Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENULISAN HADITS DAN

TUJUANNYA

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Metodologi Study Islam

Oleh:
Mirzatul Qhadri
221003001

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


AR-RANIRY BANDA ACEH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2022-2023M

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa permulaan Alquran masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW
melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan
Alquran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Alquran, Nabi Muhammad
SAW juga meny uruh menghafalkan ayat-ayat Alquran. Jumhur ulama
berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang penulisan hadits
tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengijinkannya. Walaupun
beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum
dibukukan sebagaimana Alquran. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir
Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam
tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang
wafat.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-
tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri,
kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain. Penulisan dan
pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-
ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar
seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam memahami sejarah pembukuan hadits dan


permasalahannya, dalam makalah ini, kami membahas tentang :

1. Bagaimana Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits.


2. Bagaimana Pemalsuan Hadits dan Upaya Penyelamatannya.
3. Masalah-masalah Dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits.
4. Tujuan Mempelajari Sejarah dan Perkembangan Penulisan Hadits

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits


Terjadi banyak pro dan kontra di dalam penulisan hadits dikarenakan ada
dua redaksi perintah Rasulullah SAW, pada awalnya melarang menulis hadits
takut akan bercampurnya Al-Qur’an dengan hadits. lalu kemudian pasa masa
selanjutnya membolehkan hadits di tulis karena melihat kepada daya ingat para
sahabat bahkan ada yang mencatat seperti Abdullah ibn amr ibn asyh, sehingga
menghilangkan ke khawatiran pada diri Nabi SAW terkait penulisan hadits.1
Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari jaman Rasulullah SAW, masa
Khulafa’ Al-Rasyidin dan sebagian besar zaman dinasti Umawiyah, yakni hingga
akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut.
Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan
hafalannya. Pada masa ini mereka belum terdorong untuk membukukannya.
Ketika kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan
pada tahun 99 H sebagai seorang khalifah dari dinasti Umawiyah yang terkenal
adil, sehingga beliau dipandang sebagai Khulafa’ Al-Rasyidin yang kelima,
tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa para perawi yang
membendaharakan hadits dalam kepalanya kian lama kian banyak yang
meninggal.
Beliau khawatir apabila hadits dari para perawinya tidak segera
dibukukan, kemungkinan hadits-hadits tersebut akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H, Khalifah meminta
kepada gubernur Madinah, Abu bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk
membukukan hadits Rasul dan hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq. ‘Umar bin Abdil Aziz menulis kepada
Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :
“ Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu
tulislah karena aku takut ilmu akan lenyap disebabkan meninggalnya ulama, dan
jangan anda terima selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah
1. Mohammad Fatah, Nuril Qamariah, Sejarah Perkembangan Hadis Masa Prakodifikasi
Hadis Hingga Sekarang, (Madura:2018), hal. 9.

2
Anda sebarkan ilmu dan mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang
belum mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga
dijadikan barang rahasia.”
Disamping itu ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur ke
wilayah yang di bawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang
ada pada ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama
besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu ialah : Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang
ahli dalam urusan fikih dan hadits.
Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits
yang pertama yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita,
tidak terpelihara dengan semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh
hadits yang ada di Madinah. Membukukan hadits yang ada di Madinah itu,
dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Muslim bin Syihah az Zuhry yang
memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di
masanya.2 Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan
hadits atas anjuran Abu Abbas As Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-
khalifah Abbasiyah.
Pada Zaman dahulu, menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah,
tidak disuruh juga mereka dengan senang hati menyusun hadits tanpa meminnta
imbalan. Karena mereka berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka,
dan ini bukanlah suatu pekerjaan yang harus diberi upah. Ulama jaman dahulu
benar-benar berbeda dengan ulama jaman sekarang, mereka benar-benar berjuang
di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Para pengumpul pertama
hadits yang tercatat dalam sejarah adalah :

1. Di kota Makkah, Ibnu Juraij


2. Di kota Madinah, Ibnu Ishaq atau Ibnu Dzi’bin. Atau Malik bin Anas
3. Di kota Bashrah, al-Rabi’ bin Shabih Atau Hammad bin Salamah atau
Sa’id bin Arubah
4. Di Kufah, Sufyan ats Tsaury
5. Di Syam, Al-Auza’y

2. Agus Solahuddin, Ulumul Hadits (Bandung:Pustaka Setia,2008),62-63.

3
6. Di Wasith, Husyaim al Wasithy
7. Di Yaman , Ma’mar al Azdy
8. Di Rei, Jarir al Dlabby
9. Di Khurasan, bin Mubarak
10. Di Mesir, al Laits bin Sa’ad
Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al
Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. atas permintaan khalifah Al Manshur ketika
dia pergi naik haji pada tahun 144 H (143 H). Kitab al Muwaththa’ dianggap
paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada kitab-kitab
sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhary belum muncul, dari sistematika
itu yang paling baik.

1. Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits

Para ulama abad kedua membukukan hadits dengan tidak menyaringnya.


Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun
dimasukkan ke dalam bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan.
Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu
hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’.
2. Masa-masa Hadits di Bukukan
a. Masa Pembentukan Hadits
Masa pembentukan hadits tiada lain adalah pada masa kerasulan Nabi
Muhammad SAW itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits
belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.
Periode ini disebut al-wahyu wa al-takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya
belum ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai
sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya ( 610 M
– 632 ).
b. Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini
kitab hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan
dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para
sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

4
c. Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai
menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan
kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya
hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang
melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada
hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya,
siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz sekaligus sebagai salah seorang
tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad ke-II H,
dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits
marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.

d. Masa Penyusunan
Abad ke-III H merupakan masa pentadwinan (pembukuan) dan
penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam
memahami hadits sebagai perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama
mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk
marfu’ (yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad), mana yang mauquf
(yang sanadnya hanya sampai kepada sahabat) dan mana yamg maqthu’ (yang
sanadnya hanya sampai kepada tabi’in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini
selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan rawi-rawi
pembawa beritanya sebagai wujud tashih (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang
ada maupun yang dihafal.
Selanjutnya pada abad ke-IV H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan
hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan
mahligai hadits. Sedangkan abad ke-V H dan seterusnya adalah masa
memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk memudahkan
mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-IV H.3

e. Masa Pembukuan Hadits (dari abad ke-II H sampai abad ke-III H)

3. Shubhi ash Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Musthalahuh (Libanon :Dar al-‘Iim al-Malayin,


1977), hal. 45.

5
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu
Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama hadits pada
pertengahan abad ke-II H. Perintah kewarganegaraan mengenai pengumpulan
hadits di atas dari khalifah ke-II Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur
yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H). Perintah ini ditujukan kepada
Malik bin Anas sewaktu Abu Ja’far Al-Manshur berkunjung ke Madinah dalam
rangka ibadah haji.
Banyak ulama hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan
ulama dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih,
kalam, dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal dengan “Ashr al-Tadwin”
(masa pembukuan). Karya ulama pada masa ini masih bercampur antara hadits
rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan
antara hadits sahih, hasan dan dha'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits
mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab
yang berisi masalah lain dalam satu karangan.

f. Kedudukan dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke-II H


Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama
adalah :

1. Al Muwaththa’, karya Imam Malik.


2. Al Musnad, susunan Imam Asy-Syafi’y. Kitab ini merupakan
kumpulan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab beliau yang bernama
“Al-Um”.
3. Mukhtaliful Hadits. disusun oleh Imam Syafi’i. Di dalamnya, dibahas
tentang cara.-cara menerima Hadits sebagai hujjah clan cara-cara
mengkompromikan Hadits yang nampak kontradiksi satu sama lain.
4. Al-Siratun Nabawiyah (Al-Maghazi wa Al-Siyar ). Disusun oleh Ibnu
Ishaq. Berisi, antara lain tentang perjalanan hidup Nabi dan
peperangan-peperangan jaman Nabi.
Al Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan
mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung

6
1726 rangkain khabar dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in. 4 Kitab ini
mendapat perhatian dari para ahli, karena itu banyak yang membuat syarahnya
dan yang membuat mukhtasharnya. Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits al-
Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di antaranya yang shahih, ada yang hasan, dan
ada pula yang dha’if. Imam Asy-Syafi’y pernah berkata, “Kitab yang paling
shahih sesudah Alquran, ialah Al-Muwaththa’.”
g. Mukhtalif Hadits
Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab Asy-Syafi’y yang penting. Di
dalamnya di terangkan cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang
mengharuskan kita menerima hadits ahad. Adapun di dalamnya di terangkan pula
cara-cara menyesuaikan hadits-hadits yang terlihat bertentangan satu sama
lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y dengan
Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.
h. Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah
Di dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan antara hadits-hadits tafsir
dari hadits umum dan mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya.
Maka yang mula-mula memisahkan hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin
Ishaq bin Yassar al Muththalaby (151 H). Lalu kitab ini terkenal dengan nama
Sirah ibnu Hisyam.
i. Hadits dalam Abad Ketiga
Ahli hadits abad ketiga mulai bangkit mengumpulkan hadits, mereka
memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-
buku hadits berdasarkan statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus
kita akui, ialah mereka tidak memisah-misahkan hadits. Yakni mereka
mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Segala
hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm
membukukan hadits saja mengingat perkataan Umar bin Abdil Aziz kepadanya :
“Jangan Anda terima melainkan hadits Rasul SAW”
Awal mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits
yang terdapat di kota mereka masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan

4. Indo Santalia, AL-MUWATHTHA’ MALIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP


PEMIKIRAN HADIS, (Makassar:2013), hal. 51

7
oleh Imam Al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur, Baghdad,
Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang beliau kunjungi. Beliau
membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah.
Selama 16 tahun lamanya Imam Al-Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab
shahihnya.
B. Kemunculan Hadits-Hadits Palsu

Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu:

1. Golongan politik: permulaan abad ke-II H, dari golongan Abbasiyah,


syiah dan lain-lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti
Umayah.
2. Golongan tukang cerita: mereka mengarang hadits palsu untuk
menambah hebat ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari
orang-orang.
3. Golongan zindik: mereka mengarang hadits palsu untuk membuat
fitnah dan kekacauan di golongan umat Islam.

Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama pada
masa ini mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran
hadits dan meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus
hadits yang terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin
Mahdi.
Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat,
bergeraklah para ulama untuk membela syariat dan memelihara agama Islam.
Mereka berusaha menyaring dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu.
Hadits-hadits yang shahih mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu
(maudhu’) mereka tinggalkan. Mulai saat itu timbullah ilmu yang dinamakan ilmu
jarh wa ta’dil. Para ulama menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan hadits
dan menyuruh manusia untuk berhati-hati, serta menerangkan hadits palsu dan
motif pembuatan hadits palsu.
Telah dijelaskan bahwa di samping para ulama’ membukukan hadits dan
memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang

8
shahih dan dha’if, beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang
mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdis, usul-usulnya, syarat
menerima riwayat, syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah yang
dipegangi dalam menentukan hadits maudhu’.
C. Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits.
Di antara hal yang tumbuh dalam abad ketiga ini ialah muncul orang-
orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat.
Sejak dari timbul fitnah di akhir masa Usman r.a. umat Islam pecah menjadi
beberapa golongan.
1. golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
2. golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.
3. golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).
4. Penganut ajaran tasawuf, di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang
pengetahuan agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah. Tetapi
biasanya, orang yang demikian ini merasa dirinya serba tahu tentang
ajaran Islam. Ditafsirkanlah ajaran Islam sesuai dengan kehendaknya.
Dan untuk memperkuat alasan atas pendapat dan pemahamannya itu,
maka dibuatnyalah hadits-hadits palsu. Dan pemalsuan Hadits yang
mereka buat, biasanya berkisar tentang persoalan yang berhubungan
dengan “targhib wat tarhib” (berita-berita yang menggembirakan dan
mencemaskan).
5. Ulama tidak/belum memperhatikan dhaif, shahih/hasan, yang penting
itu sumbernya dari Rasulullah SAW.
6. Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak.

Terpecahnya umat Islam tersebut, didorong keperluan dan kepentingan


golongan, mereka mendatangkan keterangan hujjah untuk mendukung. Maka
bertindaklah mereka membuat hadits-hadits palsu dan menyebarkannya kedalam
masyarakat. Mulai saat itu, terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-
riwayat yang palsu, dan kian hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang
melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan syi’ah, sebagaimana yang diakui
sendiri oleh Ibn Abdil Hadid, seorang ulama syi’ah dalam kitabnya Nahlul

9
Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan syi’ah sendiri.”
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang
bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits
yang dibuat oleh golongan syi’ah. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kota
yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (kaum syiah
berpusat di sana).

10
D. Tujuan Mempelajari Sejarah dan Perkembangan Hadits
Banyak sekali manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu
hadis, di antaranya sebagai berikut:
1. Mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadis dalam penelitian
hadis. Demikian juga dapat mengenal nilai-nilai dan kriteria hadis;
mana hadis dan mana yang bukan hadis.
2. Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam menilai,
menyaring (filterasi) dan mengklasifikasi ke dalam beberapa macam,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadis
sehingga dapat menyimpulkan mana hadis yang diterima dan mana
hadis yang ditolak.
3. Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama
dalam menerima dan menyampaikan periwayatan hadis, kemudian
menghimpun dan mengodifikasi ke dalam berbagai kitab hadis.
4. Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadis, baik dirâyah maupun riwâyah yang
mempunyai peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadis
sebagai sumber syari’ah Islamiyah sehingga hadis terpelihara dari
pemalsuan tangantangan kotor yang tidak bertanggung jawab.
Seaindainya terjadi hal tersebut, mereka pun dapat mengungkap dan
meluruskan yang sebenarnya.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan para ulama dapatlah
kita memantapkan, bahwa merekalah ulama yang mula-mula menciptakan
undang-undang (qawaid) untuk membedakan yang baik dari yang buruk
mengenai khabar-khabar dan riwayat-riwayat yang diterima dari antara seluruh
umat, karena memang ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal
menerima berita yang disampaikan kepadanya.
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah Rasul dan untuk
menetapkan garis pemisah antara shahih dan dha’if, istimewa antara hadits-hadits
yang ada asal usulnya dengan hadits-hadits yang semata-mata maudhu’.

12
DAFTAR PUSTAKA

Fatah Muhammad, Qamariah Nuril, Sejarah Perkembangan Hadis Masa


Prakodifikasi Hadis Hingga Sekarang, (Madura:2018).

Solahuddin Agus, Ulumul Hadits (Bandung:Pustaka Setia,2008).

Ash Shaleh shubhi,’Ulum al-Hadits wa Musthalahuh (Libanon :Dar


al-‘Iim al-Malayin, 1977).

Santalia Indo, Al-Muwaththa’ Malik Dan Pengaruhnya Terhadap


Pemikiran Hadis, (Makassar:2013).

13

Anda mungkin juga menyukai