:
،ِ‫لَهُ ِم ْن َب ْع ِده‬ ُ ‫ فَ َي ْد‬،َ‫صا ِل َح ِة َي ْر ُزقُ َها ْال َع ْبد‬
َ‫ع ْون‬ ‫ َو ِإنه َما ِز َيادَة ُ ْالعُ ْم ِر ِبالذ ُّ ِريه ِة ال ه‬،‫سا ِإذَا َجا َء أ َ َجلُ َها‬
ً ‫ِإ هن هللاَ الَ ي َُؤ ِخ ُر نَ ْف‬
‫ِزيَادَة ُ ْالعُ ْم ِر‬ َ‫ فَذَلِك‬،ِ‫عاؤُ ُه ْم فِ ْي قَب ِْره‬ َ ُ‫فَيَ ْل ِحقَهُ د‬
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah
datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih
yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya
sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah
pertambahan umur. (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di
dalam tafsirnya QS. Fathir [35] : 11).
Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat, sedekah
jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur sosiologis
seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis, seakan ia tetap hidup
dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala karenanya.
Dengan demikian, tidak ada gunanya lari dari maut. Maut juga tidak selayaknya
ditakuti karena pasti datangnya. Sikap takut akan mati dan berupaya lari dari
maut yang pasti datang bisa dikatakan sebagai sikap bodoh dan upaya yang
sia-sia.
Yang harus dilakukan adalah mempersiapkan diri menyongsong datangnya
maut dan memelihara diri supaya maut itu datang dalam kondisi kita sedang
menunaikan ketaatan sehingga kita mendapatkan husnul khatimah. Inilah
sikap cerdas dan upaya yang berdaya guna. Orang yang paling cerdas adalah
orang yang paling banyak dan paling baik persiapannya dalam menyongsong
datangnya maut.
Ibnu Umar meriwayatkan, Rasul saw. pernah ditanya, siapakah Mukmin yang
paling cerdas? Beliau menjawab:
ِ َ‫سنُ ُه ْم لَهُ اِ ْستِ ْعدَادًا قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْن ِز َل ِب ِه ْم أ ُ ْولَئِكَ ِم ْن اْأل َ ْكي‬
‫اس‬ ِ ‫أ َ ْكث َ ُر ُه ْم ِل ْل َم ْو‬
َ ْ‫ت ِذ ْك ًرا َوأَح‬
Mereka yang paling banyak mengingat maut dan paling baik persiapannya
untuk menghadapi maut itu sebelum turun kepada mereka. Mereka itulah
yang termasuk Mukmin yang paling cerdas. (HR Ibn Majah, al-Hakim, al-
Baihaqi, Abu Nu’aim dan ath-Thabrani).

Anda mungkin juga menyukai