Anda di halaman 1dari 9

TAFSIR SURAT AL-MAIDAH AYAT 51 MENURUT PROF.

QURAISH SHIHAB

TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 73

Oleh :
NOTI TALIA MEIDIYAH
NIM 162310101015

UPT-BSMKU
UNIVERSITAS JEMBER
2016

TAFSIR SURAT AL-MAIDAH AYAT 51 MENURUT PROF. QURAISH SHIHAB

Sebagian kalangan berpendapat bahwa di dalam Al-quran, Allah SWT melarang


kaum mukmin untuk menjadikan orang kafir sebagai wali, pemimpin ataupun orang
kepercayaan, yang dikarenakan dikhawatirkan mereka akan berkhianat dan membuat
kerusakan dengan berbuat dosa di muka bumi. Dalil-dalil yang dikemukakan adalah:






Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Maidah ayat 51)






Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang
lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah
itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. AlAnfaal:73)


Janganlah orang-orang mumin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mumin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu). (QS Ali Imran : 28)

Dalam

pandangan

mereka,

apabila

kita

diberi

kewenangan

untuk

menentukan/memilih seseorang untuk menduduki jabatan tertentu, yang berpengaruh bagi


kemaslahatan umum, maka pilihlah orang Islam yang taat sebagai pilihan kita, agar amanah
bisa terjaga. Memilih seorang pemimpin di sini menurutnya entah kepala desa, camat, bupati,
gubenur ataupun presiden, maka bila memungkinkan pilihlah dari kalangan mukmin yang
taat, agar amanah bisa terjaga. Setuju atau tidak setuju, seharusnya ditelusuri dahulu makna
kata

yang dimaksudkan dalam ayat-ayat tersebut.

Pertama penelusurannya adalah secara etimologi, pengertiannya dalam kamus-kamus adalah


sebagai berikut:
1. Al-Quran Terjemahan Depag RI sebagai termaktub di atas: Pemimpin dalam QS.alMaidah 51, pelindung dalam QS. AL Anfaal:73, dan diartikan tetap wali pada QS
Ali Imran 28 dengan diberi catatan: Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang
akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
2. Kamus al-Muhith diterangkan dengan makna sama yaitu teman akrab, yang dicinta,
penolong, jika ia menjadi kata benda, apabila menjadi mashdar artinya kekuasaan dan
penguasa:

.


Kedua penelusuran terhadap maksud ayat dengan membuka kembali wacana tafsir al-Quran
yang ada terhadap ayat pelarangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai auliya. Dalam
QS Al-Maidah : 51 yang berbunyi:
ternyata ada perbedaan
penafsiran kalangan mufassirin.
Surat al-maidah ayart 51 adalah satu dari belasan ayat yang berhubungan dengan
larangan mengangkat pimpinan dari kalangan non muslim. Oleh karena itu, penafsirannya
harus dipadukan satu sama lain. Kecuali itu, penafsiran surah Al-Maidah ayat 51 ini pun tidak
bisa hanya sepotong ayat. Sebab, potongan ayat selanjutnya (sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain) adalah alasan atau dasar adanya larangan tersebut. Kata
WALI atau AULIYA (jamak) memiliki makna tidak kurang dari sepuluh makna. Antara lain

teman, kawan setia, penolong, sekutu, pelindung, pemimpin, kekasih, dan lainnya. Pada ayat
ini semua makna tersebut bisa berlaku, sebab substansinya adalah bahwa orang beriman
dilarang masuk dalam lingkungan pengaruh atau kekuasaan mereka. Dari mana makna itu
diperoleh? Dari dasar atau alasan adanya larangan tersebut, yaitu sebagian mereka adalah
wali/auliya bagi sebagian lainnya. Maksudnya adalah, Orang-orang beriman jangan
menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali, sebab mereka itu hanya akan jadi wali di
kalangan mereka sendiri. Orang Yahudi jadi wali bagi orang Yahudi sendiri sesuai dengan
keyakinannya. Begitu juga orang Nasrani. Maka, kalau orang beriman menjadikan mereka
sebagai wali, pasti akan masuk dalam kendali kepentingan ke-walian mereka. (Makna seperti
ini hanya akan dipahami dengan ilmu maani. Tanpa ilmu ini, kita tidak bisa menghubungkan
penggalan ayat seperti itu).
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Surah Al-Maidah ayat 51 itu diakhiri dengan ungkapan, Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim. Sangat jelas sekali, ayat ini mewanti-wanti bahwa orang beriman yang
mengangkat wali dari orang kafir akan diseret untuk jadi kafir juga. Dan, kalau pun mengaku
muslim, dia hanyalah sebagai muslim zalim yang sudah dijauhkan dari petunjuk Allah. Kalau
mengambil orang kafir sebagai wali (dalam arti teman dekat, sekutu, atau penolong) sudah
dilarang, padahal hubungan tersebut tidak menimbulkan otoritas kuat untuk mengatur
sekutunya, larangan itu menjadi lebih kuat jika mengangkatnya sebagai wali dalam arti
pemimpin. Oleh karena itu, penafsiran atau penerjemahan kata WALI atau AULIYA itu
dengan PEMIMPIN sebenarnya lebih lunak. Sebab, itu masih membuka peluang untuk
menjadikannya sebagai teman dekat atau sekutu, selama tidak terseret kepada lingkup
pengaruh yang tidak diizinkan.
Mengenai sebab turun ayat tersebut, benar ada periwayatan yang menghubungkannya
dengan kondisi perang. Akan tetapi, itu hanya sebagian saja dari beberapa periwayatan
tentang sebab turunnya yang dikemukakan oleh para ahli tafsir. Setidaknya ada empat
katagori periwayatan yang berbeda terkait peristiwa, waktu/situasi, dan pelakunya. Ada yang
meriwayatkan dalam kondisi perang, pasca perang, perangnya juga berbeda-beda, orang atau
pelakunya juga berbeda-beda. Ada pula yang meriwayatkan dalam kondisi normal (bukan
perang). Sedangkan ayat-ayat yang melarang mengangkat kafir sebagai wali yang tidak

terkait dengan situasi perang justru lebih banyak, baik dalam bentuk larangan langsung atau
bentuk pemberitaan. Oleh karena itu, dalam hal hubungan sebab turun ayat dengan ayatnya,
para ulama tafsir meletakkan kaidah baku sebagai metodologi penafsirannya. Yaitu, al-Ibrah
bi Umul lafdzi la bi khusu Sabab (Titik pertimbangannya terletak pada generalitas makna
ayat bukan pada khususnya sebab turun). Tentu saja sebab turun ayat itu penting, setidaknya
untuk melihat orientasi makna. Tapi peristiwa dan situasi yang bersifat temporal tidak
mungkin mereduksi pernyataan-pernyataan banyak ayat yang sangat tegas dan general.
Mengenai Rasulullah saw. tidak menolak kepemimpinan pamannya, yaitu Abu Thalib, itu
memang benar adanya. Kalau Alquran diturunkan sekaligus, tidak berangsur, masalah
tersebut boleh jadi layak dipertanyakan. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, Alquran
diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Saat Abu Thalib masih hidup adalah
saat awal perjuangan Islam di Mekkah. Ayat-ayat yang diturunkan di sana baru menyangkut
masalah-masalah pokok akidah. Adapun ayat-ayat syariah tentang berbagai kewajiban,
seperti zakat, shaum, haji, termasuk masalah pemerintahan turun di Madinah. Itu terjadi jauh
setelah Abu Thalib meninggal dunia. Jadi, di Mekkah itu belum ada aturan tentang
kepeminpinan. Lagi pula, di saat itu Abu Thalib adalah satu-satunya tokoh Quraisy (yang
tidak beriman) yang memberikan perhatian dan perlindungan kepada Rasulullah saw.
Dengan demikian, dalam penafsiran Al-quran itu memerlukan ilmu pendukungnya,
tidak bisa dikira-kira, apalagi diseret oleh keinginan atau kepentingan tertentu. Setiap
lompatan atau penggalan kalimat dalam satu ayat, baik menggunakan kata sambung atau
tidak, pasti mengandung makna yang dalam. Begitu pula pengulangan konsep sama yang
tersebar pada beberapa ayat dan surat berbeda. Untuk mengungkap rahasia maknanya ada
ilmunya, yaitu ilmu manasabah. Maka apabila suatu masalah diungkapkan dalam banyak ayat
tidak bisa hanya dikaji dan disimpulkan dari satu ayat. Ayat-ayat yang berhubungan tersebut
harus dicari korelasinya, sehingga terjadi penafsiran ayat dengan ayat. Inilah derajat tafsir
yang paling tinggi.
Sekarang ini muncul perbedaan pendapat di kalangan orang muslim tentang kriteria
pemimpin. Perbedaan tersebut muncul antara lain karena adanya keriteria pemimpin yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Hanya ada dua kriteria pemimpin yang beliau sampaikan,
yaitu al-qawiyy dan al-amien. Al-qawiyy adalah orang yang memiliki kemampuan dan
kompetensi yang baik untuk menjalankan tugas kepemimpinannya, sedangkan al-amien
adalah orang yang jujur.

Dari sinilah timbul pendapat yang menyatakan bahwa yang penting pemimpin itu punya
kompetensi memadai dan jujur. Iman tidak lagi harus jadi pertimbangan. Ini adalah
kekeliruan besar, sebab al-amien yang dimaksud oleh Imam itu merupakan aktualisasi dari
nilai intinya, yaitu khasyyatullah (takut kepada Allah) atau ketakwaan yang mendalam
kepada Allah (Anda bisa merujuk buku aslinya al-Siyasah al-Syariyyah). Hal ini sama
kelirunya dengan menetapkan keriteria Shidiq, Amanah, fathonah, dan tabligh yang dibiarkan
terbuka dan tidak dirujukan kepada nilai intinya. Padahal sifat-sifat tersebut adalah sifat
Rasulullah saw. yang secara tergas dinyatakan bahwa beliau tidak mengatkan apapun dan
tidak melakukan apapun kecuali atas bimbingan wahyu. Jadi shidik (benar) itu standarnya
apa? Yang pasti hanya Alquran. Amanah (jujur) itu jujur kepada siapa? Yang pasti hanya jujur
kepada Allah. Rasulullah saw. sering mengalami cobaan berat, seperti saat dilempari batu di
Thaif, tapi beliau tetap bersedia menerima penderitan lebih berat sekalipun asal tetap bisa
jujur kepada Allah sehingga menggapai ridha-Nya.

Benarkah surat al-maidah ayat 51 menyerukan penolakan pemimpin kafir? Menurut


pakar tafsir Al-Quran Prof. Quraish Shihab, ayat di atas tidaklah berdiri sendiri namun
memiliki kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan
ayat lain berimplikasi pada kesimpulan akhir. Padahal, Al-Maidah ayat 51 merupakan
kelanjutan atau konsekuensi dari petunjuk-petunjuk sebelumnya. Konsekuensi dari sikap
orang yang memusuhi Al-Quran, enggan mengikuti tuntunannya. Pada ayat sebelumnya,
Al-Quran diturunkan untuk meluruskan apa yang keliru dari kitab Taurat dan Injil akibat
ulah kaum-kaum sebelumnya. Jika mereka Yahudi dan Nasrani, enggan mengikuti tuntunan
Al-Quran, maka mereka berarti memberi peluang pada Allah untuk menjatuhkan siksa
terhadap mereka karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Jadi, mereka dinilai enggan
mengikuti tuntunan Tuhan tapi senang mengikuti tuntunan jahiliah, katanya dalam
pengajian Tafsir Al-Quran di salah satu stasiun TV swasta. Lalu, dilanjutkan oleh ayat 51
surat Al-Maidah. Kalau memang seperti itu sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani
mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Quran, keinginannya mengikuti
jahiliyah, Maka wahai orang-orang beriman janganlah engkau menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai awliya.
Bagi Quraish Shihab, hubungan ayat ini dan ayat sebelumnya sangat ketat. Kalau
begitu sifat-sifatnya, jangan jadikan mereka awliya. Nah, awliya itu apa?, tanyanya

memantik diskusi sebelum mengkaji lebih dalam. Awliya ialah jamak atau bentuk plural
dari wali. Di Indonesia, kata ini populer sehingga ada kata wali-kota, wali-nikah dst. Wali
ialah, kata penulis Tafsir Al Misbah ini, pada mulanya berarti yang dekat. Karena itu,
waliyullah juga bisa diartikan orang yang dekat dengan Allah. Wali kota itu berarti yang
mestinya paling dekat dengan masyarakat. Orang yang paling cepat membantu Anda, ialah
orang yang paling dekat dengan Anda. Nah, dari sini lantas dikatakan bahwa wali itu
pemimpin atau penolong. Adapun wali dalam pernikahan apalagi terhadap anak gadis
sebenarnya fungsinya melindungi anak gadis itu dari pria yang hanya ingin iseng padanya.
Seseorang yang dekat pada yang lain, berarti ia senang padanya. Karena itu, iblis jauh dari
kebaikan karena ia tidak senang. Dari sini, kata wali yang jamaknya awliya memiliki
makna bermacam-macam.Yang jelas, kata jebolan Al Azhar Mesir ini, kalau ia dalam
konteks hubungan antar manusia, berarti persahabatan yang begitu kental. Sedemikan hingga
tidak ada lagi rahasia di antara mereka. Demikian pula hubungan suami-istri yang dileburkan
oleh cinta. Dalam ayat ini, jangan angkat mereka Yahudi dan Nasrani- yang sifatnya seperti
dikemukakan pada ayat sebelumnya menjadi wali atau orang dekatmu. Sehingga engkau
membocorkan rahasia kepada mereka.Dengan demikian, awliya bukan sebatas bermakna
pemimpin, kata Quraish Shihab. Itu pun, sekali lagi, jika mereka enggan mengikuti tuntunan
Allah dan hanya mau mengikuti tuntunan Jahiliyah seperti ayat yang lain.
Contohnya, jika mereka juga menginginkan kemaslahatan untuk kita, boleh tidak kita
bersahabat? Quraish Shihab kembali bertanya, jika ada pilihan antara pilot pesawat yang
pandai namun kafir dan pilot kurang pandai yang Muslim, pilih mana? Atau, pilihan antara
dokter kafir yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman. Dalam
konteks seperti ini, bagi Quraish Shihab, tidak dilarang. Yang terlarang ialah melebur
sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena tidak
ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka. Itu yang
terlarang. Namun kalau pergaulan sehari-hari, dagang, membeli barang dari tokonya dsb,
tidaklah dilarang. Selanjutnya ayat ini berbicara tentang sebagian mereka adalah awliya bagi
sebagian yang lain. Artinya, sebagian orang Yahudi bekerjasama dengan orang Nasrani yang
walaupun keduanya beda agama namun kepentingannya sama, yaitu mencederai kalian. Oleh
sebab itu, Al-Quran berpesan, Siapa yang menjadikan mereka itu orang yang dekat, yaitu
meleburkan kepribadiannya sebagai Muslim sehingga sama keadaannya (sifat-sifatnya)
dengan mereka, oleh ayat ini diaggap sama dengan mereka.

Terakhir, Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang zalim. Menurut Quraish
Shihab, petunjuk ada dua macam; umum dan khusus. Petunjuk khusus itu, memberi tahu dan
mengantar. Allah memberi tahu kepada semua manusia bahwa ini baik dan itu buruk tapi
tidak semua diantar oleh-Nya. Di sisi lain, ada orang yang tidak sekedar diberitahu jalan baik,
namun juga diantar jika orang itu menginginkan. Meski demikian, Allah tidak memberi
petunjuk khusus kepada mereka yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya.

DAFTAR PUSTAKA
https://islamindonesia.id/berita/sorotan-apakah-tafsir-al-maidah-51-yang-dikutip-ahok.htm

http://www.fiqhmenjawab.net/2016/10/tafsir-al-maidah-ayat-51-menurut-prof-quraishshihab/
http://www.radarislam.com/2016/10/quraish-shihab-perihal-tafsir-al-maidah-51.html

Anda mungkin juga menyukai