Anda di halaman 1dari 11

Makalah Perkembangan Hadist Periode

Rasulullah Saw

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CEPU

INTAN NURIA RIZKI (PGMI/2)


PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Hadits telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat
diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin
(para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau,
terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka
menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan
pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali
perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul
Allah.

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam
kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah
tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam.
Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat
dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami
ajaran Islam.

Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat.
Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat
Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.

Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan
oleh beberapa hal, diantaranya :Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an,
bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-
orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.

Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang
berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh
pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka
yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham
daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong
para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembangan Hadits


Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari
masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi
ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya
di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis
tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun
para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yan
membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.

1. Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits


2. Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan sebagian
besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-
pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu
meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka terkenal kuat sehingga
mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide
penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah
Umar bin Khaththab (23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena
khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama
Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar
bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan
wara’ sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadist dalam
ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak
segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-
hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk
mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H,
Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin
Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghafal
hadist.

Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu,”Perhatikanlah apa yang
dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan
meninngalnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW., dan hercdaklah
disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orzng yang tidak mengetahuinya
dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar
mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai
melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali
membukukan hadis.

Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi’
bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan
bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum
begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H,
dilakukan upaya penyempurnaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan
ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang
terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-
Muwatha’ oleh Imam Malik dan Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H). Pembukuan
hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari,
Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.

Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih
Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama
yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatha’ dengan cara
mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.

2. Penulisan Hadis

Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis.
Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini
tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini
hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu
membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga
menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat
yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah
untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi
saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa
orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang
dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.

Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekah daripada
di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan dalam
Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis dan membaca
kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.

Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk
belajar dan membaca. Rasulullah pun mengangkat para penulis wahyu hingga jumlahnya
mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At-Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri
dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul
Mu’minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti Abdullah Al¬Qurasyiyah,
`Aisyah binti Sa’ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.

Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh
Abdullah bin Sa’id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu
Abdil Barr dalam Al-Isti’ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa’id bin
Al-‘Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama `Abdullah dan menyuruhnya agar
mengajar menulis di Madinah.

Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim
telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan
para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu,
seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan sebagainya.

Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh
para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul
dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang
memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat
secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat
memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah
mereka dengar dari Rasulullah SAW.

1. Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.


Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Takwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi
yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat.[5]

Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung
misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap
pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari
sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah
daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.

Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan,
hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi
menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis
dalam amalan sehari- hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.
Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para sahabat apapun yang di datangkan oleh
Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi
yang di buat pedoman dalam kehidupan sahabat.

Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan Rasulullah SAW adakalanya disebut
dengan “al-sabiqun al-awwalin” yakni para sahabat yang pertama masuk islam, seperti khulafaur
rasyidin dan Abdullah Bin Mas’ud.Ada juga sahabat yang sungguh- sungguh menghafal hadist
misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga yang usianya lebih panjang dari sahabat yang lain yang
mana mereka lebih banyak menghafalkannya seperti annas bin malik. Demikian juga ada sahabat
yang dekat sama rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan khulafaur rasidin semakin erat
dan lama bergaul semakin banyak pula hadist yang diriwayatkan dan validitasnya tidak
diragukan.

Namun demikian sahabat juga adalah manusia biasa, harus mengurus rumah tangga, bekerja
untuk memenuhi kebuthan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadist di skasikan
langsung oleh seluruh sahabat, sehingga sahabat mendegar sebagian hadist dari mendengar
kepada sahabat yang lainnya atau langssung dari rasulullah SAW. Apalagi Sahabat nabi yang
berdomisili di daerah yang jauh dari madinah seringkali hanya memperoleh hadist dari sesama
sahabat.

Rasul membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu
dan sekaligus di wurudkannya hadist. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada
zaman nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:

1. Cara Rasulullah menyampaikan hadist


Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul
untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim.
Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat
dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi
Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rasulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada
di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali
mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya.
Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan
tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir

2. Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist


Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam
problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi.
Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah
pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para
sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya
kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya
dalam keadaan puasa.
Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui
hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan
dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.

3. Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW


Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal
ini disebabkan oleh dua factor: para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan
otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang. karena adanya larangan menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda: Janganlah menulis sesuatu dariku
selain al-Quar’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya (H.R
Muslim).
Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-
Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya
hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau
mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.

4. Aktifitas menulis hadist.


Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan
izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten
menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah.) (
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada
beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi
Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan
menulis. Rasulullah Saw. bersabda:

.‫التكتبو اعّنى شيئا غير القران فمن كتب عنّى شيئا غير القر ان فليمحه‬

“jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya
selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry).

Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan
penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda

‫أكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه االالحق‬

“tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang
hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai
berikut:
1. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist
tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan
telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan
dengan perintah yang membolehkannya.
2. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus
bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam
menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
3. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis,
sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.

2. Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat Setelah Rasulullah SAW Wafat

Para sahabat sebenarnya tidak kesulitan dalam mencari-cari hadis Rasulullah karena masih
segar dalam ingatan mereka tentang kebersamaan mereka bersama Rasululullah SAW. Akan
tetapi kekhawatiran para sahabat akan terjadinya kedustaan terhadap Rasulullah SAW membuat
mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadis-hadis walaupun dari kalangan sahabat sendiri.
Hal ini dikarenakan sabda Rasullulah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: ‫ م عاي‬،‫يا فا ادا‬
‫“ ُمتا ْي ه عاْل ب ا اذ ك ا ام ن بْا تا ل النهاير ن ا يم ادُه امق عا هوأ‬Barang siapa berdusta atas namaku dengan
sengaja, maka hendaklah menempati tempat dineraka” (HR. Muslim).

1. Abu Bakar al-Siddiq


Menurut Muhammad al-Dzahabi, Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-
tama menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Pernyataan ini didasarkan
atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu
ketika ada seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar menjawab bahwa, dia tidak
melihat petunjuk Al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberi bagaian harta kepada
seorang nenek. Abu bakar lalu bertanya 174 kepada para sahabat, Al-Mughirah ibn
Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan harta bagian
waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Mendengar pernytaan tersebut , abu bakar
meminta agar alMughirah menghadirkan seorang saksi. (Lukman Zain, 2014, 12).
2. Umar Ibn al-Khattab
Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis,
seperti halnya Abu Bakar. Selain itu Umar juga menekankan kepada para sahabat agar
tidak memperbanyak periwayatan hadis dimasyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi
dimasyarakat tidak terpecah dalam membaca dan mendalami Al-Qur’an, selain itu juga
supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijaksanaa
Umar inilah yang kemudian mampu menghargai orang-orang yang tidak bertanggung
jawab untuk melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis (Andariati, 2020, 158).
3. Usman Ibn Affan
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan
apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifah pendahulunya. Hanya saja, langkah Usman
tidaklah setegas langkah Umar al-Khattab. Dalam suatu kesempatan Khutbah, Usman
meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak
pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Usman ini
menunjukkan pengakuan Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya. Sikap
hati-hati ini akan dilanjutkan pada masa kekhalifahanya (Lukman Zain, 2014, 14).
4. Ali Abi Thalib
Khalifah Ali Ibn Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para khalifah
pendahulunuya dalam periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah bersedia menerima
riwayat hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa
hadis yang disampaikanya itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanyalah terhadap
periwayat yang benar-benar dipercayainya. Ali tidak meminta periwayat hadis untuk
bersumpah. Hal ini terlihat misalnya ketika Ali menerima riwayat Abu Bakar al-Shiddiq
terhadap Abu Bakar, Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dalam suatu riwayat, Ali
menyatakan, “Abu Bakar telah memberikan hadis kepada saya, dan benarlah Abu Bakar
itu (Lukman Zain, 2014, 15). Dari keterangan diatas terkait hadis pada masa sahabat
bahwasanya Kebenaran suatu hadis harus diteliti secara cermat karena kedudukan hadis
demikian tinggi, yakni sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Adanya kekhalifahan, atau bahkan kesengajaan memalsukan hadis, merupakan hal
menyadari akan kemungkinan itu. pada masa Abu Bakar As-shidiq suatu informasi 175
itu harus adanya seorang saksi, kemudian pada masa Umar juga menekankan kepada para
sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis dimasyarakat, agar tidak terpecah
belah dalam memaknai Al-Qur’an dan hadis.

Selanjutnya pada masa Usman Dalam suatu kesempatan Khutbah, Usman meminta
kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah
mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Dan yang terakhir pada masa Ali
Abi Thalib bersedia menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan
mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikanya itu benarbenar berasal dari Nabi

3. Hadis Pada Masa Tabi’in


Selain para sahabat yang sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada juga memang dari
kalangan para tabi’in yang notebenya adalah para murid sahabat juga banyak yang
mengoleksi hadis-hadis Nabi, bahkan pula mereka mengoleksinya sudah mulai disusun
dalam sebuah kitab yang beraturan. Sebagaimana pula sahabat, para tabi’in pun sama
sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja mungkin pasti ada
perbedaanya ialah dari segi beban yang dihadapi oleh sahabat dan tabi’in, dan tentu
beban sahabat lebih berat jika dibandingkan oleh tabi’in. karena dimasa tabi’in Al-Qur’an
telah dikumpulkan dalam satu mushaf, selain pula pada masa akhir periode
Khulafaurasyidin (terkusus pada masa Usman bin Affan), para sahabat ahli hadis telah
menyebar diberbagai Negara Islam (Julianto Andrea, 2020, 52).

Dari keterangan diatas Jika para sahabat Nabi sudah banyak yang mengoleksi hadis-
hadis Nabi, maka para tabi;in yang notabenya para murid sahabat juga banyak
mengoleksi hadis-hadis Nabi bahkan pengoleksian ini disusun suatu kita yang beraturan.
Metode yang dilakukan para tabi’in dalam mengoleksi dan mencatat hadis adalah melalui
pertemuan-pertemuan (al-talaqqi) dengan para sahabat selanjutnya mereka mencatat apa
yang didapat dari pertemuan tersebut. Seperti yang dilakukan Said bin al-Jabir yang
mencatat hadishadis dari talaqqinya Said bin al-Musayyab, Hamman bin al-Munabbih
hasil talaqqi dengan Abu Hurairah dan lain-lain (Masturi Irham, 2015,57)
Kesimpulan

Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam
menyampaikan suatu hadits seperti melalui majlis ta’lim, bertemu langsung dengan nabi dan
mnanyakan suatu permasalahan, melalui istri-istri nabi, melalui mulut kemulut sahabat yang
dipercaya.

Pada masa Rosulullh Saw, juga suda ada sahabat khusus yan menulis hadist tidak secara resmi
karena ada larang nabi, namun ada juga hadist nabi kepada sahabat yang khusus boleh menulis
kedua hal tersebut bertentangan karena ada beberapa hal. Periode pertama sampai peride ketiga
disebut masa pra kodifikasi (pembukuan) hadist, peride ketiga disebut masa kodifikasi hadist,
periode kempat disebut masa paska kodifikasi hadist.
Daftar Pustaka :

Abduh, Muhammad. 2015. “Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi PraKodifikasi” 6: 20. Andariati,

Leni. 2020. “Hadis dan Sejarah Perkembangannya.” Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis 4 (2): 153–66.
Andrea,

Julianto. 2020. “Review Osf.Io Hadis Pada Masa Nabi Muhammad Dan Di Era Kodifikasi Hadis.” OSF
Preprints.

Anwar, Latifah. 2020. “Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah SAW.” Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan
Hadist 3 (2): 131–56. Ash-Shiddieqy,

Teungku Muhammad. 2019. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadist. 14 ed. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Damanik, Agusman. 2018. “Urgensi Studi Hadi

file:///C:/Users/user/Downloads/3431-Article%20Text-10945-1-10-20211130.pdf

Anda mungkin juga menyukai