Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH KODIFIKASI HADIS

Oleh:

Wardatul Asfiyah, S.Ag

A. Sejarah Kodifikasi Hadis


Hadis dalam perkembangannya tidak langsung ditulis atau dibukukan. Walaupun hadis
menjadi sumber ajaran pokok kedua bagi umat Islam, pengumpulan dan pembukuannya tidak serta
merta dilakukan bahkan disaat masa Rasulullah SAW. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
terbagi dalam beberapa periode, yaitu:
1. Periode I: Masa Rasulullah SAW (13 SH-11 H)
masa ini dikenal dengan ‘Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu dan
pembentukan karena pada masa ini wahyu masih turun dan banyak hadis Nabi sebagai penjelas
dari wahyu yang diturunkan.1 Selama Rasulullah hidup, para sahabat mengambil hukum syara’
dari al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi dan disampaikan setiap ayat
itu kepada para sahabat. Namun tidak semua ayat dapat dipahami dengan mudah sehingga
diperlukan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW agar dapat dipahami makna yang
sebenarnya.2
Dalam menyampaikan keterangan atau memeberi pelajaran kepada para sahabat,
Rasulullah menyampaikan dimana saja yang beliau kehendaki. Rasulullah sangat dekat dengan
para sahabat, bergaul dengan mereka di masjid, di rumah, di pasar, bahkan beliau ikut serta
dalam peperangan. Dalam berbagai keadaan, Nabi tidak enggan untuk memberikan ilmu kepada
para sahabatnya. Para sahabat dikenal sebagai orang yang sangat teguh berpegang pada ajaran
agama dan menayakan segala hal kepada Rasulullah. Akan tetapi tidak semua sahabat dapat
sering berjumpa dengan Nabi dan bertanya langsung kepada Nabi. Hal ini berkaitan dengan jarak
yang jauh dari tempat Nabi tinggal dan kesibukan dari aktifitas yang dijalankan oleh para
sahabat. Namun segala macam rintangan tidak menghentikan para sahabat haus akan ilmu dari
Rasulullah SAW. Berbagai cara dilakukan oleh sahabat yang tempat tinggalnya jauh dari
kediaman Nabi. Beberapa melakukan perjalan ke Madinah kemudian tinggal beberapa hari untuk
mempelajari hukum-hukum Islam langsung dari Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, apa yang
disampaikan oleh Rasulullah disampaikan kepada sahabat yang tidak ikut pergi.3
Dalam menyampaikan hadis, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu:

1
Idri, Studi Hadis, Edisi Pertama (Jakarta: Kencana, 2010), 31
2
Nanik Nurwiyati, Sejarah Penyusunan dan Pembukuan Hadits (Studi Tentang Kodifikasi Hadits Pada Masa Umar bin Abdul
Aziz), Skripsi IAIN Sunan Ampel, 1998, 26.
3
Nanik Nurwiyati, Sejarah Penyusunan dan Pembukuan Hadits (Studi Tentang Kodifikasi Hadits Pada Masa Umar bin Abdul
Aziz), Skripsi IAIN Sunan Ampel, 1998, 29-30.
1
a) Melalui Majlis Ilmu
Majlis ilmu merupakan pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Rasulullah
SAW. Majlis ini menjadi peluang besar bagi para sahabat untuk memperoleh hadis dari Nabi
sehingga selalu meluangkan diri untuk menghadiri majlis ilmu. Diantara mereka, ada yang
secara sengaja membagi tugas untuk mendapatkan informasi yang berasal dari Nabi seperti
sahabat Umar bin Khattab, beliau membagi tugas dengan teteangganya untuk mendapatkan
hadis dari Nabi. Jika hari ini giliran Umar untuk menemui dan mendapatkan hadis dari Nabi,
maka setelah selesai belaiu segera menyampaikan kepada pihak yang tidak bertugas. Begitu
juga sebaliknya jika sampai pada giliran Umar yang tidak menghadiri majlis. Tidak jarang
juga para kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis Nabi dan
kemudian mengajarkannya pada mereka ketika kembali dari majlis.4
b) Melalui sahabat tertentu
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah menyampaikan hadisnya kepada sahabat-
sahabat tertentu dan kemudian disampaikan oleh sahabat tersebut kepada orang lain. Hal ini
terjadi karena ketika menyampaikan hadis, sahabat yang hadir hanya sedikit atau memang
disengaja oleh Rasulullah hanya disampaikan pada sahabat-sahabat tertentu.5
c) Melalui istri-istri Nabi
Berkaitan dengan hal-hal yang sensitif seperti keluarga dan kebutuhan biologis
terutama menyangkut hubungan suami istri, biasanya Nabi menyampaikan melalui istri-istri
beliau.6
d) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka
Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan
khutbah yang sangat bersejarah di depan ratusan kaum muslim yang melakukan ibadah haji.
Isinya berkaitan dengan muamalah, siyasah, jinayah, hak asasi manusia yang meliputi
kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas.
Beliau menyebutkan dalam khutbahnya, larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak,
larangan mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya, perintah
memperlakukan istri dengan baik, persaudaraan dan persamaan antara manusia harus
ditegakkan serta umat Islam harus berpegang teguh pada al-Quran dan sunnah Nabi.7
e) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabat
Melalui jalan musyahadah seperti praktik-praktik ibadah dan muamalah, Nabi
menunjukkan kepada para sahabat sehingga mereka dapat mencontoh dan mengambil
hukumnya. Misalnya, pada suatu hari Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan
4
Idri, Studi Hadis, Edisi Pertama, 32-33.
5
Idri, Studi Hadis, Edisi Pertama, 34.
6
Idri, Studi Hadis, Edisi Pertama, 34.
7
Idri, Studi Hadis, Edisi Pertama, 35.
2
seorang laki-laki sedang membeli makanan (gandum). Kemudian Nabi menyuruhnya
memasukkan tangannya ke dalam gandum. Ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi
bersabda:8
‫ليس منا من غش‬
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Pada masa Rasulullah, hadis-hadis yang disampaikan oleh Nabi kebanyakan dihafalkan.
Di masa ini hadis belum mendapatkan perhatian yang lebih seperti al-Quran. 9 Walaupun
keberadaan hadis menjadi suatu hal penting karena merupakan penjelas dari al-Quran, namun
para sahabat belum mempunyai pandangan kedepan terkait bahaya yang akan mengancam
generasi mendatang jika hadis tidak ditulis. Para sahabat menyampaikan sesuatu yang mereka
dapat dari Nabi melalui lisan karena orang Arab memang terkenal mempunyai ingatan yang
kuat. Penulisan hadis pada masa ini masih dilarang oleh Rasulullah SAW dengan beberapa
pertimbangan:10
a) Larangan menulis hadis dimaksudkan untuk memelihara agar hadis tidak bercampur dengan
al-Quran;
b) Larangan menulis hadis bersifat umum, sedangkan perijinan untuk menulis hadis bersifat
khusus hanya pada sahabat yang mempunyai keahlian menulis sehingga terhindar dari
kekeliruan;
c) Larangan menulis ditujukan pada orang yang lebih kuat hafalannya, sedangkan perijinan
menulis hadis ditujukan kepada orang yang kurang kuat hafalannya seperti sahabat Abu
Syah.

Di samping melarang penulisan hadis, Rasulullah juga memerintahkan sahabat-sahabat


tertentu untuk menuliskan hadis. Para sahabat yang mempunyai naskah hadis, diantaranya:

a) Abdullah bin Amr bin Ash (7 SH-65 H)


Abdullah bin Amr bin Ash adalah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang
didengarnya dari Rasulullah. Pada suatu ketika Abdlah bin Amr bin Ash ditegur oleh orang-
orang Quraisy: “Kau tuliskan semua apa yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang beliau itu
sebagai manusia kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang berbicara dalam
suasana duka?”. Teguran ini kemudian disampaikan oleh Abdullah bi Amr bin Ash kepada
Nabi Muhammad SAW dan beliau menjawab:11

ٌّ ‫ا ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذى نَ ْف ِسى بِيَ ِد ِه َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ إِالَّ َح‬


)‫ق )رواه ابو داود‬
8
Idri, Studi Hadis, Edisi Pertama, 35.
9
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Bandung: PT. Alma’arif, 1995), 29.
10
Asep Sulhadi dan Izzatul Sholihah, “Sejarah Perkembangan Hadits Pra Kodifikasi”, Jurnal Samawat, Vol 04, No. 01,
(2010), 82.
11
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 30-31.
3
“Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku ada ditanganNya, tidaklah keluar dari padaNya
selain hak” (HR. Abu Dawud).

Rasulullah mengizinkan Abdullah bin Amr bin Ash untuk menulis apa yang beliau
dengar dari Nabi karena Abdullah bin Amr bin Ash merupakan seorang penulis yang baik.
Naskahnya disebut dengan “ash-Shahifah ash-Shadiqah”. Di dalamnya berisi 1000 hadis
yang dihafal dan dipelahara oleh keluarganya sepeninggal Abdullah binAmr bin Ash.
Cucunya yang bernama Amr bin Syuaib meriwayatkan hadis-hadis tersebut sebanyak 500
hadis. kutipan dari naskah ini dapat ditemukan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu
Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Turmudzi dan Sunan Ibn Majah.12
b) Jabir bin Abdullah al-Anshary r.a (16 H-73 H)
Jabir bin Abdullah al-Anshary merupakan sahabat yang alim berguru kepada Abu
Hurairah r.a dan banyak mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah. Hadis-hadis tersebut
kemudian dikumpulkan dalam satu naskah yang disebut “ash-Shahifah ash-Shahihah” yang
berisikan hadis sebanyak 138 hadis.13
2. Periode II: Masa Khulafaur Rasyidin
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat belum memikirkan penghimpunan hadis.
banyak problem yang dihadapi seperti timbulnya orang murtad, munafiq, banyaknya peperangan,
dan banyak sahabat penghafal al-Quran yang gugur. Abu Bakar bersama para sahabat
berkonsentrasi untuk membukukan al-Quran. Abu Bakar pernah berkeinginan untuk
membukukan sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang yang tdak
bisa dipercaya. Umar bin Khattab juga pernah mencoba menghimpun hadis. tetapi setelah
bermusyawarah dan beristikharah`selama satu bulan, beliau berkata:14
“Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah. Aku telah menyebutkan suatu kaum
sebelum kalian yang menulis beberapa buku, kemudian mereka sibuk dengannya dan
meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan
mencampuradukkan Kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.

Pada periode ini periwayatan hadis diperketat. Penyampaian periwayatan hanya dilakukan
ketika umat Islam membutuhkan pejelasan hukum. Ketika bermunculan orang-orang murtad,
munafik dan aksinya, para sahabat sangat menjaga kemurnian hadis. antisipasi terhadap
pemalsuan hadis dilakukan dengan membatasi periwayatan. Pembatasan ini sangat menonjol di
masa Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar mengingatkan agar tidak terlalu disibukkan dengan hadis
sehingga mengalihkan perhatian dari al-Quran. Dalam rangka mensukseskan penyaiaran al-
Quran, Abu Bakar mengadakan larangan untuk memperbanyak riwayat.15

12
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 31.
13
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 31.
14
Asep Sulhadi dan Izzatul Sholihah, “Sejarah Perkembangan Hadits Pra Kodifikasi”, Jurnal Samawat,82-83.
15
Asep Sulhadi dan Izzatul Sholihah, “Sejarah Perkembangan Hadits Pra Kodifikasi”, Jurnal Samawat, 83.
4
Memanasnya politik juga menjadi penyebab dilarangnya penghimpunan hadis. Akibat
terjadinya perubahan kekuasaan, banyak fitnah bermunculan dan berusaha menyandarkan pada
Nabi agar dipercaya orang lain. Hal ini dilakukan karena ada kepentingan dari golongan-
golongan tertentu yang melebar menjadi sebuah aliran teologi seperti Syi’ah dan Khawarij. 16
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib timbul perpecahan dikalangan umat Islam akibat
konflik politik antara pendukung Ali dan Muawiyah. Akibat dari perpecahan ini kemudian
muncul hadis-hadis palsu untuk mengklaim kelompoknya yang paling benar. Masing-masing
menolak hadis dari yang bukan golongannya karena memiliki kriteria hadis shahih masing-
masing. Syi’ah hanya menerima hadis yang perawinya berasal dari ahl bait karena merekalah
yang dinilai memiliki kredibilitas dalam periwayatan hadis. Sedangkan khawarij menolak hadis
dari para sahabat yang terlibat perdamaian antara pendukung Ali dan Muawiyah.17
Pada masa ini periwayatan hadis dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a) Bil-Lafdzi
Riwayat bil-lafdzi adalah meriwayatkan hadis dengan lafadz yang sama seperti yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.18 Dalam riwayat ini lafadz yang diriwayatkan
masih asli dari Rasulullah SAW.19
b) Bil-Ma’na
Riwayat bil-ma’na adalah meriwayatkan hadis dengan lafadz yang berbeda dari yang
diucapkan Nabi, akan tetapi substansinya sama.20 Dalam periwayatan ini, maknanya berasal
dari Rasulullah, sedangkan redaksinya disusun oleh orang yang meriwayatkan. Hal ini
terjadi karena sudah tidak hafal dengan lafadznya dan pada saat itu isi dari hadis yang benar-
benar dibutuhkan.21
3. Periode III: Penyebaran Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Pada masa ini penyebarab Islam telah sampai ke Syam, Irak, Mesir, Persia, Samarkand,
dan Spanyol. Dengan tersebarnya Islam di luar wilayah Arab, maka hadis juga tersebar bahkan
sampai di wilayah Afrika dan Eropa. Tokoh-tokoh pada masa ini adalah Sa’id dan Urwah di
Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim an-Nakha’i di Kufah,
Muhammad bin Sirrin di Bashrah, dan lain sebagainya.22
4. Periode IV: Periode Penulisan dan Pembukuan Hadis (Akhir abad 1-2 H)
Setelah agama Islam tersebar luas masyarakat bahkan di luar jazirah Arab, para sahabat
mulai berpencar di beberapa wilayah bahkan banyak diantara mereka yang meninggal dunia.

16
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Amzah, 2018), 160.
17
Asep Sulhadi dan Izzatul Sholihah, “Sejarah Perkembangan Hadits Pra Kodifikasi”, Jurnal Samawat, 84.
18
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 160.
19
Asep Sulhadi dan Izzatul Sholihah, “Sejarah Perkembangan Hadits Pra Kodifikasi”, Jurnal Samawat, 84.
20
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 160.
21
Asep Sulhadi dan Izzatul Sholihah, “Sejarah Perkembangan Hadits Pra Kodifikasi”, Jurnal Samawat, 84.
22
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 160.
5
Maka dirasa perlu hadis diabadikan melalui bentuk tulisan dan kemudian dibukukan. Urgensi ini
yang menggerakkan Umar bin Abdul Aziz untuk menulis dan membukukan hadis. 23 penulisan
hadis pertama dilakukan pada zaman Umar bin Abdul Aziz yang menjabat sebagai khalifah
dinasti Umayyah pada tahun 99-101 H. Umar bin Abdul Aziz merupakan khalifah yang terkenal
dengan keadilan dan kewaraannya.24
Beberapa hal yang melatarbelakangi Umar bin Abdul Aziz membukukan hadis adalah:25
a) Kekhawatiran akan berkurangnya atau lenyapnya perbendaharaan hadis karena banyak
ulama dan penghafal hadis yang meninggal;
b) Banyaknya pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perbedaan politik. Konflik politik
ini kemudian berkembang menjadi sebuah aliran teologi di tengah-tengah umat Muslim.
Pemalsuan hadis juga dilakukan oleh orang-orang kafir dan munafik untuk menghancurkan
akidah maupun ibadah umat Islam;
c) Semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam menjadikan permasalah yang dialami oleh umat
Muslim semakin kompleks.
Berdasarkan latar belakang di atas, Umar bin Abdul Aziz kemudian memerintahkan para
pakar hadis untuk menuliskan hadis. diantara ulama pakar hadis yang diperintahkan adalah Ibn
Hazam yang merupakan gubernur Madinah pada saat itu dan Muhammad Ibn Syihab az-Zuhri
seorang ulama dari Hijaz dan Syam. Hadis-hadis yang dihimpun diantaranya, hadis yang
dikumpulkan oleh Ibn Hazm sendiri, hadis dari Amrah binti Abdur Rahman dan muridnya
Sayyidah Aisyah r.a. serta hadis dari Qasim bin Abu Bakar as-Shiddiq. Ulama lain yang
mengumpilkan hadis pada waktu itu adalah Ibnu Juraij di Mekkah,, Abi Ishak dan Imam Malik
di Madinah, ar-Rabi bin Sabin dan Abd. Rahman al-Auzi di Suriah.26
Beberpa kitab yang muncul pada masa ini adalah al-Muwattha’ karya Imam Malik, al-
Musnad karya Imam Syafi’i, dan al-Musnaf karya al-Auza’i. Pada masa awal pembukuan hadis
masih banyak kekurangan karena hadis hanya sekedar dikumpulkan dan dibukukan tanpa
menyeleksi antara hadis atau fatwa dari sahabat dan tabi’in. Tidak memperhatikan susunan dan
kelompok nash-nash hadis di dalamnya. Selain itu, dalam periode awal pembukuan hadis ini
belum adanya pemisahan antara hadis-hadis dengan kualitas shahis, hasan, dan dha’if.27

5. Periode V: Periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan Kitab Hadis (Abad 3 H)


Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yang ketika itu
dipegang oleh al-Makmun sampai al-Muqtadir. Di masa ini, para ulama mengadakan gerakan

23
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 34.
24
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 160.
25
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 161.
26
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 161.
27
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 161.
6
penyeleksian, penyaringan, dan mengklasifikan hadis dengan cara memisahkan hadis marfu’,
mauquf, dan maqthu’ atau mursal. Pada saat itu juga diandai dengan banyaknya hadis palsu yang
disebar oleh beberapa kelompok dalam rangka membenarkan kelompoknya sendiri. sehingga
upaya-upaya pemurnian hadis sangat diperlukan. Beberapa cara yang dilakukan untuk
memurnikan hadis pada masa ini adalah:
a) Penyebaran ke berbagai daerah;
b) Mengklasifikasikan hadis menjadi marfu’, mauquf, dan maqthu’;
c) Menyeleksi dan mengklasifikasikan hadis menjadi shahih, hasan, dan dha’if.
Kitab-kiatb hadis yang berhasil disusun pada periode ini diantaranya, kitab Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibn
Majah, dan Musnad Ahmad.28
6. Periode VI: Masa Pemeliharaan, Penerbitan, Penambahan, Penghimpunan Hadis (Abad
ke-4 Sampai Pertengahan Abad ke-7 H)
Upaya yang dilakukan oleh para ulama pada periode ini tidak jauh berbeda dengan
periode sebelumnya. Kitab-kitab hadis yang dihasilkan pada masa ini tidak sebanyak
sebelumnya. Diantara kitab yang ditulis adalah kitab Ibn Khuzaimah, al-Anma’wa at-Taqsim
karya Ibn Hibban, al-Musnad Abu Kamanah, al-Mustaqa Ibn Jarud, dan al-Mukhtara karya
Muhammas bin Abdul Wahid al-Maqdisi. Setelah karya-karya tersebut lahir, kemudian upaya
yang dilakukan para ulama berikutnya adalah merujuk pada karya-karya yang sudah ada dengan
cara mempelajari, menghafal, memeriksa, dan menyelidiki hadis baik dari segi sanad, matan
ataupun rawi. Pada masa ini, para ulama memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan hadis,
yaitu:29
a) Kitab Athraf
Kitab Athraf adalah kitab hadis yang hanya menyebutkan sebagian matan hadis tertentu
kemudian menjelaskan sanad dari matan hadis yang diperoleh dari beberapa kitab hadis.
b) Kitab Mustadhrak
Kiab Mustadhrak merupakan kitab hadis yang memuat matan hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari atau Muslim maupun keduanya dan selainnya.

c) Kitab al-Jami’
Kitab al-Jami’ memuat hadis-hadis dari kitab-kitab yang sudah ada. Kitab al-jami,
merupakan himpunan dari Shahih Bukhari dan Muslim.

28
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 162.
Kitab shahih merupaka kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih di dalamnya. Kitab sunan adalah kitab yang hadis
yang memuat hadis-hadis shahih dan hadis-hadis yang tidak terlalu lemah (dha’if). Sedangkan kitab musnad memuat berbagai
kualitas hadis, baik shahih maupun dha’if tanpa menjelaskan kualitas hadisnya.
29
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 162-163.
7
7. Periode VII: Periode Penghimpunan, Pensyarahan, dan Takhrij (Abad ke-7 H sampai
sekarang)
Syarah adalah suatu upaya memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang
tersusun dalam kitab hadis sebelumnya. Takhrij adalah upaya mengumpulkan hadis dengan cara
mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda
dari sanad hadis ulama tersebut. Pada periode ini, para ulama hadis menyusun hadis menjadi
sistematis sesuai dengan tema tertentu, memperbaiki kitab mustakhraj dengan cara membagi
hadis menurut kualitasnya. Beberapa kitab yang disusun pada masa ini adalah:30
a) Kitab Syarah
Kitab yang memuat urutan dan penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu dan
hubungannya dengan dalil-dalil lainnya yang bersumber dari al-Quran dan hadis.
b) Kitab Mukhtasar
Kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadis, seperti Mukhtasar Shahih Muslim karya
Muhammad Fuad Abdul Baqi.
c) Kitab Zawaid
Kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kitab tertentu yang tidak dimuat.

DAFTAR PUSTAKA

30
Neneng Nurhasanah dkk, Metodologi Studi Islam, 164.
8

Anda mungkin juga menyukai