Anda di halaman 1dari 227

Modul

Penjelasan
Arba’in
Nawawiyyah
Nur Fajri Romadhon
Mukadimah

Al-Arba’un Al-Nawawiyyah adalah kutaib (buku saku) yang luar


biasa. Inilah matan yang pertama kali saya hafalkan di awal perjalanan saya
serius menuntut ilmu syar’i. Meski di dalamnya hanya terdiri dari 42 hadits,
tetapi semua hadits yang dikumpulkan oleh al-Imam al-Nawawi memiliki
kedudukan yang agung, karena semuanya merupakan sabda Rasulullah ‫ﷺ‬
yang yang telah dianugerahi jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas
namun memiliki makna yang padat dan dalam). Nabi bersabda: “Aku
diberikan pembuka perkataan (kefasihan), perkataan ringkas namun
maknanya padat dan luas, dan penutup perkataan.”1
Oleh karena itu, sesuai dengan sejumlah hadits yang saling
menguatkan satu sama lainnya, barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah
untuk menghafalnya dan memahaminya, maka sungguh ia telah mempelajari
inti dari warisan Nabi Muhammad.
Kutaib ini sejak dahulu hingga kini sangat diperhatikan oleh kaum
muslimin, tidak hanya oleh para penuntut ilmu dan ulama. Majelis ilmu yang
membahas kutaib ini di seluruh dunia sangatlah banyak. Bahkan hampir
tidak ada pondok pesantren atau sejenisnya yang tidak menjadikannya
bagian dari kurikulum untuk dihafalkan atau dipelajari. Tidak heran, para
ulama banyak yang menulis buku untuk menjelaskan hadits-hadits ini
kepada umat. Berikut sedikit di antaranya yang saya jadikan rujukan utama
adalah yang ditulis oleh:
1. Al-Imam al-Nawawi (w. 676 H), yang sekaligus sebagai penulis dari
Arba’in ini.
2. Al-Hafidzh Ibnu Daqiq al-‘Id (w. 702 H)
3. Al-Hafidzh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat th. 795 H), yang merupakan
syarah (penjelasan) terbaik untuk kutaib ini dalam kitabnya yang berjudul
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Tidak hanya menjelaskan, beliau juga
menggenapkan hadits-haditsnya menjadi 50 hadits.
4. Al-Hafidzh Ibnul Mulaqqin (w. 804 H)
5. Syaikh Abdurrahman al-Sa’di (w. 1376 H)
6. Syaikh Dr. Musthafa al-Bugha dan Syaikh Muhyiddin Mistu, yang
berjudul Al-Wafi dan merupakan syarah Arba’in karya ulama
kontemporer paling populer.
7. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)
8. Syaikh Shalih Alu Syaikh
9. Ustad kami, Yazid Jawas, dan buku beliaulah yang saya jadikan sumber
utama -semoga Allah menjaga dan merahmati mereka semua-.

1
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (no. 3012), dan Musnad Abi Ya’la (no. 7202). Lihat Silsilah al-
Ahadits al-Shahihah (no. 1483) dan Shahih Jami’ al-shaghir (no. 1058).
1
Alhamdulillah, Allah telah menganugerahi saya untuk menghafalkan kutaib
ini di awal masa saya serius menuntut ilmu syar’i. Sejak kelas X SMA senior
kami, Kak Zulhamidi –semoga Allah menjaga beliau-, membimbing kami
mengkaji dan menghafalnya. Setelahnya maka saya pun mendengarkan via
audio syarah para ulama atas kutaib ini (seperti syarah Syaikh Muhammad
Shalih Alu Syaikh dan Syaikh Ibnu Utsaimin). Kitab berbahasa Arab
pertama yang saya beli pun adalah syarah Arbain Nawawiyyah ini yang
ditulis oleh Imam Al-Nawawi, Al-Hafidzh Ibnu Daqiq al-‘Id, Syaikh Al-
Sa’di, dan Syaikh Shalih Alu Syaikh). Allah pun mengaruniai saya sanad
sama’ kitab ini secara keseluruhan dari Syaikhuna Muhammad Idris Ashim
asal Pakistan, Sayyid Muhammad Qamaruddin asal India, Syaikh Hamid
Akram Al-Bukhari, Syaikh Ahmad Yunus Al-Mishri. Begitu juga sama’
sebagiannya dan ijazah untuk sisanya dari Syaikhuna Dr. Hisyam As-Sa’id.
Setelahnya pun walillahil hamd saya diberi anugerah mengajarkan kutaib ini
sampai selesai beberapa kali ataupun menjelaskan sebagian hadits-haditsnya
di hadapan kawan-kawan SMA kami maupun mahasiswa-mahasiswi UI,
PNJ, dan UG Depok.

Semoga Allah memberikan keikhlasan bagi kita semua. Akhir kata,


mudah-mudahan shalawat beriring salam tercurahkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad ‫ﷺ‬ , keluarga, dan para Shahabat beliau.

Syaban 1439 H
Nur Fajri Romadhon

2
Hadits Pertama
KEDUDUKAN NIAT DALAM AMAL

‫ول اللَِّه‬
َ ‫ َِس ْعت َر ُس‬:‫ال‬ َ َ‫اب ق‬ِ َّ‫ص عُمر بْ ِن ا ْلَط‬
ََ ٍ ‫ف‬
ْ ‫ح‬
َ ‫َِب‬ ِ‫أ‬ ‫ني‬
َ
ِ‫عن أ َِم ِري الْم ْؤِمن‬
ُ َْ
‫ت ِه ْجَرتُهُ َإَل‬ ِ ِ
ْ َ‫ فَ َم ْن َكان‬،‫ َوإَِّّنَا ل ُك ِّل ْام ِر ٍئ َما نَ َوى‬،‫ال بِالنِّ يَّات‬ُ ‫ " َّإّنَا ْاْل َْع َم‬:‫ول‬ُ ‫يَ ُق‬
ٍ‫صيب ها أَو امرأَة‬ ِ ِ ِ َ‫ ومن َكان‬،‫اللَّ ِه ورسولِِه فَ ِهجرتُه َإَل اللَّ ِه ورسولِِه‬
َْ ْ َ ُ ُ‫ت ه ْجَرتُهُ ل ُدنْيَا ي‬ ْ ْ َ َ ُ ََ ُ َْ ُ ََ
."‫اجَر إلَْي ِه‬ ِ
َ ‫يَْنك ُح َها فَ ِه ْجَرتُهُ َإَل َما َه‬
‫ني أَبُو َعْب ِد اهللِ ُمَ َّم ُد ب ُن إِ ْسَا ِعيل بن إِبْ َر ِاهيم بن الْ ُمغِ َرية ب ن‬ ِ
َ ‫َرَواهُ إِ َم َاما الْ ُم َحدِّث‬
‫اسَ َّج ان ب ن ُم ْن لِم الْ ُق َش ِْري ع‬
ُ ْ ‫ني ُم ْن لِم ب ُن‬ ِ ْ ‫اسُن‬
َ ْ ‫و‬ ُ‫َب‬
‫أ‬‫و‬َ ‫ع‬
ِ ‫اِع‬
‫ف‬ ْ ُْ ُ‫ع‬ ِ ‫بَرِدزبَ ه الْبُ َر ا‬
‫ر‬ ْ
ِ ِ " ِ ‫ُ ر ِض اهلل عْن هم ا‬
ِ ُ‫َص عك الْ ُك‬ َ ‫يحْي ِه َما" الل هي ِن َُ ا أ‬ َ ‫صح‬ َ ِ
َ ُ َ ُ َ َ ‫الن َّْي َن ابُور ع‬
.‫صنَّ َف ِة‬
َ ‫الْ ُم‬

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin al-Khaththab, ia berkata: “Aku
mendengar Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
‘Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang
diniatkannya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-
Nya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang
hendak dicapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya,
maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya.’” [HR. Al-Bukhari
dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya yang merupakan dua kitab hadits
paling shahih]

Penjelasan

Mayoritas ahli hadits, seperti Al-Hafidzh Al-Khaththabi, Al-Hafidzh


Ibnu Rajab, dan Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berpendapat bahwa
hadits ini adalah hadits ahad,bahkan hadits Ahad yang Gharib. Itu karena
hadits ini secara shahih hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari
dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari Alqamah bin Abi Waqqash al-
Laitsi dari Umar bin al-Khathab. Memang, yang meriwayatkan dari Yahya
3
bin Sa’id al-Anshari banyak sekali, tapi tidak menjadikan hadits ini
Mutawatir karena dari Sahabat Umar bin al-Khathab sampai kepada Yahya
bin Sa’id hanya terdapat satu jalur. Wallahu a’lam.

Sekalipun demikian, hadits ini sangat shahih karena diriwayatkan


oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Imam asy-Syaukani berkata:
“Meskipun hadits ini gharib, namun layak ditulis (dibahas) dalam satu kitab
tersendiri.”2 Imam Al-Nawawi mengatakan: “Kaum Muslimin telah ijma’
(sepakat) tentang tingginya hadits ini dan sangat banyak manfaatnya.” Imam
asy-Syafi’i berkata: “Hadits ini merupakan sepertiga Islam dan masuk dalam
tujuh puluh bab masalah fiqih.”3 Imam Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin
Hanbal, Ali Ibnul Madini, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Daraquthni juga
menyetujui bahwa hadits ini adalah sepertiga Islam.4

Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut: “Pokok- pokok Islam


terangkum dalam tiga hadits:5
1. Hadits Umar bin al-Khathab ini, yaitu: ‘Sesungguhnya amal-amal itu
tergantung pada niatnya.’
2. Hadits Aisyah , yaitu: ‘Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang
baru dalam urusan agama kami ini.’
3. Hadits Nu’man bin Basyir , yaitu: ‘Sesungguhnya yang halal itu telah
jelas dan sesungguhnya yang haram pun telah jelas.’”

Imam Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) mengatakan: “Selayaknya


bagi orang yang menyusun satu kitab hendaknya dimulai dengan hadits ini
untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan memperbaiki
niatnya.”6 Karena itulah Imam al-Bukhari pun memulai kitab Shahih beliau
dengan hadits ini. Begitu pula Al-Hafidzh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam
kitab ‘Umdatul Ahkam beliau.

Syarah Hadits

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Niat adalah ruh, inti, dan
sendinya amal. Amal mengikuti niatnya. Amal menjadi benar karena niat
yang benar dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.”7 Jelaslah bahwa
niat merupakan barometer sah atau tidaknya suatu perbuatan.

Lantas apa niat itu sendiri? Imam Al-Baidhawi berkata: “Niat adalah
dorongan hati ke arah sesuatu yang dilihat oleh hati sesuai dengan suatu

2
Nail al-Authar (I/403), cet. Dar Ibnil Qayyim.
3
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (XIII/53).
4
Fath al-Bari (I/11).
5
‘Iqaz al-Himam (hlm. 29).
6
Al-Minhaj Syarh Shabih Muslim (XIII/53) dan Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/61).
7
I’lam al-Muwaqqi’in (VI/106), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
4
tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, yang
sekarang atau yang akan datang.”8

Dikarenakan pentingnya peranan niat dalam mengarahkan amal


menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama menjadikannya
landasan utama bagi salah satu dari lima kaidah fikih besar. Kaidah yang
dimaksud adalah:
ِ ‫�ُ ُم أو ُربِ َمقَا‬
‫ص ِد هَا‬ ‫اأ‬
“Segala perkara tergantung pada tujuannya.”

Dalam hal ini Nabi bersabda:

“Sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat, dan seseorang


memperoleh apa yang ia niatkan.”

Pada kalimat pertama, beliau menjelaskan bahwa amal tidak ada


artinya tanpa keberadaan niat. Sedangkan pada kalimat kedua, beliau
menjelaskan bahwa orang yang melakukan suatu amalan tidak akan
memperoleh apa pun kecuali menurut niatnya. Amal di sini umum karena ia
dinyatakan dengan Al yang memberikan makna umum (‘Aamm), sehingga
mencakup ibadah, bisnis, interaksi sesama manusia, dan perbuatan apa pun.

Semua amalan qurbah (amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah)


harus dilandasi dengan niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah kecuali
disertai niat dan tujuan. Oleh karena itu, sekalipun seseorang menceburkan
diri ke dalam air tanpa niat mandi (janabah) atau masuk kamar mandi semata
untuk membersihkan diri atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan
itu tidak termasuk amalan qurbah dan ibadah.
Contoh: Seseorang yang tidak makan sehari penuh karena tidak ada
makanan atau karena pantang makan atau karena akan dioperasi, maka ia
tidak disebut sebagai orang yang sedang melakukan ibadah puasa.
Contoh lain: Seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk
mencari sesuatu yang jatuh atau mencari saudaranya yang hilang, maka
orang tersebut tidak dikatakan melakukan ibadah thawaf yang disyari’atkan.
Imam al-Nawawi menjelaskan: “Niat itu disyari’atkan untuk beberapa
hal berikut:
1. Untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat)
Misalnya duduk di masjid; ada yang berniat istirahat, ada pula yang
tujuannya untuk i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub berbeda dengan
mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan diri.

2. Untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain yang
sama jenisnya.
Misalnya seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan
shalat Zhuhur ataukah shalat sunnah (ataukah diniatkan untuk shalat
‘Ashar)? Maka, yang membedakannya adalah niat. Demikian juga

8
Fath al-Bari (I/13).
5
dengan orang yang memerdekakan seorang hamba (budak), apakah ia
niatkan untuk membayar kafarah (tebusan) ataukah ia niatkan untuk
nadzar atau yang lainnya.

Karena besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan


bersifat kebiasaan dapat bernilai ibadah dan amalan qurbah. Pekerjaan
mencari rezeki, bercocok tanam, berkarya, berdagang, mengajar dan profesi
lainnya dapat menjadi ibadah dan jihad fi sabilillah selagi pekerjaan itu
dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan
dilarang serta untuk mencari yang halal yang tidak bertentangan dengan
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitu pula dengan kebiasaan makan, minum, berpakaian; jika
dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada Allah dan melaksanakan
kewajiban kepada Rabbnya, maka akan diganjar berdasarkan niatnya. Orang
yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta
kepada orang lain juga untuk membiayai dirinya dan keluarganya akan
diganjar atas niatnya. Sebagaimana hadits Sa’ad bin Abi Waqqash
bahwasanya Nabi bersabda: “Sungguh, jika engkau menafkahkan hartamu
yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allah, maka engkau akan
diberi pahala lantaran nafkahmu itu hingga apa (makanan) yang engkau
suapkan ke mulut istrimu.”9 Kelak di hadits kedua puluh lima dari kitab ini
akan ada penguat dari konsep tersebut.
Namun penting diingat bahwa suatu perbuatan yang mubah ada
beberapa syarat untuk menjadikannya bernilai amal ibadah. Syarat-syarat
tersebut ialah sebagai berikut.
Pertama: Tidak boleh menjadikan perkara mubah menjadi qurbah
(ibadah) pada bentuk dan dzatnya. Sebagaimana orang menduga bahwa
semata-mata berjalan, makan, berdiri, atau berpakaian dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Karena itu, Nabi mengingkari Abu Israil yang membisu
dan berdiri di terik panas matahari dalam keadaan berpuasa untuk memenuhi
nadzarnya. Nabi pun memerintahkan agar ia berbicara, berteduh, duduk, dan
menyempurnakan puasanya.10
Kedua: Hendaknya yang mubah dibolehkan itu sebagai wasilah
(sarana) untuk ibadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hendaknya
seseorang tidak melakukan perkara-perkara yang mubah, kecuali dalam hal
yang dapat membantu dia untuk taat (kepada Allah), dan hendaklah dia
(ketika mengerjakan perkara-perkara mubah tersebut) meniatkan untuk
membantu dirinya dalam melaksanakan ketaatan.”11
Ketiga: Hendaklah seorang Muslim memandang yang mubah dengan
keyakinan bahwa hal itu memang benar dimubahkan (dihalalkan) oleh Allah
untuk dirinya.
Keempat: Hendaknya yang mubah (dibolehkan) itu tidak
menyebabkan pelakunya celaka atau membahayakan dirinya sendiri.12

9
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (no. 1628).
10
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6704), Ahmad (IV/168), Abu Dawud (no. 3300), dan al-Thahawi
dalam Syarah Musykilil Atsar (no. 2167).
11
Majmu’Fatawa (X/460).
12
Diringkas dan ditambah dari Qawa’id wa Fawa-id min al-Arba'in al-Nawawiyyah (hlm. 34-35).
6
Oleh karena itu, barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada
Allah melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan syarat-syarat di atas,
agar tidak menghalalkan segala cara dan agar bernilai di sisi Allah.

Tapi ingat pula bahwa ini hanya berlaku pada hal yang mubah, bukan
pada hal yang haram. Niat baik tidak dapat mempengaruhi yang haram,
sebaik apa pun niatnya dan semulia apa pun tujuannya. Niatnya tidak dapat
menghalalkan sesuatu yang haram.

Misalnya seseorang yang mendapat uang jutaan atau miliaran rupiah


dari hasil riba, manipulasi, korupsi, atau judi, kemudian berniat menolong
anak yatim dan orang miskin dari hasil pekerjaan yang haram itu, maka
hukumnya tetap haram, tidak ada pahalanya dan hartanya tidak boleh
digunakan untuk berbagai kegiatan kebaikan. Allah tidak akan menerima
yang haram meskipun dengan niat yang baik. Di hadits kesepuluh dari kitab
ini ada keterangan lebih lengkap tentang ini.

Begitu juga dengan perbuatan haram dan keliru berupa bid’ah dan
penyimpangan yang tidak lantas menjadi kebaikan hanya dengan niat yang
baik. Insyaallah akan ada penjelasannya di hadits kelima dari kitab ini.
Dari sinilah kita mengetahui bahwasanya Islam menolak prinsip
Machiavelli, yaitu tujuan menghalalkan segala cara. Islam juga tidak
menerima berbagai cara kecuali yang bersih untuk mencapai tujuan yang
mulia. Jadi, niat yang baik harus disertai juga dengan cara yang benar dan
baik.

Dari sinilah para ulama, seperti Al-Hafidzh Ibnu Katsir berkata:


“Sesungguhnya amal yang diterima harus memenuhi dua syarat: (1) ikhlas
karena Allah, (2) benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengan ikhlas
tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima.”13

Demikianlah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika


menafsirkan firman Allah : “Untuk menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya.” (Qs. Al-Mulk [67]: 2)
Beliau berkata: “Maksudnya, ia ikhlas dan benar dalam
mengerjakannya. Sebab, amalan yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak
benar, maka tidak akan diterima. Dan jika ia benar tetapi tidak ikhlas, maka
amalnya juga tidak diterima sampai amalan itu menjadi ikhlas dan benar.
Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang
amal yang benar adalah yang dikerjakan sesuai dengan Sunnah Rasulullah
‫ﷺ‬.”14

Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya:

13
Tafsir Ibnu Katsir (I/389), tahqiq Sami Salamah, cet. Dar Thayyibah.
14
Hilyatul ‘Auliya’ (VIII/98, no. 11487). Lihat Tafsiral-Baghawi (IV/340), Jami’ al-‘Ulum wa al-
Hikam (I/72), dan Madarij al-Salikin (I/95).
7
“Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia
berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabbnya dan tidak ada rasa takut
pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. ” (Qs. Al-Baqarah [2]: 112)

Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas
berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti
agama Ibrahim yang lurus.... ” (Qs. An-Nisa’ [4]: 125)

Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya mengikhlaskan amal


kepada Allah sehingga dia beramal dengan didasari iman dan mengharapkan
ganjaran dari Allah. Sedangkan berbuat baik artinya mengikuti apa yang
disyari’atkan Allah dalam beramal, dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya
berupa petunjuk dan agama yang haq. Apabila salah satu dari dua syarat ini
tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tidak sah. Jadi, harus ikhlas dan benar.
Ikhlas karena Allah dan benar mengikuti petunjuk Nabi.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ , “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah


dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan
barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan diperoleh atau
wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut apa yang ia
hijrah kepadanya.”
Al-Hafidzh Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Tatkala Nabi
menyebutkan bahwa amal-amal tergantung dengan niat dan seseorang akan
mendapatkan sesuatu tergantung dari niatnya, baik atau buruk, yang mana
dua kalimat ini merupakan dua kaidah yang mencakup, maka kemudian
beliau menyebutkan contoh perbuatan yang bentuknya sama, akan tetapi
berbeda kebaikan dan keburukannya, disebabkan karena perbedaan niatnya.
Beliau mengabarkan bahwa hijrah berbeda- beda sesuai dengan perbedaan
maksud dan niatnya. Maka orang yang berhijrah ke negeri Islam, karena
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, ingin mempelajari agama Islam dan
menampakkan keislamannya, karena ia tidak mampu melakukannya di
negeri syirik (kafir), maka orang inilah yang benar-benar berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang hijrah ke negeri Islam, karena
harta dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya
menurut niatnya. Yang pertama adalah tajir (pedagang) dan yang kedua
adalah khathib (peminang). Keduanya bukan muhajir (orang yang berhijrah)
yang sebenarnya.”15
Ada riwayat terkait sababul wurud (kisah yang menjadi sebab
disabdakannya suatu hadits) hadits ini bahwasanya ada seorang wanita yang
bernama Ummu Qais yang telah dilamar oleh seseorang dan ia tidak mau
dinikahi hingga calon suaminya itu hijrah. Maka hijrahlah laki-laki tersebut,
lalu kami (para Sahabat) menamakan orang itu dengan Muhajir Ummu Qais.
Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, tetapi tidak ada asalnya yang
shahih. Wallahu a’lam.16
Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (wafat 852 H)
berkata: “Akan tetapi tidak ada riwayat yang shahih bahwasanya hadits

15
Ibid (hlm. 36).
16
Jami’ al-‘Ulum wa al- Hikam (I/74-75) dan ‘Iqaz al-Himam (hlm. 37).
8
‘innamal a’malu’ disebabkan karena kisah tersebut (karena Ummu Qais).
Aku tidak melihat sedikit pun dari jalur-jalur hadits yang jelas tentang
masalah tersebut.”17
Syaikh Salim bin led al-Hilali hafizhahullah membenarkan perkataan
al-Hafizh Ibnu Rajab bahwa kisah asbdbul wurud hadits di atas tidak
benar.18

Beberapa Kandungan Hadits

1. Niat termasuk iman, karena termasuk amal hati. Sedangkan iman


menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ucapan-ucapan hati
(keyakinan) dan ucapan lisan, dan amalan hati, lisan dan anggota
badan.
2. Wajib bagi setiap Muslim mengetahui hukum dan kedudukan amal
yang dilakukan, disyari’atkan atau tidak, wajib atau sunnah, karena
amal tidak bisa lepas dari niat yang disyari’atkan.
3. Disyari’atkannya berniat secara sadar dalam amal-amal ketaatan.
4. Amal tergantung dari niat, tentang sah atau tidaknya, sempurna dan
kurangnya. Taat dan maksiat.
5. Niat yang baik tidak bisa membuat yang haram menjadi halal.
6. Wajib berhati-hati dari riya, sum’ah (memperdengarkan pada orang
lain) atau beramal karena dunia, karena akan menghapus amalan yang
baik.
7. Manusia senantiasa digoda syaitan sehingga dapat merusak
keikhlasan amalnya.
8. Allah memberikan ganjaran pahala dari amal-amal hamba-Nya
tergantung dari niatnya.
9. Hijrah dari negeri syirik/kafir ke negeri Islam atau dari wilayah yang
tidak aman ke wilayah yang aman adalah ibadah yang utama bila
diniatkan karena mencari wajah Allah, dan wajib hijrah bagi yang
tidak dapat melaksanakan ibadah karena Allah.
10. Hijrah tetap berlaku selama musuh-musuh Islam diperangi.

17
Fath al-Bari (I/10).
18
‘Iqaz al-Himam al-Muntaqa min Jami’i al-Ulum wa al-Hikam (hlm. 37).
9
‫‪HADITS KEDUA‬‬
‫‪SYARAH HADITS JIBRIL TENTANG ISLAM,‬‬
‫‪IMAN, DAN IHSAN‬‬

‫ات يَ ْوٍم‪ ،‬إ ْذ طَلَ َع‬ ‫ال‪ " :‬ب ي نَما ََْنن جلُوس عِْن َد رس ِ ِ‬
‫ول اللَّه َذ َ‬ ‫َُ‬ ‫ضا قَ َ َْ َ ُ ُ‬ ‫َع ْن عُ َمَر أَيْ ً‬
‫الن َف ِر‪،‬‬ ‫الش ْع ِر‪َ ،‬ل يَُرى َعلَْي ِه أَثَُر َّ‬ ‫يد َس َو ِاد َّ‬ ‫اب‪َ ،‬ش ِد ُ‬ ‫اض الثِّي ِ‬
‫يد بَيَ ِ َ‬ ‫َعلَْي نَا َر ُجل َش ِد ُ‬
‫ض َع َك َّفْي ِه‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َسنَ َد ُرْكبََ ْيه َإَل ُرْكبََ ْيه‪َ ،‬وَو َ‬‫ب ‪ .‬فَأ ْ‬ ‫س َإَل النَِّ ِّ‬ ‫َ‬ ‫ل‬
‫َ‬ ‫ج‬
‫َ‬ ‫َّت‬
‫َّ‬ ‫ح‬
‫َ‬ ‫‪.‬‬ ‫د‬ ‫َح‬
‫َ‬ ‫أ‬ ‫َّا‬
‫ن‬ ‫وَل ي ع ِرفُه ِ‬
‫م‬ ‫َ َْ ُ‬
‫ول اللَّ ِه ا ِْل ْس ََل ُم أَ ْن‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫ال ْس ََلِم‪ .‬فَ َق َ‬ ‫َخِ ِْبِِن َع ْن ِْ‬ ‫ال‪ :‬يَا ُمَ َّم ُد أ ْ‬ ‫َعلَى فَ ْر َهيِْه‪َ ،‬وقَ َ‬
‫الزَكاةَ‪،‬‬ ‫الص ََلةَ‪َ ،‬وتُ ْؤِِت َّ‬‫َّ‬ ‫يم‬ ‫ول اللَِّه‪ ،‬وتُِ‬
‫ق‬ ‫َن ُمَ َّم ًدا َر ُس ُ‬ ‫تَ ْش َه َد أَ ْن َل إلَهَ َّإل اللَّهُ َوأ َّ‬
‫َ‬ ‫َ َ‬
‫ِ‬ ‫اسَطَ ْعت إلَْي ِه َسبِ ًيَل‪ .‬قَ َ‬
‫ص َدقْت ‪ .‬فَ َعجْب نَا لَهُ‬ ‫ال‪َ :‬‬ ‫ت إ ْن ْ‬ ‫ضا َن‪َ ،‬وََتُ َّج الْبَ ْي َ‬ ‫وم َرَم َ‬ ‫صَ‬ ‫َوتَ ُ‬
‫ال‪ :‬أَ ْن تُ ْؤِم َن بِاَللَّ ِه َوَم ََلئِ َكِ ِه َوُكُبِ ِه‬‫الميَا ِن‪ .‬قَ َ‬ ‫َخِ ِْبِِن َع ْن ِْ‬ ‫ال‪ :‬فَأ ْ‬ ‫ص ِّدقُهُ! قَ َ‬ ‫يَ ْنأَلُهُ َويُ َ‬
‫َخِ ِْبِِن َع ْن‬ ‫ص َدقْت‪ .‬قَا َل‪ :‬فَأ ْ‬ ‫ال‪َ :‬‬ ‫َوُر ُسلِ ِه َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر‪َ ،‬وتُ ْؤِم َن بِالْ َق َد ِر َخ ِْريهِ َو َشِّرهِ‪ .‬قَ َ‬
‫ال‪:‬‬ ‫ال‪ :‬أَ ْن تَ ْعبُ َد اللَّهَ َكأَنَّك تََراهُ‪ ،‬فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن تََراهُ فَِإنَّهُ يََراك‪ .‬قَ َ‬ ‫ان‪ .‬قَ َ‬ ‫الحن ِ‬ ‫ِ‬
‫ْ َْ‬
‫َخِ ِْبِِن‬ ‫ال‪ :‬فَأ ْ‬ ‫النائِ ِل‪ .‬قَ َ‬ ‫ول َعْن َها بِأَ ْعلَ َم ِم ْن َّ‬ ‫ال‪َ :‬ما الْ َم ْنئُ ُ‬ ‫اع ِة‪ .‬قَ َ‬ ‫َخِ ِْبِِن َع ْن َّ‬
‫الن َ‬ ‫فَأ ْ‬
‫ال‪ :‬أَ ْن تَلِد ْاْلَمةُ ربَّ ها‪ ،‬وأَ ْن تَرى ا ْس َفاةَ الْعراةَ الْعالَةَ ِرعاء الش ِ‬
‫َّاء‬ ‫َع ْن أ ََم َار ِاِتَا؟ قَ َ‬
‫َ َ َ َ َ َ َ ُ َُ َ َ َ‬
‫النائِ ُل؟‪.‬‬ ‫ال‪ :‬يَا عُ َمُر أَتَ ْد ِرُ َم ْن َّ‬ ‫ان‪ُُ .‬ثَّ انْطَلَ َق‪ ،‬فَلَبِثْ نَا َملِيًّا‪ُُ ،‬ثَّ قَ َ‬ ‫ي َطَاولُو َن ِ الْب ْن ي ِ‬
‫َُ‬ ‫َ َ‬
‫ال‪ :‬فَِإنَّهُ ِج ِِْبي ُل أَتَا ُك ْم يُ َعلِّ ُم ُك ْم ِدينَ ُك ْم "‪َ .‬رَواهُ ُم ْنلِم‬ ‫ت‪ :‬اللَّهُ َوَر ُسولُهُ أ َْعلَ ُم‪ .‬قَ َ‬ ‫قَلَ ْ‬

‫‪Dari Umar bin al-Khathab, ia berkata: “Suatu ketika kami (para‬‬


‫‪Sahabat) duduk di dekat Rasululah. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang‬‬
‫‪mengenakan pakaian sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tidak terlihat‬‬
‫‪tanda-tanda bekas perjalanan darinya dan tidak ada seorang pun dari kami‬‬
‫‪yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi lalu lututnya‬‬
‫‪disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas‬‬
‫‪kedua pahanya. Kemudian ia berkata: ‘Wahai Muhammad! Beritahukan‬‬
‫ﷺ ‪kepadaku tentang Islam.’ Rasulullah‬‬ ‫‪menjawab: ‘Islam adalah engkau‬‬
‫‪bersaksi tidak ada ilah yang berhak diihadahi dengan benar kecuali Allah‬‬
‫‪dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat,‬‬

‫‪10‬‬
menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah
haji ke Baitullah jika engkau telah mampu melakukannya.’ Laki-laki itu
berkata: ‘Engkau benar.’ Maka kami terheran-heran, ia yang bertanya ia pula
yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: ‘Beritahukan kepadaku tentang Iman.’
Nabi menjawab: ‘Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-
malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman
kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.’ Ia berkata: ‘Engkau benar.’
Kemudian dia bertanya lagi: ‘Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.’
Rasulullah ‫ﷺ‬menjawab: ‘Hendaklah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, kalaupun engkau tidak melihat-Nya,
sesungguhnya Dia melihatmu.’
Laki-laki itu berkata lagi: ‘Beritahukan kepadaku kapan terjadinya
Kiamat.’ Nabi menjawab: ‘Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang
bertanya.’ Ia pun bertanya lagi: ‘Beritahukan kepadaku tentang tanda-
tandanya!’ Nabi menjawab” ‘Jika seorang budak wanita telah melahirkan
tuannya, jika engkau melihat orang yang telanjang kaki tanpa memakai baju
miskin papa serta penggembala kambing telah saling berlomba dalam
mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.’ Kemudian laki-laki
tersebut segera pergi. Aku pun terdiam sehingga Nabi m bertanya kepadaku:
‘Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?’ Aku menjawab:
‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia
adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan kepada kalian tentang urusan
agama kalian.’ [HR. Muslim]

Syarah Hadits

Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) berkata: “Hadits ini mencakup penjelasan


seluruh amal ibadah, baik yang zhahir maupun yang bathin. Di antaranya
adalah ikatan iman, amalan anggota badan, keikhlasan hati dan menjaga diri
dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at semuanya kembali
kepada haditts ini dan bercabang darinya.”19 Al-Hafidzh Ibnu Daqiq al-‘Id
(w. 702 H) berkata: “Hadits ini seakan menjadi induk bagi Sunnah,
sebagaimana Al-Fatihah dinamakan Ummul Qur-an karena ia mencakup
seluruh nilai-nilai yang ada di dalam al-Qur-an.”20

Hadits ini memiliki kisah periwayatan yang penting untuk kita


ketahui. Imam Muslim bahkan menjadikan kisah periwayatan dan hadits ini
secara lengkap sebagai hadits pertama dalam Shahih Muslim. Beliau
meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur, ia berkata: “Dahulu,
yang pertama kali berbicara tentang Qadar di Bashrah adalah Ma’bad al-
Juhani, maka aku (Yahya bin Ya’mar) berangkat bersama Humaid bin
Abdirrahman al-Himyari untuk melaksanakan haji atau umrah. Kami
berkata: ‘Jika kami bertemu salah seorang dari Sahabat Nabi, maka kami
akan bertanya kepadanya tentang orang-orang yang berbicara masalah takdir
(qadar). Kemudian kami melihat Abdullah bin Umar masuk ke dalam

19
Syarah Shahih Muslim (I/158).
20
Syarah Arba’in al-Nawawiyyah (hlm. 31) oleh Ibnu Daqiq al-Ied.
11
masjid, maka aku dan sahabatku menggandeng tangannya satu di kanan yang
lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku,
maka aku berkata: ‘Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di
kalangan kami orang-orang yang membaca al-Qur-an dan menuntut ilmu—
lalu ia menyebutkan perkara mereka—dan mereka beranggapan bahwa
takdir tidak ada, sesungguhnya ini adalah perkara yang tidak didahului oleh
Qadar dan tidak diketahui oleh Allah melainkan sesudah terjadinya.’21 Ibnu
Umar berkata: ‘Jika engkau bertemu dengan mereka, maka beritahukan
bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri
dariku. Demi Allah, kalau seandainya salah seorang dari mereka
menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, sungguh Allah tidak akan
menerimanya hingga ia beriman kepada qadar.’ Kemudian ia (Ibnu Umar)
melanjutkan: ‘Ayahku— Umar bin al-Khathab—menceritakan kepadakulalu
ia menyebutkan hadits di atas.”

Dalam kisah yang diriwayatkan Muslim dari Yahya bin Ya’mar, ada
beberapa faedah yang bermanfaat, yaitu:
1. Bid’ah yang terjadi pertama kali tentang peniadaan qadar timbul di
Bashrah pada masa Sahabat Abdullah bin Umar yang wafat tahun 73
H.
2. Para Tabi’in selalu bertanya kepada para Sahabat untuk mengetahui
hukum dari perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan
masalah aqidah maupun yang lainnya.
Hal ini adalah wajib atas setiap Muslim dan Muslimah untuk
mengembalikan seluruh urusan agama mereka kepada para ulama.
Allah berfirman:

“Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ulama) jika kamu


tidak mengetahui. ” (Qs. An-Nahl [16]: 43)
3. Disunnahkan bagi seluruh kaum Muslimin yang menunaikan ibadah
haji dan umrah agar mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk
mempelajari agama Islam dan memperdalamnya serta bertanya
kepada para ulama yang ada di kota Makkah dan kota Madinah untuk
mengetahui hukum-hukum agama yang belum mereka ketahui.
Sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ya’mar, Humaid bin
Abdirrahman al-Himyari dan Yazid al-Faqir.

Kembali ke hadits Arbain ini, Nabi menjelaskan tentang Islam. Secara


etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya pada Allah.
Adapun secara terminologi, Islam adalah: “Tunduk patuh hanya kepada
Allah dengan cara mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan,
dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan orang yang berbuat syirik.”22

Dalam hadits di atas, Nabi mendefinisikan Islam dengan amalan-


amalan anggota badan yang tampak berupa perkataan dan perbuatan.
Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah perbuatan lisan, shalat dan puasa

21
Syarah ShahihMuslim (I/156).
22
Syarah Tsalatsatil Ushul (hlm. 68-69) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
12
adalah perbuatan badan (tubuh), zakat adalah amalan pada harta, dan haji
adalah amalan pada badan dan harta.
Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu:
1. Mengucapkan dua kalimat Syahadat:

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah
utusan Allah.”
2. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat,
rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang wajib dan sunnah.
3. Mengeluarkan zakat
4. Puasa di bulan Ramadhan
5. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk
pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang
ditinggalkan.
Karena dalam hadits ketiga ada pembahasan khusus tentang rukun Islam,
maka pembahasan rukun Islam akan dibahas di sana.

Selanjutnya Nabi menjelaskan tentang iman. Definisi Iman secara


etimologi adalah at-tashdiq (pengakuan dan pembenaran). Sementara secara
terminologi, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa iman adalah pengakuan
terhadap rukun iman dengan lisan, disertai keyakinan hati, dan direalisasikan
dengan perbuatan.

Melalui penjelasan di atas, maka kita dapat memahami bahwa Iman


dan Islam adalah dua hal yang berbeda, secara etimologi maupun secara
terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama tentu berbeda makna.
Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama. Islam
berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi
sia-sia tanpa Islam, demikian juga sebaliknya.
Apabila nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam
(pengertian)nya. Dan menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang
lain ketika berdiri sendiri. Dan apabila keduanya digabungkan, maka salah
satunya menunjukkan kepada sebagian dari sesuatu itu bila berdiri sendiri.
Jika dalam satu nash dihubungkan antara Iman dan Islam, maka masing-
masing dari keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
Maka, definisi Iman adalah pembenaran hati disertai penetapannya
dan pengetahuannya. Dan pengertian Islam adalah berserah diri kepada
Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan amal perbuatan.

Ada beberapa poin penting terkait keimanan.


1. Amal perbuatan termasuk keimanan
Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Iman memiliki tujuh puluh cabang
lebih atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan la

13
ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman.”23
Menyingkirkan gangguan merupakan bentuk perbuatan dan Nabi
memasukkannya ke dalam iman.

2. Iman bisa bertambah dan berkurang


Allah berfirman: “Untuk menambah keimanan atas keimanan mereka
(yang telah ada). ” (Qs. Al-Fath [48]: 4)

A. Iman Kepada Allah Mencakup Empat Hal


Pertama: Iman tentang adanya Allah. Hal ini diyakini oleh hampir
setiap makhluk bahwa keberadaan alam semesta ini tentu ada yang
menciptakan yaitu Allahl, karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan
isinya ini terjadi dengan sendirinya.
Kedua: Iman tentang Rububiyah Allah. Yaitu meyakini bahwa
hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi dan seluruh
alam semesta berikut isinya. Juga meyakini bahwa hanya Allah yang
memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan,
dan lainnya.
Ketiga: Iman tentang Uluhiyah Allah. Yaitu mengesakan Allah
melalui segala perbuatan hamba, yang dengan perbuatan itu mereka dapat
mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya.
Seperti berdoa, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh
(penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah
(minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (minta perlindungan) dan segala
perbuatan yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah
semata dan ikhlas karena-Nya. Karena ibadah tidak boleh dipalingkan
kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para Rasul dari yang
pertama hingga Rasul terakhir, Muhammad.
Allah berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau


(Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah
yang berhak dibadahi selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku. ” (Qs. Al-
Anbiya’ [21]: 25)
Setiap Rasul memulai dakwah mereka dengan mengajak umat kepada
Tauhid Uluhiyah, sebagaimana dakwah Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih,
dan Nabi Syu’aib.24

“Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada ilah (sembahan) bagimu


selain Dia." (Qs. Al-A’raf [7]: 59, 65, 73, 85)

23
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 9) dan Muslim (no. 35 [58]). Lafazh ini milik Muslim dari Abu
Hurairah.
24
‘Aqidaht al-Tauhid (hlm. 46) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan.
14
Sungguh Allah tidak akan ridha apabila dipersekutukan dengan
sesuatu apa pun. Apabila ibadah itu dipalingkan kepada selain Allah, maka
pelakunya jatuh kepada syirkun akbar (syirik besar) dan tidak diampuni
dosanya. Sebagaimana firman Allah :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena memper-


sekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi
siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. ” (Qs. An-Nisa’ [4]: 48)
Keempat: Tauhid Asma’ was Sifat. Ahlus Sunnah menetapkan apa-
apa yang Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan atas Diri-Nya, baik itu
dengan nama-nama maupun sifat-sifat-Nya dan mensucikan-Nya dari segala
aib dan kekurangan. Seperti nama-nama dan sifat-sifat tersebut telah
disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, kita wajib menetapkan nama-
nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur-an dan
as-Sunnah dan tidak boleh di-ta’wil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H) berkata: “Manhaj
Salaf dan manhaj para Imam Ahlus Sunnah adalah mereka mengimani
Tauhid Asma’ was Sifat dengan menetapkan apa yang telah Allah tetapkan
atas Diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya untuk-Nya, tanpa tahrif dan
ta’thil serta tanpa takyif dan tamtsil.25 Yaitu menetapkannya tanpa tamtsil,
mensucikannya tanpa ta’thil, dan menetapkan seluruh sifat Allah dan
menafikan persamaan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.”
Firman Allah

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha
Mendengar, Maha Melihat. ” (Qs. Asy-Syura’ [42]: 11)
Lafazh ayat: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,”
merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah
dengan makhluk-Nya. Sedangkan lafazh ayat: “Dan Dia Yang Maha
Mendengar, Maha melihat,” adalah bantahan kepada orang-orang yang
menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah.
itiqad Ahlus Sunnah dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah
didasari atas dua prinsip, yaitu:
1. Bahwa Allah wajib disucikan dari semua sifat kurang secara mutlak,
seperti mengantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan lainnya.
2. Allah mempunyai sifat-sifat sempurna yang tidak ada kekurangan
sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari sifat makhluk-Nya yang
menyamai sifat-sifat Allah.26

B. Ahlus Sunnah Mengimani Tentang Adanya Malaikat


Bahwasanya Malaikat diciptakan dari cahaya. Nabi bersabda:

“Diciptakan Malaikat dari cahaya, diciptakan jin dari api yang menyala-
nyala dan diciptakan Adam dari apa yang telah disifatkan kepada kalian.”27

25
Lihat penjelasannya dalam buku Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hlm. 163, cet. VIII)
oleh Ust. Yazid ‫فظه هللا‬
‫ح‬, penerbit Pustaka Imam asy-Syafi’i.
26
Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
27
Shahih: HR. Muslim (no. 2996).
15
Malaikat memiliki sayap. Allah berfirman:

“Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi, yang menjadikan
Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)
yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. ”
(Qs. Fathir [35]: 1)

Jumlah Malaikat banyak sekali, tidak ada yang mengetahui jumlahnya


kecuali hanya Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap hari
Baitul Ma’mur yang berada di langit ke tujuh dimasuki oleh 70.000
Malaikat. Apabila mereka keluar tidak kembali lagi ke situ.28
Malaikat diberikan tugas bermacam-macam oleh Allah. Mereka
adalah makhluk yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah dan selalu
bertasbih kepada Allah.

C. Sifat-Sifat Malaikat Jibril


Dia adalah ar-Ruh al-Amin, sebagaimana firman Allah:
“Al-Qur-an dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril).” (Qs. Asy-Syu’ara’
[26]: 193)

Allah mensifatinya dengan sifat amanah (al-Amin) sebagai tazkiyah


(rekomendasi) yang agung dari Rabbnya. Allah mensifatinya dengan
kebagusan dan keindahan bentuk serta berkedudukan mulia di sisi Allah.
Jibril adalah pemimpin para Malaikat yang ditaati perintahnya di langit.
Rasulullah ‫ﷺ‬ pernah dua kali melihat Jibril dalam bentuk aslinya.
Rasulullah ‫ﷺ‬ mensifati Jibril dengan keagungan penciptaannya (bentuknya).
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ juga pernah
melihat Jibril dengan bentuk aslinya; ia memiliki enam ratus sayap, setiap
satu sayap darinya dapat menutup ufuk, lalu berjatuhan dari sayapnya
macam-macam warna (sesuatu yang bermacam-macam warnanya) dari
mutiara dan yaqut, sesuatu yang Allah (lebih) mengetahuinya.”29

D. Ahlus Sunnah Beriman Kepada Kitab-Kitab Yang Diturunkan


Allah Kepada Rasul-Nya
Kitab-kitab yang Allah turunkan melalui para Rasul-Nya adalah
rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Kitab suci Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan
Shuhuf Musa serta al-Qur-an diturunkan oleh Allah dengan benar dan bukan
makhluk.

• Keistimewaan al-Qur-an dari Kitab-kitab suci selainnya:


Pertama: Wajib mengimani al-Qur’an secara rinci, membenarkan
seluruh berita yang terdapat di dalamnya, melaksanakan perintah-Nya,
menjauhkan larangan-Nya, dan beribadah kepada Allah sesuai dengan apa
yang terdapat dalam al-Qur-an dan As-Sunnah.

HR. Al-Bukhari (no. 3207) dan Muslim (no. 164).


28

Shahih: HR. Ahmad (I/395), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq
29

Musnad Imam Ahmad (no. 3748).


16
Kedua: Al-Qur-an adalah mukjizat abadi, tidak ada seorang pun —
dari kalangan jin dan manusia—yang mampu untuk membuat satu surah saja
seperti al-Qur-an. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan jika kamu meragukan (al-Qur-an) yang Kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar. Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu,
maka takutlah kamu akan api Neraka yang bahan bakarnya manusia dan
batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. ” (Qs. Al-Baqarah [2]: 23-24)

Ketiga: Allah menjamin untuk menjaga al-Qur-an. Allah berfirman:


“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur-an, dan pasti Kami
(pula) yang memeliharanya. ” (Qs. Al-Hijr [15]: 9)

Keempat: Bahwasanya al-Qur’an berfungsi sebagai tolok ukur dari


Kitab-kitab suci sebelumnya. Dan Sunnah Nabi sebagai penjelas dari al-
Qur’an.
Kelima: Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk. Al-Qur’an
berasal dari Allah serta akan kembali kepada-Nya, dan bahwasanya Allah
berbicara secara hakiki.

E. Iman Kepada Rasul-Rasul Allah


Ahlus Sunnah beriman kepada Rasul-Rasul yang diutus Allah kepada
setiap kaumnya. Yang dimaksud Rasul adalah orang yang diberi wahyu
untuk disampaikan kepada umat. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh dan
yang terakhir adalah Nabi Muhammad.
Setiap umat tidak pernah terputus dari Nabi yang diutus oleh Allah,
baik mereka yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya atau dengan
membawa syari’at sebelumnya yang telah diperbaharui.
Para Rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak
mempunyai sedikit pun keistimewaan Rububiyah dan Uluhiyah. Mereka
tidak mengetahui perkara yang ghaib.
Allah berfirman tentang Nabi Muhammad sebagai pemimpin para
Rasul dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah:
“Katakanlah (Muhammad): ‘Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat
maupun menolak mudharat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah.
Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. ”
(Qs. Al-A’raf [7]: 188)

• Iman kepada Rasul mengandung empat unsur:


Pertama: Mengimani bahwa risalah mereka adalah benar-benar dari
Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka—walaupun hanya
seorang—maka menurut pendapat seluruh ulama, ia dikatakan kafir.
Sebagaimana firman Allah :
“Kaum Nuh telah mendustakan para Rasul.” (Qs. Asy-Syu’ara’ [26]: 105)

17
Kedua Mengimani nama-nama Rasul yang sudah kita kenali, baik
yang telah Allah sebutkan dalam al-Qur-an dan yang telah disebutkan dalam
as-Sunnah yang shahih.
Jumlah Nabi dan Rasul banyak sekali. Menurut riwayat bahwa jumlah
Nabi ada 124.000 orang dan jumlah Rasul ada 315 orang. 30 Adapun yang
terkenal ada 25 Rasul.
Allah menyebutkan tentang para Nabi dan Rasul di dalam al Qur-an
ada 25, yaitu Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth: Ismail, Ishaq,
Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman,
Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya: Isa dan Muhammad. Lihat al-Qur-an
surah Ali ‘Imran ayat 33, Hud ayat 50, 61, 84, Al-Anbiya’ ayat 85, Al-
An’am ayat 83-86 dan Al-Fat-h ayat 29.
Adapun terhadap para Rasul yang tidak diketahui namanya, maka
wajib kita imani secara global. Allah berfirman:
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum engkau
(Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di
antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. ” (Qs. Al-
Mu’min [40]: 78)
Ketiga: Membenarkan berita-berita dari para Rasul yang shahih
riwayatnya.
Keempat: Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita.
Beliau adalah Muhammad yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan
penutup para Nabi. Allah berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan
engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. ” (Qs. An-Nisa’ [4]: 65)

F. Iman Kepada Yaumul Akhir/Hari Kiamat


Iman kepada hari Akhir adalah mengimani apa-apa yang dikabarkan
atau disampaikan oleh Nabi Muhammad tentang segala sesuatu yang terjadi
setelah kematian, di antaranya; fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur,
dikumpulkannya manusia di padang Mahsyar, ditegakkannya timbangan,
dibukakannya catatan-catatan amal, adanya hisab, al-Haudh (telaga), ash-
Shirath (jembatan), asy-Syafa’at, Surga dan Neraka.
Firman Allah :
“Allah meneguhkan (iman) orang-orangyang beriman dengan ucapan yang
teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zhalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. ” (Qs.
Ibrahim [14]: 27)

Allah berfirman tentang adanya azab kubur: “Kepada mereka


diperlihatkan Neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya

30
Shahih lighairihi: HR. Ahmad (V/178, 179, 265-266), Ibnu Hibban (no. 94, 2085 - Mawarid) dan
al-Hakim (II/262). Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibdd (I/43-44) dan Silsilah al-Ahadits al-
Shahihah (no. 2668).
18
Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan): “Masukkanlah Fir’aun dan
kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Qs. Al-Mu’min [40]: 46)

Allah menciptakan kejadian-kejadian saat Kiamat datang menjelang,


salah satunya Allah menyuruh Malaikat Israfil meniup sangkakala,
sebagaimana firman-Nya: “Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua
(makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki
Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka
bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah). ” (Qs. Az-Zumar
[39]: 68)

Ruh-ruh ketika itu dikembalikan kepada jasadnya masing-masing,


maka bangkitlah manusia dari liang kuburnya untuk menghadap Allah, Rabb
semesta alam. Mereka bangkit dengan tidak beralaskan kaki, tidak
berpakaian dan tidak berkhitan. Matahari dekat dengan mereka, peluh
(keringat) bercucuran membasahi tubuh mereka.
Kemudian ditegakkan timbangan, dibukakan catatan-catatan amal,
serta adanya hisab, sebagaimana firman Allah :
“Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-
orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangan sendiri,
mereka kekal di dalam Neraka Jahannam. Wajah mereka dibakar api
Neraka, dan mereka di Neraka dalam keadaan muram dengan bibir yang
cacat.” (Qs. Al-Mu’minun [23]: 102-104)

Kita mengimani al-Haudh (telaga) bagi Rasulullah ‫ﷺ‬ yang airnya


minyak kesturi, panjang dan lebarnya sejauh perjalanan satu bulan, lebih
putih daripada susu, lebih manis dari madu, lebih harum dari misk, bejana-
bejananya seindah dan sebanyak bintang di langit, maka kaum Mukminin
dari umat beliau akan meminum dari telaga tersebut. Siapa yang minum
seteguk air darinya, maka ia tidak akan merasa haus lagi sesudah itu.31
Kita mengimani ash-Shirath (jembatan) yaitu jembatan yang
dibentangkan di atas Neraka Jahanam yang akan dilewati umat manusia
sesuai dengan amal perbuatan mereka. Yang pertama kali melewatinya
secepat kedipan mata seperti kilat, kemudian seperti angin, seperti burung
terbang, seperti orang berlari, seperti orang berjalan dan ada pula yang
merangkak. Mereka dibawa oleh amal perbuatannya. Ketika itu Nabi juga
berdiri di atas jembatan dan berdoa: ‘Ya Allah, selamatkanlah,
selamatkanlah.’ Pada kedua sisi jembatan itu ada kait-kait yang
digantungkan, diperintahkan untuk mengait siapa yang telah diperintahkan
kepadanya, maka ada yang terkoyak tetapi selamat dan ada pula yang
tercampakkan ke dalam api Neraka.32 Umat yang pertama kali masuk Surga
adalah umat Nabi Muhammad.

• Rasulullah ‫ﷺ‬mempunyai tiga syafa’at pada hari Kiamat:

31
Lihat hadits tentang haudh (telaga) Nabi dalam riwayat Imam al-Bukhari (Kitab “ar-Riqaq” Bab
fi al-Haud 53), Muslim (Kitab “al-Fadha-il” Bab “Itsbat Haudhi Nabiyyina wa Shifatihi”).
32
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 7439) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id al-Khudri. Lihat Syarah
Aqidab al-Wasitbiyah syarah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (II/160-162) dan Majmu
Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (III/146-147).
19
Pertama: Syafa’at ‘Uzhma (syafa’at agung) yang diberikan kepada
umat manusia di Mauqif, yaitu di saat manusia dikumpulkan Allah di padang
mahsyar, agar mereka diberi keputusan.33
Kedua: Syafa’at yang diberikan kepada para ahli Surga untuk
memasuki Surga. Kedua syafa’at ini khusus bagi Rasulullah ‫ﷺ‬.
Ketiga: Syafa’at yang diberikan kepada orang-orang yang berhak
masuk Neraka. Syafa’at ini tidak khusus bagi Nabi Muhammad akan tetapi
juga bagi para Nabi, para shiddiqin dan yang lainnya dari kalangan kaum
Muslimin.
Beliau akan memberikan syafa’at kepada orang yang semestinya
masuk Neraka agar tidak masuk Neraka dan memberi syafa’at kepada orang
yang sudah masuk Neraka untuk dikeluarkan dari api Neraka. Syafa’at
Rasulullah ‫ﷺ‬ adalah untuk pelaku dosa besar dari umat Islam, sebagaimana
sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ dari Anas bin Malik

“Syafa’atku akan diberikan bagi pelaku dosa besar dari umatku.”34


Dan Allah mengeluarkan beberapa kaum dari dalam Neraka tanpa
melalui syafa’at, akan tetapi berkat karunia dan rahmat-Nya.35
Sesungguhnya Surga dan Neraka sudah diciptakan Allah. Keduanya
adalah makhluk yang kekal abadi. Surga adalah balasan bagi wali-wali Allah
yang bertakwa sedangkan Neraka adalah hukuman bagi orang yang
bermaksiat kepada-Nya kecuali yang mendapatkan rahmat-Nya.
Adapun orang-orang kafir tetap kekal berada dalam Neraka selama-
lamanya.

Rukun iman di atas saya singgung sekilas karena pembahasan


detailnya ada di buku-buku akidah. Hanya saja, karena sebab utama
periwayatan hadits ini oleh Ibnu Umar adalah karena perkara Takdir, maka
akan saya berikan penjelasan sedikit lebih panjang.
Qadha’ adalah hukum Allah yang azali (telah ada sejak dahulu)
terhadap adanya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah
terhadap segala sesuatu dengan suatu cara dan di waktu yang khusus. Dan
terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya.

Jika dirinci, maka iman kepada qadha’ dan qadar adalah mengimani
keempat tingkatan takdir.

Pertama: Al-‘Ilmu, yaitu mengimani bahwa Allah dengan ilmu-Nya,


yang merupakan sifat-Nya yang azali dan abadi, telah mengetahui segala
amal perbuatan makhluk-Nya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti
taat, maksiat, rezeki, ajal, bahagia, celakanya dan lainnya.
Kedua: Al-Kitabah, yaitu bahwa Allah telah mencatat di Lauh
Mahfuzh tentang seluruh takdir makhluk-Nya. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah

33
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 4712) dan Muslim (no. 194).
34
Hasan Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4739), al-Tirmidzi (no. 2435), al-Hakim (I/69), dan yang
lainnya. Al-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan shahih.
35
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 7439) dan Muslim (no. 183) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri .
20
berfirman kepadanya: ‘Tulislah!’ Ia (qalam) menjawab: ‘Apa yang harus
kutulis?’ Allah berfirman: ‘Tulislah semua yang akan terjadi dan yang terjadi
sampai hari Kiamat!”’36
Ketiga: Al-Masyi-ah, yaitu bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti
terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Semua gerak-
gerik yang terjadi di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah.
Tidak ada sesuatu pun yang terjadi dalam kerajaan-Nya sesuatu yang tidak
diinginkan-Nya.
Keempat: Al-Khalq, yaitu bahwa Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Karena itu tidak ada satu
pun makhluk di bumi atau di langit, melainkan Allahlah yang
menciptakannya, tidak ada pencipta selain Dia, tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah saja. Sebagaimana firman-
Nya: “Allah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala
sesuatu. ” (Qs. Az-Zumar [39]: 62)
Dengan demikian, hendaknya kita memperhatikan hal-hal berikut
agar selamat dari penyimpangan terhadap rukun iman yang keenam ini:

a. Membedakan antara sifat-sifat Allah dan sifat-sifat makhluk-Nya.


Pembedaan antara ilmu Allah dan ilmu manusia haruslah dilakukan.
Dan sifat ini harus ditetapkan bagi Allah dengan bentuk yang paling
sempurna.
Demikian juga sifat yang lainnya; seperti sifat Qudrah (kekuasaan)
dan Masyi-ah (kehendak). Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah
sempurna, tidak dicampuri kelemahan dan kekurangan, tidak juga
keterpaksaan. Sebagaimana yang menimpa pada kekuasaan dan
kehendak makhluk, di mana kehendak mereka itu terbatas, serba
kurang dan dikuasai.
b. Mensucikan Allah dari berbagai sifat yang kurang.
Wajib setiap hamba untuk mensucikan Rabb mereka dari kesia-siaan,
kejahilan, kezhaliman dan selainnya dari berbagai kekurangan.
c. Penelitian/pembahasan yang menyeluruh terhadap nash-nash al-
Qur’an dan as-Sunnah serta keluar dengan satu hukum setelahnya.
Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama.
Yaitu mengumpulkan seluruh nash-nash tentang suatu permasalahan
kemudian bersungguh-sungguh dalam memahaminya, kemudian
berusaha untuk mengeluarkan satu hukum setelahnya.
d. Allah tidak ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya. Sebagaimana
firman-Nya:
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi
merekalah yang akan ditanya.” (Qs. Al-Anbiya’ [21]: 23)
e. Hendaknya memiliki pengetahuan bahwasanya seorang hamba diberi
beban untuk melakukan berbagai sebab, adapun hasilnya berada di
tangan Allah.

36
Hasan: HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (no. 103), Ahmad (V/317) dan ini lafazhnya.
Dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, ia adalah rawi yang lemah Karena jelek hafalannya, akan tetapi
ada jalur lain yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/317), Ibnu Abi Syaibah
(no. 36933), Ibnu Abi Ashim (no. 107), al-Ajurry dalam asy-Syari'ah (no. 180), dari Walid bin
Ubadah dari ayahnya. Sanad hadits ini hasan. (Lihat at-Tanbihat al-Lathifah hlm. 76)
21
Tidak semua orang yang melakukan suatu sebab tertentu dan
dilakukan oleh orang lain yang semisalnya, lalu keduanya
memperoleh rezeki yang sama. Terkadang seorang manusia berusaha
sungguh-sungguh, akan tetapi tidak mendapatkan rezeki yang banyak,
sedangkan yang lain berusaha dengan sedikit kesungguhan akan tetapi
ia memperoleh harta yang banyak.
Sebagaimana kesungguhan mereka dapat juga menghasilkan akibat
yang buruk dengan beragam tingkatan. Maka, seluruh hasil dari usaha
makhluk berada di tangan Allah, Dialah yang mempersiapkan balasan
dalam berbagai usaha sebagai bentuk keadilan dan kebijaksanaan-
Nya.37

Poin ketiga yang Nabi jelaskan dalam hadits ini ialah tentang Ihsan.
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas untuk
beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah
engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu, maka ingatlah bahwa Allah
senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ ketika beliau mendefinisikan kata ihsan: “Engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya …” mengisyaratkan
bahwa seorang hamba yang menyembah Allah dalam keadaan seperti itu
berarti merasakan kedekatan dengan Allah dan bahwa ia merasa berada di
hadapan Allah sehingga seolah-olah ia dapat melihat Allah. Hal ini akan
menimbulkan rasa takut, segan dan mengagungkan Allah. Sebagaimana yang
disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah: “Hendaknya engkau takut kepada
Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.”38
Sabda Nabi: “Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya
Dia melihatmu,” merupakan penjelasan sabda sebelumnya bahwa jika
seorang hamba diperintahkan agar merasa diawasi Allah dalam ibadah dan
merasakan kedekatan Allah dengan hamba-Nya sehingga hamba tersebut
seolah-olah melihat-Nya, maka bisa jadi hal tersebut tidak terjadi baginya.
Untuk itu, hamba tersebut harus menggunakan imannya bahwa Allah pasti
melihat dirinya, mengetahui rahasianya, baik yang diperlihatkannya atau
tidak, mengetahui bathin dan zhahirnya, dan semua yang ada pada dirinya
diketahui oleh Allah.

Terakhir, beliau di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda hari


kiamat, yaitu:

1. Apabila budak wanita melahirkan tuannya.


Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara
lain:
Pertama, ada yang berpendapat bahwa banyaknya anak yang durhaka,
di mana seorang anak memperlakukan ibunya sebagaimana perlakuan tuan
terhadap budak wanitanya. Pendapat inilah yang dipegang oleh al-Hafizh
Ibnu Hajar al-Asqalani.39

37
Diringkas dari Qawa’id wa Fawa-id Min al-Arba’in al-Nawawiyah (hlm. 44-46).
38
HR. Muslim (no. 10).
39
Fath al-Bari (I/122-123).
22
Kedua, Imam Ibnu Rajab berkata: “Ini sebagai isyarat atas
pembukaan negeri (kaum Mukminin yang mengalahkan negeri-negeri kafir)
dan banyaknya perbudakan, sehingga banyak budak wanita yang dijadikan
tawanan dan anak mereka pun menjadi banyak, maka jadilah budak wanita
sebagai budak pemiliknya. Dan anak tuannya darinya (budak wanita)
berkedudukan seperti tuannya. Karena anak majikan berkedudukan sebagai
majikan.”40
Ketiga, sebagian ulama mengambil pendapat yang mengatakan bahwa
ibu si anak tersebut menjadi merdeka dengan kematian tuannya. Seolah-olah
anaknyalah yang memerdekakannya, maka pembebasan itu dinisbatkan
kepada anak tersebut. Dengan hal tersebut jadilah si anak seolah-olah
sebagai majikannya.

2. Sehingga engkau melihat seorang yang fakir, telanjang badan dan kaki
sebagai penggembala kambing berlomba-lomba untuk meninggikan
bangunan.
Maksudnya, bahwa orang-orang dari kalangan rakyat jelata (orang
bodoh) menjadi para pemimpin, harta mereka pun banyak, mereka
membangun bangunan yang tinggi sebagai kebanggaan dan kesombongan
terhadap hamba-hamba Allah.

Beberapa Kandungan Hadits:

1. Bid’ah tentang penafian qadar timbul di Bashrah pada masa Sahabat


dengan tokohnya bernama Ma’bad al-Juhani.
2. Kembalinya Tabi’in kepada Sahabat untuk mengetahui permasalahan
agama, baik dalam masalah aqidah atau yang lainnya.
3. Wajib atas setiap Muslim bertanya tentang masalah agama kepada
ulama Ahlus Sunnah.
4. Disunnahkan bagi jama’ah haji dan umrah untuk memanfaatkan
kepergian mereka ke Makkah dan Madinah untuk belajar agama dan
bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah.
5. Syaitan menyesatkan umat manusia dengan dua jalan yang biasa
ditempuh olehnya. Pertama: Syahwat, yaitu syaitan menyesatkan
orang yang lalai dari ketaatan kepada Allah dihiasi dengan syahwat,
sehingga tidak mengamalkan kebenaran. Kedua: Syubhat, yaitu
syaitan menyesatkan orang yang taat kepada Allah dihiasi dengan
syubhat, sehingga tidak mengenal kebenaran.
6. Obat dari syubhat dan syahwat adalah kembali kepada al-Qur-an dan
as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
7. Menunjukkan disunnahkannya memakai pakaian yang bersih dan
memakai wangi-wangian ketika berada di majelis ilmu dan bertemu
dengan ulama dan penguasa.

40
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/136).
23
8. Sesungguhnya apabila seorang ‘alim ditanya tentang sesuatu dan ia
belum mengetahuinya, maka hendaklah ia mengatakan: “Aku tidak
mengetahuinya.” Hal ini tidaklah mengurangi kedudukannya.
9. Ucapan Allahu A’lam dan la adri (aku tidak mengetahui) adalah
separuh dari ilmu.
10. Definisi Islam yang benar yaitu, tunduk patuh kepada Allah dengan
tauhid, melaksanakan ketaatan dan membebaskan diri dari syirik.
11. Kewajiban pertama kali atas mukallaf yaitu mengucapkan dua kalimat
syahadat, bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar melainkan hanya Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
12. Penjelasan tentang rukun Islam yang lima. Hadits ini menerangkan
bahwa Islam adalah amal-amal anggota badan berupa perkataan dan
perbuatan.
13. Iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman menurut Ahlus Sunnah
adalah perkataan dengan lisan, meyakini dengan hati, melaksanakan
dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan perbuatan dosa dan maksiat.
14. Penjelasan tentang rukun iman yang enam.
15. Tauhid ada tiga: Tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyyah, dan tauhid
Asma’ wash Shifat.
16. Iman kepada qadar baik dan buruk, apa yang Allah takdirkan kepada
kita itu yang terbaik untuk kita.
17. Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah.
18. Penjelasan tentang ihsan.
19. Tanda-tanda Kiamat yang disebutkan adalah tanda-tanda yang kecil.
20. Sebagai dalil yang menunjukkan haramnya durhaka kepada kedua
orang tua.
21. Hadits ini menunjukkan salah satu cara dari cara-cara pembelajaran,
yaitu metode tanya jawab.
22. Hadits ini menunjukkan bahwa Malaikat dapat berubah bentuk
menyerupai manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil dari al-
Qur-an.
23. Dimakruhkan membangun dan meninggikan bangunan selama tidak
untuk keperluan yang sangat mendesak.
24. Hadits ini menerangkan tentang adab-adab duduk (bermajelis) dalam
majelis ilmu, di mana Jibril duduk mendekat dengan Rasulullah ‫ﷺ‬ .
Beginilah yang seharusnya dilakukan oleh para penuntut ilmu,
sehingga ia dapat mengambil ilmu dengan seksama dan mengambil
hujjah dari lisan-lisan para ulama Ahlus Sunnah.
25. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan terjadinya hari Kiamat.
26. Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya tidak ada yang
mengetahui sesuatu hal yang ghaib kecuali Allah semata.

24
HADITS KETIGA
PENJELASAN RUKUN ISLAM

:‫ال‬ ِ َّ‫الر ْْحَ ِن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن عُمر بْ ِن ا ْلَط‬


َ َ‫اب َر ِض َ اللَّهُ َعْن ُه َما ق‬ َّ ‫د‬ِ ‫عن أَِِب عب‬
َْ
ََ َْ
ِ ِ َّ‫ول الل‬ َِ
ُ‫ َش َه َادة أَ ْن َل إلَهَ َّإل اللَّه‬:‫س‬ ِْ ‫ " بُِِن‬:‫ول‬
ٍ َْ‫ال ْس ََل ُم َعلَى خ‬
َ ُ ‫ق‬
ُ ‫ي‬
َ ‫ه‬ َ ‫س‬
ُ ‫ر‬َ ‫ت‬ ‫ع‬
ْ ‫س‬
."‫ضا َن‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫ َوإِقَ ِام‬،‫ول اللَّ ِه‬
َّ ‫ َوإِيَاء‬،‫الص ََلة‬ َّ ‫َوأ‬
َ ‫ص ْوم َرَم‬ َ ‫ َو‬،‫ َو َح ِّج الْبَ ْيت‬،‫الزَكاة‬ ُ ‫َن ُمَ َّم ًدا َر ُس‬
‫ُ َوُم ْنلِم‬
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin al-Khathab ia menuturkan:
“Aku pernah mendengar Rasululah bersabda: “Islam dibangun atas lima
pekara: (1) Persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3)
menunaikan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa di bulan
Ramadhan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Syarah Hadits

Hadits ini mempunyai kedudukan yang agung, karena menerangkan


asas dan kaidah-kaidah Islam yang Islam dibangun di atasnya yang
dengannya seorang hamba menjadi Muslim dan tanpa asas ini seorang
hamba keluar dari agama.Imam al-Nawawi berkata: “Sesungguhnya hadits
ini merupakan pokok yang besar dalam mengenal agama Islam dan dengan
dasar hadits ini tegaknya agama Islam, hadits ini mengumpulkan rukun-
rukunnya.”41

Kendati jihad berada di tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun


jihad bukan salah satu tiang dan rukunnya di mana bangunan Islam dibangun
di atasnya, karena dua sebab, yaitu:
Pertama: Jihad adalah fardhu kifayah menurut jumhur ulama dan
bukan fardhu ‘ain. Ini berbeda dengan kelima rukun di atas.
Kedua: Jihad tidak berlangsung hingga akhir zaman, karena jika Nabi
‘Isa telah turun dan ketika itu tidak ada agama selain Islam, maka dengan
sendirinya perang berhenti dan tidak lagi membutuhkan jihad. Ini berbeda
dengan kelima rukun Islam yang tetap diwajibkan kepada kaum Mukminin
hingga keputusan Allah datang kepada mereka dan ketika itu mereka dalam
keadaan seperti itu, wallahu a’lam.42

41
Syarah Shahib Muslim (I/179).
42
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/152).
25
Maksud hadits di atas bahwasanya Islam dibangun di atas lima hal
dan lima hal tersebut seperti tiang-tiang bangunannya. Hadits di atas
diriwayatkan Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitab Ta’zhim Qadr
al-Shalah (no. 413, sanadnya shahih menurut syarat Muslim) dengan lafazh:
“Islam dibangun di atas lima tiang ....”

Maksud hadits tersebut adalah penyerupaan Islam dengan bangunan


dan tiang-tiang bangunan tersebut adalah kelima hal tersebut. Jadi, bangunan
tidak kuat tanpa tiang-tiangnya dan ajaran-ajaran Islam lainnya adalah
penyempurna bangunan di mana jika salah satu dari ajaran-ajaran tersebut
hilang dari bangunan Islam, maka bangunan berkurang namun tetap bisa
berdiri dan tidak ambruk dengan berkurangnya salah satu dari
penyempurnanya. Ini berbeda jika kelima tiang tersebut ambruk, Islam akan
ambruk dengan tidak adanya kelima tiang tersebut tanpa diragukan lagi.
Islam juga ambruk dengan hilangnya dua kalimat syahadat. Yang dimaksud
dengan dua kalimat syahadat ialah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits ini, Rasulullah ‫ﷺ‬ mengilustrasikan (menggambarkan)
Islam dengan sebuah bangunan yang tertata rapi. Tegak di atas pondasi-
pondasi yang kokoh.

Pondasi-pondasi tersebut adalah:


Pertama: Dua kalimat syahadat

Adapun makna dari kalimat la ilaha illallah adalah (la ma’buda bi


haqqin illallah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali hanya Allah. Semua sesembahan yang disembah
oleh manusia berupa malaikat, jin, manusia, matahari, bulan, bintang, kubur,
pohon, batu, kayu dan lainnya, semuanya adalah sesembahan yang batil,
tidak bisa memberikan manfaat dan tidak dapat menolak bahaya. Allah
berfirman:
“Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan
tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allah, sebab jika engkau
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang
zhalim.” (Qs. Yunus [10]: 106)

Kalimat memiliki 2 rukun, yaitu;


a. yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah.
b. yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah saja. Tidak ada sekutu
bagi-Nya.

Allah berfirman:
“Barangsiapa ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka
sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak
akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah
[2]: 256)

Adapun makna dari syahadat Muhammadar Rasulullah ‫ﷺ‬


a. yaitu mentaati apa-apa yang beliau perintahkan. Allah berfirman:

26
“Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam Surga-Surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah kemenangan yang agung.” (Qs. An-Nisa’ [4]: 13)

b. yaitu membenarkan apa-apa yang beliau sampaikan. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


berimanlah kepada Rasul-Nya (Muhammad).” (Qs. Al-Hadid [57]: 28)

c. yaitu menjauhkan diri dari apa-apa yang beliau larang. Allah berfirman:

“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7)

d. yaitu tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah
beliau syari’atkan. Allah berfirman:

“Katakanlah (Muhammad): Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku,


niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. ‘Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 31)43

Kedua: Menegakkan shalat


Shalat merupakan hubungan antara hamba dengan Rabbnya yang
wajib dilaksanakan lima waktu sehari semalam, sesuai petunjuk Rasulullah
‫ﷺ‬ sebagaimana sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Shalatlah, sebagaimana kalian melihat
44
aku shalat,”
Barangsiapa yang menjaga shalat yang lima waktu, maka pada hari
Kiamat ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dan ia
dijanjikan Allah dengan dimasukkan ke dalam Surga. Shalat akan mendidik
seorang Muslim agar selalu takut dan mengharap kepada Allah, yang
dengannya ia akan menjauh dari perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah.
Allah berfirman:
“Bacalah Kitab (al-Qur-an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad)
dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu
lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-‘Ankabut [29]: 45)45
Shalat merupakan amal yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat.
Sebagaimana Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

43
Diringkas dan ditambah dari Hasyisyah Tsalatsah al-Ushul (hlm. 57), oleh Syaikh Abdurrahman
bin Muhammad bin Qasim.
44
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 631, 6008, 7246).
45
Shahih: HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (II/512 no.1880) dari sahabat Anas bin
Malik, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ahadits al-Shahihah (no. 1358)
27
“Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah
shalat, apabila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya dan apabila
shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.”110

Yang harus diperhatikan dalam masalah shalat:


a. Harus dikerjakan pada waktunya, yang utama di awal waktu.
b. Harus dikerjakan dengan khusyu’ dan thuma’ninah.
c. Harus dikerjakan sesuai dengan contoh Nabi dari mulai takbir sampai
salam.
d. Bagi laki-laki mengerjakannya dengan berjamaah di Masjid.

s
Ketiga: Menunaikan Zakat

Allah telah mewajibkan zakat atas setiap Muslim yang telah mencapai
nishab dalam hartanya dengan syarat-syarat tertentu. Zakat secara bahasa
maknanya adalah: tambahan, penyucian dan berkah. Dinamakan begitu
karena orang yang menunaikannya akan mendapatkan keberkahan pada
hartanya dan akan membersihkan jiwa dari sifat-sifat kikir. Sebagaimana
Allah berfirman:

“Ambillah sedekah (zakat) dari harta mereka, guna membersihkan dan


menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu
(menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar,
Maha Mengetahui.” (Qs. At-Taubah [9]: 103)

Zakat di dalam Alquran memiliki beberapa keutamaan. Di antaranya


sebagaimana berikut.
a. Menunaikan (mengeluarkan) zakat menjadi sebab turunnya rahmat
Allah.46
b. Menunaikan zakat akan membersihkan jiwa dan menyucikannya dari
kotoran bakhil (pelit), tamak, serta keras terhadap orang-orang lemah dan
miskin.47
c. Menunaikan zakat menjadi sebab kokohnya kedudukan kaum Muslimin
di muka bumi.48
d. Menunaikan zakat menjadi sebab seseorang masuk Surga.
Nabi juga telah menganjurkan untuk menunaikan rukun yang agung ini
dan menjelaskan bahwa Menunaikan zakat menjadi sebab masuknya
seseorang ke dalam Surga. Dalam hadits disebutkan, bahwa ada
seseorang berkata kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Beritahukan kepadaku amal-
amal yang dapat memasukkanku ke Surga.” Lalu Nabi bersabda:
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan
suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung
tali silaturahim.”49

46
Qs. At-Taubah [9]: 71.
47
Qs. At-Taubah [9]: 103.
48
Qs. Al-Hajj [22]: 41.
49
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
28
e. Menunaikan zakat menjadi sebab hilangnya kejelekan harta. Dari Jabir ,
bahwa ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah ‫“ﷺ‬Wahai
Rasulullah ‫ﷺ‬ apa pendapatmu jika seorang menunaikan zakat hartanya?”
Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan zakat
hartanya, maka akan lenyaplah kejelekan hartanya.”50

Sebaliknya, Allah menerangkan tentang akibat bagi orang yang tidak


menunaikan zakat emas dan peraknya, bahwa nanti dihari Kiamat harta-harta
(emas dan perak) itu akan dipanaskan lalu disetrika dengannya dahi dan
seluruh jasadnya.Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak


menginfakkannya dijalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) adzab yang pedih. (Ingatlah) pada
hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam Neraka Jahannam, lalu
dengan itu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya
dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
(Qs. At-Taubah [9]: 34-35)
Allah juga menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan zakat,
hartanya akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari Kiamat.
Allah berfirman:

“Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan
Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi
mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka
kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik
Allahlah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha teliti
terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 180)

Zakat merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta benda


sebagaimana shalat adalah ibadah yang berhubungan dengan gerakan tubuh.
Melalui zakat tercipta keseimbangan sosial, terhapusnya kemiskinan, terjalin
kasih sayang dan saling menghargai sesama Muslim.

Keempat: Haji

Menurut Imam Ibnu Daqiq al-Ied (wafat th. 702 H) pada beberapa
riwayat disebutkan haji lebih dahulu daripada puasa. Hal ini menujukkan
keraguan dari perawi. Wallahu a’lam.
Karena, ketika Ibnu Umar mendengar seseorang mendahulukan
menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya lalu ia mendahulukan
menyebut puasa daripada haji. Ia berkata: “Begitulah yang aku dengar dari
Rasulullah ‫ﷺ‬.”51
Menurut Imam al-Nawawi ketika menjelaskan haditts ini, ia berkata:
“Demikianlah dalam riwayat ini bahwa haji disebutkan lebih dahulu dari

50
Hasan: HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (no. 1602) haditsnya hasan.
51
HR. Muslim (no. 16 [19]). Lihat Syarah Arba’in Libni Daqiq al-Ied. (hlm. 37).
29
puasa. Hal ini sekadar urutan dalam menyebutkan, bukan dalam hal
hukumnya karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji.
Dalam riwayat lain disebutkan puasa lebih dahulu daripada haji.”52

Hadits Arba’in ketiga ini menunjukkan bahwa haji ke baitullah


termasuk rukun Islam. Di antara dalil yang menegaskan tentang wajibnya
haji bagi orang yang mampu ialah firman-Nya:

Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim.


Barangsiapa memasukinya (Baitullaah) amanlah dia. Dan (di antara)
kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke
sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. ” (Qs. Ali
‘Imran [3]: 97)
Allah menyebutkan tentang haji dengan sefasih-fasih kata yang
menunjukkan penekanan terhadap haknya, kewajibannya, serta
kehormatannya yang agung.
Haji merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sekali seumur
hidup.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ pernah berkhutbah di
hadapan kami. Beliau berkata: ‘Wahai manusia! Sungguh Allah telah
mewajibkan haji kepada kalian, karena itu berhajilah!’ Ada orang yang
bertanya: ‘Apakah tiap tahun wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ?’ Rasulullah ‫ﷺ‬ diam,
sehingga ia mengulanginya tiga kali. Setelah itu Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
‘Seandainya aku jawab ya, maka haji itu tentu wajib setiap tahun dan kalian
tidak akan mampu melaksanakannya.’”53

Haji memiliki banyak keutamaan sebagaimana Nabi jelaskan. Dan


menjelaskan tentang pahala dan ganjaran yang Allah telah siapkan bagi
mereka yang berhaji.
Di antara dalil-dalilnya:
a. Haji merupakan seutama-utama amal yang dapat mendekatkan diri
seorang hamba kepada Rabbnya. Sebagaimana ia juga memiliki pengaruh
yang baik pada jiwa.

Dari Abu Hurairah ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah ‫ﷺ‬ ditanya tentang
amal-amal yang utama. Maka Rasulullah ‫ﷺ‬ menjawab: ‘Iman kepada Allah
dan Rasul-Nya.’ ‘Kemudian apa?’ Rasulullah ‫ﷺ‬ menjawab: ‘Jihad di jalan
Allah.’ ‘Kemudian apa?’ Rasulullah ‫ﷺ‬ menjawab: ‘Haji yang mabrur.’”54
Yang dimaksud dengan haji mabrur adalah, seseorang yang
menunaikan haji sesuai dengan contoh Rasulullah ‫ﷺ‬ dan keadaan dia lebih
baik daripada sebelum dia berangkat haji. Nabi bersabda:

52
Syarah Matnil Arba’in (hLm. 26-27) karya Imam al-Nawawi, cet. Maktabah Daril Fath dan al-
Maktab al-Islami.
53
Shahih: HR. Muslim (no. 1337).
54
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 26) dan Muslim (no. 83).
30
“Hendaknya kalian mengambil dariku tata cara manasik haji kalian.”55
Hendaknya seorang yang menunaikan haji, ia bersungguh-sungguh
pada dirinya agar ibadah haji yang ia tunaikan memberikan pengaruh pada
kebersihan jiwanya. Dan agar ia berlaku zuhud di dunia dan mengharapkan
akhirat.

b. Apabila seorang Muslim menunaikan ibadah haji sesuai perintah Allah


dan memperhatikan adab-adabnya, maka haji itu akan menjadi sebab
dibersihkannya seorang hamba dari dosa dan kesalahan sebagaimana baju
putih dibersihkan dari kotoran.
Dari Abu Hurairah berkata: “Aku mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda:

“Barangsiapa yang berhaji ke baitullah dan ia tidak berkata kotor dan tidak
pula berbuat dosa, maka ia pulang dalam keadaan seperti pada saat ia
dilahirkan ibunya (yakni tanpa dosa).”56
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Rafats bisa bermakna jima’
(bersetubuh), bisa juga bermakna perbuatan keji, dan bisa juga bermakna
obrolan seorang lelaki kepada wanita yang berkaitan dengan persetubuhan.
Dan telah diriwayatkan dari sejumlah ulama tentang tiga makna ini. Wallahu
a’lam.”57

c. Haji mabrur ganjarannya adalah Surga. Yang kenikmatannya tidak


pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tidak dapat
terlintas dalam hati manusia.
Dari Abu Hurairah ia mengatakan, Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Antara umrah yang satu dengan umrah lainnya akan menghapuskan dosa di
antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada ganjaran baginya
melainkan Surga.”58

d. Haji merupakan jihad bagi orang lemah dan wanita


Dari Hasan bin Ali ia berkata: “Suatu ketika datang seorang lelaki
kepada Nabi lalu ia berkata: ‘Sesungguhnya aku seorang penakut dan
lemah.’ Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: ‘Kemarilah menuju jihad yang
tiada peperangan di dalamnya, yaitu haji.’”59
Dan dari Aisyah ia berkata: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬, kami (para wanita)
melihat bahwa jihad adalah seutama-utama amal. Apakah kami boleh ikut
berjihad?” Maka Rasulullah ‫ﷺ‬ menjawab:

55
Shahih: HR. Muslim (no. 1297), Abu Dawud (no. 1970), al-Nasai (V/270), dan yang lainnya.
56
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1820) dan Muslim (no. 1350). Lihat Fat-hul Bari (III/382).
57
Shahih at-Targhib wat Tarhib (II/4).
58
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1773) dan Muslim (no. 1349).
59
Shahih: HR. Al-Thabrani dalam Mujamul Kabir (III/135 no. 2910). Lihat Shahih Jami’ush
Shaghir (no. 7044).
31
“Tidak, akan tetapi seutama-utama jihad bagi kalian adalah haji yang
mabrur.”60

Ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-6 Hijriyah, hal ini berdasarkan
firman Allah:
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan
ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orangyang mampu mengadakan
perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka
ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
seluruh alam. ” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 97)

Kelima: Puasa Ramadhan


Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib.Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 183)

Puasa di bulan Ramadan memiliki sejumlah keutamaan yang sangat


familiar di telinga kita. Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda:

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap


pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”61

Dari Abu Hurairah Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda:

“Shalat lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke


Ramadhan berikutnya, akan menghapuskan dosa yang terjadi di antaranya,
jika dosa-dosa besar dihindari.”62

Dan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda:

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh dengan
berkah. Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pada bulan
Ramadhan Allah akan membukakan pintu-pintu langit (pada satu riwayat:
pintu-pintu Surga), menutup pintu-pintu Neraka, dan akan membelenggu
para syaitan yang jahat. Di dalamnya Allah memiliki satu malam yang lebih
baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang dicegah dari kebaikannya maka ia
telah tercegah.”63
Tentang makna “dibelenggunya syaitan-syaitan yang jahat”, Imam al-
Mundziri berkata: “Para syaitan tidak sungguh-sungguh dalam mengganggu
manusia pada bulan Ramadhan, seperti kesungguhan (leluasanya) gangguan
mereka di bulan-bulan yang lain. Dikarenakan kaum Muslimin sibuk dengan

60
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1520).
61
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1901) dan Muslim (no. 760).
62
Shahih: HR. Muslim (no. 233 [16]).
63
Shahih: HR. Al-Nasai (IV/129) dan Ahmad (II/230).
32
berpuasa yang dapat mengekang hawa nafsu, membaca al-Qur-an, serta
ibadah-ibadah lainnya.”64

Di sisi lain, ada ancaman bagi orang yang berbuka di siang hari dengan
sengaja pada bulan Ramadhan.
Dari Abu Umamah ia berkata: “Aku mendengar Nabi bersabda:
‘Ketika tengah tidur, aku didatangi dua orang laki-laki, lalu keduanya
menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata:
‘Naiklah.’ Lalu kukatakan: ‘Sesungguhnya aku tidak sanggup
melakukannya.’ Selanjutnya, keduanya berkata: ‘Kami akan memudahkan
untukmu.’ Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di
kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang keras sekali maka kutanyakan:
‘Suara apakah itu?’ Mereka menjawab: ‘Yang demikian itu adalah jeritan
para penghuni Neraka.’ Kemudian dia membawaku berjalan dan ternyata
aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas
tumit mereka, mulut mereka robek, dan robekan itu mengalirkan darah.”
Beliau bercerita, kemudian aku katakan: ‘Siapakah mereka itu?’ Dia
menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba waktu
berbuka ....”65
Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-3 Hijriyah, melalui
firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 183)

Puasa merupakan ibadah yang dapat mensucikan jiwa, membersihkan


hati dan menyehatkan tubuh. Barangsiapa yang berpuasa karena semata-
mata menjalankan perintah Allah dan mencari keridhaan-Nya, maka puasa
tersebut akan menghapuskan dosa-dosanya dan menjadi sarana untuk
mendapatkan Surga.

Penting diingat bahwa rukun-rukun Islam ini merupakan kesatuan yang


saling terkait. Barangsiapa yang melaksanakan rukun-rukun tersebut secara
utuh, ia adalah seorang Muslim yang sempurna imannya. Barangsiapa yang
meninggalkan keseluruhannya, ia adalah kafir. Barangsiapa yang
mengingkari salah satu darinya maka ia adalah kafir. Barangsiapa yang
meyakini keseluruhan namun mengabaikan salah satu selain dua kalimat
syahadat karena malas, ia adalah orang fasik. Barangsiapa yang
melaksanakan keseluruhannya dan mengakui secara lisan namun hanya
kepura-puraan, ia adalah orang munafik.

Ibadah dalam Islam bukanlah sekadar bentuk dari kegiatan fisik.


Lebih dari itu, ibadah mempunyai tujuan yang mulia. Shalat misalnya, tidak
akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan
perbuatan keji dan munkar. Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang

Shahih at-Targhib wat Tarhib (I/586).


64
65
Shahih: HR. Ibnu Khuzaimah (no. 1986), Ibnu Hibban (no. 7448 - al-Ta’liqat al-Hisan) dan al-
Hakim (1/430).
33
melakukan puasa tidak meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat tidak
akan diterima jika hanya ingin dipuji orang lain.

Meskipun demikian, bukan berarti ketika tujuan dan buah tersebut


belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini
seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya seikhlas mungkin dan
senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari setiap ibadah yang dilakukan
dan mengikuti contoh Rasulullah ‫ﷺ‬.66

Beberapa Kandungan Hadits

1. Hadits ini menjelaskan bahwa agama Islam kedudukannya seperti


bangunan yang menaungi pemiliknya dan melindunginya dari dalam dan
dari luar.
2. Dua kalimat syahadat adalah tiang penyangga agama Islam yang paling
agung karena dengannya darah, harta, dan jiwa orang yang
mengucapkannya terjaga dan haram untuk ditumpahkan. Dan dengannya
pula Allah menerima seluruh amal shalih.
3. Shalat adalah hubungan antara seorang hamba dengan Allah yang wajib
ditunaikan sesuai dengan contoh Rasulullah s ‫ﷺ‬ .
4. Wajibnya menunaikan zakat, yaitu bagi seorang Muslim yang memiliki
harta yang sudah mencapai nishab dan haul.
5. Zakat dapat membersihkan jiwa dari setiap kotoran kebakhilan, tamak,
serta sikap keras dan bengis terhadap orang-orang lemah dan miskin.
6. Wajibnya mengerjakan haji apabila telah mampu.
7. Kewajiban haji adalah sekali seumur hidup, selebihnya sunnah.
8. Diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan.
9. Para ulama bersepakat bahwa orang yang meninggalkan rukun Islam
kedua sampai kelima karena mengingkari kewajibannya adalah kafir.
10. Adapun meninggalkannya rukun kedua sampai kelima tanpa mengingkari
kewajibannya maka minimal telah melakukan dosa besar yang sangat
besar.

66
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 9) dan Muslim (no. 35).
34
HADITS KEEMPAT
PROSES PENCIPTAAN MANUSIA DAN TELAH
DITETAPKANNYA AMALAN HAMBA

‫ َوُه َو‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ُ ‫ َح َّدثَنَا َر ُس‬:‫ال‬ َ َ‫الر ْْحَ ِن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َم ْنعُوٍد ق‬ َّ ‫َع ْن أَِِب َعْب ِد‬
ِ ِ ِ َّ
َّ‫ ُُث‬،ً‫ني يَ ْوًما نُطْ َفة‬َ ‫َح َد ُك ْم ُُْي َم ُع َخ ْل ُقهُ ِ بَطْ ِن أُِّمه أ َْربَع‬ َّ " :-‫وق‬
َ ‫إن أ‬ ُ ‫ص ُد‬ ْ ‫الصاد ُق الْ َم‬
ِ ِ
‫ك فَيَ ْن ُف ُخ‬ُ َ‫ ُُثَّ يُْر َس ُل إلَْي ِه الْ َمل‬،‫ك‬
َ ‫ضغَةً ِمثْ َل َذل‬ ْ ‫ ُُثَّ يَ ُكو ُن ُم‬،‫ك‬ َ ‫يَ ُكو ُن َعلَ َقةً ِمثْ َل َذل‬
‫يد؛‬ ٍ ِ‫ وش ِق أَم سع‬،‫ وعملِ ِه‬،‫ وأَجلِ ِه‬،‫ بِ َكْ ِ ِرزقِ ِه‬:‫ات‬ ٍ ‫ وي ؤمر بِأَرب ِع َكلِم‬،‫فِ ِيه العروح‬
َ ْ ٍّ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َْ ُ َ ْ ُ َ َ
ِ ْ ‫إن أَح َد ُكم لَي عمل بِعم ِل أَه ِل‬ ِ ِ
ُ‫اَِنَّة َح ََّّت َما يَ ُكو ُن بَْي نَه‬ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َّ ُ‫فَ َواَللَّه الَّهُ َل إلَهَ َغْي ُره‬
‫ َوإِ َّن‬.‫اب فَيَ ْع َم ُل بِ َع َم ِل أ َْه ِل النَّا ِر فَيَ ْد ُخلُ َها‬ ِ ِ ِ
ُ َ‫َوبَْي نَ َها َّإل ذ َراع فَيَ ْنبِ ُق َعلَْيه الْك‬
‫َح َد ُك ْم لَيَ ْع َم ُل بِ َع َم ِل أ َْه ِل النَّا ِر َح ََّّت َما يَ ُكو ُن بَْي نَهُ َوبَْي نَ َها َّإل ِذ َراع فَيَ ْنبِ ُق َعلَْي ِه‬
َ‫أ‬
."‫اَِن َِّة فَيَ ْد ُخلُ َها‬
ْ ‫اب فَيَ ْع َم ُل بِ َع َم ِل أ َْه ِل‬
ُ َ‫الْك‬
ِ

‫ُ َوُم ْنلِم‬
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud ia mengatakan: “Rasulullah ‫ﷺ‬
menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shadiqul Mashduq (orang
yang benar lagi dibenarkan perkataannya) beliau bersabda: ‘Sesungguhnya
seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama
40 hari dalam bentuk [nuthfah] (bersatunya sperma dengan ovum),
kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian
menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang
Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan
diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rezekinya, ajalnya,
amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah
seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli Surga sehingga jarak antara
dirinya dengan Surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir)
mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli Neraka, maka dengan itu
ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal

35
dengan amalan ahli Neraka sehingga jarak antara dirinya dengan Neraka
hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal
dengan amalan ahli Surga, maka dengan itu ia memasukinya.’” [HR. Al-
Bukhari dan Muslim]

Syarah Hadits

Hadits ini mengandung beberapa pelajaran berharga, sebagai berikut:

A. Tahapan Penciptaan Manusia


Dalam hadits ini, Rasulullah ‫ﷺ‬menjelaskan tentang awal penciptaan
manusia di dalam rahim seorang ibu, yang berawal dari nuthfah
(bercampurnya sperma dengan ovum): ‘alaqah (segumpal darah), lalu
mudhghah (segumpal daging).
Allah berfirman:
“Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal
daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak
Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada
usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di
antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga
dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat
bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di
atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai
jenis pasangan tetumbuhan yang indah. ” (Qs. Al-Hajj [22]: 5)
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan tentang tahapan penciptaan
manusia di dalam rahim seorang ibu. Oleh karena itu, apabila ada orang yang
ragu tentang dibangkitkannya manusia dari kuburnya dan ragu tentang
dikumpulkannya manusia di padang Mahsyar pada hari Kiamat, maka Allah
memerintahkan untuk mengingat dan melihat bagaimana seorang manusia
diciptakan oleh Allah. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, Dia
mengembalikan manusia (dari mati menjadi hidup kembali) lebih mudah
daripada menciptakannya.
Juga firman-Nya:
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk
yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.
Kemudian setelah itu, sesungguhnya kamu pasti mati. Kemudian,
sesungguhnya kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari Kiamat.”
(Qs. Al-Mu’minun [23]: 12-16)

36
Allah menyebutkan bahwa Adam—manusia pertama—diciptakan
dari saripati tanah, kemudian manusia sesudahnya diciptakan-Nya dari
setetes air mani.
Tahapan penciptaan manusia di dalam rahim adalah sebagai berikut:
Pertama: Allah menciptakan manusia dari setetes air mani yang hina
yang menyatu dengan ovum.
Allah berfirman:
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air
mani). ” (Qs. As-Sajdah [32]: 8)
Bersatunya air mani (sperma) dengan sel telur (ovum) di dalam rahim
ini disebut dengan nuthfah.

Kedua: Kemudian setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut Allah
menjadikannya segumpal darah yang disebut ‘alaqah.
Allah berfirman:
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (Qs. Al-‘Alaq [96]:
2)
Ketiga: Kemudian setelah lewat 40 hari—atau 80 hari dari fase
nuthfah—fase ‘alaqah beralih ke fase mudhghah, yaitu segumpal daging.
Allah berfirman:
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Qs. Al-Mu’minun [23]:
14)
Keempat: Kemudian setelah lewat 40 hari—atau 120 hari dari fase
nuthfah—dari segumpal daging (mudhghah) tersebut Allah menciptakan
daging yang bertulang, dan Dia memerintahkan Malaikat untuk meniupkan
ruh padanya serta mencatat empat kalimat, yaitu rezeki, ajal, amal dan
sengsara atau bahagia. Jadi, ditiupkannya ruh kepada janin setelah ia
berumur 120 hari.

B. Peniupan Ruh
Para ulama sepakat bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika janin
berusia seratus dua puluh hari, terhitung sejak bertemunya sel sperma
dengan ovum. Artinya, peniupan tersebut ketika janin berusia empat bulan
penuh, masuk bulan kelima. Pada masa inilah segala hukum mulai berlaku
padanya. Karena itu wanita yang ditinggal mati suaminya menjalani masa
‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, untuk memastikan bahwa ia tidak
hamil dari suaminya yang meninggal, agar tidak menimbulkan keraguan
ketika ia menikah lagi lalu hamil.
Ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup dan ini sepenuhnya
urusan Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah:
Ruh itu termasuk urusan Rabbku, sedangkan kamu diberi pengetahuan
hanya sedikit.” (Qs. Al-Isra’ [17]: 85)

C. Wajibnya Beriman Kepada Qadha’ dan Qadar

37
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah telah mentakdirkan nasib
manusia sejak di alam rahim.
Pada hakikatnya, Allah telah mentakdirkan segala sesuatu sejak
50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Allah telah mencatat seluruh taqdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum
Allah menciptakan langit dan bumi.”67
Kemudian di alam rahim, Allah pun memerintahkan Malaikat untuk
mencatat kembali empat kalimat: rezeki, ajal, amal, sengsara atau bahagia.

Pertama: Rezeki.
Allah Yang Maha Pemurah telah menetapkan rezeki bagi seluruh
makhluk-Nya, dan setiap makhluk tidak akan mati apabila rezekinya belum
sempurna.
Allah berfirman:
“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan
semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya
dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” (Qs. Hud [11]: 6)

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam
mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati hingga
sempurna rezekinya. Meskipun (rezeki itu) bergerak lamban. Maka,
bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah
yang halal dan tinggalkan yang haram.”68

Kedua: Ajal.
Allah Mahakuasa untuk menghidupkan makhluk, mematikan, dan
membangkitkannya kembali. Dan setiap makhluk tidak mengetahui berapa
jatah umurnya juga tidak mengetahui kapan serta di mana akan dimatikan
oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
(dunia) itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan
(pula) kepadanya pahala (akhirat) itu. Dan Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 145)
Ajal makhluk Allah sudah tercatat, tidak dapat dimajukan atau
diundurkan.
Allah berfirman:

67
Shahih: HR. Muslim (no. 2653), al-Tirmidzi (no. 2156), dan Ahmad (II/169), dari Abdullah bin
Amr bin al-Ash. Lafazh ini milik Muslim.
68
Shahih: HR. Ibnu Majah (no.2144), Ibnu Hibban (no. 1084,1085-Mawarid), al-Hakim (II/4), dan
al-Baihaqi (V/264) dari Jabir Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (no. 2607).
38
“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba,
mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (Qs.
Al-A’raf [7]: 34)

Ketiga: Amal.
Allah telah mencatat amal-amal setiap makhluk-Nya, baik dan
buruknya. Akan tetapi setiap makhluk Allah pasti akan beramal, amal baik
atau pun amal buruk. Dan Allah dan Rasul-Nya memerintahkan para hamba-
Nya untuk beramal baik.

Keempat: Celaka atau bahagia.


Yang dimaksud “celaka” dalam hadits ini adalah orang yang celaka
dengan dimasukkan ke Neraka, dan yang dimaksud “bahagia” adalah orang
yang selamat dengan dimasukkan ke dalam Surga, Hal ini telah tercatat sejak
manusia berusia 120 hari dan masih di dalam rahim, yaitu apakah ia akan
menjadi penghuni Neraka atau ia akan menjadi penghuni Surga. Akan tetapi:
“celaka” dan “bahagia” seorang hamba tergantung dari amalnya selama
hidupnya.
Dan tidak ada yang mengetahui hakikat dari keempat hal tersebut.
Yakni rezeki, ajal, amal, celaka dan bahagia kecuali hanya Allah Yang
Mahatahu. Oleh karenanya, tidak boleh bagi seorang pun enggan untuk
beramal shalih dengan alasan bahwa semuanya telah ditakdirkan Allah.
Benar, bahwa Allah telah mentakdirkan akhir kehidupan setiap hamba,
namun Dia Yang Mahaadil dan Mahabijaksana juga menjelaskan jalan-jalan
untuk mencapai kebahagiaan. Sebagaimana Allah Yang Maha Pemurah telah
mentakdirkan rezeki bagi setiap hamba-Nya, namun Dia juga
memerintahkan hamba-Nya untuk keluar dan berusaha mencari rezeki.
Apabila ada yang bertanya: “Lalu untuk apalagi kita beramal jika
semuanya telah tercatat (ditakdirkan)?” Maka, Rasulullah ‫ﷺ‬telah
menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan seorang Sahabat. Beliau
bersabda:

“Beramallah kalian karena semuanya telah dimudahkan oleh Allah menurut


apa yang Allah ciptakan baginya. Adapun orang yang termasuk golongan
orang-orang yang berbahagia, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan
amalan orang-orang yang berbahagia. Dan adapun orang yang termasuk
golongan orang-orang yang celaka, maka ia dimudahkan untuk beramal
dengan amalan orang-orang yang celaka.”
Kemudian beliau membacakan ayat:
“Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (Surga), maka akan Kami
mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan), dan adapun
orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah),
serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan
baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (Qs. Al-Lail [92]: 5-10)69
Orang yang beramal baik dan ikhlas, maka Allah akan memudahkan
baginya untuk menuju Surga. Begitu pun orang yang beramal keburukan,

69
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 4949) dan Muslim (no. 2647).
39
maka Allah akan mudahkan baginya untuk menuju Neraka. Hal ini
menunjukkan tentang sempurnanya ilmu Allah juga sempurnanya
kekuasaan, qudrah, dan iradah Allah. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Meskipun setiap manusia telah ditentukan menjadi penghuni Surga
atau menjadi penghuni Neraka, namun setiap manusia tidak dapat
bergantung kepada ketetapan ini karena setiap manusia tidak ada yang
mengetahui tentang apa yang dicatat di Lauhul Mahfuzh. Kewajiban setiap
manusia adalah berusaha dan beramal kebaikan serta banyak memohon
kepada Allah agar dimasukkan ke Surga.
Meskipun setiap manusia telah ditakdirkan oleh Allah demikian, akan
tetapi Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-Nya.
Allah berfirman:
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan
dirinya sendiri. Dan Rabbmu sama sekali tidak menzhalimi hamba-
hamba(Nya).” (Qs. Fushshilat [41]: 46)

Setiap manusia diberikan oleh Allah keinginan, kehendak, dan


kemampuan. Manusia tidak dipaksa oleh Allah.
Allah berfirman:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan
yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb seluruh alam.” (Qs. At-Takwir
[81]: 28-29)
Manusia tidak memiliki hak untuk mengubah takdirnya, tetapi Allah
mampu mengubah takdirnya jika Dia berkehendak. Takdir dapat diubah pula
dengan doa seorang hamba jika Allah berkenan mengabulkannya. Lebiih
dari itu, Allah bisa saja berkenan mengubah takdir seorang hamba ketika
melihat kesungguhannya.

D. Yang Menjadi Penentu Adalah Amal Seseorang di Akhir


Kehidupannya

Selanjutnya Rasulullah ‫ﷺ‬ mengabarkan dua keadaan manusia di akhir


hayatnya:
Pertama: Ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli Surga
akan tetapi di akhir hayatnya justru ia beramal dengan amalan ahli Neraka
yang dengan itu ia masuk Neraka.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal dengan amalan ahli Surga
menurut apa yang tampak di hadapan manusia, (namun) sebenarnya dia
adalah penghuni Neraka, dan ada seorang hamba beramal dengan amalan
ahli Neraka menurut apa yang tampak di hadapan manusia, (namun)
sebenarnya dia adalah penghuni Surga. Sesungguhnya amal-amal itu
tergantung daripada akhirnya.”70

70
Shahih: HR. Al-Bukhari (no.2898,4203,4207,6493,6607), Muslim (no. 112), dan Ahmad (V/332)
dari Sahi bin Sa’ad al-Sa’idi.
40
Maksudnya, seseorang yang beramal dengan amalan ahli Surga dalam
pandangan manusia.
Hal ini ada beberapa kondisi:
1. Dalam pandangan manusia bahwa kaum munafik pun beramal dengan
amalan ahli Surga, seperti shalat, zakat, shadaqah dan lainnya, akan tetapi
hatinya benci terhadap Islam, maka di akhir hayatnya dia akan beramal
dengan amalan ahli Neraka yang dengan itu ia masuk Neraka.
2. Orang yang beramal dengan amalan ahli Surga, akan tetapi ia riya’ (ingin
dilihat dan dipuji oleh manusia), dan ia terus-menerus dalam keadaan
demikian, oleh karenanya Allah hapuskan ganjaran amalannya. Allahu
Musta’an.
3. Orang yang pada masa hidupnya beramal dengan amalan ahli Surga,
akan tetapi di akhir hayatnya ia digoda syaitan dan terkena fitnah
syahwat atau syubhat sehingga ia beramal dengan amalan ahli Neraka
yang dengan itu ia masuk Neraka. Allahumma inna nas-alukal ‘afwa wal
‘afiah.
4. Orang yang beramal dengan amalan ahli Surga, akan tetapi di akhir
hayatnya ia tidak sanggup menghadapi cobaan dan ujian.
Sebagaimana kisah dalam hadits Sahi bin Sa’ad ini, bahwasanya ada
seorang Sahabat yang berperang di jalan Allah dengan gagah berani dan
banyak membunuh orang-orang kafir hingga para Sahabat lainnya yang
melihatnya berkata: “Pada hari ini, tidak ada seorang pun dari kami yang
(berperang) lebih mencukupi dari orang itu.” Akan tetapi Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya ia termasuk penghuni Neraka.”


Kemudian seorang Sahabat yang selalu menyertainya mengabarkan
bahwa orang tersebut bunuh diri karena tidak bersabar atas luka yang
dideritanya. Allahumma inna nas-alukal ‘afwa wal ‘afiah.

5. Orang yang beramal dengan amalan ahli Surga akan tetapi di akhir
hayatnya ia mengucapkan kata-kata kufur yang dengan itu ia masuk
Neraka. Allahul Musta’an.
Kedua: Orang yang beramal dengan amalan ahli Neraka akan tetapi di
akhir hayatnya ia beramal dengan amalan ahli Surga yaitu bertaubat kepada
Allah dengan taubat yang jujur yang dengan itu ia masuk Surga.

Dalam hal ini ada beberapa contoh:


1. Seseorang yang selama hidupnya berada dalam kekafiran akan tetapi saat
di akhir hayatnya ia bertaubat dan masuk Islam yang dengan itu Allah
hapuskan semua dosanya dan memasukkannya ke Surga. Hal ini
termasuk indahnya Islam bahwasanya orang kafir yang telah melakukan
berbagai perbuatan dosa, kemudian ia masuk Islam maka seluruh
dosanya dihapuskan oleh Allah.
Hal ini sebagaimana kisah Amr bin Ash yang di masa kafirnya
banyak melakukan kejahatan, kezhaliman dan sangat membenci Rasulullah
‫ﷺ‬ hingga ia berkata:

41
“Tidak ada yang lebih aku sukai melainkan aku dapat menjumpainya (yakni
Nabi) lalu aku membunuhnya.”
Akan tetapi, ketika Allah memberikan hidayah Islam ke dalam
hatinya: Amr pun segera menemui Nabi seraya mengulurkan tangannya
untuk membai’at beliau, Rasul pun mengulurkan tangannya. Namun: Amr
menarik tangannya kembali. Maka ditanyakan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Ada apa
denganmu, wahai Amr?” “Aku mengajukan syarat,” jawab Amr. Rasul
bertanya: “Apa syaratmu?” Amr menjawab: “Asalkan dosaku diampuni.”
Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Tidakkah engkau ketahui bahwasanya Islam menghapuskan dosa


sebelumnya, sesungguhnya hijrah dari Makkah ke Madinah menghapuskan
dosa sebelumnya, dan sesungguhnya haji menghapuskan dosa sebelumnya.”
Maka sejak itu berubahlah karakter Amr bin Ash, hingga ia berkata:

.71
“Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai selain Rasulullah ‫ﷺ‬

2. Orang yang berbuat banyak dosa lalu ia bertaubat


Sebagaimana kisah orang yang telah membunuh 99 jiwa lalu
mendatangi seorang rahib untuk menanyakan apakah masih ada pintu taubat
baginya. Namun rahib itu menjawab bahwa tidak ada pintu taubat baginya,
maka dibunuhlah rahib itu hingga genap 100 jiwa yang telah dibunuhnya.
Lalu ia mendatangi seorang alim ulama untuk menanyakan hal yang sama.
Ulama tersebut menjawab bahwa masih ada pintu taubat baginya dengan
syarat ia harus meninggalkan kampung asalnya yang penuh kejahatan dan
menuju suatu daerah di mana di sana banyak orang yang rajin beribadah.
Maka berangkatlah orang tersebut menuju daerah yang ditunjukkan
ulama tadi. Namun, di tengah perjalanan kematian terlebih dahulu
menjemput nyawanya. Lalu Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab berebut
untuk membawa nyawa orang tersebut hingga datanglah Malaikat berwujud
manusia yang memberikan solusi dengan cara mengukur jalan yang telah
ditempuhnya. Ternyata jarak ke arah daerah yang ditujunya lebih dekat
sehasta. Maka, dibawalah nyawanya oleh Malaikat Rahmat.72 Allah telah
mengampuni seluruh dosanya dan memasukkannya ke Surga, padahal ia
belum melakukan amal kebaikan apapun selain perjalanannya tersebut.
Sungguh, rahmat dan ampunan Allah sangatlah luas.

3. Seseorang yang baru masuk Islam lalu meninggal ketika berjihad di jalan
Allah.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan lainnya
bahwa ada seseorang yang melihat kaum Muslimin berperang lalu ia pun
ingin ikut berperang. Maka disiapkanlah baju besi lalu ia mendatangi
Rasulullah ‫ﷺ‬ seraya berkata: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬
, apakah aku masuk Islam
terlebih dahulu ataukah aku berperang?” Maka Rasulullah ‫ﷺ‬ menyuruhnya

71
Shahih: HR. Muslim (no. 121).
72
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3470) dan Muslim (no. 2766) dan Abu Sa’id al-Khudri.
42
masuk Islam terlebih dahulu. Setelah mengucapkan syahadat ia pun
berperang hingga ia tewas terbunuh. Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Dia beramal sedikit namun diberikan pahala yang besar (Surga).”73


Ketahuilah—semoga Allah merahmati kita semua, hadits ini
menunjukkan bahwa amal tergantung pada akhirnya. Oleh karena itu, kita
tidak boleh tertipu dengan amal-amal yang telah kita kerjakan. Kita tidak
boleh berkeyakinan bahwa banyaknya amal yang telah dilakukan menjamin
kita akan masuk Surga.
Akan tetapi yang harus dilakukan adalah senantiasa memohon kepada
Allah agar memasukkan kita ke dalam Surga dan dijauhkan dari api Neraka
serta memohon kepada Allah agar amal-amal kita diterima oleh-Nya.
Hendaknya seorang Muslim berada dalam dua keadaan, yaitu khauf (takut)
dan raja (harap).
Sebagaimana tidak boleh pula memastikan bahwa seseorang tidak
akan mendapat petunjuk, atau mengatakan bahwa seseorang tidak akan
diampuni oleh Allah. Atau memastikan orang masuk Surga atau Neraka.
Karena semua ini hanya Allah yang tahu.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada seorang yang mengatakan
kepada seorang pendosa: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu
atau Allah tidak akan memasukkanmu ke Surga.” Maka Allah mengutus
Malaikat untuk mencabut arwah keduanya, lalu Allah berkata kepada
pendosa itu: “Pergi dan masuklah ke Surga dengan rahmat-Ku.” Lalu Dia
berkata kepada seorang lagi:

“Apakah engkau lebih mengetahui daripada Aku? Apakah engkau berkuasa


atas apa yang ada di tangan-Ku?” Lalu Allah berkata: “Bawalah ia ke
Neraka.”
Maka Abu Hurairah berkata:

“Demi Rabb yang jiwa Abui Qasim berada di tangan-Nya, sungguh ia telah
mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.”74
Bahkan, Nabi pernah ditegur langsung oleh Allah dikarenakan beliau
mendoakan keburukan dalam qunut Nazilah bagi Shafwan bin Umayyah,
Suhail bin Amr, dan al-Harits bin Hisyam ketika Perang Uhud. Kemudian
Allah menurunkan ayat:

“Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat


mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang
zhalim.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 128)75
Nabi sendiri tidak mengetahui tentang akhir hayat seseorang. Bahkan,
ketiga orang yang beliau doakan dengan keburukan karena permusuhan

73
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2808) dan Muslim (no. 1900) dari al-Bara’
74
Hasan: HR. Ahmad (II/323), Abu Dawud (no. 4901), Ibnu Hibban (al-Ta’liqat al-Hisan [no.
5682]). Sanadnya hasan, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam takhrij Syarah ‘Aqidab at-
Thahawiyah (hlm. 319) dari Abu Hurairah. Perkataan yang terakhir ini, yang benar adalah perkataan
Abu Hurairah (Lihat Sunan Abi Dawud [no. 4901] dan Mausu’ah Musnadi Imam Ahmad [XIV/47,
no. 3004]).
75
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 4070) secara mursal dan disambungkan oleh al-Tirmidzi (no. 3004).
43
mereka terhadap Islam pada akhirnya bertaubat dan masuk Islam di akhir
hayatnya, yaitu pada saat Fathu Makkah.

Beberapa Kandungan Hadits

1. Dianjurkan berdoa agar ditetapkan dalam agama. Sebagaimana doa yang


sering dibaca oleh Nabi:

“Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada


agama-Mu.”76
2. Dianjurkan untuk selalu berdoa kepada Allah agar diberikan husnul
khatimah (akhir kehidupan yang baiki) dan berlindung kepada Allah dari
su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
3. Janganlah seorang hamba tertipu dengan amal kebaikannya. Bahkan,
wajib atasnya untuk selalu berada antara khauf (takut) dan raja’ (harap).
4. Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dari akhirnya, baik atau
buruk akhir kehidupannya.
5. Sesungguhnya amal-amal sebagai sebab seseorang masuk Surga atau
Neraka.
6. Sesungguhnya sengsara dan bahagianya seorang hamba tidak ada
yang mengetahui kecuali hanya Allah.
7. Boleh bersumpah atas berita yang benar yang berfungsi untuk
menguatkan keyakinan orang yang mendengarnya. Dalam hadits ini,
Nabi bersumpah dengan mengucapkan: “Maka demi Allah yang tidak
ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia.”
8. Dianjurkan merasa cukup dengan rezeki yang telah Allah karuniakan
dan merasa puas atas rezeki dengan diiringi usaha yang benar.
Walaupun Allah telah menetapkan rezeki bagi kita, akan tetapi kita
tetap wajib berusaha untuk mencarinya. Hal ini sebagai sebab untuk
mendapatkan rezeki. Kemudian, sekecil apapun rezeki yang kita
dapatkan harus disyukuri. Nabi bersabda:

“Sungguh berbahagia orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang


cukup, dan qana’ah (merasa puas) dengan apa yang Allah berikan.”77
Apabila timbul godaan syaitan yang membuat kita tidak puas
terhadap rezeki yang kita dapat, maka kita harus melihat kepada orang
yang ada di bawah kita, yaitu orang yang keadaannya lebih buruk dari
kita.
9. Kehidupan itu di tangan Allah. Seorang hamba tidak akan mati
sehingga telah sempurna rezeki dan umurnya.
10. Amal-amal kebaikan seseorang tidak dapat memastikan orang
tersebut sebagai ahli Surga. Sebagaimana amal-amal keburukan juga

76
Shahih: HR. Al-Tirmidzi (no. 3522), Ahmad (VI/302, 315) dari Ummu Salamah dan al-Hakim
(I/525) dari al-Nawwas bin Sam’an, dishahihkan dan disepakati oleh al-Dzahabi. Lihat juga Shahih
al-Tirmidzi (III/171 no. 2792). Ummu Salamah berkata: “Doa itu merupakan doa Nabi yang paling
banyak (dibaca).”
77
Shahih: HR. Muslim (no. 1054), Ahmad (II/168), al-Hakim (IV/123), dan yang lainnya dari
Abdullah bin Amr bin Ash.
44
tidak dapat memastikan seseorang sebagai ahli Neraka. Karena yang
menentukan ialah akhir kehidupan seseorang.

HADITS KELIMA
MENOLAK KEMUNGKARAN DAN BID’AH

‫ول اللَِّه‬ ِ ِ ِ ِ ِِ
ُ ‫ َر ُس‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫ني أ ُِّم َعْبد اللَّه َعائ َشةَ َرض َ اللَّهُ َعْن َها‬ َ ‫َع ْن أ ُِّم الْ ُم ْؤمن‬
‫ُ َوُم ْنلِم‬ ‫ َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬."‫س ِمْنهُ فَ ُه َو َرد‬ ِ ِ َ ‫َح َد‬
َ ‫ث أ َْمرنَا َه َها َما لَْي‬ ْ ‫" َم ْن أ‬
. "‫س َعلَْي ِه أ َْمُرنَا فَ ُه َو َرد‬ ِ ٍِ ِ ٍ ِ ِ
َ ‫" َم ْن َعم َل َع َم ًَل لَْي‬:‫َو رَوايَة ل ُم ْنلم‬
Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah: Aisyah, ia berkata; Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan hal yang haru dalam urusan
(agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut
tertolak.”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Barangsiapa


melakukan amalan, yang tidak termasuk dalam urusan agama kami, maka
amalan tersebut tertolak.”

Syarah Hadits

Imam al-Nawawi mengatakan: “Hadits ini merupakan salah satu


pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang
penuh arti yang dikaruniakan kepada Nabi. Hadits ini dengan tegas menolak
setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang diada-
adakan (direkayasa). Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai
dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang
merusak.”78
Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat th. 795 H) berkata: “Hadits ini adalah
salah satu prinsip dasar agung dari prinsip-prinsip dasar Islam dan barometer
dari amal perbuatan yang zhahir (terlihat). Sebagaimana hadits: ‘Innamal a
‘malu bin-niyyat....’ (Sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung

78
Syarah Shahih Muslim (XII/16).
45
dengan niatnya ....) merupakan barometer dari setiap perbuatan dari segi
batin (niat). Sesungguhnya setiap amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk
mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala.”

A. Islam Dilakukan Dengan Cara Ittiba’ (Mengikuti Sunnah), Bukan


Ibtida’ (Membuat Bid’ah)
Melalui hadits ini Nabi menjaga kemurnian Islam dari orang- orang
yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawdmi’ul kalim (kalimat
singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai nash al-Qur-an
yang menyatakan bahwa keselamatan seseorang hanya akan didapat dengan
mengikuti petunjuk Rasulullah ‫ﷺ‬ , tanpa menambah ataupun mengurangi,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

“Katakanlah (Muhammad): Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku,


niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. ’Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 31)

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa dalam


khutbahnva, Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk


adalah petunjuk Nabi Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah yang
dibuat-buat dan setiap bid’ah adalah sesat.”79
Dalam riwayat al-Baihaqi dan al-Nasai terdapat tambahan: “Dan
semua kesesatan tempatnya di Neraka.”80

B. Berbagai Perbuatan Yang Tertolak


Hadits ini merupakan dasar yang jelas bahwa semua perbuatan yang
tidak didasari oleh perintah syari’at adalah tertolak. Hadits ini juga
menunjukkan bahwa semua perbuatan, baik yang berhubungan dengan
perintah maupun larangan terikat dengan hukum syari’at. Karenanya,
sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari ketentuan yang telah
ditentukan syari’at, seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syari’at dan
bukan syari’at yang menghukumi perbuatan. Oleh karena itu setiap orang
Islam wajib menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut (yang ada di
luar ketentuan syari’at) adalah batil dan tertolak. Perbuatan-perbuatan yang
ada di luar ketentuan syariat ini terbagi dua, ibadah dan muamalah.

1. Dalam ibadah
Ibadah pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang dicontohkan oleh syari’at.
Setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan satu ibadah maka
harus ada dalil yang shahih yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah
tersebut. Jika ibadah yang dilakukan seseorang keluar dari hukum syari’at,
maka perbuatan tersebut tertolak. Ini masuk dalam firman Allah :

79
Shahih: HR. Muslim (no. 867) dari Jabir bin Abdillah.
80
Shahih: HR. Al-Nasai (III/188-189) dan al-Baihaqi dalam al-Asma’ was Shifat (I/310).
46
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan
aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah? Dan
sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah
hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang
zhalim itu akan mendapat adzab yang sangat pedih. ” (Qs. Asy-Syura [42]:
21)
Kadang, orang menyangka bahwa jika dengan melakukan suatu
ibadah bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka pendekatan tersebut juga
bisa dilakukan dengan perbuatan yang lain. Sebagai contoh, dimasa Nabi
Muhammad ada orang yang berpuasa sambil berdiri dibawah sengatan terik
matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu Rasulullah ‫ﷺ‬
menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan
puasanya.
Para ulama telah sepakat bahwa ibadah itu tidak sah kecuali apabila
terkumpul dua syarat, pertama ikhlas karena Allah dan yang kedua
mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah ‫ﷺ‬ . Hendaknya diketahui
bahwasanya mutaba’ah (ittiba) tidak akan terwujud melainkan bila amal itu
sesuai dengan syari’at Islam dalam enam perkara:
Sebab, jenis, kadar (ukurannya), kaifiyat (cara), waktu, dan tempat.
Pertama, Sebab. Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada
Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah
bid’ah dantidak diterima. Contoh: Ada orang yang melakukan shalat Tahajud
pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam
ituadalah malam mi’raj Rasulullah ‫ﷺ‬ (dinaikkan ke atas langit). Shalat
tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi
bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan
dalam syari’at. Syarat ini adalah penting, karena dengan demikian dapat
diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun
sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua, jenis. Artinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam
jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh, seorang yang
menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi
ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta,
sapi dan kambing.
Ketiga, kadar (bilangan). Kalau ada seseorang yang menambah
bilangan raka’at shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat
tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan
ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Sebagai contoh apabila
ada orang shalat Zhuhur lima rakaat, maka shalatnya tidak sah.
Keempat, kaifiyat (cara). Seandainya ada orang yang shalat, dia sujud
dulu sebelum ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak
sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.
Kelima, waktu. Apabila ada orang yang menyembelih binatang
kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu
pelaksanaannya tidak menurut ajaran Islam. Contoh lain, orang yang shalat
sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak diterima.

47
Keenam, tempat. Andaikata ada orang yang beri’tikaf di tempat
selain masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di
masjid.81

2. Dalam Muamalah dan Keduniaan


Hukum asal dalam muamalah adalah halal, kecuali muamalah yang
diada-adakan yang memang ada keterangan dari syari’at diharamkannya
muamalah tersebut. Permasalahan ini, secara lebih rinci, bisa dibaca di buku-
buku fiqih. Semua hal baru dalam urusan keduniaan hukum asalnya boleh
dan tidak termasuk bid’ah menurut sebagian ulama. Sebagian ulama
menyebutnya bid’ah hasanah. Imam Al-Syathibi menyebutkan bahwa
perbedaan ini hanya perbedaan istilah saja.

C. Perbuatan Baru Yang Diterima


Dalam kehidupan ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak
bertentangan dengan syari’at. Bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-
dasar syara’. Maka perkara-perkara tersebut diterima. Para sahabat banyak
mencontohkan hal ini. Seperti pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu
Bakar, penyeragaman bacaan al-Qur’an di masa Utsman bin Affan dengan
mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai para qari’.
Contoh lain, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan berbagai
ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat
bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan
hukum Allah di muka bumi ini.
Dari beberapa uraian di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa
perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syari’at maka
perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun perkara
yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at bahkan sesuai dan
didukung syari’at, maka perkara tersebut baik dan diterima. Dari perkara-
perkara itu ada yang sunnah, ada juga yang sifatnya fardhu kifayah.
Sebagian ulama menamakan hal yang seperti ini bid’ah hasanah. Sebagian
lagi menyebutnya mashalih mursalah.
Bid’ah yang sesat pun bervariasi, ada yang makruh dan ada yang
haram, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan
nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan perbuatan bid’ah tersebut
seseorang bisa terjerumus pada kekufuran dan kesesatan, misalnya: orang
yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syari’at
Allah, mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh
penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan.

D. Faedah Penyebutan Riwayat Kedua


Faedah dari penyebutan hadits kedua: “Barangsiapa melakukan
amalan, yang tidak ada dalam agama kami, maka ia ditolak”, karena
sebagian ahli bid’ah membantah riwayat pertama “Barangsiapa yang
menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar
hukumnya maka ia ditolak”, dengan argumen mereka: “kami tidak pernah

81
Al-Ibda‘fi kamali al-Syar’i wa khathar al-ibtida’ (hlm. 20-23) dan Syarah Arba’in oleh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin hlm. 114-118).
48
menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan telah kami dapatkan dari
orang-orang sebelum kami.”
Maka dengan penyebutan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak
bernilai.

E. Faedah Lain Hadits Tersebut


1. Dari hadits di atas bisa kita pahami bahwa barangsiapa yang mereka-
reka satu amalan, maka dosanya ia sendiri yang menanggung dan
amalan tersebut tertolak.
2. Setiap larangan cenderung pada dampak kerusakan.
3. Agama Islam sudah sempurna tidak ada satu kekurangan pun.

HADITS KEENAM
HALAL DAN HARAM

‫ول اللَِّه‬
َ ‫ َِس ْعت َر ُس‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ان بْ ِن بَ ِش ٍري َر ِض َ اللَّهُ َعْن ُه َما‬ ِ ‫عن أَِِب عب ِد اللَّ ِه النععم‬
َْ َْ ْ َ
‫ َوبَْي نَ ُه َما أ ُُمور ُم ْشَبِ َهات َل يَ ْعلَ ُم ُه َّن َكثِري‬،‫اسََر َام بَ ِّني‬
ْ ‫ َوإِ َّن‬،‫إن ا ْسَََل َل بَ ِّني‬
َّ " :‫ول‬ُ ‫يَ ُق‬
ِ ‫ ومن وقَع ِ الشعب ه‬،‫ات فَ ْقد اسَب رأَ لِ ِدينِ ِه و ِعر ِض ِه‬ ِ ‫ فَمن اتَّ َقى الشعب ه‬،‫َّاس‬ ِ
‫ات‬ َُ َ َ ْ ََ ْ َ َْ ْ َُ ْ َ ِ ‫م ْن الن‬
‫ أََل َوإِ َّن لِ ُك ِّل‬،‫ك أَ ْن يَْرتَ َع فِ ِيه‬ُ ‫وش‬ِ ‫اسِمى ي‬
ُ َ ْ ‫الراع يَْر َعى َح ْوَل‬
ِ َّ ‫ َك‬،‫اسرِام‬
ََْ
ِ ‫َوقَ َع‬
‫صلَ َك‬ َ ‫ت‬ ْ ‫صلَ َح‬ َ ‫ضغَةً إ َذا‬ ْ ِ ‫ أََّل َوإِ َّن‬،ُ‫ أََّل َوإِ َّن ِْحَى اللَّ ِه َمَا ِرُمه‬،‫ك ِْحًى‬
ْ ‫اَِ َن ِد ُم‬ ٍ ِ‫مل‬
َ
." ُ ‫ أََل َوِه َ الْ َق ْل‬،ُ‫اَِ َن ُد ُكلعه‬ ْ ‫ت فَ َن َد‬ ْ ‫ َوإذَا فَ َن َد‬،ُ‫اَِ َن ُد ُكلعه‬
ْ
‫ُ َوُم ْنلِم‬
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Abu Abdillah Nu’man bin Basyir berkata; Aku mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah
jelas pula. Dan di antara keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar),
kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)nya. Barangsiapa yang
menghindari perkara-perkara syubhat, maka ia telah membersihkan agama
dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang syubhat
maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang
berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan
masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki tanah larangan,
ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah
bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka
baik pula seluruh tubuhnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh
tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” [HR. Al-
Bukhari dan Muslim]
49
Syarah Hadits

Hadits ini sangat penting dan memiliki manfaat yang sangat besar.
Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah syari’at. Ada
yang mengatakan bahwa hadits ini sepertiga dari ajaran Islam. Imam Abu
Dawud al-Sijistani menyebutnya sebagai: “Seperempat dari Islam.” Bahkan
jika dicermati, akan terlihat bahwa hadits ini mencakup semua ajaran Islam,
karena menjelaskan perkara- perkara yang halal, haram dan syubhat (samar).
Juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ataupun memperbaiki hati. Ini
mengharuskan seorang Muslim untuk mengetahui berbagai hukum syara’,
baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang). Hadits ini juga pijakan untuk
bersikap warn’, yakni meninggalkan perkara yang syubhat (samar).82

Di dalam hadits ini dibagi hukum menjadi tiga bagian. Ada perkara
yang jelas-jelas diperbolehkan. Ada perkara yang jelas-jelas dilarang. Dan
ada perkara-perkara yang syubhat (samar), yakni tidak jelas halal dan
haramnya.
Segala sesuatu dibagi menjadi tiga:
1. Jelas-jelas diperbolehkan. Seperti: Memakan yang baik-baik, buah-
buahan, binatang ternak, menikah, mengenakan pakaian yang tidak
diharamkan, makan roti, berbicara, berjalan, jual beli, dan lain-lain.
2. Jelas-jelas dilarang. Seperti: Makan bangkai, darah, daging babi,
menikah dangan perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, riba,
judi, mencuri, mengadu domba, minum khamr, zina, memakai sutera
dan emas untuk laki-laki, dan lain-lain.
3. Syubhat, yakni tidak jelas boleh atau tidaknya. Karena itu, banyak
orang yang tidak mengetahuinya. Adapun para ulama bisa
mengetahui melalui berbagai dalil al-Qur’an dan sunnah, maupun
melalui qiyas. Jika tidak ada nash dan juga tidak ada ijma’ maka
dilakukan ijtihad.

Meskipun demikian jalan terbaik adalah meninggalkan perkara


syubhat. Seperti: Tidak bermuamalah dengan orang yang hartanya
bercampur dengan riba. Adapun perkara-perkara yang diragukan akibat
bisikan syaitan, bukanlah perkara syubhat yang perlu ditinggalkan.
Misalnya: tidak mau menikah di suatu negeri karena khawatir yang menjadi
istrinya adalah adiknya sendiri yang sudah lama tidak bertemu. Atau tidak
mau menggunakan air di tengah tempat terbuka, karena dikhawatirkan
mengandung benda najis.
Sesungguhnya Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasul-Nya dan
menjelaskan di dalamnya untuk umat tentang halal dan haram yang mereka
butuhkan, seperti difirmankan oleh Allah :

“Dan Kami turunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan


segala sesuatu.” (Qs. An-Nahl [16]: 89)

82
Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah (hlm. 35).
50
Mujahid dan yang lainnya berkata: “Maksudnya, menjelaskan hal- hal
yang diperintahkan kepada kalian serta berbagai hal yang dilarang kepada
kalian.”83
Nabi tidaklah meninggal dunia sehingga beliau menjelaskan kepada
umat Islam apa-apa yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah kepada
mereka. Beliau bersabda:

“Aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih bersih di mana malamnya
seperti siangnya dan tidaklah berpaling darinya melainkan orang yang
binasa.”84
Tentang halal dan haram ada sebagiannya yang lebih jelas dari yang
lainnya. Perkara-perkara yang sudah jelas halal dan haramnya dan diketahui
oleh umat Islam, maka tidak ada udzur bagi seseorang atas ketidaktahuannya
tentang itu bila ia hidup (tinggal) di tengah-tengah kaum Muslimin. Ada juga
perkara-perkara yang hanya diketahui oleh para ulama, dan tersembunyi
(tidak diketahui) oleh umumnya kaum Muslimin.

Ibn al-Mundzir membagi syubhat menjadi tiga:


1. Sesuatu yang haram, namun kemudian timbul keraguan karena
tercampur dengan yang halal. Misalnya ada dua ekor kambing, salah
satunya disembelih penyembah berhala, namun tidak jelas kambing
yang mana yang disembelih penyembah berhala tersebut. Dalam hal
ini tidak diperbolehkan memakan daging tersebut, kecuali jika benar-
benar diketahui mana kambing yang disembelih penyembah berhala
dan mana yang disembelih orang Mukmin.
2. Kebalikannya, yakni sesuatu yang halal, namun kemudian timbul
keraguan. Seperti: seorang istri yang ragu apakah ia telah dicerai atau
belum. Atau seorang yang habis wudhu merasa ragu apakah
wudhunya sudah batal atau belum. Keraguan yang demikian ini tidak
ada pengaruhnya.
3. Sesuatu yang diragukan halal haramnya. Dalam masalah ini
lebih baik menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah ‫ﷺ‬ terhadap kurma yang beliau temukan di atas
tikarnya, beliau tidak memakan kurma tersebut karena
kekhawatiran kurma shadaqah. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Ketika
masuk rumah, saya mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil
untuk aku makan. Akan tetapi aku tidak jadi memakannya
karena takut kurma itu berasal dari shadaqah.”85 (Al-Wafi fi
Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah [hlm. 37])

Makna mutasyabihat (dalam riwayat lain: syubhat) jamak dari


mutasyabih yaitu sesuatu yang musykil yang tidak jelas tentang halal dan
haramnya.

83
Tafsir al-Thabari (VII/633-634).
84
Hasan: HR. Imam Ahmad (IV/126), Ibnu Majah (no. 43), dan al-Lalika-i dalam Syarhu Ushuli
I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 79) dari al-Irbadh bin Sariyah.
85
HR. Al-Bukhari (no. 2055) dan Muslim (no. 1070).
51
Imam Nawawi berkata: “.... Tidak jelas tentang halal dan haramnya,
karena itu kebanyakan manusia tidak tahu hukumnya, adapun Ulama
mengetahui hukumnya dengan nash (dalil), qiyas, ishtish-hab, dan selain itu.
Apabila dia ragu tentang sesuatu antara halal dan haram, sedangkan dalil dan
ijma’ tidak ada, maka seorang mujtahid diperbolehkan berijtihad, lalu ia
menggabungkannya kepada salah satu dari keduanya (halal dan haram)
dengan dalil-dalil syar’i.”86
Sabda Nabi tersebut menunjukkan bahwa ada sebagian manusia yang
mengetahui hal-hal yang mutasyabihat, namun sebagian besar dari mereka
tidak mengetahuinya.
Ada dua pihak yang termasuk dalam kategori orang-orang yang tidak
mengetahui hal-hal yang mutasyabihat:
Pertama, orang yang memilih diam dalam hal-hal mutasyabihat,
karena ketidakjelasan hal-hal mutasyabihat tersebut baginya.
Kedua, orang yang meyakini hal-hal mutasyabihat tersebut tidak
dalam bentuk aslinya. Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang lain
mengetahuinya. Maksudnya, orang lain mengetahui hal-hal mutasyabihat
dalam bentuk aslinya; halal atau haram. Ini dalil paling kuat bahwa orang
yang benar di sisi Allah dalam masalah-masalah halal dan haram yang tidak
jelas dan diperselisihkan ialah satu orang, sedang orang lain tidak
mengetahuinya dalam arti orang lain tidak benar dalam menetapkan hukum
Allah dalam masalah-masalah tersebut, kendati ia berkeyakinan di dalamnya
dengan keyakinan yang berpatokan pada syubhat yang ia kira dalil. Kendati
demikian, ia diberi pahala karena ijtihadnya dan kesalahannya diampuni
karena ketidaksengajaannya.87

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Sebab-sebab syubhat itu ada empat:


1. Kurangnya ilmu.
2. Kurangnya pemahaman (lemahnya pemahaman).
3. Lalai dalam mentadabbburkan, maksudnya tidak bersusah payah
untuk mentadabburkan makna ayat atau hadits, dan kurang
pembahasan.
4. Dan ini yang paling besar sebabnya yaitu su’u al-qashd, jeleknya
tujuan. Yaitu seseorang tujuannya hanya membela perkataannya saja
tanpa melihat benar dan salah. Orang yang niatnya jelek dan
mengikuti hawa nafsu, maka sulit untuk mencapai ilmu. Kita
memohon kepada Allah keselamatan.”88

Adapun maksud lafazh: “Barangsiapa yang menghindari perkara yang


syubhat (samar-samar) maka ia telah membersihkan agama dan
kehormatannya.” adalah agamanya selamat dari kekurangan dan
perilakunya selamat dari celaan, karena orang yang tidak menghindari hal-
hal syubhat, maka dia tidak akan selamat dari perkataan orang yang
mencelanya. Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang tidak menjauhkan

86
Syarah Shahih Muslim (XI/27-28)
87
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/203).
88
Syarah ‘Arba’in oleh Syaikh Utsaimin (hlm. 128-129).
52
diri dari syubhat dalam mencari mata pencaharian dan kehidupannya, maka
dia telah menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan dicela. Hal ini
mengandung petunjuk untuk selalu menjaga hal-hal yang berkaitan dengan
agama dan kemanusiaan.

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Barangsiapa meninggalkan dosa apa saja yang tidak jelas baginya, maka
terhadap sesuatu yang telah jelas, ia lebih meninggalkannya.89”90

Adapun lanjutan hadits ini, “Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara


yang syubhat (samar-samar), maka ia telah jatuh ke dalam perkara
yang haram.”Allah di muka bumi ini mempunyai tanah larangan yaitu
perbuatan dosa dan maksiat dan hal-hal yang diharamkan, Allah melarang
hamba-hamba-Nya mendekatinya, dan menamakannya sebagai batasan-
batasan-Nya. Barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan yang
diharamkan maka dia akan mendapatkan siksa Allah di dunia dan di akhirat.
Allah berfirman:
“Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya, demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.
” (Qs. Al-Baqarah [2]: 187)

Sufyan bin Uyainah berkata: “Seorang hamba tidak merasakan


hakikat iman hingga ia membuat pembatas dari halal antara dirinya dengan
haram dan hingga ia meninggalkan dosa dan sesuatu yang mirip
dengannya.”91

Hasan al-Bashri berkata: “Ketakwaan senantiasa melekat pada orang-


orang yang bertakwa selama ia meninggalkan beberapa hal yang
diperbolehkan karena takut hal tersebut dilarang.”

Selanjutnya Nabi bersabda,“Seperti penggembala yang berada di dekat


pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah larangan.
Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkannya.”
Tujuan perumpamaan tersebut adalah agar tampak jelas, seperti seseorang
melihat tanah yang dipagari. Pada saat itu raja-raja Arab memiliki tanah
yang dipagari yang dikhususkan untuk hewan-hewan ternaknya, dan
mengancam dengan hukuman keras bagi orang yang mendekatinya. Orang
yang takut dengan hukuman raja tentu tidak akan mendekati pagar tersebut.
Namun bagi orang yang tidak takut, ia akan mendekatinya dan menggembala
di tepian pagar hingga melintasi pagar yang ada, akibatnya ia pun mendapat
hukuman. Sebagaimana para raja, Allah juga mempunyai berbagai pagar.
Pagar-pagar tersebut adalah berbagai larangan-Nya. Barangsiapa yang
melanggar larangan-larangan tersebut, akan mendapat hukuman baik di

89
HR. Al-Bukhari (no. 2051).
90
Diringkas dari Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/203-204).
91
Hilyah al-Auliya’ (VII/339, no. 10771).
53
dunia maupun di akhirat. Barangsiapa yang mendekati larangan, dengan
melakukan perkara-perkara syubhat, maka ia pun dikhawatirkan dan bahkan
bisa terjerumus pada hal yang dilarang.92

Kemudian di akhir hadits, Nabi bersabda, “Ketahuilah bahwa di


dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka
baik pula seluruh tubuhnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh
tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati (secara
medis sebenarnya qalb bermakna jantung, namun dalam pembahasan
cinta dan agama, sering diterjemahkan hati -pent).” Baik buruknya
seseorang, tergantung hati (jantung). Karena jantung merupakan bagian
terpenting dalam tubuh manusia. Secara medis juga demikian, jantung
merupakan penentu bagi seseorang, andaikan hati seseorang baik, maka ia
akan mampu mensuplai darah dengan baik ke seluruh tubuh.
Hati yang baik akan menimbulkan perbuatan yang baik. Karenanya
jika hati itu baik dan hanya dipenuhi dengan kehendak Allah, niscaya amal
perbuatannya hanya yang sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga ia
bersegera dalam melakukan perbuatan yang diridhai Allah dan
meninggalkan perbuatan yang dibenci.”93
Oleh karena itu, dikatakan bahwa hati adalah raja sedang organ tubuh
lainnya adalah tentaranya. Organ tubuh tersebut taat kepada hati, termotivasi
patuh kepadanya, mengerjakan seluruh instruksinya, dan tidak
menentangnya dalam perkara apapun. Jika raja baik, maka tentara-
tentaranya juga baik. Sebaliknya, jika raja tersebut rusak, rusak pula tentara-
tentaranya. Tidak ada yang berguna di sisi Allah kecuali hati yang selamat
seperti difirmankan oleh Allah: “(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-
anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan
hati yang bersih. ” (Qs. Asy-Syu’ara’ [26]: 88-89)
Al-Hasan berkata kepada seseorang: “Obatilah hatimu, karena
keperluan Allah kepada para hamba-Nya ialah kebaikan hati mereka.”
Maksudnya, keinginan dan tuntutan Allah kepada para hamba-Nya ialah
kebaikan hati mereka, karena hati tidak akan baik hingga di dalamnya
tertanam sifat mengenal Allah, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, takut
kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya, serta bertawakkal kepada-Nya.

Beberapa Pelajaran Hadits

1.Allah dan Rasul-Nya sudah menjelaskan yang halal dan haram.


2.Di antara halal dan haram ada yang syubhat.
3.Banyak manusia yang tidak mengetahui perkara syubhat.
4.Dianjurkan melakukan yang halal dan meninggalkan syubhat.
5.Barangsiapa yang jatuh dalam perbuatan syubhat, maka ia lebih dekat
jatuh kepada yang haram.
6. Wajib atas seorang Muslim menjaga kehormatan dirinya dan
agamanya dan berusaha menjauhkan dari setiap apa-apa yang
merusak agama dan kehormatannya.

92
Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah (hlm. 38).
93
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (1/213).
54
10. Hati ini sebagai komandan dari seluruh anggota tubuh. Kalau hati ini
baik, maka seluruh tubuh akan baik. Tetapi apabila hati ini jelek,
maka seluruh tubuh akan jelek.

HADITS KETUJUH
AGAMA ADALAH NASIHAT

:‫ قُ ْلنَا‬.ُ‫يحة‬ ِ
َ ‫ "الدِّي ُن النَّص‬:‫ال‬ َ َ‫ب ق‬ َّ َِّ‫ُ أَ َّن الن‬ِّ ‫َع ْن أَِِب ُرقَيَّةَ ََتِي ِم بْ ِن أ َْو ٍس الدَّا ِر‬
. "‫ني َو َع َّامِ ِه ْم‬ ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ‫لِمن؟ ق‬
َ ‫ َوِْلَئ َّمة الْ ُم ْنلم‬،‫ َولَر ُسوله‬،‫ َولكَابِه‬،‫ال للَّه‬ َْ
‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬
Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dari dari Rasulullah ‫ﷺ‬bahwasanya
beliau bersabda: “Agama itu adalah nasihat.” Mereka (para Sahabat)
bertanya: “Untuk siapa, wahai Rasulullah ‫ﷺ‬?” Beliau menjawab: “Untuk
Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin, dan kaum
Muslimin pada umumnya.” [HR. Muslim]

Syarah Hadtis

Nabi bersabda, “Agama adalah nasihat (ketulusan).” Hadits ini merupakan


ucapan yang singkat dan padat, yang hanya dimiliki Nabi. Ucapan yang
singkat namun mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Semua
hukum syari’at, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) terdapat
padanya. Bahkan satu kalimat saja “Wa li Kitabihi” sudah mencakup
semuanya. Karena Kitab Allah mencakup seluruh permasalahan agama, baik
ushul maupun furu’, perbuatan maupun keyakinan. Oleh karena itu, ada
ulama yang berpendapat bahwa hadits ini merupakan poros ajaran Islam.94
Dalam hadits ini Rasulullah ‫ﷺ‬ menamakan agama sebagai nasihat
(ketulusan). Padahal beban syari’at sangat banyak dan tidak terbatas hanya

94
Al-Wafi (hlm. 41).
55
pada nasihat. Lalu apakah maksud beliau? Para ulama telah memberikan
jawaban.
Pertama: Hal ini bermakna, bahwa hampir semua agama adalah
nasihat, sebagaimana halnya sabda beliau: “Haji itu adalah wukuf di
‘Arafah.”95 Padahal haji tidak hanya wukuf, tetapi disebut demikian karena
wukuf adalah unsur pentingnya.

Kedua: Agama itu seluruhnya adalah nasihat (ketulusan). Karena


setiap amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas, maka tidak termasuk
agama.96 Setiap nasihat untuk Allah menuntut pelaksanaan kewajiban agama
secara sempurna. Inilah yang disebut derajat ihsan. Tidaklah sempurna
nasihat untuk Allah tanpa hal ini. Tidaklah mungkin dicapai bila tidak
disertai kesempurnaan cinta yang wajib dan sunnah. Diperlukan
kesungguhan mendekatkan diri kepada Allah m dengan melaksanakan
sunnah-sunnah secara sempurna dan meninggalkan hal-hal yang haram dan
makruh secara sempurna pula.97
Ketiga: Nasihat meliputi seluruh bagian Islam, iman, dan ihsan
sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jibril.
Dengan demikian jelaslah keterangan para ulama tentang maksud
sabda Nabi: “Agama itu nasihat.” Karena nasihat (ketulusan) adakalanya
bermakna pensifatan sesuatu dengan sifat kesempurnaan Allah, Kitab-Nya,
dan Rasul-Nya. Adakalanya merupakan penyempurnaan kekurangan yang
terjadi, berupa nasihat untuk pemimpin dan kaum Muslimin pada umumnya,
sebagaimana rincian selanjutnya dalam hadits ini.

1. Nasihat untuk Allah


Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi (wafat th. 294 H) berkata:
“Nasihat hukumnya ada dua: yang pertama wajib dan yang kedua sunnah.
Adapun nasihat yang wajib untuk Allah, yaitu perhatian yang sangat dari
pemberi nasihat untuk mengikuti apa-apa yang Allah cintai, dengan
melaksanakan kewajiban dan dengan menjauhi apa-apa yang Allah
haramkan. Sedangkan nasihat yang sunnah adalah dengan mendahulukan
perbuatan yang dicintai Allah daripada perbuatan yang dicintai oleh dirinya
sendiri.”98
Imam al-Nawawi menyebutkan bahwa termasuk nasihat untuk Allah
adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan
berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah. Adapun makna nasihat untuk
Allah adalah beriman kepada Allah, menafikan sekutu bagi-Nya, tidak
mengingkari sifat-sifat-Nya, mensifatkan Allah dengan seluruh sifat yang
sempurna dan mulia, mensucikan Allah dari semua sifat-sifat yang kurang,
melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan maksiat, mencintai karena
Allah, benci karena-Nya, loyal (mencintai) orang yang taat kepada-Nya,
memusuhi orang yang durhaka kepada-Nya, berjihad melawan orang yang

95
Shahih: HR. Alsu Dawud (no. 1949), al-Nasai (V/256), dan al-Tirmidzi (no. 2975). Lihat Fath
al-Bari (I/138).
96
Fath al- Bari (I/138).
97
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/218).
98
Ta’zhimu Qadrish Shalah (II/691-692).
56
kufur kepada-Nya, serta senantiasa mengakui nikmat-Nya, dan bersyukur
atas segala nikmat-Nya ....99

2. Nasihat untuk Kitabullah.


Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi berkata: “Sedangkan
nasihat untuk Kitabullah ialah dengan sangat mencintainya dan
mengagungkan kedudukannya karena al-Qur-an itu adalah Kalamullah,
berkeinginan kuat untuk memahaminya, mempunyai perhatian yang besar
dalam merenunginya, serius dan penuh konsentrasi membacanya untuk
mendapatkan pemahaman maknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allah
untuk dipahami, dan setelah memahaminya ia mengamalkan isinya. Begitu
pula halnya seorang yang menasihati dari kalangan hamba, dia akan
mempelajari wasiat dari orang yang menasihatinya. Apabila ia diberikan
sebuah buku dengan maksud untuk dipahaminya, maka ia mengamalkan apa-
apa yang tertulis dari wasiat tersebut. Begitu pula pemberi nasihat untuk
Kitabullah, dia dituntut untuk memahaminya agar dapat mengamalkannya
karena Allah sesuai dengan apa yang Allah cintai dan ridhai, kemudian
menyebarluaskan apa yang dia pahami kepada manusia, dan mempelajari
al-Qur’an terus-menerus didasari rasa cinta kepadanya, berakhlak
dengan akhlaknya, serta beradab dengan adab-adabnya.”100
Hal ini diwujudkan dalam bentuk iman kepada Kitab-kitab Samawi
yang diturunkan Allah dan meyakini bahwa al-Qur-an merupakan penutup
dari semua Kitab-kitab tersebut. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang penuh
dengan mukjizat, yang senantiasa terpelihara, baik dalam hati maupun dalam
lisan.

3. Nasihat untuk Rasulullah ‫ﷺ‬

Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi mengatakan:


“Sedangkan nasihat untuk Rasulullah ‫ﷺ‬ di masa hidupnya ialah dengan
mengerahkan segala kemampuan secara sungguh-sungguh dalam rangka
taat, membela, menolong, memberikan harta (untuk perjuangan menegakkan
agama Allah) bila beliau menginginkannya, dan bersegera untuk mencintai
beliau.
Adapun setelah beliau meninggal, maka dengan perhatian dan
kesungguhan untuk mencari sunnahnya, akhlak, dan adab-adabnya,
mengagungkan perintahnya, istiqomah dalam melaksanakannya, sangat
marah dan berpaling dari orang yang menjalankan agama yang bertentangan
dengan Sunnahnya, marah terhadap orang yang menyia-nyiakan Sunnah
beliau hanya untuk mendapatkan keuntungan dunia, meskipun ia meyakini
akan kebenarannya, mencintai orang yang memiliki hubungan dengan
beliau, dari kalangan karib kerabat atau familinya, juga dari kaum Muhajirin
dan Anshar, atau dari seorang Sahabat yang menemani beliau sesaat di
malam atau siang hari, dan dengan mengikuti tuntunan beliau dalam hal
berpenampilan dan berpakaian.”101

99
Syarah Shahih Muslim (II/38) oleh Imam al-Nawawi.
100
Ta’zhim Qadr al-Shalah (II/693).
101
Ta’zhim Qadr al-Shalah (no.693).
57
4. Nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin
Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi berkata: “Sedangkan
nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin ialah dengan mencintai
ketaatan mereka kepada Allah, mencintai kelurusan dan keadilan mereka,
mencintai bersatunya umat di bawah pengayoman mereka, benci kepada
perpecahan umat dengan sebab melawan mereka, mengimani bahwa dengan
taat kepada mereka dalam rangka taat kepada Allah, membenci orang yang
keluar dari ketaatan kepada mereka (yaitu membenci orang yang tidak
mengakui kekuasaan mereka dan menganggap halal darah mereka), dan
mencintai kejayaan mereka dalam taat kepada Allah.”102

Adapun para ulama, nasihat yang dilakukan untuk Kitabullah dan


Sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬ , dilakukan dengan jalan membantah berbagai pendapat
sesat yang berkenaan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Menjelaskan
berbagai hadits, apakah hadits tersebut shahih atau dha’if. Mereka juga
mempunyai tanggung jawab yang besar untuk selalu menasihati para
penguasa, dan senantiasa menyerukan agar mereka berhukum dengan
hukum Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka lalai dalam mengemban
tanggung jawab ini sehingga tidak ada seorang pun yang menyerukan
kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allah akan menghisabnya.
Kepada para ulama hendaklah mereka terus-menerus berusaha datang
menyampaikan kebenaran dan nasihat yang baik kepada pemerintah
(penguasa) dan sabar dalam melakukannya karena menyampaikan kalimat
yang baik termasuk seutama-utama jihad.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan (dalam riwayat lain:
kebenaran) di hadapan penguasa yang semena-mena.”103
Mereka pun akan dimintai pertanggungjawaban jika justru memuji
penguasa yang semena-mena, apalagi menjadi corong mereka.
Sedangkan nasihat kita untuk para ulama ialah dengan senantiasa
mengingatkan akan tanggung jawab itu, mempercayai hadits-hadits yang
mereka sampaikan, jika memang mereka bisa dipercaya. Juga dengan jalan
tidak mencerca mereka, karena ini dapat mengurangi kewibawaannya dan
menjadikan mereka bahan tuduhan.104

5. Nasihat untuk seluruh kaum Muslimin


Makna nasihat untuk kaum Muslimin pada umumnya adalah
dengan menolong mereka dalam kebaikan, melarang mereka berbuat
keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka
dengan sekuat tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan untuk mereka
sebagaimana ia mencintainya untuk diri sendiri karena mereka semua adalah

102
Ta’zhim Qadr al-Shalah (II/693-694).
103
Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4344), al-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Majah (no. 4011) dari
Abu Sa’id al-Khudri. Lihat Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (no. 491).
104
Al-Wafi (hlm. 44-45).
58
hamba-hamba Allah. Maka seorang hamba harus memandang mereka
dengan kacamata yang satu, yaitu kacamata kebenaran.105

Beberapa Pelajaran Hadits

1. Nasihat (ketulusan) memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam


agama Islam, dan merupakan pokok agama.
2. Nasihat ditujukan kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin
kaum Muslimin, dan kepada kaum Muslimin pada umumnya.
3. Wajibnya menasihati para pemimpin kaum Muslimin dengan cara
yang dibenarkan menurut syari’at Islam.
4. Anjuran menasihati kaum Muslimin dalam perkara dunia dan akhirat
mereka.
5. Wajibnya memurnikan kecintaan kepada Allah, mengagungkan hak-
hak-Nya dan taat kepada-Nya sebagai realisasi nasihat untuk Allah.
6. Wajibnya membaca, mempelajari, serta mentadaburkan al-Qur-an.
Wajib memahami al-Qur’an dan as-Sunnah mengikuti pemahaman
Salafush Shalih.
7. Wajib ikhlas dalam memberikan nasihat.
8. Nasihat dikatakan agama karena iman terdiri dari perkataan dan
perbuatan.
9. Nasihat termasuk dari iman. Karena itulah Imam al-Bukhari
memasukkan dalam kitab Shahih-nya, dalam Kitab “al-Iman”.
10. Wajibnya beriman dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬ , taat
kepadanya, membenarkan dan menghidupkan sunnah-sunnah beliau.

105
Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah (hlm. 48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.
59
HADITS KEDELAPAN
KEHORMATAN DARAH DAN HARTA
SEORANG MUSLIM

ِ ِ َ َ‫ول اللَّ ِه ق‬ َّ ‫ أ‬،‫َع ْن ابْ ِن عُ َمَر َر ِض اللَّهُ َعْن ُه َما‬


َ ‫ "أُمْرت أَ ْن أُقَات َل الن‬:‫ال‬
‫َّاس‬ َ ‫َن َر ُس‬ َ
ِ ِ ُ ‫َن ُم َّم ًدا رس‬
‫ َويُ ْؤتُوا‬،‫لص ََل َة‬
َّ ‫يموا ا‬ ُ ‫ َويُق‬،‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َّ ‫َح ََّّت يَ ْش َه ُدوا أَ ْن َل إلَهَ َّإل اللَّهُ َوأ‬
‫ َو ِح َنابُ ُه ْم‬،‫ص ُموا ِم ِِّن ِد َماءَ ُه ْم َوأ َْم َوا َلُ ْم َّإل ِِبَ ِّق ا ِْل ْس ََلِم‬ ِ
َ ‫ك َع‬ َ ‫الزَكا َة؛ فَِإ َذا فَ َعلُوا َذل‬
َّ
. "‫اَل‬ َ ‫َعلَى اللَّ ِه تَ َع‬
‫ُ َوُم ْنلِم‬
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Aku
diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan
membayar zakat. Jika mereka melaksanakan hal tersebut, maka darah
dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam dan
hisab (perhitungan) mereka diserahkan kepada Allah.”

Syarah Hadits

Hadits ini sangat agung karena menjelaskan kaidah-kaidah agama dan


pokoknya berupa mentauhidkan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat,

60
melaksanakan jihad fi sabilillah, dan pelaksanaan berbagai kewajiban
lainnya dalam syari’at Islam. Hadits ini pun menerangkan bahwasanya darah
dan harta seorang Muslim adalah haram (tidak boleh ditumpahkan dan
dirampas).106

Nabi bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia.” Yang


menyuruh Nabi memerangi manusia adalah Allah. Sebab, tidak ada yang
memerintah beliau selain Allah. Apabila seorang Sahabat berkata: “Kami
diperintah dengan ini, atau kami dilarang dari ini,” maka orang yang
memerintah dan melarang mereka adalah Rasulullah ‫ﷺ‬ .107
Dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan sabda Rasulullah
‫‘ﷺ‬Aku diperintah untuk memerangi manusia.’ Manusia yang dimaksud di
sini adalah kaum musyrikin penyembah berhala, bukan Ahlul Kitab. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat al-Nasai, Nabi bersabda: “Aku diperintahkan
untuk memerangi kaum musyrikin ....”108

Sabda beliau: “Kecuali dengan hak Islam.” Lafazh ini hanya


diriwayatkan al-Bukhari, sedangkan Muslim tidak meriwayatkannya.
Ada hadits semakna yang diriwayatkan dari Rasulullah ‫ﷺ‬dari
berbagai jalur. Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan hadits dari Anas bin
Malik , dari Nabi, beliau bersabda:

“Aku diperintahkan memerangi manusia (yakni kaum musyrikin) hingga


mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.
Jika mereka telah bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
kemudian shalat seperti shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan
hewan sembelihan kami, sungguh darah dan harta mereka diharamkan
terhadap kami kecuali dengan haknya. Mereka memiliki hak yang sama
seperti kaum Muslimin dan mereka memiliki kewajiban yang sama seperti
kaum Muslimin.”109
Hadits yang sama diriwayatkan dari Abu Hurairah. Namun hadits
Abu Hurairah yang terkenal tidak ada penyebutan tentang mendirikan shalat
dan membayar zakat. Di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
disebutkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Aku
diperintahkan memerangi manusia hingga mereka mengatakan La ilaha
illallah. Barangsiapa yang mengucapkannya, maka darah dan jiwanya
terlindungi dariku, kecuali dengan haknya dan hisab (perhitungan) dirinya
diserahkan kepada Allah.”110

106
Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 97).
107
Lihat Fath al-Qawiyy al-Matin fi Syarhi al-Arba’in wa Tatimmah al-Khamsin (hlm. 46) karya
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr.
108
Lihat Fath al-Bari (I/77).
109
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 391, 392, 393), Ahmad (III/199/224-225), Ibnu Hibban (no.
5865— al-Ta’liqat al-Hisan ‘ala Shahih Ibni hibban), Abu Dawud (no. 2641), al-Tirmidzi (no.
2608), al-Nasai (VII/76, VIII/109), Muhammad bin Nashr al-Marwazi (no. 9), al-Baihaqi (III/92,
VIII/177), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 34), dan selainnya.
110
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1399,1456,6924,7284,7285) dan Ibnu Hibban (no.
174,216,217,218 —al-Ta’liqat al-Hisan).
61
Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Mereka telah melindungi darah dan harta
mereka dariku.” Ini menunjukkan bahwa ketika beliau bersabda seperti itu,
beliau telah diperintahkan berperang dan membunuh siapa saja yang
menolak masuk Islam. Itu semua terjadi pasca hijrahnya beliau ke Madinah.
Sebagaimana diketahui dengan pasti bahwa Nabi menerima siapa saja yang
datang kepada beliau untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat saja, kemudian beliau melindungi darah dan hartanya dan
menamakannya orang Muslim.
Nabi pernah mengecam keras pembunuhan yang dilakukan Usamah
bin Zaid terhadap orang yang berkata La ilaha illallah, yaitu ketika Usamah
bin Zaid mengangkat pedang kepadanya. Orang itu mengucapkan kalimat La
ilaha illallah, namun Usamah tetap membunuhnya.111

Pada hadits di atas, Nabi menjadikan sekedar mengucapkan dua


kalimat syahadat itu dapat melindungi jiwa dan harta, kecuali dengan
haknya. Di antara haknya ialah menolak shalat dan zakat setelah masuk
Islam seperti dipahami para Sahabat.112
Di antara dalil dari al-Qur-an yang menunjukkan kewajiban
memerangi kelompok yang menolak mendirikan shalat dan membayar zakat
ialah firman Allah :
“Jika mereka bertaubat dan melaksanakan shalat serta menunaikan zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka.” (Qs. At-Taubah [9]: 5)
Dan firman Allah :
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas
menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus (benar).” (Qs. Al-Bayyinah [98]: 5)

Ada perdebatan dalam masalah ini antara Abu Bakar ash-Shiddiq


dengan Umar bin al-Khathab seperti yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah ia mengatakan bahwa ketika
Rasulullah ‫ﷺ‬ wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi khalifah sepeninggal
beliau, dan di antara orang-orang Arab menjadi murtad (kafir): Umar berkata
kepada Abu Bakar: “Bagaimana engkau memerangi manusia, padahal
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: ‘Aku diperintahkan memerangi manusia hingga
mereka berkata bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
selain Allah. Barangsiapa berkata bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah, maka ia telah melindungi darah dan
hartanya dariku, kecuali dengan haknya dan hisabnya diserahkan kepada
Allah.’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, aku pasti memerangi orang-orang
yang memisahkan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta.
Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar zakat unta dan kambing
yang dulu mereka bayarkan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ , aku pasti memerangi
mereka karena penolakan mereka tersebut.’ Umar berkata: ‘Demi Allah,
ucapan itu saya pandang bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar

111
Shahih: HR. Muslim (no. 96, 97).
112
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/230).
62
untuk memerangi (mereka) kemudian aku tahu bahwa ia pihak yang
benar.’”113
Abu Bakar ash-Shiddiq memerangi mereka dengan berhujjah kepada
sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Kecuali dengan haknya. ”Itu menunjukkan bahwa
memerangi orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan
haknya itu diperbolehkan.
Di antara haknya ialah membayar hak harta yang wajib. Sedang Umar
bin Khathab menduga bahwa sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat itu
sudah melindungi darah di dunia karena berpatokan kepada keumuman
hadits pertama seperti diduga sejumlah orang bahwa orang yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat itu terlindungi dari masuk Neraka karena
berpatokan kepada keumuman redaksi hadits yang ada. Padahal yang
semestinya tidak seperti itu. Setelah itu: Umar bin al-Khathab rujuk kepada
pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq.
Perkataan Abu Bakar: “Demi Allah, aku pasti memerangi orang-orang
yang memisahkan antara shalat dengan zakat karena zakat adalah hak harta.”
Menunjukkan bahwa barangsiapa meninggalkan shalat, ia diperangi karena
shalat adalah hak badan. Begitu juga orang yang meninggalkan zakat, karena
zakat adalah hak harta.
Di sini terdapat dalil bahwa memerangi orang yang meninggalkan
shalat itu menjadi ijma’ (konsensus) bersama karena Abu Bakar
menjadikannya sebagai prinsip yang dikiaskan dengan zakat dan itu tidak
disebutkan secara tersurat dalam hadits yang dijadikan dasar oleh Umar S& .
Namun Abu Bakar mengambilnya dari sabda Nabi : “kecuali dengan hak
Islam” Begitu juga zakat, karena zakat termasuk hak harta. Itu semua
termasuk hak-hak Islam.
Dalil lain tentang dibolehkannya memerangi orang-orang yang
meninggalkan shalat ialah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dari
Ummu Salamah dari Nabi beliau bersabda:

“Sesungguhnya akan diangkat para pemimpin atas kalian. Tindakan mereka


ada yang kalian anggap benar dan ada pula yang kalian pandang munkar.
Siapa saja membenci tindakan munkar mereka, niscaya ia bebas dari dosa.
Siapa saja yang mengingkarinya, niscaya ia akan selamat. Namun siapa saja
yang ridha dan mengikuti (maka ia telah berdosa).” Para Sahabat berkata:
“Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ , kenapa kita tidak memerangi mereka?” Rasulullah
‫ﷺ‬ bersabda: “Tidak (tidak boleh memerangi mereka), selama mereka
mengerjakan shalat.”114
Hukum orang-orang yang meninggalkan seluruh rukun-rukun Islam
ialah diperangi sebagaimana diperangi karena meninggalkan shalat dan
zakat.115 Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Ubaid,
dan selain mereka.

113
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1399-1400, 1456-1457, 6924-6925, 7284-7285), Muslim (no. 20),
dan al-Nasai (V/14).
114
Shahih: HR. Muslim (no. 1854 [63]) dan Abu Dawud (no. 4760).
115
Shahih: HR. Ahmad (V/432-433).
63
Sabda Nabi: “Kecuali dengan hak Islam” Pengecualian dalam
hadits ini dalam ilmu Nahwu masuk kategori munqathi’ (terputus).
Maksudnya sesudah terjaga darah dan harta mereka, maka mereka wajib
melaksanakan hak Islam yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan
meninggalkan segala apa yang dilarang.116
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Abu Bakar memasukkan
pelaksanaan shalat dan zakat ke dalam hak Islam ini. Dan sebagian ulama
memasukkan pelaksanaan puasa dan haji ke dalam hak Islam ini pula.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Dan hisab mereka diserahkan kepada


Allah.” Maksudnya bahwa dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan
membayar zakat itu melindungi darah dan harta pelakunya di dunia, kecuali
jika ia mengerjakan perbuatan yang membuat darahnya halal. Sedang di
akhirat, hisabnya ada pada Allah. Jika ia benar, Allah memasukkannya ke
Surga. Jika ia bohong, ia bersama orang-orang munafik di dasar Neraka.

Beberapa Pelajaran Hadits

1. Hendaknya ulil amri mengajak (mendakwahkan) orang-orang kafir


kaum musyrikin hingga mereka mengucapkan dua kalimat syahadat,
mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat.
2. Hendaknya ulil amri menegakkan jihad untuk memerangi kaum
musyrikin sampai mereka masuk Islam.
3. Terjaganya darah dan harta bagi orang yang mengucapkan dua
kalimat syahadat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
4. Orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat wajib
melaksanakan shalat, zakat dan amal-amal lainnya dalam Islam.
5. Hadits ini sebagai bantahan terhadap Murji-ah, yang berpendapat
bahwa iman tidak membutuhkan amal. Oleh karena itu, al-Bukhari
memuat hadits ini dalam Kitabul Iman dalam Shahih-nya sebagai
bantahan terhadap Murji-ah.117
6. Orang yang menolak membayar zakat, maka ulil amri berhak untuk
memerangi mereka.
7. Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya mengkafirkan ahlu bid’ah
selama mereka mengikrarkan tauhid kepada Allah dan melaksanakan
syari’at Islam.118
8. Hadits ini menetapkan benarnya keberadaan hisab atas amal pada hari
Kiamat.
9. Besarnya urusan shalat dan zakat. Shalat adalah hak badan, sedangkan
zakat adalah hak harta.
10. Dalam hadits ini ada dalil bahwa taubatnya orang zindiq (munafik)
diterima, sedang apa yang tersimpan di dalam hatinya diserahkan
kepada Allah. Ini adalah perdapat Jumhur ulama.119

116
Lihat Bahjah al-Nazhirin (I/460).
117
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 103).
118
Lihat Fath al-Bari (I/77).
119
Lihat Syarhus Sunnah (I/69) karya Imam al-Baghawi.
64
HADITS KESEMBILAN
LAKSANAKAN PERINTAH, JAUHKAN
LARANGAN, DAN JANGAN BANYAK
BERTANYA

‫ " َما‬:‫ول‬ُ ‫ول اللَّ ِه يَ ُق‬


َ ‫ َِس ْعت َر ُس‬:‫ال‬ َ َ‫ص ْر ٍر ق‬ َّ ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َعْب ِد‬
َ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن‬
‫ين‬ ِ َّ َ‫ فَِإَّّنَا أَهل‬،‫ وما أَمرتُ ُكم بِِه فَأْتُوا ِمْنه ما اس طَع م‬،‫نَهي ُكم عْنه فَاج نِبوه‬
َ ‫ك اله‬ َ ْ ْ ُْ َ ْ َ ُ ْ ْ َ َ َ ُ ُ َ ْ ُ َ ْ ُْ َ
." ‫اخِ ََلفُ ُه ْم َعلَى أَنْبِيَائِ ِه ْم‬ ِِ ِ ِ
ْ ‫م ْن قَ ْبل ُك ْم َكثْ َرةُ َم َنائل ِه ْم َو‬
‫ُ َوُم ْنلِم‬ ‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
“Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬bersabda:
‘Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa
saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu
kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian
hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi
mereka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Syarah Hadits

Dalam riwayat lain disebutkan latar belakang hadits di atas dari


riwayat Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬
berkhutbah kepada kami, kemudian beliau bersabda:

‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kalian,


maka berhajilah.’ Seseorang berkata: ‘Apakah setiap tahun wahai Rasulullah
‫ﷺ‬ ?’ Maka beliau diam hingga orang tersebut mengulanginya sampai tiga
kali, kemudian Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: ‘Kalau aku katakan: Ya, niscaya
hal tersebut menjadi wajib dan niscaya kalian tidak akan sanggup.’
Kemudian beliau bersabda: ‘Biarkanlah aku terhadap apa yang aku
tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa
karena pertanyaan dan penentangan mereka kepada Nabi-Nabi mereka. Jika
aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan semampu kalian. Dan
jika aku melarang sesuatu pada kalian, maka tinggalkanlah.”120

A. Larangan Banyak Bertanya

120
Shahih: HR. Muslim (no. 1337), al-Nasai (V/110-111), Ahmad (11/508), al-Baihaqi (IV/326),
Ibnu Khuzaimah (no. 2508), al-Thahawi dalam Syarah Muskilil Atsar (no. 1472), Ibnu Hibban (no.
3696, 3697-at-Ta’ltqatulHisdn \ala Shahih Ihni Hibban), Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam
Kitabus Sunnah (no. 110) tahqiq Syaikh Salim al-Hilali, al-Daraquthni (11/534, no. 2668, 2670),
dan Ibnu Jarir dalam Jami’ al- Bayan (no. 12808).
65
Hadits di atas menunjukkan tentang larangan menanyakan hal-hal
yang tidak perlu karena jawaban pertanyaan tersebut justru menyusahkan
penanya, misalnya pertanyaan penanya apakah ia di Neraka atau di Surga?
Apakah ayahnya adalah orang yang dirinya bernasabkan kepadanya atau
bukan? Hadits-hadits di atas juga menunjukkan larangan bertanya dengan
maksud membuat bingung, tidak berguna dan sia-sia, serta mengejek seperti
biasa dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang selain mereka.
Contoh lain juga ialah menanyakan hal-hal yang disembunyikan
Allah terhadap hamba-hamba-Nya dan tidak memperlihatkannya kepada
mereka, seperti pertanyaan tentang waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat
ruh, dan lain sebagainya.
Ibnu Abbas berkata: “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang
lebih baik daripada Sahabat-Sahabat Rasulullah ‫ﷺ‬ . Mereka hanya bertanya
tentang 13 masalah dan kesemuanya ada dalam al-Qur-an; “Mereka bertanya
kepadamu tentang minuman keras dan judi. ” (Surah Al-Baqarah [2]: 219);
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan Haram.” (Surah Al-Baqarah [2]:
217); “Mereka bertanya kepadamu tentang anak- anak yatim. ” (Surah Al-
Baqarah [2]: 220).”121

B. Sebab-Sebab Kebinasaan Umat Terdahulu


Nabi menyebutkan sebab kebinasaan ada dua: (1) Menyalahi/
menentang perintah para Rasul. Dan (2) banyak bertanya.
Allah m memperingatkan kepada kaum Muslimin untuk taat kepada
Rasulullah ‫ﷺ‬ dan tidak boleh menyalahi perintah Rasulullah ‫ﷺ‬ , karena
akibatnya fatal.
Allah berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut
akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Qs. An-Nur [24]:
63)
Kemudian, di antara sebab kebinasaan adalah banyak bertanya yang
tidak ada manfaatnya. Hadits ini menunjukkan tentang makruhnya dan
tercelanya banyak bertanya.

Pada hadits di atas, Nabi juga mengisyaratkan bahwa sibuk


mengerjakan perintah dan menjauhi larangan beliau itu membuat orang tidak
bertanya. Nabi bersabda: “Jika aku melarang sesuatu terhadap kalian,
jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu pada kalian, kerjakanlah
semampu kalian. ”
Yang harus diperhatikan seorang Muslim ialah membahas apa yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya dilanjutkan berusaha keras memahaminya,
memikirkan makna-maknanya, lalu membenarkannya jika hal tersebut
termasuk hal-hal yang bersifat Ilmiyah. Jika hal tersebut termasuk hal-hal
yang bersifat amaliyah, ia mencurahkan segenap tenaga untuk bersungguh-
sungguh mengerjakan perintah-perintah yang mampu ia kerjakan dan

121
HR. Ad-Darimi (1/51) dan al-Thabrani dalam al-Mu’jai al-Kabir (no. 12288). Al-Haitsami
dalam Majma’uz Zawa-id (I/158-159) menisbatkan hadits tersebut kepada al-Thabrani dan berkata:
“Di dalam sanad tersebut terdapat Atha’ bin al-Saib yang merupakan perawi tepercaya tetapi
hafalannya tercampur. Perawi-perawi lainnya adalah perawi-perawi tepercaya.” Sanad atsar ini
lemah.
66
menjauhi apa saja yang dilarang. Jadi, semua perhatiannya terfokus pada hal
tersebut dan tidak kepada sesuatu yang lain. Seperti itulah keadaan para
Sahabat Rasulullah ‫ﷺ‬ dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
dalam mencari ilmu yang bermanfaat dari al-Qur’an dan as-Sunnah.122
Namun jika perhatian pendengar ketika mendengar perintah dan
larangan diarahkan kepada perkiraan teoritis dari perkara-perkara yang bisa
terjadi atau tidak, maka itu termasuk hal yang dilarang dan membuat orang
tidak serius mengikuti perintah. Seseorang bertanya kepada Ibnu Umar
tentang mengusap Hajar Aswad. Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut:
“Aku melihat Nabi mengusap Hajar Aswad dan menciumnya.” Orang
tersebut berkata: “Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa
melakukannya? Bagaimana pendapatmu kalau aku didesak?” Ibnu Umar
berkata kepada orang tersebut: “Letakkan kata-kata ‘bagaimana
pendapatmu’ di Yaman. Aku melihat Nabi mengusap Hajar Aswad dan
menciumnya.”123

Karena itulah, banyak Sahabat dan Tabi’in tidak suka menanyakan


peristiwa-peristiwa yang belum terjadi dan tidak menjawabnya jika ditanya
seperti itu.
Ibnu Umar berkata: “Kalian jangan bertanya tentang sesuatu yang
belum terjadi, karena aku mendengar Umar bin al-Kathab melaknat orang
yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi.”124
Jika Zaid bin Tsabit ditanya tentang sesuatu, ia berkata: “Sudahkah
ini terjadi?” Orang-orang berkata: “Belum.” Zaid bin Tsabit berkata:
“Biarkan hal tersebut hingga terjadi.”125
Masruq berkata: “Aku bertanya sesuatu kepada Ubay bin Ka’ab,
kemudian ia berkata: ‘Apakah sebelumnya hal tersebut sudah terjadi?’ Aku
menjawab: ‘Belum.’ Ubay bin Ka’ab berkata: ‘Biarkan kami hingga hal
tersebut terjadi. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, kami akan berijtihad
mengeluarkan pendapat kami untukmu.’”126
Ibnu Wahb juga berkata, dari Imam Malik: “Aku dengar Malik
mengecam sikap banyak bicara dan fatwa.”

Pertanyaan-pertanyaan yang tercela adalah sebagai berikut:


1. Bertanya tentang hal-hal yang didiamkan oleh syari’at dan tidak
dijelaskannya, karena Allah yang berhak menjelaskan hal-hal yang
membuat manusia bahagia di dunia dan akhirat.
2. Bertanya tentang hal-hal yang tidak ada manfaatnya dan tidak adanya
kebutuhan. Karena, bisa jadi jawabannya tersebut akan berakibat
buruk kepada orang yang bertanya.
3. Bertanya dengan tujuan untuk menghina, mengejek, mengolok-olok,
dan kesia-siaan.

122
Lihat Jami al-‘Ulum wa al-Hikam (I/243-244).
123
Shahih: HR. Al-Tirmidzi (no. 861). Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari (no. 1611) dan al-Nasai
(V/2.31).
124
Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Kitab al-‘Ilm (no. 75), ad-Darimi (1/50) dan
Ibnu Abdil Barr (II/1067, no. 2067).
125
Diriwayatkan oleh al-Darimi (I/50) dan Ibnu Abdil Barr (II/1068, no. 2068).
126
Diriwayatkan oleh al-Darimi (I/56) dan Ibnu Abdil Barr (II/1065, no. 2057).
67
4. Banyak bertanya mengenai masalah-masalah yang belum terjadi.
5. Bertanya dengan pertanyaan yang bersifat memaksa, menyusahkan,
dan mengada-ada. Sebab, terkadang jawabannya akan banyak
sehingga sulit untuk mengamalkannya, sebagaimana yang terjadi pada
Bani Israil ketika mereka disuruh untuk menyembelih seekor sapi
betina.
6. Bertanya tentang hal-hal yang Allah sembunyikan dari para hamba-
Nya dengan sebab adanya hikmah yang hanya diketahui oleh Allah
saja, contohnya bertanya tentang rahasia takdir, waktu terjadinya hari
Kiamat, hakikat ruh, dan yang sepertinya.

Adapun selain itu maka bertanya tersebut dianjurkan menurut


syari’at. Allah berfirman:

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu


tidak mengetahui.” (Qs. An-Nahl [16]: 43)

Nabi selanjutnya bersabda: “Apa saja yang aku larang terhadap


kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada
kalian, maka kerjakanlah semampu kalian,” Dari penggalan hadits
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa larangan itu lebih berat daripada
perintah, karena tidak ada rukhshah (dispensasi) untuk mengerjakan salah
satu dari larangan-larangan, sedangkan perintah dikaitkan sesuai dengan
kemampuan.

Perkataan tersebut mirip dengan perkataan salah seorang ulama yang


berkata: “Perbuatan-perbuatan baik dapat (bisa) dikerjakan oleh orang baik-
baik dan orang jahat. Sedangkan maksiat itu hanya ditinggalkan (tidak
dikerjakan) oleh orang yang benar (jujur).”127 Diriwayatkan dari Abu
Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda: “Takutlah engkau kepada hal-hal yang
haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling baik ibadahnya.”128
Yang dimaksud dengan perkataan-perkataan yang mengutamakan
meninggalkan hal-hal haram daripada pengerjaan ketaatan-ketaatan ialah
ketaatan-ketaatan yang bersifat sunnah.
Maimun bin Mihran berkata: “Dzikir kepada Allah dengan lidah itu
baik, namun lebih baik lagi jika seorang hamba mengingat Allah ketika
bermaksiat kemudian ia berhenti darinya.”129

127
Perkataan tersebut diriwayatkan dari Sahi bin Abdullah al-Tusturi dalam Hilyah al-Auliya’
(X/221, no. 15032).
128
Hasan: Hadits tersebut potongan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad (II/310), al-Tirmidzi
(no. 2305), dan al-Kharaithi dalam Makarim al-Akhlaq (hlm. 42) dari jalur Abu Thariq, dari al-
Hasan al-Bashri, dari Abu Hurairah dia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Siapakah yang siap
mengambil kalimat-kalimat ini kemudian mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang
yang siap mengamalkannya.’ Aku (Abu Hurairah) berkata: ‘Aku, wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ .’ Rasulullah
‫ﷺ‬ pun memegang tanganku lalu beliau menyebutkan lima perkara. Beliau bersabda: ‘ (l)Takutlah
engkau kepada hal-hal haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya. (2)
Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang yang terkaya.
(3) Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang Mukmin. (4) Cintailah untuk
manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang Muslim. (5) Janganlah
engkau banyak tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.’”
129
Hilyah al-Auliya (IV/90, no. 4848).
68
Secara umum, perkataan para generasi Salaf di atas menunjukkan
bahwa menjauhi hal-hal haram kendati sedikit, itu lebih utama daripada
memperbanyak mengerjakan ketaatan-ketaatan Sunnah, karena
meninggalkan hal-hal haram adalah wajib, sedang mengerjakan ketaatan-
ketaatan Sunnah adalah Sunnah.

Sabda Nabi: “Dan jika aku perintahkan sesuatu kepada kalian,


kerjakanlah semampu kalian.” adalah dalil bahwa orang yang tidak
sanggup mengerjakan seluruh perintah dan hanya sanggup mengerjakan
sebagiannya, maka ia telah mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan.
Ini bisa diberlakukan dalam banyak masalah, di antaranya:
1. Thaharah (bersuci). Jika seseorang tidak mampu berwudhu’ karena
ketiadaan air atau sakit di salah satu organ tubuhnya, maka ia
bertayammum.
2. Shalat. Barangsiapa tidak mampu shalat dengan berdiri, ia shalat dengan
duduk. Jika ia tidak sanggup shalat dengan duduk, ia shalat dengan
berbaring. Di Shahih al-Bukhari disebutkan hadits dari Imran bin
Hushain bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Shalatlah engkau dengan
berdiri. Jika engkau tidak sanggup, shalatlah dengan duduk. Jika engkau
tidak sanggup, shalatlah dengan berbaring.”130
3. Dalam aqiqah, apabila seseorang tidak sanggup meng-aqiqahi anak laki-
lakinya dengan dua ekor kambing, maka dia boleh mengaqiqahinya
dengan seekor kambing.131

Beberapa Pelajaran Hadits

1. Wajibnya menjauhi apa yang dilarang Nabi.


2. Yang dilarang itu mencakup sedikit dan banyaknya karena tidak
dikatakan meninggalkannya, kecuali dengan meninggalkan sedikit dan
banyaknya.
3. Bahwa menahan diri (menjauhi) itu pada dasarnya lebih mudah daripada
melakukan perintah, Nabi menyuruh agar menjauhi larangan secara
keseluruhan karena menahan diri itu mudah. Tetapi beliau
memerintahkan melakukan perintah semampunya.
4. Melaksanakan kewajiban hanyalah diwajibkan bagi orang-orang yang
mampu melaksanakannya.
5. Bahwasanya manusia memiliki kemampuan dan kesanggupan dalam
menjalankan perintah dan manjauhi larangan.
6. Apa yang dilarang dan diperintahkan oleh Nabi adalah syari’at. Baik hal
itu terdapat dalam al-Qur-an maupun dalam as-Sunnah.
7. Banyak bertanya adalah sebab kehancuran dan kebinasaan, terlebih pada
masalah-masalah yang tidak mungkin untuk dicapai, seperti perkara-
perkara ghaib, keadaan hari Kiamat, dan selainnya.
8. Umat-umat terdahulu dibinasakan karena mereka banyak bertanya dan
dengan sebab mereka menentang Nabi-Nabi mereka.
9. Peringatan tidak bolehnya menyelisihi perintah Rasulullah ‫ﷺ‬
.

130
HR. Al-Bukhari (no. 1117) dan Ibnu Hibban (no. 2504— al-Ta’liqat al-Hisan).
131
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/256) dengan sedikit tambahan.
69
10. Di dalam hadits di atas terdapat isyarat tentang ditekankannya
menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang penting dan bermanfaat
yang dibutuhkan dengan segera.

HADITS KESEPULUH
BAIK DAN HALAL ADALAH SYARAT
DITERIMANYA DOA

‫ َوإِ َّن‬،‫إن اللَّهَ طَيِّ َل يَ ْقبَ ُل َّإل طَيِّبًا‬ َّ " ‫ول اللَّ ِه‬ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬َ َ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرةَ ق‬
‫ "يَا أَيع َها العر ُس ُل ُكلُوا ِم ْن‬:‫اَل‬ ِ ِ ِ ِ‫اللَّه أَمر الْم ْؤِمن‬
َ ‫ال تَ َع‬ َ ‫ني ِبَا أ ََمَر بِه الْ ُمْر َسل‬
َ ‫ني فَ َق‬ َ ُ ََ َ
ِ ‫ "يا أَيعها الَّ ِهين آمنُوا ُكلُوا ِمن طَيِّب‬:‫اَل‬ ِ ‫ات واعملُوا ص‬ ِ
‫ات َما‬ َ ْ َ َ َ َ َ ‫ال تَ َع‬ َ َ‫ َوق‬،"‫اسًا‬ َ َ ْ َ َ‫الطَّيِّب‬
!‫ب‬ ِّ ‫ يَا َر‬:‫لن َم ِاء‬
َّ ‫ث أَ ْغبَ َر َميُعد يَ َديِْه َإَل ا‬َ ‫الن َفَر أَ ْش َع‬
َّ ‫يل‬ ِ
ُ ‫الر ُج َل يُط‬
َّ ‫َرَزقْ نَا ُك ْم" ُُثَّ ذَ َكَر‬
َّ ‫ فَأ‬،‫اسََراِم‬
‫ََّن‬ ْ ِ‫ُ ب‬ َ ‫ َوغُ ِّه‬،‫ َوَم ْلبَ ُنهُ َحَرام‬،‫ َوَم ْشَربُهُ َحَرام‬،‫ب! َوَمطْ َع ُمهُ َحَرام‬ ِّ ‫يَا َر‬
."‫اب لَهُ؟‬ُ ‫يُ ْنَ َج‬
‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda:


‘Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.
Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti
yang Dia perintahkan kepada para Rasul. Maka, Allah berfirman:
‘Wahai para Rasul!Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal sbalih.’ (Qs. Al-Mu’minun [23]: 51). Dan Allah
berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki
yang baik yang Kami berikan kepada kamu. ’ (Qs. Al-Baqarah [2]: 172).
Kemudian Nabi menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut,
berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit: ‘Wahai Rabbku,
wahai Rabbku,’ sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan
dikabulkan?’” [HR. Muslim]

Syarah Hadits

70
Sabda Nabi, Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima
kecuali yang baik.” adalah bentuk pensucian beliau terhadap Allah dari
segala kekurangan dan aib. Sebab, makna thayyib (baik) ialah suci dan
bersih dari segala aib dan kekurangan.132 Allah telah mensucikan diri-Nya
dari segala kekurangan dan aib. Allah telah mensucikan dirinya dari
memiliki istri dan anak, Allah berfirman:
“Dan mereka berkata: “(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.
‘Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat munkar, hampir saja
langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan
itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai
anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai
anak.” (Qs. Maryam [19]: 88-92)
Allah juga mensucikan diri-Nya sendiri dari sifat zhalim.
Sebagaimana firman-Nya:

“Sungguh, Allah tidak akan menzhalimi seseorang walaupun sebesar


dzarrah. ” (Qs. An-Nisa' [4]: 40)
Dan selainnya dari ayat-ayat al-Qur’an yang dengannya Allah SS
mensucikan diri-Nya dari segala hal yang tidak sesuai dengan keagungan
dan kemuliaan-Nya.

Selanjutnya sabda beliau: “Allah tidak menerima kecuali yang


baik.” Maksudnya ialah bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan
kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang
merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali
harta yang baik dan halal. Jadi, kata ‘baik atau suci’ itu disifatkan pada amal
perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut (yakni keyakinan,
perbuatan, dan perkataan) terbagi dalam dua bagian: baik dan buruk.

Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan
tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal, dan bahwa
makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Tidak
diterimanya suatu amalan memiliki dua makna:
1. Tidak diterima dalam artian tidak mendapat pahala dan ganjaran,
namun amalan yang wajib tidak gugur darinya; contohnya sabda
Rasulullah ‫ﷺ‬
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), kemudian
bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima
selama empat puluh malam.”133
2. Tidak diterima dalam artian tidak sah dan batal, seperti sabda
Rasulullah ‫ﷺ‬ :
“Tidak diterima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats sampai
dia berwudhu’.”134
Makna tidak diterima dalam sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Tidak menerima

132
Lihat Qawa‘id wa Fawa-id min al-Arba’in al-Nawawiyyah (hLm. 113) karya Syaikh Nazhim
Muhammad Sulthan.
133
Shahih: HR. Muslim (no. 2230) dan Ahmad (IV/68, V/380). Lafazh ini milik Muslim, dari
Shafiyyah
134
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 135) dan Muslim (no. 225) dan Abu Hurairah.
71
kecuali yang baik,” ialah makna yang pertama.

Setelah Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali


yang baik.” beliau bersabda, “Allah memerintahkan kaum Mukminin
seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul.”
Allah berfirman:
“Wahai para Rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan
kerjakanlah amal shalih. ” (Qs. Al-Mu’minun [23]: 51)
Maksudnya bahwa para Rasul dan umat mereka masing-masing
diperintahkan memakan makanan yang baik yang merupakan makanan yang
halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka
amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal,
bagaimana amal bisa diterima?

Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam


dua bentuk, yaitu:
Pertama: Maling, pencuri, pengkhianat, perampas, perampok,
koruptor, dan selainnya bersedekah dengan harta yang haram atas namanya
sendiri. Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak
diterima darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia
berdosa karena ia menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Pemilik
harta (orang yang hartanya dicuri) tersebut juga tidak mendapatkan pahala,
karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya.

Kedua: Penggunaan perampas terhadap harta yang dirampasnya. Jika


ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa
mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu dibolehkan
menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah,
Ahmad dan selain mereka.
Ucapan Abu Hurairah: “Kemudian Rasulullah ‫ﷺ‬ menyebutkan
orang yang lama bepergian, rambutnya kusut, berdebu, dan
menengadahkan kedua tangannya ke langit: “Wahai Rabbku, wahai
Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana
doanya dikabulkan?”
Dengan hadits di atas, Nabi ingin menunjukkan etika berdoa, sebab-
sebab yang menjadikan doa dikabulkan, dan sebab-sebab yang menjadikan
doa seseorang itu tidak dikabulkan.
Dalam hadits di atas, Nabi menyebutkan empat hal yang membuat
doa dikabulkan, yaitu:

A. Lama bepergian
Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat
pada hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:

“Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya: (1) doa
orang yang terzhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang bepergian jauh),

72
dan (3) doa orang tua untuk anaknya.”135
Dalam riwayat lain disebutkan: “Doa keburukan orang tua untuk
anaknya.”
Jika seseorang telah lama bepergian, doanya sangat mungkin
dikabulkan karena dugaan kuat orang tersebut sedih karena lama terasing
dari negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang
membuat doa dikabulkan.

B. Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk


rambut kusut dan berdebu
Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits yang
masyhur, Nabi yang bersabda:
“Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian
lusuh, namun jika ia berdoa kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya.”136
Ketika Nabi keluar rumah untuk mengerjakan shalat Istisqa, beliau
keluar dengan pakaian usang, tawadhu , dan merendahkan diri.137
Keponakan Mutharrif bin Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif
bin Abdullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil tongkat
dengan tangannya. Dikatakan kepadanya: “Mengapa engkau melakukan hal
seperti itu?” Mutharrif bin Abdullah lalu menjawab: “Aku merendahkan diri
kepada Rabbku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk
keponakanku.”138

C. Menengadahkan kedua tangan ke langit


Ini termasuk adab berdoa, dan dengan cara seperti itu, diharapkan doa
tersebut dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salman bahwa
Nabi bersabda:

“Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Mahamulia. Dia malu bila


seseorang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia
mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-
apa.”139
Hadits semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Malik140,

135
Hasan: HR. Abu Dawud (no. 1536), al-Tirmidzi (no. 1905, 3448), Ibnu Majah (no. 3862),
Ahmad (11/258), dan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 32, 481). Lafazh ini milik Ibnu
Majah. Hadits ini dishahihkan Ibnu Hibban (no. 2688- al-Ta’liqat al-Hisan). Hadits ini mempunyai
penguat, dari hadits Uqbah bin Amir dalam riwayat Ahmad (IV/154).
136
Shahih: HR. Muslim (no. 2622,2854) dan Ibnu Hibban (no. 6449— al-Ta’liqat al-Hisan).
Lafazh ini milik Ibnu Hibban.
137
Hasan: HR. Ahmad (1/230), Abu Dawud (no. 1165), al-Tirmidzi (no. 558), al-Nasai (III/163),
dan Ibnu Majah (no. 1266). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ keluar
dengan pakaian lusuh, menampakkan kemiskinan, merendahkan diri, dan tawadhu’.” Dishahihkan
Ibnu Hibban (no. 2551- al-Ta’liqat al-Hisan) dan redaksi tersebut miliknya.
138
Diriwayatkan Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh-nya (XVI/290) dan al-Dzahabi dalam Siyar A’lam
al-Nubala’(IV/195). Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/270).
139
Shahih: HR. Ahmad (V/438), Abu Dawud (no. 1488), al-Tirmidzi (no. 3556), Ibnu Majah (no.
3865), Ibnu Hibban (no. 873, 877—al-Ta’liqat al-Hisan), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.
1385), dan al-Hakim (I/497). Beliau menshahihkannya dan disepakati oleh al-Dzahabi. Lafazh
hadits ini milik al-Tirmidzi.
140
HR. Abdurrazzaq (no. 19648), al-Thabrani dalam ad-Du’a (no. 204, 205), al-Hakim (I/497-498),
dan al-Baghawi (no. 1386) dengan sanad-sanad lemah.
73
Jabir141, dan selain keduanya.
D. Terus-menerus berdoa kepada Allah dengan mengulang-ulang
kerububiyyahan-Nya.
Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul.
Diriwayatkan dari Abu ad-Darda’ dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua
berkata: “Nama Allah terbesar ialah Rabbi (Wahai Rabbku), Rabbi (Wahai
Rabbku).”142 Perkataan tersebut disebutkan kepada al-Hasan kemudian al-
Hasan berkata: “Tidakkah kalian membaca al-Qur-an?” Setelah itu al-Hasan
membaca firman Allah surah Ali Tmran ayat 191-195.
Barangsiapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam al-Qur-an,
ia menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata ‘Rabb’,
misalnya firman Allah: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa Neraka.” (Qs. Al-
Baqarah [2]: 201)

Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi mengisyaratkan di


antaranya karena mengkonsumsi barang haram, baik dalam makanan,
minuman, pakaian, dan diberi makanan haram oleh orang lain. Tentang hal
ini, telah disebutkan hadits Ibnu Abbas, dan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash: “Wahai Sa’ad, hendaklah
makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya
dikabulkan.”143
Dari sisi ini bisa disimpulkan bahwa makan sesuatu yang halal,
meminumnya, mengenakannya, dan memberikannya kepada orang lain
merupakan penyebab doa seseorang dikabulkan.
Ikrimah bin Ammar meriwayatkan bahwa al-Ashfar berkata kepadaku
bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash: “Engkau orang yang
doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Nabi Sa’ad bin Abi Waqqash
berkata: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, melainkan aku
tahu asal usulnya dan ke mana makanan tersebut hendak keluar.”
Dari Wahb bin Munabbih, ia berkata: “Barangsiapa ingin doanya
dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang baik (halal).”144

Beberapa Pelajaran Hadits

1. Allah adalah Maha Sempurna di dalam Dzat, sifat-sifat-Nya, perbuatan-


perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
2. Wajib mensucikan Allah dari semua sifat aib dan kurang.
3. Sesungguhnya Allah Mahakaya terhadap hamba-Nya, dan tidak
menerima kecuali yang baik. Maka amal yang terdapat perbuatan syirik
di dalamnya tidak akan diterima Allah karena amal itu tidak baik.

141
HR. Abu Ya’la (no. 1862) dan al-Haitsami dalam Majma’uz Zawd-id (X/149). Ia juga
menisbatkan hadits tersebut kepada al-Thabrani dalam al-Ausath. Ia berkata: “Di sanadnya terdapat
Yusuf bin Muhammad bin al-Munkadir ia dianggap tsiqah (tepercaya), padahal ada kelemahannya,
namun para perawi lainnya adalah para perawi al-Shahih.”
142
HR. Ibnu Abi Syaibah (no. 29856). Atsar tersebut dishahihkan al-Hakim (I/505).
143
Hadits ini lemah sekali diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (no.
6491) dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah (no. 1812).
144
Diringkas dari Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/269-275).
74
Demikian pula bersedekah dengan harta curian tidak akan diterima Allah
karena tidak baik.
4. Kalimat thayyib (baik) mencakup keyakinan, perkataan, perbuatan dan
harta.
5. Sesungguhnya para Nabi dan Rasul diberikan perintah dan larangan oleh
Allah, demikian pula terhadap kaum Mukminin.
6. Perintah bagi para Rasul dan kaum Mukminin untuk memakan makanan
yang halal dan baik.
7. Safar (bepergian jauh) merupakan sebab dikabulkannya doa.
8. Mengangkat kedua tangan termasuk sebab dikabulkannya doa.
9. Termasuk sebab dikabulkannya doa yaitu bertawassul dengan sifat
Rububiyyah Allah.
10. Peringatan keras dari memakan yang haram karena itu sebagai sebab
tertolaknya doa, meski syarat terkabulnya doa telah terpenuhi.

HADITS KESEBELAS
MEMILIH YANG DIYAKINI DAN
MENINGGALKAN HAL-HAL YANG
MERAGUKAN

‫ض‬ ِ ‫اسن ِن ب ِن َعلِ ِّ ب ِن أَِِب طَالِ ٍ ِسب ِط رس‬


ِ ‫ول اللَّ ِه ورْيانَِ ِه ر‬ ْ ٍ ‫عن أَِِب ُم َّم‬
‫د‬ َ
َ َ َ َ َ ُ َ ْ ْ ْ َ َ َْ
ِ ‫ ح ِفظْت ِمن رس‬:‫ال‬
."‫ول اللَّ ِه " َد ْع َما يُِريبُك َإَل َما َل يُِريبُك‬ َُ ْ َ َ َ‫ ق‬،‫اللَّهُ َعْن ُه َما‬
.‫ص ِحيك‬ ِ ‫ال الِّرِم ِه ع‬ ِ‫ والنَّنائ‬، ُ ِ ‫رواه الِّرِم‬
َ ‫ َحديث َح َنن‬:ُ ْ َ ‫ق‬
َ‫و‬َّ َ َ ‫ع‬ ‫ه‬ ْ ُ ََ
Dari Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah ‫ﷺ‬
dan kesayangannya ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah ‫ﷺ‬ :
‘Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak
meragukanmu.”’
[HR. Al-Tirmidzi dan al-Nasai. Al-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits
hasan shahih.”]

Syarah Hadits

Hadits di atas merupakan penggalan dari hadits panjang tentang qunut


dalam shalat Witir. Dalam riwayat al-Tirmidzi dan selainnya terdapat
tambahan dalam hadits tersebut, yaitu:

“Karena sesungguhnya kebenaran adalah ketenteraman dan dusta adalah


75
keraguan.”
Sedangkan lafazh dalam riwayat Ibnu Hibban ialah:

“Karena sesungguhnya kebaikan adalah ketenteraman dan keburukan adalah


keraguan.”

Makna hadits di atas ialah berhenti dari hal-hal yang syubhat dan
menjauhinya karena perkara yang halal itu tidak menimbulkan keraguan di
hati seorang Mukmin. Keraguan adalah kekalutan dan kegoncangan. Justru
jiwa terasa damai dengan perkara halal dan tenteram dengannya. Adapun
hal-hal yang syubhat menimbulkan kekalutan dan kegoncangan di hati dan
membuatnya ragu-ragu.145
Abu Abdurrahman al-Amri berkata: “Jika seorang hamba bersikap
wajar ia akan meninggalkan apa saja yang meragukannya menuju apa saja
yang tidak meragukannya.”146
Meninggalkan yang ragu ini berlaku dalam ibadah, muamalah,
pernikahan, dan berlaku pula dalam setiap bab dalam disiplin ilmu.
Contoh dalam ibadah: Seseorang batal wudhu’nya, kemudian shalat,
dan ia ragu-ragu apakah ia masih memiliki wudhu’ ataukah sudah batal?
Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu kepada yang tidak ragu-ragu. Yang
diragukan di sini ialah sahnya shalat, yang tidak diragukan ialah hendaknya
engkau berwudhu’ dan shalat.
Kebalikannya: Seseorang wudhu’ kemudian shalat, lalu ia ragu-ragu
apakah wudhu’nya batal ataukah tidak? Kita katakan: tinggalkan yang ragu-
ragu kepada yang tidak ragu. Yang yakin padamu adalah wudhu’, sedangkan
batal atau tidak batal adalah keraguan, maka tinggalkan keragu-raguan.
Diceritakan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ seorang laki-laki yang mengira
bahwa ia mendapati sesuatu (hadats yang keluar darinya) dalam shalat. Maka
beliau bersabda: “Janganlah ia keluar (dari shalat) hingga ia mendengar
suara (kentut) atau mencium baunya.”147
Demikian juga dalam pernikahan, misalnya seseorang menikah
dengan disaksikan dua orang saksi, setelah akad nikah ia ragu, apakah kedua
saksi itu adil ataukah tidak? Kita katakan: Proses akad nikah telah selesai
dan nikahnya sah, maka tinggalkan yang ragu-ragu.
Contoh lainnya: Seseorang yang pakaiannya terkena najis lalu ia cuci,
kemudian ia ragu-ragu apakah najisnya sudah hilang ataukah belum? Kita
katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu, hendaknya ia mencucinya lagi karena
ia meragukan kesucian pakaiannya itu. Sebab, asalnya ialah terkena najis dan
hilangnya najis masih diragukan.148
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan: “Hadits di atas
dijadikan dalil bahwa menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama
adalah lebih baik, karena lebih jauh dari syubhat. Namun beberapa ulama

145
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/280).
146
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/280).
147
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 137) dan Muslim (no. 361) dari Abdullah bin Zaid bin Ashim al-
Mazini al-Anshari. Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 362) dari Abu Hurairah. Lihat Jami’ al-
‘Ulum wa al-Hikam (I/282-283).
148
Dinukil dengan sedikit perubahan dari Syarah al-Arba’in al-Nawawiyyah (hlm. 177-178) karya
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
76
peneliti dari sahabat kami dan selain mereka berpendapat bahwa itu bukan
secara mutlak, karena di antara masalah-masalah yang terjadi perbedaan
pendapat di dalamnya ada yang merupakan rukhshah dari Nabi tanpa ada
dalil yang menentangnya. Jadi, menerima rukhshah lebih utama daripada
menjauhinya.”
Di sini, ada permasalahan yang harus dipahami dengan cermat bahwa
berhenti dari syubhat layak dikerjakan orang yang seluruh kondisinya telah
lurus dan seluruh amal perbuatannya sama dalam takwa dan wara’.
Sedangkan bagi orang yang menerjang hal-hal yang diharamkan yang
terlihat kemudian ia ingin menjauhi salah satu dari hal-hal syubhat, maka
hendaknya ia diingkari, seperti dikatakan Ibnu Umar kepada orang Irak yang
bertanya kepadanya tentang darah nyamuk: “Mereka bertanya kepadaku
tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh al-Husain. Aku
mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: ‘Keduanya (al-Hasan dan al-
Husain) adalah kesayanganku dari kehidupan dunia149.’”150

Beberapa Kandungan Hadits

1. Agama Islam tidak menghendaki umatnya berada dalam keraguan dan


kebimbangan.
2. Jika Anda menginginkan ketenteraman dan ketenangan maka
tinggalkanlah keragu-raguan dan buanglah jauh-jauh.
3. Rasulullah ‫ﷺ‬ diberikan jawami’ al-kalim (kalimat yang singkat namun
maknanya padat) dan beliau berbicara dengan kata-kata yang singkat,
tapi mengandung faedah yang banyak.
4. Meninggalkan perkara-perkara syubhat adalah wajib dan termasuk dari
kesempurnaan ketakwaan.
5. Dari hadits ini diambil kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
“Keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keragu-raguan.”
6. Semua perkara dalam kehidupan harus dibangun di atas keyakinan,
menurut pemahaman Salafush Shalih.
7. Perkara yang halal, kejujuran, dan kebenaran adalah ketenteraman dan
ketenangan.
8. Perkara yang haram, berdusta, dan kebatilan adalah keragu-raguan dan
kebimbangan.
9. Kembali pada hati ketika menghadapi perkara-perkara yang
samar.
10. Apa yang membuat hati tenteram dan dada merasa lapang, maka itulah
kebaikan dan halal dan keyakinan yang benar dibangun di atas al-Qur’an
dan as-Sunnah

149
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3753, 5994) dan Ibnu Hibban (no. 6910- al-Ta’liqat al-Hisan).
150
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/282-283).
77
HADITS KEDUA BELAS
MENINGGALKAN APA-APA YANG TIDAK
BERMANFAAT

‫ول اللَّ ِه " ِم ْن ُح ْن ِن إ ْس ََلِم الْ َمْرِء تَْرُكهُ َما َل‬


ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة ق‬
."‫يَ ْعنِ ِيه‬
‫ ابن ماجه‬، ُ ‫ َرَواهُ ال ِّْرِم ِه ع‬،‫َح ِديث َح َنن‬
Dari Abu Hurairah dia menuturkan: “Rasululah bersabda: ‘Di antara (tanda)
kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak
bermanfaat baginya.’”
[Hadits hasan, yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan selainnya
seperti atau dengan lafazh itu]

Syarah Hadits

Hadits di atas adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip adab dan
etika yang agung. Imam Abu Amr bin Shalah menceritakan dari Abu
Muhammad bin Abi Zaid Imam madzhab Maliki pada masanya, bahwa dia
berkata: “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits: (1) sabda
Rasulullah ‫ﷺ‬ : ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir,
hendaklah ia berkata yang baik atau diam,’ (2) sabda beliau: ‘Di antara
kebaikan keislaman seseorang ialah dia meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat baginya,’ (3) sabda beliau: yang ringkas kepada orang yang
meminta wasiat kepadanya: ‘Janganlah engkau marah,’ dan (4) sabda beliau:
‘Orang Mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk
dirinya.’”151 Al-Hafidzh Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini merupakan dasar
yang agung bagi akhlak.”
Makna hadits ini bahwa di antara kebaikan keislaman seseorang ialah
dia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya.
Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang
bermanfaat baginya.
Makna “ya’nihi” pada hadits ini ialah perhatian (inayah)nya tertuju
padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna
al-indyah ialah menaruh perhatian yang sangat terhadap sesuatu. Seseorang
meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya dan tidak ia inginkan
bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun karena

151
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/288).
78
pertimbangan syari’at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan sikap
seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya. Jadi, jika keislaman
seseorang baik, dia meninggalkan ucapan dan tindakan- tindakan yang tidak
bermanfaat baginya dalam Islam; karena Islam mengharuskan seseorang
mengerjakan kewajiban-kewajiban seperti yang telah dijelaskan dalam hadits
Jibril (hadits ke-2 kitab al-Arba’in) dan hadits-hadits yang lainnya.152
Imam al-Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang
telah dibebani hukum syari’at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga
lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar
bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam
dan berbicara adalah sama, maka menurut as-Sunnah, ia lebih baik
mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang
bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Dan yang demikian
banyak sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah
sesuatu keberuntungan yang tiada taranya.”153

Beberapa Pelajaran Hadits

1. Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, meninggalkan sesuatu


yang tidak bermanfaat yaitu Syari’at Islam.
2. Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya
merupakan tanda kebaikan keislamannya.
3. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat maka hal itu
merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.
4. Hendaklah seorang Muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan
meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya.
5. Hendaknya seorang Muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang
dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat.
6. Berpaling dan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat merupakan
jalan keselamatan.
7. Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan
menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang
mengotorinya.
8. Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia
dan sebagai tanda lemahnya iman, serta dapat menimbulkan perpecahan
dan pemusuhan antara manusia
9. Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allah Sg sesuai
dengan sunnah adalah perbuatan yang bermanfaat dan membuat hati
tenang.
10. Seorang Muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah
perkataan dan perbuatannya manfaat atau tidak, bermanfaat tidak untuk
dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum Muslimin menurut tolok
ukur syari’at.

152
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/288).
153
Riyadh al-Shalihin (hlm. 503), cet. Dar Ibnul Jauzi.
79
HADITS KETIGA BELAS
ORANG YANG BERIMAN MENCINTAI
KEBAIKAN UNTUK MUKMIN LAINNYA
SEBAGAIMANA MENCINTAI UNTUK DIRINYA
SENDIRI

‫ "َل يُ ْؤِم ُن‬:‫ال‬ ِ ِ ‫خ ِادِم رس‬


ِّ ِ‫ول اللَّه َع ْن الن‬ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
َ َ‫َّب ق‬ َُ َ ‫ك‬ َ ْ ِ َ‫َع ْن أَِِب َْحَْزَة أَن‬
."‫لِنَ ْف ِن ِه‬ ‫َخ ِيه َما ُِي ع‬
ِ ‫أَح ُد ُكم ح ََّّت ُِي َّ ِْل‬
َ ْ َ
‫ُ َوُم ْنلِم‬
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik dari Nabi beliau bersabda: “Tidak
sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk
saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri (berupa
kebaikan).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Syarah Hadits

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Yang dimaksud dengan tidak


beriman ialah tidak mencapai hakikat dan puncak iman karena iman
seringkali dianggap tidak ada karena ketiadaan rukun-rukun dan kewajiban-
kewajibannya, seperti yang diperjelas dalam riwayat Imam Ahmad:
“Seorang hamba tidak dapat mencapai hakikat iman hingga ia mencintai
kebaikan untuk manusia seperti yang ia cintai untuk dirinya.” 154

Ungkapan yang mirip juga ada di sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : ‘Tidaklah


dianggap beriman orang yang berzina ketika dia berzina; pencuri tidak
mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin; dan orang
tidak minum minuman keras ketika ia meminumnya sedang ia dalam
keadaan beriman.”155 Juga seperti sabda beliau: ‘Demi Allah tidak beriman
(3x) orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-
gangguannya.’”156 Imam al-Nawawi berkata: “Para ulama mengatakan
bahwa maknanya ialah tidak beriman dengan iman yang sempurna, karena
pokok iman itu ada pada orang yang tidak memiliki sifat ini.”157

154
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/302).
155
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2475), Muslim (no. 57), Ahmad (11/376), dan Ibnu Hibban (no.
186 -at- Ta ’liqatul Hisan), dari Abu Hurairah.
156
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6016), Muslim (no. 46), dan Ahmad (II/288) dari Abu Hurairah.
157
Syarah Shahih Muslim (II/16).
80
Maksud hadits di atas ialah di antara sifat iman yang wajib adalah
seseorang mencintai untuk saudaranya yang Mukmin apa yang ia cintai
untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya
sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, maka imannya berkurang. 158 Nabi
bersabda: “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah,
memberi karena Allah, dan menahan (tidak memberi) karena Allah, maka
sungguh, telah sempurna imannya.”159
Nabi bersabda, “Barangsiapa ingin dijauhkan dari Neraka dan
dimasukkan ke dalam Surga, maka hendaklah ia mati dalam keadaan
beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah ia menunaikan dan
berbuat (kebaikan) kepada orang lain apa yang ia senang bila orang lain
(berbuat baik) kepadanya.”160
Salah seorang yang shalih dari ulama Salaf berkata: “Orang-orang
yang mencintai Allah melihat dengan cahaya Allah, merasa kasihan dengan
orang yang bermaksiat kepada Allah, membenci perbuatan mereka, merasa
kasihan kepada mereka dengan cara menasihati mereka untuk melepaskan
mereka dari perbuatannya, dan menyayangkan badan mereka sendiri jika
sampai terkena Neraka. Dan seorang Mukmin tidak dikatakan sebagai
Mukmin yang sejati sampai dia meridhai untuk manusia apa yang ia ridhai
untuk dirinya. Kalau ada orang lain memiliki keutamaan yang melebihi
dirinya, kemudian dia menginginkan untuk dirinya seperti itu, kalau hal itu
dalam urusan agama, maka keinginan tersebut adalah satu kebaikan,
sebagaimana Nabi mengharapkan dirinya mati syahid.”161
Ibnu Abbas pernah berkata: “Aku membaca salah satu ayat al-Qur-an
kemudian aku ingin seluruh manusia mengetahui (tafsir)nya seperti yang aku
ketahui.”162

Beberapa Kandungan Hadits

1. Seringkali dalam ayat atau hadits ada penafian sesuatu karena tidak
adanya kesempurnaan padanya.
2. Seseorang wajib mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk
dirinya sendiri.
3. Termasuk keimanan pula membenci untuk saudaranya apa yang dibenci
untuk dirinya sendiri.
4. Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap sikap egois, membenci orang
lain, hasad dan balas dendam.
5. Setiap Mukmin dan Mukminah wajib menjauhi hasad (dengki, iri) dan
sifat buruk lainnya karena dapat mengurangi imannya.
6. Hadits ini menunjukkan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang;
bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan sebab
melakukan maksiat.

158
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/303).
159
Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4681) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3469) dari Abu
Umamah al-Bahili Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-
Shahihah (no. 380), dan hadits ini memiliki beberapa syawahid.
160
Shahih: HR. Muslim (no. 1844), Ahmad (II/161), al-Nasai (VII/153), dan Ibnu Majah (no. 3956)
dari Abdullah bin Amr bin al-Ash.
161
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/306-308).
162
Ibid (I/310).
81
7. Mengamalkan kandungan hadits ini menjadikan menyebarnya rasa cinta
di antara pribadi-pribadi dalam satu masyarakat Islami dan akan saling
tolong-menolong dan bahu-membahu sehingga bagaikan satu tubuh.
8. Anjuran untuk mempersatukan hati manusia dan memperkuat hubungan
antara kaum Mukminin.
9. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih
sayang.
10. Umat Islam hendaknya menjadi laksana satu bangunan dan satu tubuh.
Ini diambil dari bentuk keimanan yang sempurna yaitu mencintai untuk
saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri. Wallahu a’lam.

82
HADITS KEEMPAT BELAS
DARAH SEORANG MUSLIM TERPELIHARA,
KECUALI KARENA BERZINA, MEMBUNUH
DAN MURTAD

‫ول اللَّ ِه "َل َِي عل َد ُم ْام ِر ٍئ ُم ْنلِ ٍم [ يشهد أن‬


ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ود ق‬ ٍ ‫عن اب ِن منع‬
ُْ َ ْ َْ
‫س‬ ‫ف‬ْ َّ
‫الن‬‫و‬ ، ِ‫الز‬
‫اِن‬َّ ‫ي‬
ِّ ‫ث‬
َّ ‫ال‬ :‫ث‬ ٍ ‫ وأِن رسول اهلل] َّإل بِِإح َدى ثَََل‬،‫ل إله إل اهلل‬
ُ َ ُ ْ
."‫اع ِة‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫بِالنَّ ْف‬
َ ‫ َوالَّا ِرُك لدينه الْ ُم َفا ِر ُق ل ْل َج َم‬،‫س‬
.‫ َوُم ْنلِم‬،ُ
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: ‘Tidak halal
darah seorang Muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang
berzina padahal ia sudah menikah, membunuh jiwa, dan orang yang
meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah (kaum
Muslimin).’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Syarah Hadits

Pada asalnya darah seorang Muslim haram untuk ditumpahkan.


Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta benda
kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti terlarangnya di hari ini,
bulan ini dan negeri ini, hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang
tidak hadir.”163 Rasulullah ‫ﷺ‬ juga bersabda: “Hancurnya dunia lebih ringan
di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Muslim.”164

Adapun pembunuhan karena salah satu dari ketiga hal tersebut dalam
hadits di atas yang akan kita bahas telah disepakati kaum Muslimin. Ketiga
hal tersebut (sebagaimana disebutkan dalam hadits) adalah hak Islam, di
mana menjadi halal dengannya darah seorang yang bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah.

A. Orang yang telah menikah lalu berzina.


Orang yang telah menikah ini, baik statusnya masih ada suami atau
istri atau statusnya janda atau duda. Kaum Muslimin telah ijma’ (bersepakat)

163
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 67,105,1741) dan Muslim (no. 1679 [30]) dari Abu Bakrah.
164
Shahih: HR. Al-Nasai (VII/82) dan al-Tirmidzi (no. 1395) dari Abdullah bin Amr. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Ghayah al-Maram fi Takhrij Ahadits al-Halal wa al-
Haram (no. 439).
83
bahwa hadd (hukuman)nya ialah dirajam sampai mati. Karena, Nabi telah
merajam Ma’iz dan wanita al-Ghamidiyyah.165
Dalam al-Qur-an yang teksnya telah di-nasakh (dihapus) disebutkan:
Jika laki-laki tua dan wanita tua berzina, rajamlah keduanya dengan tegas
sebagai hukuman dari Allah, dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.166
Ibnu Abbas mengambil hukum rajam dari firman Allah:

“Wahai Ahlul Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu,


menjelaskan banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak
(pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari
Allah, dan Kitab yang menjelaskan.” (Qs. Al-Ma-idah [5]: 15)
Beliau berkata: “Barangsiapa tidak mempercayai hukum rajam, dia
kafir terhadap al-Qur’an tanpa dia sadari.” Setelah itu Ibnu Abbas
membacakan ayat di atas. Beliau melanjutkan: “Hukum rajam termasuk hal-
hal yang disembunyikan Ahlul Kitab.”167
Pada awalnya, Allah memerintahkan penahanan wanita-wanita yang
berzina hingga mereka mati atau Allah memberi jalan keluar bagi mereka,
kemudian Allah memberi jalan keluar bagi mereka.
Allah berfirman:
“Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara
perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang
saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah memberi
kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan (yang lain)
kepadanya.” (Qs. An-Nisa’ [4]: 15)
Dalam Shahih Muslim dari Ubadah bin Shamit, dari Nabi beliau
bersabda:
“Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sungguh, Allah telah memberikan jalan
keluar bagi mereka (wanita-wanita yang berzina): Jejaka dengan gadis
dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun dan laki-laki yang telah
menikah dengan wanita yang telah menikah dicambuk seratus kali dan
dirajam.”168

B. Jiwa dengan jiwa


Maksudnya ialah jika seorang mukallaf membunuh jiwa tanpa alasan
yang benar dan disengaja, maka ia dibunuh karenanya. Al-Qur’an telah
menunjukkan akan hal ini melalui firman Allah : “Kami telah menetapkan
bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa. ”
(Qs. Al-Ma-idah [5]: 45)

165
Shahih: Shahih al-Bukhari (no. 6824), Shahih Muslim (no. 1692,1693,1694,1695), Sunan Abi
Dawud (no. 4422,4425,4426,4427,4431,4442), dan Shahih Ibni Hibban (no. 4421, 4422-al-Ta’liqat
al- Hisan).
166
Shahih: HR. Al-Nasai dalam as-Sunanul Kubra (no. 7108, 7109, 7112): Abdurrazzaq dalam al-
Mushannaf (no. 13363), Ibnu Hibban (no. 4411, 4412-al-Ta’liqat al-Hisan), al-Hakim (11/415), dan
al-Baihaqi (VII/211).
167
Shahih: HR. Al-Nasai dalam as-Sunanul Kubra (no. 7124), Ibnu Hibban (no. 4413 al-Ta’liqat
al-Hisan), Ibnu Jarir al-Thabari dalam Tafsir-nya (no. 11612,11613). Atsar ini dishahihkan al-
Hakim (IV/359) dan disepakati al-Dzahabi.
168
Shahih: HR. Muslim (no. 1690) dan Ibnu Hibban (no. 4408, 4409, 4410—al-Ta’liqat al-Hisan).
84
Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman!
Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang
yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya
dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. ” (Qs. Al-
Baqarah [2]: 178)

C. Orang yang meninggalkan agama lagi memisahkan diri dari


jamaah (kaum Muslimin)
Maksudnya ialah orang yang meninggalkan Islam, murtad, dan
meninggalkan jamaah kaum Muslimin. Termasuk meninggalkan Islam dan
meninggalkan jamaah kaum Muslimin kendati mengakui dua kalimat
syahadat dan mengklaim Muslim yaitu orang yang menolak salah satu rukun
Islam, atau mencaci-maki Allah atau Rasul-Nya, atau kafir kepada sebagian
Malaikat atau sebagian Nabi atau sebagian Kitab yang telah disebutkan
dalam al-Qur’an padahal ia mengetahuinya.
Hukuman orang yang murtad adalah dibunuh. ‫ﷺ‬ bersabda:
“Barangsiapa menukar agamanya, bunuhlah dia.”169
Ketentuan tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita. Jumhur ulama
membedakan antara orang kafir asli dan orang yang masuk Islam, kemudian
murtad. Mereka menjadikan kekafiran baru (murtad) lebih berat karena
sebelumnya masuk Islam. Oleh karena itu, ia tetap dibunuh jika murtad,
adapun penduduk kafir harbi ada yang tidak boleh dibunuh, seperti orang
lanjut usia, orang sakit, dan orang buta maka mereka tidak dibunuh dalam
peperangan.
Orang yang murtad dibunuh karena sifat yang ada padanya,
yaitu meninggalkan agama dan memisahkan diri dari jamaah. Jika ia
kembali kepada agama Islam dan bersatu dengan jamaah kaum Muslimin
maka sifat yang menghalalkan darahnya itu telah hilang, maka hilang pula
penghalalan darahnya itu.170 Wallahu a’lam.
Dan lafazh hadits Ibnu Mas’ud tidak ada perbedaan pendapat di
dalamnya, kuat, dan keshahihannya disepakati para ulama.

D. Selain tiga hal di Atas


Ada hadits-hadits lain yang menjelaskan tentang bolehnya membunuh
seorang Muslim karena selain tiga hal di atas: tsayyib (orang yang sudah
menikah) yang berzina, pembunuh, dan orang yang murtad dari agamanya
lagi meninggalkan jamaah kaum Muslimin. Orang-orang yang menurut
banyak ulama boleh (halal) dibunuh oleh ulil amri dengan sebab pelanggaran
syari’at, di antaranya:171
1. Liwath (homoseksual/sodomi).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , dari Nabi beliau bersabda:

“Apabila kalian mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth

169
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3017, 6922), Ahmad (1/217), Abu Dawud (no. 4351), al-Tirmidzi
(no. 1458), al-Nasai (VII/105), Ibnu Majah (no. 2535), dan Ibnu Hibban (no. 4458—al-Ta’liqat al-
Hisan) dari Ibnu Abbas.
170
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/318-319).
171
Nomor 1 sampai 11 dinukil dan diringkas dari Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/320-325).
85
(homosexual/sodomi) maka bunuhlah pelaku dan objeknya.”172
Pendapat tersebut dipegang oleh banyak ulama, di antaranya adalah
Imam Malik dan Ahmad, mereka berkata: “Hadits itu mengharuskan
pembunuhan dalam kondisi apa pun, baik telah menikah maupun belum
menikah.”

2. Laki-laki yang menikahi wanita mahramnya


Telah diriwayatkan perintah untuk membunuhnya. Diriwayatkan
bahwa Nabi membunuh laki-laki yang menikah dengan mantan istri
ayahnya.173
Pendapat ini dipegang oleh sejumlah ulama, mereka mewajibkan
pembunuhan orang tersebut, baik telah menikah maupun belum.

3. Tukang sihir
Disebutkan dalam Sunan al-Tirmidzi, dari Jundub secara marfu:

“Hukuman bagi tukang sihir adalah pukulan dengan pedang (dibunuh).”174


Al-Tirmidzi menyebutkan bahwa yang benar hadits ini mauquf hanya
kepada Jundub.
Ini adalah pendapat sejumlah ulama, di antara mereka adalah Umar
bin Abdil Aziz, Malik, Ahmad, dan Ishaq. Tetapi mereka berkata: “Penyihir
dianggap kafir karena sihirnya, jadi, hukum dirinya seperti hukum orang
murtad.”

4. Pembunuhan atas orang yang menggauli hewan


Ada hadits marfu’ tentang hal ini, dan ini adalah pendapat sejumlah
ulama. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Barangsiapa menggauli hewan maka
bunuhlah ia dan hewan yang digaulinya itu.”175

5. Orang yang meninggalkan shalat


Menurut sebagian besar ulama, ia dibunuh, kendati mereka berkata: “Ia tidak
kafir.” Pembahasan masalah ini panjang dan sudah sedikir disinggung di
hadits ketiga dari Arba’in ini.

6. Peminum khamr pada kali keempat


Perintah pembunuhannya diriwayatkan dari Nabi dari jalur yang
banyak, diriwayatkan dari beberapa Sahabat.176 Ini adalah pendapat
Abdullah bin Amr bin al-Ash dan selainnya.

172
Shahih: HR. Ahmad (I/300), Abu Dawud (no. 4462), al-Tirmidzi (no. 1456), Ibnu Majah (no.
2561), Ibnu al-jarud (no. 820), dan al-Hakim (IV/355). Beliau menshahihkannya dan disepakati oleh
al-Dzahabi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (no. 2350).
173
Shahih: HR. Ahmad (IV/295), Abu Dawud (no. 4457), al-Tirmidzi (no. 1362), Ibnu Majah (no.
2607), dan al-Nasai (VI/109) dari al-Bara’ bin Azib
174
Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (no. 1460), al-Hakim (IV/360) dan al-Daraquthni (III/41). Yang
benar hadits ini mauquf sampai kepada Jundub
175
Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4464), al-Tirimidzi (no. 1455), Ibnu Majah (no. 2564), dan al-
Baihaqi (VIII/233), dan al-Hakim (IV/355). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-
Ghalil (no. 2348).
176
Hasan shahih: HR. Ahmad (IV/93), Abu Dawud (no. 4482), al-Tirmidzi (no. 1444), dan Ibnu
Majah (no. 2573). Dishahihkan oleh al-Hakim (IV/372) dari Mu’awiyah
86
Namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa pembunuhan
peminum khamr telah dihapus. Buktinya, diriwayatkan bahwa peminum
khamr pada kali keempat didatangkan kepada Nabi namun beliau tidak
membunuhnya.
Diriwayatkan bahwa seseorang didatangkan kepada Nabi karena
meminum minuman keras lalu orang tersebut dilaknat seseorang sambil
berkata: “Betapa seringnya orang ini didatangkan kepada beliau.” Nabi
bersabda: “Engkau jangan melaknatnya, demi Allah, aku tidak mengenalnya
melainkan ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”177 Beliau tidak membunuh
peminum khamr itu.

7. Pencuri pada kali kelima


Maka dia dibunuh.178 Ada yang mengatakan bahwa sebagian fuqaha’
berpendapat seperti itu. Wallahu a’lam.

8. Khalifah sempalan. Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda:

“Apabila dua khalifah dibai’at, bunuhlah khalifah terakhir (kedua).”179

9. Orang yang memecah belah jamaah kaum Muslimin


Nabi bersabda: “Barangsiapa datang kepada kalian, sedang ketika itu
urusan kalian telah menyatu pada satu orang, lalu ia ingin membelah tongkat
(persatuan) kalian atau memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah ia.”180

10. Orang yang menghunus pedang


Al-Nasai meriwayatkan hadits dari Ibnu Zubair, dari Nabi, beliau
bersabda: “Barangsiapa menghunus pedang kemudian meletakkannya, maka
darahnya tidak ada perhitungan (sia-sia).”181
Imam Ahmad pernah ditanya tentang makna hadits ini kemudian
beliau menjawab: “Aku tidak tahu apa makna dari hadits tersebut.”
Sementara itu, Ishaq bin Rahawaih mengatakan: “Yang dimaksud
oleh Nabi ialah seseorang yang menghunus pedang, kemudian
meletakkannya kepada manusia hingga ia membunuh mereka tanpa bertanya
kepada salah seorang dari mereka. Dengan begitu pembunuhan dirinya
dihalalkan.”

11. Orang yang memata-matai kaum Muslimin demi kepentingan orang kafir
Imam Ahmad memilih tawaqquf (tidak berpendapat tentang ini).
Sejumlah sahabat Malik dan Ibnu ‘Aqil dari ulama madzhab Hanbali
memperbolehkan pembunuhan mata-mata Muslim jika memata-matai untuk

177
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6780) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/337, no. 2606).
178
Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4410), al-Nasai (VIII/90-91), dan al-Baihaqi (VIII/272) dari Jabir
bin Abdillah
179
Shahih: HR. Muslim (no. 1853) dari Abu Sa’id al-Khudri.
180
Shahih: HR. Muslim (no. 1852 [60]) dari Arfajah.
181
Shahih: Diriwayatkan oleh al-Nasai (VII/117) dan al-Hakim (II/159) dari jalur Ma'mar bin
Rasyid dari Abdullah bin Thawus, dari ayahnya, dari Abdullah bin Zubair secara marfu. Al-Hakim
berkata: “Shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhaini (al-Bukhari dan Muslim),” dan disepakati oleh
al-Dzahabi. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali berkata dalam ‘Iqaz al-Himam (hlm. 201). “(Derajatnya)
seperti yang keduanya katakan.”
87
orang kafir secara berulang-ulang. Mereka berhujjah dengan sabda Nabi
tentang Hathib bin Abi Balta’ah yang menulis surat untuk penduduk
Makkah. Di suratnya, Hathib bin Abi Balta’ah memberitahukan kepada
penduduk Makkah tentang keberangkatan Rasulullah ‫ﷺ‬ kepada mereka dan
menyuruh mereka siap siaga.
Oleh karena itu: Umar bin al-Kahththab meminta izin kepada
Rasulullah ‫ﷺ‬ untuk membunuh Hathib bin Abi Balta’ah. Nabi bersabda:
“Sesungguhnya ia mengikuti Perang Badar.” Nabi tidak bersabda: “Hathib
bin Abi Balta’ah tidak patut dibunuh karena perbuatannya,” namun beliau
memberikan alasan yang membuatnya tidak boleh dibunuh, yaitu
keikutsertaannya di Perang Badar dan ampunan Allah bagi seluruh
Mujahidin Perang Badar.
Dan alasan yang menghalangi pembunuhan tersebut tidak ada lagi
pada orang selain Hathib bin Abi Balta’ah.

12. Orang yang mencaci-maki dan menghina Rasulullah ‫ﷺ‬


Para ulama sepakat bahwa orang itu harus dibunuh.182

Beberapa Kandungan Hadits


1. Hadits ini menunjukkan tentang terjaganya kehormatan seorang Muslim.
2. Haram dan terhormatnya darah seorang Muslim. Dan ini adalah perkara
yang disepakati berdasarkan dalil dari al-Qur-an, as-Sunnah, dan ijma’.
3. Darah seorang Muslim menjadi halal untuk ditumpahkan karena salah
satu dari tiga keadaan berikut:
a. Orang yang sudah menikah lalu berzina, baik laki-laki maupun wanita
maka hukumannya adalah dirajam sampai mati.
b. Orang yang membunuh orang lain dan syarat-syarat qishash telah
terpenuhi padanya, maka ia dibunuh.
c. Orang yang memisahkan diri dari jamaah kaum Muslimin, maka ia
dibunuh karena telah murtad dari agama Islam.
4. Darah selain orang Islam itu halal untuk ditumpahkan selama ia bukan
kafir mu’ahad, atau kafir musta’man, atau dzimmi. Apabila keadaan
mereka adalah salah satu dari ketiga jenis kafir itu, maka darahnya tidak
boleh ditumpahkan.
5. Hadits ini menganjurkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan
jamaah kaum Muslimin dan tidak boleh memisahkan diri dari mereka.
6. Allah mensyari’atkan hudud (hukum hadd) untuk mencegah, melindungi
serta membentengi masyarakat dari berbagai tindak kejahatan.
7. Orang yang berzina padahal ia telah menikah, maka hukumannya dirajam
(dilempari dengan batu) sampai mati.
8. Disyariatkannya qishash. Namun keluarga si korban boleh memilih
antara ditegakkannya qishash atau memaafkan si pembunuh dengan
membayar diyat atau memaafkannya tanpa harus membayar diyat.
9. Wajibnya membunuh orang murtad apabila ia tidak mau bertaubat, dan
yang melaksanakannya adalah ulil amri.

Lihat bahasan khusus masalah ini dalam kitab al-Sharim al-Maslul 'ala Syatim al-Rasul karya
182

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.


88
10. Penegakan hadd adalah hak ulil amri atau orang yang diberikan
wewenang olehnya.

HADITS KELIMA BELAS


DI ANTARA AKHLAK ORANG BERIMAN
UCAPAN YANG BAIK, MEMULIAKAN
TETANGGA, DAN MENGHORMATI TAMU

‫ " َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاَللَّ ِه َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَلْيَ ُق ْل‬:‫ال‬


َ َ‫ول اللَّ ِه ق‬َ ‫َن َر ُس‬ َّ ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة أ‬
‫ َوَم ْن َكا َن‬،ُ‫ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاَللَّ ِه َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم َج َاره‬،‫ت‬ ْ ‫ص ُم‬
ِ
ْ َ‫َخْي ًرا أ َْو لي‬
ِ ِ ِ ِ
َ ‫يُ ْؤم ُن بِاَللَّه َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
."ُ‫ضْي َفه‬
‫ُ َوُم ْنلِم‬ ‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ‫ﷺ‬ telah bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia
berkata baik atau diam, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya, dan barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan
tamunya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Syarah Hadits

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari


Akhir,” ini menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah
perkara iman. Sebagaimana yang telah jelas bahwa amal perbuatan termasuk
dari iman. Perbuatan-perbuatan iman terkadang terkait dengan hak-hak
Allah, seperti mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal
yang diharamkan. Dan termasuk dalam cakupan perbuatan- perbuatan iman
ialah berkata yang baik atau diam dari selainnya. Perbuatan-perbuatan iman
juga terkadang terkait dengan hak-hak hamba Allah, misalnya memuliakan
tamu, memuliakan tetangga, dan tidak menyakitinya. Ketiga hal itu
diperintahkan kepada seorang Mukmin, salah satunya dengan mengucapkan
perkataan yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.183

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Hendaklah ia berkata baik atau diam”


Perintah untuk berkata baik dan diam dari perkataan yang tidak baik atau sia-
sia. Jadi adakalanya perkataan itu baik sehingga diperintahkan diucapkan.
Dan adakalanya perkataan itu tidak baik dan sia-sia sehingga diperintahkan

183 Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/333).


89
untuk diam darinya.
Allah berfirman:

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya


Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). ” (Qs. Qaf [50]: 18)

Dari sini dapat diketahui bahwa perkataan yang tidak baik hendaknya
tidak diucapkan, lebih baik diam, kecuali jika sangat dibutuhkan. Sebab,
banyak berbicara yang tidak bermanfaat membuat hati menjadi keras.
Umar berkata: “Barangsiapa banyak bicara, banyak pula
kesalahannya, barangsiapa banyak kesalahannya, banyak pula dosanya, dan
barangsiapa banyak dosanya, maka Nerakalah yang lebih layak baginya.”184

Sabda Nabi berikutnya, ”Hendaklah ia memuliakan tetangga.”


Dalam sebagian riwayat terdapat larangan menyakiti tetangga karena
menyakiti tetangga hukumnya haram. Sebab, menyakiti tanpa alasan
yang benar itu diharamkan atas setiap orang. Tetapi dalam hak tetangga
perbuatan menyakiti itu lebih berat keharamannya.
Dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Syuraih dari Nabi beliau
bersabda:
“Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak
beriman.” Ditanyakan: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ , siapa dia?” Beliau menjawab:
“(Yaitu) Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”185
Adapun memuliakan tetangga dan berbuat baik kepadanya adalah
diperintahkan, Allah berfirman:

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga
jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan
diri. ” (Qs. An-Nisa’ [4]: 36)
Dijelaskan oleh para ulama bahwa tetangga itu ada tiga:
1. Tetangga Muslim yang memiliki hubungan kerabat, maka ia memiliki
tiga hak, yaitu hak tetangga, hak Islam, dan hak kekerabatan.
2. Tetangga Muslim, maka ia memiliki dua hak, yaitu hak tetangga, dan hak
Islam.
3. Tetangga kafir, ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga.186
Dan kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga.
Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Tidak dikatakan beriman seorang yang
kenyang, sedang tetangga di sampingnya kelaparan.”187
Al-Hasan mengatakan: “Bertetangga yang baik bukanlah menahan

184
Raudhah al-‘Uqala’ wa Nuzhah al-Fudhala’ (hlm. 43) karya Ibnu Hibban al-Busti.
185
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6016) dan Ahmad (II/288, 336).
186
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 141).
187
Shahih: HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 112), al-Hakim (IV/167), al-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 12741), dan al-Bahaqi (X/3) dari Ibnu Abbas Dishahihkan oleh al-
Hakim dan disepakati oleh al-Dzahabi, dan dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah
al-Ahadits al-Shahihah (no. 149).
90
diri dari mengganggunya, tetapi bertetangga yang baik ialah bersabar
terhadap gangguannya.”188
Di zaman Rasulullah ‫ﷺ‬ ada seorang wanita yang rajin shalat malam,
puasa, dan sedekah akan tetapi dia selalu mengganggu tetangganya dengan
lisannya, maka Nabi bersabda: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk
penghuni Neraka.” Kemudian disebutkan lagi ada wanita yang dia
melakukan shalat wajib lima waktu dan dia suka bersedekah dengan keju
dan tidak mengganggu seorang pun juga, maka Nabi bersabda: “Dia
termasuk ahli Surga.”189

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Hendaklah ia memuliakan tamu.” Dari Abu


Syuraih, ia berkata: “Kedua mataku melihat Nabi dan kedua telingaku
mendengar ketika beliau bersabda: ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya dengan memberikannya
hadiah.’ Sahabat bertanya: ‘Apa hadiahnya itu, wahai ‫ﷺ‬ ?’ Beliau menjawab:
‘(Menjamunya) sehari semalam. Jamuan untuk tamu ialah tiga hari dan
selebihnya adalah sedekah.’”190
Muslim juga meriwayatkan hadits Abu Syuraih, dari Nabi beliau
bersabda: “Jamuan untuk tamu adalah tiga hari dan hadiah (untuk bekal
perjalanan) untuk sehari semalam. Tidak halal bagi seorang Muslim menetap
di rumah saudaranya kemudian membuatnya berdosa.” Para Sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Bagaimana ia membuatnya berdosa?” Nabi
menjawab: “Ia (bertamu/menginap) padanya, namun tuan rumah tidak
mempunyai sesuatu untuk memuliakannya.”191

Beberapa Kandungan Hadits

1. Adab dan akhlak termasuk cabang iman.


2. Iman kepada Allah dan hari Akhir adalah rukun iman yang penting
karena mengingatkan kita kepada Allah yang pertama menciptakan dan
mengingatkan kita bahwa kita akan kembali kepada Allah dan akan
dihisab.
3. Wajib menjaga lisan dan berkata yang baik.
4. Wajib diam kecuali untuk perkataan yang baik.
5. Islam mengajak kepada setiap perbuatan yang mengandung kasih sayang
dan kerukunan di tengah masyarakat.
6. Wajibnya menghormati tetangga, dan penghormatan tersebut kembali
kepada kebiasaan masyarakat di sekitarnya.
7. Wajibnya memuliakan tamu, baik tamunya sedikit maupun banyak,
menurut kemampuan
8. Memuliakan tamu yang wajib itu selama sehari semalam.
9. Bagi tamu tidak boleh menyulitkan tuan rumah.

188
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (1/353).
189
Shahih: HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 119), Ahmad (II/440), al-Hakim
(IV/166), dan Ibnu Hibban (no. 2054-Mawarid al-Zam-an) dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (no. 190).
190
Shahih: HR. Al-Bukhari Kitab “al-Luqathah” Bab: “adh-Dhiyafah wa Nahwiha” (no. 6019) dan
Muslim (no. 48 [14]).
191
Shahih: HR. Muslim (no. 48 [15]); Kitab “al-Luqathah”, Bab “adh-Dhiyafah wa Nahwiha”.
91
10. Penafian iman yang dimaksud dalam hadits adalah penafian
kesempurnaannya bukan pokok imannya. 474 475

HADITS KEENAM BELAS


JANGAN MARAH, KAMU AKAN MASUK
SURGA

،‫ فَ َرَّد َد ِمَر ًارا‬، ْ ‫ض‬ َ َ‫ ق‬.‫َّب أ َْو ِص ِِن‬ ِ َ َ‫عن أَِِب هري رَة أَ ْن رج ًَل ق‬
َ ‫ َل تَ ْغ‬:‫ال‬ ِّ ِ‫ال للن‬ َُ َ َْ ُ َْ
. "ْ ‫ض‬ َ ‫ َل تَ ْغ‬:‫ال‬ َ َ‫ق‬
ُ ‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi :
“Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab: “Engkau jangan marah!” Orang
itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi bersabda:
“Engkau jangan marah!” [HR. Al-Bukhari]

Syarah Hadits

Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin
Qudamah. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang
singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia
dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya
agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-
ulang, sedangkan Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini
menunjukkan bahwa marah adalah pangkal berbagai kejahatan, dan menahan
diri darinya adalah pangkal segala kebaikan.

Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan


yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang
yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan
seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang,
dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh,
mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan

92
permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat
kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, 192 dan seperti
sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau
mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.193
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Adapun hakikat marah
tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabiat yang tidak bisa hilang dari
perilaku kebiasaan manusia.”194
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan
karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam al-Qur-an disebutkan bahwasanya Allah marah dengan
marah yang berbeda dari kemarahan makhluk-Nya. Adapun marah yang
dinisbatkan kepada Allah Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada
orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melewati batas-
Nya.
Allah berfirman:

“Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan


(juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka
buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk,
dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan
Neraka Jahannam bagi mereka. Dan (Neraka Jahannam) itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (Qs. Al-Fath[48]: 6)195
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah
sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik
sebelum maupun sesudahnya.196
Setiap Muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh
mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan
sifat makhluk-Nya. Allah berfirman:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha
Mendengar, Maha Melihat. ” (Qs. Asy-Syura [42]: 11)
Sifat marah bagi Allah merupakan sifat yang sesuai dengan
keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang
wajib ditempuh oleh setiap Muslim.
Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk, ada yang terpuji
ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah dalam
membela agama Allah dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak
menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬beliau marah
karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka

192
Jabalah bin Aiham adalah seorang raja yang masuk Islam pada zaman Nabi akan tetapi dia
murtad pada zaman Umar dan bergabung dengan pasukan Romawi. Sebabnya adalah dia menginjak
seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menamparnya, lalu ia (Jabalah) ingin membunuh laki-laki
tersebut. Akan tetapi Umar berkata: “Tampar balik laki-laki itu.” Maka Jabalah marah, kemudian
murtad. Kemudian dia menyesali atas kemurtadannya−kita berlindung kepada Allah dari
keangkuhan dan kesombongan. (Lihat Siyar A’lam al-Nubala [III/532] cet. Muassasah ar-Risalah).
193
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/369).
194
Fath al-Bari (X/520).
195
Lihat juga surah Thaha ayat 81 dan surah Al-Mumtahanah ayat 13.
196
HR. Al-Bukhari (no. 4712), Muslim (no. 194), al-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435-436), Ibnu
Hibban (no. 6431- al-Ta’liqat al-Hisan), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan al-Nasai dalam as-
Sunanul Kubra (no. 11222) dari Abu Hurairah.
93
beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa197 dan marahnya Nabi
Yunus.198
Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri,
kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah
mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada
kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad mengatakan: “Marah adalah pintu segala
kejelekan.”
Dikatakan kepada Ibnul Mubarak: “Kumpulkanlah untuk kami
akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab: “Meninggalkan
amarah.”
Demikian juga Imam Ahmad dan Ishaq menafsirkan bahwa akhlak
yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.199

Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:


a) Berlindung kepada Allah dari godaan syaitan dengan membaca:

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan terkutuk.”


b) Mengucapkan kalimat yang baik, berdzikir, dan mengucapkan
istighfar.
c) Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
d) Dianjurkan berwudhu’.200
e) Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah
duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
f) Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
g) Berikan hak badan untuk beristirahat.
h) Ingatlah akibat jelek dari amarah.
i) Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarah.
Wallahu a’lam.

Beberapa Kandungan Hadits

1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat


bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang
memintanya.
3. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
4. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut
mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
5. Marah merupakan sifat dan tabiat manusia.
6. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang
Mukmin.

197
Lihat surah Al-A’raf ayat 150.
198
Lihat surah Al-Anbiya’ ayat 87.
199
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/363).
200
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah. Dikatakan oleh
pen-tahqiq Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam “Sanadnya hasan.” Akan tetapi, hadits ini dilemahkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah (no. 582). Wallahu a’lam.

94
7. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang dapat membawa kepada
kemarahan.
8. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah,
untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak
merusak.
9. Sabar, pemaaf, dan suka berbuat kebajikan merupakan sifat orang
yang beriman.
10. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari
godaan syaitan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di
atas tentang obat meredam amarah.

HADITS KETUJUH BELAS


WAJIBNYA BERLAKU BAIK DALAM SEGALA
HAL

ِْ َ َ‫إن اللَّهَ َك‬ ‫ول اللَّ ِه‬


ِ ‫َّاد ب ِن أَو ٍس َعن رس‬ ِ
‫ال ْح َنا َن‬ َّ " :‫ال‬َ َ‫ق‬ َُ ْ ْ ْ ‫َع ْن أَِِب يَ ْعلَى َشد‬
‫ َولْيُ ِح َّد‬،َ‫اله ِْبَة‬
ِّ ‫َح ِننُوا‬ ‫ َوإِذَا‬،َ‫َح ِننُوا الْ ِقْ لَة‬ ٍ
ْ ‫َذ َِْبُ ْم فَأ‬ ْ ‫ فَِإ َذا قََ ْلُ ْم فَأ‬،‫َعلَى ُك ِّل َش ْ ء‬
ِ
َ ‫ َولْ ُِري ْح َذب‬،ُ‫َح ُد ُك ْم َش ْفَرتَه‬
."ُ‫يحَه‬ َ‫أ‬
 ‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬
Dari Abu Ya’Ia Syaddad bin Aus dari Rasulullah ‫ ﷺ‬beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu.
Maka jika kalian membunuh, hendaklah membunuh dengan cara yang baik.
Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik.
Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan
hewan sembelihannya.” [HR. Muslim]

Syarah Hadits

Imam al-Nawawi berkata: “Hadits ini termasuk dari hadits-hadits


yang mencakup kaidah-kaidah Islam.”201 Karena, hadits ini menunjukkan
keumuman berbuat baik dalam segala hal. Beliau menyuruh berbuat baik
dalam membunuh dan berbuat baik dalam menyembelih hanyalah sebagai
contoh atau perlunya menjelaskan hal itu. Oleh karena itu, Imam al-Nawawi
telah benar dan tepat dalam memilih hadits ini dan memasukkannya ke
dalam kitab al-Arbain yang beliau susun. Hal itu karena hadits ini menyeru

201
Syarh Shahib Muslim (XIII/107).
95
kepada kaidah yang umum, yang mencakup setiap perkataan dan perbuatan,
dan ini merupakan maksud beliau dalam mengumpulkan empat puluh
hadits.202

Sabda Nabi : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik


terhadap segala sesuatu.” Lafazh hadits menghendaki Allah mewajibkan
berbuat baik kepada seluruh makhluk. Jadi, diwajibkan berbuat baik dalam
segala hal dan kepada seluruh makhluk, baik manusia maupun binatang.
Ihsan adalah bentuk mashdar dari kata (ahsana, yuhsinu, ihsanari),
maknanya ialah memberikan manfaat kepada orang lain.203 Perintah berbuat
baik ini terkadang bermakna wajib, seperti berbuat baik kepada kedua orang
tua dan sanak kerabat, sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan bakti
dan silaturahmi.
Atau berbuat baik kepada tamu sesuai dengan kadar yang bisa
menghasilkan jamuan untuknya. Dan terkadang perintah berbuat baik ini
bermakna sunnah (dianjurkan), seperti shadaqah sunnah dan yang sepertinya.
Hadits ini menunjukkan kewajiban berbuat baik kepada segala
sesuatu, namun berbuat baik kepada sesuatu itu sesuai dengan kadarnya.
Berbuat baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang terlihat dan
tersembunyi ialah melaksanakannya dengan sempurna.

Lalu beliau bersabda: “Maka jika kalian membunuh, hendaklah


membunuh dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih,
hendaklah menyembelih dengan cara yang baik ...”Maksudnya adalah,
hendaklah kalian berbuat baik dalam tata cara menyembelih dan membunuh.
Ini menunjukkan wajibnya mempercepat pembunuhan jiwa yang boleh
dibunuh dengan cara yang paling mudah. Ibnu Hazm menyebutkan adanya
ijma5 (kesepakatan) tentang wajibnya berbuat baik dalam menyembelih.

Cara membunuh orang yang paling mudah ialah memenggal lehernya.


Allah berfirman:
“Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang),
maka pukullah batang leher mereka.” (Qs. Muhammad [47]: 4)

“Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir,
maka pukullah di atas leher mereka, dan pukullah tiap-tiap ujung jari
mereka.” (Qs. Al-Anfal [8]: 12)204

Sabda Nabi: “Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih


dengan cara yang baik.” Hendaklah seorang dari kalian menajamkan
pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” Dan termasuk berbuat
baik dalam proses penyembelihan ialah memperhatikan syarat-syarat wajib
dan anjuran yang terdapat dalam syari’at, di antaranya:
1. Alat yang dipakai harus tajam dan dapat mengalirkan darah.

202
Qawa’id wa Fawa-id minal Arba’in al-Nawawiyyah (hlm. 153).
203
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 154).
204
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/382).
96
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah (waktu
menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi ....”205
Sebagaimana sabda beliau di hadits ini: “Hendaklah seorang dari kalian
menajamkan pisaunya…”

2. Memotong tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher sekaligus


dengan cepat
Boleh menyembelih hewan dengan cara melukai bagian mana saja
hingga mati apabila hewan tersebut sulit untuk disembelih secara syar’i,
misalnya hewan yang terjatuh ke dalam sumur atau liar dan sulit untuk
ditangkap. Hal ini berdasarkan sabda beliau mengenai unta yang kabur dan
sulit untuk menangkapnya lalu seorang Sahabat memanahnya:
“Sesungguhnya di antara unta-unta ini ada yang liar seperti liarnya binatang
buas. Maka jika di antara unta itu ada yang sempat membuat kalian
kerepotan, maka lakukanlah hal itu terhadapnya.”206 Maksudnya panahlah di
lehernya atau bunuhlah, kemudian makanlah.

3. Membaca basmalah (bismillah)


Berdasarkan firman Allah:

“Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika
disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu
kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-
kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka,
tentu kamu telah menjadi orang musyrik.” (Qs. Al-An’am [6]: 121)

Juga berdasarkan sabda Nabi :

“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah (waktu
menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi ....”207
Apabila tidak diketahui, apakah hewan tersebut disembelih dengan
membaca basmalah atau tidak, atau lupa ketika menyembelihnya, maka
membaca basmalah dilakukan ketika hendak makan hewan sembelihan
tersebut.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa suatu kaum yang baru saja masuk
Islam, mereka membawa daging (memberi hadiah) kepada Aisyah, lalu
Aisyah bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ , sesungguhnya ada
suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging yang kami
tidak mengetahui apakah disebutkan nama Allah atau tidak?” Maka
Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda kepada mereka: “Sebutlah oleh kalian nama
Allah padanya (baca: bismillah), kemudian makanlah.”208

205
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5503), Muslim (no. 1968), Abu Dawud (no. 2821), al-Tirmidzi
(no. 1491), al-Nasai (VII/226), dan Ibnu Majah (no. 3178) dari Rafi’ bin Khadij.
206
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5543) dan Muslim (no. 1968) dari Rafi’ bin Khadij.
207
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5503), Muslim (no. 1986), Abu Dawud (no. 2821), al-Tirmidzi
(no. 1491), al-Nasai (VII/226), dan Ibnu Majah (no. 3178) dari Rafi’ bin Khadij.
208
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2057) dan selainnya.
97
4. Sifat orang yang menyembelih
Yaitu orang Islam, berakal, baligh, atau anak kecil yang telah
mumayyiz, atau Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), dengan syarat sembelihan
mereka bukan untuk dipersembahkan untuk gereja atau hari raya mereka.
Tentang makanan (sembelihan) Ahlul Kitab dihalalkan dalam surah
Al-Ma-idah ayat 5 Nabi pernah makan paha kambing yang dihadiahkan oleh
seorang perempuan Yahudi di Khaibar.209

5. Tidak mengasah pisau di hadapan hewan sembelihan


Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi melewati seorang yang
meletakkan kakinya di atas perut seekor kambing sambil mengasah pisau,
sedang kambing itu melihatnya dengan mata kepalanya, maka Nabi
bersabda: “Mengapa engkau tidak melakukannya sebelum ini? Atau apakah
engkau hendak membuatnya mati dengan dua kematian?”210

6. Tidak memotong sesuatu dari tubuh hewan sembelihan hingga


menyembelih benar-benar selesai dan hewan sembelihan sudah mati serta
tidak berlebihan dalam memotongnya.211
Oleh karena itu, Nabi memerintahkan untuk berbuat baik dalam
pembunuhan dan penyembelihan. Beliau memerintahkan penajaman pisau
dan menyenangkan hewan sembelihan. Ini menunjukkan bahwa
penyembelihan dengan senjata tajam itu menyenangkan hewan sembelihan
karena pisau tajam mempercepat kematiannya.

Beberapa Kandungan Hadits

1. Perintah berlaku baik dalam segala hal. Termasuk berbuat baik ialah
menunjukkan jalan kepada seseorang, memberikan makanan, amar
ma’ruf nahi munkar, dan lain sebagainya.
2. Wajib berlaku baik dalam segala hal karena Allah mewajibkan hal itu,
maksudnya mensyari’atkannya secara tegas.
3. Baiknya pengajaran Nabi dengan cara memberikan permisalan karena
pengajaran dengan cara memberi permisalan lebih dapat mendekatkan
kepada maksud yang diinginkan.
4. Wajibnya berbuat baik dalam cara membunuh.
5. Dilarang membunuh dengan cara membakar dan mencincang seseorang
setelah dia meninggal tanpa alasan yang dibenarkan.
6. Tidak boleh menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai tujuan lemparan
atau memanah.
7. Wajibnya berlaku baik dalam menyembelih, yaitu menyembelih dengan
cara yang disyari’atkan.

209
Tentang bahasan ini lihat at-Ta'liqatur Radhtyyah ‘ala ar-Raudhatun Nadiyyah (III/66-71) dan
kitab-kitab fiqih lainnya.
210
Hasan: HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 11916). Lihat Silsilah al-Ahadits al-
Shahihah (no. 24).
211
Lihat Qawa’id wa Fawa-id min al-Arba’in al-Nawawiyyah (him. 156-157) dengan sedikit
perubahan dan tambahan.
98
8. Wajibnya menajamkan pisau untuk menyembelih, yaitu dengan
mengasahnya, karena hal itu lebih memudahkan dalam penyembelihan.
9. Tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang akan disembelih.
10. Wajibnya menyenangkan hewan sembelihan, yaitu dengan cara
menyembelih secepat mungkin.

HADITS KEDELAPAN BELAS


BERTAKWA KEPADA ALLAH DAN AKHLAK
YANG MULIA

ِ ِ ِ ِ ‫َعن أَِِب ذَ ٍّر جْن َد‬


ُ‫ َوأَِِب َعْبد ا َّلر ْْحَ ِن ُم َعاذ بْ ِن َجبَ ٍل َرض َ اللَّه‬،َ‫ب بْ ِن ُجنَ َادة‬ ُ ْ
،‫اسَ َننَةَ َتَْ ُح َها‬
ْ َ‫النيِّئَة‬ َ َ‫ول اللَّ ِه ق‬
َّ ‫ َوأَتْبِ ْع‬،‫ "ات َِّق اللَّهَ َحْيثُ َما ُكْنت‬:‫ال‬ ِ ‫ َعن رس‬،‫َعْن هما‬
َُ ْ َُ
. "‫َّاس ِِبُلُ ٍق َح َن ٍن‬‫ن‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ِ‫وخال‬
َ ْ ََ
.‫ص ِحيك‬ ِ ‫ َوِ بَ ْع‬،‫ َح ِديث َح َنن‬:‫ال‬
َ ‫ َح َنن‬:‫ض النع َن ِخ‬ ‫َرَواهُ ال ِّْرِم ِه ع‬
َ َ‫ُ َوق‬
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal
, beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah di mana
dari Rasulullah ‫ﷺ‬
pun engkau berada. Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya
kebaikan itu akan menghapusnya. Dan bergaullah sesama manusia
dengan akhlak mulia.”
[HR. Al-Tirmidzi; dan beliau berkata: “Ini hadits hasan,” dan di sebagian
naskah disebutkan: “Hadits ini hasan shahih.”]

Syarah Hadits

Dalam hadits ini ada tiga pembahasan:


1. Bertakwa kepada Allah.
2. Mengiringi perbuatan jelek dengan kebaikan.
3. Bergaul sesama manusia dengan akhlak yang mulia.

A. Bertakwa Kepada Allah


Menurut bahasa, takwa berarti menjaga diri atau berhati-hati.
Dikatakan: yang artinya: aku menjaga diri dari sesuatu atau aku berhati-hati
terhadapnya.
Allah berfirman:

“... Dialah Rabb yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan yang berhak
memberi ampunan. ” (Qs. Al-Muddatstsir [74]: 56)

99
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Hakikat takwa ialah melakukan
ketaatan kepada Allah dilandasi keimanan dan mengharap pahala-Nya baik
berupa perintah maupun larangan, sehingga seseorang melakukan perintah
Allah dengan mengimani Dzat yang memerintah dan membenarkan janji-
Nya, dan ia meninggalkan apa yang Allah larang baginya dengan mengimani
Dzat yang melarangnya dan takut terhadap ancaman-Nya, sebagaimana
dikatakan Thalq bin Habib: ‘Apabila terjadi fitnah, padamkanlah fitnah itu
dengan takwa.’ Orang-orang bertanya: ‘Apakah takwa itu?’ Ia menjawab:
‘Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan
cahaya212 dari Allah karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau
meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan
cahaya dari-Nya karena takut terhadap siksa-Nya.’”
Takwa adalah wasiat Allah untuk generasi terdahulu dan yang
terakhir.
Allah berfirman:
“... sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci
sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah.... ” (Qs.
An-Nisa’ [4]: 131)
Takwa adalah wasiat Rasulullah ‫ﷺ‬kepada umatnya. Ketika
Rasulullah ‫ﷺ‬ berkhutbah saat haji Wada’ pada hari penyembelihan hewan
kurban, beliau berwasiat kepada manusia agar mereka bertakwa kepada
Allah dan mendengar serta taat kepada pemimpin mereka.213

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Bertakwalah kepada Allah di mana saja


engkau berada.” Maksudnya ialah bertakwalah kepada-Nya di saat sepi
maupun ramai, atau ketika dilihat manusia maupun tidak dilihat manusia.

Rasulullah ‫ﷺ‬mengucapkan dalam doanya:


“Aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di kala sendirian dan
disaksikan orang lain ,...”214 Sulaiman at-Taimi berkata: “Jika seseorang
berbuat dosa pada saat sendirian, maka di pagi harinya kehinaan terlihat
padanya.”215

Di antara kiat-kiat yang dapat dipraktikkan untuk meraih takwa


adalah sebagai berikut:
a. Menuntut ilmu syar’i216 dan mengamalkannya.
b. Melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya.
Perintah yang paling besar adalah mentauhidkan Allah dan larangan
yang paling besar adalah mempersekutukan Allah.
c. Bergaul dengan orang-orang yang shalih.
d. Selalu merasa diawasi oleh Allah.

212
Iman dan ilmu yang benar dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman
Salafush Shalih.
213
Shahih: Ahmad (V/251), al-Tirmidzi (no. 616), dan Ibnu Hibban (no. 4544-at-Ta’liqdtul Hisan)
dari Abu Umamah .
214
Shahih: HR. Al-Nasai (III/54-55), Ibnu Hibban (no. 1968- al-Ta’liqat al-Hisan), dan selainnya
dari Ammar bin Yasir .
215
Ibid (I/411).
216
Baca buku Ust. Yazid ‫“حفظه هللا‬Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga”, cet. VIII-Pustaka at-
Takwa.
100
e. Selalu berdoa kepada Allah agar diberikan ketakwaan.

B. Mengiringi Kesalahan Dengan Perbuatan Baik


Sebagaimana sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Iringilah kesalahan dengan
kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kesalahan tersebut.”
Seorang hamba diperintahkan bertakwa di kala sendirian dan ramai,
namun meskipun demikian, ia pasti terkadang lalai dalam bertakwa,
misalnya ia tidak mengerjakan sebagian hal-hal yang diperintahkan atau
mengerjakan sebagian hal-hal yang dilarang.
Oleh karena itu, ia diperintahkan mengerjakan perbuatan yang
menghapus kesalahan tersebut. Yaitu mengiringinya dengan perbuatan baik.
Allah berfirman: “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi
dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik
itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang selalu mengingat (Allah).” (Qs. Hud [11]: 114)

Ditanyakan kepada al-Hasan : “Kenapa salah seorang dari kita tidak


malu kepada Rabbnya? Ia beristighfar atas dosa-dosanya, kemudian berbuat
dosa lagi lalu beristighfar lagi, kemudian berbuat dosa lagi?” Al-Hasan
berkata: “Syaitan ingin sekali mengalahkan kalian dengan dosa-dosa
tersebut. Oleh karena itu, kalian jangan bosan beristighfar.”217

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : Iringilah kesalahan dengan kebaikan.” Bisa


jadi yang dimaksud dengan kebaikan dalam hadits di atas ialah taubat dari
kesalahan tersebut. Seperti firman Allah :
“Sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka
yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera
bertaubat. Taubat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana. ” (Qs. An-Nisa’ [4]: 17)

Ayat di atas menunjukkan bahwa barangsiapa bertaubat kepada Allah


dengan taubat nasuha dan syarat-syarat taubatnya lengkap, Allah pasti
menerima taubatnya sebagaimana keislaman orang kafir dapat dipastikan
diterima jika ia masuk Islam dengan keislaman yang benar. Ini pendapat
jumhur ulama.
Mungkin pula yang dimaksud dengan kebaikan pada sabda Nabi:
“Iringilah kesalahan dengan kebaikan,” ialah kebaikan yang lebih umum
daripada taubat seperti terlihat dalam firman Allah:
“... Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan”. (Qs.
Hud [11]: 114)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi beliau bersabda:


“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus kesalahan-
kesalahan dan meninggikan derajat-derajat?” Para Sahabat berkata: “Mau,
wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ .” Nabi bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ pada saat-
saat sulit (misalnya saat cuaca sangat dingin dan lain-lain), banyak

217
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/415).
101
melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah
ribath (menunggu di pos penjagaan dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan
yang disyari’atkan), itulah ribath.”218 Hadits-hadits yang semakna dengan ini
sangat banyak.219
Meski demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa ini hanya berlaku
pada dosa kecil. Adapun dosa besar, maka tidak bisa dihapus tanpa taubat
karena taubat perintah wajib kepada hamba-Nya, dan ini pendapat yang
paling benar di antara dua pendapat para ulama karena Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat


yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya;
sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka,
sambil mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami
cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala
sesuatu.” (Qs. At-Tahrim [66]: 8)
Selanjutnya sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : Dan bergaullah sesama manusia
dengan akhlak yang baik.” Berakhlak baik termasuk sifat takwa dan takwa
tidak sempurna kecuali dengannya. Beliau menjelaskan hal ini karena ada
sebagian orang yang menduga bahwa takwa ialah melaksanakan hak Allah
tanpa melaksanakan hak hamba-hamba-Nya. Allah mengkategorikan akhlak
yang baik terhadap manusia sebagai bagian dari penguat ketakwaan.
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya. Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Orang Mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya.”220
Sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak yang baik itu berupa
menahan gangguan, menahan amarah, memberi bantuan, bersabar terhadap
gangguan orang lain, wajah yang berseri, tidak mengganggu orang lain, dan
berkorban dalam bentuk memberi bantuan kepada orang-orang yang
membutuhkan. Demikian pula dengan amar ma’ruf nahi munkar serta
mengembalikan hak orang yang dizhalimi tanpa melewati batas.
Seorang Mukmin wajib berakhlak yang mulia dan ia harus bergaul
dengan manusia dengan akhlak yang mulia. Ia wajib berakhlak yang mulia
kepada orang tuanya, istrinya, anak-anaknya, sanak kerabat, tetangga, kaum
Muslimin.

Beberapa Kandungan Hadits

Shahih: HR. Muslim (no. 251).


218

Diringkas dari Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/416-424) dan Qawaid wa Fawa-id (hlm. 163-
219

164).
220Shahih lighairihi. HR. Ahmad (II/250,472), al-Tirmidzi (no. 1162), dan Ibnu Hibban (no. 1311-
al-Mawand) dari Abu Hurairah Lihat Silsilah al-Shahihah (no. 284).
102
1. Wajib bertakwa kepada Allah di mana pun seseorang berada. Yaitu
dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh
larangan-Nya, baik di saat bersama orang lain maupun ketika sendirian.
2. Wasiat takwa adalah wasiat yang paling agung.
3. Wajib seseorang memenuhi hak dirinya dengan bertaubat kepada Allah
dan berbuat kebajikan.
4. Sesungguhnya kebaikan akan menghapuskan kesalahan.
5. Dosa-dosa kecil dapat dihapus dengan melakukan amal-amal yang wajib
dan sunnah sesuai syari’at Islam (ikhlas dan ittiba).
6. Dosa-dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat yang nasuh (ikhlas,
jujur, dan benar).
7. Anjuran bergaul bersama manusia dengan akhlak yang baik (mulia).
8. Termasuk akhlak yang mulia berbakti kepada kedua orang tua,
menyambung tali silaturrahim, memaafkan, memberi bantuan,
tersenyum, dan menahan gangguan manusia dan lainnya.
9. Akhlak yang baik termasuk dari kesempurnaan iman dan sifat orang-
orang yang bertakwa, serta termasuk puncak dari agama Islam yang
lurus.
10. Akhlak yang baik termasuk asas dari peradaban hidup manusia, sebagai
sebab bersatunya umat, tersebarnya rasa cinta, dicintai Allah, dan
diangkatnya derajat pada hari Kiamat.

103
‫‪HADITS KESEMBILAN BELAS‬‬
‫‪JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH‬‬
‫‪MENJAGAMU‬‬

‫ول اللَِّه‬ ‫ف رس ِ‬ ‫عن عب ِد اللَّ ِه ب ِن عبَّ ٍ ِ‬


‫اس َرض َ اللَّهُ َعْن ُه َما قَا َل‪ُ " :‬كْنت َخ ْل َ َ ُ‬ ‫ْ َ‬ ‫َ ْ َْ‬
‫ِ‬ ‫ِ ٍ‬ ‫ال‪ :‬يَا غُ ََلِم! ِّ‬
‫اح َف ْظ اللَّهَ ََت ْدهُ‬ ‫اح َف ْظ اللَّهَ َْي َفظْك‪ْ ،‬‬ ‫ُعلِّ ُمك َكل َمات‪ْ :‬‬ ‫إِن أ َ‬ ‫يَ ْوًما‪ ،‬فَ َق َ‬
‫اسَ َعْنت فَا ْسَعِ ْن بِاَللَّ ِه‪َ ،‬و ْاعلَ ْم أ َّ‬
‫َن ْاْل َُّمةَ لَ ْو‬ ‫اسأ َْل اللَّهَ‪َ ،‬وإِ َذا ْ‬‫اهك‪ ،‬إ َذا َسأَلْت فَ ْ‬ ‫َُتَ َ‬
‫ت َعلَى أَ ْن يَْن َفعُوك بِ َش ْ ٍء ََلْ يَْن َفعُوك إَّل بِ َش ْ ٍء قَ ْد َكَبَهُ اللَّهُ لَك‪َ ،‬وإِ ْن‬ ‫اجَ َم َع ْ‬‫ْ‬
‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ٍ‬
‫ت‬ ‫ضعروك َّإل بِ َش ْ ء قَ ْد َكَبَهُ اللَّهُ َعلَْيك؛ ُرف َع ْ‬ ‫ضعروك بِ َش ْ ء ََلْ يَ ُ‬ ‫اجَ َمعُوا َعلَى أَ ْن يَ ُ‬ ‫ْ‬
‫ص ِحيك‪.‬‬ ‫ُ وقَ َ ِ‬ ‫صحف" ‪ .‬رواه الِّرِم ِ‬
‫ال‪َ :‬حديث َح َنن َ‬ ‫َ‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫ت ال ع ُ ُ َ َ ُ ْ‬ ‫ْاْلَقْ ََل ُم‪َ ،‬و َج َّف ْ‬
‫الر َخ ِاء‬
‫ف َإَل اللَّ ِه ِ َّ‬ ‫اح َف ْظ اللَّهَ ََِت ْدهُ أمامك‪ ،‬تَ َعَّر ْ‬ ‫ُ‪ْ " :‬‬ ‫َوِ ِرَوايَِة َغ ِْري ال ِّْرِم ِه ِّ‬
‫َصابَك ََلْ يَ ُك ْن‬ ‫ِ ِ‬ ‫الشدَّةِ‪َ ،‬و ْاعلَ ْم أ َّ‬ ‫يَ ْع ِرفُك ِ ِّ‬
‫َخطَأَك ََلْ يَ ُك ْن ليُصيبَك‪َ ،‬وَما أ َ‬ ‫َن َما أ ْ‬
‫َن َم َع الْعُ ْن ِر‬ ‫ب‪َ ،‬وأ َّ‬ ‫الص ِِْب‪ ،‬وأَ ْن الْ َفرن مع الْ َكر ِ‬ ‫َّ‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫َّص‬ ‫ن‬‫ال‬ ‫َّ‬
‫َن‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ل‬
‫َ‬ ‫اع‬
‫ْ‬ ‫و‬ ‫ك‪،‬‬ ‫ئ‬
‫َ‬ ‫لِير ِ‬
‫ط‬
‫ََ َ ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫َ َ‬ ‫ْ‬ ‫َ ْ‬ ‫ُْ‬
‫يُ ْنًرا"‪.‬‬
‫‪Dari Abul Abbas, Abdullah bin Abbas ia berkata-: “Rada suatu hari saya‬‬
‫‪pernah dibonceng di belakang Nabi beliau bersabda: “Wahai anak muda,‬‬

‫‪104‬‬
aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat, Jagalah Allah, niscaya Dia
akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di
hadapanmu. Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah, Jika
kamu meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah,
seandainya semua umat berkumpul untuk memberikanmu sesuatu
manfaat, maka mereka tidak dapat memberikanmu manfaat kecuali
dari apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Seandainya mereka
pun berkumpul untuk membahayakanmu, maka mereka tidak dapat
membahayakanmu kecuali dari apa yang telah Allah tetapkan atas
dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” [HR.
Al-Tirmidzi dan beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”]
Dalam riwayat selain Tirmidzi: “Jagalah Allah, pasti ‘kamu
mendapatkan-Nya di hadapanmu. Ingatlah Allah di waktu senang, pasti
Allah akan mengingatmu di waktu susah. Ketahuilah bahwa apa yang
semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa
yang mesti menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah
bahwa sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran, bahwa
bersama musibah ada kelapangan dan sesungguhnya bersama kesulitan
ada kemudahan.”

Syarah Hadits

Sabda Nabi : “Jagalah Allah.” Menjaga Allah maksudnya:


1. Menjaga hak-hak Allah. Hak Allah yang paling besar yang harus
dipenuhi oleh hamba-Nya adalah mentauhidkan Allah .
2. Menjaga shalat wajib yang lima waktu. Yang perlu diperhatikan
dalam menjaga shalat antara lain waktunya harus di awal waktu,
caranya sesuai dengan sifat shalat Nabi, dikerjakan secara berjamaah
di masjid (bagi laki-laki), dan terakhir yang harus dijaga yaitu
kekhusyuan shalat.
3. Menjaga thaharah atau bersuci.
4. Menjaga sumpah apabila bersumpah. Begitu pula memenuhi nadzar
bila bernadzar.
5. Menjaga kepala beserta alat indra yang berada padanya dari hal-hal
yang haram dan menjaga perut beserta apa yang dikandungnya dari
hal-hal yang haram pula.

Sabda Nabi berikutnya: “Allah akan menjagamu.”


Allah akan menjagamu maksudnya:
a. Allah akan menjagamu dalam urusan maslahat duniawiyah, seperti
badan, anak, harta dan keluargamu.
b. Allah akan menjagamu dalam urusan agama dan keimananmu. Inilah
penjagaan Allah yang paling agung.

Sabda Nabi selanjutnya: “Engkau akan mendapatkan Allah di


hadapanmu.” Maksudnya barangsiapa yang menjaga hukum-hukum Allah
dan memperhatikan hak-hak-Nya, maka ia akan mendapati Allah
bersamanya dalam semua kondisi di mana saja ia berada, Allah melindungi,
menolong, menjaga, membimbing dan menunjukinya. Ini termasuk ma’iyyah

105
(kebersamaan) yang bersifat khusus.

Selanjutnya Nabi bersabda: “Ingatlah Allah di waktu senang


(lapang) pasti Allah mengingatmu di waktu susah (sempit).” Maksudnya
jika seorang hamba bertakwa kepada Allah, menjaga hukum-hukum-Nya
dan memperhatikan hak-hak-Nya pada saat ia berada di waktu lapang
(senang, kaya, makmur) dan ia sungguh mengenal Allah, maka Allah akan
mengenalnya ketika ia berada dalam waktu sempit (susah, kritis, miskin)
kemudian Allah menyelamatkannya dari situasi-situasi susah tersebut karena
pengenalannya kepada Allah di waktu lapang.
1. Pengenalan seorang hamba kepada Rabbnya ada dua macam yaitu
sebagai berikut:
a. Pengenalan umum, yaitu pengenalan dalam bentuk mengakui
Allah, beriman kepada-Nya.
b. Pengenalan khusus yang menghendaki adanya kecenderungan hati
kepada Allah secara total, tenteram dengan dzikir kepada-Nya,
malu kepada-Nya.
2. Pengenalan Allah kepada hamba-Nya juga ada dua macam yaitu
sebagai berikut:
a. Pengenalan umum, yaitu pengetahuan Allah terhadap hamba-
hamba-Nya dan penglihatan-Nya terhadap apa saja yang mereka
rahasiakan dan tampakkan.
b. Pengenalan khusus, yang menghendaki kecintaan Allah kepada
seorang hamba, kedekatan kepada-Nya, pengabulan doanya dan
penyelamatannya dari situasi kritis/sempit.

Setelah itu Nabi bersabda: “Jika engkau meminta, mintalah


kepada Allah.” Minta kepada Allah maksudnya berdoa kepada Allah.
Berdoa hanyalah kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Kita setiap hari
membaca:
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan.” (Qs. Al-Fatihah [1]: 5)

Ketahuilah bahwa minta kepada Allah dan tidak minta kepada


makhluk-Nya itu diperintahkan Allah, karena permintaan mengandung
makna penampakan kehinaan dan kebutuhan sang peminta. Permintaan juga
mengandung pengakuan akan kemampuan pihak yang dimintai untuk
mengusir bahaya, mendapatkan sesuatu yang dicari, mendatangkan manfaat
dan menolak bahaya. Kehinaan dan merasa butuh tidak layak ditampakkan
kecuali kepada Allah saja, karena itulah hakikat ibadah.

Sabda Nabi : “Dan jika engkau minta tolong, minta tolonglah


kepada Allah.” Memohon pertolongan kepada Allah mempunyai dua
faedah yaitu sebagai berikut:
a. Bahwa manusia tidak bisa bertindak sendiri dalam beribadah kepada-
Nya, kecuali dengan pertolongan Allah.
b. Tidak ada yang bisa membantu manusia dalam beribadah kepada Allah
melainkan Allah juga. Maka barangsiapa yang dibantu oleh Allah berarti

106
ia mendapatkan pertolongan dan sebaliknya, barangsiapa yang tidak
diperdulikan oleh Allah, berarti ia tidak mendapat pertolongan.

Rasulullah ‫ﷺ‬bersabda:”Apa yang semestinya tidak menimpamu,


tidak akan menimpamu,”, “Apa yang semestinya menimpamu, tidak
akan terhindar darimu.” Ini merupakan konsep mendasar takdir dalam
Islam. Diperjelas lagi dengan sabda Nabi: “Seandainya semua umat
berkumpul untuk memberikanmu sesuatu manfaat, maka mereka tidak
dapat memberimu manfaat kecuali dari apa yang telah Allah tetapkan
untuk dirimu. Seandainya mereka pun berkumpul untuk
membahayakanmu, maka mereka tidak dapat membahayakanmu
kecuali dari apa yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena-pena telah
diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Ketahuilah bahwa inti wasiat Nabi dalam hadits ini adalah pada
pembahasan poin ini. Apa yang disebutkan sebelum dan sesudahnya
hanyalah cabangnya dan kembali kepadanya. Jika seorang hamba
mengetahui bahwa tidak menimpa padanya kecuali apa yang telah ditulis
Allah baginya berupa kebaikan atau keburukan, manfaat atau bahaya.
Dan bahwa upaya seluruh manusia yang tidak sesuai dengan taqdir itu
tidak bermanfaat maka ketika itulah ia mengetahui bahwa Allah saja yang
bisa memberi manfaat dan mudharat, pemberi dan penahan pemberian. Sikap
seperti ini mewajibkan seorang hamba mentauhidkan Allah, mengesakan-
Nya dengan ketaatan, menjaga hukum-hukum-Nya, dengan beribadah
kepada-Nya karena hanya Allah yang dapat mendatangkan manfaat dan
menolak bahaya.
Wajib diyakini bahwa tidaklah semua yang terjadi di langit dan di
bumi melainkan Allah mengetahui semuanya dan tidak ada satu pun yang
luput dari ilmu-Nya Allah dan semua sudah ditulis di Lauh Mahfuzh, dan
semua yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah. Dan semua yang ada di
langit dan di bumi, Allah yang menciptakannya.
Ada dua tingkatan bagi orang Mukmin terhadap qadha dan qadar
dalam musibah, yaitu:
a. Ridha dengannya. Ini tingkatan yang paling tinggi.
b. Sabar terhadapnya.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin itu, sesungguhnya setiap


urusannya baik bagi dirinya. Tidaklah hal itu dimiliki melainkan oleh orang
Mukmin saja. Jika ia memperoleh kelapangan ia bersyukur maka itu baik
untuk dirinya dan jika ditimpa kesempitan ia bersabar maka itu baik untuk
dirinya.”221
Kemudian Nabi bersabda: “Kemenangan itu bersama kesabaran.”
Sabar ada 3 macam:
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2. Sabar dalam meninggalkan maksiat.
3. Sabar dalam menghadapi musibah atau ketentuan (takdir)

221
HR. Muslim (no. 2999) dari Shuhaib
107
Kemudian Nabi melanjutkan: “Bersama musibah itu ada
kelapangan. “Bersama kesulitan ada kemudahan.” Betapa seringnya
Allah mengisahkan kisah-kisah tentang terjadinya kelapangan setelah
musibah dan kesusahan seperti penyelamatan Nabi Nuh dan pengikutnya di
atas perahu, penyelamatan Nabi Ibrahim dari api, Nabi Ismail diganti dengan
domba ketika diperintahkan Allah untuk disembelih, penyelamatan Nabi
Musa dan pengikutnya dari laut, kisah Nabi Yunus penyelamatan Nabi
Muhammad di gua, Perang Badar, Uhud, Khandaq (Ahzab), Hunain dan
lain-lain.
Doa yang dianjurkan dibaca dalam masalah ini yaitu: “Ya Allah aku
mengharap rahmat-Mu maka janganlah Engkau menyerahkan diriku
kepadaku sendiri tanpa pertolongan-Mu sekejap matapun, dan perbaikilah
urusanku semuanya, tiada ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali
Engkau.”222

Beberapa Kandungan Hadits


1. Bolehnya membonceng di atas kendaraan orang lain.
2. Balasan pahala itu tergantung dari jenis amalan.
3. Barangsiapa yang tidak menjaga batas-batas Allah, maka Allah tidak
akan menjaganya.
4. Diharamkan meminta kepada selain Allah dalam hal-hal yang dia
tidak mampu memberikannya melainkan hanya Allah; seperti rezeki,
kesembuhan, ampunan, dan lain-lain.
5. Seluruh makhluk adalah lemah dan butuh kepada Allah. Karena itu
wajib bagi hamba memohon pertolongan kepada-Nya semata.
6. Wajib beriman kepada al-Qadha wal Qadar yang baik maupun yang
buruk. Semua yang terjadi di langit dan di bumi sudah ditakdirkan
oleh Allah, tidak ada satu pun yang terluput.
7. Seorang hamba tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi
dirinya dan tidak sanggup untuk menolak bahaya, melainkan dengan
izin Allah. Karena itu, wajib ia menggantungkan harapannya hanya
kepada Allah.
8. Perbanyaklah ibadah, dzikir, doa, dan lainnya di saat senang, maka
Allah akan menolongmu di saat mengalami kesulitan.
9. Bila seorang hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon
kepada Allah agar dihilangkan kesulitannya.
10. Allah akan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada hamba-
hamba-Nya yang sabar.

HR. Abu Dawud (no. 5090), Ahmad (V/42) dan lainnya dari Abi Bakrah, dan Syaikh al-Albani
222

menghasankannya dalam Tahqiq al-Kalim al-Thayyib (no. 121).


108
HADITS KEDUA PULUH
MALU ADALAH AKHLAK ISLAM

َّ " ‫ول اللَّ ِه‬ ِّ ‫ُ الْبَ ْد ِر‬


ِّ ‫صا ِر‬ ٍ
‫إن‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ‫ُ ق‬ َ ْ‫َع ْن ابْ ِن َم ْنعُود عُ ْقبَةَ بْ ِن َع ْم ٍرو ْاْلَن‬
. "‫اصنَ ْع َما ِشْئت‬ َ ُ‫َّاس ِم ْن َك ََلِم النعبُ َّوةِ ْاْل‬ ِ
ْ َ‫ إذَا ََلْ تَ ْنَ ِك ف‬:‫وَل‬ ُ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ك‬َ ‫ر‬
َ ‫َد‬
ْ ‫أ‬ ‫َّا‬
‫ِم‬
ُ ‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri ia berkata:
“Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah
diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah: ‘Jika engkau
tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” [HR. Al-Bukhari]

Syarah Hadits

Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa
yang dibenci.223
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Malu berasal dari kata hayah (hidup),
dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-haya (hujan),
tetapi makna ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat
mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa
malu dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga
setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.”

Al-Junaid berkata: “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan


keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu.
Hakikat malu ialah sikap yang memotifasi untuk meninggalkan keburukan
dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.”224

Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan kecuali kebaikan.


Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Malu itu tidak mendatangkan melainkan semata-
mata kebaikan.”225 Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Malu itu kebaikan
seluruhnya.”226

Malu juga termasuk cabang iman.Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Iman


memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling

223
Lihat Raudhah al-‘Uqala wa Nuzha al-Fudhala’ (hlm. 54) karya Ibnu Hibban al-Bustiy (wafat
th. 354 H).
224
Madarij al-Salikin (II/270). Lihat juga Fath al-Bari (X/522) tentang definisi malu.
225
Muttafaq ‘alaih.
226
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6117) dan Muslim (no. 37 [61]) dari Imran bin Husain.
109
tinggi adalah perkataan ‘La ilaha illallah,’ dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu
cabang Iman.”227

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah


diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu ....” Maksudnya, ini
sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa
malu, satu perkara yang diwarisi oleh para Nabi kepada manusia generasi
demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad. Di
antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba
Allah adalah berakhlak dengan akhlak malu.228 Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah
malu.”229 Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan
perintah yang tidak dihapus dari syari’at para Nabi terdahulu.230

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah


sesukamu.”Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah
dalam hadits ini, diantaranya sebagai berikut:

1. Perintah dengan arti sebagai peringatan dan ancaman


Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja
sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal
dengan perbuatanmu itu, baik di balas di dunia maupun di akhirat atau
kedua-duanya. Seperti firman Allah: “... Lakukanlah apa yang kamu
kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. ” (Qs.
Fushshilat [41]: 40)

2. Perintah dengan arti penjelasan


Maksudnya, barangsiapa tidak malu, maka ia berbuat apa saja yang ia
inginkan karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk
adalah rasa malu. Jadi, barangsiapa tidak malu, maka ia larut dalam
perbuatan keji dan munkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-
orang yang mempunyai rasa malu. Ini sama seperti sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ :
“Barangsiapa berdusta atas namaku, hendaklah ia menyiapkan tempat
duduknya di Neraka.”231

3. Perintah dengan arti pembolehan


Imam al-Nawawi berkata: “Perintah tersebut dengan arti pembolehan.
Maksudnya, jika engkau hendak mengerjakan sesuatu, maka jika itu adalah
suatu hal yang engkau tidak merasa malu kepada Allah dan manusia untuk

227
Shahih: HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35 [58]), Abu Dawud
(no. 4676), al-Nasai (VIII/110) dan Ibnu Majah (no. 57) dari Abu Hurairah.
228
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/497) dan Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 179-180), cet. I, Dar
as-Salafiyyah.
229
Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 4181) dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Shaghir (I/13-14) dari
Anas bin Malik 453 . Lihat Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (no. 940).
230
Lihat Syarh al-Arba’in (hlm. 83) karya Ibnu Daqiq al-Ied.
231
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 110), Muslim (no. 3-Muqaddimah), dan selainnya dengan sanad
mutawatir dari banyak para Sahabat .
110
mengerjakannya, maka lakukanlah perbuatan itu, jika tidak demikian maka
jangan engkau lakukan.”232

Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang


merupakan pendapat jumhur ulama.233

Al-Qadhi Iyadh dan yang lainnya mengatakan: “Malu yang


menyebabkan menyia-nyiakan berbagai hak bukanlah malu yang
disyari’atkan, bahkan ia sebagai ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia
dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang
disyari’atkan.”234 Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya
menyia-nyiakan hak Allah sehingga ia beribadah kepada Allah dengan
kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan
hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan
hak-hak kaum Muslimin, maka malu seperti ini adalah tercela karena pada
hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.235
Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu
syar’i, malu mengaji, malu membaca al-Qur-an, malu melakukan amar
ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk
shalat berjamaah di masjid bersama kaum Muslimin, malu memakai busana
Muslimah (jilbab) yang syar’i, laki-laki malu mencari nafkah yang halal
untuk keluarganya, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena
akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.

Beberapa Kandungan Hadits

1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi
terdahulu.
2. Sifat malu (hayaa’) semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh
para Nabi terdahulu. Malu yang tercela bukanlah hayaa’ tetapi khajal.
3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa
banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih
menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula
kebaikannya.
4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang buruk.
5. Malu yang mencegah seseorang dari melaksanakan kewajiban, menuntut
ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
7. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
8. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah
mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
9. Allah Maha Pemalu (Al-Hayiyyu) dan menyukai sifat malu dan
mencintai hamba- hamba-Nya yang pemalu.

232
Fath al-Bari (X/523).
233
Lihat Madarij al-Salikin (II/270).
234
Fath al-Bari (X/522).
235
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 182).
111
10. Lawan dari malu adalah tidak tahu/punya malu (muka tembok), ia adalah
satu perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan
tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara
terang-terangan.
11. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.

Hadits Kedua Puluh Satu


IMAN DAN ISTIQAMAH

:‫ سفيان ابن عبد اهلل رض اهلل عنه قال‬- ‫ وقيل أِب عمرة‬- ‫عن أِب عمرو‬
" :‫ال‬
َ َ‫ ق‬- ‫َح ًدا َغْي َرَك‬ ِ ِْ ِ ‫ قُل ِل‬،ِ‫ول اهلل‬
َ ‫َسأ َُل َعْنهُ أ‬
ْ ‫ال ْس ََلم قَ ْوًل َل أ‬ ْ َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ت‬ ُ ‫قُ ْل‬
‫ ُُثَّ ا ْسَ ِق ْم‬،ِ‫ت بِاهلل‬ُ ‫ َآمْن‬:‫قُ ْل‬
‫َرَواهُ م ْنلِم‬
Dari Abu Amr, ada yang mengatakan: Abu Amrah Sufyan bin Abdillah ats-
Tsaqafi ia berkata: “Aku berkata: ‘Ya Rasulullah ‫ﷺ‬! Katakanlah kepadaku
dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain
engkau.’ Beliau menjawab: ‘Katakanlah: ‘Aku beriman kepada
Allah/kemudian istiqamahlah.’” [HR. Muslim]

Syarah Hadits

Hadits ini adalah hadits yang singkat, padat, dan indah, yang
merupakan kekhususan bagi Rasulullah ‫ﷺ‬. Walaupun singkat, namun telah
memberikan jawaban tentang pokok-pokok Islam yang ditanyakan oleh si
penanya dalam dua kata, yaitu iman dan istiqamah menurut manhaj yang
benar.236

Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah tauhid dan taat.


Tauhid terkandung dalam lafazh: “Aku beriman kepada Allah” dan taat
terkandung dalam kata istiqamah (pada lafazh: “kemudian
beristiqamahlah”), karena arti istiqamah adalah mengerjakan yang
diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, dan masuk ke dalamnya
pekerjaan hati dan badan yaitu iman, Islam, dan ihsan.

236
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 185).
112
Makna perkataan Sahabat: “Katakanlah kepadaku dalam Islam
sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain
engkau.” Maksudnya, ajarkanlah kepadaku suatu perkataan tentang
pengertian Islam yang jelas bagi diriku sehingga tidak perlu lagi bagiku
menanyakan tafsirnya kepada selain engkau dan aku akan mengerjakannya
dan bertakwa kepada Allah dengannya.” Kemudian Nabi menjawab:
“Katakanlah: ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian istiqamahlah.”237

Sabda beliau: “Katakanlah.” Maksudnya katakanlah dengan lisanmu


disertai dengan pembenaran hatimu. “Aku beriman kepada Allah.” Bahwa
Dia Allah adalah Ilah Yang Maha Esa yang wajib makhluk beribadah
kepada-Nya, yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna Yang
Mahatinggi, dan wajib disucikan dari sifat-sifat yang jelek. Apa saja yang
dijadikan-Nya haq maka itu adalah haq dan apa saja yang dijadikan-Nya
bathil maka itu bathil. “Kemudian Istiqamahlah.” Yaitu istiqamahlah di
atas konsekuensi dari perkataan tersebut berupa melaksanakan apa-apa yang
dicintai Allah yang mendatangkan keridhaan dan kecintaan-Nya serta
menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya dengan meninggalkan apa saja yang
dapat mendatangkan kemarahan-Nya.238

Menurut bahasa, (istiqamah) artinya adalah (lurus). Dikatakan artinya


lurus dan mapan. Sedang menurut syari’at, istiqamah adalah meniti jalan
lurus yang tidak lain adalah agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang
darinya, ke kanan atau ke kiri. Istiqamah mencakup melakukan seluruh
ketaatan, yang terlihat dan tersembunyi dan meninggalkan seluruh yang
dilarang.239

Terdapat banyak perkataan para Sahabat, Tabi’in, dan selain mereka


dalam mendefinisikan istiqamah. Ibnu ‘Abbas dan Qatadah berkata:
“Maksudnya, berlaku luruslah dalam melaksanakan hal-hal yang
diwajibkan.” Abu Bakar menafsirkan firman Allah: “Kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, ” (Qs. Fushshilat [41]: 30) beliau berkata:
“Mereka adalah orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah dengan
sesuatu pun.”240

Imam al-Qusyairi berkata: “Istiqamah adalah sebuah derajat yang


dengannya sempurna berbagai urusan dan dengannya diraih berbagai
kebaikan dan keteraturan. Barangsiapa yang tidak istiqamah dalam
kepribadiannya dia akan sia-sia dan gagal. Dikatakan: ‘Istiqamah tidak akan
bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena ia keluar dari
hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan berdiri di
hadapan Allah dengan jujur.”241 Imam al-Nawawi berkata: “Para ulama
menafsirkan istiqamah dengan artinya tetap konsekuen dan konsisten dalam

237
Syarh al-Arba’in (hlm. 85) karya Ibnu Daqiq al-Ied.
238
Syarh al-Arba’in (hlm. 74) karya al-‘Allamah Muhammad Hayat as-Sindi.
239
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/510).
240
Tafsir Ibni Katsir (VII/176), tahqiq Sami bin Muhammad al-Salamah.
241
Syarh al-Arba’in (hlm. 86) karya Ibnu Daqiq al-Ied.
113
ketaatan kepada Allah.”242

Istiqamah adalah sebab lapangnya rezeki dan luasnya kehidupan di


dunia. Allah berfirman: “Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka
air yang cukup.” (Qs. Al-Jinn [72]: 16)

Istiqamah sekalipun demikian tidaklah mudah. Allah berfirman:


“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (dijalan yang benar), sebagaimana
telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertaubat bersamamu,
dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” (Qs. Hud [11]: 112) Ibnu Abbas berkata: “Tidak
diturunkan kepada Nabi di dalam al-Qur-an sebuah ayat yang lebih
memberatkan dan menyulitkannya daripada ayat ini.”243 Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, ia berkata: “Abu Bakar berkata: ‘Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Engkau
5
telah beruban. Beliau menjawab: ‘Telah membuatku beruban (surah) Hud,
Al-Waqi’ah, Al-Mursalat, ‘Amma yatasa-alun (An-Naba’), dan Idzasy
syamsu kuwwirat (At-Takwir).”244 Sebagian ulama menyebutkan bahwa Hud
membuat beruban karena ada perintah istiqamah ini.

Asal dari istiqamah adalah istiqamah hati di atas tauhid seperti


penafsiran Abu Bakar ash-Shiddiq dan lain-lain tentang firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Rabb kami adalah Allah,1
kemudian mereka tetap istiqamah. ” (Qs. Al-Ahqaf [46]: 13) bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah dan tidak
beribadah kepada tuhan selain Allah.245 Jadi, jika hati telah istiqamah di atas
ma’rifatulldh, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya,
mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, bertawakkal
kepada Allah, dan berpaling dari selain Dia, sungguh, seluruh anggota badan
akan istiqamah dengan taat kepada-Nya, Karena hati adalah raja bagi organ
tubuh yang merupakan pasukan hati. Jika raja istiqamah, istiqamah pula
pasukan dan rakyatnya.246

Anggota tubuh lain yang terpenting yang perlu mendapatkan


perhatian setelah hati adalah lisan. Karena ia adalah media yang
mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam lubuk hati. Terkadang keluar
ucapan dari lisan seseorang yang ia anggap sepele namun ucapannya itu
dapat membuatnya binasa di dunia dan akhirat.
Dalam hadits ini saat Sufyan bin Abdillah bertanya: “Apa yang
engkau khawatirkan padaku?” Rasulullah ‫ﷺ‬menjawab: “Ini,” sambil
berisyarat memegang ujung lidahnya, ini menunjukkan bahwa lisan sangat
berbahaya, sebab seseorang dapat istiqamah apabila lisannya istiqamah

242
Bahjah al-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin (I/165).
243
Lihat Tafsir al-Qurthubi (IX/71).
244
Shahih: HR. Al-Tirmidzi (no. 3297), al-Hakim (II/343), Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’
(IV/388, no. 5964), dan selainnya. Lafazh ini milik alt-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahadtts al-
Shahihah (no. 955).
245
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (no. 310), dan al-Thabari dalam
Tafsir-nya (XI/106-107, no. 30517, 30520).
246
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/511-512).
114
dalam ketaatan atau tidak berkata-kata yang mendatangkan dosa dan murka
Allah.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id dia me-marfukannya. Kepada Rasulullah
‫ﷺ‬ beliau bersabda: “Jika anak keturunan Adam berada di pagi hari, seluruh
organ tubuh tunduk kepada lidah dengan berkata: ‘Bertakwalah kepada
Allah pada kami, karena kami bersamamu. Jika engkau istiqamah, kami juga
istiqamah. Jika engkau menyimpang, kami juga menyimpang.”247

Di antara kiat yang dapat mengantarkan kepada istiqamah dalam


berbagai kondisi, perkataan, dan perbuatan ialah:
a. Senantiasa mentauhidkan Allah dan menjauhkan syirik.
b. Ikhlas dalam beramal dan mutaba’ah (mengikuti contoh Nabi).
c. Menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah di masjid.
d. Berani dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
e. Menuntut ilmu syar’i.
f. Takut kepada Allah dengan mengingat pedihnya siksa Neraka.
g. Mencari teman yang shalih (baik).
h. Menjaga hati, lisan, dan anggota badan serta sabar dari hal-hal yang
diharamkan.
i. Mengetahui langkah-langkah syaitan.
j. Selalu berdzikir dan berdoa agar diteguhkan di atas istiqamah. Di antara
doa yang sering Nabi baca ialah: “Wahai Rabb yang membolak-balikkan
hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.”248

Beberapa Kandungan Hadits

1. Semangatnya para Sahabat terhadap ilmu dan penjagaan mereka terhadap


keimanannya, ini ditunjukkan dari berbagai pertanyaan yang mereka
lontarkan kepada Nabi yang menyangkut apa saja yang bermanfaat bagi
kehidupan dunia dan akhirat mereka.
2. Orang yang tidak tahu hendaknya bertanya kepada orang yang berilmu.
3. Kecerdasan Abu Amr atau Abu Amrah di mana dia bertanya dengan
pertanyaan agung yang merupakan puncak pertanyaan. Pertanyaan beliau
sangat dibutuhkan setiap Muslim.
4. Selayaknya orang yang bertanya tentang ilmu mengajukan pertanyaan
yang singkat, padat, dan berbobot sehingga berbagai disiplin ilmu tidak
bercampur aduk.
5. Iman adalah keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan
perbuatan dengan anggota badan. Ini ditunjukkan oleh makna istiqamah
yang mencakup ketaatan hati, lisan, dan anggota badan.
6. Anjuran untuk introspeksi diri, apakah ia orang yang istiqamah atau
tidak, supaya ia memperbaiki diri.
7. Derajat istiqamah sangat tinggi yang menunjukkan kesempurnaan iman
seseorang.

247
Hasan: HR. Ahmad (III/95-96), al-Tirmidzi (no. 2407), Ibnu Abid Dunya dalam Kitabush Shamt
(no. 12), Ibnus Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah (no. 1), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman
(no. 4595), Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (IV/342, no. 5779), al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (no. 4126), dan selainnya. Lihat Shahih al-Jami’ al-Shaghir (no. 351).
248
Shahih: HR. Al-Tirmdizi (no. 3522) dan Ahmad (VI/302, 315) dari Ummu Salamah .
115
8. Istiqamah sangat berat, dan Allah memudahkan bagi orang-orang yang
ikhlas bertauhid dan kontinyu dalam ketaatan.
9. Orang yang menyia-nyiakan kewajiban berarti ia bukan orang yang
istiqamah bahkan ia telah menyeleweng. Dan penyelewengan akan
semakin besar tergantung sejauh mana dia meninggalkan kewajiban atau
melakukan hal yang diharamkan.
10. Seorang Muslim dianjurkan berdoa kepada Allah agar dikaruniai iman
dan istiqamah.

HADITS KEDUA PULUH DUA


MELAKSANAKAN YANG WAJIB-WAJIB DAN
MENJAUHKAN YANG HARAM-HARAM AKAN
MEMASUKKAN KE DALAM SURGA

َّ ‫ "أ‬:‫ُ َر ِض اللَّهُ َعْن ُه َما‬


‫َن َر ُج ًَل‬ ِّ ِ ‫صا‬
‫ر‬ ‫ن‬
ْ ‫اْل‬
َ ْ ِ َّ‫عن أَِِب عب ِد اللَّ ِه جابِ ِر ب ِن عب ِد الل‬
‫ه‬
َ َ َْ ْ َ َْ َْ
ِ َ ‫ول اللَّ ِه فَ َق‬
،‫ضا َن‬ َ ‫ص ْمت َرَم‬ ُ ‫ َو‬،‫صلَّْيت الْ َم ْكُوبَات‬ َ ‫ أ ََرأَيْت إذَا‬:‫ال‬ َ ‫َسأ ََل َر ُس‬
ِ
:‫ال‬ َ ‫ َوََلْ أَ ِزْد َعلَى َذل‬،‫اسََر َام‬
َ َ‫ك َشْيئًا؛ أَأ َْد ُخ ُل ا َِْنَّةَ؟ ق‬ ْ ‫ َو َحَّرْمت‬،‫َحلَْلت ا ْسَََل َل‬ ْ ‫َوأ‬
."‫نَ َع ْم‬
‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬
Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al-Anshari bahwa ada seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ lalu ia berkata: bagaimana pendapatmu jika
aku hanya shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal,
mengharamkan yang haram, Dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal
itu, apakah aku akan masuk Surga?” Beliau menjawab: “Ya.” [HR. Muslim]

Syarah Hadits

Sahabat yang bertanya kepada Nabi dalam hadits ini ialah al-Nu’man
bin Qauqal al-Khuza’i seorang Sahabat yang mengikuti Perang Badar dan
terbunuh pada Perang Uhud. Sejumlah ulama mengatakan bahwa

116
sesungguhnya kalimat tauhid sebagai sebab masuk ke dalam Surga dan
diselamatkan dari Neraka. Tetapi ia memiliki beberapa syarat, yaitu
melakukan berbagai kewajiban dan menjauhi penghalangnya yaitu menjauhi
dosa-dosa besar. Al-Hasan berkata kepada al-Farazdaq : “Sesungguhnya
kalimat la ilaha illallah memiliki syarat-syarat. Maka jauhilah olehmu
menuduh berzina wanita-wanita yang menjaga kehormatannya.” Dikatakan
kepada Wahb bin Munabbih “Bukankah kalimat la ilaha illallah itu kunci
Surga?” Ia menjawab: “Benar, tetapi tidak ada satu kunci melainkan ia
mempunyai gigi-gigi. Jika engkau datang dengan kunci yang bergigi, maka
engkau akan dibukakan, jika tidak, tidak akan dibukakan baginya.”249

Al-Nu’man bertanya tentang apakah jika ia mengerjakan semua yang


ditanyakannya dalam hadits di atas dan tidak menambahnya dengan
keutamaan-keutamaan yang lain yang disunnahkan seperti mengerjakan
ibadah-ibadah sunnah atau meninggalkan yang makruh, apakah itu sudah
cukup untuk dapat memasukkannya ke dalam Surga yang merupakan
harapan dan cita-citanya tertinggi bersama orang- orang yang mendekatkan
diri dan para pendahulu yang baik tanpa menyentuh adzab dan siksaan
sedikit pun? Rasulullah ‫ﷺ‬pun menjawabnya dengan jawaban yang
menenangkan hatinya, melapangkan dadanya, membahagiakan hatinya,
memuaskan keinginannya, dan mewujudkan cita-citanya. Beliau menjawab:
“Ya.”

Al-Nu’man tidak menyebutkan zakat dan haji sebagaimana ia


menyebutkan tentang shalat dan puasa bisa jadi karena keduanya belum
diwajibkan atau bisa juga karena penanya bukan orang yang terkena
kewajiban tersebut disebabkan kefakiran atau ketidakmampuannya, atau
karena keduanya akan memasukkan ke dalam Surga, di mana arti tersebut
terkandung dalam keumuman lafazh menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram menuntut untuk mengerjakan semua yang wajib,
karena di antara yang halal itu ada yang hukumnya wajib dan
meninggalkannya adalah haram yang terlarang.250

Perkataan al-Nu’man: “Aku menghalalkan yang halal dan


mengharamkan yang haram.” Sebagian ulama menafsirkan menghalalkan
yang halal dengan meyakini kehalalannya dan mengharamkan yang haram
dengan meyakini keharamannya dan menjauhinya.251 Ini (meyakini
kehalalan hal yang halal) sudah cukup meskipun ia tidak melakukannya,
karena meyakini keharaman apa yang Allah halalkan atau meyakini
kehalalan apa yang Allah haramkan menyebabkan kekafiran.252
Bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud menghalalkan yang halal
adalah dengan melaksanakannya. Halal di sini berarti sesuatu yang tidak
diharamkan maka masuk kepadanya sesuatu yang wajib, sunnah. dan mubah.
Jadi, makna menghalalkan yang halal ialah mengerjakan apa saja yang tidak
haram dan tidak melewati apa yang diperbolehkan dan menjauhi hal-hal

249
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/522).
250
Lihat al-Wafi (hlm. 164).
251
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/513).
252
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 191).
117
yang diharamkan.253

Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman!Janganlah kamu


mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah dari apa yang telah
diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Qs. Al-Ma-
idah [5]: 87-88)

Ayat ini turun disebabkan adanya suatu kaum yang menolak makan
salah satu yang baik-baik karena zuhud terhadap dunia dan ingin hidup
sengsara. Sementara sebagian mereka mengharamkannya terhadap dirinya
sendiri, baik karena suatu sumpah atau karena memang mengharamkannya
terhadap dirinya sendiri. Itu semua tidak menjadikan makanan itu menjadi
haram. Dan sebagian mereka menolak makan sebagian yang baik bukan
karena sumpah bukan juga karena mengharamkannya. Mereka semua
dikatakan mengharamkan yang halal, di mana maksud menolak makannya
itu karena dianggap bisa membahayakan diri dan menjaga diri dari syahwat-
syahwatnya.254

Perkataan al-Nu’man: “Mengharamkan yang haram.” Imam Ibnu


al-Shalah berkata: “Yang zhahir bahwa yang dikehendaki dari perkataannya
aku mengharamkan yang haram adalah dua hal: Pertama, meyakini
keharamannya dan kedua, tidak melakukan keharaman tersebut berbeda
dengan menghalalkan yang halal karena hal itu cukup dengan meyakini
kehalalannya.”255

Di antara hal yang Allah wajibkan atas kaum Muslimin ialah


hendaklah mereka meyakini keharaman apa saja yang Allah haramkan dan
tidak melakukannya karena siapa yang meyakini kehalalan apa yang Allah
haramkan maka ia dikafirkan meskipun ia tidak melakukan keharaman
tersebut. Dan siapa yang meyakini keharaman apa yang Allah haramkan lalu
ia melakukan keharaman itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwatnya
maka ia tidak dikafirkan tetapi dianggap fasik dan tetap dikatakan sebagai
seorang Muslim.

Perkataan al-Nu’man: “Dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal
itu, apakah aku akan masuk Surga?” Maknanya: “Aku tidak menambah
pelaksanaan kewajiban tersebut dengan ibadah-ibadah sunnah.” Maka Nabi
menjawabnya dengan: “Ya.” Ini sebagai dalil bahwa mengerjakan
kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram serta tidak
melakukannya dapat memasukkan seorang hamba ke Surga.

Akan tetapi orang yang meninggalkan ibadah-ibadah sunnah telah

253
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (I/513).
254
Lihat Jdmi’ul ‘Ulum walHikam (1/514).
255
Syarh Shahih Muslim (I/175).
118
kehilangan keuntungan yang agung, dan pahala yang luas. Demikian pula
ibadah-ibadah sunnah tersebut sebagai sebab mendatangkan kecintaan Allah.
Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Dan hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah
hingga Aku mencintainya ....”256

Selain itu, ibadah-ibadah sunnah dapat menambal kekurangan yang


ada pada ibadah fardhu, mengangkat derajat seorang hamba di sisi Rabbnya,
dan membersihkan jiwanya. Para ulama Salaf adalah orang yang paling
semangat melakukan ibadah-ibadah sunnah.

Rasulullah ‫ﷺ‬ tidak mengingatkannya tentang ibadah sunnah sebagai


bentuk kemudahan dan kelapangan kepadanya karena ia adalah orang yang
masih baru memeluk Islam.257 Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang Arab
badui berkata: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika
aku kerjakan maka aku akan masuk Surga.”
Beliau menjawab:
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan
berpuasa Ramadhan.”

Orang itu berkata: “Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, aku


tidak akan menambahnya sedikit pun selamanya dan tidak akan
menguranginya. Ketika ia telah pergi, Nabi bersabda: “Siapa yang senang
melihat kepada seseorang dari penghuni Surga, maka hendaklah ia melihat
orang ini.”258

Dari Thalhah bin Ubaidillah bahwa seorang dari Nejd datang


menemui Rasulullah ‫ﷺ‬ dalam keadaan rambut yang acak-acakan, lalu ia
bertanya tentang Islam. Kemudian Rasulullah ‫ﷺ‬ berkata kepadanya: “Shalat
yang lima waktu, kecuali jika engkau mengerjakan salah satu yang
disunnahkan.” Beliau berkata lagi: “Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau
mengerjakan salah satu puasa yang sunnah.” Kemudian Rasulullah ‫ﷺ‬
mengabarkannya tentang zakat. Kemudian orang itu berkata: “Demi Allah,
aku tidak menambah dan aku tidak mengurangi apa yang telah Allah
wajibkan atasku sedikit pun.” Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Jika jujur,
ia akan beruntung.” Atau beliau bersabda: “Jika jujur, ia akan masuk
Surga.”259
Dari Anas bin Malik bahwa ada seorang Arab badui bertanya kepada
Nabi kemudian dia menyebutkan hadits semakna dengan di atas dan
menambahkan di dalamnya: “Haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke
sana.” Maka orang itu berkata: “Demi (Allah) yang mengutusmu dengan
kebenaran, aku tidak akan menambahnya dan tidak akan menguranginya.
Maka Nabi bersabda: “Jika ia jujur, sungguh, ia benar-benar akan masuk

256
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6502) dari Abu Hurairah
257
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 194).
258
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1397) dan Muslim (no. 14).
259
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 46), Muslim (no. 11), dan Ibnu Hibban (no. 1721— al-Ta’liqat al-
Hisan).
119
Surga.”260

Beberapa Kandungan Hadits

1. Penjelasan tentang semangatnya para Sahabat dalam bertanya tentang


ilmu.
2. Kewajiban seorang Muslim ialah bertanya kepada para ulama tentang
perkara-perkara agama yang tidak diketahuinya.
3. Selayaknya bagi pendidik untuk memperhatikan keadaan orang yang
belajar kepadanya sebelum ia menyampaikan ilmu kepadanya sehingga ia
dapat memberikannya ilmu yang sanggup ia amalkan.
4. Dalam hadits ini terdapat kabar gembira, memberikan kemudahan, dan
anjuran ketika menyebarkan ilmu.
5. Sederhana dalam melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan
dapat memasukkan ke Surga.
6. Penjelasan tentang cita-cita tertinggi para Sahabat adalah masuk Surga
dan dijauhkan dari Neraka, bukan banyaknya harta, anak, dan kedudukan
di dunia.
7. Bahwa seorang Muslim jika hanya mencukupkan diri dengan shalat
wajib saja, puasa Ramadhan dan kewajiban lainnya tanpa menambah
yang sunnah, maka tidak ada cela baginya.
8. Meninggalkan keharaman lebih sulit dan lebih besar keutamaannya
daripada mengerjakan yang sunnah.
9. Hendaklah seorang hamba tidak menghindarkan diri dari yang halal.
Seorang hamba yang menghindarkan diri dari yang halal tanpa sebab
yang syar’i adalah tercela dan tidak terpuji.
10. Perkara haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya atau
melalui sabda Rasul-Nya. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan
yang haram adalah umum pada setiap yang halal dan pada setiap yang
haram.

HADITS KEDUA PULUH TIGA


ANJURAN BERSUCI, BERDZIKIR, SEDEKAH,
DAN SABAR

ِ ُ ‫ال رس‬ ِ ْ ‫ك‬


ِ ‫ث ب ِن ع‬
ِّ ‫اص ٍم ْاْلَ ْش َع ِر‬ َ ْ ‫اسَا ِر‬ ٍ ِ‫َعن أَِِب مال‬
ُ ‫ول اللَّه "الطَّ ُه‬
‫ور‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ‫ُ ق‬ َ ْ
260
Shahih: HR. Muslim (no. 12).
120
:‫أ َْو‬- ‫ َو ُسْب َحا َن اللَّ ِه َوا ْسَ ْم ُد لِلَّ ِه َتَََْل ِن‬،‫اسَ ْم ُد لِلَّ ِه َتَََْلُ الْ ِم َيزا َن‬ ِ َ‫المي‬
ْ ‫ َو‬،‫ان‬ ِْ ‫َشطْر‬
ُ
،‫الصْب ُر ِضيَاء‬
َّ ‫ َو‬،‫الص َدقَةُ بُْرَهان‬ َّ ‫ َو‬،‫الص ََلةُ نُور‬َّ ‫ َو‬،‫ض‬ ِ ‫الن َم ِاء َو ْاْلَْر‬ َّ ‫ني‬َ ْ َ‫ َما ب‬-ُ‫َتَََْل‬
."‫ فَبَائِع نَ ْف َنهُ فَ ُم ْعِ ُق َها أ َْو ُموبُِق َها‬،‫َّاس يَ ْغ ُدو‬
ِ ‫ ُك عل الن‬،‫َوالْ ُقْرآ ُن ُح َّجة لَك أ َْو َعلَْيك‬
‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬
Dari Abu Malik al-Harits bin Ashim al-Asy’ari, ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: ‘Bersuci adalah sebagian dari iman, Alhamdulillah (segala puji
bagi Allah) memenuhi timbangan, Subhanallah (Mahasuci Allah) dan
Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah) keduanya memenuhi atau memenuhi
antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti
(keimanan), sabar adalah sinar, dan al-Qur-an adalah hujjah bagimu atau
atasmu. Setiap manusia berbuat: ada yang menjual dirinya kemudian
memerdekakannya atau membinasakannya.’” [HR. Muslim]

Syarah Hadits

Sabda Nabi: “Bersuci itu sebagian dari iman.” Para ulama berbeda
pendapat tentang makna sabda Nabi ini. Berikut adalah perinciannya.
Pertama; Sebagian ulama menafsirkan sabda beliau tersebut bahwa
bersuci dalam hadits tersebut ialah meninggalkan dosa-dosa, seperti firman
Allah:
“... Mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci. (Qs. Al-A’raf [7]:
82)
Firman-Nya:

“Dan bersihkanlah pakaianmu.” (Qs. Al-Muddatstsir [74]: 4) Dan firman-


Nya: “... Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang
yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 222)
Kedua: Pendapat jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan bersuci
dalam hadits di atas ialah bersuci dari hadats dengan air atau dengan
tayammum. Oleh karena itulah, Imam Muslim memulai dengan
mengeluarkan hadits ini dalam bab-bab wudhu’, demikian pula yang
dilakukan oleh Imam al-Nasai, Ibnu Majah, dan perawi selain keduanya.
Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan iman
dalam hadits ini adalah shalat, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:
“Dan Allah tidak menyia-nyiakan imanmu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 143)
Yang dimaksud dengan iman dalam ayat tersebut ialah shalat kalian
menghadap Baitul Maqdis. Jika yang dimaksud dengan iman adalah shalat,
maka shalat itu tidak diterima, kecuali dengan bersuci sehingga jadilah
bersuci itu separuh dari iman dalam konteks ini.

Sabda Nabi selanjutnya, “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)


memenuhi timbangan, Subhanallah (Mahasuci Allah) dan Alhamdulillah
(Segala puji bagi Allah) keduanya memenuhi atau memenuhi antara langit
dan bumi.” Ada yang mengatakan bahwa kalimat itu dibuat sebagai

121
permisalan dan maknanya bahwa jika alhamdulillah adalah berbentuk jasad,
ia pasti memenuhi timbangan. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah
menjelmakan seluruh perbuatan dan perkataan manusia menjadi berjasad
yang bisa dilihat dan ditimbang pada hari Kiamat, seperti sabda Nabi:
“Bacalah al-Qur’an karena sesungguhnya ia akan datang pada hari Kiamat
sebagai pemberi syafa’at kepada para pembacanya. Bacalah az-zahrawain
(dua bunga):261 Surah Al-Baqarah dan surah Ali ‘Imran karena keduanya
datang pada hari Kiamat seperti awan atau dua naungan atau seperti dua
kelompok burung yang membentangkan sayapnya membela para
pembacanya. Bacalah surah Al-Baqarah karena mengambilnya adalah
barakah dan meninggalkannya adalah kerugian, dan tukang-tukang sihir
tidak mampu mengalahkannya.”262

Sabda Nabi: “Memenuhi timbangan.” Ahlus Sunnah meyakini


tentang ditegakkannya al-mizan (timbangan) dan dibukanya catatan-catatan
amal. Menurut bahasa Mizan berarti alat yang digunakan untuk mengukur
sesuatu berdasarkan berat dan ringan (neraca). Sedangkan menurut istilah,
adalah sesuatu yang Allah letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang
amalan hamba-Nya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-
Sunnah, dan ijma’ Salaf.263

Mizan secara hakiki memiliki dua daun timbangan. Nabi bersabda:


“Sesungguhnya Allah pada hari Kiamat akan menyelamatkan seseorang dari
umatku di hadapan seluruh makhluk. Maka dibentangkan kepadanya 99
catatan (dosa yang dilakukan), tiap satu catatan seperti jarak mata
memandang. Kemudian Allah berfirman: ‘Apakah ada sesuatu yang kamu
ingkari dari catatan ini? Apakah para Malaikat penjaga dan pencatat berbuat
zhalim kepadamu?’ Ia menjawab: ‘Tidak, wahai Rabbku!’ Allah berfirman:
‘Apakah engkau punya alasan?’ Ia menjawab: ‘Tidak, wahai Rabbku!’ Allah
berfirman: ‘Benar; sungguh, engkau memiliki kebaikan di sisi Kami, dan
engkau tidak akan dizhalimi pada hari ini.’ Maka keluarlah sebuah kartu
bertuliskan la ilaha illallah: lalu Allah berfirman: ‘Datangkanlah timbangan
amalmu.’ Ia menjawab: ‘Wahai Rabbku bagaimana bisa kartu ini ditimbang
dengan catatan-catatan dosa tersebut!’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya
engkau tidak akan dizhalimi.’ Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: ‘Lalu catatan-
catatan (amal) itu diletakkan di salah satu sisi daun neraca dan bithaqah
(kartu bertuliskan la ilaha illallah) di daun neraca lainnya, maka catatan-
catatan itu melayang dan bithaqah yang lebih berat, maka tidak ada sesuatu
yang lebih berat dibandingkan Nama Allah.’”264

Sabda Nabi: “Shalat adalah cahaya.” Sinar adalah sesuatu yang


dijadikan penerang di tengah kegelapan agar kita dapat membedakan antara

261
Maksudnya, kedua surat itu akan memberikan cahaya, petunjuk, dan besar ganjarannya. Lihat
Syarah Shahih Muslim (VI/89-90).
262
Shahih: HR. Muslim (no. 804) dari Abu Umamah al-Bahili.
263
Syarah Lum’ah al-I’tiqad (him. 120) karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
264
Shahih: HR. Al-Tirmidzi (no. 2639), Ibnu Majah (no. 4300), dan al-Hakim (1/6, 529) dari
Abdullah bin Amr bin al-Ash. Lihat Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (no. 135) Qawa’id wa Fawa-id
(hlm. 199-200) dengan diringkas.
122
manfaat dan mudharat dan agar kita mendapatkan petunjuk kepada apa yang
kita inginkan. Demikian pula shalat apabila dikerjakan hamba seperti yang
Allah perintahkan, akan mewariskan cahaya hidayah di dalam hati dan
menjadikannya sebagai al-furqan (pembeda) yang dapat menjadikannya
mampu membedakan antara yang hak dan yang batil.265

Sabda Nabi : “Sedekah adalah bukti.” Burhan adalah sinar


matahari. Dari sinilah, hujjah yang kuat disebut dengan burhan karena
dalilnya sangat jelas. Demikian pula sedekah, ia merupakan bukti tentang
kebenaran iman dan kerelaan hati dengannya yang merupakan indikasi dari
kemanisan iman dan cita rasanya. Sebabnya adalah, harta itu dicintai jiwa
dan jiwa pelit dengannya. Jadi, jika jiwa merelakan harta dikeluarkan karena
Allah, maka itu menunjukkan kebenaran imannya kepada Allah, janji, dan
ancaman-Nya. Oleh karena itulah, orang-orang Arab yang enggan membayar
zakat sepeninggal Rasulullah ‫ﷺ‬ dan mereka diperangi oleh Abu Bakar
karena keengganannya itu. Shalat juga sebagai bukti tentang kebenaran
Islam seseorang.266

Sabda Nabi: “Sabar adalah sinar.” Adapun sabar, maka merupakan


dhiya’ (sinar). Sinar ialah cahaya yang mengandung panas dan membakar
seperti sinar matahari, dan berbeda dengan cahaya bulan yang murni cahaya
yang menyinari namun tidak membakar. Allah berfirman: “Dialah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya....” (Qs. Yunus [10]: 5)

Sabda Nabi: “Dan al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu.”


Allah berfirman: “Dan Kami turunkan dari al-Qur-an (sesuatu) yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi
orang yang zhalim (al-Qur-an itu) hanya akan menambah kerugian.” (Qs.
Al-Isra' [17]: 82)

Barangsiapa yang mempelajari sedikit dari al-Qur’an kemudian


mengamalkan kewajiban yang dikandungnya, menahan diri dari apa yang
dilarangnya, serta berhenti pada batas-batasnya maka al-Qur’an akan
menjadi pembela dan pemberi syafaat baginya pada hari Kiamat. 267 Ibnu
Mas’ud berkata: “Al-Qur’an adalah pemberi syafaat yang diberi hak untuk
memberikan syafaat dan pendebat yang dibenarkan. Barangsiapa meletakkan
al-Qur’an di depannya, maka al-Qur’an menuntunnya ke Surga. Barangsiapa
meletakkannya di belakang (punggungjnya, maka al-Qur-an menariknya ke
dalam Neraka.”268

Sabda Nabi : “Setiap manusia berbuat: ada yang menjual dirinya


kemudian memerdekakannya atau membinasakannya.” Hadits ini
menunjukkan bahwa setiap manusia ada yang berusaha membinasakan

265
Ibid (hlm. 201).
266
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/23-24) dengan diringkas.
267
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 207).
268
Atsar shahih: Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam 3.1-Mushannaf (no. 6010) dan al-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 8655). Lafazh ini milik al-Thabrani.
123
dirinya atau membebaskannya. Barangsiapa berusaha mentaati Allah, maka
ia menjual dirinya untuk Allah dan memerdekakannya dari adzab-Nya, dan
barangsiapa berusaha melakukan maksiat kepada Allah, maka ia telah
menjual dirinya dengan kehinaan dan menjerumuskannya ke dalam dosa
yang menyebabkannya mendapat kemurkaan Allah dan siksa-Nya.269

Dalam kitab ash-Shahihain dari Abu Hurairah berkata: “Ketika Allah


menurunkan ayat Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
(Muhammad) yang terdekat.” (Qs. Asy-Syu’ara' [26]: 214), Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: ‘Wahai kaum Quraisy! Belilah diri kalian dari Allah, karena aku
sedikit pun tidak dapat membela kalian di hadapan Allah. Wahai Bani Abdu.
Muththalib! Aku sedikit pun tidak dapat membela kalian di hadapar. Allah.
Wahai Abbas bin Abdul Muththalib! Aku sedikit pun tidak dapa: membela
engkau di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah bibi Rasulullah ‫ﷺ‬ .
Aku sedikit pun tidak dapat membela engkau di hadapan Allah.
Wahai Fathimah binti Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Mintalah kepadaku sesukamu, aku
sedikit pun tidak dapat membela engkau di hadapan Allah.’”270

Al-Hasan berkata: “Orang Mukmin di dunia adalah seperti tawanan


yang berusaha membebaskan diri. Ia tidak merasa aman dari sesuatu pun
hingga bertemu Allah.”271 Muhammad bin al-Hanafiyyah berkata:
“Sesungguhnya Allah menjadikan Surga sebagai harga bagi diri kalian. Jadi,
janganlah kalian menjual diri kalian dengan selain Surga.”272

Beberapa Kandungan Hadits

1. Bersuci adalah sebagian dari iman.


2. Amal-amal hamba akan ditimbang pada hari Kiamat, ada yang berat
timbangan kebaikannya dan ada yang ringan.
3. Iman kepada mizan adalah wajib dan mizan memiliki dua daun
timbangan.
4. Keutamaan berdzikir dengan kalimat thayyibah.
5. Shalat adalah cahaya bagi orang yang mengerjakannya, cahaya di dunia
dan di akhirat.
6. Anjuran untuk memperbanyak sedekah yang merupakan tanda kejujuran
dan bukti keimanan seorang Mukmin.
7. Al-Qur’an adalah hujjah (pembela dan penolong) pada hari Kiamat bagi
orang yang membacanya dengan tadabbur dan mengamalkannya sesuai
dengan petunjuk Rasulullah ‫ﷺ‬ .
8. Al-Qur’an akan menuntut orang yang membacanya tetapi dia tidak
mengamalkannya atau membacanya untuk memperbanyak harta dan
lainnya.
9. Hakikat kebebasan adalah menjalankan ketaatan kepada Allah, bukan
bebas menjalankan apa yang ia inginkan.

269
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/28).
270
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2753) dan Muslim (no. 206).
271
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/30).
272
Hilyah al-Auliya’ (III/207, no. 3718).
124
10. Seorang Muslim membebaskan dirinya dari api Neraka dengan
mengerjakan amal shalih dan ketaatan kepada Allah di sepanjang
hidupnya.

HADITS KEDUA PULUH EMPAT


HARAMNYA BERBUAT ZHALIM

125
َ ‫يما يَْرِو ِيه َع ْن َربِِّه تَبَ َارَك َوتَ َع‬ ِ ِ‫ُ عن الن‬ ِ
‫ "يَا‬:‫ال‬ َ َ‫ أَنَّهُ ق‬،‫اَل‬ َ ‫َّب ف‬ ِّ ْ َ ِّ ‫َع ْن أَِِب ذَ ٍّر الْغ َفا ِر‬
‫ يَا‬.‫ َو َج َع ْل ه بَْي نَ ُك ْم ُمََّرًما؛ فَ ََل تَظَالَ ُموا‬، ‫إِن َحَّرْمت الظعْل َم َعلَى نَ ْف ِن‬ ِّ :ُ‫ِعبَ ِاد‬
‫ يَا ِعبَ ِادُ! ُكلع ُك ْم‬.‫اسَ ْه ُدوِِن أَ ْه ِد ُك ْم‬ ْ َ‫ ف‬،‫ضال َّإل َم ْن َه َديْ ه‬ َ ‫عبَادُ! ُكلع ُك ْم‬
ِ ِ
‫ يَا ِعبَ ِادُ! ُكلع ُك ْم َعا ٍر َّإل َم ْن‬.‫اسَطْعِ ُم ِوِن أُطْعِ ْم ُك ْم‬ ْ َ‫ ف‬،‫َجائع َّإل َم ْن أَطْ َع ْم ه‬
ِ
ِ ِ ِ
َ ‫ يَا عبَادُ! إنَّ ُك ْم ُتْطئُو َن بِاللَّْي ِل َوالن‬.‫اسَ ْك ُن ِوِن أَ ْك ُن ُك ْم‬
‫ َوأَنَا‬،‫َّها ِر‬ ْ َ‫ ف‬،‫َك َن ْوته‬
ِ ِ ِ ِ َ‫جيعا؛ ف‬ ِ ِ
ُ‫ضِّر‬ ُ ‫ يَا عبَادُ! إنَّ ُك ْم لَ ْن تَ ْب لُغُوا‬.‫اسَ ْغفُر ِوِن أَ ْغفْر لَ ُك ْم‬ ْ ً َ ‫وب‬ َ ُ‫أَ ْغفُر ال عهن‬
ِ ‫َن أ ََّولَ ُكم و‬
‫آخَرُك ْم َوإِنْ َن ُك ْم‬ َْ َّ ‫ يَا ِعبَ ِادُ! لَ ْو أ‬.‫ َولَ ْن تَْب لُغُوا نَ ْفعِ فََ ْن َفعُ ِوِن‬،‫ضعر ِوِن‬ ُ ََ‫ف‬
‫ يَا‬.‫ك ِ ُم ْل ِك َشْيئًا‬ ِ ٍ ِ ‫وِجنَّ ُكم َكانُوا علَى أَتْ َقى قَ ْل ِ رج ٍل و‬
َ ‫ َما َز َاد َذل‬،‫احد ِمْن ُك ْم‬ َ َُ َ ْ َ
‫اح ٍد‬ ِ ‫آخرُكم وإِنْن ُكم وِجنَّ ُكم َكانُوا علَى أَفْج ِر قَ ْل ِ رج ٍل و‬
َ َُ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ‫َن أ ََّولَ ُك ْم َو‬
ِ َّ ‫ِعبَ ِادُ! لَ ْو أ‬
‫آخَرُك ْم‬ِ ‫َن أََّولَ ُكم و‬ َّ ‫ يَا ِعبَ ِادُ! لَ ْو أ‬.‫ك ِم ْن ُم ْل ِك َشْيئًا‬ ِ ِ
َ ْ َ ‫ص َذل‬ َ ‫ َما نَ َق‬،‫مْن ُك ْم‬
‫ َما‬،‫اح ٍد َم ْنأَلَ ه‬ ِ ‫ فَأ َْعطَيت ُك َّل و‬،‫ فَنأَلُ ِوِن‬،‫اح ٍد‬
َ ْ َ
ِ ‫يد و‬
َ
ٍ ِ‫وإِنْن ُكم وِجنَّ ُكم قَاموا ِ صع‬
َ ُ ْ َْ َ َ
‫ يَا ِعبَ ِادُ! َّإّنَا‬.‫ط إ َذا أ ُْد ِخ َل الْبَ ْحَر‬ ُ َ‫ص الْ ِم ْري‬ ‫ق‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ك‬َ ‫إل‬َّ ُ ِ ‫نَ َقص َذلِك ِِمَّا ِعْن‬
‫د‬
ُ َ َ َ َ
،َ‫اها؛ فَ َم ْن َو َج َد َخْي ًرا فَلْيَ ْح َم ْد اللَّه‬ ِ ‫ِه أ َْعمالُ ُكم أ‬
َ َّ‫ ُُثَّ أ َُوفِّي ُك ْم إي‬،‫ُحص َيها لَ ُك ْم‬ ْ ْ َ َ
."ُ‫ومن َّإل نَ ْف َنه‬ ِ
َ ُ‫ك فَ ََل يَل‬َ ‫َوَم ْن َو َج َد َغْي َر َذل‬
‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬
Dari Abu Dzar al-Ghifari, dari Nabi tentang apa yang beliau riwayatkan dari
Rabbnya bahwa Dia berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya
Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram
di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi. Wahai hamba-
hamba-Ku! Setiap dari kalian adalah sesat kecuali orang yang Aku beri
petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan beri kalian
petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku! Setiap dari kalian adalah lapar kecuali
orang yang Aku beri makan, maka mintalah makanan kepada-Ku niscaya
Aku beri kalian makan. Wahai hamba-hamba-Ku! Setiap kalian adalah
telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian
kepada-Ku niscaya Aku akan berikan pakaian kepada kalian. Wahai hamba-
hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat salah (dosa) di waktu malam
dan siang hari sedang Aku mengampuni seluruh dosa maka mohon
ampunlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian.
Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya kalian tidak akan dapat
menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian dapat membahayakan-Ku
dan kalian tidak akan dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga kalian
dapat memberi manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku!
Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin
126
dari kalian, semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling
bertakwa, maka semuanya itu tidak akan menambah sedikit pun dari
kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang pertama
dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati
salah seorang dari kalian yang paling jahat, maka semuanya itu tidak
akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-
Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan
jin dari kalian semua berada di satu tanah lapang kemudian setiap dari
kalian meminta kepada-Ku lalu Aku memberikan permintaannya itu,
maka hal itu tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali seperti
jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya. Wahai
hamba- hamba-Ku! Sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian
yang Aku tulis untuk kalian kemudian Aku menyempurnakannya
untuk kalian. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia
memuji Allah, dan barangsiapa mendapatkan selain itu maka janganlah
ia sekali-kali mencela (menyalahkan) kecuali kepada dirinya sendiri.”
[HR. Muslim]

Syarah Hadits

Hadits ini merupakan hadits yang paling mulia bagi penduduk Syam.
Ia juga merupakan musalsal bi Dimasyqiyyin. Hadits ini mengandung
sebagian kaidah-kaidah agama dan cabangnya. Hadits ini dikatakan hadits
Qudsi atau hadits Ilahi atau Rabbani, yaitu hadits yang diriwayatkan kepada
kita dari Rasulullah ‫ﷺ‬dan beliau menyandarkannya kepada Allah.

Perbedaan antara al-Qur-an dan hadits Qudsi:


1. Al-Qur-an dari Allah Jalla wa ‘Ala lafazh dan maknanya. Adapun hadits
Qudsi maknanya dari Allah dan redaksinya dari Nabi.
2. Al-Qur-an seluruh (ayat)nya Qath’iyyuts Tsubut (pasti tidak ada
keraguan), karena mutawatir dan Allah menjaminnya (Qs. Al-Hijr [15]:
9). Sedangkan hadits Qudsi tidak diriwayatkan dengan mutawatir. Ada
yang shahih, ada yang lemah bahkan ada yang maudhu’ (palsu).
3. Al-Qur-an membacanya adalah ibadah, orang yang membacanya satu
huruf dapat 10 ganjaran, dan dibaca dalam shalat. Sedangkan hadits
Qudsi tidak demikian.
4. Kalimat yang dibaca dari al-Qur-an dikatakan ayat, sekumpulan ayat
dikatakan surat. Sedangkan hadits Qudsi tidak demikian.
5. Lafazh al-Qur-an mukjizat, sedangkan hadits Qudsi tidak.273

Firman Allah: “Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya Aku


mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku.” Maknanya ialah: Allah
melarang diri-Nya berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya, seperti yang
Dia firmankan: “... Dan Aku tidak menzhalimi hamha-hamba-Ku.” (Qs. Qaf
[50]: 29) Allah berfirman: “... Padahal Allah tidak menghendaki kezhaliman
terhadap hamba-hamba-Nya. ” (Qs. Al-Mu’min [40]: 31)

273
Qawa’id wa Fawa-id min al- Arba’in al-Nawawiyah (hlm. 210-211).
127
Zhalim ialah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Asal
makna zhalim ialah bertindak lalim dan melampaui batas, Zhalim juga
bermakna menyimpang dari tujuan.274 Allah yang telah menciptakan
perbuatan-perbuatan hamba-Nya yang di dalamnya terdapat kezhaliman
tidak berarti Allah memiliki sifat zhalim. Begitu juga, Allah tidak bisa
disifati dengan seluruh perbuatan buruk yang dikerjakan manusia yang
merupakan hasil penciptaan dan takdir-Nya, karena Allah hanya disifati
dengan perbuatan-perbuatan diri-Nya dan tidak disifati dengan perbuatan-
perbuatan hamba-Nya, karena perbuatan-perbuatan hamba-Nya adalah
makhluk-Nya dan Dia tidak bisa disifati dengan salah satu darinya, namun
Dia disifati dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan yang ada pada-
Nya.275 Wallahu a’lam.

Firman-Nya: “Dan Aku menjadikannya haram di antara kalian,


maka janganlah kalian saling menzhalimi.” Maksudnya, bahwa Allah
mengharamkan perbuatan zhalim atas hamba-hamba-Nya serta melarang
mereka saling menzhalimi sesama mereka. Maka setiap hamba haram
menzhalimi yang lainnya, karena kezhaliman itu sendiri adalah haram secara
mutlak.

Kezhaliman terbagi ke dalam dua bagian:


Pertama: Kezhaliman seorang hamba terhadap dirinya sendiri, dan
kezhaliman yang paling besar adalah syirik (mempersekutukan Allah),
seperti yang difirmankan Allah: “... Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]: 13) Hal itu
karena orang musyrik telah menempatkan makhluk pada kedudukan Sang
Khaliq (Pencipta) sehingga ia menyembah dan mempertuhankannya, dan ini
berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Kedua: Kezhaliman seorang hamba terhadap orang lain. Itulah yang


disebutkan dalam hadits di atas. Pada haji Wada’, Nabi bersabda dalam
khutbahnya: “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram atas
kalian seperti keharaman hari kalian ini di bulan kalian ini di negeri kalian
ini.”276 Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Sesungguhnya Allah pasti menunda
(hukuman) bagi orang zhalim, namun jika Dia telah menyiksanya, Dia tidak
meloloskannya.” Kemudian Nabi membaca ayat: “Dan begitulah siksa
Rabbmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat
zhalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. ” (Qs. Hud [11]:
102)277

Firman Allah : “Wahai hamba-hamba-Ku! Setiap dari kalian

274
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 212)
275
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/36).
276
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 67), Muslim (no. 1679), dan Ibnu Hibban (no. 3837-at-Ta‘liqatul
Hisan) dari Abu Bakrah.
277
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 4686), Muslim (no. 2583), al-Tirmidzi (no. 3110), dan Ibnu
Hibban (no. 5153- al-Ta’liqat al-Hisan) dari Abu Musa al-Asy’ari.
128
adalah sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah
petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan beri kalian petunjuk. Wahai
hamba-Ku! Setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku beri
makan, maka mintalah makanan kepada-Ku niscaya Aku memberi
makan kepada kalian. Wahai hamba-Ku! Setiap kalian adalah
telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian
kepada-Ku niscaya Aku akan berikan pakaian kepada kalian. Wahai
hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat salah (dosa) di waktu
malam dan siang hari sedang Aku mengampuni seluruh dosa maka
mohon ampunlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni
dosa kalian.”

Ini menunjukkan bahwa seluruh makhluk sangat butuh kepada Allah


dalam mendapatkan kemaslahatan dan menolak mudharat (bahaya) dalam
agama dan dunia mereka. Ini juga menunjukkan bahwa manusia tidak
memiliki sesuatu apa pun bagi diri mereka, barangsiapa tidak diberi rezeki
dan petunjuk maka ia tidak memiliki keduanya di dunia, dan barangsiapa
tidak diberi pengampunan atas dosa-dosanya oleh Allah maka kesalahan-
kesalahannya membinasakannya di akhirat.278

Di dalam hadits yang sedang kita bahas ini terdapat dalil bahwa Allah
sangat senang apabila hamba-Nya memohon dan meminta kepada-Nya
seluruh kemaslahatan agama dan dunia, baik berupa makanan, minuman,
pakaian, dan yang selain itu sebagaimana Allah sangat senang hamba-
hamba-Nya itu memohon hidayah dan ampunan kepada-Nya.279

Firman Allah : “Wahai hamba-hamba-Ku! Setiap dari kalian


adalah sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk.” Ada yang menduga
bahwa firman Allah ini bertentangan dengan hadits Iyadh bin Himar, dari
Nabi beliau bersabda: “Allah berfirman: ‘Aku menciptakan hamba-hamba-
Ku dalam keadaan lurus dan sesungguhnya mereka didatangi oleh syaitan
kemudian mereka dipalingkan dari agama mereka.’”280 Padahal firman Allah
itu sama sekali tidak bertentangan dengan hadits tersebut, karena Allah
menciptakan anak keturunan Adam, membentuk mereka untuk menerima
Islam, cenderung kepadanya dan bukan cenderung kepada yang lain, siap
kepadanya, dan mempersiapkan diri dengan kuat untuknya. Namun, manusia
harus diajari Islam dengan amal nyata, karena mereka sebelum diajari adalah
bodoh tidak mengetahui apa-apa, seperti difirmankan Allah: “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun ....” (Qs. An-Nahl [16]: 78)

Firman Allah : “Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu


berbuat salah (dosa) di waktu malam dan siang hari sedang Aku
mengampuni seluruh dosa maka mohon ampunlah kalian kepada-Ku
niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian.” Setiap orang yang bertaubat

278
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/37-38).
279
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/38-39).
280
HR. Muslim (no. 2865), Ahmad (IV/162), dan Ibnu Hibban (no. 652, 653- al-Ta’liqat al-Hisan).
129
dari perbuatan dosa dan maksiat hendaknya ia memenuhi syarat-syarat
taubat, yaitu:
1. Al-Iqla (berhenti dari dosa), yaitu orang yang berbuat dosa harus berhenti
dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini pernah ia lakukan.
2. Al-Nadam (menyesal), yaitu dia harus menyesali perbuatan dosanya
tersebut.
3. Al-Azmu (tekad), maksudnya, ia harus bertekad untuk tidak mengulangi
perbuatan dosanya itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka
disamping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi yaitu harus ada
pernyataan bebas dari hak orang yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu
hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat,
maka ia harus meminta maaf. Dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia
harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu meminta maaf kepada orang
yang diumpat.281

Firman Allah: “Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya kalian


tidak akan dapat menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian
dapat membahayakan-Ku dan kalian tidak akan dapat memberi
manfaat kepada-Ku sehingga kalian dapat memberi manfaat kepada-
Ku.” Maksudnya, seluruh hamba Allah tidak dapat memberikan manfaat
atau mudharat kepada Allah. Karena Allah sendiri adalah Mahakaya dan
Maha Terpuji yang tidak butuh kepada ketaatan para hamba, manfaat-
manfaat ketaatan mereka tidak kembali kepada-Nya namun mereka sendiri
yang mengambil manfaat-manfaatnya, dan tidak merugi dengan
kemaksiatan-kemaksiatan mereka namun justru mereka sendiri yang merugi
karenanya.282

Firman Allah: “Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang


pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua
seperti hati salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka itu
semua sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku. Wahai hamba-
hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian,
manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian
yang paling jahat, maka itu semua sedikit pun tidak mengurangi
kerajaan-Ku.” Ini adalah isyarat bahwa kerajaan Allah tidak bertambah
dengan ketaatan makhluk, kendati mereka semua orang baik-baik dan
bertakwa dan hati mereka seperti orang yang paling bertakwa di antara
mereka. Firman tersebut juga sebagai dalil bahwa kerajaan Allah tidak
berkurang dengan kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, kendati jin dan
seluruh manusia bermaksiat dan menjadi orang-orang jahat, serta hati
mereka seperti hati orang yang paling jahat di antara mereka, karena Allah
Mahakaya (tidak membutuhkan) siapa saja selain diri-Nya dan Allah
mempunyai kesempurnaan mutlak pada Dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-
perbuatan-Nya. Jadi, kerajaan Allah adalah kerajaan yang sempurna dan

281
Lihat Riyadh al-Shalihin Bab “at-Taubah” (hlm. 49), cet. Dar Ibnil Jauzi.
282
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/43).
130
tidak berkurang karena suatu apa pun.283

Firman Allah: “Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang


pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua
berada di tempat yang sama kemudian setiap dari kalian meminta
kepada-Ku lalu Aku memberikan permintaannya itu, maka hal itu
tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali seperti jarum yang
mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya.” Yang dimaksud
dengan firman tersebut ialah ungkapan kesempurnaan kekuasaan Allah dan
kerajaan-Nya. Kerajaan dan perbendaharaan Allah tidak pernah habis dan
tidak berkurang dengan pemberian, kendati Dia memberikan seluruh
permintaan jin dan manusia generasi pertama hingga generasi terakhir di satu
tempat. Di sini terdapat himbauan bagi manusia agar mereka meminta dan
mengajukan permohonan dan kebutuhannya kepada Allah.284 Sebagaimana
halnya air laut tidak akan berkurang ketika jarum dimasukkan ke dalamnya
lalu dikeluarkan lagi. Ya, memang ada beberapa basahan yang menempel di
jarum karena adhesi yang berarti air laut seolah berkurang, tapi bukankah
basahan itu sendiri akan menguap dan lalu akan turun menjadi hujan yang
kelak akan kembali ke laut?

Firman Allah: “Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya itu


semua adalah amal-amal kalian yang Aku hitung untuk kalian
kemudian Aku menyempurnakannya untuk kalian.” Maksudnya,
sesungguhnya Allah menghitung seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya
kemudian menyempurnakan balasan (kebaikan atau keburukan mereka).
Maka barangsiapa yang beriman dan beramal shalih maka ia mendapatkan
ganjaran yang baik dan barangsiapa yang kafir dan durhaka maka ia
mendapatkan akibat yang buruk.285

Firman Allah: “Kemudian Aku menyempurnakannya untuk


kalian.” Secara zhahirnya, yang dimaksud firman Allah dalam hadits Qudsi
ini ialah penyempurnaan balasan (kebaikan atau kejelekan) di akhirat.

Firman Allah: “Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia


memuji Allah, dan barangsiapa mendapatkan selain itu maka janganlah
ia sekali- kali mencela (menyalahkan) kecuali kepada dirinya sendiri.”
Ini merupakan isyarat bahwa seluruh kebaikan itu dari Allah sebagai karunia
dari-Nya untuk hamba-Nya, sedang seluruh keburukan berasal dari manusia
karena hawa nafsu mereka,286

Beberapa Kandungan Hadits

1. Periwayatan Nabi dari Rabbnya adalah tingkatan sanad yang paling


tinggi, karena tingkatan akhir dari sanad ialah Allah pada hadits Qudsi,
dan Nabi pada hadits yang marfu.

283
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (11/46-47).
284
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (11/47-48).
285
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/51) dan Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 219).
286
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/52).
131
2. Pengertian hadits Qudsi yang paling bagus ialah hadits yang
diriwayatkan oleh Nabi dari Rabbnya.
3. Di antara sifat yang dinafikan dari Allah adalah zhalim, akan tetapi perlu
diketahui bahwa tidak ada satu sifat pun yang dinafikan dari Allah
melainkan lawan dari sifat itu yang ditetapkan. Maka menafikan sifat
zhalim berarti menetapkan sifat adil yang sempurna yang tidak ada
kekurangan sedikit pun.
4. Sesungguhnya Allah berhak mengharamkan apa saja untuk diri-Nya
karena hukum itu sepenuhnya milik-Nya.
5. Sesungguhnya Allah mengharamkan berbuat zhalim di antara manusia.
6. Sesungguhnya semua manusia itu sesat kecuali orang yang diberikan
hidayah oleh Allah, dari kaidah ini dapat diambil pelajaran bahwa kita
diperintahkan untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allah supaya
kita tidak sesat dan tidak menyimpang.
7. Anjuran untuk menuntut ilmu syar’i berdasarkan firman Allah dalam
hadits Qudsi: “Setiap kalian adalah sesat” Tidak diragukan bahwa
menuntut ilmu adalah wajib dan sebaik-baik amal apalagi pada zaman
kita sekarang ini di mana kebodohan dan prasangka telah menyebar serta
orang yang tidak berhak berfatwa sudah berani berfatwa, maka menuntut
ilmu syar’i pada zaman ini sangat ditekankan sekali.
8. Hadits ini menunjukkan wajibnya memohon dan meminta kepada Allah
semua kebutuhan yang bermanfaat bagi kehidupan agama dan dunia
karena semua kebaikan itu ada di sisi Allah.
9. Hidayah taufiq hanya boleh diminta dari Allah saja, hal ini berdasarkan
firman Allah : “Maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan
beri kalian petunjuk.”
10. Seorang Muslim wajib senantiasa memohon hidayah taufiq kepada Allah
karena ia sangat membutuhkan hidayah dalam seluruh kehidupannya.
11. Sesungguhnya seluruh manusia pada asalnya adalah dalam keadaan lapar
karena tidak mampu menciptakan sesuatu pun yang dapat menghidupkan
jasad-jasad mereka, kemudian Allah memberikan rezeki kepada mereka.
12. Manusia pada asalnya adalah telanjang hingga Allah memberikannya
pakaian, karena manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang hingga
Allah-lah yang memberikannya pakaian dengan berbagai sebab yang ada.
13. Kedermawanan Allah di mana Dia menjelaskan kepada hamba-Nya
keadaan mereka dan sangat butuhnya mereka kepada-Nya kemudian Dia
mengajak mereka untuk berdoa kepada-Nya sehingga dengannya
hilanglah kefakiran dan kesulitan yang ada pada mereka.
14. Bahwa seluruh anak Adam adalah banyak berbuat salah dan dosa.
15. Bahwa sebanyak apa pun dosa dan kesalahan manusia, Allah tetap akan
mengampuninya tetapi mereka wajib istighfar (minta ampun kepada
Allah) dan bertaubat.
16. Kesempurnaan kekuasaan Allah dan tidak butuhnya Allah terhadap
hamba-hamba-Nya.
17. Hadits ini menunjukkan pentingnya kedudukan hati karena pokok dari
ketakwaan ada di hati.
18. Kesempurnaan kekayaan dan keluasan kekayaan Allah dan Allah Maha
luas karunia dan kedermawanan-Nya.

132
19. Wajibnya memuji Allah bagi orang yang mendapatkan kebaikan, dan ini
dapat dilihat dari dua sisi: pertama, bahwa Allah telah memudahkannya
melakukan perbuatan baik tersebut dan yang kedua, bahwa Allah
memberikan ganjaran pahala atas perbuatan baiknya tersebut.
20. Hadits ini mengisyaratkan diperintahkannya untuk mengintrospeksi diri
dan menyesal dari perbuatan dosa dan maksiat.

HADITS KEDUA PULUH LIMA


SETIAP KEBAIKAN ADALAH SEDEKAH

ِ ِ ِ ‫ب رس‬ ِ ْ ‫َن نَاسا ِمن أ‬


‫ول‬َ ‫َّب يَا َر ُس‬ ِّ ِ‫ول اللَّه قَالُوا للن‬ ُ َ ‫َص َحا‬ ْ ً َّ ‫ "أ‬،‫ضا‬ ً ْ‫َع ْن أَِِب َذ ٍّر أَي‬
ِ ِ
،‫وم‬ ُ‫ص‬ ُ َ‫ومو َن َك َما ن‬ ُ‫ص‬ ُ َ‫ َوي‬، ِّ‫صل‬ َ ُ‫صلعو َن َك َما ن‬ َ ُ‫ُجوِر؛ ي‬ ُ ‫اللَّه َذ َه َ أ َْه ُل ال عدثُوِر ب ْاْل‬
ِِ‫ول أَموال‬ ِ‫ض‬
َّ ‫ص َّدقُو َن؟‬
‫إن‬ َّ َ‫س قَ ْد َج َع َل اللَّهُ لَ ُك ْم َما ت‬ َ ‫ي‬
َْ‫ل‬‫َو‬
َ ‫أ‬ :‫ال‬
َ ‫ق‬
َ . ‫م‬
ْ َ ْ ُ ‫ص َّدقُو َن بُِف‬َ ََ‫َوي‬
‫ َوُك ِّل تَ ْهلِيلَ ٍة‬،ً‫ص َدقَة‬ َ ‫يدة‬
ٍ َ ‫ وُكل ََت ِم‬،ً‫ وُكل تَ ْكبِريةٍ ص َدقَة‬،ً‫بِ ُكل تَنبِيح ٍة ص َدقَة‬
ْ ِّ َ َ َ ِّ َ َ َ ْ ِّ
ِ ‫ض ِع أ‬ ٍ ِ
.‫ص َدقَة‬ َ ‫َحد ُك ْم‬ َ ْ ُ‫ َوِ ب‬،‫ص َدقَة‬ َ ‫ َونَ ْه َع ْن ُمْن َك ٍر‬،‫ص َدقَة‬ َ ‫ َوأ َْمر ِبَْعُروف‬،ً‫ص َدقَة‬ َ
ِ ِ َ ‫ يا رس‬:‫قَالُوا‬
‫ أََرأَيْ ُ ْم لَ ْو‬:‫ال‬ َ َ‫َجر؟ ق‬ َ ‫ول اللَّه أَيَأِِْت أ‬
ْ ‫َح ُدنَا َش ْه َوتَهُ َويَ ُكو ُن لَهُ ف َيها أ‬ َُ َ
ِ
."‫َجر‬ ِ
ْ ‫ َكا َن لَهُ أ‬،‫ض َع َها ِ ا ْسَََلل‬ َ ‫ك إ َذا َو‬ َ ‫ض َع َها ِ َحَرٍام أَ َكا َن َعلَْي ِه ِوْزر؟ فَ َك َهل‬ َ ‫َو‬
‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬
Dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari Sahabat Rasulullah ‫ﷺ‬berkata
kepada Nabi : “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Orang-orang kaya telah pergi dengan
membawa banyak pahala. Mereka shalat seperti kami shalat, mereka puasa
seperti kami puasa, dan mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta
mereka.” Beliau bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan bagi
kalian sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada
setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap
tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada
yang ma’ruf adalah sedekah, mencegah dari yang munkar adalah
sedekah, dan salah seorang dari kalian bercampur (berjima’) dengan
istrinya adalah sedekah.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Apakah
jika salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya (bersetubuh dengan
istrinya) maka ia mendapat pahala di dalamnya?” Beliau menjawab: “Apa
pendapat kalian seandainya ia melampiaskan syahwatnya pada yang
haram, bukankah ia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia
melampiaskan syahwatnya pada yang halal, maka ia memperoleh
pahala.” [HR. Muslim]

133
Syarah Hadits

Di hadits ini terdapat dalil bahwa para Sahabat berlomba-lomba


dalam kebaikan karena kuatnya semangat mereka dalam melakukan amal-
amal shalih dan kebaikan, mereka sedih sebab tidak dapat mengerjakan
kebaikan yang dikerjakan selain mereka.

Di dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa orang-orang miskin


ingin seperti orang-orang kaya dalam mendapatkan pahala sedekah dengan
harta kemudian Nabi menunjukkan kepada orang-orang miskin tentang
sedekah-sedekah yang mampu mereka kerjakan.287
Ada tambahan dari hadits lain terkait hadits ini. Dari Sahabat Abu
Hurairah bahwa orang-orang fakir kaum Muhajirin mendatangi Nabi dan
mereka berkata: “Orang-orang yang kaya telah pergi dengan membawa
derajat yang tinggi dan nikmat yang kekal.” Beliau bertanya: “Apa itu?”
Mereka menjawab: “Mereka shalat seperti kami shalat, mereka berpuasa
seperti kami berpuasa, mereka bisa bersedekah sedang kami tidak bisa, dan
mereka memerdekakan hamba sahaya sedang kami tidak bisa.” Maka
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang dengannya kalian dapat menyusul
orang yang telah mendahului kalian itu, dan dengannya pula kalian
mendahului orang-orang setelah kalian, dan tidak ada seorang pun yang
lebih baik daripada kalian kecuali orang yang melakukan seperti yang kalian
lakukan?” Mereka menjawab: “Mau, wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ !” Beliau bersabda:
“Hendaklah kalian mengucapkan tasbih (subhanallah), takbir (Allahu
akbar), dan tahmid (alhamdulillah) di akhir setiap shalat (fardhu) sebanyak
33 kali.”
Abu Shalih (perawi hadits ini) berkata: “Maka orang-orang fakir
kaum Muhajirin tersebut pun kembali menemui Rasulullah ‫ﷺ‬ lalu mereka
berkata:

“Saudara kami yang kaya telah mendengar apa yang kami kerjakan lalu
mereka pun mengerjakan hal yang sama.” Maka Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: ‘Hal itu merupakan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki.’ (Qs. Al-Ma-idah [5]: 54).”288

Orang-orang kaya dari kalangan Salafushalih sangat gemar berinfak.


Abu Abdirrahman al-Sulami biasa membawa makanan ke masjid, terkadang
orang-orang menyambutnya di jalanan lalu ia memberikan makan kepada
orang-orang miskin. Orang-orang miskin itu berkata: “Semoga Allah
memberkahimu.” Ia pun menjawab: “Dan semoga Allah memberkahi
kalian.”289
Dari Al-Sya’bi ia berkata: “Tidaklah kerabatku meninggal dunia dan

287
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/57).
288
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 843, 6329) dan Muslim (no. 595).
289
Hilyah al-Auliya’ (IV/214, no. 5291) dan Min Akhbar al-Salaf (hlm. 74).
134
mempunyai utang, melainkan aku lunasi utangnya itu.”290
Dari Jarir bin Abdil Hamid bahwa Sulaiman at-Taimi tidaklah berlalu
satu saat melainkan ia bersedekah dengan sesuatu.291
Dari Ibnu Rumaih ia berkata: “Setiap tahunnya al-Laits bin Sa’ad
mendapatkan 80.000 dinar. Allah tidak pernah mewajibkan zakat atasnya
dengan satu dirham pun (karena uang tersebut telah habis ia sedekahkan).”292

Namun, lebih dari itu, semua kebaikan adalah sedekah termasuk


dzikir dengan lisan. Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Setiap kebaikan adalah
293
sedekah.” Imam al-Nawawi berkata: “Maksudnya, setiap kebaikan itu
memiliki hukum yang sama dengan sedekah dalam hal pahala.”294

Sedekah dengan selain harta yang kebaikannya dirasakan manusia


merupakan sedekah kepada mereka. Bisa jadi, sedekah ini lebih baik
daripada sedekah dengan harta. Sedekah seperti ini, misalnya amar ma’raf
dan nahi munkar karena kedua perbuatan tersebut merupakan ajakan untuk
taat kepada Allah dan melarang dari bermaksiat kepada-Nya. Sedekah
seperti ini jelas lebih baik daripada sedekah dengan harta. Begitu juga,
mengajarkan ilmu yang bermanfaat, membacakan (mengajarkan) al-Qur-an,
menghilangkan gangguan dari jalan, berusaha memberikan manfaat kepada
orang lain, menolak bahaya dari mereka, mendoakan kaum Muslimin, dan
memintakan ampunan untuk mereka.295

Dari Abu Dzar ia berkata: “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ !


Amalan apakah yang paling utama?’ beliau menjawab: ‘Iman kepada Allah
dan jihad di jalan Allah.’ Aku berkata: ‘Memerdekakan budak apakah yang
paling baik?’ Beliau menjawab: ‘Memerdekakan budak yang paling bernilai
menurut pemiliknya dan paling mahal harganya.’
Aku berkata: ‘Jika aku tidak dapat melakukannya?’ Beliau menjawab:
‘Engkau membantu orang yang terampil dan berbuat untuk orang yang tidak
terampil.’ Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Bagaimana pendapatmu jika
aku tidak dapat mengerjakan sebagian pekerjaan?’ Beliau menjawab:
‘Engkau menahan keburukanmu dari manusia, karena itu sedekah darimu
untuk dirimu.’”296

Sabda Nabi: “Menyuruh kepada yang ma’ruf adalah sedekah,


mencegah dari yang munkar adalah sedekah.” Amar ma’ruf nahi munkar
adalah salah satu jenis sedekah yang dijelaskan oleh Nabi kepada orang-
orang miskin kaum Muhajirin. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan
perbuatan memberikan kebaikan kepada orang lain sehingga ia merupakan
bentuk sedekah atas mereka, dan bisa jadi lebih baik daripada sedekah

290
Tadzkirah al-Huffazh (I/64) dan Min Akhbar al-Salaf (hlm. 75).
291
Siyar A’lam al-Nubala’ (VI/199) dan Min Akhbar al-Salaf (hlm. 76).
292
Hilyah al-Auliya’ (VII/376, no. 10908) dan Min Akhbaris Salaf (hlm. 76).
293
Shahih: HR. Muslim (no. 1005) dari Hudzaifah.
294
Syarah Sbahih Muslim (VII/91).
295
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/59).
296
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2518), Muslim (no. 84), Ahmad (V/150), dan Ibnu Hibban (no.
4577-at-Ta ’liqatul Hisan)
135
dengan harta. Bagaimana amar ma’ruf tidak bisa dikatakan lebih baik
daripada sedekah dengan harta, sedangkan Allah telah berfirman: “Kamu
(umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
dan kamu beriman kepada Allah.... ” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110)297

Karena umumnya sabda Nabi ini, sampai-sampai seorang berjima’


bersetubuh) dengan istrinya adalah sedekah Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “...
Engkau berjima’ (bersetubuh) dengan istrimu mendapatkan pahala.”
Abu Dzar berkata: “Bagaimana bisa aku mendapatkan pahala dengan
melampiaskan syahwatku?” Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Bagaimana
pendapatmu, jika engkau memiliki seorang anak kemudian ia mencapai usia
baligh dan engkau mengharapkan kebaikannya, tetapi ia meninggal dunia,
apakah engkau mengharapkan pahala karenanya?” Aku menjawab: “Ya.”
Beliau bersabda: “Apakah engkau yang menciptakannya?” Abu Dzar
menjawab: “Bahkan Allah-lah yang menciptakannya.” Beliau bersabda:
“Apakah engkau yang memberikannya petunjuk?” Abu Dzar menjawab:
“Bahkan Allah-lah yang memberinya petunjuk.” Beliau bersabda: “Apakah
engkau yang memberikan rezeki kepadanya?” Abu Dzar menjawab:
“Bahkan Allah-lah yang memberinya rezeki.” Beliau bersabda: “Begitulah,
karena itu, letakkanlah spermamu di tempat yang halal dan jauhkan dari
tempat yang haram. Jika Allah menghendaki, Dia menghidupkannya dan jika
Allah menghendaki, Dia mematikannya, sedang engkau mendapat
pahala.”298

Imam al-Nawawi berkata: “Di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya
perkara yang mubah dapat menjadi ketaatan dengan niat yang benar. Jima’
(bersetubuh) bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk memenuhi
hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik yang diperintahkan Allah
mengharapkan (lahirnya) anak yang shalih atau untuk menjaga dirinya
dan istrinya (agar tidak terjatuh kepada perbuatan yang haram), atau
mencegah keduanya dari melihat yang haram, atau memikirkan
(mengkhayal) hal yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau niat-
niat baik yang lainnya.”299

Sabda beliau: “Apa pendapat kalian jika ia melampiaskan


syahwatnya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan dosa? Maka
demikian pula jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang halal, itu
menjadi pahala baginya.” Imam al-Nawawi berkata: “Di dalam hadits ini
terdapat dalil tentang bolehnya menggunakan qiyas, dan itu merupakan
pendapat seluruh ulama dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali penganut
paham zhahiriyah.”300
Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menyamakan suatu kejadian
yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum

297
Qawa’id wa Fawd-id (hlm. 226).
298
Shahih: HR. Ahmad (V/168-169) dari Sahabat Abu Dzar
299
Syarh Shahih Muslim (VII/92).
300
Syarh Shahih Muslim (VII/92).
136
yang masih telah menetapkan lantaran adanya kesamaan dua kejadian itu
dalam ilat hukumnya.
Qiyas menempati kedudukan keempat dari hujjah-hujjah syari’at
setelah al-Qur-an, as-Sunnah, dan ijma’. Qiyas yang terdapat dalam nash
hadits yang sedang kita bahas ini menurut ulama ushul fiqih ini dinamakan
qiyas berlawanan. Maksudnya, menetapkan lawan hukum dari sesuatu
karena illat-nya saling berlawanan.301

Telah shahih dalam Shahih Muslim,302 dari Abdullah bin Mas’ud ia


berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Siapa yang
meninggal dunia dalam keadaan mempersekutukan Allah maka ia masuk
Neraka.” Dan aku (Abdullah bin Mas’ud) berkata: “Siapa yang meninggal
dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Surga.”

Beberapa Kandungan Hadits

1. Para Sahabat senantiasa bersegera dan berlomba-lomba dalam


mengerjakan amal shalih.
2. Para Sahabat menggunakan harta mereka pada setiap perkara yang di
dalamnya terdapat kebaikan di dunia dan akhirat, yaitu mereka
bersedekah dengannya.
3. Amal-amal shalih yang dilakukan dengan badan seperti shalat dan
puasa, dapat dikerjakan oleh orang-orang fakir dan orang-orang kaya.
4. Nabi membuka pintu-pintu kebaikan bagi orang-orang miskin.
5. Amal shalih yang disebutkan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬ dalam hadits ini
adalah sedekah, akan tetapi sedekah ini ada yang wajib dan ada yang
sunnah, ada yang bermanfaat untuk orang lain dan ada yang
manfaatnya hanya didapat oleh diri sendiri.
6. Sebaik-sebaik sedekah yang dikerjakan seseorang untuk dirinya
sendiri adalah berdzikir kepada Allah.
7. Bahwa para Sahabat apabila mendapati suatu perkara yang musykil
(janggal) maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ .
8. Menyertakan pendapat dengan dalil ketika menyebarkan ilmu karena
hal ini dapat membantu diterimanya kebenaran dan lebih dapat
mengakar dalam hati orang yang telah terkena kewajiban. Oleh
karena itu, para ulama tidak boleh merasa sempit hati ketika mereka
ditanya tentang dalil.
9. Luasnya rahmat Allah dan banyaknya pintu-pintu kebaikan.
10. Islam adalah agama yang mudah.
11. Keutamaan orang kaya yang bersyukur dan bersedekah dan
keutamaan orang miskin yang sabar dan mengharapkan pahala,
12. Orang kaya dan orang miskin sama-sama diperintahkan untuk
mengerjakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang dilarang
syari’at.

301
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 227-228).
302
Shahih Muslim (no. 92).
137
13. Keutamaan masyarakat para Sahabat yang sangat bersemangat untuk
melakukan segala apa yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
14. Wajibnya amar ma’ruf nahi munkar. Hukumnya fardhu kifayah.
15. Perkara rutinitas dan hal-hal yang mubah bisa menjadi ketaatan dan
ibadah apabila disertai niat yang benar.
16. Bergaul dengan baik kepada istri karena berbuat baik kepadanya
termasuk amal-amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
17. Seseorang (bersetubuh) dengan istrinya termasuk sedekah dan
mendapat ganjaran.
18. Seorang suami menafkahi istri, anak, dan orang yang di bawah
tanggungannya mendapatkan ganjaran yang besar jika dia niatkan
ikhlas karena Allah.
19. Hadits ini menetapkan bolehnya qiyas.
20. Baiknya cara pengajaran Nabi.

HADITS KEDUA PULUH ENAM


SETIAP MANUSIA WAJIB BERSEDEKAH

،‫ص َدقَة‬ ِ ِ ‫ول اللَّ ِه " ُك عل س ََلمى ِمن الن‬ َ َ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة ق‬
َ ‫َّاس َعلَْيه‬ ْ َ ُ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫الر ُج َل ِ َدابَِّ ِه‬
َّ ‫ني‬ ِ ِ ْ َ‫ني اثْن‬ ِ ِ ِ‫ُك َّل ي وٍم تَطْلُع ف‬
ُ ‫ َوتُع‬،‫ص َدقَة‬ َ ‫ني‬ َ ْ َ‫س تَ ْعد ُل ب‬ ُ ‫َّم‬
ْ ‫الش‬ ‫يه‬ ُ َْ
ِ ِ
َ ُ‫ َوالْ َكل َمةُ الطَّيِّبَة‬،‫ص َدقَة‬
‫ َوبِ ُك ِّل‬،‫ص َدقَة‬ َ ُ‫اعه‬َ َ‫فََ ْحملُهُ َعلَْي َها أ َْو تَ ْرفَ ُع لَهُ َعلَْي َها َم‬
ُ ‫ َوَُتِي‬،‫ص َدقَة‬ ِ َّ ‫خطْوةٍ َتَْ ِشيها َإَل‬
."‫ص َدقَة‬ َ ‫ط ْاْلَذَى َع ْن الطَِّر ِيق‬ َ ‫الص ََلة‬ َ َ ُ
‫ َوُم ْنلِم‬، ُ ‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
Dari Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: ‘Setiap
persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari
terbit di dalamnya: engkau berlaku adil (dalam mendamaikan atau
menghukumi) dua orang (yang bertikai/berselisih) adalah sedekah, engkau
membantu seseorang menaikkannya ke atas hewan tunggangannya atau
engkau menaikkan barang bawaannya ke atas hewan tunggangannya adalah
sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang engkau
jalankan menuju (ke masjid) untuk shalat adalah sedekah, dan engkau
menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.’” [HR. Al-Bukhari dan
Muslim]

Syarah Hadits

138
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya.
Allah berfirman: “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs. At-Tin [95]: 4) Dalam hadits lain, dari
Aisyah , dari Nabi, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya anak keturunan
Adam diciptakan di atas 360 persendian. Barangsiapa bertakbir (membaca
Allahu Akbar) kepada Allah, bertahmid (membaca Alhamdulillah) memuji
Allah, bertahlil (membaca La ilaha illallah), bertasbih (membaca
Subhanallah), beristighfar (minta ampun) kepada Allah, menyingkirkan batu
dari jalan kaum Muslimin, atau menyingkirkan duri, atau menyingkirkan
tulang dari jalan manusia, dan menyuruh kepada kebaikan, atau melarang
dari kemungkaran sejumlah 360 persendian tersebut, maka pada sore harinya
ia menjauhkan dirinya dari Neraka.”303

Abu Ubaid berkata: “Pada asalnya sulama (persendian) ialah tulang di


ujung kuku unta. Sepertinya makna hadits tersebut ialah setiap tulang anak
keturunan Adam wajib bersedekah.”304 Abu Ubaid mengisyaratkan bahwa
sulama (persendian) adalah salah satu tulang kecil di unta kemudian ia
mengungkapkannya untuk seluruh persendian manusia dan lain-lain. Maka
makna hadits ini menurutnya ialah setiap tulang persendian anak keturunan
Adam wajib bersedekah. Di dalam hadits Aisyah disebutkan bahwa jumlah
persendian manusia ialah 360 persendian.305

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Setiap persendian manusia wajib


bersedekah.” Makna hadits ini ialah bahwa penyusunan tulang-tulang dan
kesempurnaannya termasuk nikmat-nikmat Allah yang paling besar pada
hamba-Nya. Oleh karena itu, setiap tulang harus bersedekah dan pemiliknya
bersedekah mewakili setiap tulang yang ada pada dirinya, agar sedekah
menjadi syukur atas nikmat tersebut.306

Tidaklah Allah memberi salah satu nikmat kepada seorang hamba


kemudian ia memuji Allah atas nikmat tersebut, melainkan pujiannya kepada
Allah lebih baik daripada nikmat-Nya. Pendapat ini dibenarkan oleh para
ulama bahwa pujian lebih baik daripada nikmat, karena yang dimaksud
dengan nikmat-nikmat tersebut ialah nikmat-nikmat dunia, seperti
kesembuhan, rezeki, kesehatan, dijaga dari hal-hal yang tidak mengenakkan,
dan lain sebagainya, sedang pujian merupakan salah satu nikmat agama.
Kedua nikmat tersebut: nikmat dunia dan nikmat agama adalah nikmat dari
Allah, namun nikmat Allah kepada hamba-Nya dalam bentuk Dia memberi
petunjuk kepadanya untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan memuji atas
nikmat-nikmat-Nya itu lebih baik daripada nikmat-nikmat dunia yang Dia
berikan kepada hamba-hamba-Nya, karena jika nikmat-nikmat dunia tidak
disikapi dengan syukur, maka nikmat dunia tersebut menjadi petaka, seperti
dikatakan Abu Hazim: “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan pemiliknya
kepada Allah adalah petaka.”307

303
Shahih: HR. Muslim (no. 1007).
304
Lihat Lisan al-‘Arab (VI/349) dan Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/74).
305
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/74-75).
306
Ibid (II/75).
307
Hilyatul Auliya (III/266, no. 3908).
139
Hadits ini menunjukkan bahwa syukur dengan sedekah itu wajib bagi
seorang Muslim di setiap hari, namun syukur terbagi ke dalam dua tingkatan:

Pertama: Syukur wajib. Yaitu syukur dalam bentuk mengerjakan


kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Syukur seperti ini
wajib dan sudah cukup sebagai tanda syukur atas seluruh nikmat. Salah
seorang ulama Salaf berkata: “Syukur ialah meninggalkan kemaksiatan-
kemaksiatan.” Salah seorang dari ulama Salaf lainnya mengatakan: “Syukur
ialah tidak menggunakan salah satu nikmat untuk kemaksiatan.”308

Kedua: Syukur sunnah. Maksudnya seorang hamba mengerjakan


ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan
menjauhi hal-hal yang diharamkan.
Nabi sungguh-sungguh dalam shalat dan qiyamul lail (shalat malam)
hingga kedua kakinya bengkak. Ketika beliau ditanya: “Kenapa engkau
berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu
dan yang akan datang?” Nabi bersabda: “Apakah tidak patut aku menjadi
hamba yang banyak bersyukur?”309

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Engkau berlaku adil di antara dua orang


(yang bertikai/berselisih) adalah sedekah.” Maksudnya, berlaku adil
dalam memberikan keputusan atau berlaku adil dalam mendamaikan dua
orang yang sedang bermusuhan. Ini termasuk sedekah yang memiliki
keutamaan yang besar karena kebaikannya dirasakan orang lain, dan
dengannya luka-luka dalam masyarakat menjadi terkumpul sehingga
menjadi bagaikan satu tubuh yang sehat dan selamat.

Sabda Nabi: “Engkau membantu seseorang menaikkannya ke atas


hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke
atas hewan tunggangannya adalah sedekah.” Ini termasuk sedekah yang
disyari’atkan sebagai kewajiban mensyukuri nikmat diberikannya
persendian. Maka menolong seorang Muslim untuk naik ke atas
kendaraannya atau membantunya mengangkat barang bawaannya ke atas
kendaraannya termasuk sedekah. Demikian pula seorang Muslim diberikan
ganjaran pahala atas setiap bantuan yang dilakukannya untuk saudaranya
sesama Muslim. Sebab, Allah memerintahkan kita untuk saling tolong-
menolong dalam kebaikan.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Ucapan yang baik adalah sedekah.” Masuk


dalam ucapan yang baik ialah: Menjawab salam dan menolak orang yang
minta-minta dengan perkataan yang baik. Kemudian berdzikir kepada Allah,
mengucapkan perkataan yang benar, berdakwah mengajak manusia kepada
agama yang haq, kepada tauhid, amar ma’ruf nahi munkar, memberikan
syafaat (pertolongan bagi orang yang membutuhkan terhadap penguasa,

308
Ibid (II/83-84).
309
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1130, 4836,6471), Muslim (no. 2819), Ahmad (IV/251), al-
Tirmidzi (no. 412), al-Nasai (III/219), Ibnu Majah (no. 1419), dan Ibnu Hibban (no. 311- al-Ta’liqat
al-Hisan) dari al-Mughirah bin Syu’bah.
140
nasihat dan bimbingan, dan setiap perkataan dan ucapan yang dapat
membuat orang lain bergembira dan menyatukan hati di atas setiap kebaikan
dan petunjuk.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Setiap langkah yang engkau jalankan


menuju shalat adalah sedekah.” Hadits ini menganjurkan kita untuk hadir
ke masjid-masjid Allah untuk berkumpul dan berjamaah, mempelajari ilmu,
memberikan nasihat, dan i’tikaf.310 Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Bani
Salimah ingin pindah ke dekat masjid, sedangkan tempat tersebut kosong.
Ketika hal itu sampai kepada Nabi, maka beliau bersabda: ‘Wahai Bani
Salimah! Tetaplah di pemukiman kalian karena langkah- langkah kalian
akan dicatat, tetaplah di pemukiman kalian karena langkah-langkah kalian
akan dicatat (sebagai amal kebajikan).’”311 Imam Al-Nawawi berkata:
“Maksudnya, tetaplah dipemukiman kalian! Sebab, jika kalian tetap di
pemukiman kalian, maka jejak-jejak dan langkah-langkah kaki kalian yang
banyak menuju ke masjid akan dicatat.”312

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Dan engkau menyingkirkan gangguan dari


jalan adalah sedekah.” Menghilangkan segala apa yang mengganggu jalan
kaum Muslimin, baik berupa duri, pecahan kaca, batu besar, batang pohon
yang menghalangi jalan, demikian juga najis, kotoran, sampah-sampah, dan
selainnya; menyingkirkan itu semua termasuk sedekah dan sebagai bukti
nyata rasa syukur atas nikmat Allah serta termasuk bagian dari iman.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang
atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah
perkataan: ‘La ilaha illallah’, yang paling rendah adalah menyingkirkan duri
(rintangan) dari jalan dan malu adalah salah satu cabang Iman.”313

Beberapa Kandungan Hadits

1. Keagungan ciptaan Allah, di mana Allah telah menciptakan manusia


dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
2. Setiap hari manusia wajib bersedekah karena setiap manusia berada di
pagi hari dengan nikmat Allah.
3. Wajib bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi maksiat.
4. Matahari berputar mengelilingi bumi, karena ia terbit dari timur dan
terbenam di barat, dengan itu terjadilah pergantian siang dan malam.
5. Keutamaan berlaku adil di antara dua orang, baik adil dalam
memberikan keputusan maupun adil dalam mengadakan perdamaian.
Dengan keadilan inilah tegaknya langit dan bumi.
6. Anjuran untuk mendamaikan antara manusia dengan adil serta
bermuamalah bersama mereka dengan akhlak yang mulia.

310
Ibid. (hlm. 235).
311
Shahih: HR. Muslim (no. 665 [281]).
312
Syarh Shahih Muslim lin Nawawi (V/169)..
313
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 9) dan Muslim (no.35 [58]). Lafazh ini milik Muslim dari Abu
Hurairah.
141
7. Seorang Muslim dianjurkan untuk membantu saudaranya sesama
Muslim karena pertolongannya kepada saudaranya sesama Muslim itu
adalah sedekah.
8. Anjuran untuk mengucapkan perkataan-perkataan yang baik.
9. Kata sedekah dimutlakkan untuk setiap perbuatan baik.
10. Pintu-pintu kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah banyak
sekali, dan ini menunjukkan luasnya rahmat Allah.
11. Hadits ini menganjurkan kita untuk mengerjakan amalan-amalan yang
wajib dan yang sunnah karena ia merupakan sebab kecintaan Allah
dan didekatkan kepada-Nya.
12. Wajib ikhlas karena Allah dalam mengerjakan amal-amal kebajikan,
apakah itu sedekah, menolong orang, mendamaikan manusia atau
lainnya.
13. Keutamaan berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat.
14. Wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki.
15. Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.
16. Hadits ini menganjurkan untuk membersihkan tempat dan jalan kaum
Muslimin.
17. Islam adalah agama yang mengajarkan kebersihan. Kebersihan hati,
badan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya.
18. Meletakkan atau melemparkan gangguan di jalan adalah perbuatan
dosa dan pelanggaran.
19. Penentuan jumlah sendi-sendi manusia, yaitu 360 sendi.
20. Dianjurkan mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat sesudah matahari
terbit dan sudah tinggi.

HADITS KEDUA PULUH TUJUH


KEBAJIKAN DAN DOSA

142
ِ ‫اك‬ َ ‫ال ُْثُ َما َح‬ ْ ‫ "الِْ عِب ُح ْن ُن‬:‫ال‬
ِْ ‫ َو‬،‫الُلُ ِق‬ َ َ‫ب ق‬ ِ ‫َع ْن الن ََّّو‬
ِّ َِّ‫اس بْ ِن َسْ َعا َن َع ْن الن‬
:‫ال‬ َ َ‫صةَ بْ ِن َم ْعبَ ٍد ق‬ ِ
َ ِ‫ َو َع ْن َواب‬.‫َّاس" َرَواهُ ُم ْنلم‬
ِ َِّ ِ
ُ ‫ َوَكرْهت أَ ْن يَطل َع َعلَْيه الن‬،‫ص ْدرك‬
ِ َ
‫ اس فت‬:‫ال‬ َ ‫ ف َق‬.‫ نَ َع ْم‬:‫ت تَ ْنأ َُل َع ْن الِْ ِِّب؟ قُ ْلت‬ ِ َ ‫ول اللَّ ِه فَ َق‬
َ ‫ "جْئ‬:‫ال‬ َ ‫أَتَْيت َر ُس‬
ِ ‫اك‬ َ ‫ال ُْثُ َما َح‬ ِْ ‫ َو‬، ُ ‫ َواطْ َمأَ َّن إلَْي ِه الْ َق ْل‬،‫ت إلَْي ِه النَّ ْفس‬ ْ َّ‫ الِْ عِب َما اطْ َمأَن‬،‫قلبك‬
ُ
ِ ِ َّ ِ ‫س وتَرَّد َد‬
. "‫س َوأَفْ َ ْوك‬ ُ ‫ َوإ ْن أَفْ َاك النَّا‬،‫الص ْدر‬ َ َ ِ ‫النَّ ْف‬
‫ني أَ ْْحَ َد بْ ِن َحْنبَ ٍل َوالدَّا ِرِم ّ بِِإ ْسنَ ٍاد‬ ِْ ُ‫ َرَويْنَاهُ ُم ْننَ َد‬،‫َح ِديث َحنن‬
ِ ْ ‫ال َم َام‬
َ
.‫َح َن ٍن‬
Dari al-Nawwas bin Sam’an al-Anshari, ia berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab:
“Kebajikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang
membuat bimbang (ragu) hatimu dan engkau tidak suka dilihat
(diketahui) oleh manusia.” [HR. Muslim]

Dan dari Wabishah bin Ma’bad ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah ‫ﷺ‬ ,
maka beliau bersabda: ‘Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan
dan dosa?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Mintalah fatwa
kepada hatimu. Kebajikan ialah apa yang membuat tenteram jiwa dan
hatimu dan dosa ialah apa saja yang menggoncangkan di jiwa dan
meragukan di dada, kendati manusia berfatwa kepadamu.’” [HR.
Ahmad (IV/228), ad-Darimi (11/245-246), Abu Ya’la (no. 1583,1584), dan
al-Thabrani dalam al-Mu jamui Kabir (XXII/no. 403)]

Imam al-Nawawi berkata: “Hadits hasan. Diriwayatkan kepada kami dari


Musnad Imam Ahmad dan Musnad ad-Darimi dengan sanad hasan.”

Syarah Hadits

Kata “al-birru” (kebajikan) artinya “ath-tha’ah wa ash-shidq” (taat


dan jujur). Para ulama berkata: “Al-Birru bisa bermakna menyambung
hubungan kekeluargaan, bersikap lemah lembut, mengajak kepada kebaikan,
baik dalam berteman dan bersahabat, juga bermakna ketaatan. Semua
perkara ini merupakan himpunan dari akhlak yang mulia.”314 Syaikhul Islam
Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Al-Birru adalah satu kata yang mencakup
setiap perbuatan baik dan perkara-perkara kebajikan, dan ini adalah
pengertian yang mencakup.”

Di dalam hadits al-Nawwas bin Sam’an, Nabi mendefinisikan al-


birru (kebaikan) dengan akhlak yang baik. Sedangkan dalam hadits
Wabishah bin Ma’bad dan Abu Tsa’labah al-Khusyani, Nabi
mendefinisikan al-birru (kebaikan) dengan sesuatu yang membuat jiwa

314
Lihat Syarh Shahih Muslim (XVI/111).
143
menjadi tenteram.”315

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Kebajikan adalah akhlak yang baik.”


Maknanya ialah akhlak yang baik merupakan perkara kebajikan yang paling
besar (atau paling agung). Hal ini sama seperti sabda Nabi : “Haji itu
(wukuf) di ‘Arafah.”316 Maksudnya, wukuf di ‘Arafah itu adalah rukun haji
yang paling besar dan haji tidak sah tanpa mengerjakannya.317

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Bisa jadi, jawaban Nabi di hadits al-
Nawwas bin Sam’an itu mencakup seluruh perbuatan tersebut, karena
terkadang yang dimaksudkan dengan akhlak yang baik itu ialah berakhlak
dengan akhlak syari’at dan beradab kepada Allah di mana Allah mendidik
hamba-hamba-Nya dengan adab tersebut di dalam al-Qur’an, seperti
difirmankan Allah tentang Nabi: ‘Dan sesungguhnya engkau benar-benar
berbudi pekerti yang luhur.’ (Qs. Al-Qalam [68]: 4) Aisyah berkata: ‘Akhlak
Nabi adalah al-Qur-an.’318

Sabda Nabi dalam hadits Abu Tsa’labah: “Kebajikan adalah apa


saja yang hati tenang dan tenteram kepadanya.” Ini menunjukkan bahwa
Allah menciptakan hamba-hamba-Nya untuk mengetahui kebenaran, senang
dengannya, dan menerimanya. Ini juga menunjukkan bahwa Allah
menciptakan tabi’at mereka mencintai kebenaran dan tidak menyukai
kebatilan. Hal ini masuk juga dalam firman-Nya dalam hadits Qudsi di
hadits Iyadh bin Himar : “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-
Ku semuanya dalam keadaan lurus, dan sungguh syaitan datang kepada
mereka lalu mengalihkan mereka dari agama mereka, mengharamkan pada
mereka apa saja yang Aku halalkan bagi mereka, dan memerintahkan
mereka mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan
keterangan tentangnya.”319

Sabda Nabi dalam hadits ln-Nawwas bin Sam’an: “Dosa adalah apa
saja yang membuat bimbang (ragu) hatimu dan engkau tidak suka
dilihat (diketahui) oleh manusia.” Sabda beliau ini hanyalah bagi orang
yang hatinya bersih dan sehat. Baginya, yang menyesakkan jiwanya adalah
perbuatan dosa dan ia tidak suka jika diketahui manusia. Adapun orang yang
tidak taat kepada Allah, di mana hati mereka telah keras, maka mereka tidak
akan peduli, atau malah berbangga diri ketika melakukan kemungkaran dan
dosa. Pembicaraan di sini tidak bersifat umum yang berlaku bagi setiap
orang, tetapi khusus bagi mereka yang memiliki hati yang sehat dan
bersih.320

Sabda beliau di atas merupakan isyarat bahwa dosa ialah sesuatu yang

315
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 239).
316
Shahih: HR. Al-Tirmidzi (no. 2975), Ibnu Majah (no. 3015), dan yang lainnya.
317
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 241).
318
Shahih: HR. Muslim (no. 746), Abu Dawud (no. 1342), dan Ibnu Hibban (no. 2542- al-Ta’liqat
al-Hisan).
319
Shahih: HR. Muslim (no. 2865).
320
Lihat Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah oleh Syaikh Ibni al-Utsaimin (hlm. 294-295).
144
memberikan pengaruh di dada, berupa kesempitan, kekalutan, stres, dan
dada tidak lapang kepadanya. Kendati demikian, dosa tersebut ditolak
manusia, dalam arti mereka menolaknya jika mereka melihatnya. Ini
tingkatan tertinggi pengetahuan terhadap dosa ketika perkara samar terjadi.
Jadi, dosa ialah sesuatu yang ditolak manusia.321 Termasuk dalam pengertian
ini ialah perkataan Ibnu Mas’ud berikut ini: “Apa saja yang dipandang baik
oleh kaum Mukminin maka itu baik di sisi Allah dan apa saja yang
dipandang buruk oleh kaum Mukminin maka itu buruk di sisi Allah.”322

Hadits ini mengesankan bahwa dosa memiliki dua tanda:323


Pertama: Tanda yang berasal dari dalam jiwa, yaitu seseorang
merasakan kegelisahan dan kegoncangan di dalam jiwanya serta lari dan
membencinya. Nabi bersabda: “... Dosa ialah apa yang membuat bimbang
(ragu/tidak tenangi di jiwamu ....” Maknanya: Dosa ialah sesuatu yang
meresap di dada, berupa kesempitan, kekalutan, stres, dan dada tidak lapang
serta tidak merasa tenteram kepadanya.324

Kedua: “... Dan engkau tidak suka manusia melihatnya.” Suatu


perbuatan yang tidak suka jika dilihat oleh orang yang memiliki keutamaan
adalah tanda dari dosa, dengan syarat bahwa pendorong ketidaksukaannya
itu adalah karena agama, bukan karena adat kebiasaan.

Sabda Nabi dalam hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani : “Kendati


para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.” Maksudnya, apa saja yang
menggoncangkan dada, yang membuat seseorang ragu dan bimbang dan
tidak tenang adalah dosa kendati orang lain berfatwa kepadanya bahwa itu
bukan dosa. Itu dengan syarat pelakunya termasuk orang-orang yang
beriman dan pemberi fatwa berfatwa kepadanya hanyalah berdasarkan
dugaan atau kecenderungan kepada hawa nafsu tanpa didukung dalil syar’i.

Namun, jika pemberi fatwa mempunyai dalil syar’i, maka peminta


fatwa wajib taat kepada pemberi fatwa kendati dadanya tidak senang
kepadanya. Contohnya ialah keringanan-keringanan atau rukhshah syar’i,
seperti tidak puasa pada saat perjalanan dan sakit, mengqashar shalat di
perjalanan, dan lain-lain di antara hal-hal yang dada orang- orang bodoh
tidak suka kepadanya. Ketidaksukaan mereka tidak ada artinya. Buktinya,
terkadang Nabi menyuruh para Sahabat mengerjakan hal-hal yang tidak
disukai hati mereka namun mereka menolak mengerjakannya, akibatnya
beliau marah karena sikap mereka tersebut, misalnya beliau menyuruh
mereka merubah haji mereka menjadi umrah325 kemudian perintah beliau

321
Lihat Jdmi’ul ‘Ulum wal Hikam (II/101).
322
Hasan: HR. Ahmad (I/379), al-Thayalisi (no. 243), al-Thabrani dalam al-Mujamul Kabir (no.
8583), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 105), Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (I/460,
no. 1297), dan al-Hakim (III/78-79). Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/101).
323
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 240).
324
Lihat al-Wafi fi Syarh al-Arba‘in al-Nawawiyyah (hlm. 205).
325
Diriwayatkan oleh empat belas orang Sahabat yang menyatakan bahwa Nabi memerintahkan
perubahan haji menjadi umrah. Mereka adalah: Aisyah, Hafshah, Ali bin Abu Thalib, Fathimah
binti Rasulullah ‫ﷺ‬ , Asma’ binti Abu Bakar, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri, al-Bara’ bin
Azib, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Sabrah bir.
145
tersebut tidak disukai beberapa orang dari mereka yang tidak menyukainya.
Nabi juga memerintahkan untuk menyembelih hewan kurban mereka dan
bertahallul dari umrah di Hudaibiyyah, namun mereka tidak menyukai
perintah beliau tersebut. Mereka juga tidak menyukai perdamaian beliau
dengan orang-orang Quraisy dengan syarat beliau pulang tanpa melakukan
umrah pada tahun al-Hudaibiyyah dan siapa saja dari orang-orang Quraisy
yang datang kepada beliau maka beliau harus memulangkannya.326

Beberapa Kandungan Hadits

1. Bahwa Nabi diberikan jawami’ al-kalim, yaitu perkataan yang sedikit


kalimatnya, tetapi memiliki makna yang sangat banyak dan luas.
2. Kalimat al-birru mencakup semua kebaikan, dan kalimat al-itsmu
mencakup semua kejelekan.
3. Dosa mempunyai dua tanda: (1) keraguan, kebimbangan, dan
kegoncangan hati dan (2) tidak suka dilihat oleh manusia.
4. Anjuran untuk berakhlak mulia, kapan saja seseorang berakhlak baik
maka ia telah melakukan kebajikan,
5. Bahwa seorang Mukmin yang hatinya bersih dan sehat maka
perbuatan dosa itu dapat menggoncangkan (membuat tidak tenang)
jiwanya meskipun ia tidak tahu bahwa itu perbuatan dosa.
6. Seorang Mukmin tidak senang jika dosanya dilihat oleh manusia,
sedangkan orang yang fajir (jahat) yang melewati batas justru malah
senang jika dosanya dilihat oleh manusia,
7. Bolehnya meminta fatwa kepada hati dan jiwa, tetapi orang yang
meminta fatwa dan kembali kepada hati dan jiwanya ini adalah orang
yang istiqamah (lurus agamanya) dengan mentauhidkan Allah
dan mengamalkan Sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬ .
8. Jangan manusia tertipu dengan fatwa manusia, terlebih ketika pada
dirinya didapatkan keraguan dalam hatinya. Banyak manusia meminta
fatwa kepada orang alim atau penuntut ilmu lalu dijawab. Tetapi
kemudian ia menjadi bingung dan ragu. Apakah bagi orang yang
bertanya kemudian bingung ini boleh bertanya kepada orang alim
lainnya? Jawabnya: Boleh, bahkan hal itu wajib baginya, apabila ia
ragu dan bimbang dengan jawaban orang ‘alim yang pertama yang
tidak punya dalil.
9. Rujukan dalam syari’at Islam adalah dalil, bukan berdasarkan apa
yang populer di tengah-tengah manusia. Sebab, terkadang sesuatu itu
menjadi populer padahal sesuatu itu tidak benar.
10. Hadits ini menunjukkan kedudukan hati dan meminta fatwa kepada
hati.
11. Hadits ini mengisyaratkan kedudukan hati yang agung, jika hati itu
baik, istiqamah, memahami prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah agama
maka keputusan hukum hati tersebut dalam perkara yang diragukan

Ma’bad al-Juhani, dan Suraqah bin Malik al-Mudliji. Lihat Zad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘Ibad
(II/178-186).
326
Silakan baca kisah lengkapnya dalam Shahth al-Bukhari (no. 2731, 2732).
146
(samar) adalah benar. Maka apa yang menjadikan hatinya tenteram
adalah kebenaran dan apa yang dibencinya adalah dosa dan kejahatan.
12. Mukjizat Rasulullah ‫ﷺ‬ di mana beliau memberitahukan kepada orang
yang bertanya mengenai pertanyaan yang akan diajukan kepada
beliau.
13. Kebenaran dan kebatilan perkaranya tidak akan tersamar bagi seorang
Mukmin yang memiki bashirah (ilmu dan keyakinan).
14. Kembali kepada hati ketika terjadi kesamaran, yang dengannya hati
menjadi tenang dan tenteram.
15. Keinginan keras para Shahabat untuk mengetahui kebajikan dan dosa
serta halal dan haram.

HADITS KEDUA PULUH DELAPAN


PERINTAH UNTUK BERPEGANG TEGUH
DENGAN SUNNAH RASULULLAH DAN
KHULAFA-UR RASYIDIN

147
ِ ِ ِ ُ ‫ "وعظَنا رس‬:‫ال‬ ِ َ‫يك الْعِْرب‬ ٍ ‫َع ْن أَِِب ََِن‬
‫ت‬ ْ َ‫ول اللَّه َم ْوعظَةً َوجل‬ ُ َ َ َ َ َ َ‫اض بْ ِن َسا ِريَةَ ق‬
‫ول اللَّ ِه! َكأَنَّ َها َم ْوعِظَةُ ُم َوِّد ٍع‬َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ فَ ُق ْلنَا‬،‫ت ِمْن َها الْعُيُو ُن‬ ْ َ‫ َو َذ َرف‬،‫وب‬ُ ُ‫مْن َها الْ ُقل‬
ِ
ِ َّ‫النم ِع والط‬ ِ ِ َ َ‫ ق‬،‫فَأَو ِصنَا‬
َ َ ْ َّ ‫ َو‬،‫ أُوصي ُك ْم بَِ ْق َوى اللَّه‬:‫ال‬
ُ‫ فَِإنَّه‬،‫اعة َوإِ ْن تَأ ََّمَر َعلَْي ُك ْم َعْبد‬ ْ
ِ ‫الر ِاش‬ ِ ‫اللَ َف‬ ِ ِ ِ ‫من يعِش ِمْن ُكم فَني رى‬
‫ين‬
َ ‫د‬ َّ ‫اء‬ ُْ ‫ فَ َعلَْي ُك ْم بِ ُنن َِّت َو ُسنَّة‬،‫اخ ََلفًا َكث ًريا‬ ْ َََ ْ ْ َ َْ
‫ات ْاْل ُُموِر؛ فَِإ َّن ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬ ِ َ‫ وإِيَّا ُكم وُْم َدث‬،‫ضوا علَي ها بِالنَّو ِاج ِه‬ ِ
َ ْ َ َ َ ْ َ ‫ َع ع‬،‫يني‬ َ ‫الْ َم ْهد‬
."‫ض ََللَة‬
َ
.‫ص ِحيك‬ ِ َ َ‫ُ وق‬ ِِ
َ ‫ َحديث َح َنن‬:‫ال‬ َ ‫َرَواهُ أَبُو َد ُاوَد َواَل ِّْرمه ع‬

Dari Abu Najih al-Irbadh bin Sariyah , ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬


memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati takut
dan menjadikan air mata berlinang. Kami berkata: ‘Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ !
Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, oleh karena
itu, berikanlah wasiat kepada kami.’ Beliau bersabda: ‘Aku berwasiat
kepada kalian hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, mendengar
dan taat kendati kalian diperintah seorang budak. Sungguh, orang yang
masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat
perselisihan yang banyak, karenanya hendaklah kalian berpegang teguh
kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin. Peganglah
erat-erat Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan
jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena
sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat.’” [HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi
berkata: “Hadits ini hasan shahih.”]

Syarah Hadits

Perkataan al-Irbadh Bin Sariyah, “Rasulullah ‫ﷺ‬ memberikan nasihat


kepada kami.” Dalam riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi
disebutkan bahwasanya nasihat tersebut disampaikan setelah shalat Shubuh.

Rasulullah ‫ﷺ‬seringkali menasihati para Sahabatnya di selain


khutbah-khutbah resmi seperti khutbah Jum’at atau Hari Raya karena beliau
diperintah Allah seperti itu. “... Dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. ” (Qs. An-Nisa’
[4]: 63) Akan tetapi, Rasulullah ‫ﷺ‬ tidak terus-menerus memberi pelajaran
kepada para Sahabat, tetapi dengan cara memilih waktu yang tepat;
sebagaimana diriwayatkan dari Abu Wa-il, ia berkata: “Abdullah bin Mas’ud
mengajar kami setiap hari Kamis, kemudian seseorang berkata: ‘Wahai Abu
Abdirrahman! Sungguh, kami menyukai pembicaraanmu dan tertarik
kepadanya, oleh karena itu, kami berharap kiranya engkau memberikan

148
pelajaran kepada kami setiap hari.’ Abdullah bin Mas’ud berkata: ‘Tidak ada
yang menghalangiku untuk berbicara kepada kalian melainkan aku tidak
ingin membuat kalian jemu/bosan. Sesungguhnya Rasulullah ‫ﷺ‬memilih
waktu yang tepat untuk memberi pelajaran kepada kami karena beliau
khawatir kami merasa jemu/bosan.”327

Perkataan al-Irbadh : “Hati kami takut kepadanya dan mata


mencucurkan air mata.” Ini adalah dua sifat orang-orang yang beriman
yang dipuji oleh Allah ketika mereka mendengarkan dzikir, sebagaimana
yang difirmankan-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila
dibacakan ayat- ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan
hanya kepada Rabb mereka bertawakal. ” (Qs. Al-Anfal [8]: 2)

Perkataan al-Irbadh selanjutnya: “Kami berkata: ‘Wahai


Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Sepertinya nasihat ini adalah nasihat dari orang yang
akan berpisah, oleh karena itu, berilah kami wasiat.’” Ini menunjukkan
bahwa Nabi sangat serius dalam nasihat tersebut dan berbeda pada nasihat
lainnya. Oleh karena itu, para Sahabat paham bahwa nasihat tersebut adalah
nasihat orang yang akan berpisah, karena orang yang akan berpisah
terkadang menyentuh dalam perkataan dan perbuatan yang tidak bisa
dilakukan orang lain.

Perkataan para Sahabat : “Oleh sebab itu, berilah kami wasiat.”


Wasiat yang mereka maksud adalah wasiat yang mencakup dan lengkap,
karena mereka paham betul bahwa Nabi akan berpisah dengan mereka, maka
mereka meminta beliau memberikan wasiat di mana berpegang teguh
kepadanya (wasiat tersebut) itu bermanfaat bagi mereka sepeninggal beliau,
dan cukup bagi orang yang berpegang teguh kepadanya serta merupakan
kebahagiaan baginya di dunia dan akhirat.328

:
Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ “Aku berwasiat kepada kalian hendaklah
kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat.” Kedua kalimat
tersebut menghimpun kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Adapun takwa,329
maka menjamin kebahagiaan di akhirat bagi orang yang berpegang teguh
kepadanya. Adapun mendengar dan taat kepada pemimpin kaum Muslimin,
maka di dalamnya terdapat kebahagiaan di dunia dan dengannya seluruh
kemaslahatan manusia di kehidupan mereka menjadi teratur, dan bisa
mereka gunakan memenangkan agama dan taat kepada Rabb mereka,
sebagaimana dikatakan Ali bin Abu Thalib : “Sesungguhnya
manusia tidak bisa diperbaiki kecuali oleh seorang pemimpin yang baik
maupun yang jahat. Jika pemimpin tersebut jahat, orang Mukmin bisa
beribadah kepada Rabbnya pada masa pemerintahannya dan pemimpin jahat
tersebut membawanya kepada ajalnya.”330 Kedua prinsip itu pulalah yang

327
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 68, 70), Muslim (no. 2821 [83]), Ahmad (no. 1/377), al-Tirmidzi
(no. 2855), dan Ibnu Hibban (no. 4507- al-Ta’liqat al-Hisan
328
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/116).
329
Lihat buku Ust. Yazid ‫“حفظه هللا‬Takwa Jalan Menuju Surga.” Penerbit Pustaka at-Takwa.
330
Mushannaf Ibni Abi Syaibah (XIV/52-53, no. 38250).
149
diwasiatkan Nabi di khutbah beliau pada haji wada’.331

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Kendati kalian diperintah seorang budak.”


Sabda Nabi tersebut tidak bertentangan dengan sabda beliau: “Perkara ini
tetap menjadi milik Quraisy selagi masih tersisa dua orang dari manusia.”332
Meskipun imam-imam harus dari Quraisy, akan tetapi untuk kepemimpinan
yang kecil (daerah) boleh dari hamba sahaya dari Habasyah. Karena,
kepemimpinan budak itu berasal dari jalur pemimpin Quraisy. Wallahu
a’lam.

Ada yang mengatakan bahwa budak Habasyah disebutkan hanya


sebagai perumpamaan kendati itu tidak terjadi, seperti sabda Nabi :
“Barangsiapa membangun masjid karena Allah meskipun hanya seperti
sarang burung merpati, maka Allah akan bangunkan rumah baginya di Surga
....”333

Sabda Nabi :“Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian


sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak,
karenanya hendaklah kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan
Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin. Peganglah erat-erat Sunnah tersebut
dan gigitlah dengan gigi geraham.” Ini adalah penjelasan dari Nabi tentang
apa yang terjadi pada umat sepeninggal beliau, yaitu banyaknya perselisihan
pada prinsip- prinsip agama (aqidah) dan cabang-cabangnya, perkataan,
perbuatan, dan keyakinan. Ini sejalan dengan riwayat dari Nabi tentang
perpecahan umat beliau menjadi tujuh puluh kelompok (golongan) lebih dan
bahwa semua kelompok itu masuk Neraka kecuali satu kelompok, yaitu
kelompok (golongan) yang berpegang teguh kepada Sunnah beliau dan
Sunnah para Sahabat beliau sepeninggal beliau.334

Khulafa-ur Rasyidin yang kita diperintahkan untuk mengikuti mereka


adalah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, karena beliau bersabda:
Kekhalifahan sepeninggalku berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian
menjadi kerajaan.”335

Umar bin Abdul Aziz berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬ dan para pemimpin
sepeninggal beliau telah menetapkan Sunnah-sunnah. Mengambil Sunnah-
sunnah itu berarti berpegang teguh kepada Kitabullah dan kekuatan di atas
agama Allah. Siapa pun tidak berhak mengganti Sunnah-sunnah tersebut,
merubahnya, dan melihat perkara yang bertentangan dengannya.
Barangsiapa berpetunjuk dengannya, ia mendapat petunjuk. Barangsiapa
meminta pertolongan dengannya, ia ditolong. Barangsiapa meninggalkannya
dan mengikuti selain jalan kaum Mukminin, Allah menguasakannya kepada

331
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/117-118) dengan ringkas.
332
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3501), Muslim (no. 1820), Ahmad (II/29), dan Ibnu Hibban (no.
6233-al-Ta’liqat al-Hisan) dari Ibnu Umar.
333
Shahih: HR. Ibnu Hibban (no. 1608, 1609 al-Ta’liqat al-Hisan), dan lainnya dari Abu Dzar
334
Hadits Iftitiraqatul Ummat ini derajatnya shahih dan telah diriwayatkan dari banyak Sahabat.
335
Shahih: HR. Ahmad (V/220,221), Abu Dawud (no. 4646,4647), Ibnu Abi Ashim dalam as-
Sunnak (no. 1181), dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 13,136,6442, 6443, 6444). Lihat
Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (no. 459).
150
apa yang Dia kuasakan kepadanya dan memasukkannya ke dalam Neraka
Jahannam yang merupakan tempat kembali yang paling buruk.”336

Keempat khalifah tersebut (yaitu Abu Bakar, Umar bin Khathab,


Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib) dikatakan rasyidin karena
mereka mengetahui kebenaran dan memutuskan segala perkara dengan
kebenaran. Rasyid adalah lawan kata dari ghawi. Ghawi ialah orang yang
mengetahui kebenaran, namun mengamalkan kebalikannya. Sedangkan
mahdiyyin maksudnya adalah Allah membimbing mereka kepada kebenaran
dan tidak menyesatkan mereka darinya. Jadi, manusia terbagi menjadi tiga:
rasyid, ghawi, dan dhall.
Rasyid ialah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya.
Ghawi ialah orang yang mengetahui kebenaran namun tidak mengikutinya.
Dhall ialah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara total. Jadi,
seluruh orang rasyid itu ialah orang yang mendapatkan petunjuk, dan orang
yang diberi petunjuk dengan petunjuk paripurna ialah orang yang rasyid
(mendapatkan petunjuk), karena petunjuk hanya sempurna dengan
mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.337

Sabda Nabi : “Peganglah erat-erat Sunnah tersebut dan gigitlah


dengan gigi geraham kalian.” Kalimat ini adalah kiasan tentang wajibnya
berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin.
Para dokter menyatakan bahwa gigi geraham adalah anggota tubuh yang
paling kuat cengkramannya.

Sabda Nabi : “Tinggalkan perkara yang diada-adakan, karena setiap


yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” Ini
adalah peringatan kepada umat dari mengikuti segala perkara baru yang
merupakan bid’ah. Nabi menegaskan hal tersebut dengan sabda beliau:
“Setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan dan
tidak mempunyai landasan hukum dalam syari’at, sedang yang memiliki
landasan hukum dalam syari’at maka menurut sebagian ulama ia tidak
dinamakan bid’ah secara syar’i kendati dinamakan bid’ah secara bahasa.
Sebagian ulama lagi menyebutnya bid’ah hasanah yang berarti keumuman
hadits ini dikhususkan dalil-dalil lain.

Contohnya adalah perkataan sebagian generasi Salaf yang menganggap


baik sebagian bid’ah, maka yang dimaksud bid’ah dalam bahasa dan bukan
secara syar’i atau ia merupakan bid’ah hasanah yang terkecualikan dari
keumuman hadits di atas. Demikian dijelaskan Imam Asy-Syathibi.
Misalnya perkataan Umar bin al-Khathab ketika mengumpulkan kaum
Muslimin untuk mengerjakan shalat Tarawih dengan berjamaah dengan satu
imam di masjid dan kemudian beliau keluar melihat mereka shalat seperti
itu: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Diriwayatkan bahwa Ubay bin Ka’ab

336
Tafsir Ibni Abi Hatim ar-Razi (III/140, no. 6002) cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, dan ad-Durrul
Mantsur (11/393). Lihat surah An-Nisaa’ ayat 115.
337
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/120-126) dengan ringkas.
151
pernah mengatakan kepada Umar bin al-Khathab: “Sesungguhnya hal ini
tidak pernah terjadi.” Maka Umar menjawab: “Aku tahu, namun hal ini
baik.”

Maksudnya, perbuatan tersebut tidak pernah ada sebelum ini, namun


perbuatan tersebut mempunyai landasan hukum dalam syari’at, di antaranya
bahwa Nabi menganjurkan shalat Tarawih, kaum Muslimin pada zaman
beliau mengerjakan shalat dalam berbagai jamaah dan sendiri-sendiri, dan
Nabi bersama para Sahabat pernah shalat Tarawih tidak hanya satu malam
kemudian meninggalkannya karena beralasan beliau khawatir shalat Tarawih
diwajibkan pada mereka dan khawatir mereka tidak mampu
melaksanakannya,338 sedang hal tersebut tidak dikhawatirkan sepeninggal
beliau.

Ada juga dibahas oleh para ulama tentang adzan pertama hari
Jum’at.339 Utsman bin Affan menambahkan karena dibutuhkan manusia dan
didukung Ali bin Abu Thalib serta kaum Muslimin terus menerus
melakukannya.340 Ibnu Umar berkata tentang tambahan adzan pertama di
hari Jum’at. Beliau berkata: “Itu bid’ah.”341

Contoh lain ialah pengumpulan mushaf (al-Qur’an) dalam satu buku.


Zaid bin Tsabit tidak menyetujui gagasan tersebut. Ia berkata kepada Abu
Bakar dan Umar: “Bagaimana kalian berdua mengerjakan sesuatu yang tidak
pernah dikerjakan Nabi?” setelah itu, Zaid bin Tsabit mengetahui adanya
kemaslahatan di balik pengumpulan mushaf, karenanya, ia menyetujui
pengumpulan mushaf dalam satu buku.342

Imam asy-Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji dan
bid’ah tercela. Apa saja yang sesuai dengan as-Sunnah adalah terpuji dan
apa saja yang bertentangan dengan as-Sunnah adalah tercela.” Imam asy-
Syafi’i berhujjah dengan perkataan Umar bin al-Khathab: “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini (shalat Tarawih berjamaah).”

Diriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i perkataan yang menjelaskan


perkataan beliau di atas. Beliau berkata: “Hal-hal baru yang diada-adakan itu
ada dua jenis:
Pertama, hal-hal baru yang bertentangan dengan al-Qur-an, as-
Sunnah, atsar, dan ijma’. Inilah bid’ah yang sesat.
Kedua, kebaikan yang diada-adakan dan tidak ada pertentangan di
dalamnya dengan salah satu dari hal ini (al-Qur-an, as-Sunnah, atsar dan

338
Bahwa Nabi pernah shalat Tarawih berjamaah dan beliau khawatir diwajibkan shalat malam.
Lihat Shahih al-Bukhari (no. 2012) dari Aisyah.
339
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 912), Ahmad (III/450), Abu Dawud (no. 1087), al-Tirmidzi (no.
516), al-Nasai (III/100), dan Ibnu Majah (no. 1135) dari al-Sa-ib bin Yazid.
340
Ada sebagian ulama berpendapat bahwa adzan pertama di hari Jum’at yang ada pada zaman
sekarang adalah bid’ah. Lihat pembahasan tentang adzan dua kali pada hari Jum’at dalam buku al-
Ajwibah al-Nafi’ah an As-ilati Lajnah Masjid al-Jami’ah, karya Syaikh al-Albani.
341
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (no. 5476, 5480).
342
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 4986), al-Tirmidzi (no. 3103), dan Ibnu Hibban (no. 448 - al-
Ta’liqat al-Hisan).
152
ijma’) maka hal yang baru seperti ini tidak tercela.”343

Semakin jauh era kita dari era Khulafa-ur Rasyidin, skan semakin
banyak bid’ah yang sesat. Di antaranya pendapat Khawarij dan Rafidhah
tentang kekafiran kaum Muslimin, penghalalan darah dan harta mereka, atau
kekekalan mereka di Neraka, atau kefasikan orang-orang khusus di umat ini
atau kebalikannya. Juga bid’ahnya Murji’ah yang meyakini bahwa maksiat
tidak mendatangkan mudharat bagi pelakunya atau tidak satu pun dari orang-
orang bertauhid yang masuk Neraka.
Di antara hal-hal baru yang diada-adakan oleh Qadariyah dan
Jabriyah berupa pembahasan tentang perbuatan-perbuatan Allah; qadha’ dan
takdirnya. Mereka tidak mempercayai hal tersebut dan mereka menyangka
bahwa dengan itu mereka telah membersihkan (mensucikan) Allah dari
kezhaliman.
Di antara perkara-perkara yang baru yang diada-adakan berupa
pembahasan tentang Dzat dan Sifat-sifat Allah, padahal Nabi sendiri, para
Sahabat, dan para Tabi’in diam tidak membahasnya. Ahlul bid’ah tidak
mengakui banyak sekali Sifat-sifat Allah di dalam al-Qur-an dan as-Sunnah.
Mereka berkeyakinan mereka berbuat seperti itu untuk menyucikan Allah
dari apa saja yang dikehendaki akal untuk dibersihkan. Mahasuci Allah dari
apa yang mereka katakan.

Fawa-id Hadits

1. Anjuran untuk memberikan nasihat dan wasiat kepada manusia.


2. Hendaklah orang yang memberi nasihat menguatkan dan
membaguskan nasihatnya sehingga membekas di dalam hati.
3. Bolehnya meminta wasiat kepada orang lain.
4. Keutamaan takwa, dan itulah wasiat Allah bagi orang yang terdahulu
dan sekarang.
5. Wasiat Rasulullah ‫ﷺ‬ untuk mendengar dan patuh (taat) kepada para
pemimpin.
6. Peringatan dari bahaya bid’ah (perkara baru yang diada-adakan)
dalam agama.
7. Semua bid’ah adalah sesat, dan tidak ada dalam bid’ah apa yang
dinamakan dengan bid’ah hasanah.
8. Kunci keselamatan ketika terasing dan ketika hidup di zaman fitnah
adalah berpegang teguh dengan al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan sunnah
Khulafa-ur Rasyidin.
9. Takwa mempunyai keutamaan yang sangat banyak.
10. Tidak boleh taat kepada ulil amri dalam hal maksiat.
11. Perintah taat kepada ulil amri meskipun dia seorang hamba sahaya
(budak), menunjukkan pentingnya taat kepada ulil amri.
12. Di antara mukjizat Nabi, beliau mengabarkan akan terjadinya
perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah kaum Muslimin, dan
hal itu terjadi sesuai dengan pengabaran beliau
13. Keutamaan Khulafa-ur Rasyidin.

343
Manaqib al-Syafi’i (I/468-469) karya al-Baihaqi. Dinukil dari Jam’ul ‘Ulum wal Hikam (II/131).
153
14. Baiknya hati para Sahabat, karena mereka takut kepada Allah.
15. Wajib atas setiap Muslim mempelajari Sunnah Nabi.
16. Kita wajib mengikuti Sunnah Nabi dan Sunnahnya Khulafa-ur
Rasyidin serta berpegang teguh dengan keduanya.
17. Kita wajib waspada dan hati-hati kepada setiap perkara baru dalam
agama yang tidak ada asalnya dari Nabi.
18. Semua kesesatan tempatnya di Neraka.
19. Menjelaskan kepada umat Islam tentang bahaya bid’ah tidak termasuk
memecah belah kaum Muslimin, namun termasuk dalam kategori
amar ma’ruf nahi munkar. Justru Nabi mewasiatkan kepada kita untuk
menjauhkan bid’ah ketika terjadi perselisihan
20. Bid’ah merusak hati, akal, dan agama.

HADITS KEDUA PULUH SEMBILAN


PINTU-PINTU KEBAIKAN DAN KEWAJIBAN
MENJAGA LISAN

ْ ‫َخِ ِْبِِن بِ َع َم ٍل يُ ْد ِخلُِِن‬


َ‫اَِنَّة‬ ْ ‫ول اللَّه! أ‬ َُ َ َ َ‫َع ْن ُم َع ِاذ بْ ِن َجبَ ٍل ق‬
ِ َ ‫ قُ ْلت يا رس‬:‫ال‬

154
ِ ِ َ َ‫ ق‬،‫اع ْدِِن ِم ْن النَّا ِر‬ ِ ‫وي ب‬
ُ‫ َوإِنَّهُ لَيَنري َعلَى َم ْن يَ َّنَرهُ اللَّه‬،‫ "لََق ْد َسأَلْت َع ْن َعظي ٍم‬:‫ال‬ َُ َ
،‫ضا َن‬ َّ ‫ َوتُ ْؤِِت‬،‫الص ََل َة‬ ِ ِِ ِ َّ ِ
َ ‫وم َرَم‬ُ‫ص‬ ُ َ‫ َوت‬،‫الزَكا َة‬ َّ ‫يم‬ ُ ‫ َوتُق‬،‫ تَ ْعبُ ُد اللهَ َل تُ ْشرْك به َشْيئًا‬:‫َعلَْيه‬
‫الص َدقَةُ تُطْ ِف ُئ‬
َّ ‫ َو‬،‫الص ْوُم ُجنَّة‬ َّ ‫الَِْري؟‬ ْ ‫اب‬ ِ ‫ أََل أ َُدلعك َعلَى أَبْو‬:‫ال‬
َ َ َ‫ ُُثَّ ق‬،‫ت‬ َ ‫َوََتُ عج الْبَ ْي‬
َ ‫ " تََ َج‬:‫ ُُثَّ تَََل‬،‫ف اللَّْي ِل‬
‫اَف‬ ِ ‫الرج ِل ِ جو‬ ِ ِْ
َْ ُ َّ ُ‫ص ََلة‬ َ ‫ َو‬،‫َّار‬َ ‫الَطيئَةَ َك َما يُطْف ُئ الْ َماءُ الن‬
‫ُخِِبُك بَِرأْ ِس ْاْل َْم ِر‬ ِ ‫جنوب هم ع ِن الْمض‬
ْ ‫ أََل أ‬:‫ال‬ َ َ‫ ُُثَّ ق‬،"‫اج ِع " َح ََّّت بَلَ َغ "يَ ْع َملُو َن‬ َ َ َ ْ ُ ُ ُُ
،‫ال ْس ََل ُم‬ِْ ‫ َرأْس ْاْلَ ْم ِر‬:‫ال‬
ُ َ َ‫ ق‬.‫ول اللَّ ِه‬ َ ‫ بَلَى يَا َر ُس‬:‫ودهِ َوذُ ْرَوةِ َسنَ ِام ِه؟ قُ ْلت‬ ِ ‫وعم‬
َُ َ
‫ك ُكلِّ ِه؟‬ ِ ِْ ‫ وذُروةُ سنَ ِام ِه‬،ُ‫الص ََلة‬
َ ‫ُخِِبُك ِِبَََل ِك ذَل‬ ْ ‫ أََل أ‬:‫ال‬ َ َ‫ ُُثَّ ق‬،‫اد‬ُ ‫اِ َه‬ َ َْ َ َّ ُ‫وده‬ ُ ‫َو َع ُم‬
َّ َِ‫ يَا ن‬:‫ قُ ْلت‬.‫ف َعلَْيك َه َها‬
‫ب‬ َّ ‫ ُك‬:‫ال‬ َ َ‫َخ َه بِلِ َنانِِه َوق‬
َ ‫ول اللَّ ِه! فَأ‬َ ‫ بَلَى يَا َر ُس‬:‫ف ُق ْلت‬
ِ َ ‫اللَّ ِه وإِنَّا لَمؤاخ ُهو َن ِِبَا نََ َكلَّم بِِه؟ فَ َق‬
‫َّاس َعلَى‬ َ ‫ ثَكلَْك أُعمك َوَه ْل يَ ُك ع الن‬:‫ال‬ ُ َ َُ َ
. "!‫صائِ ُد أَلْ ِننَِ ِه ْم؟‬ ِ ِ َ َ‫أ َْو ق‬- ‫وه ِه ْم‬ ِ ‫وج‬
َ ‫ َّإل َح‬-‫ال َعلَى َمنَاخ ِره ْم‬ ُُ
.‫ص ِحيك‬ ِ َ َ‫ُ وق‬ ِِ
َ ‫ َحديث َح َنن‬:‫ال‬ َ ‫َرَواهُ ال ِّْرمه ع‬
Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata, aku berkata: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ !
Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkan aku ke Surga dan
menjauhkan aku dari Neraka?” Beliau bersabda: “Sungguh, engkau telah
bertanya tentang sesuatu yang besar, namun itu mudah bagi orang yang
dimudahkan oleh Allah di dalamnya: engkau beribadah kepada Allah
dan tidak mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun, melaksanakan
shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.”
Kemudian Beliau bersabda: “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu
kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan kesalahan
sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah
malam.” Kemudian Beliau m membaca firman Allah: “Lambung mereka
jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa
takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui
apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat)
yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka
kerjakan(Qs. As-Sajdah [32]: 16-17). Kemudian beliau bersabda: “Maukah
engkau aku jelaskan tentang pokok segala perkara, tiang-tiangnya, dan
puncaknya?” Aku berkata: “Mau, wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ .” Beliau bersabda:
“Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan
puncaknya adalah jihad.” Kemudian beliau jgj bersabda: “Maukah
engkau aku jelaskan mengenai hal yang menjaga itu semua?” Aku
menjawab: “Mau, wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ .” Beliau memegang lidahnya
kemudian bersabda: “Jagalah ini (lidah).” Aku berkata: “Wahai Nabiyullah,
apakah kita akan disiksa karena apa yang kita katakan?” Beliau bersabda:

155
“Semoga ibumu kehilanganmu, wahai Mu’adz!344 Tidaklah manusia
tersungkur di Neraka di atas wajah mereka—atau beliau bersabda: di atas
hidung mereka—melainkan dengan sebab lisan mereka.”
[Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan
shahih.”]

Syarah Hadits
Perkataan Mu’adz bin Jabal : “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Jelaskan
kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku ke Surga dan
menjauhkanku dari Neraka?” Hal tersebut menunjukkan kuatnya
perhatian dan kepedulian Mu’adz bin Jabal terhadap amal-amal shalih, dan
di dalamnya terdapat dalil bahwa amal-amal menjadi penyebab seseorang
masuk ke Surga, seperti difirmankan Allah : “Dan itulah Surga yang
diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu
kerjakan.” (Qs. Az-Zukhruf [43]: 72)

Adapun sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Amal seseorang tidak bisa


memasukkannya ke Surga.” Maksudnya, wallahu a’lam, bahwa amal itu
345

sendiri tidak membuat seseorang berhak atas Surga. Allah dengan rahmat
dan karunia-Nya menjadikan amal orang tersebut sebagai penyebab dirinya
masuk Surga. Amal itu sendiri merupakan rahmat Allah dan karunia-Nya
kepada hamba-Nya. Jadi, Surga dan penyebab-penyebabnya, semuanya
berasal dari karunia dan rahmat Allah.346

Sabda Nabi: “Sungguh, engkau bertanya tentang sesuatu yang


besar.” Masuk Surga dan selamat dari Neraka adalah sesuatu yang sangat
agung, karena ia adalah kesukesan yang hakiki. Allah berfirman:
“Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga,
sungguh, dia memperoleh kemenangan .... ” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 185)

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Namun itu mudah bagi orang yang


dimudahkan oleh Allah di dalamnya.” Sabda beliau ini merupakan isyarat
bahwa hidayah taufiq seluruhnya berada di tangan Allah. Siapa saja yang
diberi kemudahan oleh Allah untuk memperoleh hidayah, maka ia
mendapatkan petunjuk dan siapa saja yang tidak diberikan kemudahan oleh
Allah untuk memperoleh hidayah, maka ia tidak memperoleh petunjuk.
Allah berfirman: “Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah)
dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (Surga),
maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan
(kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup
(tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan (pahala) yang terbaik,
maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran
(kesengsaraan). ’’ (Qs. Al-Lail [92]: 5-10)

344
Ungkapan seperti ini biasa dikatakan oleh orang Arab untuk menyuruh memperhatikan ucapan
selanjutnya dan merupakan anjuran. Dan mereka tidak bermaksud dari perkataan ini makna yang
sebenarnya, akan tetapi supaya orang tersebut memperhatikan dan sebagai anjuran untuk mendapat
pemahaman. (Syarah Arba’in oleh Syaikh Utsaimin [hlm. 322]).
345
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5673) dan Muslim (no. 2816) dari Abu Hurairah
346
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/136) dan Fath al-Bari (XI/295-296).
156
Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melaksanakan shalat,
membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.” Jawaban
Rasulullah ‫ﷺ‬ ini menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban-kewajiban
agama, terutama rukun Islam, adalah sebab masuk Surga.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu


kebaikan?” Setelah menjelaskan amal-amal yang menyebabkan seseorang
masuk Surga dan dijauhkan dari Neraka itu disebabkan mengerjakan
kewajiban-kewajiban Islam; maka setelah itu, Rasulullah ‫ﷺ‬ menjelaskan
ibadah-ibadah sunnah yang merupakan pintu-pintu kebaikan. Sebab, wali-
wali Allah yang paling mulia adalah al-muqarrabun, yaitu orang-orang yang
mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah-ibadah yang
wajib kemudian mengerjakan ibadah-ibadah sunnah.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Puasa adalah perisai.” Puasa adalah perisai


selagi tidak dirobek, yakni dirobek dengan perkataan jelek dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Puasa adalah
perisai, barangsiapa yang berpuasa, maka janganlah berkata jelek dan
berbuat bodoh, dan jika ia dihina dan diganggu seseorang, maka hendaklah
ia berkata: ‘Aku orang yang berpuasa,’”347 Ibnul Munkadir berkata: “Jika
orang berpuasa melakukan ghibah (menggunjing orang lain), maka puasanya
menjadi robek. Jika ia beristighfar, ia menambalnya.”348

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Sedekah memadamkan kesalahan


sebagaimana air memadamkan api.” Allah berfirman:“Jika kamu
menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka
itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-
kesalahanmu Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. ” (Qs. Al-
Baqarah [2]: 271) Firman Allah ini menunjukkan bahwasanya sedekah
menghapus kesalahan-kesalahan, baik sedekah yang tampak atau sedekah
secara rahasia, jika dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : _________________ “Dan shalat seseorang di


tengah malam.” Maksudnya, shalat juga menghapuskan kesalahan
sebagaimana halnya sedekah. Di sabdanya tersebut, Rasulullah ‫ﷺ‬
menyebutkan waktu terbaik melaksanakan shalat Tahajjud di malam hari,
yaitu tengah malam. Diriwayatkan dari Abu Umamah bahwa Nabi ditanya:
“Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Doa apakah yang paling didengar?” Beliau menjawab:
“Di tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat wajib.”349

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬“Maukah engkau aku jelaskan tentang pokok

347
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1894) dan Muslim (no. 1151), dan Ibnu Hibban (no. 3407, 3418-
al-Ta’liqat al-Hisan) dari Abu Hurairah.
348
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/139).
349
Hasan dengan berbagai syawahid (penguat)nya: Hr. Al-Tirmidzi (no. 3499), al-Nasai dalam
‘Amal al-Yaum wa al-Lailah (no. 108).
157
segala perkara, tiang- tiangnya, dan puncaknya?” Aku berkata: “Mau,
wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ .” Beliau bersabda: “Pokok segala perkara adalah
Islam, tiang- tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Di
sini Rasulullah ‫ﷺ‬menjelaskan tiga hal: pokok segala sesuatu, tiangnya, dan
puncaknya.

Pertama: Adapun pokok segala perkara, maka yang dimaksud dengan


perkara dalam hadits di atas ialah agama yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬ ,
yaitu Islam. Perkara tersebut diriwayat lain ditafsirkan dengan dua kalimat
syahadat (yaitu Asyhadu alia ilaha illalldh wa asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah ‫ﷺ‬ ). Jadi, barangsiapa tidak mengakui keduanya lahir-batin, ia
tidak termasuk bagian dari Islam.350 Kedudukan dua kalimat syahadat dalam
agama Islam ialah seperti kedudukan kepala atas seluruh anggota tubuh,
apabila kepala telah putus maka tidak ada kehidupan bagi manusia
setelahnya.

Kedua: Sedang tiang agama di mana agama tegak dengannya ialah


shalat sebagaimana tenda tegak di atas tiang-tiangnya. Demikian pula agama
seorang hamba tidak akan tegak tanpa shalat.

Ketiga: Sedang puncak perkara ialah jihad. Ini menunjukkan bahwa


jihad adalah amal perbuatan terbaik setelah ibadah-ibadah wajib seperti
dikatakan Imam Ahmad dan ulama-ulama lainnya.351 Kedudukan jihad
adalah yang paling tinggi dalam Islam, karena dengannya kalimat Allah
menjadi paling tinggi, agama Islam menjadi menang di atas seluruh agama,
dan melenyapkan pelaku kebatilan dari kalangan orang kafir, munafik,
Yahudi, dan Nasrani.352 Dari Abu Dzar ia berkata: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ !
Amal apakah yang paling baik?” Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan
jihad di jalan Allah.”353
Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ , “Maukah engkau aku jelaskan mengenai hal
yang dapat menjaga itu semua?” Aku menjawab: “Mau, wahai
Rasulullah ‫ﷺ‬ .” Beliau memegang lidahnya kemudian bersabda:
“Jagalah ini (lidah) ....” Ini menunjukkan bahwa menjaga lisan, hati-hati
dalam berbicara, dan memenjarakannya adalah inti seluruh kebaikan. Siapa
mampu menjaga lidahnya akan menguasai dan mengendalikan
perkaranya.354

Yang dimaksud dengan “hasil lidah” adalah balasan dan hukuman


atas perkataan yang diharamkan. Pada dasarnya, manusia menanam berbagai
kebaikan dan kesalahan dari perkataan dan perbuatannya, lalu pada hari
Kiamat ia menuai apa yang ia tanam. Barangsiapa menanam kebaikan, baik
dari perkataan ataupun perbuatan, ia menuai kemuliaan. Dan barangsiapa
menanam keburukan, baik berupa perkataan dan perbuatan, kelak ia menuai

350
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/145).
351
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. (II/146).
352
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 259).
353
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2518), Muslim (no. 84), Ahmad (V/150), al-Nasai (VI/19), dan
Ibnu Hibban (no. 152 al-Ta’liqat al-Hisan).
354
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/146).
158
penyesalan.

Di antara hal-hal yang masuk dalam maksiat dengan lisan ialah


kemusyrikan yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah. Termasuk juga
mengatakan tentang Allah tanpa didasari ilmu dan dosa seperti ini termasuk
setara dengan syirik. Termasuk juga persaksian palsu yang dosanya dosa
besar. Termasuk di dalamnya sihir, menuduh orang yang baik-baik
melakukan zina, dan dosa-dosa besar lainnya seperti berbohong,
menggunjing, mengadu domba, melaknat, mencaci maki, dan seluruh
kemaksiatan yang berbentuk tindakan yang pada umumnya didukung
perkataan.355

Beberapa Kandungan Hadits

1. Bersemangatnya para Sahabat untuk mendapatkan ilmu karena itulah


banyak di antara mereka yang bertanya kepada Nabi tentang ilmu.
2. Tingginya cita-cita dan kemauan dari Mu’adz bin Jabal di mana ia tidak
bertanya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ sallam tentang dunia, tetapi bertanya
tentang akhirat.
3. Menetapkan adanya Surga dan Neraka, dan mengimani keduanya
termasuk rukun iman.
4. Bahwa amal shalih itu memasukkan ke Surga dan menjauhkan dari
Neraka karena Nabi menetapkan hal ini.
5. Masuk Surga dan dijauhkan dari Neraka adalah perkara yang besar, dan
tujuan hidup seorang Mukmin adalah Surga.
6. Hidayah taufiq hanyalah milik Allah.
7. Meskipun perkara tersebut agung (berat) tetapi hal itu mudah bagi orang
yang diberikan kemudahan oleh Allah .
8. Sudah selayaknya bagi manusia untuk memohon kemudahan kepada
Allah dalam masalah agama dan dunianya karena orang yang tidak diberi
kemudahan oleh Allah maka segala sesuatu menjadi sulit baginya.
9. Hadits ini menyebutkan tentang rukun Islam yang lima.
10. Kewajiban yang paling besar adalah beribadah kepada Allah, yaitu
mentauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.
11. Puasa adalah perisai dari perbuatan dosa di dunia dan perisai dari api
Neraka di akhirat.
12. Sedekah itu menghapuskan kesalahan, dan ini menunjukkan keutamaan
serta anjuran untuk bersedekah, dan sedekah menghapuskan kesalahan
sebagaimana air memadamkan api.
13. Bertahap dalam memberikan pelajaran kepada manusia, dengan memulai
dari perkara yang paling penting kemudian yang penting dan seterusnya.
14. Keutamaan mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah-
ibadah wajib, kemudian ibadah-ibadah sunnah.
15. Pokok segala urusan, yaitu urusan dunia dan akhirat adalah Islam.
16. Shalat adalah tiang agama, dan bangunan tidak menjadi tegak kecuali
dengannya. Dan hadits ini juga menunjukkan betapa pentingnya masalah
shalat.

355
Ibid (II/147)
159
17. Keutamaan dan anjuran untuk berjihad, dan bahwa jihad adalah puncak
agama Islam karena dengannyalah kalimat Allah menjadi tegak dan
tinggi.
18. Bahwa kunci dari semua perkara di atas ialah menjaga lisan.
19. Bahayanya lisan, apabila seseorang tidak menjaga lisannya, maka satu
kalimat yang dimurkai Allah, menyebabkan seseorang masuk ke dalam
Neraka.
20. Di antara penduduk Neraka, ada yang diseret di atas wajah mereka.
Wal’iyadzu billah.
Nas-alullaha as-salamah wal ‘afiyah.

HADITS KETIGA PULUH


BATAS-BATAS ALLAH DAN YANG
DIHARAMKANNYA

َّ " :‫ول اللَّ ِه قَال‬


َ ‫إن اللَّهَ تَ َع‬ ِ َ‫ال َش ِِن جرثُ ِوم بن ن‬
ِ ‫اش ٍ َعن رس‬
‫اَل‬ َُ ْ ْ ُ ِّ ُْ َ‫َع ْن أَِِب ثَ ْعلَبَة‬
160
‫ َو َحَّرَم أَ ْشيَاءَ فَ ََل‬،‫وها‬ ِ
ً ‫ َو َح َّد ُح ُد‬،‫وها‬
َ ‫ودا فَ ََل تَ ْعَ ُد‬ َ ُ‫ضيِّ ع‬
َ ُ‫ض فَ ََل ت‬
َ ‫ض فَ َرائ‬
َ ‫فَ َر‬
ٍ ‫ وس َكت عن أَ ْشياء ر ْْحةً لَ ُكم َغي ر نِني‬،‫تَْنَ ِه ُكوها‬
."‫ان فَ ََل تَْب َحثُوا َعْن َها‬َْ َْ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ
.ُ‫َّارقُطِِْن سننه َو َغْي ُره‬ ِ
َ ‫ َرَواهُ الد‬،‫َحديث َح َنن‬
Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nasyir dari Rasulullah ‫ﷺ‬
,
beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban, maka janganlah kalian menyia- nyiakannya, Dia telah
menentukan beberapa batas (ketentuan), maka janganlah kalian
melanggarnya, Dia telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah
kalian melanggarnya, Dan Dia telah mendiamkan banyak hal sebagai
rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian
membahasnya.”
[Hadits Hasan, riwayat ad-Daruquthni dan lainnya]

Syarah Hadits

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: ‘Hadits ini dari riwayat Mak-hul dari
Abi Tsa’labah al-Khusyani, memiliki dua ‘illat (cacat/penyakit): Salah
satunya bahwa Mak-hul tidak mendengar dari Abu Tsa’labah.’ Abu Mus-hir
ad-Dimasyqi dan Abu Nu’aim al-Hafidz dan selainnya juga berkata seperti
itu. Akan tetapi Syaikh al-Nawawi telah menghasankan hadits ini, dan telah
menghasankan juga sebelumnya Abu Bakar al-Sam’ani.”
Kesimpulannya, meski hadits ini diperselisihkan apakah ia hasan
ataukah dha’if (lemah), akan tetapi ada hadits lain yang semakna dengan ini
dari Abu Darda’ bahwa Nabi bersabda: “Apa saja yang Allah halalkan dalam
Kitab-Nya maka itu halal, dan apa saja yang Dia haramkan maka itu haram.
Sedangkan apa yang Dia diamkan maka itu dibolehkan. Terimalah dari Allah
kemaafannya itu. Karena sesungguhnya Allah tidak akan lupa sedikit pun.
Kemudian beliau membaca ayat: ‘Dan Rabbmu tidak lupa. ’ (Qs. Maryam
[19]: 64)” [HR. Al-Bazzar] 356

Hadits ini merupakan perkataan yang singkat tapi padat yang


merupakan kekhususan yang diberikan Allah bagi Nabi-Nya. Di mana beliau
berbicara singkat dan mengena, dan sebagian mereka berkata: “Di antara
hadits-hadits Nabi tidak ada satu hadits pun yang ketika berdiri sendiri yang
lebih mencakup dasar-dasar dan cabang-cabang agama daripada hadits ini.
Hal itu karena Nabi membagi hukum Allah kepada empat macam: Fardhu,
haram, hudud, dan yang didiamkan. Ibnu Sam’ani berkata: ‘Barangsiapa
yang mengamalkan hadits ini maka dia akan memperoleh pahala dan selamat
dari siksa. Karena barangsiapa yang menunaikan kewajiban, menjauhi yang
haram, berhenti pada batas-batas Allah, dan tidak mencari-cari apa yang

356
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam al-Bahr al-Zakhkhar al-Ma’ruf bi Musnad al-Bazzar (10/27.
no. 4087), al-Hakim (2/375), dan al-Baihaqi (10/12). Imam al-Haitsami menyebutkannya dalam
Majma’ al-Zawd-id wa Manba’al-Fawa-id (I/171), dan dia berkata: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar
dan al-Thabrani dalam al-Kabir dan sanadnya hasan, para perawinya tepercaya.” Hadits ini
dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Ghayah al-Maram fi Takhriji Ahddits al-Halal wa al-
Haram (no. 2).
161
tersembunyi baginya, maka dia telah meraih semua keutamaan, memenuhi
semua hak agama karena syari’at tidak akan keluar dari macam-macam
hukum yang disebutkan dalam hadits ini.’”357
Hadits ini memiliki beberapa poin pembahasan sebagaimana
berikut.

A.Wajib Menjaga Perkara-Perkara yang Fardhu dan Wajib


Ibadah fardhu adalah apa yang difardhukan atas hamba-hamba-Nya
dan mewajibkan mereka untuk mengerjakannya seperti shalat, zakat, puasa,
dan haji.

Yang fardhu terbagi kepada dua macam:


1. Fardhu ‘ain, kewajiban yang mengenai setiap mukallaf secara
pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji.
2. Fardhu Kifayah, jika sebagian kaum Muslimin yang mencukupi
(memenuhi syarat) melakukannya, maka gugurlah dosa dari sebagian
yang lainnya. Namun jika tidak ada seorang pun yang melakukannya
maka semua orang menanggung dosanya, seperti shalat jenazah,
menjawab salam, dan amar ma’ruf nahi munkar.358

B.Memegang Teguh Batas-Batas Allah


Yaitu hukuman yang ditetapkan agar manusia takut melakukan
perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Seperti hukuman pezina, pencuri,
dan peminum khamr. Allah berfirman: “... Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum
Allah, mereka itulah orang-orang zhalim. ” (Qs. Al-Baqarah [2]: 229)

Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda kepada Usamah bin Zaid ketika dia


memberikan pembelaan terhadap wanita Makhzumiyah yang mencuri pada
tahun penaklukan kota Makkah: “Apakah kamu memberi syafa’at
(permohonan maaf) dalam salah satu hukuman had dari hukum- hukum
Allah?”359 Yakni dalam pemotongan tangan karena pencurian. Batas-batas
ini adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah sang Pencipta, maka
kita wajib berdiri di atasnya tanpa menambah dan menguranginya.

C. Larangan Mendekati dan Mengerjakan yang Haram


Yang dimaksud adalah perkara-perkara yang diharamkan secara pasti,
yang disebutkan dalam al-Qur-an dan sunnah Nabi. Allah telah melarang
untuk mendekati dan melakukannya serta melanggarnya seperti saksi palsu,
memakan harta anak yatim, dan riba.
Allah berfirman: “Katakanlah (Muhammad): “Rabbku hanya
mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi,
perbuatan dosa, perbuatan zhalim tanpa alasan yang benar, dan
(mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan

357
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/153).
358
Al-Wafi (hlm. 225-226).
359
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3475, 6788), Muslim (no. 1688), Abu Dawud (no. 4373), al-
Tirmidzi (no. 1430), al-Nasai (VIII/73), dan Ibnu Majah (no. 2547) dari Aisyah.
162
Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu
membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A’raf
[7]: 33)

D. Rahmat Allah Kepada Hamba-Nya


Rasulullah ‫ﷺ‬menegaskan bahwa Allah diam yaitu tidak menyebutkan
hukum sesuatu, tidak mewajibkan, tidak menghalalkan dan
mengharamkannya adalah tiada lain sebagai rahmat dan kasih sayang kepada
hamba-hamba-Nya. Maka perkara-perkara tersebut adalah yang dimaafkan.
Jika mereka mengerjakannya, maka tidak ada kesempitan atas mereka, dan
jika mereka pun meninggalkannya, maka tidak ada kesempitan pula atas
mereka. Diamnya Allah atas hal ini bukan timbul karena kesalahan atau
lupa. Allah Maha Suci dari sifat salah dan lupa. Allah berfirman: “... Dan
Rabbmu tidak lupa. ” (Qs. Maryam [19]: 64)

E. Larangan Banyak Bertanya


Dipahami bahwa larangan yang disebutkan dalam hadits di atas
adalah larangan banyak bertanya dan mencari-cari di masa Nabi secara
khusus, karena banyak mencari-cari dan bertanya tentang hal yang tidak
disebutkan menjadi sebab timbulnya pemberatan dalam kewajiban dan
pengharaman. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu
menanyakannya ketika al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan
diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. ” (Qs. Al-Ma-idah [5]: 101)

Dipahami juga bahwa hadits ini berlaku sesuai dengan


keumumannya, maka larangan diterapkan bagi berlebih-lebihan dalam
agama. Nabi bersabda: “Tinggalkanlah aku dalam hal yang aku biarkan bagi
kamu sekalian. Karena binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena
banyaknya bertanya dan menyelisihi Nabi mereka.”360 Rasulullah ‫ﷺ‬juga
bersabda: “Celaka bagi orang-orang yang berlebihan (sampai melewati
batas).”361

Para Sahabat telah menahan diri untuk tidak banyak bertanya kepada
Rasulullah ‫ﷺ‬sehingga mereka merasa senang jika datang orang-orang Arab
Badui bertanya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬dan beliau menjawab pertanyaan
mereka, mereka dengar dan mereka pahami.362

Yang termasuk ke dalam mencari-cari sesuatu yang tidak bermanfaat


adalah menyelami masalah-masalah ghaib yang kita diperintahkan untuk
beriman kepadanya, sementara hal tersebut tidak jelas bagi kita hakikat dan
gambarannya karena hal itu dapat menimbulkan kebingungan, keraguan
bahkan bisa sampai mendustakannya. Ibnu Ishaq berkata: “Tidak boleh

360
HR. Al-Bukhari (no. 7288) dan Muslim (no. 1337) dari Abu Hurairah.
361
HR. Muslim (no. 2670) dari Abdullah bin Mas’ud.
362
Lihat Shahih al-Bukhari (no. 63) dan Shahih Muslim (no. 12) dari Anas bin Malik.
163
berpikir tentang sang Pencipta juga tentang makhluk dengan apa-apa yang
belum pernah didengar tentangnya. Sebagaimana mengatakan tentang firman
Allah: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan
memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha
Penyantun, Maha Pengampun.” (Qs. Al-Isra’ [17]: 44)

Beberapa Kandungan Hadits

1. Penetapan bahwa perintah itu datangnya dari Allah semata, Dialah


yang berhak mewajibkan dan mengharamkan.
2. Kehalalan adalah apa yang Allah halalkan di dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah, begitu pula dengan keharaman.
3. Tidak boleh melanggar batasan dan hukum-hukum Allah.
4. Hukuman pidana telah ditetapkan sehingga harus dilaksanakan.
5. Luasnya rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.
6. Apa yang didiamkan oleh syari’at ini, maka itu adalah keringanan dan
rahmat bagi umat ini.
7. Wajib menjaga apa-apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya.
8. Tidak boleh mencari-cari apa yang telah didiamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
9. Besarnya resiko orang yang sering bertanya hal-hal yang belum
terjadi.
10. Penjelasan Nabi adalah yang terbaik dalam membawakan hadits
dengan pembagian yang sangat jelas dan rinci.

HADITS KETIGA PULUH SATU


KEUTAMAAN ZUHUD AGAR DICINTAI
ALLAH DAN DICINTAI MANUSIA

ِ ِ َّ ‫اس سه ِل ب ِن سع ٍد‬
:‫ال‬ ِّ ِ‫ َجاءَ َر ُجل َإَل الن‬:‫ال‬
َ ‫َّب فَ َق‬ َ َ‫ُ ق‬ ّ ‫الناعد‬ ْ َ ْ ْ َ ِ َّ‫َع ْن أَِِب الْ َعب‬
ِ ِ َ ‫يا رس‬
‫ " ْازَه ْد‬:‫ال‬
َ ‫َّاس؛ فَ َق‬ َ ‫ول اللَّه ُدلَِِّن َعلَى َع َم ٍل إذَا َعم ْلُهُ أ‬
َ ‫َحبَِِّن اللَّهُ َوأ‬
ُ ‫َحبَِِّن الن‬ َُ َ
164
. "‫َّاس‬ ِ ِ ‫ وا ْزه ْد فِيما عِْن َد الن‬،‫ِ الدعنْيا ُِيبعك اللَّه‬
ُ ‫َّاس ُيبعك الن‬ َ َ َ ُ َ
.‫َسانِي َد َح َننَ ٍة‬ ِ
َ ‫اج ْه َو َغْي ُرهُ بأ‬
َ ‫ َرَواهُ ابْ ُن َم‬،‫حديث حنن‬
Dari Abui Abbas Sahl bin Sa’d al-Sa’idi, ia berkata: “Ada seseorang yang
datang kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬
! Tunjukkan
kepadaku satu amalan di mana jika aku mengamalkannya maka aku akan
dicintai Allah dan dicintai manusia.” Maka beliau menjawab: “Zuhudlah di
dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang
dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia.”
[Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dengan beberapa
sanad yang hasan]

Syarah Hadits

Makna zuhud terhadap sesuatu adalah berpaling darinya karena


menganggapnya kecil, merendahkannya, dan karena hilang keinginan
kepadanya. Para generasi Salaf dan generasi sesudah mereka banyak
berbicara tentang penafsiran zuhud di dunia dan redaksi mereka beragam.
Abu Muslim al-Khaulani berkata: “Zuhud di dunia tidak dengan
mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, namun zuhud di dunia
ialah hendaklah engkau lebih yakin kepada apa yang ada di tangan Allah
daripada kepada apa yang ada di kedua tanganmu dan jika engkau diuji
dengan musibah maka engkau lebih senang dengan pahalanya hingga engkau
berharap seandainya musibah tersebut tetap terjadi padamu.”363

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa zuhud yang


sesuai dengan syari’at adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak
bermanfaat di akhirat dan hatinya yakin serta percaya dengan apa yang ada
di sisi Allah.364 Jadi, zuhud ditafsirkan dengan tiga hal yang semuanya
merupakan perbuatan hati dan bukan perbuatan organ tubuh. Oleh karena itu,
Abu Sulaiman berkata: “Engkau jangan bersaksi untuk seseorang bahwa ia
zuhud karena zuhud ada di hati.”365

Pertama: Hendaknya seorang hamba lebih yakin terhadap apa yang


ada di sisi Allah daripada terhadap apa yang ada di tangannya sendiri.
Dikatakan kepada Abu Hazim “Apa hartamu?” Ia menjawab: “Aku
mempunyai dua harta yang dengan keduanya aku tidak takut miskin (yaitu):
percaya sepenuhnya kepada Allah dan tidak mempunyai harapan terhadap
apa yang ada di tangan manusia.”366 Al-Fudhail bin Iyadh berkata: “Prinsip
zuhud ialah ridha kepada Allah. Ia juga berkata: “Qana’ah adalah zuhud dan
itulah kekayaan (merasa cukup).”367

363
Ibid. (II/179).
364
Majmu’ Fatawa (X/641).
365
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/180).
366
Hilyatul Auliya (III/268, no. 3917).
367
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/180-181).
165
Kedua: Jika seorang hamba mendapatkan musibah pada dunianya,
misalnya hartanya ludes, anaknya meninggal dunia, dan lain sebagainya
maka ia lebih senang kepada pahala musibah tersebut daripada dunianya
yang hilang untuk kembali lagi kepadanya. Sikap seperti ini juga terjadi
karena kesempurnaan keyakinan.368 Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah ‫ﷺ‬ berkata dalam doanya: “Ya Allah, anugerahkan kepada kami
rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi antara kami dengan
perbuatan maksiat kepada-Mu, anugerahkan kepada kami ketaatan kepada-
Mu yang akan menyampaikan kami ke Surga-Mu, dan anugerahkan kepada
kami keyakinan yang membuat kami merasa ringan atas seluruh musibah
dunia ini ...” 369

Ketiga: Pemuji dan pencela dalam kebenaran itu sama saja bagi
seorang hamba. Ini juga pertanda zuhud di dunia, merendahkannya,
minimnya ambisi kepadanya, karena barangsiapa dunia menjadi agung
baginya, maka ia mencintai pujian dan membenci celaan. Tidak tertutup
kemungkinan, sikap tersebut menyebabkannya meninggalkan banyak sekali
kebenaran karena takut celaan dan mengerjakan banyak sekali kebatilan
karena mengharapkan pujian. Jadi, barangsiapa pemuji dan pencelanya sama
dalam kebenaran, maka itu menunjukkan runtuhnya kedudukan seluruh
makhluk dari hatinya, hatinya penuh dengan cinta kepada kebenaran, dan
ridha kepada Rabbnya. Yusuf bin al-Asbath berkata: “Zuhud terhadap
kekuasaan itu lebih berat daripada zuhud terhadap dunia.”370

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Zuhudlah di dunia niscaya Allah


mencintaimu.” Zuhud di dunia adalah salah satu cara mendapatkan cinta
Allah, yang dimaksud zuhud di sini ialah zuhud seperti yang dilakukan oleh
para ulama Salaf, bukan zuhud yang menyebabkan kaum Muslimin menjadi
terbelakang. Kecintaan Allah terhadap hamba-Nya adalah perkara yang
agung. Orang yang dicintai Allah maka dia telah diberikan taufiq kepada
segala apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang


zuhud di dunia. Allah mencela orang-orang yang mencintai dunia dan
mengutamakannya daripada akhirat, seperti firman-Nya: “Tidak! Bahkan
kamu mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat. ”
(Qs. Al-Qiyamah [75]: 20-21) Jika Allah mencela orang-orang yang
mencintai dunia, maka itu menunjukkan bahwa Dia memuji orang-orang
yang tidak mencintai dunia, menolaknya, dan meninggalkannya. Rasulullah
‫ﷺ‬ bersabda: “Barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah dunia, maka
Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua
pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat,

368
Ibid. (II/182).
369
Hasan: HR. Al-Tirmidzi (no. 3502), al-Hakim (I/528), dan Ibnus Sunni (no. 446). Lihat
kelengkapan doa ini dalam buku “Doa dan Wirid” oleh Ust. Yazid ‫حفظ ه هللا‬cet. XXVIII penerbit
Pustaka Imam asy-Syafi’i - Jakarta.
370
Hilyah al-Auliya’ (VIII/261, no. 12127).
166
Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan
dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”371

Sabda Nabi: “Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan


manusia niscaya engkau dicintai manusia.” Wasiat kedua di hadits ini
ialah zuhud terhadap apa saja yang ada di tangan manusia. Zuhud seperti ini
membuat orang dicintai manusia. Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Dan
ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin ialah shalat malamnya dan
kehormatannya ialah tidak merasa butuh kepada manusia.”372 Seseorang
sangat butuh kecintaan orang lain karena dengannya ia merasa senang dan
lapang dada ketika ia hidup di tengah masyarakat yang mencintainya,
sebaliknya ia merasa sempit ketika hidup di tengah masyarakat yang
membencinya. Al-Hasan al-Bashri berkata: “Engkau senantiasa menjadi
mulia di mata manusia atau manusia senantiasa memuliakanmu jika engkau
tidak mengambil apa yang ada di tangan manusia. Jika engkau mengambil
apa yang ada di tangan manusia, mereka meremehkanmu, membenci
perkataanmu, dan benci kepadamu.”373
Seorang Arab Badui bertanya kepada penduduk Bashrah: “Siapa
orang mulia di desa ini?” “Al-Hasan”, jawab penduduk Bashrah. Orang Arab
Badui itu bertanya: “Kenapa ia mulia atas penduduk Bashrah?” Penduduk
Bashrah menjawab: “Manusia membutuhkan ilmunya, sedang ia tidak
membutuhkan dunia mereka.”

Beberapa Kandungan Hadits

1. Tingginya cita-cita para Sahabat di mana mereka selalu bertanya


kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ tentang hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan
dunia dan akhirat mereka.
2. Menetapkan sifat cinta bagi Allah, yaitu Allah mencintai dengan cinta
yang sesungguhnya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-
Nya.
3. Tidak mengapa bagi seseorang berusaha mendapatkan kecintaan
manusia selama cara dan tujuannya benar dan diridhai Allah.
4. Keutamaan zuhud di dunia.
5. Kedudukan zuhud lebih tinggi daripada wara’ karena wara’ artinya
meninggalkan apa yang berbahaya sedangkan zuhud meninggalkan
apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
6. Zuhud sebagai sebab mendapatkan kecintaan-Nya. Dan di antara
sebab terbesar mendapatkan kecintaan Allah ialah mentauhidkan
Allah dan mengikuti Sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬ .

371
Shahih: HR. Ahmad (V/183), Ibnu Majah (no. 4105), Ibnu Hibban (no. 72- Mawarid al-Zam-
an), dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 9855) dari Zaid bin Tsabit. Dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (no. 950).
372
Hasan: HR. Al-Hakim (IV/324-325) dan al-Baihaai dalam Syu’abul Iman (no. 10058).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati adz-Dzanabi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-
Albani dalam Silsilah al-Shahihah (no. 831), dan beliau menyebutkan tiga jalur periwayatan: dari
Ali, Sahi, dan Jabir.
373
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/204-205).
167
7. Anjuran dan dorongan agar zuhud terhadap segala apa yang dimiliki
orang lain karena Nabi menjadikan hal itu sebagai sebab mendapatkan
kecintaan manusia.
8. Merasa cukup dan tidak mengharap apa yang ada di tangan manusia
dan tidak minta-minta kepada mereka, akan membawa kepada
kecintaan manusia.
9. Persaingan dalam kehidupan dunia membuat manusia tidak saling
menyukai pesaingnya.
10. Zuhud adalah ajaran Nabi ‫ﷺ‬ sekalipun sering disalahpahami.

HADITS KETIGA PULUH DUA


ISLAM MELARANG SETIAP YANG
MEMBAHAYAKAN DAN MERUGIKAN

َ َ‫ول اللَّ ِه ق‬ ِ ٍ ِ ِِ ِ ٍِ
‫ " َل‬:‫ال‬ َ ‫َن َر ُس‬ ّ ‫َع ْن أَِِب َسعيد َس ْعد بْ ِن َمالك بْ ِن سنَان ا ْلُ ْدر‬
َّ ‫ُ أ‬
. "‫ضَرَر َوَل ِضَر َار‬
َ
168
ِ ‫ َوَرَواهُ َمالِك‬.‫َو َغْي رَُا ُمننَ ًدا‬ ‫ِن‬ِْ‫َّارقُط‬
َ ‫الد‬ ‫و‬
َ ،‫ه‬ْ ‫اج‬
َ ‫م‬
َ ‫ن‬ ‫اب‬
ْ ‫اه‬
ُ ‫و‬َ‫ر‬َ ، ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ح‬
َ ‫يث‬ ِ‫ح‬
‫د‬ َ
ْ ُ ّ ُ َ
ٍِ ِ
ُ‫ َولَه‬،‫ط أَبَا َسعيد‬ َ ‫َس َق‬
ْ ‫ فَأ‬،‫ُمْر َس ًَل‬ ِّ ِ‫"الْ ُم َوطَِّإ" َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن َْي ََي َع ْن أَبِيه َع ْن الن‬
‫َّب‬
.‫ضا‬ً ‫ض َها بَ ْع‬
ُ ‫طُُرق يُ َق ِّوُ بَ ْع‬
Dari Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan al-Khudri bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan
orang lain.”374
[Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Daraquthni dan selainnya
secara musnad. Imam Malik meriwayatkan dalam kitabnya al-Muwaththa’
secara mursal dari Amr bin Yahya dari bapaknya, dari Nabi. Maka nama
Abu Sa’id dihilangkan. Hadits ini mempunyai beberapa jalan yang saling
menguatkan.]

Syarah Hadits

Para ulama berbeda pendapat; apakah terdapat perbedaan makna pada


kata adh-dharar dan adh-dhirar? Di antara mereka ada yang mengatakan:
“Arti kedua kata tersebut sama, yaitu untuk menguatkan.” Sedang pendapat
yang terkenal bahwa terdapat perbedaan makna dari kedua kata tersebut.
Dharar (bahaya) adalah lawan dari manfaat. Makna hadits tersebut tidak
boleh ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan mudharat (bahaya) tanpa
alasan yang benar yang tidak diakui dalam syari’at.

Ada juga yang mengatakan bahwa dharar ialah menimbulkan


mudharat kepada orang lain yang tidak menimbulkan mudharat kepadanya,
sedang dhirar ialah menimbulkan mudharat kepada orang yang telah
menimbulkan mudharat kepadanya dengan cara yang tidak diperbolehkan.
Imam al-Nawawi berkata: “Sabda beliau: ‘La dharara (tidak boleh
membahayakan).’ Yakni, tidak boleh seorang dari kalian membahayakan
orang lain dengan tanpa hak, dan tidak boleh pula memulai kejahatan
kepadanya.” Sabdanya: “ Wala dhirara.” Yakni, jangan membalas bahaya
orang yang membahayakanmu. Jika seorang mencaci makimu, jangan kamu
balas mencacinya. Jika ia memukulmu, jangan kamu balas memukulnya.
Tetapi tuntutlah hakmu darinya kepada hakim dengan tidak membalas
terlebih dahulu.

Jika dua orang saling mencaci maki atau saling menuduh, maka tidak
berlaku tuntut balas. Akan tetapi masing-masing (berhak) menuntut haknya
di hadapan hakim. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Dua orang yang
saling mencaci maki, apa yang dikatakan (diucapkan) keduanya, maka
dosanya dilimpahkan kepada yang lebih dahulu memulainya, selama orang

374
Imam al-Nawawi berkata: Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’ dari Amr bin Yahya,
dari ayahnya, dari Nabi secara mursal. Imam Malik tidak menyebutkan Abu Sa’id di sanadnya.
Hadits ini mempunyai banyak jalur sebagiannya menguatkan sebagian yang lainnya. Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan selain keduanya dengan musnad (pakai sanad).
169
yang dizhalimi tidak melampaui batas (maksudnya dengan caci maki yang
berlebihan).”375

Para ahli fiqih meng-qiyas-kan semua perkara-perkara yang


berbahaya dengan kaidah ini terutama hal-hal yang kontemporer yang tidak
ada pada zaman Nabi sebagai contoh, narkoba dan rokok, hukumnya haram
karena termasuk dalam kaidah ini. Karena hal tersebut bahaya dan
membahayakan orang lain. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya
yang diambil dari kaidah ini. Karena itu, Imam Abu Dawud mengatakan
bahwa hadits ini termasuk hadits yang hukum-hukum fiqih kembali
kepadanya.

Adapun menimbulkan mudharat kepada seseorang dengan cara yang


benar, karena orang tersebut melanggar hukum-hukum Allah, karena ia
dihukum sesuai dengan kejahatannya, atau karena ia menzhalimi orang lain,
karenanya, orang yang dizhalimi meminta balasan dengan adil, maka itu
bukan yang dimaksud hadits di atas, karena yang dimaksud dalam hadits di
atas ialah menimbulkan mudharat dengan cara yang tidak benar.376

Contoh: yaitu seseorang merokok atau menggunakan narkoba. Dia


telah berbuat dharar (bahaya/kerugian) terhadap dirinya, maka wajib
dicegah dan dia wajib berhenti karena ia telah berbuat kezhaliman kepada
dirinya dan juga membahayakan orang lain. Contoh lain: yaitu seseorang
berkhianat, menipu kepada kita maka kita tidak boleh membalas menipu atau
mengkhianatinya. Dan si A menzinai atau memperkosa wanita (si B) maka
keluarga yang dizinai (keluarga si B) tidak boleh membalas dengan menzinai
keluarganya si A. Akan tetapi hendaknya dilaporkan kepada penguasa agar
pelakunya dihukum.

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh


memudharatkan (membahayakan) orang lain tanpa alasan yang benar. Maka
ia tidak boleh memudharatkan orang yang memudharatkannya, tidak boleh
mencaci orang yang mencacinya, dan tidak boleh memukul orang yang
memukulnya, tetapi ia meminta haknya melalui hakim tanpa harus mencaci-
maki. Rasulullah ‫ﷺ‬ melarang membahayakan kaum Muslimin dalam banyak
hadits. Di antaranya beliau bersabda: “Sesungguhnya darah kalian dan harta
kalian haram atas kalian ...”377

Beberapa Kandungan Hadits

1. Hadits ini merupakan kaidah ushul yang besar, dengan hadits ini
dapat dihukumi perkara-perkara yang baru yang tidak ada nash (dalil)
yang tegas melarangnya.
2. Rasulullah ‫ﷺ‬ diberikan oleh Allah jawami’ al-kalim (perkataan yang
ringkas, maknanya padat), dan hadits ini termasuk darinya.

375
Shahih: HR. Muslim (no. 2587), dan lainnya dari Abu Hurairah. Lihat Syarah Matan Arba’in
oleh Imam al-Nawawi (hlm. 88), cet. Maktabah Darul Path dan al-Maktab al-Islami.
376
Diringkas dari Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/212).
377
Shahih: HR. Muslim (no. 1218).
170
3. Haramnya menimbulkan bahaya/kerugian baik itu dengan perkataan,
perbuatan, atau yang lainnya.
4. Wajibnya menghilangkan kemudharatan (bahaya/kerugian).
5. Haram bagi seorang insan membahayakan dirinya, hartanya atau
kehormatannya. Dengan melakukan perbuatan yang membahayakan
atau mengkonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan.
6. Agama Islam adalah agama yang selamat yang menuntun manusia
kepada kebaikan dunia dan akhirat, dan memerintahkan untuk
meninggalkan perbuatan yang berbahaya dan tidak bermanfaat.
7. Semua perintah dalam Islam akan mendatangkan maslahat dan semua
larangan dalam Islam wajib dijauhkan karena padanya ada mudharat
(bahaya).
8. Mudharat (bahaya) tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan
(bahaya) semisalnya atau kemudharatan yang lebih besar.
9. Apabila mafsadah (kerusakan) dan maslahat (kebaikan) berbenturan
maka menolak kerusakan harus didahulukan daripada meraih
kebaikan.
10. Bila ada orang mencaci maki atau menuduh, maka tidak boleh dibalas
mencaci atau menuduh, akan tetapi diadukan kepada hakim.

HADITS KETIGA PULUH TIGA


WAJIBNYA BUKTI DAN SAKSI BAGI ORANG
YANG MENUDUH DAN SUMPAH BAGI YANG
DITUDUH

‫َّاس‬
ُ ‫ "لَ ْو يُ ْعطَى الن‬:‫ال‬ َ َ‫ول اللَِّه ق‬ َّ ‫اس َر ِض اللَّهُ َعْن ُه َما أ‬
َ ‫َن َر ُس‬ َ
ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
ِ ِ ِ ِ ٍ
َ ‫ َوالْيَم‬، ‫ لَك َّن الْبَ يِّ نَةَ َعلَى الْ ُمدَّع‬،‫بِ َد ْع َو ُاه ْم َل َّد َعى ِر َجال أ َْم َو َال قَ ْوم َود َماءَ ُه ْم‬
‫ني‬
171
. "‫َعلَى َم ْن أَنْ َكَر‬
ِ ْ ‫يح‬
."‫ني‬ ِ َّ " ِ ‫ وب عضه‬،‫ رواه الْب ي ه ِق و َغي ره ه َك َها‬،‫ح ِديث حنن‬
َ ‫الصح‬ ُ ُ ْ ََ َ ُُ ْ َ ّ َ ْ َ ُ َ َ َ َ َ
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Seandainya (setiap)
manusia diberi (haknya) berdasarkan dakwaan atau klaim (tuduhan) mereka,
maka tentu ada orang-orang yang akan mengklaim (menuduh/menuntut)
harta dan darah suatu kaum,378 namun pembuktian (barang bukti) wajib bagi
pendakwa (orang yang mengklaim/penuduh) dan sumpah wajib bagi orang
(pihak) yang mengingkari/terdakwa.”
Hadits Hasan, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lainnya (dengan lengkap
seperti ini). Dan sebagian (lafazh)nya terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim.

Syarah Hadits

Imam al-Nawawi berkata: “Hadits ini merupakan kaidah agung dari


kaidah-kaidah hukum dalam syari’at.”379 Imam Ibnu Daqiqil led berkata:
“Hadits ini merupakan dasar dari dasar-dasar hukum, dan rujukan utama
ketika terjadi perselisihan dan persengketaan.”380

Islam adalah agama yang sempurna bagi kehidupan. Islam mencakup


akidah yang bersih, ibadah yang suci, akhlak yang mulia, syari’at yang luhur
yang menjamin terpenuhinya hak semua orang yang berhak
mendapatkannya. Melindungi darah, harta, dan kehormatan setiap individu.
Ketika Mahkamah merupakan rujukan dan tumpuan dalam menyelesaikan
perselisihan, pertengkaran, dan persengketaan, dan hukum adalah pemutus
dalam memenangkan hak dan menjamin didapatkannya oleh orang yang
memang berhak menerimanya, maka Islam menetapkan kaidah dan
ketentuan yang akan menghalangi orang-orang yang hatinya berpenyakit
untuk berbuat macam-macam dan menindas orang lain serta menjaga umat
dari kezhaliman dan disia-siakan.

Hadits ini mensyaratkan untuk menghadirkan argumen (dalil) yang


kuat agar suatu dakwaan dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum.
Menyebutkan tentang dalil-dalil yang sesuai bagi kedua belah pihak, yaitu
yang menuduh dan tertuduh, dan apa yang harus menjadi pegangan bagi
seorang hakim dalam mengetahui kebenaran dan mengeluarkan keputusan
berdasarkan kebenaran tersebut.381

Para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan al-bayyinah


(bukti) adalah asy-syahadah (persaksian), karena saksi pada umumnya dapat

378
Maksudnya, orang itu akan mengklaim bahwa harta itu miliknya.
379
Syarah Shahih Muslim (XII/3).
380
Syarah Arba’in al-Nawawiyyah, karya Ibnu Daqiq al-Ied (hlm. 117).
381
Al-Wafi (hlm. 257).
172
mengungkap kebenaran dan kejujuran orang yang menuduh (pendakwa).
Saksi adalah cara pengungkapan dan penampakkan hakikat yang sebenarnya,
karena ia berpatokan kepada penglihatan langsung dan hadir di tempat
kejadian perkara. Bukti yang merupakan persaksian itu bermacam-macam
sesuai dengan objek yang dituduhkan dan dampak yang ditimbulkan. Dan
yang ditetapkan dalam syari’at Allah ada empat:

1. Saksi atas perzinaan


Dalam perkara ini disyaratkan didatangkannya empat orang saksi
laki-laki dan tidak dapat diterima kesaksian kaum wanita.
Allah berfirman:

“Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara


perempuan- perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang
saksi di antara kamu (yang menyaksikannya).... ” (Qs. An-Nisa’ [4]: 15)
Allah juga berfirman:

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik


(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik. ” (Qs. An-
Nur [24]: 4)

2. Saksi atas pembunuhan dan kejahatan yang mengharuskan


dijatuhkannya hukum tertentu selain perzinaan, seperti mencuri,
minum khamr, menuduh
Hukuman seperti ini dalam fiqih disebut hudud, dan disyaratkan
untuk menghadirkan dua orang saksi laki-laki serta tidak dapat diterima
kesaksian para wanita.
Allah berfirman:

“... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.... ” (Qs. Ath-
Thalaq [65]: 2)
Sebagian Ahli fiqih memasukkan ke dalam perkara seperti ini hak-
hak yang tidak terkait dengan masalah harta, seperti nikah, thalaq, dan
sebagainya. Mereka berkata: “Di dalamnya mesti dihadirkan dua orang saksi
laki-laki sehingga dapat diyakini kebenarannya.”

3. Saksi untuk menetapkan hak-hak harta, seperti jual-beli, pinjam-


meminjam, sewa-menyewa, dan semisalnya
Maka dalam masalah ini harus ada kesaksian dua orang laki-laki atau
seorang laki-laki dan dua orang perempuan, sebagaimana firman Allah
dalam ayat utang:

“... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu.
Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki
dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari
para saksi (yang ada)....” (Qs. Al-Baqarah [2]: 282)

173
4. Kesaksian atas perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat
diketahui kaum laki-laki, yaitu tentang permasalahan kewanitaan;
seperti kelahiran, penyusuan, keperawanan, dan lain-lain

Dalam masalah seperti ini kesaksian para wanita dapat diterima


walaupun tidak disertai saksi dari kalangan laki-laki, bahkan kesaksian satu
orang wanita pun dapat diterima sebagaimana pendapat yang disampaikan
oleh madzhab Hanafi. Dari Uqbah bin al-Harits dia berkata: “Saya menikahi
seorang wanita, kemudian datang seorang wanita (berkulit) hitam berkata:
‘Saya telah menyusui kalian berdua.’ Lalu aku mendatangi Nabi dan aku
berkata: ‘Saya menikahi Fulanah binti Fulan, kemudian datang perempuan
hitam yang berkata kepada kami: ‘Aku telah menyusui kalian berdua.’
Sedangkan (menurutku) dia dusta. Maka Rasulullah ‫ﷺ‬ berpaling dariku. Aku
pun mendatangi beliau dari depan dan kukatakan: ‘Perempuan hitam itu
dusta.’ Maka beliau bersabda: ‘Bagaimana lagi?! Dia telah mengatakan
bahwa dia telah menyusui kalian berdua. Maka tinggalkanlah dia (wanita
yang telah kau nikahipem).’ Maka Uqbah meninggalkan wanita itu dan wanita
itu menikahi laki-laki lain382.”383 Yang menjadi dalil dari hadits tersebut
adalah tidak ada yang bersaksi kecuali satu orang wanita.

Seorang hakim (qadhi) Muslim diperintahkan untuk memutuskan


hukum bagi orang yang memiliki bukti yang menunjukkan kejujurannya,
baik dia berkedudukan sebagai orang yang menuduh maupun sebagai yang
tertuduh. Syari’at yang bijaksana menjadikan bukti sebagai hujjah (argumen)
bagi orang yang menuduh, jika dia mengemukakannya, maka apa yang
dituduhkannya dianggap benar. Sebagaimana ia pun menjadikan sumpah
sebagai hujjah bagi orang yang tertuduh, (jika yang menuduh tidak punya
bukti)384 maka jika dia bersumpah, terbebaslah dia dari apa yang dituduhkan
kepadanya.

Hikmah dalam pembagian ini adalah karena seseorang yang menuduh


adalah menuduhkan sesuatu yang tersembunyi, maka dia butuh kepada dalil
(bukti) yang kuat untuk menampakkan kebenaran atas tuduhannya itu. Dan
bukti adalah dalil yang kuat karena ia merupakan ucapan yang tak dapat
dibantah, maka dijadikannya dari yang menuduh. Adapun sumpah, maka
kekuatannya lebih rendah, karena dia merupakan ucapan salah satu dari dua
orang yang berselisih. Dan orang yang dituduh tidak mendakwakan suatu
perkara yang tersembunyi, dia hanya berpegang teguh dengan sesuatu yang
asal dan dianggap seperti keadaan sebelumnya (tak bersalah). Maka argumen
yang dibutuhkan lebih lemah, yaitu sumpah, dan ia sangat cocok baginya,
maka itulah yang diminta darinya.385

Jika syarat dakwaan telah terpenuhi di hadapan mahkamah, maka

382
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 88), Abu Dawud (no. 3603, 3604), al-Tirmidzi (no. 1151), al-Nasai
(VI/109), dan lainnya.
383
Al-Wafi (hlm. 258-259) dan Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 279-281).
384
Qawaid wa Fawaid (hlm. 281).
385
Al-Wafi (hlm. 259).
174
sang hakim mendengarkannya, kemudian menanyakan kepada yang tertuduh
atas dakwaan tersebut. Jika dia mengakuinya maka hakim memutuskan
perkara berdasarkan pengakuannya tersebut karena pengakuan adalah bukti
yang mengikat orang yang menyatakannya. Jika si tertuduh mengingkari,
maka hakim meminta dari yang menuduh untuk mendatangkan bukti, jika
dia dapat mendatangkan bukti, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut,
dengan mengabaikan perkataan orang yang tertuduh atau pengingkarannya
walaupun disertai dengan sumpah yang keras. Jika yang menuduh tidak
dapat menghadirkan bukti, maka sang hakim meminta kepada orang yang
tertuduh untuk mengucapkan sumpah. Jika dia bersumpah, maka dia bebas
dan gugurlah tuduhan tersebut.

Dalil atas semua itu adalah sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ kepada orang yang
menuduh: “Apakah kamu mempunyai bukti?” Dia menjawab: “Tidak!”
Maka dia berkata: “Maka bagi kamu sumpahnya (yang tertuduh).”386
Pertama-tama Rasulullah ‫ﷺ‬ bertanya tentang bukti kepada yang menuduh,
selanjutnya adalah orang yang tertuduh berhak untuk bersumpah karena
ketiadaan bukti. Maka ditetapkan bahwa argumen orang yang menuduh lebih
didahulukan dari argumen orang yang tertuduh.387

Jika seseorang yang tertuduh diminta untuk bersumpah, namun dia


menolak, lalu dia meminta kepada hakim untuk menyumpah orang yang
menuduh dan menerima dakwaannya, maka apakah permintaannya harus
dipenuhi? Sebagian ahli fiqih berpendapat, di antaranya madzhab Syafi’i,
bahwa permintaannya harus dipenuhi, karena di antara haknya adalah
bersumpah dan membebaskan diri dari segala tuduhan. Jika dia menerima
putusan berdasarkan sumpah lawannya, artinya dia sama dengan
menghukum dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa sumpah hanya terbatas
untuk orang yang tertuduh. Jika sumpah dikembalikan kepada orang yang
menuduh, niscaya sebagian sumpah tidak berasal dari orang yang tertuduh.
Dan ini bertentangan dengan makna yang dinyatakan oleh nash yang
mengandung makna pengkhususan.388

Apabila orang yang tertuduh diminta untuk bersumpah, namun dia


menolaknya, maka putusan hukum ditetapkan berdasarkan tuduhan yang
dituduhkan oleh orang yang menuduh. Demikian menurut madzhab Hanafi
dan Hanbali yang disertai perincian antara hak yang boleh diputuskan
dengan ketiadaan sumpah dari yang tertuduh dan hak tidak boleh diputuskan
dengannya. Dalil mereka dalam hal ini adalah, sesungguhnya Nabi bersabda:
“Sumpah bagi orang yang mengingkari,” yaitu orang yang tertuduh. Dan
kata “ala” adalah untuk menunjukkan sesuatu yang wajib. Sedangkan orang
yang berakal dan beragama tidak akan menghindar dari kewajiban yang
dibebankan kepadanya. Maka keengganannya untuk bersumpah
menunjukkan bahwa dia mengakui hak orang yang tertuduh atau dia ridha
dengan menyerahkannya kepada yang menuduh. Dan seorang mukallaf

386
HR. Muslim (no. 139).
387
Al-Wafi (hlm. 259-260).
388
Ibid (hlm. 260).
175
diperbolehkan untuk menyerahkan haknya kepada orang lain, lalu
diputuskan baginya berdasarkan hal tersebut.389

Jika diarahkan sumpah kepada salah seorang yang bersengketa, maka


sang hakim meminta agar mereka bersumpah atas nama Allah, dan tidak
boleh dengan menggunakan yang lain, baik yang bersumpah adalah seorang
Muslim maupun non-Muslim. Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: “Sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan
nama bapak-bapakmu. Barangsiapa bersumpah, maka bersumpahlah dengan
nama Allah atau diam390.”391

Jika bukti orang yang menggugat kurang sempurna, yaitu dengan


hanya mendatangkan satu orang saksi, maka dakwaannya tidak dianggap
kuat kecuali jika dia bisa menghadirkan dua orang saksi. Maka apakah
sumpahnya dapat diterima sebagai pengganti dari dua orang saksi lalu
diputuskan berdasarkan hal tersebut?

Madzhab Hanafi berkata: “Tidak boleh diputuskan dengan satu orang


saksi dan sumpah dalam suatu hukum. Dalam setiap dakwaan mesti disertai
bukti yang sempurna, jika tidak, maka orang yang tergugat diminta untuk
bersumpah, dan orang yang menggugat tidak bersumpah pada saat itu.”

Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berkata: “Diputuskan dengan


satu orang saksi yang disertai dengan sumpah orang yang menggugat dalam
masalah harta, atau ditujukan untuk mendapatkan harta. Dalil atas hal ini
adalah bahwa Ibnu Abbas berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah ‫ﷺ‬
«memutuskan dengan sumpah dan satu orang saksi.’392 Dikecualikan hal ini
dalam masalah hudud dan qishash, maka hal ini tidak berlaku.”393
Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Sumpah atas orang yang mengingkari
(terdakwa).” Ini tidak mutlak (tidak berlaku secara umum), dikecualikan
darinya:
1. Dalam masalah li’an (suami mendakwa istri berzina), maka suami
diperintah untuk bersumpah padahal dia yang mendakwa.
2. Jika suami mendakwa bahwa dia telah menyetubuhi (istrinya) dalam
masalah ila (bersumpahnya suami untuk tidak mencampuri istri).
3. Orang yang tidak shalat, jika dia berkata bahwa dia shalat di rumah.
4. Tentang kisah pembunuhan, bahwa orang-orang melapor kepada
Rasulullah ‫ﷺ‬ tentang terbunuhnya Abdullah bin Sahi. Kemudian
Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda: “Lima puluh orang dari kalian
bersumpah untuk salah seorang dari mereka (orang-orang Yahudi)
kemudian tali (pengikat pembunuh agar tidak lari) diserahkan kepada
kalian.”394

389
Al-Wafi (hlm. 260).
390
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2679, 6108, 6646) dan Muslim (no. 1646) dan selain keduanya.
391
Al-Wafi (hlm. 261).
392
Shahih: HR. Muslim (no. 1712).
393
Al-Wafi (hlm. 262-263).
394
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2702, 3173, 6143, 6898, 7192), Muslim (no. 1669), Abu Dawud
(no. 4520-4521), al-Tirmidzi (no. 1422), al-Nasai (VIII/5-12), Ibnu Majah (no. 2677), dan Ibnu
176
Beberapa Kandungan Hadits

1. Gugatan (tuduhan/klaim) itu dalam masalah darah, harta dan juga


hak-hak yang lainnya (seperti hak-hak suami atau istri).
2. Syari’at Islam diturunkan untuk memelihara harta dan darah manusia.
3. Bayyinah (bukti) wajib didatangkan bagi orang yang menggugat
(menuduh/mengklaim).
4. Apabila orang yang dituduh enggan bersumpah, maka ia dihukumi
sebagai orang yang bersalah.
5. Para ahli ilmu sepakat berdasarkan hadits di atas bahwa bukti itu bagi
orang yang mengajukan klaim, dan sumpah bagi orang yang
mengingkarinya.
6. Hadits ini merupakan salah satu prinsip peradilan dan hukum.
7. Seorang hakim (qadhi) dia wajib berilmu dan berhati-hati dalam
menjatuhkan vonis hukum.
8. Jelasnya aturan berpekara di pengadilan dalam Islam.
9. Majunya bidang kehakiman Islam dibandingkan pengadilan-
pengadilan lain di dunia saat itu.
10. Islam berusaha mewujudkan perdamaian dan kemaslahatan bagi
semua pihak.

HADITS KETIGA PULUH EMPAT


AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR

‫ " َم ْن َرأَى ِمْن ُك ْم ُمْن َكًرا‬:‫ول‬ ُ ‫ول اللَّ ِه يَ ُق‬


َ ‫ال َِس ْعت َر ُس‬ َ َ‫ُ ق‬ ِ ْ ‫يد‬ ٍ ِ‫عن أَِِب سع‬
ّ ‫الُ ْدر‬ َ َْ
ِ ِ ِِ
‫ف‬ ُ ‫َض َع‬ْ‫كأ‬ َ ‫ َوذَل‬،‫ فَِإ ْن ََلْ يَ ْنَ ِط ْع فَبِ َق ْلبِ ِه‬،‫ فَِإ ْن ََلْ يَ ْنَ ِط ْع فَبِل َنانِِه‬،‫فَ ْليُغَيِّ ْرهُ بِيَده‬
. "‫ان‬ ِ َ‫المي‬ ِْ

Hibban (no. 5977 al-Ta’liqat al-Hisan).


Qasamah: Sumpah yang berulang sebanyak 50 kali dalam dakwaan pembunuhan. Caranya:
Keluarga orang yang dibunuh harus bersumpah sebanyak 50 kali dari 50 orang bahwa si tertuduh
benar-benar membunuh. Apabila sebagian tidak mau bersumpah, maka diwakili oleh sebagian
lainnya. Dan apabila keluarga orang yang dibunuh tidak mau bersumpah karena tidak adanya bukti,
maka keluarga orang yang tertuduh bersumpah sebanyak 50 kali, dengan demikian terbebaslah dia
dari tuduhan. (Al-Nihayah fi Gharib al-Hadtis [IV/62] cet. Al-Maktabah Ilmiyyah, atau halaman
752 cet. Dar Ibnul Jauzi). Lihat juga Syarah al-Arba’in karya Syaikh Utsaimin (hlm. 359-360) dan
al-Fiqh al-Islami (VI/393-394).

177
‫َرَواهُ ُم ْنلِم‬
Dari Abu Sa’id al-Khudri ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka
hendaklah ia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, jika ia
tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan jika ia tidak mampu juga, maka
dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman,’” [HR.
Muslim]

Syarah Hadits
Hadits ini menunjukkan tentang kewajiban mengingkari kemungkaran
sesuai dengan kemampuan dan pengingkaran terhadap kemungkaran dengan
hati itu suatu keharusan/kewajiban (yang tidak bisa gugur), karena siapa
yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, maka itu menunjukkan bahwa
iman hilang dari hatinya.395

Ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) mengatakan: “Al-Ma’ruf


adalah satu nama bagi setiap perbuatan yang diketahui kebaikannya oleh
akal atau syari’at, sedangkan al-munkar adalah apa yang diingkari oleh
keduanya.”396 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) mengatakan:
“Al-Ma’ruf adalah satu nama yang mencakup bagi segala apa yang dicintai
oleh Allah, berupa iman dan amal shalih.”397 Sedang menurut syari’at, al-
ma’ruf adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari’at, diperintahkan
untuk melakukannya, syari’at memujinya serta memuji orang yang
melakukannya. Segala bentuk ketaatan kepada Allah masuk dalam
pengertian ini, dan yang paling utama adalah mentauhidkan Allah dan
beriman kepada-Nya.398

Dari pengertian al-ma’ruf ini bisa kita pahami bahwa pengertian al-
munkar adalah segala apa yang dilarang oleh syari’at atau menyalahi syari’at
berupa hal-hal yang merusak dunia dan akhirat, akal, dan fitrah yang
selamat.399 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Al-Mungkar
adalah satu nama yang mencakup segala apa yang Allah larang.”400

Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa menentukan sesuatu


sebagai perkara yang ma’ruf atau munkar bukanlah menjadi hak pelaku amar
ma’ruf nahi munkar, tetapi semua itu kembali kepada apa yang datang dari
al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih baik berupa
keyakinan, perkataan, dan perbuatan.401

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (wafat th. 689 H) berkata:

395
Lihat Jam’ul ‘Ulum wal Hikam (II/245).
396
Mufradat al-Faz al-Qur’an (hlm. 561).
397
Iqtidha’ al-Shirat al-Mustaqim (I/106), tahqiq Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql.
398
Haqiqah al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Mungkar (hlm. 11).
399
Lihat al-Kaba-ir was al-Shagha-ir ‘Anwa-uhu wa Ahkamuhu (hlm. 205).
400
Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim (I/106).
401
Lihat al-Qa’idah al-Muhimmah fil Amri bil Ma ’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar fi Dhau-il Kitabi
was Sunnah (hlm. 6-7) karya Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili, dengan diringkas.
178
“Ketahuilah, bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah poros yang paling
agung dalam agama. Ia merupakan satu tugas penting yang karenanya Allah
mengutus para Nabi seluruhnya. Andaikata tugas ini ditiadakan, maka akan
emuncul kerusakan di mana-mana dan dunia pun akan binasa.”402 Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Amar ma’ruf nahi munkar ialah sesuatu
yang dengannya Allah menurunkan Kitab-kitab-Nya dan mengutus para
Rasul-Nya, serta bagian inti dari agama.”403
Di antara keutamaan amar ma’ruf nahi munkar yaitu:
1. Termasuk kewajiban yang paling penting dalam Islam.
2. Sebagai sebab keutuhan, keselamatan, dan kebaikan bagi umat.
3. Menghidupkan hati.
4. Sebagai sebab datangnya pertolongan, kemuliaan, dan diberikannya
kedudukan (kekuasaan) di bumi.
5. Amar ma’ruf nahi munkar termasuk sedekah.
6. Menolak mara bahaya.
7. Orang yang mencegah dari perbuatan munkar akan diselamatkan oleh
Allah.
8. Amar ma’ruf nahi munkar termasuk sifat-sifat orang Mukmin yang
shalih.
9. Amar ma’ruf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
10. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan sebab dihapuskannya dosa.
11. Amar ma’ruf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan
seutama-utama amal.

Sebaliknya, di antara akibat meninggalkan amar makruf nahi munkar


adalah:
1. Mendapat laknat Allah
2. Orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar mendapat celaan
dan kehinaan.
3. Bertambah banyaknya kerusakan.
4. Mendapat hukuman dari Allah.
5. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
6. Tidak dikabulkannya doa kita.
7. Jatuh dalam kebinasaan dan membuat hati menjadi sakit bahkan mati
dan akibat lainnya.

Amar ma’ruf nahi munkar juga memiliki tingkatan yang harus


diketahui oleh pelakunya sehingga amar ma’ruf nahi munkar yang
dilakukannya sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan syari’at dan adab-
adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para
ulama yang dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati
dengannya terhadap pelaku amar ma’ruf nahi munkar.

Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya syari’at berdiri di atas pondasi


dan asas hikmah dan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi hamba-hamba

402
Mukhtashar Minhdjil Qashidin (hlm. 156).
403
Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar (hlm. 30), tahqiq Abu Abdillah Muhammad bin
Sa’id bin Ruslan.
179
Allah. Syari’at tersebut adalah adil seluruhnya, rahmat seluruhnya,
kemaslahatan seluruhnya, dan hikmah seluruhnya. Maka setiap masalah
yang keluar dari keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat kepada lawannya,
dari maslahat kepada mafsadat, dan dari hikmah kepada kesia-siaan, maka
itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab
takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allah terhadap hamba-Nya, rahmat-
Nya di antara hamba-Nya, naungan-Nya di bumi-Nya, dan hikmah-Nya yang
menunjukkan kepada-Nya dan yang menunjukkan kejujuran Rasul-Nya
dengan petunjuk yang paling sempurna dan paling benar.”404

Secara umum, mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan


mempunyai dua keadaan:
1. Fardhu kifayah. Allah berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru


kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. ” (Qs. Ali ‘Imran
[3]: 104)
Mengenai tafsir ayat ini al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Maksud ayat
ini ialah hendaklah ada segolongan dari umat yang siap memegang peran ini
(amar ma’ruf nahi munkar) ....”405 Al-Qadhi Ibn al-Arabi berkata: “Ayat ini
dan ayat yang setelahnya merupakan dalil bahwa amar ma’ruf nahi munkar
adalah fardhu kifayah ...”406

Oleh karena itu wajib bagi ulil amri (pemerintah) untuk menunjuk
sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan persiapan untuk
menjalankan tugas ini, sebab ada beberapa perbuatan munkar yang tidak
mampu diubah kecuali oleh sejumlah orang tertentu yang memiliki ilmu,
pemahaman yang benar, dan sikap hikmah dalam mengobati kemungkaran
tersebut, misalnya untuk membantah firqah Bathiniyah dan membatalkan
keyakinannya dan lainnya. Apabila lembaga ini menjalankan kewajibannya
maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya.407

Sedangkan pengingkaran kemungkaran dengan tangan dan lisan,


maka wajib sesuai dengan kemampuan. Ibnu Mas’ud mengatakan: “Hampir
saja orang-orang yang hidup di antara kalian kemudian ia melihat
kemungkaran namun ia tidak dapat berbuat apa-apa hanya saja Allah
mengetahui dari hatinya bahwa ia benci kepada kemungkaran tersebut.”408

2. Fardhu ‘ain

Nabi bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran,


maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka
dengan lisannya,” keumuman makna hadits ini menunjukkan wajibnya

404
I’lam al-Muwaqqi’in (IV/337).
405
Tafsir Ibni Katsir (II/91).
406
Ahkam al-Qur-an (I/292).
407
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 287) dengan diringkas.
408
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/245).
180
mengingkari kemungkaran atas setiap individu yang memiliki kemampuan
serta mengetahui kemungkaran atau melihatnya.409 Imam al-Nawawi
berkata: “Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah
kemudian terkadang menjadi fardhu ‘ain jika pada suatu keadaan dan kondisi
tertentu tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia.”410

Penting diingat bahwa Al-Hafidzh Ibnu Rajab menjelaskan bahwa


kemungkaran yang wajib kita hilangkan ialah kemungkaran yang telah
disepakati kaum Muslimin sebagai kemungkaran seperti riba, zina, minum
khamr (minuman keras), tabarruj (bersolek bagi wanita untuk selain
mahramnya), meninggalkan shalat, dan kemungkaran yang lainnya. Adapun
perkara-perkara yang masih diperselisihkan di antara ulama tentang
hukumnya, maka jika memang masing-masing memiliki landasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka perselisihan yang seperti ini —wallahu
a’lam—tidak boleh diingkari atas pelakunya.

Ditambah lagi orang yang mengemban tugas ini wajib memiliki sifat-
sifat hikmah. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata: “Tidak boleh melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: (1)
lemah-lembut dalam sesuatu yang ia perintahkan dan lemah-lembut dalam
sesuatu yang ia larang, (2) adil dalam sesuatu yang ia perintahkan dan adil
dalam sesuatu yang ia larang, dan (3) berilmu (mengetahui) sesuatu yang ia
perintahkan dan berilmu (mengetahui) sesuatu yang ia larang.” 411 Imam
Ahmad berkata: “Semua manusia membutuhkan sikap lemah lembut dalam
amar ma’ruf tanpa sikap keras kecuali terhadap orang yang memperlihatkan
kefasikan, maka orang seperti itu tidak ada kehormatan baginya.”

Apabila seseorang menyuruh kepada kebaikan maka ia haruslah


orang yang pertama kali mengerjakan kebaikan tersebut dan apabila
melarang dari kemungkaran maka ia haruslah orang yang pertama kali
menjauhi kemungkaran tersebut. Karena Allah membenci pelaku amar
ma’ruf nahi munkar yang terjatuh pada kemungkaran yang ia larang atas
orang lain. “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Qs. Ash-Shaff [61]:
2-3)

Akan tetapi ini tidak berarti bahwa orang yang melakukan amar
ma’ruf nahi munkar itu harus orang yang sempurna dan tidak memiliki
kesalahan. Sebab Allah hanya mengingkari perbuatan mereka yang
menyelisihi perkataan mereka, bukan mengingkari perbuatan amar ma’ruf
nahi munkar itu sendiri. Imam al-Nawawi berkata: “Para ulama berkata:
Orang yang menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran tidak
disyaratkan harus sempurna keadaannya dengan melaksanakan seluruh apa
yang diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dia larang darinya.

409
Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 288).
410
Syarah Shahih Muslim (II/23).
411
Qawa’id wa Fawa-id (hlm. 292-293).
181
Bahkan, kewajiban dia adalah menyuruh (kebaikan) meskipun dia tidak
melakukan apa yang dia perintahkan itu dan melarang dari kemungkaran
meskipun ia sendiri melakukan apa yang dia larang, karena yang diwajibkan
atasnya adalah dua hal: (1) menyuruh dirinya (kepada kebaikan) dan
melarangnya (dari kemungkaran) dan (2) menyuruh orang lain (kepada
kebaikan) dan melarangnya (dari kemungkaran). Maka apabila ia
meninggalkan salah satu dari keduanya bagaimana bisa ia dibolehkan untuk
meninggalkan yang lainnya.”412

Beberapa Kandungan Hadits

1. Hadits ini menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar termasuk


perkara iman. Dan iman itu bertingkat-tingkat, ada yang kuat ada juga
yang lemah.
2. Rasulullah ‫ﷺ‬ memberikan mandat kepada seluruh umatnya untuk
mengingkari kemungkaran.
3. Tidak boleh mengingkari suatu perbuatan hingga yakin perbuatan itu
memang kemungkaran.
4. Bahwa tangan adalah alat untuk melakukan suatu tindakan mencegah
kemungkaran karena biasanya tanganlah yang digunakan untuk
mengerjakan sesuatu.
5. Tidak ada kesempitan dalam agama dan bahwasanya kewajiban
dalam agama itu disyaratkan dengan adanya kemampuan.
6. Bahwa manusia apabila tidak mampu mengubah kemungkaran
dengan tangan dan lisannya maka ia wajib mengubahnya dengan
hatinya yaitu dengan membencinya dan bertekad jika pada suatu saat
ia mampu mengubahnya dengan tangan atau lisannya maka ia akan
melakukannya.
7. Bahwa iman adalah amal dan niat karena Nabi menjadikan tingkatan
ini termasuk iman. Mengingkari dengan tangan dan lisan adalah amal,
sedang mengingkari degan hati adalah niat dan ia termasuk perbuatan
hati.
8. Orang yang khawatir bahaya menimpa dirinya atau hartanya atau
keluarganya maka gugurlah kewajiban mengingkari kemungkaran
dengan tangan dan lisannya.
9. Mengingkari kemungkaran mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
Islam bahkan dapat menyamai ganjaran generasi pertama, bila
terpenuhi syarat dan ketentuannya.
10. Kemungkaran yang paling besar yang wajib diingkari adalah syirik
(menyekutukan Allah) dengan sesuatu. Berdoa kepada selain Allah,
istighatsah kepada selain Allah, menyembah kubur, dan lainnya ini
adalah syirik besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemungkaran
yang paling mungkar. Demikian juga bid’ah-bid’ah dan maksiat yang
wajib diingkari.
11. Wajib bagi ulil amri (penguasa), ulama dan para da’i mengingkari
kemungkaran firqah-firqah yang sesat, aliran-aliran sesat, dan tokoh-
tokoh ahlul bid’ah dengan kekuasaan, ilmu, dan kemampuannya.

412
Syarah Shahih Muslim (II/23).
182
12. Mengingkari kezhaliman atau kemungkaran penguasa bukan dengan
menyebarkan aib melalui media cetak atau elektronik dan bukan pula
dengan demo atau memberontak, akan tetapi dengan cara mendatangi
penguasa dan mengatakan kalimat yang hak, adil dengan lemah
lembut dan mengikuti contoh Rasulullah ‫ﷺ‬ .
13. Islam adalah agama ilmu, adil dan kasih sayang, maka pelaksanaan
amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan ilmu, adil, kasih
sayang, lemah lembut dan ada kemampuan. Tidak boleh berlebih-
lebihan dalam membenci, mencela, melarang atau meng-hajr
(memboikot).
14. Pelaku amar ma’ruf nahi munkar wajib memikirkan dan menimbang
maslahat dan mafsadat, dan tidak boleh menimbulkan kemungkaran
yang lebih besar dan wajib sabar.
15. Bahaya meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar sangat besar, di
antaranya ialah dijauhkan dari rahmat Allah, mendapatkan hukuman,
tidak dikabulkannya doa, dan lain-lain.

HADITS KETIGA PULUH LIMA


LARANGAN SALING MENDENGKI

ِ ُ ‫ال رس‬
‫ َوَل‬،‫اج ُشوا‬َ َ‫ َوَل تَن‬،‫اس ُدوا‬ َ َ‫ول اللَّه " َل ََت‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرةَ ق‬
ِ ِ
ْ ‫ َوُكونُوا عبَ َاد اللَّه‬،‫ض‬
،‫إخ َوانًا‬ ُ ‫ َوَل يَبِ ْع بَ ْع‬،‫ َوَل تَ َدابَُروا‬،‫ضوا‬
ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بَْي ِع بَ ْع‬ ُ ‫تَبَا َغ‬
183
‫ الَّ ْق َوى‬،ُ‫َْي ِقُره‬ ‫ َوَل‬،ُ‫ َوَل يَ ْك ِهبُه‬،ُ‫ َوَل ََيْ ُهلُه‬،ُ‫ َل يَظْلِ ُمه‬،‫َخو الْ ُم ْنلِ ِم‬ ِ
ُ ‫الْ ُم ْنل ُم أ‬
ِ ‫ ِِبَ ْن ِ ْام ِر ٍئ ِم ْن الشَِّّر‬،‫ات‬ ٍ ‫ث مَّر‬ ِ
َ ‫أَ ْن َْيقَر أ‬
ُ‫َخاه‬ َ َ ‫ص ْد ِرهِ ثَََل‬َ ‫ َويُشريُ َإَل‬،‫اهنَا‬ ُ ‫َه‬
ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ َد ُمهُ َوَمالُهُ َوعْر‬:‫ ُك عل الْ ُم ْنل ِم َعلَى الْ ُم ْنل ِم َحَرام‬،‫الْ ُم ْنل َم‬
. "ُ‫ضه‬
‫رَواهُ ُم ْنلِم‬َ

Dari Abu Hurairah ia berkata, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Kalian


jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling
membenci, jangan saling membelakangi, sebagian kalian jangan
membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian
menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah
saudara bagi Muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya,
menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu di sini beliau
memberi isyarat ke dadanya tiga kali. Cukuplah keburukan bagi
seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang
Muslim atas orang Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan
kehormatannya.” [HR. Muslim]

Syarah Hadits

Hasad (dengki) adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari orang


lain dan pindah kepada dirinya. Itu berkonsekuensi orang yang hasad berarti
membenci datangnya nikmat Allah kepada orang lain. Dengki adalah
penyakit berbahaya, karena itu wajib atas setiap Muslim membersihkan
dirinya dari penyakit yang jelek ini.

Dalam hal ini, manusia terbagi dalam beberapa kelompok:


a. Berusaha menghilangkan nikmat orang yang ia dengki dengan cara
berbuat zhalim kepadanya (dengan perkataan dan perbuatan).
b. Berusaha memindahkan nikmat tersebut dari orang yang ia dengki
kepada dirinya.
c. Berusaha menghilangkan nikmat dari orang yang ia dengki tanpa
menginginkan nikmat tersebut berpindah kepadanya.

Dengki terakhir merupakan dengki paling buruk dan paling jelek,


karena dengki ini dengki yang tercela, dilarang dan merupakan dosa iblis
yang dengki kepada Nabi Adam ketika melihat beliau mengungguli para
Malaikat, karena Allah menciptakan beliau dengan Tangan-Nya sendiri,
menyuruh para Malaikat sujud kepada beliau, mengajarkan nama segala hal
kepada beliau, dan menempatkan beliau di dekat-Nya. Iblis tidak henti-
hentinya berusaha mengeluarkan Nabi Adam dari Surga hingga akhirnya
beliau dikeluarkan darinya.

Namun ada sebuah perasaan yang mirip dengki. Nabi bersabda:


“Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang; orang yang diberi al-Qur’an

184
oleh Allah kemudian ia membacanya (dan mengamalkannya) di pertengahan
malam dan pertengahan siang, dan orang yang diberi harta oleh Allah
kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan
siang.”413 Dengki yang diperbolehkan kepada kedua orang tersebut
dinamakan ghibthah. Dinamakan dengan dengki karena kiasan saja.

Orang yang hasad akan terjerumus ke dalam beberapa bahaya berikut


ini:
a. Dia membenci apa yang telah Allah tetapkan. Karena, kebenciannya
kepada nikmat yang Allah berikan kepada orang lain berarti
kebenciannya terhadap apa yang telah Allah tetapkan baginya
sekaligus menentang keputusan Allah.
b. Sesungguhnya hasad akan memakan kebaikan-kebaikannya
sebagaimana api memakan kayu bakar.
c. Sesungguhnya hati orang yang hasad akan merasakan kesedihan, rasa
panas, dan api yang memakannya. Maka, setiap kali melihat nikmat
Allah atas orang yang ia dengki, ia akan berduka dan dadanya akan
terasa sempit lalu ia selalu mengawasi orang tersebut. Setiap kali
melihat satu nikmat pada orang yang ia dengki, ia akan selalu
bersedih, berduka, dan dunia akan terasa sempit baginya.
d. Bahwa di dalam hasad terdapat penyerupaan dengan orang Yahudi.
e. Bagaimanapun kuatnya hasad, ia tidak akan mampu menghilangkan
nikmat Allah dari orang lain
f. Hasad dapat menghilangkan kesempurnaan iman, berdasarkan sabda
Nabi: “Tidak sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia
menyukai bagi saudaranya apa-apa yang ia sukai bagi dirinya.”414
g. Hasad dapat mengakibatkan seseorang lalai dari memohon kepada
Allah akan karunia-Nya.
h. Sesungguhnya hasad dapat menyebabkan dirinya memandang rendah
nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.
i. Hasad merupakan akhlak tercela karena orang yang hasad selalu
memantau nikmat yang Allah (berikan kepada orang lain di tengah
masyarakat dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menghalanginya dari manusia.
j. Sesungguhnya jika orang yang hasad (dengki) bertindak melampaui
batas kepada orang yang didengki, maka orang yang didengkinya
tersebut akan mengambil kebaikan-kebaikan orang yang hasad
tersebut pada hari Kiamat.

Sabda Nabi: “Jangan saling najasy.” Para Ulama menafsirkan bahwa


najasy yang dimaksud ialah najasy dalam jual beli. Najasy ialah orang yang
tidak ingin membeli suatu barang menambah harga barang tersebut untuk
kepentingan penjual dengan cara menambah harganya atau menimbulkan
mudharat pada pembeli dengan memahalkan harganya atau memuji barang
dagangan penjual supaya laku terjual atau menawarnya dengan harga yang

413
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5025, 7529), Muslim (no. 815), dan lainnya dari Ibnu Umar.
414
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 13), Muslim (no. 45), al-Nasai (VIII/115), al-Tirmidzi (no. 2515).
ad-Darimi (II/307), Ibnu Majah (no. 66), dan Ahmad (III/176, 206,251,272,278), dari Anas.
185
tinggi sehingga pembeli tidak merasa kemahalan kemudian jadi membelinya.
Dari Abdullah bin Umar: bahwasanya Rasulullah ‫ﷺ‬melarang perbuatan ini
(najasy).415

Sabda Nabi: “Jangan saling membenci.” Nabi melarang kaum


Muslimin saling membenci sesama mereka tidak karena Allah, namun
karena hawa nafsu. Allah menjadikan mereka sebagai saudara dan saudara
itu hendaknya saling mencintai tidak saling membenci.

Sabda Nabi : “Jangan saling membelakangi” Dari Abu Ayyub al-


Anshari, bahwa Nabi bersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim
mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari; keduanya bertemu, namun
orang ini berpaling dari satunya dan orang satunya juga berpaling darinya.
Orang yang paling baik di antara keduanya ialah yang memulai
mengucapkan salam.”416 Al-Hafidzh Ibnu Rajab dan lainnya menyatakan
bahwa hal ini kecuali dengan alasan syar’i seperti ia tokoh menyimpang dari
Ahlussunnah wal Jamaah atau pelaku maksiat tertentu, maka ia boleh di-hajr
(diboikot) bila ada maslahat.417

Sabda Nabi : “Sebagian kalian jangan membeli barang


yang sedang ditawar orang lain.” Dari Abu Hurairah , bahwa Nabi
bersabda: “Seorang Muslim tidak dibolehkan melakukan penawaran di atas
penawaran saudaranya.”418 Dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda:
“Seseorang tidak dibolehkan menjual di atas penjualan saudaranya dan tidak
boleh melamar lamaran saudaranya kecuali apabila ia mengizinkannya. ”419

Sabda Nabi : “Dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah


yang bersaudara” Ini disebutkan Nabi sebagai argumentasi terhadap apa
yang beliau sabdakan sebelumnya dan di dalamnya terdapat isyarat bahwa
jika kaum Muslimin meninggalkan sikap-sikap saling dengki, saling najasy,
saling membenci, saling membelakangi, dan sebagian dari mereka menjual
di atas penjualan saudaranya, maka mereka menjadi bersaudara.420

Sabda Nabi : “Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain;
ia tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh menelantarkannya, dan tidak
boleh menghinakannya” Sabda Nabi tersebut dipetik dari firman Allah :
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (Qs. Al-Hujurat [49]: 10)

Sabda Nabi : “Takwa itu di sini beliau sambil memberi isyarat ke


dadanya tiga kali” Di dalam sabda Nabi tersebut terdapat isyarat bahwa
kemuliaan manusia di sisi Allah itu dengan takwa. Bisa jadi orang dihina
manusia karena kelemahan dan kemiskinannya, namun ia lebih mulia di sisi

415
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2142, 6963), Muslim (no. 1516), dan yang lainnya.
416
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6077, 6237), Muslim (no. 2560), dan yang lainnya.
417
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/268-270) dengan ringkas dan ditambah.
418
Shahih: HR. Muslim (no. 1515).
419
Shahih: HR. Muslim (no. 1412 [50]).
420
Ibid. (II/271).
186
Allah daripada orang yang mempunyai kehormatan di dunia, karena manusia
berbeda-beda tergantung dari ketakwaannya, seperti firman Allah: “...
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa.... ” (Qs. Al-Hujurat [49]: 13)

Sabda Nabi : “Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia


menghina saudaranya yang Muslim” Maksudnya, cukuplah keburukan
jika orang Muslim menghina saudaranya yang Muslim, sebab ia menghina
saudaranya yang Muslim karena kesombongannya dan sombong termasuk
keburukan yang paling besar. Nabi bersabda: “Tidak masuk Surga orang
yang di hatinya terdapat kesombongan, kendati hanya sebiji sawi.” 421

Sabda Nabi : “Setiap orang Muslim atas orang Muslim lainnya


haram darah, harta, dan kehormatannya.” Sabda ini termasuk yang
sering disebutkan Nabi di dalam khutbah-khutbah hari raya. Buktinya, Nabi
menyampaikannya di haji Wada’, hari Qurban, hari Arafah, dan hari kedua
dari hari-hari Tasyriq. Nabi bersabda: “Sesungguhnya darah, harta, dan
kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini,
di negeri kalian ini, dan di bulan kalian ini.”422

Beberapa Kandungan Hadits

1. Haramnya hasad (dengki) dan termasuk dosa besar.


2. Sesama Muslim tidak boleh saling mendengki.
3. Hasad adalah sifat Yahudi.
4. Hasad akan membawa kejelekan dan merusak amal shalih.
5. Haramnya sistem jual-beli najasy (menambah pada harga suatu
barang untuk menipu orang lain).
6. Larangan saling membenci dan perintah untuk saling mencintai. Di
antara cara untuk saling cinta mencintai sesama Muslim adalah
menyebarkan salam dan saling memberikan hadiah.
7. Larangan saling membelakangi, baik dengan badan atau hati. Tidak
boleh meng-hajr (memboikot) kecuali dengan ketentuan syari’at.
8. Larangan menawar atau menjual atas tawaran dan penjualan
saudaranya.
9. Kesempurnaan iman seseorang mencintai sesama Muslim
10. Wajibnya memupuk persaudaraan antar kaum Muslimin.
11. Menzhalimi seorang Muslim adalah perbuatan dosa besar, dan
merusak persaudaraan.
12. Haramnya darah, harta, dan kehormatan seorang Muslim atas Muslim
lainnya.
13. Tidak boleh mengambil harta seorang Muslim, tidak boleh merobek
kehormatannya dan tidak boleh menumpahkan darahnya, kecuali
dengan jalan yang hak.
14. Hati merupakan sumber segala sesuatu.

421
Shahih: HR. Muslim (no. 91) dari Abdullah bin Mas’ud.
422
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1739) dari Ibnu Abas.
187
15. Wajib menjaga kebersihan hati.
16. Takwa tempatnya di hati dan dibuktikan dengan amal shalih.
17. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa.
18. Takwa dan niat yang shalih adalah timbangan bagi Allah atas hamba-
hamba-Nya.
19. Menghina atau melecehkan seorang Muslim termasuk perbuatan dosa.
20. Darah dan kehormatan seorang Muslim lebih mulia dari dunia dan
orang kafir.

HADITS KETIGA PULUH ENAM


MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM
DAN MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU
SURGA

‫ب الدعنْيَا‬ ِ ‫ "من نَ َّفس َعن م ْؤِم ٍن ُكربةً ِمن ُكر‬:‫ال‬ ِّ ِ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َع ْن الن‬
َ ْ َْ ُ ْ َ ْ َ َ َ‫َّب ق‬
‫ يَ َّنَر اللَّهُ َعلَْي ِه‬،‫ َوَم ْن يَ َّنَر َعلَى ُم ْع ِن ٍر‬،‫ب يَ ْوِم الْ ِقيَ َام ِة‬ِ ‫نَ َّفس اللَّهُ َعْنهُ ُكربةً ِمن ُكر‬
َ ْ َْ َ
‫ َواَللَّهُ ِ َع ْو ِن‬، ِ‫ َوَم ْن َسَ َر ُم ْنلِما َسَ َرهُ اهللُ ِ الدعنْيَا َو ْاْل ِخَرة‬،ِ‫ِ الدعنْيَا َو ْاْل ِخَرة‬
188
ِ ِ ِ ‫ك طَِري ًقا ي ْلَ ِم‬ ِ ‫َخ‬ ِ ‫الْعب ِد ما َكا َن الْعب ُد ِ عو ِن أ‬
ُ‫س فيه علْ ًما َس َّه َل اللَّه‬ ُ َ َ ‫ل‬
َ ‫س‬
َ ‫ن‬ْ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ، ‫يه‬ َْ َْ َ َْ
،‫اب اللَّ ِه‬ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ْ ‫لَه بِِه طَ ِري ًقا َإَل‬
َ َ‫اجَ َم َع قَ ْوم ِ بَْيت م ْن بُيُوت اللَّه يَْ لُو َن ك‬ ْ ‫ َوَما‬،‫اَِنَّة‬ ُ
َّ ‫ َو َغ ِشيَْ ُه ْم‬،ُ‫الن ِكينَة‬
َّ ‫ت َعلَْي ِه ْم‬ ِ
‫ َوذَ َكَرُه ْم‬،ُ‫الر ْْحَة‬ ْ َ‫َويََ َد َار ُسونَهُ في َما بَْي نَ ُه ْم؛ َّإل نََزل‬
."ُ‫ َوَم ْن أَبَطْأَ بِِه َع َملُهُ ََلْ يُ ْن ِر ْع بِِه نَ َنبُه‬،ُ‫يم ْن عِْن َده‬ِ
َ ‫اللَّهُ ف‬
.‫َرَواهُ ُم ْنلِم هبها اللفظ‬
Dari Abu Hurairah Nabi bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan satu
kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan
darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan
(urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah utang), maka Allah
memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.
Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan
menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong
seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.
Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum
berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca
Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan
ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat
mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para
Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya,
maka tidak dapat dikejar oleh nasabnya.”

Syarah Hadits

Sabda Nabi: “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan


dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu
kesusahan di hari Kiamat.” Ini karena balasan itu sesuai dengan jenis
perbuatan. Al-Kurbah (kesempitan) ialah kesempitan yang luar biasa yang
menyebabkan orang yang mendapatkannya sedih dan makna
(meringankannya) dalam hadits Abu Hurairah ialah dengan meringankan
kesempitan tersebut dari pelakunya (walaupun tidak sampai hilang 100%).

Adapun makna (menghilangkan) kesempitan dalam hadits Abdullah


bin Umar di atas yaitu: Menghilangkan kesempitan tersebut dari pelakunya
hingga hilang dan kesedihannya pun hilang. Jadi balasan meringankan
kesempitan ialah Allah akan ringankan dari kesulitan. Dan balasan
melapangkan kesempitan adalah Allah akan menghilangkan kesempitannya,
seperti yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar.423

Sabda Nabi, “Dari salah satu kesusahan hari Kiamat” Kesulitan dunia
tidak bisa dibandingkan dengan kesulitan akhirat, karenanya, Allah

423
Lihat Fath al-Bari (V/97—Kitab “al-Mazhalim”).
189
menyimpan pahala dengan meringankan kesulitan pada hari Kiamat dari
orang tersebut.424

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Barangsiapa memberi kemudahan kepada


orang yang kesulitan maka Allah memberi kemudahan kepadanya di
dunia dan akhirat.” Ini menunjukkan bahwa kesulitan bisa saja terjadi di
akhirat karena Allah menjelaskan bahwa hari Kiamat adalah hari yang sulit
dan tidak mudah bagi orang-orang kafir. Ini menunjukkan bahwa hari
Kiamat itu mudah bagi selain mereka. Dari Abu Hurairah Nabi bersabda:
“Dahulu ada seorang pedagang yang selalu memberikan pinjaman kepada
manusia. Jika ia melihat orang kesulitan membayar utangnya, ia berkata
kepada para pembantunya: ‘Bebaskanlah (utang) dia, semoga Allah
memaafkan kita (dari dosa-dosa),’ maka Allah pun memaafkannya.”425

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang


Muslim maka Allah menutupnya di dunia dan akhirat.” Diriwayatkan
dari salah seorang ulama Salaf yang berkata: “Aku pernah berjumpa dengan
kaum yang tidak mempunyai aib kemudian mereka menyebutkan aib-aib
manusia lalu manusia menyebutkan aib-aib mereka. Aku juga pernah
bertemu kaum yang mempunyai aib-aib kemudian mereka menjaga aib-aib
manusia maka aib-aib mereka dilupakan.” Atau seperti yang ia katakan.426
Nabi bersabda: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi
iman tidak masuk ke dalam hatinya, kalian jangan menggunjing kaum
Muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka, karena barangsiapa mencari
aib-aib mereka maka Allah akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya
dicari-cari oleh Allah maka Allah akan membukakan aibnya dan
mempermalukannya meskipun ia berada dalam rumah.”427

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Allah menolong hamba-Nya selama hamba


tersebut menolong saudaranya” Di dalam hadits Ibnu Umar, Rasulullah
‫ﷺ‬ bersabda: “... Dan barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya,
maka Allah senantiasa menolong kebutuhannya.” Tolong-menolong telah
diwajibkan atau dilaksanakan dalam kehidupan para salafush shalih. Umar
bin al-Khaththab sering mendatangi para janda kemudian mengambil air
untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam, Umar dilihat Thalhah
masuk ke rumah disebutkan bahwa Nabi seorang wanita kemudian Thalhah
masuk ke rumah wanita itu pada siang harinya, ternyata wanita itu wanita
tua, buta, dan lumpuh. Thalhah bertanya kepada wanita tersebut: “Apa yang
diperbuat orang laki-laki tadi malam terhadapmu?” Wanita itu menjawab:
“Orang itu sejak waktu yang lama datang kepadaku dengan membawa
sesuatu yang membuatku baik dan mengeluarkan gangguan dariku.” Thalhah
berkata: “Semoga ibumu selamat—kalimat nada heran, hai Thalhah, kenapa
engkau menyelidiki aurat-aurat Umar?”428 Maksudnya, kenapa aku tidak

424
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/287, dengan ringkas).
425
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2078, 3480), Muslim (no. 1562), al-Nasai (VI1/318), dan Ibnu
Hibban (no. 5020, 5021~at-Ta’llqatul Hisan) dari Abu Hurairah Lafazh ini milik al-Bukhari.
426
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/291).
427
Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4880) dan Ahmad (IV/420-421, 424).
428
Hilyatul Auliya’(I/84, no. 113).
190
mengikuti jejaknya Umar dalam kebaikan. Wallahu alam.

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari


ilmu, maka Allah memudahkannya jalan ke Surga.” Meskipun
keutamaan menuntut ilmu umum, tetapi yang paling pertama dimaksud
adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya
berupa keterangan dan petunjuk. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan: “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬ .
Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah ‫ﷺ‬ , namun
dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu
pertanian, dan ilmu perdagangan.”429

Al-Hafidzh Ibnu Rajab mengatakan: “Ilmu yang bermanfaat akan


menuntun kepada dua perkara.
Pertama, mengenal Allah dan segala apa yang menjadi hak-Nya
berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang tinggi, dan perbuatan-
perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa
takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan
sabar atas segala musibah yang Allah berikan.
Kedua, mengetahui segala apa yang diridhai dan dicintai Allah dan
segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan
yang lahir dan batin serta ucapan. Hal ini mengharuskan orang yang
mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan
diridhai Allah dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya.
Apabila ilmu itu membuahkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu
yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam
hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai
dan mengagungkan Allah, dan kalau hati itu khusyu’, hina, dan lemah
dihadapan Allah St, maka jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang
halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu
menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia. Dan hal itu akan menyebabkan
pengenalan khusus antara hamba dengan Rabbnya, di mana jika hamba
meminta kepada-Nya, maka Allah akan berikan, dan jika hamba berdoa
kepada-Nya, maka Allah akan kabulkan ....”430

Sabda beliau, “Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna,


yaitu:
Pertama, menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu
berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Kedua, menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk
mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca,
menelaah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami
(apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan
seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

429
Majmu’al-Fatawa (VI/388, XIII/136) dan Madarijus Sdlikin (II/488).
430
Fadhlu ‘Ilmi al-Salaf 'ala al-Khalaf (hlm. 47-48), tahqiq: Syaikh Ali Hasan al-Halaby.
191
Adapun sabda beliau: “Allah akan memudahkan jalannya menuju
Surga” mempunyai dua makna, yaitu:
Pertama, Allah akan memudahkan memasuki Surga bagi orang yang
menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk
mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan
konsekuensinya.
Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari
Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan
yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallahu a’lam.431

Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ : “Tidaklah suatu kaum duduk di salah satu


rumah Allah (masjid); mereka membaca Kitabullah dan mengkajinya
sesama mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat
meliputi mereka, para Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah
menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.” Sabda
beliau ini sebagai dalil yang menunjukkan disunnahkannya duduk di masjid-
masjid untuk membaca al-Qur’an, mempelajarinya, dan mempelajari ilmu-
ilmu syar’i lainnya. Nabi menjelaskan bahwa ada empat keutamaan orang-
orang yang duduk di salah satu rumah Allah (masjid) guna mempelajari al-
Qur’an ada empat, yaitu:

Pertama: Turunnya ketenangan kepada mereka.

Kedua: Diliputi rahmat.

Ketiga: Para Malaikat mengelilingi mereka.

Keempat: Allah menyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di


sisi-Nya.

Sabda Nabi : “Barangsiapa yang lambat amalnya, maka ia tidak bisa


dikejar oleh nasabnya.” Maksudnya, bahwa amal perbuatanlah yang
mengantarkan seorang hamba ke derajat tertinggi di akhirat, sebagaimana
firman Allah : “Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai)
dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Rabbmu tidak lengah terhadap apa
yang mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am [6]: 132) Jadi, barangsiapa amal
perbuatannya lamban untuk mencapai tingkatan-tingkatan tinggi di sisi
Allah, ia tidak bisa dipercepat oleh nasabnya untuk mendapatkan tingkatan-
tingkatan tersebut, karena Allah menentukan pahala karena amal
perbuatannya dan bukan karena nasabnya. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kalian, sebab aku tidak dapat memberi
kalian manfaat di hadapan Allah sedikit pun. Wahai Bani Abdu Manaf, aku
tidak dapat memberi kalian manfaat di hadapan Allah sedikit pun. Wahai
Abbas bin Abdul Muththalib, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun

431
Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/297) dan Qawa’id wa Fawa-id minal Arbain al-
Nawawiyyah (him. 316-317).
192
di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah bibi Rasulullah ‫ﷺ‬ , aku tidak dapat
memberimu manfaat apa pun di hadapan Allah. Wahai Fathimah anak
Muhammad, mintalah dari hartaku sesukamu, aku tidak dapat memberimu
manfaat apa pun bagimu di hadapan Allah.”432
Itu semua diperkuat oleh sabda Rasulullah ‫ﷺ‬

“Sesungguhnya keluarga Abu (Fulan) bukan waliku-waliku, namun wali-


waliku ialah Allah dan orang-orang Mukmin yang shalih.”433
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa hubungan kewalian
(kedekatan) tidak bisa didapatkan dengan nasab kendati nasab terdekat,
namun diperoleh dengan iman dan amal shalih. Jadi, barangsiapa iman dan
amal shalihnya paling sempurna, maka kewaliannya dengan Nabi sangat
agung kendati nasab kekeluargaannya jauh dengan beliau atau bahkan tidak
mempunyai nasab kekeluargaan dengan beliau. Tentang makna ini, salah
seorang penyair berkata:

“Aku bersumpah kepadamu bahwa manusia itu sejatinya dengan agamanya.


Jangan kau tinggalkan takwa karena bersandar pada nasab. Sungguh, Islam
telah meninggikan Salman al-Farisi, dan syirik merendahkan orang
bernasab Abu Lahab.”434

Abu Lahab mempunyai nasab dekat dengan Nabi, karena dia salah
seorang paman Nabi. Karena dia tidak beriman, maka dia kekal dalam
Neraka selama-lamanya.

Beberapa Kandungan Hadits

1. Keutamaan membantu kebutuhan dan kesulitan kaum Muslimin.


2. Menolong dan melapangkan kesusahan seorang Muslim merupakan cara
mendekatkan diri kepada Allah dan sebab meraih rahmat-Nya.
3. Menetapkan kepastian adanya hari Kiamat.
4. Pada hari Kiamat ada kesulitan yang sangat besar.
5. Anjuran memudahkan urusan orang yang sedang kesulitan (utang).
6. Balasan sesuai dengan jenis amalnya.
7. Anjuran untuk menutup aib seorang Muslim.
8. Menolong sesama Muslim dalam kebaikan adalah sebab datangnya
pertolongan Allah bagi manusia.
9. Wajib menuntut ilmu syar’i.
10. Keutamaan berjalan atau safar untuk menuntut ilmu syar’i.
11. Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan menuju Surga.
12. Ilmu yang paling utama adalah mempelajari Kitabullah (al-Qur’an)
dengan membaca, memahami dan mengamalkannya kemudian Sunnah
Nabi dan keduanya wajib dipahami menurut pemahaman Salafush
Shalih.

432
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2753, 4771) dan Muslim (no. 206) dari Abu Hurairah.
433
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5990) dan Muslim (no. 215) dari Amr bin al-Ash.
434
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/308-310).
193
13. Membaca al-Qur-an dan mempelajarinya akan membawa kepada
ketenangan, rahmat, dikelilingi Malaikat dan disebut-sebut oleh Allah di
hadapan Malaikat-Nya.
14. Menetapkan tentang adanya Malaikat.
15. Keutamaan berkumpul di rumah Allah (masjid) untuk mempelajari ilmu
syar’i, mentadabburi al-Qur’an dan as-Sunnah.
16. Kebahagiaan yang abadi adalah dengan beramal shalih, bukan
berdasarkan nasab dan garis keturunan.
17. Kemuliaan di sisi Allah adalah dengan takwa dan amal shalih, bukan
dengan nasab (keturunan) dan harta.

HADITS KETIGA PULUH TUJUH


NIAT UNTUK BERBUAT BAIK MENDAPAT
PAHALA

‫يما يَْرِو ِيه َع ْن َربِِّه تَبَ َارَك‬ِ ِ ِ ِ ٍ َّ‫عن اب ِن عب‬


َ ‫اس َرض َ اللَّهُ َعْن ُه َما َع ْن َر ُسول اللَّه ف‬ َ ْ َْ
‫ فَ َم ْن َه َّم ِِبَ َننَ ٍة‬،‫ك‬ ِ َّ ‫ ُُثَّ ب‬،‫ات‬
ِ ‫النيِّئ‬ ِ ْ َ‫إن اللَّه َك‬
َ ‫ني َذل‬
ََ َ َّ ‫اسَ َننَات َو‬ َ َ َّ " :‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫اَل‬
َ ‫َوتَ َع‬

194
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ َوإِ ْن َه َّم هبَا فَ َعملَ َها َكَبَ َها اللَّهُ عْن َده‬،ً‫فَلَ ْم يَ ْع َملْ َها َكَبَ َها اللَّهُ عْن َدهُ َح َننَةً َكاملَة‬
‫ َوإِ ْن َه َّم بِ َنيِّئَ ٍة فَلَ ْم‬،ٍ‫اف َكثِ َرية‬
ٍ ‫َضع‬ ٍ ِ ِ ِِ ٍ
َ ْ ‫َع ْشَر َح َننَات َإَل َسْبعمائَة ض ْعف َإَل أ‬
ً‫ َوإِ ْن َه َّم ِهبَا فَ َع ِملَ َها َكَبَ َها اللَّهُ َسيِّئَة‬،ً‫يَ ْع َم ْل َها َكَبَ َها اللَّهُ ِعنْ َدهُ َح َننَةً َك ِاملَة‬
."‫اح َد ًة‬ِ‫و‬
َ
.‫"صحيحيهما" هبهه اسروف‬ ‫ُ َوُم ْنلِم‬
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
“Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah ‫ﷺ‬tentang hadits yang beliau riwayatkan
dari Rabbnya Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-
kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya.
Barangsiapa berniat berbuat kebaikan namun tidak mengerjakannya,
Allah menuliskannya sebagai kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Jika
ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, Allah
menulisnya di sisi-Nya sebagai 100 kebaikan hingga 700 kali lipat
hingga berkali-kali lipat banyaknya. Barangsiapa berniat berbuat
kesalahan namun tidak mengerjakannya, Allah menulisnya di sisi-Nya
sebagai kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat
kesalahan kemudian mengerjakannya, Allah menuliskannya sebagai
satu kesalahan.”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya dengan lafazh
ini]

Syarah Hadits

Imam al-Nawawi berkata: “Lihatlah, hai saudaraku—semoga Allah


menunjuki kita pada sempurnanya kelembutan-Nya—amatilah lafazh-lafazh
ini. Sabda Nabi: “Di sisi-Nya” mengisyaratkan kepada perhatian Allah atas
amalan kebaikan hamba. Dan lafazh: “kaamilah (sempurna)” untuk
menguatkan dan menunjukkan besarnya perhatian Allah. Kemudian beliau
bersabda tentang keburukan yang diniatkan namun ditinggalkannya: “Maka
Allah mencatatnya dengan satu kebaikan yang penuh). Beliau
menguatkannya dengan kata “kaamilah (sempurna)”, dan jika seseorang
tetap melakukan keburukan itu, maka Allah mencatatnya dengan hanya satu
keburukan. Di sini dikuatkan dengan lafazh: “waahidah (satu),” bukan
dengan lafazh “kaamilah (sempurna)”. Maka hanya milik Allah segala pujian
dan karunia. Mahasuci Allah, kita tidak dapat menghitung pujian kepadanya.
Wabillahit taufiq.”435

Hadits di atas menjelaskan tentang penulisan kebaikan-kebaikan dan


kesalahan-kesalahan, serta keinginan mengerjakan kebaikan dan kesalahan.

435
Lihat Syarah Matn al-Arba’in al-Nawawiyyah (hlm. 101-102) dan Qawa’id wa Fawa-id (hlm.
325).
195
Jadi, di sini ada empat hal:

Pertama: Mengerjakan kebaikan


Kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh
ratus kali lipat hingga berlipat ganda. Jadi, pelipatgandaan satu kebaikan
dengan sepuluh kebaikan ini berlaku bagi seluruh kebaikan, karena hal ini
ditunjukkan oleh firman Allah : “Barangsiapa berbuat kebaikan
mendapatkan balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat
kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak
dirugikan (dizhalimi).” (Qs. Al-An’am [6]: 160)

Adapun tambahan dilipatgandakan lebih dari sepuluh kebaikan


diberikan bagi siapa saja yang dikehendaki Allah untuk diberi
ganjaran/pahala dengan berlipat-lipat ganda. Allah berfirman:
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti
sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada
seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. ” (QS, Al-Baqarah [2]: 261) Ayat ini
menunjukkan bahwa infak di jalan Allah dilipatgandakan hingga tujuh ratus
kali lipat.

Diriwayatkan dari Abi Mas’ud, ia berkata: “Seseorang dengan


untanya yang diberi tali kekang datang kemudian berkata: ‘Wahai Rasulullah
‫ﷺ‬ ! Unta ini untuk berjuang di jalan Allah.’ Beliau bersabda: ‘Pada hari
Kiamat, engkau berhak mendapat unta sebanyak tujuh ratus ekor semuanya
memiliki tali kekang.’”436 Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ pada hadits Abu Hurairah
tentang firman Allah dalam hadits Qudsi: “Kecuali puasa, karena ia milik-
Ku dan Aku yang membalasnya, ” menunjukkan bahwa pelipatgandaan
pahala puasa tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah, karena puasa adalah
sabar yang paling baik. Allah berfirman: .. Hanya orang-orang yang
bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. ” (Qs. Az-Zumar
[39]: 10) Pelipatgandaan kebaikan hingga sepuluh itu sesuai dengan
kebaikan keislaman seseorang sebagaimana hal ini dinyatakan secara tegas
dalam hadits Abu Hurairah dan lain-lain. Begitu juga sesuai dengan
kesempurnaan keikhlasan, keutamaan amal tersebut, dan kebutuhan
kepadanya.437

Kedua: Mengerjakan kejahatan.


Kesalahan ditulis dengan satu kesalahan yang sama tanpa dilipatgandakan,
seperti difirmankan Allah: “... Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas
seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan

436
Shahih: HR. Muslim (no. 1892), Ahmad (IV/121), dan al-Nasai (VI/49).
437
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: “Perbedaan (pelipatgandaan balasan
kebaikan di antara manusia) ini dibangun di atas (perbedaan) keikhlasan kepada Allah dan
mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah ‫ﷺ‬ semakin seorang ikhlas kepada Allah dalam ibadahnya,
maka semakin banyak pahalanya. Dan semakin seseorang ittiba’ (mengikuti) Rasulullah ‫ﷺ‬ dalam
ibadahnya, maka ibadahnya semakin sempurna dan pahalanya semakin banyak. Jadi perbedaan ini
adalah sesuai keikhlasan seseorang kepada Allah dan mutaba’ahnya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ .” (Syarah
Riyddhush Shalihin [I/76], cet. Dar al-Wathan th. 1426).
196
(dizhalimi).” (Qs. Al-An’am [6]: 160) Sabda Nabi : “Maka Allah menulis
satu kesalahan,” mengisyaratkan bahwa kesalahan tersebut tidak
dilipatgandakan seperti ditegaskan di hadits lain. Namun terkadang satu
kesalahan bisa menjadi besar karena kehormatan waktu dan tempat, seperti
difirmankan Allah: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua
belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu
dalam (bulan yang empat) itu .... ” (Qs. At-Taubah [9]: 36)

Tentang ayat tersebut, Qatadah berkata: “Ketahuilah bahwa


kezhaliman di bulan-bulan haram itu lebih besar dosanya daripada di bulan-
bulan lainnya, kendati kezhaliman di setiap kondisi itu tetap tidak
bermanfaat (tetap dosa), namun Allah menganggap besar perkara-Nya
seperti dikehendaki-Nya.”438 Allah berfirman: “(Musim) haji itu (pada)
bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji
dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia berkata jorok (rafats), berbuat
maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.... ” (Qs. Al-
Baqarah [2]: 197) Ibnu Umar berkata: “Kefasikan yang disebutkan di ayat
ini ialah melakukan kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah; baik dengan
berburu atau hal-hal lain.”439
Banyak sekali Sahabat-Sahabat Nabi yang menghindar dari tinggal di
tanah haram (Makkah) karena khawatir berbuat dosa di dalamnya, di
antaranya Ibnu Abbas dan Abdullah bin Amr . Hal yang sama dilakukan
Umar bin Abdul Aziz. Terkadang kesalahan dilipatgandakan karena
kehormatan pelakunya, kekuatan pengenalannya kepada Allah, dan
kedekatannya kepada-Nya. Allah berfirman: “Wahai istri-istri Nabi!
Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata,
niscaya adzabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang
demikian itu, mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri
Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan,
niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan
rezeki yang mulia baginya. Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti
perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit
nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang baik.” (Qs. Al-Ahzab [33]: 30-32)

Ketiga: Berniat mengamalkan kebaikan

Niat tersebut ditulis sebagai kebaikan sempurna, walaupun pelakunya


tidak mengerjakannya, seperti disebutkan di hadits Ibnu Abbas dan lain-lain.
Di hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim sebelumnya: “Jika
hamba-Ku berniat ingin mengerjakan kebaikan, maka Aku menulis satu
kebaikan baginya,” zhahirnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
niat di hadits tersebut ialah niat yang kuat yang disertai kemauan yang keras

438
Lihat al-Durrul Mantsur (III/425) cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
439
Tafsir al-Thabari (II/281, no. 3659) cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
197
untuk beramal. Jadi, tidak hanya sekedar lintasan hati yang kemudian hilang
tanpa semangat dan tekad untuk beramal.440

Jika niat disertai perkataan dan usaha, maka pahala didapatkan


secara pasti dan orang yang bersangkutan sama seperti orang yang
melakukannya, seperti diriwayatkan dari Abu Kabsyah dari Nabi beliau
bersabda: “Sesungguhnya dunia hanyalah diberikan untuk empat orang: (1)
Seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertakwa
kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahim, dan
mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling
baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak
diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata: ‘Seandainya aku
memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si Fulan.’
Maka dengan niatnya itu, pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang
Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia menggunakan
hartanya sewenang-wenang tanpa ilmu, tidak bertakwa kepada Allah dalam
hartanya, tidak menyambung silaturahim dengannya, dan tidak mengetahui
bahwa Allah memiliki hak dalam harta tersebut. Kedudukan orang tersebut
adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak
Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata: ‘Seandainya aku memiliki
harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si Fulan.’ Maka
dengan niatnya itu, maka keduanya mendapatkan dosa yang sama.”441 Sabda
beliau, “Maka pahala keduanya sama” ditafsirkan bahwa keduanya sama
dalam asal-usul pahala perbuatan dan tidak sama dalam pelipatgandaannya,
karena pelipatgandaan kebaikan hanya khusus bagi orang yang mengerjakan
kebaikan dan tidak mencakup orang yang hanya sekedar meniatkannya
namun tidak mengerjakannya. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah :
“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut
berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-
orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang
duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah
menjanjikan (pahala) yang baik (Surga) dan Allah melebihkan orang-orang
yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu)
beberapa derajat daripada-Nya, serta ampunan dan rahmat. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. ” (Qs. An-Nisa’ [4]: 95-96)

Keempat: Berniat Ingin Mengerjakan Kesalahan, Tetapi Ia Tidak


Mengerjakannya.
Di hadits Ibnu Abbas disebutkan: “Kesalahan (yang tidak dikerjakan)
tersebut ditulis sebagai kebaikan sempurna.” Hal yang sama disebutkan
dalam hadits Abtl Hurairah, Anas bin Malik, dan lain-lain: “Kesalahan (yang
tidak dikerjakan) tersebut ditulis sebagai kebaikan.” Di hadits Abu Hurairah
disebutkan: “Dia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.”
Ini semua menunjukkan bahwa pelaku kesalahan yang dimaksud ialah orang

Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/319).


440
441
Shahih: HR. Ahmad (IV/230-231), al-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi
(TV/ 189), al-Baghawi dalam SyarhusSunnah (XIV/289, no. 4097), dan al-Thabrani dalam al-
Mu’jam al-Kabir (XXII/ 345-346, no. 868-870).
198
yang mampu mengerjakan kemaksiatan yang ia inginkan kemudian ia
meninggalkannya karena Allah. Ini tidak diragukan bahwa kemaksiatan
tersebut ditulis sebagai kebaikan bagi pelakunya, sebab, meninggalkan
maksiat karena Allah merupakan amal shalih.

Adapun orang yang berniat mengerjakan maksiat kemudian


meninggalkannya karena takut kepada manusia atau riya’ terhadap manusia,
maka ada yang mengatakan bahwa orang tersebut disiksa karena ia
meninggalkan kemaksiatan tersebut dengan niat seperti itu, karena
mendahulukan takut kepada manusia atas takut kepada Allah itu haram
hukumnya. Begitu juga bermaksud riya terhadap manusia adalah haram.
Jadi, jika seseorang meninggalkan maksiat karena riya’ ia disiksa karenanya.

Adapun orang yang berusaha mengerjakan kemaksiatan dengan


segenap tenaganya kemudian dihalang-halangi takdir, maka sejumlah ulama
menyebutkan bahwa ia disiksa karenanya, sebab Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari apa yang diinginkan jiwanya
selagi mereka tidak mengatakannya atau mengerjakannya.”442 Barangsiapa
berniat dan mengerahkan tenaganya untuk mengerjakan kemaksiatan
kemudian tidak mampu mengerjakannya, ia masuk dalam kategori telah
mengerjakannya, karena Nabi bersabda: “Jika dua orang Muslim bertemu
dengan pedangnya masing-masing, pembunuh dan yang dibunuh tempatnya
di Neraka.” Aku (Abu Bakrah) berkata: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ! Ini (berlaku)
bagi pembunuh, bagaimana dengan orang yang dibunuh?” Beliau bersabda:
“Sungguh ia ingin membunuh sahabatnya tersebut.”443

Adapun jika niat orang tersebut hilang dan tekadnya melemah tanpa
sebab darinya, apakah ia disiksa karena kemaksiatan yang ia inginkan atau
tidak? Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Bagian pertama: Jika keinginan untuk mengerjakan kemaksiatan
hanya merupakan lintasan yang muncul tanpa digubris pelakunya dan ia
tidak memasukkannya ke dalam hatinya, namun membencinya dan lari
daripadanya, maka keinginan tersebut dimaafkan dan keinginan tersebut
seperti waswas jelek yang pernah ditanyakan kepada Nabi kemudian Nabi
bersabda: “Itulah hakikat iman.”444

Ketika firman Allah berikut turun: “... Jika kamu nyatakan apa yang
ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah
memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni
siapa yang Dia kehendaki dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki....”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 284), kaum Muslimin resah, karena mereka mengira
bahwa lintasan-lintasan hati masuk dalam cakupan ayat di atas. Kemudian
turunlah ayat sesudahnya di dalam firman Allah : “... Ya Rabb kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami

442
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2528, 6664), Muslim (no. 127 [201]), Abu Dawud (no. 2209), al-
Tirmidzi (no. 1183), al-Nasai (VI/156-157), dan Ibnu Majah (no. 2040,2044) dari Abu Hurairah.
443
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 31, 6875, 7083) dari Abu Bakrah.
444
Shahih: Muslim (no. 132), Ahmad (II/441, 456), Abu Dawud (no. 5111), dan Ibnu Hibban (no.
145-at-Ta‘liqatul Hisan) dari Abu Hurairah
199
memikulnya .... ” (Qs. Al-Baqarah [2]: 286) Ayat tersebut menjelaskan
bahwa apa saja yang tidak sanggup mereka kerjakan maka tidak disiksa dan
tidak dibebankan kepada mereka. Ibnu Abbas dan lain-lain menamakannya
nasakh (penghapusan). Maksud mereka bahwa ayat ini menghapus
ketidakjelasan yang terjadi di jiwa terhadap ayat pertama dan menjelaskan
bahwa yang dimaksud ayat pertama ialah tekad kuat untuk mengerjakan
lintasan hati. Ulama Salaf menamakan hal ini sebagai nasakh (penghapusan).

Bagian kedua: Tekad kuat yang terjadi di jiwa, terus berlangsung,


dan disenangi pelakunya. Ini juga terbagi ke dalam dua bagian:
1. Sesuatu yang secara independent merupakan perbuatan-perbuatan
hati, misalnya ragu-ragu tentang keesaan Allah, atau kenabian, atau
hari Kebangkitan, kekafiran, kemunafikan, atau meyakini
ketidakbenaran keesaan Allah, dan sebagainya. Seorang hamba
disiksa pada semua itu, ia menjadi murtad, kafir atau munafik
karenanya. Termasuk dalam cakupan poin ini adalah seluruh
kemaksiatan yang biasanya dikerjakan hati, misalnya mencintai apa
saja yang dibenci Allah, membenci apa saja yang dicintai Allah,
sombong, ujub, dengki, dan buruk sangka kepada seorang Muslim
tanpa alasan yang benar. Hal ini tidak menjadikannya kafir tapi ia
melakukan dosa besar dengan kesombongannya.
2. Hal-hal yang bukan termasuk perbuatan hati namun merupakan
perbuatan organ-organ tubuh, misalnya zina, mencuri, minum
minuman keras, membunuh, menuduh orang baik-baik melakukan
zina, dan sebagainya jika seseorang terus-menerus menginginkan
perbuatan tersebut, bertekad mengerjakannya, dan pengaruhnya tidak
terlihat di permukaan.

Tentang disiksanya karena hal ini, ada dua pendapat ulama.

Pendapat pertama: Orang tersebut akan disiksa karenanya. Ibnu al-


Mubarak berkata: “Aku pernah bertanya kepada Sufyan: ‘Apakah seseorang
disiksa karena niat dan keinginannya?’ Kemudian Sufyan menjawab bahwa
jika keinginan tersebut merupakan tekad, maka pelakunya disiksa
karenanya.”
Pendapat ini dipilih oleh banyak fuqaha’, ulama hadits, dan ahli
kalam dari ulama-ulama madzhab Hanbali dan selain mereka. Mereka
berhujjah dengan firman Allah :

“... Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka
takutlah kepada-Nya .... ” (Qs. Al-Baqarah [2]: 235)

Dan firman Allah:

“... Tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu
.... ” (Qs. Al-Baqarah [2]: 225)
Dan mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi:

“Dosa ialah sesuatu yang terlintas di hatimu dan engkau tidak suka manusia

200
melihatnya.”445
Mereka menafsirkan sabda Nabi : “Sesungguhnya Allah memaafkan
umatku dari apa yang diinginkan jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau
mengerjakannya,” kepada lintasan-lintasan hati. Mereka berkata: “Apa saja
yang disenangi seorang hamba dan mengaitkan hati kepadanya, hal tersebut
merupakan usaha dan perbuatannya, ia tidak dimaafkan darinya.” Di antara
mereka ada yang berkata: “Di dunia, orang tersebut disiksa dengan
kesedihan dan kegalauan.”
Ada lagi yang mengatakan bahwa: “Seorang hamba dihisab karena
perbuatan tersebut pada hari Kiamat. Allah menghisabnya karena perbuatan
tersebut kemudian memaafkannya. Jadi hukuman orang tersebut ialah
dihisab.” Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan ar-Rabi’ bin Anas. Itu
juga pendapat pilihan Ibnu Jarir al-Thabari. Ibnu Jarir al-Thabari berhujjah
dengan hadits Ibnu Umar tentang bisik-bisik.446 Akan tetapi hadits tersebut
tidak berlaku umum, berlaku bagi dosa-dosa yang tidak terlihat di dunia dan
bukan waswas di dada.
Pendapat kedua: Orang tersebut tidak disiksa hanya karena niatnya
secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam asy-Syafi’i. Ini
pendapat Ibnu Hamid salah seorang dari sahabat kami, karena berhujjah
dengan keumuman hadits. Perkataan yang sama diriwayatkan al-Aufi dari
Ibnu Abbas.447 Wallahu a’lam.
Sabda Nabi dalam hadits Ibnu Abbas di riwayat Muslim: “Atau Allah
menghapusnya”, maksudnya, pengerjaan kesalahan ditulis satu kesalahan
bagi pelakunya, atau Allah menghapusnya dari siapa yang Dia kehendaki
karena salah satu sebab, misalnya istighfar, taubat, dan mengerjakan
kebaikan-kebaikan.
Sabda Nabi setelah itu (yang terdapat dalam riwayat Muslim): “Dan
tidak ada yang binasa terhadap Allah kecuali orang yang binasa”,
maksudnya, setelah karunia yang besar dari Allah, rahmat yang luas dari-
Nya dalam bentuk dilipatgandakan kebaikan-kebaikan, dan memaafkan
kesalahan-kesalahan, maka tidak ada yang binasa terhadap Allah kecuali
orang yang binasa, menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan, berani
mengerjakan kesalahan-kesalahan, benci kebaikan, dan berpaling darinya.448

Beberapa Kandungan Hadits

1. Kesempurnaan ilmu Allah yang tidak ada sedikit pun di langit maupun di
bumi atau yang lebih dari itu yang lepas dari jangkauan ilmu-Nya, dan
tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya. Allah mengetahui apa
yang ada dalam hati manusia.
2. Di antara tugas Malaikat adalah mencatat kebaikan dan keburukan. Allah
telah menugaskan Malaikat yang mulia kepada setiap orang, mereka

445
Lihat hadits arba’in no. 27
446
Yakni hadits riwayat al-Bukhari (no. 6070) dan Muslim (no. 2768), yang di dalamnya disebutkan
hisab Allah terhadap hamba Mukmin yang melakukan dosa-dosa yang tidak terlihat di dunia,
kemudian Allah mengampuninya.
447
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/323-326).
448
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/328).
201
mengetahui dan mencatat apa yang dikerjakannya, Allah menghitungnya
sedang mereka (manusia) melupakannya.
3. Inayah (perhatian) Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan menulis
kebaikan dan keburukan sesuai dengan ketentuan-Nya.
4. Luasnya rahmat dan karunia Allah serta keagungan anugerah-Nya, Dia
telah memberikan keadilan yang demikian jelas dalam keburukan dan
tidak melipatgandakannya serta memberikan maaf pada keinginan
berbuat kejahatan (selagi tidak dilaksanakan).
5. Penjelasan tentang karunia Allah terhadap umat ini, karena kalau bukan
karena karunia-Nya, maka tidak akan ada yang masuk Surga dikarenakan
perbuatan dosa seorang hamba lebih banyak daripada amal kebajikannya.
6. Metode pemberian semangat dan pemberian ancaman merupakan sebaik-
baik metode dalam mendidik.
7. Bahwasanya kebaikan dan keburukan sudah ditakdirkan oleh Allah, telah
ditulis, dan tetap terjadi.
8. Menetapkan perbuatan Allah.
9. Seorang Muslim harus senantiasa berniat baik dan melatih dirinya untuk
selalu mengerjakan kebaikan.
10. Pahala kebajikan dilipatgandakan dari 10 kali lipat hingga 700 kali lipat
bahkan bisa lebih dari itu karena karunia dan keadilan Allah semata.
Sedangkan dosa kejelekan tidak dilipatgandakan karena keadilan-Nya,
dan Allah memberikan maaf.
11. Pahala bagi orang yang melakukan kebajikan dengan ikhlas karena Allah
dan mengikuti contoh Rasulullah ‫ﷺ‬ .
12. Allah memberikan pahala bagi orang yang meninggalkan perbuatan dosa
dan maksiat karena takut kepada Allah.
13. Bertafakkur (memikirkan) berbagai kebaikan menjadi sebab yang
mengantar seseorang mengerjakannya.
14. Mengingat dan menyadarkan diri sebelum berbuat keburukan dapat
mencegah diri darinya.
15. Pengaruh niat dalam perbuatan dan akibatnya.
16. Riwayat Rasulullah ‫ﷺ‬ dari Rabbnya disebut dengan hadits Qudsi. Hadits
Qudsi ada yang shahih, hasan, dha’if dan ada pula yang maudhu’ (palsu).

HADITS KETIGA PULUH DELAPAN


HADITS YANG PALING UTAMA TENTANG
SIFAT WALI-WALI ALLAH

‫ " َم ْن َع َادى ِل َولِيًّا‬:‫ال‬ َ َ‫اَل ق‬ َّ ‫ال َر ُسول اللَّ ِه‬


َ ‫إن اللَّهَ تَ َع‬ َ َ‫َع ْن أَِِب ُهَريْ َرة ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫ َوَل‬،‫ضُهُ َعلَْي ِه‬ ِ َ َّ ‫ وما ت قرب َإل عب ِدُ بِش ٍء أَح‬،‫ب‬
ْ ‫إل ِمَّا افْ َ َر‬
َّ َ َْ َْ َّ َ َّ َ َ َ َ ِ ‫اسَْر‬ ْ ِ‫فَ ْقد آذَنْ هُ ب‬
202
‫َحبَْبُهُ ُكْنت َسْ َعهُ الَّ ِهُ يَ ْن َم ُع‬ ِ ِ
ْ ‫ فَِإ َذا أ‬،ُ‫إل بِالن ََّواف ِل َح ََّّت أُحبَّه‬
ََّ ‫ب‬ ِ
ُ ‫يََز ُال َعْبدُ يََ َقَّر‬
‫ َولَئِ ْن‬،‫ َوِر ْجلَهُ الَِّت ميَْ ِش ِهبَا‬،‫ش ِهبَا‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ َويَ َدهُ الَِّت يَْبط‬،‫صَرهُ الَّهُ يُْبصُر بِه‬ َ َ‫ َوب‬،‫بِه‬
ِ ‫ ولَئِن اسَ عاذَِِن َْل‬،‫سأَلَِِن َْل ُْع ِطي نَّه‬
."ُ‫ُعي َهنَّه‬ َْ ْ َ َُ َ
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
ُ
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Sesungguhnya
Allah berfirman: ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku
mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-
Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku
wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku
dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya.
Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.”’
[HR. Al-Bukhari]

Syarah Hadits

al-Thufi berkata: “Hadits ini merupakan asas dalam menuju kepada


Allah dan sampai kepada pengenalan dan cinta-Nya, serta jalan menuju
kepada-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan kewajiban
zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsan, semuanya
terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga terkandung dalam
hadits Jibril. Dan ihsan menghimpun kedudukan orang-orang yang menuju
kepada Allah berupa zuhud, ikhlas, muraqabah, dan lainnya.”449

Firman Allah : “Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku


mengumumkan perang kepadanya” Maksudnya, sungguh Aku
mengumumkan kepadanya bahwa Aku memeranginya karena ia memerangi-
Ku dengan memusuhi wali-wali-Ku. Jadi, wali-wali Allah wajib dicintai dan
haram dimusuhi sebagaimana musuh-musuh Allah wajib dimusuhi dan
haram dicintai. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman
setia .... ” (Qs. Al-Mumtahanah [60]: 1)

Allah menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya adalah: orang-


orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, mereka rendah hati
terhadap kaum Mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir.
Ketahuilah bahwa segala macam bentuk kemaksiatan adalah bentuk
memerangi Allah, namun semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan,
semakin keras pula peperangannya terhadap Allah.

449
Lihat Fathl al-Bari (XI/345) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani.
203
Karena itulah Allah menamakan pemakan riba450 dan perampok451
sebagai orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dikarenakan
besarnya kezhaliman mereka kepada hamba-hamba-Nya serta usaha mereka
mengadakan kerusakan di muka bumi. Demikian pula orang yang memusuhi
wali-wali-Nya, barangsiapa memusuhi mereka maka ia telah memusuhi
Allah dan telah memerangi-Nya.452

• Sifat dan ciri wali-wali Allah


Allah berfirman:

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka
tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa
bertakwa. ” (Qs. Yunus [10]: 62-63)
Allah telah menjelaskan dalam ayat ini sifat wali-wali-Nya. Sifat yang
pertama: mereka memiliki iman yang jujur, dan sifat yang kedua: mereka
bertakwa kepada Allah. Nabi bersabda ketika menjelaskan sifat yang kedua
ini:

“... Sesungguhnya orang-orang yang dekat denganku adalah mereka yang


bertakwa. Siapa pun mereka dan di mana pun mereka ....”453

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan wali Allah


adalah orang yang mengenal Allah, selalu melaksanakan ketaatan kepada-
Nya, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”454
Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allah. Dan
sebagaimana diketahui bahwa wali-wali Allah memiliki tingkatan yang
dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzhalimi
diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang
besar. ” (Qs. Fathir [35]: 32)
Tingkatan pertama: Orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka
adalah pelaku dosa-dosa. Ibnu Katsir berkata: “Mereka yang melalaikan
sebagian yang wajib-wajib dan melakukan sebagian perbuatan haram.”455
Tingkatan kedua: Orang yang pertengahan, mereka yang
melaksanakan yang wajib-wajib, menjauhkan yang haram, akan tetapi
terkadang mereka meninggalkan yang sunnah dan terjatuh pada sesuatu yang
makruh.

450
Lihat surah Al-Baqarah ayat 278-279.
451
Lihat surah Al-Al-Ma-idah ayat 33.
452
Diringkas dari ]ami‘ul ‘Ulum wal Hikam (II/334-335).
453
Shahih: HR. Ahmad (V/235), Ibnu Hibban (no. 646- al-Ta’liqat al-Hisan dan no. 2504 -Shahih
al-Mawarid), al-Thabrani (XX/no. 241, 242), dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal dan dishahihkan
oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’al-Shaghir (no. 2012).
454
Fath al-Bari (XI/342).
455
Tafsir Ibni Katsir (VI/546).
204
Tingkatan ketiga: Orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan,
mereka selalu melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan
yang haram dan makruh.
Adapun wali Allah yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul
Dan yang utama setelah mereka adalah para Sahabat ridhwanullahi ‘alaihim
‘ajma’in. Allah berfirman tentang mereka:

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan


dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka. Kamu melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang
mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar
dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-
orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara
mereka, ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Fath [48]: 29)
Para Sahabat merupakan contoh yang agung dalam mewujudkan
perwalian kepada Allah. Barangsiapa yang ingin mendapatkan keridhaan
Allah, maka hendaknya dia menempuh jalan mereka.
Wali-wali Allah mereka tidak memiliki ciri-ciri yang khusus.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para wali Allah tidak memiliki
sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam perkara
yang mubah, mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul rambut
atau memendekkannya, apabila keduanya merupakan perkara yang mubah.
Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian
biasa, dan betapa banyak orang zindiq yang memakai pakaian yang
bagus.”456
Para wali Allah tidak ma’shum (tidak terpelihara dari dosa), yakni
mereka sebagai manusia biasa terkadang salah, keliru, dan berbuat dosa.
Allah berfirman:

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang


membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa. Mereka memperoleh
apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah balasan bagi
orang-orang yang berbuat baik, agar Allah menghapus perbuatan mereka
yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada
mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan. ” (Qs.
Az-Zumar [39]: 33-35)
Ayat tersebut menggambarkan tentang wali-wali Allah, dan
bahwasanya Allah akan memberi pahala dengan yang lebih baik dari apa
yang mereka kerjakan. Yang demikian merupakan balasan atas taubat dari
perbuatan dosa yang mereka lakukan. Ayat ini juga menetapkan bahwa para
wali Allah selain para Nabi dan Rasul, terkadang jatuh dalam kesalahan dan

456
Al-Furqan baina Auliya-I al-Rahman wa Auliya-I al-Syaithan (hlm. 65-66), tahqiq Syaikh
Salimal-Hilali.
205
dosa. Di antara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allah selain para
Nabi dan Rasul yaitu para sahabat jatuh dalam kesalahan adalah, bahwa telah
terjadi peperangan di antara mereka, juga terdapat ijtihad-ijtihad mereka
yang keliru. Dan yang seperti ini sudah maklum diketahui oleh mereka yang
sering membaca perkataan para sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan
selainnya.457
Meskipun demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita
dianjurkan untuk mendoakan mereka dengan baik.
Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),


mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah engkau tanamkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sungguh, Engkau Maha penyantun, Maha penyayang. (Qs. Al-Hasyr
[59]: 10)
Para sahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allah
dan dijanjikan Surga. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Fath ayat 29.

Firman Allah: “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan


sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan
kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku
dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” Tatkala Allah
menjelaskan bahwa memusuhi wali-wali-Nya berarti memerangi-Nya,
setelah itu Allah menjelaskan sifat wali-wali-Nya yang haram dimusuhi dan
wajib dicintai. Allah juga menyebutkan apa yang dapat mendekatkan
seorang hamba kepada-Nya. Para wali Allah ialah orang-orang yang selalu
mendekatkan diri pada-Nya dengan apa yang dapat mendekatkan diri mereka
kepada-Nya, sedang musuh-musuh-Nya ialah orang-orang yang dijauhkan
dari-Nya dengan amal perbuatan mereka yang menyebabkan mereka diusir
dan dijauhkan dari-Nya.
Allah membagi wali-wali-Nya yang dekat ke dalam dua kelompok,
sebagai berikut:
Pertama: Yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan
hal-hal yang diwajibkan yang mencakup mengerjakan kewajiban dan
meninggalkan hal-hal yang diharamkan, sebab semuanya itu merupakan hal-
hal yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya.
Kedua: Yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan-amalan
sunnah setelah mengerjakan amalan-amalan yang wajib. Maka menjadi
jelaslah bahwa tidak ada jalan yang mengantarkan kepada kedekatan kepada
Allah, kewalian-Nya, dan kecintaan-Nya selain taat kepada-Nya yang
disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Jadi, barangsiapa mengklaim
dirinya mendapat kewalian dari Allah dan kecintaan-Nya tetapi melalui
selain jalan ini, jelaslah bahwa ia pendusta dalam pengakuannya, seperti
yang terjadi dengan orang-orang musyrik yang mendekatkan diri kepada
Allah dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain Allah yang mereka
sembah, seperti dikisahkan Allah tentang mereka:

457
Qawa’id wa Fawa’id min al-Arbain al-Nawawiyah (hlm. 334-336).
206
“... Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata): Kami
tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya....” (Qs. Az-Zumar [39]: 3)
Dan sebagaimana Allah mengisahkan tentang orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang berkata:

“... Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya ....” (Qs. Al-Ma-
idah [5]: 18)
Padahal mereka terus-menerus mendustakan para Rasul-Nya,
mengerjakan larangan-larangan-Nya, dan meninggalkan semua kewajiban-
Nya.
Karena itulah di hadits ini Allah menjelaskan bahwa wali-wali-Nya
itu terbagi dalam dua tingkatan.
Tingkatan pertama: Tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri
kepada-Nya dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban. Ini adalah tingkatan
al-muqtashidin (pertengahan) dan golongan kanan. Mengerjakan kewajiban-
kewajiban adalah sebaik-baik amal sebagaimana yang dikatakan Umar bin
al-Khathab “Sebaik-baik amal ialah menunaikan apa saja yang diwajibkan
Allah, menjauhi apa saja yang diharamkan-Nya, dan niat yang jujur terhadap
apa saja yang ada di sisi Allah.
Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya: “Ibadah yang paling
baik ialah menunaikan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang
diharamkan.”458
Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya kewajiban-kewajiban
ini hanyalah agar dapat mendekatkan diri mereka di sisi-Nya dan agar
mereka mendapatkan keridhaan dan rahmat-Nya. Kewajiban badan yang
paling agung yang diwajibkan oleh Allah ialah shalat seperti yang
difirmankan Allah :

“... Dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” (Qs. Al-‘Alaq
[96]: 19)
Dan Nabi bersabda:

“Sedekat-dekat seorang hamba kepada Rabbnya ialah ketika ia sujud, maka


perbanyaklah doa.”459
Di antara ibadah-ibadah wajib yang mendekatkan kepada Allah ialah
keadilan pemimpin terhadap rakyat (yang dipimpin)nya; baik
kepemimpinannya umum seperti penguasa atau khusus seperti keadilan
seseorang terhadap keluarga dan anaknya, seperti disabdakan Nabi :
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian ditanya tentang
rakyat (yang dipimpin)nya ....”460
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

458
Diringkas dari Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/336).
459
Shahih: HR. Muslim (no. 482), Abu Damid (no. 875), dan al-Nasai (II/226) dari Abu Hurairah.
460
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 893), Muslim (no. 1829), Abu Dawud (no. 2928), al-Tirmidzi (no.
1705), dan Ibnu Hibban (no. 4472 al-Ta’liqat al-Hisan) dari Ibnu Umar.
207
“Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah berada di atas mimbar-
mimbar dari cahaya di Tangan Kanan Allah, dan kedua Tangan-Nya adalah
kanan, yaitu orang-orang yang adil di dalam hukum mereka, adil terhadap
keluarga mereka, dan orang-orang yang dipimpinnya. ”461

Tingkatan kedua: Tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba


(dalam kebaikan) lagi dekat, yaitu orang-orang yang mendekat kepada Allah
dengan ibadah-ibadah wajib kemudian bersungguh-sungguh mengerjakan
ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri dari hal-hal yang makruh dan
bersikap wara’ (takwa). Sikap itu menyebabkan seorang hamba dicintai
Allah, seperti difirmankan Allah: “Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat
kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”

Firman Allah : “Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi


pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya
yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan.” Maksudnya, barangsiapa bersungguh-sungguh dalam
mendekat kepada Allah dengan mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan
mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka Allah mendekatkannya kepada-
Nya dan menaikkannya dari tingkatan iman ke tingkatan ihsan. Karenanya,
ia menjadi hamba yang beribadah kepada Allah dengan merasa dihadiri dan
diawasi Allah seperti ia melihat-Nya kemudian hatinya penuh dengan
ma’rifat (pengenalan) kepada Allah, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya,
malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa tenang dengan-Nya, dan
rindu kepada-Nya.

Jadi, kapan saja hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allah,


maka kondisi tersebut menghapus apa saja selain Allah dari hati seorang
hamba, dan ia tidak lagi punya keinginan kecuali apa yang diinginkan
Rabbnya. Ketika itulah seorang hamba tidak bicara kecuali dengan dzikir
kepada Allah dan tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya. Jika ia bicara,
ia bicara dengan Allah. Jika ia mendengar, ia mendengar dengan-Nya. Jika ia
melihat, ia melihat dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya.
Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: “Jika Aku telah mencintainya,
Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia
gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. ”

Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan


hulul (menitisnya Allah kepada makhluk) atau ittihad (manunggaling kawula
gusti) atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan dan ia telah
mengisyaratkan kepada kekafiran. Itu karena zhahir hadits ini tidak harus
menunjukkan kepada hal itu. Kalaupun iya, maka ini merupakan takwilnya
para Salaf dan ijma. Dalam kitab Dzamm al-Ta’wil, Ibnu Qudamah Al-
Maqdisi mengatakan, “Seandainya ini merupakan takwil, maka apa yang

461
Shahih: HR. Muslim (no. 1827) dan Abdullah bin Amr.
208
ditakwil oleh Salaf, kita ikut menakwil.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menjelaskan dalam Majmuatul Fatawa (6/21), “Di antaranya yang disebut
takwil itu ada yang shahih dari Shahabat.”

Firman Allah: “Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya.


Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti
melindunginya” Maksudnya, orang yang dicintai Allah dan didekatkan
kepada-Nya memiliki kedudukan khusus di sisi Allah yang menyebabkan
jika ia meminta sesuatu kepada Allah maka Allah memberikan apa yang ia
minta, jika ia minta perlindungan kepada-Nya dari sesuatu maka Dia
melindunginya, dan jika ia berdoa kepada-Nya maka Dia mengabulkan
doanya, karenanya, ia menjadi orang yang doanya dikabulkan karena
kemuliaannya di sisi Allah. Banyak sekali di antara generasi Salaf yang
terkenal doanya dikabulkan.

Disebutkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash adalah orang yang


doanya terkabul. Pada suatu hari ia didustakan oleh seseorang kemudian ia
berkata: “Ya Allah, jika orang tersebut berkata bohong, panjangkan usianya,
dan hadapkan ia pada fitnah-fitnah. “Ternyata orang tersebut mendapatkan
itu semua. Ia mengganggu budak-budak wanita di jalan sambil berkata:
“Aku orang lanjut usia, mendapatkan fitnah, aku terkena doa Sa’ad.”462

Seorang wanita bertengkar dengan Sa’id bin Zaid di lahan Sa’id bin
Zaid. Wanita tersebut mengklaim bahwa Sa’id bin Zaid mengambil lahan
tersebut darinya kemudian Sa’id bin Zaid berkata: “Ya Allah, jika wanita
tersebut bohong, butakan matanya dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata,
wanita tersebut buta. Ketika pada suatu malam ia berjalan di lahannya, ia
jatuh di sumur di lahannya kemudian meninggal dunia.463

Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau


disebutkan semuanya. Sebagian besar orang-orang yang doanya dikabulkan
dari generasi Salaf bersabar atas musibah, memilih pahalanya,
mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut, dan tidak berdoa kepada
Allah agar musibah tersebut dihilangkan dari dirinya.

Beberapa Kandungan Hadits

1. Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada mengerjakan


yang sunnah.
2. Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.
3. Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal yang wajib.
4. Di antara sebab mendapatkan cinta dari Allah adalah dengan
melaksanakan amal-amal yang wajib dan sunnah.
5. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah.

462
HR. Al-Bukhari (no. 755), dari Jabir bin Samurah.
463
HR. Muslim (no. 1610 [139]).
209
6. Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang
melaksanakan yang wajib-wajib dan yang sunnah, dan meninggalkan
apa-apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya
7. Wali dibagi oleh para ulama menjadi dua: Ada wali-wali Allah dan
ada wali-wali syaitan. Wali Allah adalah orang yang beriman dan
bertakwa. Adapun wali syaitan adalah orang yang tidak bertakwa
kepada Allah, mengerjakan kesyirikan, bid’ah, maksiat dan
meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram.
8. Ancaman bagi orang-orang yang memusuhi wali-wali Allah.
9. Orang yang memusuhi wali-wali Allah, dengan olok-olokan,
gangguan, siksa, menyakiti atau membenci mereka, maka akibatnya
akan mendapat siksa dari Allah di dunia dan akhirat.
10. Seorang hamba—betapapun tinggi derajatnya—tidak boleh berhenti
dari berdoa, memohon kepada Allah, karena yang demikian lebih
menampakkan kehinaan dan kerendahan kepada-Nya.
11. Mendekatkan diri kepada Allah dengan yang wajib-wajib dan sunnah
sebagai sebab dikabulkannya doa seorang hamba, dijaga Allah, dan
dilindungi oleh Allah.
12. Di antara wali-wali Allah yang bertakwa ada yang diberi karamah
(kemuliaan) dengan dikabulkannya doa, dijaga, dilindungi Allah dan
karamah lainnya. Ada juga yang tidak diberi karamah.
13. Di dalam hadits ini tidak terdapat sedikit pun dalil atau hujjah bagi
kelompok sufi yang sesat yang berpendapat bahwa Allah menyatu
dalam diri manusia.
14. Setiap Muslim wajib meyakini bahwa Allah Mahatinggi, istiwa’
(bersemayam) di atas ‘Arsy, tetapi Allah bersama hamba-Nya
(mengetahui) semua yang dilakukan makhluk-Nya.464
15. Derajat Nabi dan Rasul lebih tinggi di sisi Allah daripada wali.
16. Kematian itu pasti, semua yang bernyawa pasti mati. Bahkan Nabi
sebagai tokoh para Nabi dan Rasul merasakan kematian.
17. Kita wajib menetapkan semua nama dan sifat Allah. Semua nama
dan sifat-Nya tidak sama dengan makhluk-Nya. Dia berfirman:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang
Maha Mendengar, Maha Melihat. ” (Qs. Asy-Syura [42]: 11)
18. Allah telah menetapkan kematian wali-Nya dan pasti terjadi,
meskipun demikian Allah juga tidak ingin menyusahkan wali-Nya.
Maka ini yang dinamakan taraddud.

HADITS KETIGA PULUH SEMBILAN

Tentang Allah istiwa’ di atas ‘Arsy dan kebersamaan Allah bersama hamba-Nya, baca buku Ust.
464

Yazid ‫“حفظه هللا‬Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” (hlm. 205-211) cet. VIII, Penerbit
Pustaka Imam asy-Syafi’i-Jakarta.
210
KESALAHAN YANG TIDAK DISENGAJA,
LUPA, DAN DIPAKSA, DIMAAFKAN OLEH
ALLAH

‫إن اللَّهَ ََتَ َاوَز ِل َع ْن‬ َ َ‫ول اللَّ ِه ق‬


َّ " :‫ال‬ َّ ‫اس َر ِض اللَّهُ َعْن ُه َما أ‬
َ ‫َن َر ُس‬ َ
ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
. "‫اسُ ْك ِرُهوا َعلَْي ِه‬ ْ ‫أ َُّم ِت‬
ْ ‫الَطَأَ َوالن‬
ْ ‫ِّنيَا َن َوَما‬
ِ ‫ رواه ابن ماجه والْب ي ه‬،‫ح ِديث حنن‬
‫ق‬
ّ َ َْ َ ْ َ َ ُ ْ ُ ََ َ َ َ
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Sesungguhnya Allah
memaafkan kesalahan (yang terjadi tanpa disengaja) dan (kesalahan karena)
lupa dari umatku, serta apa saja yang dipaksakan terhadapnya.”
[Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan selain
keduanya].

Syarah Hadits

Sabda Nabi : “Sesungguhnya Allah memaafkan kesalahan (yang


terjadi tanpa disengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku, dan
apa saja yang dipaksakan terhadapnya.” Yang dimaksud umatku dalam
hadits ini adalah umat ijabah yaitu umat yang diberikan hidayah oleh Allah
untuk memeluk Islam.465 Adapun maksud sabda Nabi di atas, bahwa Allah
memaafkan kesalahan dari umatku atau menghapusnya dari mereka.

Tentang keliru dan lupa, al-Qur’an menegaskan bahwa keduanya


dimaafkan. Allah berfirman: “... Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan .... ” (Qs. Al-Baqarah
[2]: 286) “Jika seorang hakim akan menghukumi, kemudian ia berijtihad lalu
ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia akan
menghukumi, kemudian berijtihad lalu ijtihadnya salah (keliru) maka ia
mendapat satu pahala.”466

Sedangkan tentang pemaksaan, maka al-Qur-an menegaskan bahwa


hal itu dimaafkan. “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan mereka akan mendapat adzab yang besar. ” (Qs. An-Nahl [16]: 106)467

Pembahasan pertama'. Hukum Keliru Dan Lupa.

465
Fath al-Qawiyy al-Matin fi Syarh al-Arba’in (hlm. 130).
466
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 7352), Muslim (no. 1716), Ahmad (TV/198), Abu Dawud (no.
3574), Ibnu Majah (no. 2314), Ibnu Hibban (no. 5039-at-Ta'liqat al-Hisan), dan al-Baihaqi (X/118-
119).
467
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/366).
211
Keliru ialah seseorang bermaksud mengerjakan sesuatu kemudian
pekerjaan sesuatu itu tidak sesuai dengan yang ia maksudkan, misalnya
seseorang bermaksud membunuh orang kafir kemudian pembunuhan
tersebut terjadi pada orang Muslim. Lupa ialah seseorang ingat sesuatu
kemudian ia lupa kepadanya pada saat mengerjakannya. Keliru dan lupa
dimaafkan bagi orang tersebut, dalam arti ia tidak berdosa karena keduanya,
namun penghapusan dosa tidak berarti tidak ada hukum karena lupanya,
misalnya seseorang lupa berwudhu’ kemudian ia shalat karena menduga
dirinya sudah dalam keadaan bersuci. Ia tidak berdosa karenanya. Kemudian
jika terbukti bahwa ia shalat dalam keadaan berhadats, ia wajib mengulangi
shalatnya.

Pembahasan Kedua: Hukum Pemaksaan


Pemaksaan ada dua jenis, sebagai berikut.
Pertama: Orang yang tidak memiliki pilihan atas pemaksaan tersebut
secara total dan tidak kuasa menolaknya, misalnya orang yang dipukul
secara paksa dan dimasukkan ke tempat yang ia telah bersumpah tidak
memasukinya, atau ia dibawa (digotong) secara paksa dan orang lain
dipukuli dengan badannya hingga orang lain tersebut mati sedang ia tidak
sanggup menolaknya, atau seorang wanita dibaringkan secara paksa
kemudian diperkosa dan wanita tersebut tidak kuasa menolaknya. Dalam
kasus tersebut, pelaku tidak berdosa menurut kesepakatan (para ulama) dan
pelanggaran sumpahnya tidak berdampak hukum menurut jumhur ulama.
Diriwayatkan dari al-Auza’i tentang wanita yang bersumpah terhadap
sesuatu kemudian ia disuruh suaminya secara paksa untuk melanggarnya,
maka menurutnya, kaffarat pelanggaran sumpah tersebut harus dibayar
suaminya.

Kedua: Orang yang dipaksa memukul orang lain dan sebagainya


hingga ia mengerjakannya. Dilakukannya pemaksaan itu masih terkait
dengan taklif (yakni dia masih punya kewajiban untuk menolak pemaksaan
tersebut). Jika ia sanggup untuk tidak mengerjakan perbuatan yang
dipaksakan kepadanya, maka ia bebas mengerjakannya, namun tujuannya
bukan perbuatan yang dipaksakan tersebut, namun menghilangkan mudharat
darinya. Jadi, ia bebas di satu sisi dan tidak bebas di sisi yang lain. Oleh
karena itu, para ulama berbeda pendapat apakah ia mukallaf atau tidak?
Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang dipaksa membunuh
orang yang darahnya dilindungi, orang tersebut tidak boleh membunuhnya,
karena pada hakikatnya ia membunuh dengan ikhtiarnya untuk
menyelamatkan dirinya dari pembunuhan. Ini adalah ijma' para ulama yang
terkenal. Pada zaman Imam Ahmad ada ulama yang menentang ijma’
tersebut. Jika orang yang dipaksa tersebut membunuh orang yang dipaksa
untuk membunuhnya ketika itu juga, menurut jumhur ulama, keduanya
(orang yang dipaksa dan pemaksa), sama-sama terkena kewajiban qishash
karena keduanya terlibat dalam pembunuhan. Ini adalah pendapat Imam
Malik, asy-Syafi’i pada salah satu pendapat terkenal darinya, dan Imam
Ahmad. Ada yang mengatakan bahwa qishash wajib dijatuhkan kepada
orang yang memaksa membunuh karena orang yang dipaksa membunuh itu
sekedar seperti alat. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu dari dua

212
pendapat Imam asy-Syafi’i.

Beberapa Kandungan Hadits

1. Luasnya rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya, yaitu dengan


mengangkat dosa yang dilakukan tanpa sengaja, lupa dan dipaksa.
2. Keutamaan umat Islam.
3. Apabila sesuatu yang haram dilakukan karena jahil (bodoh), lupa atau
dipaksa, maka tidaklah berdosa.
4. Terangkatnya dosa bagi orang yang bersalah bukan berarti tidak
ditegakkan hukum padanya.
5. Orang yang dipaksa kafir hingga terancam dibunuh, maka tidak ada
dosa, dengan syarat hatinya tetap beriman.
6. Allah Maha Pemaaf atas segala kesalahan karena ketidaksengajaan,
lupa, atau dipaksa.
7. Di antara sifat Allah adalah memaafkan hamba-hamba-Nya.

HADITS KEEMPAT PULUH


HIDUPLAH SEAKAN-AKAN SEBAGAI ORANG
ASING ATAU MUSAFIR

ِ ‫ " ُك ْن‬:‫ال‬ َ َ‫ َوق‬،‫ول اللَّ ِه ِِبَْن ِكِب‬


ُ ‫َخ َه َر ُس‬َ ‫ أ‬:‫ال‬ َ َ‫َع ْن ابْن عُ َمَر َر ِض َ اللَّهُ َعْن ُه َما ق‬
‫ إ َذا‬:‫ول‬ُ ‫ َوَكا َن ابْ ُن عُ َمَر َر ِض َ اللَّهُ َعْن ُه َما يَ ُق‬."‫الدعنْيَا َكأَنَّك َغ ِري أ َْو َعابُِر َسبِ ٍيل‬
‫ َو ُخ ْه ِم ْن ِص َّحِك‬،َ‫ت فَ ََل تَْنَ ِظْر الْ َم َناء‬ ْ ‫ َوإِذَا أ‬،‫اح‬
َ ‫َصبَ ْح‬ َّ ‫ت فَ ََل تَْنَ ِظْر‬
َ َ‫الصب‬ َ ‫أ َْم َنْي‬
213
.‫ َوِم ْن َحيَاتِك لِ َم ْوتِك‬،‫لِ َمَر ِضك‬
‫َرَواهُ الْبُ َرا ِر ع‬
ُ
Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah ‫ﷺ‬memegang kedua pundakku, lalu
bersabda: ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing
atau seorang musafir’ [Dan persiapkan dirimu termasuk orang yang
akan menjadi penghuni kubur [pasti akan mati].” Dan Ibnu Umar pernah
mengatakan: “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi
hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore hari.
Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum
matimu.”
[HR. Al-Bukhari]

Syarah Hadits

Hadits ini merupakan landasan tentang pendeknya angan-angan di


dunia, dan orang Mukmin tidak pantas menjadikan dunia sebagai tempat
domisili yang ia tenteram di dalamnya, namun seharusnya ia menganggap
hidup di dunia ini seperti orang yang sedang bersiap-siap untuk bepergian.
Yaitu ia wajib menyiapkan perbekalannya untuk bepergian. Ini sesuai
dengan wasiat-wasiat para Nabi dan Rasul dan para pengikut mereka. Allah
berfirman tentang orang yang beriman dari keluarga Fir’aun yang berkata:
“Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Qs. Al-
Mu’min [40]: 39) Nabi bersabda: “Apa urusanku dengan dunia?
Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpaan dunia ini ialah seperti
pengendara yang tidur siang di naungan pohon, ia istirahat kemudian
meninggalkannya.”468

Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya: “Sesungguhnya


dunia bukan negeri tetap bagi kalian karena Allah telah menetapkan
kehancuran baginya dan memutuskan kepergian bagi penghuninya. Betapa
banyak penghuni yang dipercayai tidak lama lagi hancur dan betapa banyak
orang mukim yang bergembira tidak lama lagi akan pergi. Karena itu,
hendaklah kalian—semoga Allah merahmati kalian— memperbaiki
kepergian kalian darinya dengan kendaraan paling baik yang ada pada kalian
dan berbekallah, sesungguhnya bekal paling baik ialah takwa.”469

Karena dunia bukan negeri domisili dan tempat tetap bagi orang
Mukmin, maka orang Mukmin di dalamnya harus bersikap dengan salah satu
dari dua sikap:
Pertama: Seperti orang asing yang menetap di negeri asing dan
obsesinya (tujuan dan cita-citanya) ialah mencari bekal untuk pulang ke
tanah airnya.

468
Hasan shahih: HR. Ahmad (I/391) dan al-Tirmidzi (no. 2377), dan beliau berkata: “Hadits
hasan shahih.”
469
Hilyah al-Auliya' (V/325, no. 7270).
214
Kedua: Seperti orang musafir yang tidak menetap sama sekali, namun
pada malam dan siangnya ia berjalan menuju negeri abadi.
Oleh karena itu, Nabi berwasiat kepada Ibnu Umar agar ia di dunia ini
berada di antara salah satu dari kedua sikap berikut:
Pertama: Orang Mukmin menempatkan dirinya di dunia ini seperti
orang asing dan ia membayangkan bisa menetap, namun di negeri asing.
Hatinya tidak bergantung dengan negeri asing tersebut namun bergantung
dengan tanah airnya, tempat ia kembali kepadanya. Ia bermukim di dunia
untuk menyelesaikan tujuan persiapannya untuk pulang ke tanah airnya
(yaitu Surga).

Kedua: Orang Mukmin menempatkan dirinya di dunia seperti musafir


yang tidak pernah mukim di satu tempat, namun tetap berjalan melintasi
tempat-tempat perjalanan hingga perjalanannya terhenti di tempat tujuan,
yaitu kematian. Barangsiapa sikapnya seperti ini di dunia, tujuannya ialah
mencari bekal untuk perjalanan dan tidak disibukkan dengan memperkaya
diri dengan perhiasan dunia. Oleh karena itu, Nabi berwasiat kepada
sejumlah Sahabatnya agar bekal mereka dari dunia seperti bekal
pengendara/musafir.

Salah seorang ulama Salaf menulis surat kepada saudaranya. Di


suratnya ia berkata: “Saudaraku, bayanganmu adalah engkau bermukim
padahal engkau terus-menerus berjalan. Engkau dituntun dengan penuntunan
yang cepat, kematian diarahkan kepadamu, dan dunia dilipat dari
belakangmu. Usiamu yang telah berlalu tidak kembali lagi kepadamu hingga
hari ditampakkannya seluruh kesalahan (hari Kiamat).”470

Al-Fudhail bin Iyadh berkata kepada seseorang: “Berapa usiamu?” Ia


menjawab: “Enam puluh tahun.” Al-Fudhail bin Iyadh berkata: “Kalau
begitu, sejak enam puluh tahun silam, engkau berjalan kepada Rabbmu dan
tidak lama lagi engkau tiba kepada-Nya.” Ia berkata: “Innalillahi wa inna
ilaihi raji’un.” Al-Fudhail berkata: “Tahukah engkau penafsiran ucapanmu
tadi? Penafsirannya, aku hamba Allah dan aku kembali kepada-Nya.
Barangsiapa ia mengetahui hamba Allah dan ia kembali kepada-Nya,
hendaklah ia mengetahui bahwa dirinya akan dihisab (pada hari kiamat).
Barangsiapa mengetahui bahwa dirinya akan dihisab (pada hari kiamat),
hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya. Barangsiapa mengetahui
bahwa dirinya akan ditanya, hendaklah ia menyiapkan jawaban
pertanyaannya.” Ia berkata: “Bagaimana caranya?” Fudhail berkata:
“Sederhana sekali.” Ia berkata: “Apa itu?” Fudhail berkata: “Engkau
memperbaiki umur yang masih ada, niscaya dosa-dosamu yang telah lalu
diampuni, karena jika engkau berbuat salah di sisa usia maka engkau disiksa
karena dosa-dosa yang lalu dan dosa-dosa sekarang.”471

Wasiat Ibnu Umar dalam hadits ini, dipetik dari hadits yang ia
riwayatkan. Wasiatnya berisi tentang pendeknya angan-angan dan jika

470
‘Iqaz al-Himam (hlm. 546).
471
Hilyah al-Auliya’ (VIII/116, no. 11565). Lihat juga Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/383).
215
seseorang berada di sore hari maka tidak perlu menunggu pagi hari serta jika
ia berada di pagi hari maka tidak perlu menunggu sore hari. Bahkan ia
menduga ajal menjemputnya sebelum itu. Banyak sekali ulama yang
menafsirkan zuhud di dunia dengan pengertian seperti itu.

Perkataan Ibnu Umar: “Gunakan waktu sehatmu sebelum sakitmu dan


hidupmu sebelum matimu.” Maksudnya, kerjakan amal-amal shalih dalam
keadaan sehat sebelum engkau dipisahkan dengannya oleh sakit dan
kerjakan amal-amal shalih dalam kehidupan ini sebelum engkau dipisahkan
dengannya oleh kematian.

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan


kesungguhan mereka (para ulama Salaf) dalam menggunakan waktu. Yaitu
riwayat yang disebutkan Imam al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala
tentang Dawud bin Abi Hindun (wafat 139 H). Dawud berkata: “Ketika kecil
aku bolak-balik pasar. Ketika pulang, kuusahakan diriku untuk berdzikir
kepada Allah hingga tempat tertentu. Jika telah sampai tempat itu,
kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah hingga tempat selanjutnya...
hingga sampai di rumah.”472 Tujuannya adalah menggunakan waktu dari
umurnya.

Muhammad bin Abdul Baqi (wafat th. 535 H) mengatakan: “Aku


tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari umurku untuk
bermain-main dan berbuat yang sia-sia.”473 Ketahuilah sesungguhnya waktu
itu dibagi menjadi beberapa bagian. Al-Khalil bin Ahmad (wafat th. 160 H)
mengatakan: “Waktu itu ada tiga bagian: waktu yang telah berlalu darimu
dan takkan kembali, waktu yang sedang kau alami, dan lihatlah bagaimana ia
akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu, bisa jadi engkau tidak
akan mendapatkannya.”474

Di antara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah mengatur waktu


dalam menuntut berbagai ilmu, mengaturnya untuk setiap ilmu yang sesuai,
dan mengaturnya untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya. Imam
Ibnu Jama’ah mengatakan tentang jenis yang kelima dari adab-adab penuntut
ilmu terhadap dirinya sendiri: “Hendaklah ia membagi waktu malam dan
siangnya, dan memanfaatkan umur yang tersisa padanya karena umur
yang tersisa tidak ada bandingannya.”475
Di antaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam
bergaul, keluar ke jalan-jalan, ke pasar atau tempat lainnya untuk
melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat. Karena
perbuatan seperti ini bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dengan
demikian wajib berhati-hati darinya. Bahaya yang paling kecil adalah
menyia-nyiakan waktu dengan teman duduknya, dan tidak adanya manfaat

472
Siyar A’lam al-Nubala’ (VI/378).
473
Siyar A’lam al-Nubala’ (XX/26).
474
Thabaqat al-Hanabilah (I/288). Dinukil dari kitab Ma’alim fi Thariq Thalab al-'Ilmi (hlm. 35-
36).
475
Ibid (hlm. 117-118).
216
yang mereka peroleh dibalik duduk-duduknya itu karena banyaknya canda,
berbasa-basi, bergurau, dan ngobrol yang tidak ada manfaatnya.
Di antara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah meninggalkan
berlebih-lebihan dalam tidur. Tidurlah sesuai dengan kebutuhan. Imam
Ibnu Jama’ah mengatakan mengenai adab penuntut ilmu syar’i dengan
dirinya sendiri: “Hendaklah menyedikitkan tidur selama tidak mendatangkan
kemudharatan pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu
tidurnya melebihi delapan jam, yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika
keadaannya memungkinkan untuk tidur kurang dari waktu tersebut, maka
lakukanlah.”476
Di antaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam
makan, minum dan jima’ (bersetubuh). Begitu pula meninggalkan
perhatian dalam mencari makanan yang berlebihan, karena hal itu
menghabiskan waktu, baik dalam memperolehnya maupun mempersiapkan
berbagai sebabnya.
Di antara bentuk memanfaatkan waktu yang lainnya adalah menjauhi
banyak gurau dan tawa. Hendaklah mengadakan perkumpulan untuk
menghafalkan al-Qur-an, giat menghadiri kajian ilmiah dan majelis-majelis
ilmu, giat mendengarkan kaset dan CD kajian Islam dan mencatat poin-poin
penting darinya, menghafalkan hadits-hadits Rasulullah ‫ﷺ‬, dan yang lainnya.
Kewajiban kalian, wahai penuntut ilmu, adalah memelihara waktumu,
jangan kau habiskan, kecuali untuk hal yang bermanfaat karena ia adalah
modalmu, bersungguh-sungguhlah menjaganya sebagaimana
kesungguhanmu dalam menuntut ilmu. Wallahul Muwaffiq.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ada empat hal yang dapat
membuat hati menjadi keras, yaitu berlebihan dalam berbicara,
berlebihan dalam makan, berlebihan dalam tidur, dan berlebihan
dalam bergaul.477
Seorang Mukmin wajib menggunakan waktunya pada berbagai
perkara yang bermanfaat, karena umur (waktu) akan dimintakan
pertanggung-jawabannya oleh Allah, digunakan untuk apa? Begitu pula
ilmu, apa yang telah diamalkan darinya, dan selainnya. Nabi bersabda:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia
ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya, apa yang
telah diamalkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia
habiskan, dan tentang tubuhnya—capek dan letihnya—untuk apa ia
gunakan.”478

Beberapa Kandungan Hadits

1. Rasulullah ‫ﷺ‬ memegang pundak Ibnu Umar sebagai kecintaan dan


pentingnya masalah yang akan disampaikan,

476
Tadzkirat al- Sami’ wa al-Mutakallim (hlm. 124-125).
477
Lihat Fawa-id al-Fawa-id (hlm. 262).
478
Shahih: HR. Al-Tirmidzi (no. 2417), ad-Darimi (I/135), dan Abu Ya’la dalamMusnad-nya (no.
7397) dari Abu Barzah Nadh-lah bin Ubaid al-Aslami. Al-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan
shahih.”
217
2. Semangat Rasulullah ‫ﷺ‬untuk menyampaikan kebaikan kepada
umatnya.
3. Orang Mukmin wajib menggunakan waktunya untuk hal yang
bermanfaat,
4. Anjuran untuk bersegera dalam melaksanakan ketaatan.
5. Orang Mukmin diperintah untuk selalu mengingat mati.
6. Orang yang cerdas dan pintar adalah orang yang selalu ingat mati dan
mempersiapkan bekal amal shalih untuk akhirat.
7. Sebaik-baik bekal adalah bertakwa kepada Allah.
8. Anjuran untuk zuhud di dunia.
9. Bersegera untuk melakukan amal-amal shalih pada waktunya.
10. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban
dan menjauhi larangan.
11. Kesehatan dan hidup adalah kesempatan yang baik bagi seorang
Mukmin untuk melakukan kebajikan.
12. Selama masih hidup dan dalam keadaan sehat, selayaknya orang yang
berakal senantiasa beramal shalih, sebelum ajal menjemput sehingga
berakhirlah segala aktifitasnya.
13. Dunia pada hakikatnya adalah kehidupan yang menipu.
14. Tujuan hidup seorang Mukmin adalah akhirat, yaitu untuk menggapai
Surga, bukan dunia. Dunia sebagai tempat bercocok tanam untuk
akhirat.
15. Orang yang beruntung dan hatinya sehat adalah orang yang
menghargai waktu untuk melakukan ketaatan, ibadah kepada Allah,
dan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk akhiratnya dan
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.
16. Orang yang sukses dan beruntung adalah orang yang dimasukkan ke
dalam Surga dan dijauhkan dari api Neraka.

HADITS KEEMPAT PULUH SATU


MENGIKUTI SYARI’AT ALLAH ADALAH
TIANG KEIMANAN

ِ ‫َع ْن أَِِب ُمَ َّم ٍد َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع‬


َ َ‫ ق‬:‫ قَا َل‬،‫اص َر ِض َ اللَّهُ َعْن ُه َما‬
‫ال‬
."‫ت بِِه‬ ِ ِ ِ ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّه "َل يُ ْؤم ُن أ‬
ُ ‫َح ُد ُك ْم َح ََّّت يَ ُكو َن َه َواهُ تَبَ ًعا ل َما جْئ‬ َُ
ٍ ‫ص ِح‬
.‫يك‬ ٍ َ‫اس َّج ِة" بِِإسن‬
‫اد‬ ْ ْ " ِ َِ‫ رويْنَاهُ ِ ك‬،‫ح ِديث حنن ص ِحيك‬
‫اب‬
َ ُ ََ َ ََ َ
218
“Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amr bin al-Ash, ia berkata:
“Rasulullah ‫ﷺ‬ Ig bersabda: ‘Tidak sempurna iman salah seorang dari
kalian sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa.’”
[Hadits hasan shahih, yang kami riwayatkan dalam kitab al-Hujjah dengan
sanad yang shahih]

Syarah Hadits

Yang dimaksud oleh Imam al-Nawawi adalah Kitab al-Hujjah ‘ala


Tarik al-Mahajjah. Kandungan kitab tersebut menyebutkan tentang
ushuluddin (prinsip-prinsip agama) menurut kaidah-kaidah Ahlul Hadits
Salafiyyah. Penulisnya yaitu Syaikh Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-
Maqdisi asy-Syafi’i az-Zahid (wafat th. 490 H).479 Hadits ini diriwayatkan
juga dalam kitab akidah Ahlul Hadits Salafiyyah lainnya seperti Al-Hafidzh
Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 104) dan Imam Ibnu Abi Ashim
dalam as-Sunnah (no. 15).

Ibnu Rajab berkata: “Anggapan bahwa hadits ini shahih itu jauh
sekali karena beberapa alasan. Hadits ini diriwayatkan hanya oleh Nu’aim
bin Hammad al-Marwazi. Nu’aim bin Hammad al-Marwazi ini, kendati
dianggap sebagai perawi tepercaya oleh sejumlah imam dan haditsnya
diriwayatkan al-Bukhari480, namun para ulama hadits berbaik sangka
kepadanya karena keteguhannya terhadap sunnah, dan ketegasannya dalam
menentang para penurut hawa nafsu (ahli bid’ah). Karenanya, para ulama
hadits mengatakan bahwa Nu’aim keliru dan meragukannya di sebagian
hadits. Mereka menemukan hadits-hadits munkarnya, maka mereka
memvonis Nu’aim sebagai perawi dha’if.

Shalih bin Muhammad al-Hafizh meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang


pernah ditanya tentang Nu’aim kemudian menjawab: “Ia tidak ada apa-
apanya, namun ia pengikut sunnah.” Shalih berkata: “Nu’aim bin Hammad
al-Marwazi menceritakan hadits dari hafalannya dan mempunyai banyak
hadits munkar yang dia tidak ada yang mengikuti (yakni dia menyendiri).”
Abu Dawud berkata: “Nu’aim mempunyai 20 hadits dari Nabi dan semuanya
tidak ada asalnya.” Al-Nasai berkata: “Ia perawi dha’if.” Ia pernah berkata:
“Ia bukan perawi tepercaya.” Imam al-Nasai juga pernah berkata: “Ia banyak
meriwayatkan sendirian hadits-hadits dari para imam terkenal, jadi ia masuk
dalam kategori perawi yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.” Abu Zur’ah
ad-Dimasyqi berkata: “Ia menyambungkan sanad hadits, padahal hadits
tersebut dianggap mauquf oleh. para ulama.” Maksudnya, ia me-marfu’-kan
hadits-hadits mauquf Abu Arubah al-Harrani berkata: “Urusannya gelap dan
tidak jelas.” Abu Sa’id bin Yunus berkata: “Ia meriwayatkan hadits-hadits
munkar dari para perawi tepercaya.” Ulama lainnya berkata bahwa Nu’aim

Tentang biografinya dapat dilihat dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala’ (XIX/136 dan seterusnya).
479
480
Yakni Imam al-Bukhari meriwayatkan secara maqrun (disertai perawi lain) yakni Imam al-
Bukhari tidak meriwayatkan darinya dalam asal (pokok) kitab Shahih-nya. Lihat Tahdzib al-
Tahdzib (IV/234) cet. Mu’assasah ar-Risalah.
219
bin Hammad al-Marwazi membuat hadits-hadits palsu.481

Sanad Nu’aim bin Hammad al-Marwazi diperdebatkan. Hadits


tersebut diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi dari Hisyam. Hadits ini juga
diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru
kami, Hisyam atau yang lainnya, berkata kepada kami. Menurut riwayat
tersebut, guru ats-Tsaqafi tidak dikenal. Hadits tersebut juga diriwayatkan
dari Nu’aim bin Hammad al-Marwazi dari ats-Tsaqafi yang berkata,
sebagian guru-guru kami berkata kepada kami, Hisyam atau yang lainnya
berkata kepada kami. Menurut riwayat ini, ats-Tsaqafi meriwayatkan hadits
tersebut dari guru yang tidak diketahui namanya dan gurunya (yang tidak
diketahui tersebut) meriwayatkannya dari perawi yang tidak diketahui
(apakah Hisyam atau yang lainnya). Jadi, ketidakjelasan perawi semakin
bertambah dalam sanad hadits ini.

Dalam sanadnya terdapat perawi Uqbah bin Aus al-Sadusi al-Bashri.


Ada yang mengatakan, Ya’qub bin Aus. Abu Dawud, al-Nasai, dan Ibnu
Majah meriwayatkan haditsnya dari Abdullah bin Amr dan ada yang
mengatakan Abdullah bin Umar. Jadi, ada kerancuan dalam sanadnya. Ia
dianggap sebagai perawi tepercaya oleh al-Ijli, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban.
Ibnu Khuzaimah berkata: “Ibnu Sirin kendati mulia meriwayatkan hadits
darinya.” Ibnu Abdil Barr berkata: “Ia Majhul (tidak diketahui
identitasnya).” Al-Ghullabi berkata dalam Tarikh-nya: “Para ulama menduga
bahwa Uqbah bin Aus tidak mendengar hadits tersebut dari Abdullah bin
Amr, namun ia mengatakan: ‘Telah berkata Abdullah bin Amr.’ Jika
demikian, riwayat Uqbah bin Aus dari Abdullah bin Amr terputus. Wallahu
a’lam.”482

Jadi kesimpulannya, hadits ini dha’if (lemah). Akan tetapi makna


hadits ini benar, tanpa harus melihat sanadnya, sebab hawa nafsu manusia
harus mengikuti risalah yang dibawakan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬ .483 Nabi
bersabda: “Tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang dari kalian
hingga aku menjadi orang yang paling dicintainya melebihi (cintanya
kepada) orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.”484

Makna hadits ini adalah seseorang tidak menjadi Mukmin dengan


keimanan yang sempurna hingga cintanya mengikuti apa yang dibawa oleh
Rasulullah ‫ﷺ‬ , berupa perintah, larangan, dan selainnya. Jadi, ia mencintai
apa saja yang diperintahkan Nabi dan membenci apa saja yang beliau larang.
Makna seperti itu disebutkan dalam al-Qur’an di banyak ayat. Allah
berfirman: “Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka
menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa’ [4]: 65)

481
Lihat Tahzhibut Tahzhib (X/409-413).
482
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (II/394-395).
483
Syarah al-Arba’in al-Nawawiyyah karya Syaikh al-Utsaimin (hlm. 426-427).
484
HR. Al-Bukhari (no. 15) dan Muslim (no. 44 [70]) dari Anas bin Malik.
220
Jadi, setiap orang Mukmin wajib mencintai apa saja yang dicintai
Allah dengan cinta yang mengharuskannya untuk mengerjakan apa saja yang
diwajibkan Allah kepadanya. Jika cintanya bertambah, ia mengerjakan apa
saja yang disunnahkan Allah kepadanya dan itu keutamaan darinya.
Orang Mukmin juga harus membenci apa saja yang dibenci Allah
dengan kebencian yang mengharuskannya berhenti dari apa saja yang
diharamkan Allah kepadanya. Jika kebenciannya meningkat, sampai
mewajibkannya berhenti dari apa saja yang makruh, maka itu keutamaan
darinya.
Al-Hafidzh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari dan Muslim di atas, beliau mengatakan: “Cinta
kepada Nabi merupakan pokok (prinsip) keimanan dan ia bersanding
dengan cinta kepada Allah. Dan Allah telah mengaitkan cinta kepada Nabi-
Nya dengan cinta kepada-Nya serta mengancam orang-orang yang
mendahulukan cinta kepada keluarga, harta, dan tanah air dari cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya

Umar datang kepada Nabi seraya berkata: “Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬ ,


engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Kemudian Nabi
berkata: “Tidak wahai Umar, sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu
sendiri.” Lalu Umar berkata: “Demi Allah, engkau sekarang lebih aku cintai
daripada diriku sendiri.” Maka Nabi berkata: “Sekarang wahai Umar.”485

Adapun tanda seseorang mengedepankan cinta kepada Rasul dari


cinta kepada seluruh makhuk ialah apabila terjadi pertentangan antara
mentaati perintah Rasul dengan sesuatu yang dia cintai, kemudian dia lebih
memilih mentaati perintah Rasul, maka ini merupakan bukti dari pengakuan
cintanya kepada Rasul. Akan tetapi sebaliknya, jika ia lebih mengedepankan
sesuatu yang ia cintai dari kesenangan dunia daripada mentaati Rasul, maka
ia belum menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya, yaitu meraih
kesempurnaan iman.”486

Abu Ya’qub Al-Nahrujuri berkata: “Siapa saja yang mengaku


mencintai Allah, namun tidak menyesuaikan diri dengan Allah dalam
perintah-Nya, maka pengakuannya tidak benar. Setiap pecinta Allah namun
tidak takut kepada-Nya adalah orang tertipu.”487

Beberapa Kandungan Hadits

1. Peringatan kepada manusia agar tidak menjadikan akal, kebiasaan,


dan hawa nafsu sebagai hukum yang lebih didahulukan dari apa yang
dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬.

485
HR. Al-Bukhari (no. 6632) dan Ahmad (IV/233) dari Abdullah bin Hisyam.
486
Fath al-Bari fi Syarhi Shahih al-Bukhari karya Ibnu Rajab al-Hanbali (I/43-44), tabqiq Abu
Mu’adz Thariq bin Awadhullah bin Muhammad, cet. III, Dar Ibnil Jauzi 1425 H dengan sedikit
diringkas.
487
Hilyah al-Auliya’ (X/380-381, no. 15518).
221
2. Wajib bagi manusia untuk berdalil terlebih dahulu sebelum
menghukumi.
3. Manusia tidak dikatakan beriman dengan keimanan yang sempurna
hingga kecintaannya mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi.
4. Wajib berhukum dengan syari’at Islam dalam segala sesuatu.
5. Kecintaan seorang hamba terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya
cintai merupakan kesempurnaan iman.
6. Membenci apa-apa yang datang dari Rasulullah ‫ﷺ‬ akan meniadakan
iman seorang Muslim, dan itu berpengaruh pada pokok iman atau
kesempurnaannya.
7. Iman bertambah dan berkurang, dan ini adalah prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.
8. Wajib mengedepankan perkataan Rasulullah ‫ﷺ‬ daripada perkataan
orang selain beliau.
9. Haram mencintai apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.
10. Wajib mendahulukan dalil naqli dari dalil akal apabila keduanya
bertentangan.
11. Tidak ada hak pilih bagi seseorang terhadap satu perkara yang telah
diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
12. Setiap Muslim wajib mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-
Nya daripada cinta terhadap anak, orang tua, harta, tanah air, dan
lainnya.

HADITS KEEMPAT PULUH DUA


LUASNYA AMPUNAN ALLAH

َ ‫ال اللَّهُ تَ َع‬ ُ ‫ول اللَّ ِه يَ ُق‬ َ ‫ َِس ْعت َر ُس‬:‫ال‬ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
‫ "يَا ابْ َن‬:‫اَل‬ َ َ‫ ق‬:‫ول‬ َ َ‫ك ق‬ َ ْ ِ َ‫َع ْن أَن‬
‫ يَا ابْ َن‬،‫ت لَك َعلَى َما َكا َن ِمْنك َوَل أُبَ ِال‬ ُ ‫ك َما َد َع ْو ِتِن َوَر َج ْو ِتِن َغ َفْر‬ َ َّ‫آد َم! إِن‬
َ
ِ َّ ‫آدم! لَو ب لَغت ذُنُوبك عنا َن‬
‫آد َم! إنَّك‬ َ ‫ يَا ابْ َن‬،‫ت لَك‬ ُ ‫اسَ ْغ َفْر ِتِن َغ َفْر‬
ْ َّ‫الن َماء ُُث‬ ََ ُ ْ َ َ ْ َ َ
"‫ض َخطَايَا ُُثَّ لَِقي ِِن َل تُ ْش ِرُك ِِب َشْيئًا َْلَتَْيُك بُِقَر ِاهبَا َم ْغ ِفَرًة‬ ِ ‫اب ْاْل َْر‬ ِ ‫لَو أتَْي ِِن بُِقر‬
َ ْ
222
.
.‫ص ِحيك‬ ِ َ َ‫ُ وق‬ ِِ
َ ‫ َحديث َح َنن‬:‫ال‬ َ ‫َرَواهُ ال ِّْرمه ع‬
, bersabda:
Dari Anas bin Malik ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬
‘Allah berfirman: ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau
berdoa dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni
dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Hai anak
Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi langit, kemudian
engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan
Aku tidak peduli. Hai anak Adam! Jika engkau datang kepada-Ku
dengan membawa dosa-dosa hampir sepenuh bumi kemudian engkau
bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku
dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan
memberikan ampunan sepenuh bumi.’” [HR. Al-Tirmidzi, dan beliau
berkata: “Hadits ini hasan shahih.”]

Syarah Hadits

Hadits ini menyebutkan tiga hal untuk mendapatkan ampunan yakni


sebagai berikut:
Pertama: Doa disertai pengharapan. Firman Allah: “Hai anak
Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya
kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau
lakukan dan Aku tidak peduli.” Berdoa di sini disertai harapan, karena doa
diperintahkan dan dijanjikan untuk dikabulkan.

Kedua: Istighfar (minta ampun kepada Allah). Firman Allah: “Hai


anak Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi langit, kemudian
engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan
Aku tidak peduli.” Senantiasa istighfar (minta ampun kepada Allah),
kendati dosa-dosa seorang hamba mencapai awan langit. Istighfar ialah
meminta maghfirah (ampunan) dan maghfirah ialah perlindungan dari
keburukan dosa-dosa dan penutupan dosa-dosanya tersebut.

Ketiga: Tauhid, dan ini merupakan sebab terbesar untuk mendapatkan


ampunan. Firman Allah : “Hai anak Adam! Jika engkau datang kepada-
Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh bumi kemudian engkau
bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku
dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan
memberikan ampunan sepenuh bumi.” Tauhid merupakan faktor terbesar
penyebab adanya ampunan. Barangsiapa tidak mempunyai tauhid, ia tidak
mendapatkan ampunan. Dan barangsiapa membawa tauhid, sungguh ia
membawa faktor terbesar penyebab adanya ampunan.

Beberapa Kandungan Hadits

223
1. Keutamaan Adam dan keturunannya (Qs. Al-Isra’ [17]: 70).
2. Barangsiapa berdoa kepada Allah dan berharap kepada-Nya niscaya
Allah akan mengampuninya.
3. Berdoa harus diiringi dengan rasa harap.
4. Luasnya karunia Allah dan luasnya ampunan Allah kepada para
hamba-Nya.
5. Sekalipun dosa hamba itu besar dan banyak, maka ampunan Allah itu
lebih besar dan banyak.
6. Keutamaan istighfar dan taubat yaitu senantiasa minta ampun kepada
Allah dan bertaubat kepada-Nya, sebagai sebab diampuni dosa-
dosanya.
7. Apabila manusia banyak berbuat dosa lalu bertemu Allah dengan
tidak menyekutukan-Nya, maka Allah akan mengampuninya.
8. Tauhid yang ikhlas dan bersih dari syirik sebagai sebab utama
diampuninya semua dosa.
9. Keutamaan tauhid dan sangat besar ganjarannya.
10. Bantahan kepada Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar
selain syirik.
11. Menetapkan sifat kalam (berbicara) bagi Allah yang sesuai dengan
kemuliaan-Nya.
12. Penjelasan tentang makna dan konsekuensi yaitu meninggalkan
semua bentuk kesyirikan sedikit dan banyak, besar dan kecil, dan
tidak cukup hanya mengucapkan dengan lisan.
13. Menetapkan tentang adanya Kiamat, dibangkitkannya manusia,
adanya hisab dan balasan.
14. Menetapkan bahwa seluruh manusia akan bertemu dengan Allah pada
hari Kiamat kelak.

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – INDONESIA

Arab Latin Arab Latin Arab Latin


‫ا‬ a ‫س‬ s ‫ل‬ l
‫ب‬ b ‫ش‬ sy ‫م‬ m
‫ت‬ t ‫ص‬ sh ‫ن‬ n
‫ث‬ ts ‫ض‬ dha ‫و‬ w

224
‫ن‬ j ‫ط‬ tha ‫ه‬ h
‫ح‬ h ‫ظ‬ Z ‫ء‬ ‘
‫خ‬ Kh ‫ع‬ ‘ ُ y

‫د‬ D ‫غ‬ Gh

‫ذ‬ Dz ‫ف‬ F
‫ر‬ R ‫ق‬ Q
‫ز‬ Z ‫ك‬ K

Catatan :

1. Konsonan bersyaddah ditulis rangkap, seperti kata: “ ‫َربَّنَا‬ “, ditulis =


Rabbanâ.
2. Vokal panjang (madd) fathah (baris di atas), kasrah (baris di bawah)
dan dhammah (baris di depan), ditulis a, i, u, misalnya kata:
‫ني‬ ِ ِ
ُ ْ ‫ اَلْ َم َناك‬ditulis : al-masâkîn; ‫ اَلْ ُم ْفل ُح ْو َن‬ditulis : al-muflihûn.
Diftong ditulis : ‫ = أ َْو‬au, ‫ = أ ُْو‬u, َُ ِ
3. ْ ‫ = أ‬ai , ُْ ‫ = إ‬i
4. Kata sandang alif dan lam ( ‫) ال‬, baik diikuti oleh huruf Qamariyah
maupun huruf Syamsiyah, ditulis “al” di awalnya, misal :
ِ ‫اَلْ ُم ْؤِم ُن‬
ُ‫اَلْن َناء‬ ditulis : al-Nisâ’; ditulis : al-mu’min.

5. Ta’ al-marbuthah ( ‫ ) ة‬bila terletak di akhir kalimat ditulis : h, seperti ‫اللغة‬


ditulis : al-lughah. Bila terletak di tengah kalimat, ditulis “ t “, misalnya
frase: ُ‫اْل َعربِيَّة‬ ُ‫ اللغَة‬ditulis : al-lughât al-’arabiyyah.
َ
6. Penulisan kalimat Arab di dalam kalimat Indonesia ditulis menurut
ِ ‫وهو خي ر‬
tulisannya, misal : َ ْ ‫الرا ِزق‬
‫ني‬ َ َُْ َُ َ ditulis : wa huwa khair al-râziqîn.

225

Anda mungkin juga menyukai