Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


matakuliah ilmu hadis
Dosen pengampu:
H.M Samsukadi Lc.M.Th.i

Disusun oleh:
Abdul Fattah Noor Muhammad Hasan Noor 1119015
Fajrin Rahmat Irfani 1119024
Dimas Agung Prastyo 1119020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL’ULUM JOMBANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi
uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih
hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat khususnya
yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur'an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya
untuk mengabalikan ayat-ayat al-Qur'an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya.
Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan
keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
AI¬Qur'an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang
selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw
muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap
seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna
menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan
permasalahan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimna sejarah Perkembangan Ilmu Hadits?
2. Bagimana kodifikasi Ilmu Hadits?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui perkembangan ilmu hadits.
2. Mengetahui kodifikasi ilmu hadits.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits


1. Hadits Pada Periode Rasulullah SAW
Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalah dihafal oleh para sahabat,
sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuat catatan hadis untuk kepentingan sendiri.
1. Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat ada 2 sikap:
2. Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan Al-Quran suruhan
menuliskanya karena untuk kkepentingan da'wah bagi mererka yang jauh dari kota Madinah.
Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat yang membolehkan dan
mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayat yang melarang penulisan hadis. Riwayat-
riwayat itu pada hakikatnya tidak bertentangan, melainkan dapat dikompromikan seperti tergambar
pada dua sikap Nabi SAW diatas.
Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat Rasulullah SAW pada tahun
11 H.

2. Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in


a. Periode Sahabat
Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat
Nabi. Shabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl-Siddiq (13 H/
634M), kemudian disusul oleh Umar bin Al-Khatab (23 H l 644 M), Usman bin Affan (35 H/656 M),
dan Ali bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat khalifah ini dikenal dengan "AI-khulafa Ar-
Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar".
Abu Bakar al-Shiddig, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatianya
dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis pada masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan beium
merupakan kegiatan yang menonjot dikalangan umat Islam. Demikian juga yang dilakukan oleh
sahabat lainya, dan mereka sangat hati-hati sekaFi dalam periwayatan Hadis Nabi, apalagi ada
ancaman Nabi SAW:
"Barang siapa berdusta terhadap diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal aku tidak mengatakanya)
hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di dalarn neraka".
Umar bin AI- Khatab, ta dikenal sanyat hati-hati dalam pcriwayatan hadis. Umar baru bersedia
menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat lain. Bila tidak ada saksi maka tlmar tidak
menerimanya. Disamping kewaspadaan dan kehati-hatian dalam periwayatan hadis agar tidak terjadi
kekeliruan dan kepalsuan. Dalam pada itu, Umar pernah merencanakan penghimpunan hadis Nabi
secara tertulis, seflah melakukan shalat Istikharah, Umar mengurungkan niatnya itu, karena khawatir
akan memalingkaa perhatian umat Islam dari Al-Quran.
Hal itu bukanlah berarti Umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah dengan hati-hati dari
kekeliruan dan kebohongan. Periwayatan hadis Nabi pada masa Umar telah banyak dilakukan umat
Islam bila dibandingkari dtngan masa Abu Bakar,namun tetap dalam kehati-hatian. Caranya tetap
melalui hafalan, dan sedikit melalui catatan yang tidak resmi.
Usman bin Affan secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya, hanya saja langkah Usman tidaklah
setegas langkah Umar bin Khatab. Pada zaman Usman kegiatan uman Islam dalarn pcriwayatan hadis
semakin luas, karena Usman tidak sekeras Umar, juga karena wilayah Islam semakin luas, yang
mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat, dan
keadaan hadis pada masa Usman ini juga belum dibukukan secara resmi, melainkan tetap melalui
hafalan dan catatan-catatan pribadi.
Ali bin Abi Thalib, la tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalarn periwayatan
hadis. Secara umum, Ali barulah hersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayatn hadis yang
barsangkutan mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat yang telah diyakini kebenaranya, maka
Ali tidak minta sumpah lagi. Dalam pada itu Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan
hadis, selain dalam bentuk lisan (hafalan) juga dalam bentuk tulisan. Situasi umat Islam pada zaman
Ali tclah berbeda dengan situasi zarnan sebelumnya, karena pertentangan politik diantara sesama
umat Islam.
Adapun sahabat Nabi selain Khulafah ar-Rasyidin, juga menunjukan kehati-hatian dalam periwayatan
hadis, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan lain-lain. Dalam pada itu diakui
bahwa kegiatan periwayatan hadis pada masa sahabat sesudah periode Khulafah ar-Rasyidin, telah
lebih banyak dan luas dibandingkan zaman khalitah yang empat itu.

b. Periode Tabi'in
Periwayatan hadis pada periode Tabi'in tampak semakin semarak, namun tetap dalam kehati-hatian.
Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadis agar terhindar dari kepalsuan, bahkan tidak segan-
segan melakukan perjalanan jauh untuk mengecek dan menylidiki kebenaranya, seperti peristiwa
berikut:
1. Said bin Al-Musayyab (94 N/ 712 M) seorang tabi'iy besar di kota Madinah, mengaku telah
mengadakan perjalanan siang-malam untuk mendapaikan hanya sebuah fimlis Nabi SAW.
2. Abu Amru Abdurrahman bin Amr Al-Auza'iy (157 H) 1774 M) menyatakan, apabila dia dan
ulama sejawatnya menerima riwayat hadis, maka hadis itu diteliti bersanui. Apabila ulama
menyimpulkan bahea riwayat itu memang hadis Nabi, maka Auza'iy mengambilnya dan apabila
mereka mengingkarinya, maka dia meninggalkanya.
Bukti-bukli diatas menunjukan kesungguhan, kehati-hatian, dan kekuasan pengetahuan ulama tabi'in.
Bagian hadis yang mereka kaji dam dalami buk:m hanya matanya saja melainkan juga nama-nama
periwayat dan sanadnya.
Periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak mempuoleh hadis tansung dari Nabi. Mereka
menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mercka, atau dari sesama periwayatan hadis
pada zaman tabi'in ini tidak memp:,roleh hadis lansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari
sahabat yang bertemu dengan mereka, atau dari sesama tabi'in yang sezatnan dengan mereka, atau
dari tabi'it-tabi'in yang banyak ilmunya.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada zaman tabi'in telah semakin
meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar dimasyarakat menjadi lebih panjang
dibandingkan dengan periode sahabat.
Pada masa tabi'in inilah mulai usaha pembukuan hadis yang dilakukan secara resmi atas perintah dan
permintaan Khalifah Umar bin Ahdul Azis, memerintaili (99-101H/718M), dan berlanjut terus pada
periode-periode berikutnya.
B. Kodifikasi Hadis
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadis seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani
Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut
juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para pakar
hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan
sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi. Namun
untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke waktu akan dipaparkan mulai zaman Nabi
sampai tadwin. Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara periodik.
Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadis. Ada yang
membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi
hadis secara garis besar. Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut masa wahyu dan
pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-taqwin). Pada periode ini Nabi melarang para sahabat menulis
hadis, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan al-Qur’an, juga agar potensi
umat Islam lebih tercurah kepada al-Qur’an. Namun walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada
juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan.
Pada masa ini para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara yaitu langsung dan tidak
langsung. Penerimaan secara langsung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau
penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di
antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi
ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi.
Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara
sendiri-sendiri. Di samping itu sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain
melalui kekuatan hapalan. Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulaf rasyidin, Abd Allah
bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
Periode kedua adalah zaman kuhulafa rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis
dan penyedikitan riwayat (zaman al-tastabut wa al-iklal min al-riwayah), usaha-usaha para sahabat
dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran
muncul karena suhu politik umat Islam secara internal sudah mulai labil, terutama dalam suksesi
kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah.
Oleh karenanya para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka
melakukan periwayatan hadis dengan dua cara: lafzdi dan ma’nawi. Periwatan adalah redaksi hadis
yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwatan dengan
ma’nawi ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi
substansinya sama.
Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar)
yang berlangsung papa masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini wilayah Islam sudah
sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya wilayah
berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para pemimpin
atau menjadi guru pengajar di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah
di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad
bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi (‘ahsr al-kitabat wa al-
tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720M)
sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah kedelapan yang menginstruksikan
kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis.
Bunyi instruksi itu lengkapnya adalah seperti dikutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib:
“Perhatikanlah atau periksalah hadis-hadis Rasulullah saw, kemudian tulislah! Aku khawatir
lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama dan janganlah engkau terima kecuali hadis
Rasulullah saw.”
Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadis adalah
bercampurbaurnya hadis sahih dengan hadis palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya
hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai masa
Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi
Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd. Al-
Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadis, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab karya para ulama, baik
berupa ijma’i, al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi’i, al-Musnaf
karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja’far
al-Mansur. Kitab-kitab hadis terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih
bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in, atau hadis marfu’, mauquf, dan
maqthu’ di samping juga hadis palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-
tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau
tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada masa
ini para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis,
yaitu dengan cara memisahkan hadis marfu’ dari hadis maqthu’. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya
kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi, seperti kitab Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad.
Kitab Sahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan hadis-hadis yang
tidak terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad adalah kitab hadis yang mengoleksi segala macam
hadis tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di samping juga tidak menerangkan
derajat hadis.
Pada periode ini tersusun enam kitab hadis terkenal yang bisa disebut Kutub al-Sitah, yaitu:
1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H)
3. Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H)
4. Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H)
5. Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H)
6. Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H)
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan (ashr al-
tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad,
yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah
ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama
periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti
Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’.
Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah
tersusun dalam beberapa kitab hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij ialah kitan hadis yang metode
pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya
dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab athraf ialah kitab hadis
yang hanya memuat sebagian matas hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrik ialah
kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat
salah satu dari keduanya. Kitab Jami’ ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang telah termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada.
Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahl al-syarh wa al-
jam’u wa al-takhrij wa al-hadits). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya terutama
dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis-hadis. Ulama para periode ini mulai mensistemasi
hadis-hadis menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara
membagi bagi hadis menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik
pembicaraan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun cara periwayatan hadits pada rnasa sahabat terbagi menjadi dua yaitu: Periwayatan Lafdzi
(Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan
tetapi makna & intinya sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadits secara resmi sebab
dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur'an dan umat islam lebih difokuskan untuk mempelajari Al-
Qur'an.
Begitu juga pada masa Tabi'in, yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak
jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa
tabi'in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mqncari dan meriwayatkan hadits. Apalagi
sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan
politik.
DAFTAR PUSTAKA

http://makalah-berbagi.blogspot.com/2012/05/makalah-ulumul-hadits-sejarah-penulisan.html
http://abdain.wordpress.com/2010/01/20/sejarah-dan-kodofikasi-hadis/
http://artikelilmiahlengkap.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-hadis-dari-masa.html

Anda mungkin juga menyukai