Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ULUMUL HADIST

“Hadis Pada Masa Pra Kodifikasi”


Dosen Pengampu : H. Amran Nasution, S.Th.i.,MA, Ph.D

Di Susun Oleh :
Jaka Prasaja
Fahrul Anwar

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


MA’ARIF JAMBI
2021
A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Hadis pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.1 Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan
Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya.
Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan
pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.2

1. Kebjaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadits


Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang hadits
ialah sebagai berikut:

a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya


untuk menghafal, menyampaikan dan menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang

َ
menunjukkan perintah ini yaitu: ‫وحدِّثوا‬ ‫ ََِِّّن‬65ّ ‫ع‬ ‫َو َل‬ َ ‫َو َم ْن َك َذ‬
‫ب َحر َج‬
َّ ‫ُمتَ َع ِّم ًداَ عَل‬
‫ي‬ ْ ‫ب‬
‫وأ‬ َ َ‫ِم َن َم ْق َع َدهُ فَ ْل َي ت‬ ‫الناِر‬
َِ 5َ

“Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa
yang kamu dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta pada diriku, hendaklah dia
bersedia menempati kediamannya dineraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam
kegiatan menghafal hadits. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya
bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat
hafalannya. Kedua, Rasulullah SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya.
Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal
hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.4

1 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 31.


2 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-
71. 4 Ibid.
b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya. Dalil yang

ْ ‫ ََِِّّن َش ْي ئا غ‬65ّ ‫تب ع‬


‫َي‬ َ ُ‫ ََِِّّن َش ْي ئا إ ََّل الق‬65ّ ‫ت بُ وْ ا ع‬
َ ‫رآن َو َم ْن َك‬ ُ ‫لَتَ ْك‬ :menunjukkan perintah ini yaitu

(‫َُُُو)رواه أحمد‬5َ ‫رآن فَ ْلي ْمح‬


َ ُ‫َر الق‬
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali al-Qur‟an.
Dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur‟an, hendaklah ia
menghapusnya.” (HR. Ahmad dan Muslim).

2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadits


Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah
SAW sebagai sumber hadits. Tempat pertemuan antara Rasulullah SAW dan sahabatnya,
seperti di Masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan, dan ketika muqim
(berada di rumah). Melalui tempat tersebut Rasulullah SAW menyampaikan hadits yang
disampaikan melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan
melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikan oleh para sahabat (melalui musyahadah).

Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:

a. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk
selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan
oleh Rasulullah SAW.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika yang
berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut
hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan Fath
Makkah.3 Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi Muhammad
SAW menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya terkait dengan bidang muamalah,

3 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 72-73.


ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan,
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas isi khatbah
itu antara lain larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan
mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya, persaudaraan dan
persamaan diantara manusia harus ditegakkan, dan umat Islam harus selalu berpegang
teguh kepada
Al-Qur‟an dan Hadits.4

3. Perbedaaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits


Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan hadits. Hal ini tergantung
kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama
Rasulullah SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada
sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak
tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.

Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari
Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara lain:

a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula


masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib dan
Ibn Mas‟ud.
b. Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal keluarga
dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga menuliskan
hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-„Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, akan tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.

4 Idri, Studi Hadis, 35.


e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh yang mengikuti majlis Rasulullah SAW,
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama
dari wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik dan
Abdullah Ibn Abbas.
Sementara itu, menurut Muhamad Musthafa „Azami, bahwa para sahabat
menerima hadits dari Rasulullah SAW melalui tiga macam cara, yaitu:
1) Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah
masyarakat yang kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai
mengenal baca tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima dan
memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain, beliau juga sering
mengulangulang apa yang telah diucapkannya.
2) Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW yang setelah
menerima hadis dari beliau, mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis
saja.
3) Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadis-hadis yang
diterima dari Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehai-hari, dan jika terjadi
perbedaan, maka mereka dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah
SAW.5

4. Penulisan Hadis Masa Rasulullah SAW dan Khulfa’ Rasyidin


Sa‟ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan hadis Rasulullah SAW. Ibnu
Hajar memastikan bahwa beliau adalah salah seorang penulis jaman jahiliyah. Putranya
meriwayatkan hadis dari catatannya tersebut. Al-Bukhari mengatakan bahwa catatan itu
merupakan salinan dari catatan Abdullah bin Abi Aufa yang menulis sendiri hadis-hadis
Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah bin „Amr bin al-„Ash
termasuk sebagai ash-Shahifah ash-Shadiqah. Abdullah bin „Amr mencatat dari
sumbernya, yakni Rasulullah sendiri. Yang terhimpun seribu hadis Rasulullah SAW.
Shahifah dalam tulisan tangan beliau tidak ditemui sekarang, namun isinya terhimpun di
dalam kitab-kitab Hadis terutama di dalam Musnad Ahmad.6

Sebagian Sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh


5 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 38-41.
6 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), 63-64.
Abdullah bin „Amr. Mereka

ّّْ َ ‫َِْنوم ْن َك‬65ّ َّّْ ‫ت بُ وْ ا ع‬


ْ ‫َِّْنغ‬5ِ ‫تب ع‬
‫َي َر‬ َ َ ِ ُ ‫ ََل ت ْك‬: ‫َُُل هِللا صلى هللا عليه وسل َم قا َل‬5َ ْ‫أن رسُو‬
َّ ,beralasan

.(‫َ)رواه مسلم‬.‫رآِن فَ ْلي ْمحُو‬


َِ 5َ ُ‫الق‬
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar
dari aku. Dan barangsiapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an,
hendaklah ia menghapuskannya.” (HR. Muslim).
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari
Nabi Muhammad SAW, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau
menuturkan ssuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka,
Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal tersebut Rasulullah SAW

ٌّ ‫ْيإ ََّل َح‬5ََْ ‫ْن ف ِم‬5َ َْ ‫ِم‬


kemudian bersabda, .‫ق‬ 5ََْ ‫ َِِْنفَ َوال ِذ‬65ّ َّّْ ‫تْب ع‬
‫ْيَْبي ِد ِه َما خَر َج‬5َ ‫ْين ْف ِس‬ 5َ َْ ‫ا ْك‬
Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-
Nya, tidak keluar dari muutku, selain kebenaran.7

B. Hadits Pada Masa Khulafa’ Rasyidin


Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa Khulafa‟ Rasyidin (Abu
Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung
sekitar tahun 11 H s/d 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.

Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur‟an, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan
kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap
sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.8

Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap
kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari Nabi
Muhammad SAW, yaitu:

7 M. Agus Solihin dan Agus Suyadi, UlumulHadis (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 59.
8 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 79.
5. Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis
seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila mereka
hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
6. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ada
perubahan sedikitpun.9
Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-hati
dalam periwayatan hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat peduli
tentang kebenaran dalam periwayatan hadits, diantaranya:
a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.
b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri.
c. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi
dalam periwayatan hadits.
d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayatan hadits.
e. Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan
terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan
mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.10

C. Hadits Pada Masa Tabi’in


Pada era tabi‟in, keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Namun pada
masa ini, Al-Qur‟an telah dikodifikasi dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, maka
tabi‟in dapat memfokuskan diri dan mempelajari sunnah dari para sahabat. Kemudahan

9 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 83-84.


10 Idri, Studi Hadits, 40-41.
lain, yang diperoleh tabi‟in karena sahabat Nabi Muhammad SAW telah menyebar ke
seluruh penjuru dunia Islam. Sehingga, mereka mudah mendapatkan informasi tentang
sunnah.

1. Pusat-pusat Pembinaan Hadits


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat
tujuan para tabi‟in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah Al-
Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalusia, Yaman dan Khurasan. Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis pada
kotakota tersebut, antara lain Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, Aisyah,
Abdullah Ibn Abbas, Jabir Ibn Adillah dan Abi Sa‟id Al-Khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah dan Rasulullah SAW juga membina masyarakat Islam yang didalamnya
terdiri atas Muhajirin dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini, diantaranya Khulafa‟
Rasyidin, Abu Hurairah, Sii Aisyah, Abdullah Ibn Umar dan Abu Sa‟id Al-Khudri,
dengan menghasilkan para pembesar Zuhri, Ubaidillah Ibn „Utbah Ibn Mas‟ud dan Salim
Ibn
Abdillah Ibn Umar. tabi‟in, seperti Sa‟id Ibn Al-Musyayyab, „Urwah Ibn Zubair, Ibn
Syihab Al-Zuhri. Di antara ulama hadits yang menghimpun hadits pada masa ini adalah:
Ibnu Juraij (w. 150 H di Makkah), Al-Awza‟I di Syiria (w. 159 H), Sufyan at-Tsawri di
Kufah (w. 161
H), Imam Malik al-Muwaththa‟ di Madinah (w. 174 H), dan lain-lain.11

2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits


Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal
dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Ibn Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa
kelompok (Khawarij, Syi‟ah, Mu‟awiyah, dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke
dalam ketiga kelompok tersebut).

11 Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70.
Demikian, dari pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh negatif, yakni
dengan munculnya hadis-hadis palsu (mawdhu‟) untuk mendukung kepentingan
politiknya masingmasing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Sedangkan pengaruh positifnya ialah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan
dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.12

3. Perkembangan Pembukuan Hadis


Perkembangan pembukuan hadis pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:

a. Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan
masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqh dan kualitas hadisnya ada yang
shahih, hasan, dan dha‟if.
b. Al-Jami‟, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah,
yakni aqa‟id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan
sejarah, sifatsifat akhlak (syama‟il), fitnah dan sejarah (manaqib).
c. Sunan, yaitu teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat
beberapa hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa‟i, Sunan Ibnu Madjah, dan
Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha‟if, tetapi
tidak terlalu dha‟if seperti hadis Munkar.13

12 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 85-88.


13 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012), 64-65.

Anda mungkin juga menyukai