Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ulumul hadits merupakan suatu ilmu pengetahuan yang kompleks dan
sangat menarik untuk diperbincangkan. Apalagi hadits adalah sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Qur’an. Salah satu hal permasalahan yang menarik
yang sampai saat ini masih diperbincangkan para ulama akan kami bahas di
dalam makalah ini yakni mengenai hadits maudhu’ yang menimbulkan
kontroversi dalam keberadaannya. Suatu pihak menanggapnya dengan apa
adanya, ada juga yang menanggapinya dengan beberapa pertimbangan dan
catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya secara langsung.
Hal ini dikarenakan kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah
SAW dengan waktu pembukuan hadits (hampir 1 abad) merupakan
kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk
memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang dinisbatkan kepada
Rasulullah SAW dengan alasan yang dibuat-buat. Kemudian kami sebagai
Mahasiswa yang dituntut untuk mengkaji dan memahami polemik
problematika umat yang salah satunya ditimbulkan dari adanya hadits
maudhu’ tersebut.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan hadits maudhu’ ?
b. Bagaimana sejarah munculnya hadits maudhu’ ?
c. Faktor apa saja yang mendorong munculnya hadits maudhu’ ?
d. Apa ciri-ciri hadits maudhu’ ini ?
e. Bagaimana hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ ?
f. Kitab-kitab apa saja yang memuat hadits maudhu’ ?
g. Bagaimana cara mengetahui hadits maudhu’ ?
C. Tujuan
a. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai hadits maudhu’.
b. Membantu pelajar mengerti dan memahami hadits maudhu’.
c. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Maudhu’


Apabila ditinjau dari segi bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk
isim maf’ul dari ‫وضع‬-‫يضع‬-‫عا‬$$$‫ وض‬yang berarti ‫اط‬$$$‫( االثق‬meletakkan atau
menyimpan); ‫تراع و اختالق‬$$‫( والف‬mengada-ada atau membuat-buat); dan ‫ترك‬$$‫ال‬
(ditinggal)1. Sedangkan pengertian hadits madhu’ menurut istilah adalah:

ُ‫ َأ ْو يَ ْف َع ْلهُ َأ ْو يُقَ َّره‬ ُ‫إختِالَقًا َو ِك ْذبًا ِم َّما لَ ْم يَقُ ْله‬


ْ ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هّللا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫س ْو ِل هّللا‬
ُ ‫ب ِإلَى َر‬ ِ ُ‫َما ن‬
َ ‫س‬

Artinya:
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan
dusta, padahal beliau tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits maudhu’
adalah:

‫س َوا ٌء َكانَ َذلِ َك َع ْمدًا‬ ْ ‫سلَّ َم‬


َ ‫زو ًرا َوبُ ْهتَانًا‬ َ ‫صلَّى هّللا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫س ْو ُل هَّللا‬
ُ ‫ب اِلَى َر‬ ُ ‫صنُ ْو ُع ا ْل َم ْن‬
ُ ‫س ْو‬ ْ ‫ا ْل ُم ْختَلَ ُع ا ْل َم‬
َ ‫اَ ْو َخ‬
‫طأ‬
Artinya:
“Hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini
dinisbahkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik disengaja
maupun tidak” .
Dari pengertian di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits
maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik perbuatan, perkataan maupun taqrirnya, secara rekaan atau dusta
semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’ disebut
juga dengan ”hadits palsu”.2 Dengan kata lain, hadits maudhu’ itu dibuat dan
dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan
buruk maupun baik sekalipun.3
1
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2011)
2
M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
3
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010) hal. 247

2
B. Sejarah Munculnya Hadits Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan
hadits. Beberapa pendapat mereka yakni:
1. Menurut Ahmad Amin (w. 1954 M), bahwa hadits maudhu’ telah ada
pada masa Rasulullah SAW. masih hidup dengan alasan pemahaman
terhadap hadits mutawatir yang mengancam orang yang berdusta pada
Nabi SAW. dengan balasan neraka (dikutip dari ‘Abd al-Hayy ibn
Muhammad ‘Abd al-Halim al-Laknawi, al-Atsar al-Marfu’ah fi al-
Akhbar al-Maudhu’ah, (Jeddah: al-Haramayn, tth) hal. 22-36 bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh banyak periwayat hingga mencapai
mutawatir, kurang lebih melalui enam puluh lima jalur sanad baik
riwayat al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, al-Nasa’i, Ibn Majah, al-
Daruquthni, Ahmad bin Hanbal maupun yang lainnya. Hadits yang
dimaksud tersebut seperti sabda Rasulullah berikut ini:
‫َمنْ َك َذ َب َعلَ َّي فَ ْليَتَبَ َّوا ْء َم ْق َع َدهُ ِمنَ النَّا ِر‬
“Bagi siapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya
dia mengambil tempat di neraka”.4
Menurutnya, dengan dikeluarkannya sabda tersebut, Rasulullah
SAW. mengira telah ada pihak-pihak yang ingin berbuat bohong kepada
dirinya. Oleh karena itu, hadits tersebut merupakan respon terhadap
fenomena yang ada saat itu. Yang berarti menggambarkan bahwa
kemungkinan besar pada zaman Rasulullah SAW. telah terjadi
pemalsuan hadits. Sehingga Rasulullah mengancam para pihak yang
membuat hadits palsu.
2. Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi mengatakan bahwa pemalsuan
hadits berkenaan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa
Rasulullah SAW. Alasan yang dia kemukakan adalah hadits riwayat Al-
Thahawi (w. 321 H/933 M) dan Al-Thabrani (w. 360 H/971 M). Riwayat
al-Thahawi berasal dri ‘Abd Allah ibn Buraydah dari ayahnya sebagai
berikut:

4
Ibid., hal. 249

3
“Seseorang datang pada suatu komunitas dekat kota Madinah, ia
berkata, ‘Rasulullah SAW. menyuruh aku membuat keputusan hukum
untuk kalian berkenaan dengan ini dan itu dengan mengikuti pendapatku
sendiri’. Orang ini telah melamar seorang wanita dari komunitas
tersebut namun mereka menolak mengawinkannya dan ia pun pergi
menemui wanita yang akan dilamar itu. Komunitas itu mengirim utusan
kepada Nabi untuk menanyakan hal itu dan Nabi bersabda, ‘Musuh
Allah itu telah berbohong’. Ia kemudian mengutus seseorang dan
bersabda, ‘Jika kamu dapatkan orang itu massih hidup, maka hantamlah
tengkuknya, tetapi aku tidak yakin kamu akan mendapatkannya masih
hidup. Dan jika kamu mendapatkannya telah mai, maka bakarlah
mayatnya’. Ternyata orang itu didapatkannya telah dipatuk ular dan
mati lalu dibakarlah mayatnya. Pada saat itulah Nabi bersabda, ‘Barang
siapa dengan sengaja berbohong atas namaku, maka hendaklah ia
menempati tempat duduknya di neraka”.5
Hadits riwayat al-Thabrani berasal dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn
al-‘Ash sebagai berikut:
“Ada seseorang yang memakai pakaian Nabi dan ia datang ke suatu
rumah di Madinah sembari berkata, ‘Ssesungguhnya Nabi SAW. telah
menyuruhku menengok rumah tangga manapun yang aku kehendaki’.
Maka orang-orangpun menyediakan sebuah rumah untuknya, kemudian
mengutus seseorang kepada Nabi untuk menyampaikan hal itu.
Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar dan ‘Umar
ibn al-Khaththab, ‘Pergilah kalian berdua mendapati orang itu, jika
kalian mendapatinya hidup, maka bunuhlah kemudian bakar mayatnya
dengan api. Dan jika kalian mendapatinya telah mati, maka berarti
kalian bebas darinya. Kemudian bakarlah mayatnya’. Maka pergilah
Abu Bakar dan ‘Umar mencari orang itu namun didapatinya ia telah
keluar malam hari dan dipatuk ular hingga mati. Setelah mayatnya
dibakar, mereka berdua kembali kepada rasul dan menyampaikan apa

5
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010) hal. 251

4
yang terjadi. Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa dengan sengaja
berbohong atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya
di neraka”.6
Dalam kedua hadits tersebut dinyatakan bahwa pada masa Nabi
SAW. ada seseorang telah membuat berita bohong mengatasnamakan
Nabi SAW. Orang itu mengaku telah diberi wewenang nabi untuk
menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar
Madinah. Kemudian seseorang itu melamar seorang gadis dari
masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat itu lalu
mengirim utusan kepada Nabi untuk menginformasikan berita utusan
yang dimaksud tersebut. Ternyata nabi tidak pernah menyuruh seseorang
mengatasnamakan beliau itu. Nabi lalu menyuruh sahabatnya untuk
membunuh orang yang berbohong, seraya berpesan, apabila ternyata
orang yang bersangkutan telh meninggal dunia, maka jasad orang itu agar
dibakar.
Namun pendapat ini masih dianggap lemah oleh para ulama karena
tidak ada bukti yang mendukung atau membenarkan pernyataan yang
terkandung dalam matan hadits itu. Tidak pernah ditemukan dalam
sejarah hidup rasul bahwa beliau pernnah menyuruh membakar mayat
dan tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab terpercaya bahwa Nabi
pernah melakukan hal itu walaupun sekali saja7
3. Menurut jumhur ulama
Masuknya secara massal penganut agama lain ke dalam Islam,
yang merupakan dari keberhasilan dakwah Islamiyah ke seluruh pelosok
dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadits-hadits
palsu. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka ke Islam,
disamping ada yang benar-benar ikhlas, ada juga segolongan mereka
yang menganut agama Islam hanya karena terpaksa tunduk pada

6
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010) hal. 251-252
7
Ibid., hal 253

5
kekuasaan Islam pada waktu itu. Golongan ini kita kenal dengan kaum
Munafik.
Golongan tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki
terhadap Islam dan senantiasa menunggu peluang yang tepat untuk
merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati-hati orang-orang Islam.
Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan. Golongan inilah yang mulai
menaburkan benih-benih fitnah yang pertama. Salah seorang tokoh yang
berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman bin
Affan adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi  yang menyatakan
telah memeluk Islam.
Dengan bertopengkan pembelaan kepada Sayyidina Ali dan Ahli
Bait, ia menabur fitnah untuk fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan
bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari pada Utsman, bahkan lebih
berhak daripada Abu Bakar dan Umar. Hal itu karena, menurut Abdullah
bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi Saw. Lalu, untuk mendukung
propaganda tersebut, ia membuat suatu haditds maudhu’ yang artinya
“Setiap Nabi ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah
Ali”.
Namun penyebaran hadits maudhu’ pada masa ini belum begitu
meluas karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan
mengetahui dengan penuh yakin akan suatu kepalsuan suatu hadits. Para
sahabat sangat hati-hati dalam menghadapi hadits dan merka menjaga
keutuhan hadits yang disampaikan dengan ketat. Setelah zaman sahabat
berlalu, penelitian terhadap hadits-hadits Nabi SAW, mulai melemah. Ini
menyebabkan banyaknya periwayatan dan penyebaran hadits secara tidak
langsung telah menyebabkan terjadinya pendustaan terhadap Rasulullah
dan sebagian sahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik
antara umat Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang kepada
golongan tertentu yang mencoba bersekongkol dengan penguasa untuk
memalsukan hadits.

6
C. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadits Maudhu’
Terdapat beberapa faktor tentang penyebab hadits maudhu’ ini muncul,
antara lain sebagai berikut:
1. Pertikaian Politik
Kejadian ini timbul sesudah terbunuhnya  Khalifah Utsman bin
Affan oleh para pemberontak, tepatnya semenjak masa Khalifah ‘Ali bin
Abi Abi Yhalib (35-40 H). Pada masa itu umat Islam terpecah-belah
menjadi beberapa golongan.  Di antara golongan-golongan tersebut, untuk
mendukung golongannya masing-masing, mereka membuat hadits palsu.
Yang pertama paling banyak  membuat hadits maudhu’ adalah golongan
Syiah dan Rafidhah.8
Di antara hadits-hadits yang dibuat golongan Syi’ah adalah:

ٍ ‫َمنْ اَ َرا َد َأنْ يَ ْنظُ َر إلَى اَ َد َم ِفى ِع ْل ِم ِه وَِإلَى نُ ْو‬


‫ح ِفى تَ ْق َواهُ وَِإلَى ِإ ْب َرا ِه ْي َم فِي ِع ْل ِم ِه وَِإلَى‬
‫سى ِفي ِعبَا َدتِ ِه فَ ْليَ ْنظُ ْر ِإلَى َعلِي‬ َ ‫سى فِى َه ْيبَتِ ِه وَِإلَى ِع ْي‬ َ ‫ُم ْو‬
Artinya:
“Barang siapa tyang ingin melihat Adam tentang ketinggian ilmunya,
ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim tentang
kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat
Isa tentang ibadahnya, hendaklah melihat Ali”.
ُ‫ِإ َذ ّرَأ ْيتُ ْم ُم َعا ِويَهَ فَا ْقتُلُ ْوه‬
Artinya:
“Apabila kamu melihat Muawiyyah atas mimbarku, bunuhlah dia”.

Gerakan-gerakan orang Syi’ah tersebut diimbangi oleh golongan


jumhur yang bodoh dan tidak tahu akibat dari pemalsuan hadits tersebut
dengan membuat hadits-hadits palsu. Contoh hadits palsu tersebut:

ُ ‫ الَِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُم َح َّم ٌد َر‬:‫ب َعلَى ُك ِّل َو َرقَ ٍة ِم ْن َها‬


‫س ْو ُل‬ ٌ ‫َما فِى ا ْل َجنَّ ِة ش ََج َرةٌ ِإالَّ َم ْكت ُْو‬
ِّ ‫ َأبُ ْو بَ ْكر‬, ‫هّللا‬.
‫ ُع ْث َمانُ ُذ ْو ال ُّن ْو َر ْي ِن‬,ُ‫ ُع َم ُر ا ْلفَا ُر ْوق‬,ُ‫الص ِّد ْيق‬

8
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 176

7
Artinya:
“ Tak ada satu pohon pun dakam surga, melainkan tertulis pada tiap-tiap
dahannya: la ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, Abu bakar Ash-
Shiddieq, Umar al-Faruq, dan Utsman Dzunnuraini”.   
 Golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah membuat pula hadits
palsu yang menerangkan keutamaan Mu’awiyah, diantaranya:
ُ‫ َأنَا َو ِج ْب ِر ْي ُل َو ُم َعا ِويَة‬:ٌ‫اَُأل َمنَا ُء ثَالَثَة‬
Artinya:
“Orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu aku, Jibril dan Muawiyah”.

2. Adanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam


Golongan ini adalah dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan
Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap agama  Islam.
Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara terbuka maka
mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah
besar hadits maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam.
Sejarah mencatat Abdullah Bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang
berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, dia berani
menciptakan hadits maudhu’ pada saat masih banyak sahabat utama masih
hidup. Di antara hadits maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang Zindiq
tersebut adalah:
َ‫ق ا ْل ُمشَاة‬
ُ ِ‫الر ْكبَانَ َو يُ َعان‬
ُّ ‫صافِ ُح‬ ٍ ‫شيَّةً َعلَى َج َم ٍل اَ ْو َر‬
َ ُ ‫ ي‬,‫ق‬ ِ ‫يَ ْن ِز ُل َربُّنَا َع‬
Artinya:
“Tuhan kami turunkan dari langit pada sore hari, di Arafah dengan
bekendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang
yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang berjalan”.

ٌ‫النَّ ْظ ُر ِإلَى ا ْل َو ْج ِه ا ْل َج ِم ْي ِل ِعبَا ّدة‬


Artinya:
“Melihat (memandang) muka yang indah adalah ibadah”.

8
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadits maudhu’ dari kalangan
Zindiq,9 adalah:
a. Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar  4.000 hadits
maudhu’ tentang hukum halal-haram.
b.  Muhammad bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya dibunuh oleh Abu
Ja’far Al-Mansur.
c. Bayan bin Sam’an Al-Mahdi, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid
bin Abdillah.
3. Mempertahankan Mahzab dalam masalah Fiqh dan Kalam
Mereka yang fanatik terhadap Madzhab Abu Hanifah yang bernama
Ma’mun bin Ahmad menganggap tidak sah shalat  mengangkat kedua
tangan, membuat hadits maudhu’sebagai berikut:
َ َ‫ع فَال‬
ُ‫صالَةَ لَه‬ ِ ‫َمنْ َرفَ َع يَ َد ْي ِه فِي ال ُّر ُك ْو‬
Artinya:
“Barang siapa mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, tidak sah
shalatnya”.
Di bidang kalam terjadi perbedaan tentang qadim tidaknya al-
Qur’an. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an itu tidak qadim, ia
baru dan diciptakan, dengan kata lain kaum Mu’tazilah menganggap al-
Qur’an itu makhluk. Sedang ahli hadits yang diwakili Ahmad bi Hanbal
berpendapat bahwa al-Qur’an itu kalam Allah yang qadim. Untuk
memperkuat pendirian mereka, kelompok kedua membuat hadits palsu,
misalnya:
‫ق فَقَ ْد َكفَ َر‬
ٌ ‫َمنْ قَا َل ا ْلقُ ْرآنُ َم ْخلُ ْو‬
Artinya:
“Barang siapa mengatakan al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir”.
4. Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada
Allah
Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Melalui amalan-amalan yang
9
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 179

9
mereka ciptakan. Seperti hadits-hadits yang dibuat oleh Nuh ibn Maryam,
seorang tokoh hadits maudhu’, tentang keutamaan Al-Qur’an. Ketika
ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab: “ Saya dapati
manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya membuat
hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-qur’an”.10
5. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah.
Di antara ulama yang jahat dan masih diragukan kezuhudannya ada
yang membuat hadits palsu untuk mendekati penguasa agar memperoleh
fasilitas dari mereka. Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i yang
datang kepada Amirul mukminin Al-Mahdi, yang sedang bermain merpati.
Lalu ia menyebut hadits dengan sanadnya secara berturut-turut sampai
kepada Nabi Saw., bahwasanya beliau bersabda:

ٍ َ‫ص ٍل َأ ْو ُخفٍّ َأ ْو َحافِ ٍر َأ ْو َجن‬


‫اح‬ ْ َ‫ق ِإالَّ ِف ْي ن‬ َ َ‫ال‬
َ َ ‫سب‬
Artinya:
“Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan,
menunggang kuda, atau burung yang bersayap”.11
Pada mulanya ungkapan itu memang hadits dari Rasulullah, tetapi
aslinya tidak ada kata “burung”. Karena ia tahu jika khalifah al-Mahdi
suka bermain burung dan waktu itu dia melihat khalifah sedang bermain
burung merpati, maka ia menambahkan kata, ‘atau burung yang bersayap’,
untuk meyenangkan Al-Mahdi. Lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh dinar.
Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa tengkukmu
adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.” Lalu, khalifah al-
Mahdi memerintahkan kepada salah satu pengawalnya untuk menyembelih
merpati itu.
D. Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Berikut ini merupakan ciri-ciri hadits maudhu’ dilihat dari beberapa
sudut pandang:
1. Ciri-ciri yang terdapat pada Sanad

10
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 181
11
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012) hal. 233

10
Terdapat beberapa ciri-ciri ke-maudhu’-an yang ada pada sanad. Ciri-
ciri tersebut antara lain:
a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada
seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
b. Pengakuan dari si pembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru
tasawuf, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat Al-
Qur’an, maka dijawab: “Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits
ini kepadaku. Akan tetapi, kami melihat manusia membenci Al-
Qur’an, kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan
ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai
Al-Qur’an”.
c. Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada
pengakuan seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru,
padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir
sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn
Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam
Ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan
engkau pergi ke Syam?” Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H.”
Mendengar itu Ibnu Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia pada
tahun 245 H”.12
d. Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits
maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim,
kala ia berkunjung ke rumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan
burung merpati yang berkata:

ٍ َ‫ص ٍل َأ ْو ُخفٍّ َأ ْو َحافِ ٍر َأ ْو َجن‬


‫اح‬ ْ َ‫ق ِإالَّ ِفى ن‬ َ َ‫ال‬
َ َ ‫سب‬
Artinya:
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu
unta, mengadu kuda, atau mengadu burung”.
Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu burung),
untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh
12
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 183

11
ribu dinar. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ Aku bersaksi
bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta, atas Rasulullah SAW,
lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu hadits.
2. Ciri-ciri yang terdapat pada Matan
Terdapat juga beberapa ciri-ciri ke-maudhu’-an dalam matan, di
antaranya:
a. Keburukan susunan lafadznya. Seseorang yang memiliki keahlian
bahasa dan sastra memiliki ketajaman dalam memahami hadits Nabi
akan merasakan susunan kata, mana yang keluar dari mulut
Rasulullah SAW, dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut
Rasulullah SAW.
b. Kerusakan maknanya, misalnya:
 Karena irrasional, seperti hadits:
‫صلَّتْ بِا ْل َمقَ ِام َر ْك َعتَ ْي ِن‬
َ ‫س ْب ًعا َو‬
َ ‫ت‬
ِ ‫س ْب‬
َ ‫ت‬ ٍ ‫سفِ ْينَةَ نَ ْو‬
ِ ‫ح بِا ْلبَ ْي‬ َ َّ‫اَن‬
Artinya:
“Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling Ka’bah dan
bersembahyang di maqam Ibrahim dua raka’at”.
 Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau
menyalahi kenyataan, seperti hadits:
‫الَيُ ْولَ ُد بَ ْع َد ا ْل ِماَئ ِة َم ْولُ ْو ٌد هّلِل ِ ِف ْي ِه‬
Artinya:
“Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada
padanya keperluan bagi Allah”.13
 Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
ِ ُ‫اَ ْلبَا ِذ ْن َجان‬
ْ ‫شفَا ٌء ِمنْ ُك ِّل ش‬
‫َي ٍء‬
Artinya:
“Buah terong itu penawar bagi penyakit”.
 Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang
ditetapkan akal kepada Allah.  Akal menetapkan bahwa Allah

13
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 184

12
suci dari serupa dengan makhluqnya.14 Oleh karena itu, kita
menghukumi palsu hadits berikut ini:

‫س َها ِم ْن َها‬ َ َ‫س فََأ ْج َراهَا فَ َع ِرقَتْ فَ َخل‬


َ ‫ق نَ ْف‬ َ ‫ق ا ْلفَ َر‬
َ َ‫ِإنَّ هلَّلا َ َخل‬
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya,
maka berpeluhlah kuda itu, lalu Tuhan menjadikan dirinya dari kuda
itu”.
 Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam,
seperti hadits yang menerangkan bahwa ‘Auj ibnu Unuq
mempunyai panjang tiga ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya
dengan air bah, ia berkata: “Ketika topan terjadi, air hanya
sampai ke tumitnya saja. Kalu mau makan, ia memasukan
tangannya ke dalam laut, lalu  membakar ikan yang diambilnya
ke panas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung
tangannya”.
 Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal
sama sekali, seperti hadits:

‫ي‬$ْ ِ‫ب َحبِ ْيب‬


ُ ‫وحبِ ْي‬ ُ َ‫اَل ِّد ْي ُك اَأْل ْبي‬
َ ‫ي‬$ْ ِ‫ض ّحبِ ْيب‬
Artinya:
“Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril”.
 Bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an, Hadits mutawatir,
dan kaidah-kaidah kulliyah. Seperti Hadits:

ّ ‫الجنَّةَ ِإلَى‬
‫س ْب َع ِة أ ْبنَا ٍء‬ ِّ ‫َولَ ُد‬
َ ‫الزنَا الَيَ ْد ُخ ُل‬
Artinya:
“Anak zina itu tidak dpat masuk syurga sampai tujuh turunan”.15
Makna hadits di atas bertentangan dengan kandungan Q. S. Al-
An’am: 164, yaitu:
‫َوالَتَ ِز ُر َوا ِز َرةٌ ِو ْز َرُأ ْخ َرى‬
14
Munzier Suprapto, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
15
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012) hal. 239

13
Artinya:
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat
dibebankan kepada orng lain. Seorang anak sekali pun tidak dapat
dibebani dosa orang tuanya.
 Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-
perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar
terhadap perbuatan yang kecil. Contohnya:

َ َ‫َمنْ ُولِ َد لَهُ َولَ ٌد ف‬


‫ َكانَ ُه َو َو َم ْولُ ْو ُدهُ فِى ا ْل َجنَّ ِة‬،‫س َّماهُ ُم َح َّمدًا‬
Artinya:
“Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallh) maka Allah
menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000
lisan, dan setiap lisan yang mempunyai 70.000 bahasa yang dapat
memintakan ampun kepadanya”.
E. Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Umat Islam telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkan
hadits maudhu’dengan sengaja adalah haram secara mutlaq, bagi mereka
yang sudah mengetahui hadits itu palsu. Adapun bagi mereka yang
meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini
adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau membacanya), tidak
ada dosa atasnya.
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau
mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, tidak ada dosa
atasnya. Akan tetapi, sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau
hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, hendaklah
segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan, sedangkan dari jalan atau
sanad lain tidak ada sama sekali, hukumnya tidak boleh.
F. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Maudhu’
Para ulama muhaditsin, dengan menggunakan berbagai kaidah studi
kritis hadits, berhasil mengumpulkan hadits-hadits maudhu’ dalam sejumlah
karya yang cukup banyak, di antaranya:

14
a. Al-Maudhu’ Al-Kubra, karya Ibn Al-jauzi (ulama yang paling awal
menulis dalam ilmu ini).
b. Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya As-Suyuti
(Ringkasan Ibnu Al-jauzi dengan beberapa tambahan).
c. Tanzihu Asy-Syari’ah Al-marfu’ah an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-
Maudhu’ah, karya Ibnu Iraq Al-kittani (ringkasan kedua kitab tersebut).
d. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifak, karya Al-albani.
G. Usaha Para Ulama dalam Menanggulangi Hadits Maudhu’
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi
hadits maudhu’, dengan tujuan agar hadits tetap terpelihara dan bersih dari
pemalsuan tangan oramg-orang yang tidak bertanggung jawab. Di samping
itu, agar hadits-hadits maudhu’ tersebut tidak tercampur dengan hadits-hadits
shahih dari Rasulullah SAW. Di antara usaha-usaha tersebut antara lain
sebagai berikut16:
1. Memelihara Sanad Hadits
Maksudnya adalah, para ulama dahulu akan menerima dan
mengambil hadits dari rangkaian sanadnya. Jika orang yang
menyampaikan hadits itu terpercaya dan rangkaian sanadnya bukan
termasuk orang-orang yang berdusta, maka akan diambil haditsnya.
2. Meningkatkan Kesungguhan Penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan
penelitian dan pemeriksaan hadits yang mereka dengar atau yang mereka
terima dari sesamanya. Jika hadits yang diterima itu meragukan, atau
datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan
hadits, segera mereka mengadakan rihlah (perjalanan), sekalipun dalam
jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau
yang terlibat dalam kejadian dalam hadits tersebut. Mereka saling
mengingatkan agar tidak melupakan hadits dan mengetahui tang shahih
dan tidak shahih.
3. Mengisolir Para Pendusta Hadits

16
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012) hal. 242-245

15
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadits dijauhi dan masyarakat
pun dijauhkan darinya. Semua ahli ilmu juga menyampaikan hadits-hadits
maudhu’ dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka
menjauhi dan tidak meriwayatkan hadits daripadanya. Di antara ulama
yang terkenal menentang para pembuat hadits maudhu’ adalah Amir Asy-
Sya’bi (w. 103 H), Syu’bah bi Al-Hallaj (w. 160 H), Sufyan Ats-Tsauri
(w. 161 H), dan lain-lain.
4. Menerangkan Keadaan Perawi
Para ahli hadits berusaha menelusuri kehidupan, baik mulai dari
lahir hingga wafat ataupun dari segi sifat-sifatnya. Dari yang jujur, adil,
dan handal daya ingatnya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana
hadits yang shahih dan mana yang tidak shahih, mana yang dipalsukan
dan mana hadits yang sesungguhnya. Hasil karya penelitian mereka
dihimpin dalam buku Rijal Al-Hadits dan Al-Jarh wa At-Ta’dil sehingga
dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutkan.
5. Memberikan Kaidah-kaidah Hadits
Para ulama meleakkan kaidah-kaidah ini secara metodologis tentang
penelitian hadits untuk menganalisis otentitasnya. Sehingga dapat
diketahui mana yang shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’. Kaidah-kaidah
tersebut dapat dijadikan standar penilaian suatu hadits memenuhi kriteria
sebagai hadits yang diterima atau ditolak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian hadits maudhu’ mempunyai bermacam-macam pendapat,
walaupun demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits maudhu’ adalah

16
hadits palsu yang dibuat oleh seseorang dan disandarkan kepada nabi
Muhammad saw. Adapun latar belakangnya hadits maudhu’ tersebut
hakikatnya adalah pembelaan atau pembencian terhadap suatu golongan
tertentu.
Hadits maudhu’ dapat diidentifikasi keberadaannya dengan
mengetahuinya berdasarkan metode-metode tertentu, misalnya mengetahui
ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matannya.
Menyikapi terhadap adanya hadits maudhu’ sangat beragam, ada
sekelompok orang yang menyikapinya dengan menerima tanpa pertimbangan
tertentu, ada pula yang menerimanya dengan berbagai catatan tertentu, bahkan
ada pula yang tidak menerimanya sama sekali. Maka dari itu, kita juga harus
berhati-hati terhada hadits ini.

17
Daftar Pustaka

Zarkasih, Pengantar Studi Hadis. 2011. Yogyakarta: Aswaja Pressindo


M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis. 2008. Bandung: Pustaka Setia
Idri, Studi Hadis. 2010. Jakarta: Kencana Prenada Group
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis. 2012. Jakarta: Amzah
Munzier suprapto, Ilmu Hadits. 2001. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai