Oleh:
Muyassaroh, Nia Amalia, Siti Khadijah, Dewi Masarroh dan Himmatul Ulya
I. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu
dengan yang lain, sebagaimana dalam hadith Nabi:”Muslim satu dengan
lainnya itu bagaikan satu bangunan yang saling membutuhkan dan
ketergantungan”.1
Dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak luput dari interaksi antara
sesama baik itu satu agama maupun tidak, kerukukan harus tetaplah dijaga.
Ketika tertimpa musibah dan mengalami masalah, orang yang pertama kali
membantu adalah tetangga dan kerabat. Masyarakat akan damai dan tentram
jika sesama muslim maupun non-muslim dalam satu ukhwah.
Kehidupan yang dialami semua makhluk yang pasti ada balasannya,
ketika menanam benih yang baik, maka akan menuai hasil yang baik pula.
Seperti halnya, ketika seseorang membantu, menghormati, dan menghargai
dengan ikhlas, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan amal yang telah
diperbuatnya.
II. Pembahasan
A. Redaksi Hadith
1. Hadith Berkenaan Memulyakan Tamu dan Tetangga
1
Syekh al-Ṭayib Ahmad Huṭaibah, Syarah Riyāḍ al-Ṣalihīn, Durus Ṣauṭiyah Qāma bitafrighihaā
Mauqi’a al-Syabkaḥ al-Islamiyah, (t.t:t.p, t.th), 5:2.
2
Abu al-Hasan ‘Alῑ , Sharah Ṣaḥῑḥ al-Bukhārῑ Lῑ Ibn Baṭāl, hadith no. 5994, bab hifẓ al-lisān,
(Riyadl: Al-Rashd, 2003), 10:185.
2. Hadith Berkenaan Berbuat Baik Kepada Kerabat
،ت هِبَا
َ ْص َّدق َ ِإ ْن َش ْئ: فََأتَى النَّىِب َّ صلى اهلل عليه وسلم فأخربه قَ َال،َْيَبَر
َ َت ت
خِب
Muslim bin al-hajjaj, Al-musnad al-shahīh al-Mukhtashor bi naqli al-‘adl ‘an adl ila Rasulillahi
Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, (Dār al-Ihya’ al-Turath al-‘arabī : A’rabī), t.th), 1: 68.
‘Abdullah bin Muhammad, Fawāid abī Muhammad al-fākihanī, (t.t: al-Maktabah al-rasyd, 1998)
Hafidz bin Ahmad, Ma’ārij al-qabūl bi syarh sullam al-wuṣūl ila ‘ilm al-ushul , (t.t: Dār al-Qaym,
1990), 2:.652.
Abu muhammad al-Husain al-Baghawi, Tafsir al-Baghawī , (-‘Arab: Dār al-Ihyā’ al-Turats
al-‘Arabī,1420 H), 1:618.
Syam al-Dīn, al-Sirāj al-Munīr fī al-I’ānah ‘ala Ma’rifati Ba’dhi Ma’ānī Kalami Rabbina al-
Ḥakīm al-Khabīr, (Kairo: t.p, 1285), 1:302.
Imam al-Nawawī, Arba’in an-Nawawiyah, terj. Ahmad Labib Anṣori, (Surabaya: al-Miftah,
t.th),30.
3
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari , Shahih Bukhari, hadith no 2773 bab al-Waqaf lil
ghani wa al-faqῑr wa al-dlaif, (Syirkah al-Qudsy, 2014) 375.
Ibn Baṭāl Abū al-Ḥasan ‘Alī, Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhari Libni Baṭāl, (t.t: Maktabah al-Rasyid al-
Riyadl, 2003), 8:191.
4
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Bad’I al Wahyi, Hadith
no.1 (t.t:Syirkah al-Qudsy, 2014), 21. Lihat juga pada abi al Husein Muslim ibn al Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab Imarah, Bab qouluhu Rasulullah “Innama al a’mali bi an Niyati” No.1907 (t.t:Dar
at Tayyibah, 2006), 920.
B. Terjemah
1. Dari Abu Hurairoh, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
(kiamat), hendaklah ia mengatakan sesuatu yang baik atau diam
saja. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari
kemudian(kiamat), hendaklah ia menghormati tamunya.” Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan iman Muslim.5
2. Telah bercerita kepada kami Abu 'Ashim telah bercerita kepada
kami Abu 'Aun dari Nafi' dari Ibnu 'Umar bahwa: Umar radliyallahu
'anhuma mendapatkan harta di Khaibar lalu dia menemui Nabi
shallallahu 'alaihiwasallam dan mengabarkannya. Maka Beliau
berkata: “Jika kamu mau menshadaqahkan (hasil) nya. “Maka
‘Umar menshadaqahkannya untuk para fakir dan miskin, kerabat
dan untuk menjamu tamu.
3. Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az
Zubair dia berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan yang
berkata : bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al
Anshari berkata: telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin
Ibrahim al Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin
Waqash al Laitsi berkata: saya pernah mendengar Umar bin al
Kaththab di atas mimbar berkata: saya mendengar Rasulullah
Ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Semua perbuatan
tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung)
apa yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang
ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia niatkan.”
C. Biografi
1. Biografi Abu Hurairah (21SH-57 SH=602 M-679M)6
7
Muhammad ibn Alawy Al-Maliky, Manhal al-Lathif, (Surabaya: Haiah as-shofwah al-Malikiyah,
tt), 191.
8
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), 208.
9
Ibid, 209.
dunia, wara’ dan takwa. Seluruh hidupnya diabadikan untuk selalu
beribadah kepada Allah.
Beliau lahir tahun ke-2 atau ke-3 dari tahun diutusnya nabi,
dan masuk islam bersama ayahnya, ketika itu beliau masih kecil dan
belum baligh. Beliau meriwayatkan hadith sekitar 2.630 hadith yang
diantaranya dari Abu bakar, Umar, Usman, Abu Dzar, Mu’adz ibn
10
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), 224-225.
11
Muhammad ibn Alawy Al-Maliky, Manhal al-Lathif, (Surabaya: Haiah as-shofwah al-
Malikiyah, tt), 196.
12
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CVPustaka Setia, 2014), 227.
Jabal, Rafi’ ibn Khadij, Abu Hurairah, dan Aisyah. Beliau wafat
pada tahun ke-73 H dalam usia 84 tahun.13
15
Ibid 59.
Pada masa kekhalifahan Umar beliau ditunjuk sendiri oleh Abu
Bakar sebelum beliau wafat. Kekhalifahan Umar islam berkembang pesat.
Umar menaklukkan beberapa daerah seperti Mesopotamia dan sebagian
Persia serta banyak negara-negara yang telah ditaklukkan Umar.
Umar wafat pada hari Rabu 25 Dzulhijjah 644 M Beliau dibunuh
oleh Abu Lukluk. Beliau menjadi khalifah pada tahun 632-644 M.
Sepeninggal Umar kekhalifahan dipimpin oleh Utsman bin Affan.
D. Tinjauan Bahasa
1. يُْؤ ِم ُن: iman yang sempurna, yang menyelamatkan dari siksa Allah, meraih
keridhaan-Nya, dan dasar dari iman adalah pembenaran dan kedudukan.16
2. ت
ْ ص ُم
ْ َ ي: diam
3. الَْي ْوِم اآْل ِخ ِر: Hari Akhir adalah Hari Kiamat. Hari Akhir disebut dengan
Hari Kiamat karena qiam atau bangunnya makhluk yang telah mati dari
kuburan.17
jahat
sepanjang enam puluh hingga delapan puluh mil dari Madinah, tepatnya ke
arah utara.18
16
Imam al-Nawawī, Al-Wafi fi Syarah ‘Arba’in an Nawawwiyah menyelami makna hadits
Rasulullah, Terj.Pipih Imran Nurtsani, (Solo: Insan Kamil, 2013), 173.
17
Syekh Nawawī al-Bantani, Nur Adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awwam, (salatiga: t.tp, t.th),122.
18
Syekh Ṣafiyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (jakarta: ummul Qura, 2017),650.
7. قَ َال: Nabi bersabda, asal ا َلffَ قmerupakan ولff قyang diganti wawunya
dengan alif, karena wawu hidup dan jatuh setelah harokat fatkhah, yang di
qiyaskan dengan lafal صان.19
8. َ ْص َّدق
ت َ ِإ ْن شَْئ: jika kamu ingin meshadaqahkan
َ َت ت
9. الْ ُق ْرىَب: keluarga, kaum kerabat, karib, yang akar katanya dari kata قرب
pengunjung.21
11. على املنرب: di kasroh mimnya dan lam pada lafadz برfff المنberfaidah
13. بالني ات: Huruf ba' menunjukkan arti sababiyah (menunjukkan sebab),26
15. هجرته : Hijrah berarti meninggalkan, hijrah kepada suatu tempat berati
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut syari’at, hijrah
berarti meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.30 Berarti juga
meninggalkan wilayah yang penuh kekufuran ke wilayah Islam karena
takut terjadi fitnah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits ini adalah
pindahnya dari Mekkah menuju Madinah sebelum terjadi Fathu Makkah.31
16. دنيا إىل: Lafadz دنياdibaca dengan dlomah dalnya, Menurut Ibn Qutaibah
dibaca kasroh. Kata دنيا berarti dekat, dinamakan demikian karena dunia
lebih dahulu daripada akhirat, atau karena dunia sangat dekat dengan
kehancuran atau kebinasaan.32
17. إليه فهجرت ه إىل م ا ه اجر: maka hijrahnya sesuai dengan apa yang
diniatkan.33
E. Fiqhu Al-Hadith
Apakah bertamu merupakan hak atau ihsan? Bertamu itu bagian dari
akhlak mulia dan Islam, dan akhlak para Nabi dan orang-orang shalih,
apakah itu kemuliaan? dan apakah itu merupakan perbuatan baik atau hak
wajib bagi tamu? Para ulama’ berbeda pendapat mengenai masalah ini;
ان َوِإيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرىَب ٰ َوَيْن َهىٰ َع ِن الْ َف ْح َش ِاء
ِ ِإ َّن اللَّه يْأمر بِالْع ْد ِل واِإْل حس
َ ْ َ َ ُُ َ َ
َوالْ ُمن َك ِر َوالَْب ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن35
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.36
34
Imam al-Nawawī, Arba’in an-Nawawiyah, terj. Ahmad Labib Anṣori, (Surabaya: al-Miftah,
t.th), 180.
35
Al-Qur`an al-Karīm
36
Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālayn, (Jakarta: Pustaka Kautsar,
2017), 277.
a. Wajibnya berniat
Sesungguhnya pembahasan tentang niat adalah pembahasan yang
sangat penting yang berkaitan dengan syariat Islam. Imam Ahmad dan
Imam Syafi’I berkata bahwasanya hadits tentang niat ini mencakup
sepertiga ilmu. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat di dalam
hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan bagian dari tiga
bagian itu. Diriwayatkan juga dari Imam Syafi’I beliau berkata bahwa
hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih.37
Para ulama sepakat bahwa amal yang dilakukan oleh orang-orang
yang beriman yang sudah baligh (muallaf) tidaklah ada nilainya menurut
syari’at dan tidak mendapatkan pahala karena mengerjakannya, kecuali
dilandasi dengan niat. Niat di sini maksudnya adalah dalam ibadah-
ibadah tertentu, misalnya shalat, haji, dan puasa. Ibadah-ibadah tersebut
tidaklah sah tanpa disertai dengan adanya niat. Adapun perantaranya,
seperti wudlu dan mandi.
Pengikut mazhab Syafi’iy berpendapat bahwa ini merupakan salah
satu syarat sah. Maka tidak sah wasilah tersebut kecuali didasari dengan
niat. Sedangkan pengikut Imam Hanafi berpendapat bahwasanya ini
merupakan syarat dari kesempurnaan ibadah supaya memperoleh pahala.
Sedangkan.38
Ahmad bin ali bin Hajar al-Asqolani dalam kitab Fathul Bari
bercerita tetang Ibnu Daqiq al-‘Id berkata “Orang yang mensyaratkan niat
dalam suatu perbuatan, maka kalimat yang dihapus dalam hadits tersebut
diperkirakan adalah kalimat shihhatan a’māli (sahnya perbuatan), dan
bagi yang tidak mensyaratkan niat, ia memperkirakan kalimat kamālal
a’māli (kesempurnaan perbuatan).” adapun pendapat yang paling kuata
adalah pendapat yang pertama.39
b. Waktu Niat dan Tempatnya
37
Ibnu Rojab, Jami Al-‘Ulum wa Al-Hikam, (t.tp: tahqiq Al-Arnauth, t.th), 1:19. Lihat juga dalam
buku Pipih Imran Nurtsani, Al-Wafi fi Syarah ‘Arba’in an Nawawwiyah menyelami makna hadits
Rasulullah,41.
38
Ibid.,
39
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, Fathul Bari syarh Shahih Bukhari,1:16.
Waktu niat adalah di permulaan ibadah, seperti takbiratul ihram
dalam shalat dan ihram untuk haji. Adapun untuk puasa cukuplah berniat
sebelumnya, dikarenakan kesulitan memantau waktu fajar. Tempat sebuah
niat itu di dalam hati, sehingga tidak disyaratkan untuk mengucapkannya.
Akan tetapi dianjurkan saja agar lisan dapat membantu hati untuk
menghadirkannya.40
c. Faedah hadits
Hadits ini berfaedah bahwa seseorang yang berniat melakukan
amalan sholeh lalu ia mendapatkan halangan yang yang tidak dapat
ditolaknya, baik itu berupa sakit maupun karena meninggal maka
sesungguhnya ia mendapatkan pahala atas niatnya. Maka dari itu amalan
yang tidak di landasi dengan niat adalah sia-sia, niat dalam sebuah amal
seperti ruh dalam sebuah jasad, maka jasad itu tidak akan bisa bertahan
tanpa ruh dan ruh tidak terlihat di alam ini ketika tidak bersatu dengan
jasad.41
Hadits ini memberikan penjelasan pada kita untuk senantiasa ikhlas
dalam melakukan amal ibadah sehingga kita dapat meraih balasan pahala
diakhirat kelas, juga bimbingan dan kesuksesan dari Allah ketika di
dunia. Setiap amal yang mendatangkan manfaat dan kebaikan kemudian
dilandasi niat dan ikhlas mengharapkan keridhaan Allah merupakan satu
ibadah.
Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan
yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif
(lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan
Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untuk-Nya
sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”.
(QS. Az-Zumar : 3).
F. Penjelasan Hadith
40
Imam al-Nawawī, Al-Wafi fi Syarah ‘Arba’in an Nawawwiyah menyelami makna hadits
Rasulullah, Terj.Pipih Imran Nurtsani 42.
41
Ibid.,
Ulama menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni yang tinggal di
sekeliling rumah, sejak dari rumah pertama hingga rumah keempat puluh.
Ada juga ulama yang tidak memberi batas tertentu dan mengembalikannya
kepada situasi dan kondisi setiap masyarakat. Meskipun, terdapat bahwa
sering kali ada tetangga yang tidak saling mengenal namanya atau juga
yang tidak seagama. Dengan demikian, semua adalah tetangga yang wajib
mendapat perlakuan baik. Ikut bergembira dengan kegembiraannya,
menyampaikan belasungkawa karena kesedihannya, serta membantunya
ketika mengalami kesulitan.
Rasulullah bersabda kepada sahabat beliau, Abu Dzar, "Wahai Abu
Dzar, apabila engkau (keluargamu) memasak kuah, berilah air yang
banyak dan perhatikan hak tetanggamu." (HR. Muslim).42
Sedangkan kata kerabat menurut KBBI, merupakan yang dekat dengan
pertalian keluarga, sedarah sedaging.seperti sanak saudara. Kekerabatan
dapat ditinjau dari sudut yang berbeda, yaitu;
a. Angkat
Hubungan kekerabatan yang berdasarkan adat atau hukum tentang
adopsi yang berlaku di suatu masyarakat.
b. Kawin
Hubungan kekerabatan berdasarkan ikatan perkawinan.
c. Kerja
Hubungan kekerabatan yang terjadi oleh sekelompok petugas
sepekerjaan yang tergabung untuk melaksanakan tugas yang sama.
d. Sebagian
Hubungan keturunan yang hanya mempunyai satu induk yang sama.
e. Sedarah
Hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan darah.
Sedangkan tamu, adalah orang yang datang berkunjung ke tempat
orang lain atau ke perjamuan baik diundang atau tidak.
3. Banyak bicara dapat memicu penyebab kehancuran, dan menjaga lisan dari
keselamatan.
4. Etika berbicara
Dalam Islam etika berbicara harus diperhatikan, diantaranya:
a. Seorang muslim harus menjaga setiap ucapan yang tidak bermanfaat
serta menahan berbicara yang diharamkan, seperti ghibah, namimah,
dan mencela.
b. Tidak berlebihan dalam berbicara
c. Wajib berbicara ketika memang dibutuhkan, seperti untuk menjelskan
amar ma’ruf nahi munkar.
5. Membantu Tetangga
َو ْاعبُ ُدوا اللَّهَ َواَل تُ ْش ِرُكوا بِِه َشْيًئا َوبِالْ َوالِ َديْ ِن ِإ ْح َسانًا َوبِ ِذي الْ ُق ْرىَب َوالْيَتَ َامى
43
Al-Qur`an al-Karīm
44
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’
Khadim al-Haramain Asy-Syarifain al-Malik Fahd li thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, 1413 H),
124.
Kata حسنḥusn mencakup segala sesuatu yang menggembirakan dan
disenangi. Sedangkan ḥasanah digunakan untuk menggambarkan apa
yang menggembirakan manusia karena perolehan nikmat, menyangkut
diri, jasmani, dan keadaannya.45
6. Menyakiti tetangga menunjukkan lemahnya iman dan sebab kehacuran
45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 2:527.
Rasulullah menjelaskan kepada kita dalam hadits ini, bahwa orang
yang berpegang teguh pada syari’at Islam, dan mengikuti jejak kaum
muslimin yang shalih, maka ia memuliakan tamunya dengan berbuat baik
dan menjamu taunya dengan sebaik myungkin. Hal itu merupakan tanda
dari keimanan kepada Allah dan kejujuran dalam tawakal kepada-Nya.
46
Imam al-Nawawī, Al-Wafi fi Syarah ‘Arba’in an Nawawwiyah menyelami makna hadits
Rasulullah, Terj.Pipih Imran Nurtsani 179.
47
Habib Abdullah bin Alawi al Haddad al Hadhromi, Risalah al Muawwanah, 25.
48
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya` Ulummuddin (Beirut: Dar al Ma’rifah, t.th),
4:376.
a. Mengharapkan wajah Allah semata-mata hanya untuk mengharap
ridho Allah. Sebagaimana dalam surat al-Kahfi ayat 28 yang
artinya, “dan bersabarlah kamu (Muhammad) bersama orang-orang
yang menyeru tuhannya pada pagi dan senja hari dengan
mengharap wajahNya”
b. Senang beramal secara sembunyi-sembunyi
c. Batin lebih baik dari pada lahir. Selalau dapat mengintropeksi diri
seakan-akan selalu mengharap Allah. Ia selalu merasa diawasi
Allah saat sendirian maupun di keramaian.
d. Khawatir jika amalnya tertolak
e. Tidak menunggu pujian orang lain.
Hadits ke-3 di atas berhubungan erat dengan niat. Rasululah
Ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam menyabdakan hadits itu karena di antara para
sahabat Nabi Ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam sewaktu mengikuti hijrah dari
Makkah menuju Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita
yakni Ummu Qais. Beliau mengetahui maksud orang itu lalu bersabda
sebagaimana di atas. Karena orang tersebut memperlihatkan sesuatu yang
bertetangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya. 49
Setiap pekerjaan harus didasari dengan niat. Al Khauyi mengatakan,
seakan-akan Rasulullah Ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memberi pengertian
bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti
seseorang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat
ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri
dari ancamanNya.50
Dalam hadits di atas diterangkan bahwa setiap perbuatan harus di
dasari dengan adanya niat. Niat sebagai diterimanya ibadah dengan istilah
lain yaitu ikhlas, Ikhlas dalam menjalankan perintah Allah. Seperti dalam
firman Allah Subḥānahu wa Ta’āla:
49
Imam al-Nawawī, Al-Wafi fi Syarah ‘Arba’in an Nawawwiyah menyelami makna hadits
Rasulullah, Terj.Pipih Imran Nurtsani.,41.
50
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, Fathul Bari syarh Shahih Bukhari, 1:14.
ِ ِِ ِ ِ
َّ الص الةَ َويُْؤ تُ وا
َالزَك اة َّ يم وا
ُ ِّين ُحَن َف اءَ َويُق َ َوَم ا ُأم ُروا ِإال لَي ْعبُ ُدوا اللَّهَ خُمْلص
َ ني لَ هُ الد
Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah
dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu
ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika
mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain
sebagainya. Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat
mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada
Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat
hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka
dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala.
Diterima atau tidaknya dan sah atau tidaknya suatu amal tergantung
pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan
sesuai dengan niatnya dalam beramal. Yang di maksud dengan amal disini
adalah semua yang berasal dari seorang hamba yang baik berupa
perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.
III. Kesimpulan
Dalam hidup bermasyarakat interaksi sosial yang baik perlu dipupuk sejak dini
dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan hadith yang
diajarkan Nabi Muhammad. Terlebih berbuat baik terhadap kerabat, tetangga, dan
tamu, seperti membantu, menghormati, dan memulyakan semata karena Allah
maka ia akan memetik apa yang diperbuat dengan balasan yang Allah berikan.
Berbuat baik harus dibarengi dengan rasa ikhlas. Ikhlas merupakan pondasi
agama dari berbagai amal perbuatan, menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya
51
Al-Qur`an al-Karim (al-Bayyinah 95:5).
suatu amalan. Dimana ketika seseorang tersebut melakukan kebaikan dengan
ikhlas, maka Allah akan memberikan balasan yang setimpal, dan juga sebaliknya.
52
Hasiah, “Peranan Ikhlas Dalam Perspektif al-Qur’an”, Jurnal Dārul ‘ilmi, no. 2, (06, 2013), 38.
53
Al-Qur`an al-Karīm 9:44.
54
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Madinah: Mujamma’
Khadim al-Ḥaramayn al-Syarīfayn al-Malik Fahd li Ṭiba’at al-Muṣḥaf al-Syarīf, 1413 H).
55
Al-Qur`an al-Karīm 9:45.
Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu untuk tidak
berjihad hanyalah orang yang tidak beriman kepada Allah secara benar dan
tidak meyakini hari perhitungan-Nya di akhirat. Sungguh hati mereka selalu
berada dalam keraguan dan hidup dalam kebingungan. Mereka niscaya
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah SWT., baik dalam keadaan
bersama manusia atau jauh dari manusia. Tujuan yang hendak dicapai
orang yang ikhlas adalah ridha Allah SWT., bukan ridha manusia.
Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik
dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat
pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap
amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan
merasa senang apabila kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama
dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh
tangannya. Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan
kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal
jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan
mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk
kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan
membesarkan diri atau lembaganya semata.
Daftar Pustaka
‘Alī, Ibn Baṭāl Abū al-Ḥasan, Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhari Libni Baṭāl, t.t:
Maktabah al-Rasyid al-Riyadl, 2003.
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Syirkah al-
Qudsy, 2014)
Ahmad, Hafidz Ibn, Ma’ārij al-qabūl bi syarh sullam al-wuṣūl ila ‘ilm al-
ushul , t.t: Dār al-Qaym, 1990.
56
Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālayn, terj. Umar Mujtahid
(Jakarta: Pustaka Kautsar, 2017), \
Al-Qur`an al-Karīm.
Asqalani (al), Ibnu Hajar, Bulughul Marām, terj. M. Ali,.
Asqolani (al), Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari syarh Shahih Bukhari,
Mesir: Dar al-Bayan al-Araby, 2007.
Baghawi (al), Abu Muhammad al-Husain, Tafsir al-Baghawī , ‘Arab: Dār al-
Ihyā’ al-Turats al-‘Arabī,1420.
Bantani (al), Syekh Nawawī, Nur Adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awwam,
Salatiga: t.tp, t.th.
Bukhari (al), Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Syirkah al-
Qudsy, 2014.
Dīn (al), Syam, al-Sirāj al-Munīr fī al-I’ānah ‘ala Ma’rifati Ba’dhi Ma’ānī
Kalami Rabbina al-Ḥakīm al-Khabīr, Kairo: t.p, 1285.
Hajjaj (al), Muslim Ibn, Al-musnad al-shahīh al-Mukhtashor bi naqli al-‘adl
‘an adl ila Rasulillahi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, Dār al-Ihya’ al-
Turath al-‘arabī : A’rabī), t.th.
Huṭaibah, Syekh al-Ṭayib Ahmad, Syarah Riyāḍ al-Ṣalihīn, t.t: Durus Ṣauṭiyah
Qāma bitafrighihaā Mauqi’a al-Syabkaḥ al-Islamiyah, t.p, t.th.
Ibnu Sa’id, min Thobaqotul Kubra al Asyroh al Mubassyirin fil Jannah, az
Zahro lil I’lam al-Arabi.
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Madinah: Mujamma’ Khadim al-Haramain Asy-Syarifain al-Malik
Fahd li thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, 1413 H.
Maḥallī (al), Jalāl al-Dīn dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālayn, Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2017.
Mahmūd Yūnūs, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: yayasan penerjemah,
1973.
Majamma’u al-Lughoh al-Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasīt?, Mesir: Maktabah
Asy-Syaruq ad-Daulah, 2004.