Anda di halaman 1dari 18

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

HADIS PRA KODIFIKASI

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan periode pertama Hadis pada masa Rasulullah


SAW
2. Mampu menjelaskan cara periwayatan Hadis pada masa Rasulullah
SAW
3. Mampu menjelaskan perkembangan Hadis pada masa Sahabat dan
Tabi’in
4. Mampu menjelaskan cara periwayatan Hadis pada masa Sahabat dan
Tabi’in

Uraian Materi
Hadis pada masa Rasulullah SAW
Hadis sebagai suatu informasi, memiliki metodologi khusus dalam menentukan
keotentikan periwayatannya. Metodologi ini kemudian berkembang menjadi satu
keilmuan yang dikenal dengan Ulumul Hadis. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW
sampai sebelum pembukuan Ulumul Hadis istilah Ulumul Hadis, belum diresmikan
menjadi satu keilmuan. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu
sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi telah ada.1

Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di
dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun Hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya kekhawatiran Hadis-hadis
tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan Hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-
metode tertentu di dalam menerima Hadis, namun mereka belum menuliskan atau
mencatat kaidah-kaidah tersebut.2

Dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai di dalam Al-
Qur’an dan Hadis Rasul SAW.

1 Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung 2005, hlm 52
2 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal 102

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman
untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang
fasik:

              

  


Artinya :
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)
Di samping itu, Rasul SAW juga mendorong serta menganjurkan para sahabat dan
yang lainnya yang mendengar atau menerima Hadis-hadis beliau untuk menyampaikan
atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di
dalam sebuah Hadisnya Rasul Saw bersabda :

‫اَّللُ ْاََرأَ َِِ َم َِنَّا َِ ِداَا‬


َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َال نَضََّر‬
َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن َعْب ِد‬
ِّ ِ‫اَّللِ َع ْن أَبِ ِيو َع ْن الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫َع ْن َعْب ِد‬
‫ظ َِ ْن َس ِاَ ٍم‬
ُ ‫ب َُبَ لَّ ٍغ أَ ِْ َف‬ َّ ‫فَبَ لَّغَوُ فَ ُر‬
Dari Abdurrahman bin Abdullah dari Bapaknya dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Allah
akan memperindah seseorang yang mendengar satu hadits dari kami kemudian
menyampaikannya. Berapa banyak orang yang di sampaikan hadits kepadanya lebih hafal
dari orang yang mendengarnya.". (HR. Ibnu Majah).

Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap Hadis Nabi SAW dan
periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang
diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :

Penyelidikan periwayatan hadis (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal


yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara
kemurnian Hadis dari kekeliruan dan kesalahan. Sebagaimana sabda Rasul SAW:

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

‫فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ ََ ْق َع َدهُ َِ ْن‬ ‫ب َعلَ َّي َُتَ َع ِّم َدا‬ ‫اَّللُ َعلَْي ِو‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫َو َسلَّ َم ََ ْن َك َذ‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫َع ْن أَِِب ُىَراْ َرَة قَ َال‬
‫النَّار‬
Dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berdusta atas
namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR. Muslim)

Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi
pencampurbauran antara Hadis dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu,
terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, yang mana pada masa itu hadis belum
dikodifikasi secara resmi.

Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat.

Kritik terhadap matan Hadis (naqd al-riwayat).

Kritik terhadap matan hadis ini dilakukan oleh para sahabat dengan cara
membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila
terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan meninggalkan
riwayat tersebut.3

Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama Hadis
yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah
munculnya Hadis-hadis palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan
Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadis
dengan mempraktikan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarh wa
al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

Setelah munculnya kegiatan pemalsuan Hadis dari pihak-pihak yang tidak


bertanggung jawab, maka beberapa aktifitas tertentu dilakukan oleh para ulama Hadis
dalam rangka memelihara kemurnian Hadis, yaitu seperti :

a. Melakukan pembahasan terhadap sanad Hadis serta penelitian terhadap keadaan


setiap para perawi Hadis, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.

3 Ibid hal 104-105

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

b. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadis agar dapat


mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat
tersebut.
c. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi
lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-
an atau kepalsuan suatu Hadis. Hal tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu
Hadis yang kandungan maknanya ganjil dan bertentangan dengan akal atau
dengan ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah dilakukan
perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu dengan
riwayat perawi yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama Hadis
umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat
dari perawi yang lebih lemah itu.4

Pada abad ke-2 H, ketika Hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa
Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-
Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan Hadis tersebut
menerapkan ketentuan-ketentuan Ilmu Hadis yang sudah ada dan berkembang sampai
pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan Hadis Shahih,
demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi
perubahan yang besar di dalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghafal Hadis
sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan hafalan terhadap Hadis pun
sudah semakin menurun karena telah menjadi percampuran dan akulturasi antara
masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah
kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian memaksa para ulama Hadis untuk semakin
berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah
merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam Hadis.
Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak
tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para ulama Hadis di dalam hati mereka

4 Nur al-Din Atr. “al-Madkhal ila ‘ulum al-Hadist.” Hal 8-10

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

masing-masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan


perhimpunan dan pembukuan hadis.5

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan Hadis, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah Hadis
ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M)
menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi Hadis), Muhammad bin
Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi Hadis ), Ahmad bin
Hanbal (241 H/855 M) menulis al-’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau
kelemahan suatu hadis atau perawinya), dan lain-lain.

Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu Hadis yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al
Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-
Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis oleh
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-
Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-
Ashbahani (w.430 H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar
Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li
Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.6

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu Hadis


ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan
ilmu Hadis, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadis oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-
Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi
Syarh Taqrib al-Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi
(w.911 H/ 1505 M).7

Shahifah atau Catatan Hadis pada masa Rasul

5 Ibid hal 10-18


6 Mahmud al-Thahan, Tafsir Mushthalah al-Hadist. Hal 9-10
7 Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern, Pustaka

Setia, 2004 Bandung hlm 109

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Pada abad pertama tampaknya ada sikap ambivalen pada sebagian shahabat dan
para tabiin senior tentang penulisan Hadis. Di satu sisi, ada keinginan untuk menulis
Hadis untuk tujuan-tujuan tertentu, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran bahwa Hadis-
hadis yang ditulis tersebut akan menyaingi Al-Qur’an pada masa berikutnya. Meskipun
demikian, berpuluh-puluh sahabat dan para tabi’in senior dilaporkan memiliki naskah-
naskah, yang kemudian dinamakan suhuf (bentuk tunggalnya shahîfah).

Pada akhir abad pertama/ketujuh, ada faktor-faktor tertentu yang ikut


mendorong penghimpunan Hadis tanpa ragu-ragu. Kekhawatiran akan terdistorsinya
Al-Qur’an telah hilang. Teks Al-Qur’an sudah dihafal dan dibaca secara seragam oleh
sebagian besar orang muslim yang tak terhitung banyaknya dan salinan mushaf Al-
Qur’an sudah disebarkan secara luas ke berbagai wilayah. Lebih jauh lagi, para ulama
Hadis yang terkemuka secara bertahap telah wafat satu demi satu, sementara gerakan
korupsi dan pemalsuan Hadis mulai mengancam integritas Hadis. Perang sipil yang
berawal dari terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsmân bin ‘Affân (w. 35/656) menyebabkan
perselisihan dan pertentangan politik yang melibatkan periwayatan yang salah atas
Hadis dalam rangka mendukung kepentingan dan doktrin kelompok tertentu.

Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran untuk membedakan materi-materi


Hadis yang otentik dan yang palsu dan untuk mendukung dan menopang metode
periwayatan Hadis secara lisan. Kebutuhan ini menyebabkan seorang Gubernur Mesir
dinasti Umaiyah, ‘Abd al-‘Azîz bin Marwan (65-85/684-704), dan anak laki-lakinya
Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz (97-101/715-19) untuk menginstruksikan kepada para
ulama untuk menghimpun Hadis. Beberapa pernyataan juga disandarkan kepada para
ulama terkemuka yang memperingatkan agar berhati-hati terhadap para periwayat
Hadis dan materi Hadis yang tidak dapat dipercaya. Pernyataan-pernyataan semacam
itu merupakan benih-benih bagi ilmu kritik Hadis.

Sayangnya, suhuf yang orisinil dari zaman ini telah hilang, walaupun beberapa
salinan atas suhuf tersebut ada yang survive. Contoh suhuf dari zaman ini adalah
shahîfah Hammâm bin Munabbih (w. 110/719), seorang tabi’in Yaman dan murid
seorang shahabat, Abu Hurairah (w. 58/677), yang darinya Hammâm belajar dan

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

menulis shahîfah tersebut. Naskah milik Hammâm ini berisi 138 hadis dan diyakini telah
ditulis sekitar pertengahan abad pertama/ketujuh.

Penting dinyatakan bahwa Hammâm memperkenalkan matan Hadisnya dengan


kata-kata, “Abu Hurairoh berkata kepada kami tentang apa yang disandarkan kepada
Nabi SAW”. Ini berarti bahwa Hammâm sudah menyebutkan sumber informasinya
ketika meriwayatkan sebuah hadis dalam bentuk yang kemudian dinamakan sanad atau
isnâd, yakni guru atau rangkain para guru yang melalui mereka seorang kolektor hadis
sampai kepada Nabi saw., sebuah praktik yang selalu diikuti dalam berbagai kompilasi
hadis secara sistematis.

Cara Sahabat Menerima Hadis


Hadis-hadis yang ada sekarang ini, adalah hasil jerih payah ulama terdahulu.
Sahabat adalah pionir tongkat estafet pertama dalam penyebaran Hadis-hadis Nabi. Baik
itu perkataan, perbuatan, taqrir, hingga segala hal yang terkait dengan pribadi Nabi. Apa
yang disaksikan oleh para sahabat itulah yang sampai kepada generasi setelahnya.
Hadis yang diterima oleh sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh Hadis Nabi kemudian
menyampaikan kepada orang lain. Para sahabat sangat bersemangat menghadiri
majelis-majelis Nabi. Sambil tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghadiri majelis Nabi secara bergantian karena kondisi yang tidak
memungkinkan hal tersebut. Sebagaimana pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya
sebagai berikut:
‘Umar bin Khattab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita
terkait dengan Nabi. Kata ‘Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka
‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan
memperoleh berita yang berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan
berita itu kepada yang tidak bertugas.8
Dengan demikian sahabat yang jumlahnya sangat banyak tidak sama dalam tingkat
kebersamaan mereka dengan Nabi. Di antara mereka ada yang sehari-harinya bergaul,

8Lihat al-Bukhari, Juz I, h. 28; Juga al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Juz I, h. 185-186, lihat juga M. Ajjaj al-Khatib,
Hadis Nabi sebelum di bukukan, (Cet. I; Jakarta: PT. Gema Insani Press, 1999), h. 87.

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

dan bertemu dengan Rasul, tapi tak sedikit pun karena alasan tertentu tidak dapat
bertemu dan bergaul langsung dengan Nabi. Mengingat keanekaragaman keadaan para
sahabat, maka cara menerima Hadis dari Nabi pun berbeda.9Cara para sahabat
menerima Hadis Nabi dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Secara langsung dari Nabi


a. Melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Nabi, kemudian beliau
menjelaskan hukumnya hingga tersebar di kalangan kaum muslimin melalui
saksi primer. Adakalanya sahabat yang merupakan saksi primer jumlahnya
banyak sehingga berita tentang hukum itu tersebar dengan cepat, dan
adakalanya sedikit sehingga beliau perlu mengutus sahabat yang lain untuk
menyampaikan hal tersebut kepada kaum muslimin. Misalnya, Hadis yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khattab. bahwa Rasululullah melihat seorang
berwudhu untuk melakukan shalat. Namun ia tidak membasuh bagian kuku
kakinya. Lalu beliau bersabda:

(‫وضوئك‬ ‫“ )ارجم فأِسن‬Ulangilah, dan sempurnakanlah wudhumu.”


Tidak ada batas dan penghalang antara mereka dan beliau. Sehingga
dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ali r.a. bahwa pernah seorang
A’raby datang dari tempat yang jauh hanya untuk meminta penjelasan
mengenai ruwaihah (kentut kecil), kemudian Rasulullah bersabda:

‫ان هللا ال استحيي َن احلق اذا فعل اِدكم فاليتوضأ وال أتتوا النساء يف اعجازىن‬
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak merasa malu (menjelaskan) kebenaran
jika salah seorang diantara kamu kentut maka hendaklah ia berwudhu dan
janganlah kamu mendatangi istri melalui dubur mereka.”10
b. Melalui kejadian dan peristiwa yang dialami para sahabat dan mereka
menyaksikan tindakan Rasulullah
Hal ini banyak terjadi pada diri beliau. Misalnya, menyangkut masalah shalat,

9 Departemen Agama RI, Ulum al-Hadis, (Cet. I; PT. Departemen Agama RI, 1998), h. 68.
10 Musnad Imam Ahmad, Hadis ke-655, Juz II, pada suatu kali Rasulullah saw. Bersabda “ ‫”يف ادابرىن‬, lihat
Ibid, h. 92.

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

puasa, haji. Saat dalam perjalanan, dan saat berdiam di rumah. Misalnya Hadis
yang diriwayatkan oleh Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya Abdullah bin ‘Umar
bahwa ia melihat Rasulullah saw., Abu Bakar, serta ‘Umar berjalan di depan
jenazah11

2. Secara tidak langsung dari Nabi


Pada bagian ini, sahabat menerima Hadis secara tidak langsung dari Nabi. Baik
itu mendengar, melihat atau menyaksikan langsung segala sesuatu yang
berkaitan dengan Nabi saw. Akan tetapi terkadang mereka hanya sebagai saksi
sekunder.12 Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Kondisi tempat tinggal yang berjauhan dari tempat tinggal Nabi Hal ini
memungkinkan sahabat tidak dapat menerima Hadis langsung dari Nabi akan
tetapi menanyakannya kepada para sahabat yang lain.
b. Kesibukan para sahabat dalam mengurus kebutuhan hidup dan keperluan
sehingga mereka terkadang tidak sempat datang ke majelis Nabi, akan tetapi
meskipun tidak hadir mereka tetap bisa menerima Hadis Nabi dengan
bertanya kepada sahabat yang menghadiri majelis tersebut.
c. Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang
ditanyakan kepada Nabi, menyangkut masalah yang sangat pribadi. Sahabat
yang memiliki masalah demikian, biasanya minta tolong kepada sahabat
lainnya untuk menanyakan kepada Nabi. Sebagaimana riwayat Ali bin Abi
Thalib, ia berkata, “Saya adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi.
Saya malu menanyakan hal itu kepada Rasulullah karena status putrinya
(sebagai istriku). Maka saya meminta al-Miqdad bin al-Aswad menanyakan
hal itu kepada beliau. Beliau menjawab, Ia harus membasuh kemaluannya lalu
berwudhu.13

11 Musnad Imam Ahmad, h. 247, hadis ke-653, Juz II, melalui isnad sahih, lihat Ibid.,h. 96. Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahatuhu, (Cet. ..; Beirut: PT. Dar al-Fikr, 1998), h. 70.
12 M. Syuhudi Ismail, M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 36.
13 M. ‘Ajjaj al-Khatib,op. cit.,h. 91. Lihat juga Musnad Imam Ahmad, h. 39, hadis ke-606 dan h. 46, hadis ke-

618, Juz II melalui sanad shahih. Fath al-Bari, h. 294 dan 394, Juz I, dan Shahih Muslim, H. 247, hadis ke
17-19, Juz I.

9
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa terdapat tiga unsur
yang berperan dalam pemeliharaan Sunnah yaitu: [1] kepribadian Rasulullah; [2]
Sunnah dilihat dari sisi materinya; [3] Para sahabat.

Hadis pada Masa Sahabat


Periode kedua sejarah perkembangan Hadis adalah masa sahabat, khususnya
adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.14 Periode
ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode
membatasi Hadis dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat
pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan Hadis pun kurang mendapat perhatian, bahkan
mereka berusaha untuk bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan Hadis.
Kehati- hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan Hadis yang dilakukan
para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan
kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadis adalah sumber ajaran setelah Al-
Qur’an.15 Keberadaan Hadis yang demikian harus dijaga keotentikannya sebagaimana
penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-
Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al-zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha
keras untuk memperketat periwayatan hadis. Berikut ini akan diuraikan periwayatan
hadis pada masa sahabat.

1. Abu Bakar al-Shiddiq


Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam
memelihara Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama
kali menerima Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan
sahabat lain ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya
mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .” kata Abu
Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari
Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang mendengar

14 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm. 79


15 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71

10
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi
bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6)
harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan
bagian tersebut.16
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan Hadis dilakukan dengan
sangat hati-hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat
748H/1347M), sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan sikap kehati-
hatiannya dalam meriwayatkan hadis adalah Abu Bakar al-Shiddiq. Sikap ketat dan
kehati-hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau,
yaitu dengan membakar catatan-catatan Hadis yang dimilikinya. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah
membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus Hadis. Tindakan Abu Bakar
tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah
dalam meriwayatkan Hadis Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadis yang
diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya
bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi,
mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat. Selain sebab-
sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga faktor yang
menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadis, yaitu (1) dia
selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan
Hadis tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya
dengan kewafatan Nabi sangat singkat. Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau
sekiranya aktifitas periwayatan Hadis pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat
terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan
oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa
pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan
pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam
(intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat
diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.

16 Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.

11
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

2. Umar ibn al-Khathab


Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya
Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan Hadis.
Perlu pula dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara
resmi untuk menghimpun Hadis dalam suatu kitab seperti Al-Qur’an. Hal ini
disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat
Islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Alasan kedua, para sahabat banyak menerima
Hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan
kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan
kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap.
Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan Hadis, di kalangan para sahabat
sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan
soal lafazh dan kesahihannya.17 Abu Hurairah seorang sahabat yang terbanyak
meriwayatkan Hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak
meriwayatkan Hadis di masa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan
Hadis di masa Umar bin Khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya
Umar akan mencambukku dengan cambuknya. Tindakan hati-hati yang dilakukan
oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar
dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam
meriwayatkan sebuah hadis. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila
tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya. Hal ini memang dapat dipahami,
karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah
Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena
itu belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan
umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-
Qur’an dan al-Hadis. Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga
dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan
mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun
demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadis juga banyak dilakukan oleh umat
Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.

17 Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 82

12
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

3. Utsman Ibn Affan


Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan Hadis dilakukan dengan cara yang
sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh
Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.
Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat
Islam berhati-hati dalam meriwayatkan Hadis. Namun pada zaman ini, kegiatan
umat Islam dalam periwayatan Hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan
kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu
ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap
“longgar” dalam periwayatan Hadis. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi
Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah
bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian
kegiatan periwayatan Hadis secara ketat.

4. Ali bin Abi Thalib


Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan Hadis tidak jauh berbeda
dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-
hati didalam meriwayatkan Hadis. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan
bahwa Ali r.a tidak menerima Hadis sebelum yang meriwayatkannya itu
disumpah.18 Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali
tidak meminta mereka untuk bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam
periwayatan Hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan
Hadis. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat
Hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan Hadis Nabi. Hadis yang
diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2]
pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki
18

Putra, 1999), 47

13
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat Hadis yang
terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.

Cara Sahabat Menyampaikan Hadis


Pada zaman Nabi, tidak semua Hadis ditulis oleh para sahabat. Hadis Nabi yang
disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan.
Hadis Nabi yang memungkinkan untuk diriwayatkan secara lafal (Riwayah bi al-lafzhi)
oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah Hadis dalam bentuk perkataan. Sedangkan
hadis yang tidak berbentuk perkataan, hanya dimungkinkan untuk diriwayatkan secara
makna (Riwayah bi al-ma’na ). Hadis yang dalam bentuk perkataan pun sangat sulit
diriwayatkan secara lafal.19 Bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh
sabda Nabi itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan
tingkat kecerdasan sahabat tidak sama. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal
transfer Hadis, sahabat menempuh dua cara. Yaitu:

1. Periwayatan secara lafal (Hadis riwayah bi al-lafzh).


Periwayatan Hadis secara lafal adalah “periwayatan Hadis yang redaksi atau
matannya persis seperti yang diperoleh dari Rasulullah saw. 20 Maksudnya bahwa
Hadis yang diterima diriwayatkan dengan mempertahankan lafalnya sesuai
redaksi yang disampaikan oleh Nabi. Para sahabat ketika meriwayatkan Hadis
menempuh jalan ini. Mereka berusaha agar dalam periwayatan Hadis selalu sesuai
dengan lafazh yang disampaikan oleh Nabi. Di antara para sahabat yang paling
menuntut periwayatan Hadis sesuai dengan lafal asli dari Nabi adalah ‘Abdullah
bin ‘Umar, dan Sa’id bin Arqam. Periwayatan Hadis secara lafal sangat sedikit
disinggung pada buku-buku Hadis yang ada.

2. Periwayatan secara makna (Hadis riwayah bi al-ma’na)

19 M. Syuhudi Ismail, M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 36.
20 Lihat Departemen Agama RI, op. cit., h. 46.

14
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Periwayatan secara makna adalah periwayatan Hadis dengan melakukan


perubahan dari segi lafal. Baik dari segi pendahuluan dan pengakhiran sebuah
kata, atau dengan cara penggunaan sinonim. Mereka yang memperbolehkan
periwayatan Hadis secara makna, secara terpaksa meriwayatkan sebagian Hadis
dengan kata-kata mereka sendiri. Terkadang mereka menggunakan kalimat “Atau
seperti yang Rasulullah katakan” dan kalimat lain yang sejenis.21 Di antara sahabat
yang membolehkan hal tersebut ialah ‘Aisyah r.a. dan Hasan al-Bashri dari golonan
tabi’in

Hadis pada Masa Tabi’in


Pada dasarnya periwayatan Hadis yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda
dengan yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengkuti jejak para
sahabat sebagai guru–guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak
berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam
satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa
khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Ustman para sahabat ahli Hadis
menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Kepeda merekalah para tabi’in
mempelajari Hadis.22

1. Pusat – pusat Pembinaan Hadis


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan Hadis,
sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari Hadis. Kota-kota tersebut ialah
Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir,
Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat pembina Hadis
pada kota- kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan Hadis
cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik,
Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.23

21 Subhi Shalih, ‘Ulum al-hadis wa musthalahatuhu, (Cet. I, Beirut; PT. Dar al-‘Ilmi li al-malayin,
1998), h. 86.
22 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 1999


23 Nor Ikhwan, Mohammad, Ilmu Hadist,(Semarang:Rasail Media, 2007),87

15
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Tokoh–tokoh dalam perkembangan Hadis pada masa awal perkembangan


Hadis, sahabat yang banyak meriwayatkan hadis disebut dengan al-Mukatsirun fi
al-Hadis mereka adalah: Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 Hadis,
Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 Hadis, Anas ibn Malik meriwayatkan 2276
atau 2236 Hadis, Aisyah (istri Nabi) meriwayatkan 2210 Hadis, Abdullah ibn Abbas
meriwayatkan 1660 Hadis, Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 Hadis, Abu Sa’id
al-Khudri meriwayatkan 1170 Hadis.
Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan Hadis
sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di
antaranya:
a. Madinah: Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn
Abdullah ibn Umar dan Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah: Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair
c. Kufah: Ibrahim an-Nakha’i, ‘Alqamah
d. Basrah: Muhammad ibn Sirin, Qatadah
e. Syam: Umar ibn Abdul Aziz
f. Mesir: Yazid ibn Habib
g. Yaman: Thaus ibn Kaisan al-Yamani.

Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis


Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang
Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan
tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke
dalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang
tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Secara langsung atau tidak, dari pergolakan politik tersebut di atas, cukup
memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang
langsung yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya Hadis–Hadis palsu (maudhu’)
untuk mendukung kepentingan politiknya masing–masing kelompok dan untuk
menjatuhkan posisi lawan–lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah
lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin Hadis,

16
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.24

Latihan

1. Jelaskan bagaimana perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW ?


2. Jelaskan bagaimana cara penyampaian Hadis dari Rasulullah kepada para
sahabat?
3. Jelaskan bagaimana perkembangan Hadis pada masa Sahabat ?
4. Jelaskan bagaiaman cara Sahabat menyampaikan Hadis?
5. Jelaskan bagaiamana perkembangan Hadis pada masa Tabi’in?

Rangkuman

1. Hadis pada periode pertama atau pada masa Rasulullah SAW belum
dikodifikasi. Pada masa itu sudah diterapkan kaidah-kaidah dan metodologi
dalam menyampaikan Hadis, namun belum diresmikan menjadi satu keilmuan
khusus.
2. Cara Nabi menyampaikan hadis kepada para sahabat ditempuh melalui 2 cara:
a. secara langsung dan b. secara tidak langsung
3. Sahabat Khulafa’ur Rasyidin baik Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib, sudah memberikan perhatian lebih terhadap
perkembangan Hadis pada masanya, dan semuanya sangat menganjurkan
Tugas/Lembar Kerja
agar berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan Hadis.
4. Pada masa Tabi’in mulai muncul pusat-pusat pembinaan Hadis, dan pada
masa ini pula muncul para tokoh periwayat Hadis dan berhasil membukukan
Hadis yang diriwayatkannya seperti Abu Hurairah

24 Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.2003

17
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021

Anda mungkin juga menyukai