Anda di halaman 1dari 10

HADITS MAUDHU’

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Al-Dakhil Fi al-Tafsir

Disusun Oleh:

AYU NILNA LI’IZAH D.M [E93218086]


ABIDA FIKRIYAH NITA [E93216094]
NUR ASFIYAH [E03216035]

Dosen Pengampu:

HJ. MUSYAROFAH, M.HI.

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
SURABAYA
2019
A. Hukum Membuat Dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Para ulama telah berijmak bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits
maudhu’ dengan sengaja adalah haram, meskipun niat mereka membuat hadits
maudhu’ adalah untuk menggalakkan kebaikan (targhib), menakut-nakuti kepada
kejahatan (tarhib) dan mendorong kepada kezuhudan. Rasulullah dengan tegas
memberi peringatan kepada orang-orang yang berbohong atas nama beliau seperti
sabdanya “Sesungguhnya pembohongan atas namaku tidak seperti pembohongan atas
siapapun. Siapa yang berbohong atas namaku, maka dia dengan sengaja menyiapkan
tempatnya di dalam neraka. Janganlah kamu berbohong atas namaku, karena
sesungguhnya orang yang berbohong atasku akan masuk neraka.” 1
Hal ini menjadi perdebatan diantara ahli bid’ah dengan para ulama Ahlu
Sunnah wal Jamaah. Ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah sepakat mengharamkan
berbohong dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan perkara-perkara
yang berkaitan dengan targhib dan tarhib. Semuanya termasuk dalam salah satu dari
dosa-dosa besar. Para ulama telah berijmak bahwa haram berbohong atas nama
seseorang, apalagi berbohong atas Seorang yang diturunkan wahyu kepadanya.
Sedangkan menurut ahli bid’ah berpendapat bahwa targhib dan tarhib tidak masuk
dalam kategori hukum-hukum syarak, sehingga diperbolehkan.2
Selain haram tidaknya hukum menggunakan hadits maudhu’, terdapat
perbedaan pendapat berkenaan dengan kedudukan orang yang membuat hadits.
Apakah dia menjadi kafir dengan perbuatannya itu dan adakah periwayatannya
diterima kembali sekiranya dia bertaubat. Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa
orang yang membuat hadits-hadits maudhu’ tidak menjadi kafir dengan
pembohongannya itu, kecuali ia menganggap perbuatannya itu halal.
Tetapi menurut sebagian ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-
Humaidi, Abu Bakar al-Sairafi, ashabul wujuh dalam mazhab Syafie dan fuqaha’

1
Edi Kuswadi, Hadits Maudhu’ dan Hukum Mengamalkannya, El-Banat: Jurnal Pemikiran dan
Pendidikan Islam, Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2016, 86
2
Ibid,.. 87
mutaqaddimin dalam usul dan furu’ mengatakan bahwa taubatnya tidak memberi
pengaruh dan riwayatnya tidak boleh diterima. Bahkan kesalahannya itu dijadikan
catatan atasnya untuk setrusnya.
Dari banyak perdebatan tersebut, yang pasti yaitu para ulama berijmak
bahwa haram membuat hadits-hadits maudhu’, yang berarti juga haram meriwayatkan
atau menyebarkan hadits-hadits maudhu’ padahal ia mengetahui dengan yakin atau
zann kedudukan hadits tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang tetap
meriwayatkan dan menyebarkan hadits-hadits maudhu’ dalam keadaan mengetahui
dengan yakin atas kedudukan hadits tersebut dan tidak menerangkan kedudukannya,
ia termasuk pendusta atas nama Rasulullah. Tapi jika meriwayatkan hadits-hadits
maudhu’ dan menyebutkan kedudukan hadits tersebut sebagai maudhu’, tidak ada
masalah. Sebab dengan menerangkan kedudukan hadits tersebut membuat orang bisa
bisa membedakan antara hadits yang sahih dengan hadits maudhu’.3

B. Contoh Hadits Maudhu’


Para ulama telah berijmak bahwa haram hukumnya membuat dan
menyebarkan hadits maudhu’ agar tidak tersebar ke masyarakat dan ditakutkan
masyarakat tidak dapat membedakan mana hadits yang sahih dan maudhu’. Tetapi
pada kenyataannya, hadits maudhu’ telah tersebar di masyarakat dan bahkan sudah
termasyhur di kalangan masyarakat. Hadits-hadits tersebut diantaranya:4

‫حب الو طن من اإلميان‬


“Cinta tanah air sebagian dari iman”.
Ungkapan ini pun bukan hadits, dan tidak mempunyai asal (lā aṣla lahu).
Namun ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Dhahhak ia berkata ketika Nabi keluar
meninggalkan Mekah, beliau merindukan tanah kelahirannya itu ketika perjalanan
beliau baru sampai daerah Zuhfah. Kemudian Allah berfirman:

3
Ibid,.. 88
4
Ibid,..84
‫ض َعلَ ۡيكَ ۡٱلقُ ۡر َءانَ لَ َرٓا ُّدكَ إِلَ ٰى َم َع ٖۚاد قُل َّرب ِّٓي أَ ۡعلَ ُم َمن َجٓا َء بِ ۡٱلهُد َٰى َو َم ۡن‬ َ ‫إِ َّن ٱلَّ ِذي فَ َر‬
ٰ َ ‫هُو فِي‬
ٖ ِ‫ضلَ ٖل ُّمب‬
‫ين‬ َ
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al
Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah:
"Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam
kesesatan yang nyata".5
Nabi berkata "ke Makkah". al-Ashmu'i berkata: "aku mendengar seorang
a'rabi (badui) berkata: jika kamu ingin mengetahui kesatriaan seorang laki-laki maka
lihatlah bagaimana ia menyayangi dan merindukan tanah air dan saudara-saudaranya,
dan bagaimana tangisannya ketika ia teringat sesuatu yang telah ia lalui.

‫النظا فة مناإليمان‬
“Kebersihan itu sebagian dari iman.”
Ungkapan ini sangat masyhur sekali di kalangan kita, bahkan di kalangan
masyarakat luas pun demikian. Kita menganggap ungkapan ini dari nabi atau dengan
kata lain Hadits Nabi, padahal sebagaimana yang dijelaskan oleh pengarang kitab
syaraḫ nadzam ‘Baiqûniyah’ ungkapan ini bukanlah hadits. Adapun hadits yang
menjelaskan kebersihan itu sebenarnya banyak, di antaranya:

‫الطهور شطر اإليمان‬


“Kesucian itu separuh iman”.

C. Ciri-ciri Hadits Maudu’


1. Ciri-ciri yang terdapat pada sanad :
a. Perawi terkenal pendusta yang dapat diketahui dari biodatanya. Contoh:
Misalnya, Ketika saad ibn Dharif mendapati anaknya pulang sekolah sedang
menangis dan mengatakan bahwa dia dipukul gurunya, maka Saad ibn Dharif
berkata : Bahwa Nabi saw bersabda:

‫معلموا صبيانكم شراركم اقلهم رمحة لليتيم واغلظهم على املسكني‬

5
Alquran 28:85
Artinya: "Guru anak kecil itu adalah yang paling jahat diantara kamu, mereka
paling sedikit kasih sayangnya kepada anak yatim dan paling kasar terhadap
orang miskin." Al Hafdz Ibnu Hibban mengatakan bakwa Saad ibn Dharif
adalah seorang pendusta/ pemalsu hadits. ( Mustahafa Zahri, Kunci
memahami Musthalahul Hadits : 101)6
b. Pemalsu mengakui perbuatannya sebagai pemalsu hadis, seperti pengakuan
Abdul Karim Auja' didalam berbagai kitab ulum hadis dijelaskan jika dirinya
telah membuat hadis palsu tidak kurang dari 4000 hadis. Maisarah ibn
Abdirrabih al Farisi mengaku bahwa dia telah membuat hadis maudhu’
tentang keutamaan Al qur’an, dan ia juga mengaku membuat hadis maudhu’
tentang keutamman Ali ibn Abi Tahalib sebanyak 70 buah hadis. (Musthafa
Zahri, : 100).7
c. Adanya indikasi yang menunjukkan bahwa seorang perawi adalah
pembohong. Misalnya perawi tersebut mengaku menerima hadis dari seorang
guru, pada hal sebenarnya tidak pernah menerima dari guru atau guru yang
disebut tersebut sudah meninggal sebelum la lahir. Indikasi lain, sebagaimana
seorang perawi mengaku telah memperoleh hadis seorang guru disebuah
negeri, padahal sebenarnya ia tidak pemah pergi kenegeri tersebut. Misalnya
Ma'mun Ibn Ahmad al Halawi yang mengaku telah memperoleh hadis dari
Hisyam Ibn Ammar, lantas ditanya Ibn Hibban; Kapan engkau bertemu
Hisyam di Syiria ? la menjawab "tahun dua ratus lima puluh" lantas Ibn
Hibban mengatakan Hisyam yang anda sebut meninggal pada pada "tahun dua
ratus empat puluh lima".8 Ma’mun menjawab bahwa itu Hisyam ibn Ammar
yang lain.9
2. Ciri-ciri yang terdapat pada matan.

6
Rabiatul Aslamiyah, “Hadits Maudu’ dan Akibatnya”, Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol.
04 No. 07 Januari-Juni 2016, 28.
7
Ibid, 28.
8
Zainul Arifin, “Hadits Maudu’ dan Implikasinya pada Umat Islam”, Digilib Uinsa, 03.
9
Ibid, 29.
a. Kerancuan lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan.10
b. Rusaknya makna yang terkandung dalam hadis seperti menyalahi pandangan
akal sehat.
c. Kandungan hadis bertentangan dengan al-Qur'an atau hadis mutawatir.11

‫ولد الزنا اليدخل اجلنة ايل سيعة ابناء‬


Artinya: “ Anak zina tidak masuk syurga hingga tujuh turunan” Hadis tersebut
bertentangan dengan ayat yang artinya: “dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain[526]. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali,
dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."(QS Al
An’am :164)
d. Kandungan hadis bertentangan dengan fakta sejarah.12
e. Kandungan hadis cenderung apologis dalam madhabnya rawi, balk fiqh
maupun teologi.13
f. Cenderung menuduh sahabat Nabi dengan sesuatu yang tidak layak dipandang
sahabat.14
g. Kandungan Hadis keterlaluan dalam hal-hal yang berkaitan dengan wa'id.15
Menurut Musthafa Assiba’i ciri-ciri memuat tujuh macam ciri Hadis palsu
yaitu:
a. Susunan Gramatikanya sangat jelek.
b. Maknanya sangat bertentangan dengan akal sehat.
c. Menyalahi Al qur’an yang telah jelas maksudnya.
d. Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi saw.

10
Mustafa al-Siba'i, al-Sunnah wa Ifakatiatuha fi al-Tashn' al-Islami (Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1985), 47
11
al-Khatib, al-Sunnah, 244. lihat juga Muhammad al-Farasi, Fadl al-Khitab bi Mawaqif al-Ashab
(alGhuriyah : Dar al-Islam, 1996), 17.
12
Ibid, 245.
13
Ibid,.
14
Ibid,.
15
Ibn Hajar al-'Asqalani, al-Nuhca'Ala Kitab Ibn Salah (Madinah : al-Majlis al'11mi, 1984), 843.
e. Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang orang
tersebut terkenal sangat fanatic terhadap mazhabnya.
f. Mengandung suatu perkara yang seharusnya perkara tersebut diberitakan oleh
orang banyak, tetapi ternyata diberitakan oleh seorang saja.
g. Mengandung berita tentang perberian pahala yang besat untuk perbuatan
kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak
berarti ( Syuhudi Ismail : 178).
Menurut Hasbi Ashshddiqy, ciri Hadis palsu yaitu;
a. Maknanya berlawanan dngan hal-hal yang mudah dipahami.
b. Berlawanan dengan ketentuan umum dan akhlak atau menyalahi kenyataan.
c. Berlawanan denga ilmu kedokteran.
d. Menyalahi peraturan- peaturan akal terhadap Allah.
e. Menyalahi ketentuan Allah dalam menjadikan alam.
f. Mengandung dongengan- dongengan yang tidak dibenarkan akal.
g. Menyalahi keterangan Al Qur’an yang terang tegas.
h. Menyalahi kaedah umum.
i. Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa Nabi saw.
j. Sesuai dengan mazhab yang dianut perawi, sedang perawi itu orang sangat
fanatic mazhabnya.
k. Menerangkan urusan yang seharusnya kalau ada dinukilkan oleh orang
banyak.
l. Menerangkan pahala yang sangat besar terhadap suatu perbuatan kecil atau
siksaan yang amat besar terhadap suatu amal yang tak berarti.16

D. Usaha Ulama’ Dalam Menanggulangi Hadis Palsu


Upaya ulama dalam menjaga dan memelihara hadis dari
Pemalsuan dilakukan secara sungguh-sungguh melalui penelitian dari sejak masa
sahabat sampai selesainya perhimpunan hadis ke dalam karya-karya besar mereka.
16
Hasbi Ashshiddiqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis: .369-374.
Upaya-upaya yang ditempuh para ulama dalam menjaga hadis Nabi saw. adalah
sebagai berikut17
1. Berpegang pada keshahihan Sanad
Para sahabat, tabi’in dan para ulama sangat ketat dalam menuntut isnad dari para
perawi dan mereka selalu terapkan dalam Meriwayatkan hadis. Keketatan
menuntut isnad tidak hanya berlaku di kalangan ulama dan pencari hadis. Tetapi
isnad telah menjadi hal umum yang diterima, baik di kalangan ulama maupun
kalangan awam.18
2. Meningkatkan semangat ilmiah dan ketelitian dalam Meriwayatkan hadis
Semangat ilmiah pada masa sahabat dan tabi’in dalam upaya memelihara
kemurnian hadis sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas mereka baik
dalam menuntut hadis maupun dengan mengadakan perjalanan ilmiah dalam
menyebarluaskan hadis ke berbagai daerah. Demikian pula, apabila sebagian
tabi’in mendengar suatu hadis dari selain sahabat, maka mereka bergegas untuk
menemui sahabat yang masih ada secara langsung untuk pengecekan dan
pengukuhan keabsahan yang mereka dengar. Sama halnya yang dilakukan tabi’in
kecil terhadap tabi’in besar dan seterusnya.
3. Memerangi pendusta dan tukang cerita
Sebagian ulama memerangi para pendusta dan tukang cerita dengan melarang
menyebarkan Hadis palsu, serta menjelaskan keadaan mereka kepada masyarakat.
Para ulama juga melarang masyarakat mendekati mereka. Semua ahli ilmu juga
menjelaskan kepada murid-murid mereka dan mengingatkan agar para murid tidak
meriwayatkan khabar dari para pendusta itu. 
4. Menjelaskan hal ihwal para perawi
Seorang ahli hadis harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang para periwayat
hadis, agar ia dapat menilai kejujuran dan kekuatan hafalannya, sabagai pegangan
dalam membedakan yang shahih dari yang palsu dan yang baik dari yang buruk.

17
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008), hlm. 194
18
Ibid.,hlm. 194-195
Justru itu para ahli hadis mengadakan penelitian tentang kehidupan para periwayat
dan mengenal hal-ihwal mereka. Mereka melakukan kritik karena Allah samata,
bukan karena rasa takut kepada seseorang.19
5. Meletakkan kaidah- kaidah untuk mengetahui hadis maudhu’
Selain kaidah- kaidah yang rumit dalam rangka mengetahui hadis shahih, hasan
dan dha’if, para ahli hadis juga meletakkan kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis
yang maudhu’. Mereka menyebutkan tanda-tanda kepalsuan baik dalam sanad
maupun dalam matan. 

19
Ibid., hlm. 197

Anda mungkin juga menyukai