Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PRATEK DAN IMPLEMENTASI SYARAH HADITS MUQARIN


(Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Matan Hadis)
Dosen Pengampu : Dr. Atiyatul Ulya M.Ag

Disusun Oleh:

Ma’ruf Anshori 11170360000055


Muhammad Fauzan Fikri 11190360000081
Muhammad Abdulrahman Al Jabbar 11190360000102

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M / 1443 H
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala pujian hanya milik Allah Yang Maha Terpuji. Puji syukur sedalam-
dalamnya penulis haturkan kepada pemilik langit dan bumi dan karunianya, serta kemudahannya
kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada panutan umat sepanjang zaman yakni
Nabi Muhammad saw. Allah telah menurunkan agama melalui beliau. Sehingga dengan agama
itu, menghantarkan manusia ke jalan kebahagian baik di dunia maupun di akhirat. Agama juga
yang membawa manusia kepada hidup yang lebih bermartabat dan membawa pencerahan di setiap
kegelapan iman.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Dr. Atiyatul
Ulya M.Ag pada mata kuliah Ilmu Matan Hadis. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Praktek dan Implementasi Hadis Muqarin bagi para pembaca dan
juga penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Atiyatul Ulya M.Ag , selaku dosen pada
mata kuliah Ilmu Matan Hadis yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang yang penulis tekuni.
Penulis menyadari makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Ciputat, Desember 2021

Kelompok 11
BAB I
PENDAHULUAN

Metode muqârin adalah metode memahami hadîts dengan cara: (1) membandingkan hadîts
yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang
berbeda dalam kasus yang sama. (2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam
mensyarah hadîts.

Jadi metode ini dalam memahami hadîts tidak hanya membandingkan hadîts dengan hadîts
lain, tetapi juga membandingkan pendapat ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadîts.

Diantara kitab syarah hadîts yang menggunakan metode muqarin ini adalah Shahih Muslim
bi Syarh al-Nawawiy karya Imam Nawawiy, Umdah al-Qâriy Syarh Shahih al-Bukhariy karya
Badr al-Din Abu Muhammad Mahmûd al-’Ainiy, dan lain-lain.

Ruang lingkup atau wilayah kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang
berhubungan dengan kajian redaksidan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang
dikandungnya, dan ada yang menguraikan berbagai aspek, baik yang menyangkut kandungan
(makna) hadîts maupun korelasi antara hadîts dengan hadîts.

Disini pemakalah ingin sedikit memaparkan sebuah praktek dan implementasi sebuah
metode syarah hadits muqarin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri metode syarah hadits muqarin.
Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata,
kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi, maka langkah-yang
ditempuh sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan

b. Memperbandingkan antara hadis yang redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu
kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.

c. Menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik
perbedaan itu mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan
kata dan susunannya dalam hadis, dan sebagainya.

d. Memperbandingkan antara berbagai pendapat para pen-syarh tentang hadis yang dijadikan
objek bahasan.

B. Praktek dan Implementasi Syarah hadits muqarin.

(1) membandingkan hadîts yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus
yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.

Contoh aplikasi syarah hadis muqâran yang dilakukan oleh ulama hadis kontemporer, Yûsuf
al-Qaradhâwî dalam bukunya Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah, ketika ia mengomentari hadis
hukum memakai sarung di atas mata kaki. Hadis tentang itu menurut al-Qardhâwî memiliki banyak
redaksi yang perlu di komparasikan. 1 Redaksi-redaksi itu adalah;

1
Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah, (USA: al-Ma’had al-Islâmî li al-Fikr al-Islâmî, 1990), h.
107.
‫َح َّدثََنا أ َُبو َب ْك ِر ْب ُن أَبِى َش ْيَبةَ َو ُم َح َّم ُد ْب ُن ا ْل ُمثََّنى َو ْاب ُن َب َّش ٍار قَالُوا َح َّدثََنا ُم َح َّم ُد ْب ُن َج ْْعََ ٍر ََ ْن‬ .

َّ ‫ُش ْْعَبةَ ََ ْن ََلِ ِّى ْب ِن ُم ْد ِر ٍك ََ ْن أَبِى ُزْرََةَ ََ ْن َخ َر َشةَ ْب ِن ا ْل ُحِّر ََ ْن أَبِى َذٍّر ََ ِن‬
‫صلى اهلل‬- ‫النبِ ِّى‬

» ‫يم‬ِ ٌ ‫ قَا َل « ثَالَثَةٌ الَ ي َكلِّمهم اللَّه يوم ا ْل ِقيام ِة والَ ي ْنظُر إِلَ ْي ِهم والَ ي َزِّكي ِهم ولَهم َ َذ‬-‫َليه وسلم‬
ٌ ‫اٌ أَل‬ َ ُْ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ُ ُُ ُ ُ

‫ قَا َل أ َُبو َذٍّر َخ ُابوا َو َخ ِس ُروا َم ْن ُه ْم َيا‬.‫ث ِم َر ٍار‬


َ َ‫ ثَال‬-‫صلى اهلل َليه وسلم‬- ‫َها َر ُسو ُل اللَّ ِه‬
َ ‫قَا َل فَقَ َأر‬

.» ٌِ ‫ف ا ْل َك ِاذ‬
ِ ِ‫ق ِس ْلْعتَه بِا ْلحل‬
َ ُ َ ُ َِّ‫ان َوا ْل ُمَن‬
ِ َّ
ُ ‫َر ُسو َل الله قَا َل « ا ْل ُم ْسبِ ُل َوا ْل َمَّن‬

Telah bercerita kepada kami abu bakr bin abu syaibah dan muhammad bin Mutsanna dan
ibnu Basyar mereka berkata telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari
‘Ali bin Mudrik dari Abu Zur’ah dari Kharasyah bin al-Hurri dari Abu Dzar dari Nabi SAW beliau
bersabda :“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak
dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata, “Mereka adalah orang
yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan
dagangannya dengan sumpah palsu.”2

‫حدثنا محمد بن مقاتل أخبرنا َبد اهلل أخبرنا موسى بن َقبة َن سالم بن َبد اهلل َن‬ .

‫ قال رسول اهلل صلى اهلل َليه و سلم ( من جر ثوبه‬: ‫َبد اهلل بن َمر رضي اهلل َنهما قال‬

‫ فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إال أن أتْعاهد‬. ) ‫خيالء لم ينظر اهلل إليه يوم القيامة‬

3
.) ‫ذلك منه ؟ فقال رسول اهلل صلى اهلل َليه و سلم ( إنك لن تصنع ذلك خيالء‬

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Maqatil, telah memberitahu kepada kami
Abdullah telah mengabarkan kepada kami Musa bin ‘Uqbah dari Salim bin Abdullah dari Abdullah

2
HR Bukhari, no. 5341, Muslim, no. 154 dan 155, dan al-Nasa’I, no. 5235
3
HR Bukhari, no. 5338 dan 5339 dan Muslim, no. 3887.
bin Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : "Siapa yang menjulurkan pakaiannya (hingga
ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak."
Lalu Abu Bakar berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang
turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?" lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."

‫ قال النبي أو قال‬: ‫حدثنا آدم حدثنا شْعبة حدثنا محمد بن زياد قال سمْعت أبا هريرة يقول‬ .

‫أبو القاسم صلى اهلل َليه و سلم ( بينما رجل يمشي في حلة تْعجبه نَسه مرجل جمته إذ‬

4
.) ‫خسف اهلل به فهو يتجلجل إلى يوم القيامة‬

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad dia berkata: saya mendengar Abu Hurairah
berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda atau Abu Qasim shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Ketika seorang lelaki berjalan dengan menggunakan jubah yang ia kenakan, dan
berjalan dengan rasa ta'ajub, lalu ia ditelan (oleh bumi), dan ia akan tetap berguncang-guncang (di
dalam perut bumi) hingga datang hari kiamat."

Ketiga redaksi hadis ini mengungkapkan larangan dan ancaman terhadap orang yang
mengulurkan sarungnya di bawah mata kaki. Namun, redaksi hadis kedua mengungkapkannya
dengan penguluran yang disertai kesombongan. Dengan demikian, menurut al-Qardhâwî ada
sesuatu yang perlu di analisis dalam perbedaan redaksi dan hukum ini.

Dalam mengomentari hadis-hadis itu, pertama al-Qardhâwî memaparkan pendapat-


pendapat ulama hadis, di antaranya Ibn Hajar (w. 852 H), dan Imam Nawâwi (w. 676 H). Setelah
itu, ia menyimpulkan bahwa redaksi-redaksi hadis itu terkait dengan teori muthlaq dan muqayyad.
Dalam arti, larangan mengulurkan sarung di bawah mata kaki itu bersipat muqayyad, sedangkan
larangan berlaku sombong bersipat mutlak. Dengan demikian, larangan mengulurkan sarung
hanya untuk orang-orang yang melakukannya dengan tujuan sombong, sedangkan yang tidak

4
HR Bukhari, no 5343 dan 5344, dan Muslim, no. 3890.
karena sombong seperti karena adat daerah itu atau karena tergesa-gesa, maka boleh-boleh saja.
Hal ini sejalan dengan QS al-A’râf [7]: 32;

“Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang dia karuniakan kepada
hamba-hamba-Nya, dan siapa pula yang mengharamkan rizki yang baik? Katakanlah, semua itu
di sediakan untuk orang-orang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus untuk mereka saja di
hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat Kami bagi orang-orang yang mengetahui).

Menurut al-Qardhâwî, setiap suku dan daerah tempat tinggal manusia memiliki suhu dan iklim
berbeda, karena itu tidak heran jika mereka memiliki budaya yang berbeda dalam hal berpakaian,
termasuk mengulurkan sarung di bawah mata kaki. Mereka yang terbiasa dengan budaya itu tanpa
adanya niat kesombongan tentu saja boleh mengulurkannya. Tidak ada yang mengharamkan
sesuatu yang telah di halalkan oleh Allah. Sebaliknya, cara berpakaian apapun, termasuk memakai
sarung di atas mata kaki, tapi disertai dengan kesombongan, maka itulah yang di haramkan oleh
hadis-hadis tersebut. Ini pula yang dimaskud larangan bersikap sombong merupakan larangan
mutlak, sehingga tidak terkait dengan pakaian atau apa saja.

(2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadîts.

Berikut adalah contoh syarah hadits yang menggunakan metode muqarin dalam kitab
Mishbah az-Zalam :

:‫ قال‬- ‫ صلى اهلل َليه وسلم‬- ‫ أن رسول اهلل‬- ‫وَن بسرة بنت صَوان – رضي اهلل َنها‬

‫ هو‬:‫ وقال البخاري‬،‫ وصححه الترمذي وابن حبان‬،‫«من مس ذكره فليتوضأ» أخرجه الخمسة‬

. ٌ‫أصح شيء في هذا البا‬

Dari Busrah binti Safwanra. sesungguhnya Rasulullah saw.bersabda: "barang siapa yang
memegang kemaluannya sendiri, maka hendaknya berwudhu". Hadis dikeluarkan oleh Imam 5,
disahihkan oleh Imam al Tirmidzi dan Imam Ibn Hibban, dan Imam al-Bukhâri berkata: hadis
tersebut merupakan yang paling sahih pada bab ini."
‫ فدل َلي‬،ٌ‫ استدل الشافْعي ومن وافقه بأن األمر هنا للوجو‬،‫الخ‬...‫ فليتوضأ‬: ‫ قوله‬: ‫ش‬

‫ وقال جماَة من الشافْعية ان حديث‬،‫ وبه قال األوزاَي‬،‫ان من مس الذكر ناقض الوضوء‬

‫بسرة ناسخ لحديث طلق‬

(Syarah) : pada kata “maka berwudhulah..." Imam al-Syafi'i dan yang menyetujuinya
berargumen bahwa kata perintah tersebut menunjukan kewajiban. Yang berarti, barang siapa yang
menyentuh kelaminnya sendiri, wudhunya batal. Dan begitu juga pendapat Imam al-Auzâ'î.
Sebagian komunitas dari madzhab Syafi'iyah berkata, bahwa hadis Busrah(sebutan untuk hadis
diatas) itu merupakan Nasikh (pengganti) dari hadis Thalaq.

،ٌ‫وحمل الحنَية ان األمر هنا لإلستحباٌ أو ان مس الذكر َند البول تمسكا َلى الغال‬

‫ ال ينقض‬: ‫ قال مالك‬: ‫ قال في المدونة الكبرى‬،‫وَلي كل فإن اإلحتمال ساقط لإلستدالل‬

‫ ال ينقض‬: ‫ وقال احمد‬،‫وضوء من مس شرجا والرفْعا وال شيئا مما هنالك اال من مس الذكر‬

‫ وأشار الي قبض‬،‫ وروي َن احمد أيضا اذا كان مسه كقابض اللحية‬،‫الوضوء اال يمسه قاصدا‬

‫لحيته‬

Sedangkan dalam mazhab Hanafiyah memberikan ihtimal (probabilitas) bahwa kata perintah
diatas mempunyai arti anjuran, karena rata-rata orang memegang kelaminnya ketika kencing. Dus,
ihtimal gugur dengan adanya istidlal. Dalam kitab Mudawanah Kubrâ, Imam Malik berpendapat
bahwa:Tidak membatalkan wudhu, orang yang menyentuh Syarj (dibawah kemaluan), Rafgh
(lempitan paha/ selangkangan), dan sesuatu yang di sekitarnya, kecuali menyentuh kelamin. Imam
Ahmad berkata: Tidak membatalkan wudhu jika menyentuh kelaminnya tanpa disengaja.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad juga, ketika menyentuhnya seperti memegang jenggot, dan beliau
mengisyarahkan dengan memegang jenggotnya sendiri.
‫ لما كان لَظ الذكر مما اضيف اليه الضمير فاالضافة‬: ‫قال شيخنا محمد ياسين حَظه اهلل‬

‫امارة للْعموم فينقض وضوء من مس كل ذكر سواء كان ذكره او ذكر غيره وصغي ار كان او‬

‫ وهذا قول‬،‫ وقيس بالذكر الدبر وقبل المرأة‬،‫ حياكان او ميتا‬،‫ متصال كان او منَصال‬،‫كبيرا‬

،‫ انه الينقض‬: ‫ قال مالك في قبل المرأة‬،‫ قال في المدونة الكبرى‬،‫الشافْعي واحمد ورواية َنه‬

‫قال الشافْعي ومالك ومن وافقهما ال ينقض مس الذكر اال يبطن الكف بداللة قوله صلى اهلل‬

".‫ اذا افضى احدكم بيده ليس بينهما سترة فليتوضأ‬: ‫َليه وسلم‬

Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani berkata : Jika lafadz dzakar' (kelamin) disandarkan
terhadap damir (kata penghubung), maka idafah (penyandaran) tersebut alamat bagi keumuman
lafadz. Maka, batallah wudhunya orang yang menyentuh kelaminnya sendiri ataupun orang lain,
kecil ataupun besar, sambung ataupun sudah terpisah, baik dzakarnya orang hidup. ataupun sudah
meninggal. Dan di-qiyas-kan dengan dzakar, farjinya perempuan. Ini merupakan pendapat Imam
al-Syafi'i, Imam Ahmad dan riwayat darinya. Dalam Mudawanah Kubra, Imam Malik berpendapat
terkait menyentuh farjinya perempuan: itu tidak membatalkan wudhu. Imam al-Syafi'i, Imam
Malik, dan yang sependapat dengan keduanya juga berkata: tidak membatalkan wudhu orang yang
menyentuh kelaminnya, kecuali dengan bagian dalamnya telapak tangan, dengan dalil sabda
Rasulullah saw.jika menyentuh kalian semua dengan tangannya, tanpa ada penghalang antar
keduanya, maka berwudhulah.

‫ ليس بينهما سترة دليل‬: ‫ وقوله‬،‫فاإلفضاء اليكون االيبطن الكف وبطون أصابع اليدين‬

‫ وقال‬،‫ فاذا حال بينهما شيء ولو رقيقا لم ينقض‬،‫للشافْعي أن النقض انما اذا كان بدون حائل‬

.‫ النهما من اليد‬،‫ ينقض الوضوء اذا مس الذكر بذراَيه‬: ‫أحمد‬


‫ وان مس‬،‫فالحديث إشارة الي ان الحديث طلق منسوخ بحديث بسرة ضد ما َليه الحنَية‬

. ‫الذكر ناقض للوضوء وهو أولى باألخد من غيره‬

Imam Ahmad berkata: batal wudhu seseorang ketika menyentuh kelaminnya dengan
"dzirâ'aihi' (kedua lengan tangannya), karena itu bagian dari tangan.

Hadis diatas merupakan isyarat bahwa hadis (alaq sudah di Mansukhdengan hadis Busrah yang
bertolak belakang dengan pendapat madzhab Hanafi, walaupun menyentuh kelamin membatalkan
wudhu, dan itu merupakan pendapat yang lebih utama untuk diambil daripada yang lain.5

Wallahu a’lam.

5
Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Mishbah al-Zalam Syarh Bulugh al-Maram, Jilid. 1, hal. 75.
BAB III

KESIMPULAN

Metode syarah hadis muqârin merupakan salah satu metode menjelaskan hadis Nabi saw, baik
yang terkait hanya dengan bahasan satu hadis, maupun terkait dengan kitab syarah hadis. Secara
bahasa muqâran berasal dari katan qarana yang berarti berteman atau berdampingan. Alfatih
Suryadilaga dalam bukunya Metodologi Syarah Hadis menjelaskan bahwa yang dimaksud metode
syarah hadis muqâran adalah syarah hadis yang menggunakan dua metode berikut; 1.
Membandingkan hadis yang memiliki redaksi sama atau mirip dalam kasus yang sama atau
memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama; 2. Membandingkan berbagai pendapat
ulama syarah dalam mengomentari hadis.
DAFTAR PUSTAKA

 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah, (USA: al-Ma’had al-Islâmî li


al-Fikr al-Islâmî, 1990), h. 107.
 HR Bukhari, no. 5341, Muslim, no. 154 dan 155, dan al-Nasa’i, no 5235.
 HR Bukhari, no. 5338 dan 5339 dan Muslim, no. 3887.
 HR Bukhari, no 5343 dan 5344, dan Muslim, no. 3890.
 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Mishbah al-Zalam Syarh Bulugh al-Maram,
Jilid. 1, hal. 75.

Anda mungkin juga menyukai