Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dwi Fitria Ningtyas

NIM : 2340310054

Kelas : B1-MD

Mata Kuliah : Qur’an Hadits Terapan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber hukum. Yang pertama adalah Al-Quran dan yang kedua
adalah Hadits. Namun, terdapat perbedaan di antara keduanya, khususnya dalam sejarah
perkembangan dan kodifikasinya. Sejak awal turunnya Al-Qur'an telah dikeluarkan perintah
untuk mencatat Al-Qur'an secara resmi guna melindunginya dari pemalsuan dan menjaga
keasliannya hingga akhir dunia. Berbeda dengan al-hadits, tidak ada perlakuan khusus yang
seragam, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan inisiatif para sahabat Nabi.

Awalnya, hadits hanya sekedar sebuah literatur yang isinya mencakup semua ucapan,
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Awalnya hadits dihafalkan dan
secara lisan disampaikan dari generasi kegenerasi. Tidak mudah mempertahankan eksistensi
hadis secara turun-temurun dan zaman ke zaman, mulai dari zaman Rasulullah, para sahabatnya,
para Tabi'in, dan para pengikut Tabi'in hingga saat ini. Perjalanannya tidak semudah yang
dibayangkan orang-orang dan menghadapi cukup banyak rintangan-rintangan.

Sejarah kodifikasi hadis merupakan hal yang penting untuk memberikan pemahaman
tentang alasan dan proses kodifikasi berlangsung. Kodifikasi sangat penting untuk memahami
landasan ajaran agama Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengetian Kodifikasi

Mengkodifikasi (tadwin) artinya menghimpun, atau mencatat, yaitu mengumpulkan dan menata
sesuatu. Kodifikasi Hadis artinya mengumpulkan catatan Hadits Nabi dalam Mushaf. Antara
kodifikasi (tadwin) hadis dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan M.
Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi berbeda dengan pencatatan
dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an). Dalam tadwin, hadis, tidak dibentuk secara
berkelompok (masing-masing), sedangkan dalam Jam’ul Qur’an dibentuk secara berkelompok.
Kegiatan pengumpulan hadis dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama hadis.
Kegiatan pengumpulan hadis dilakukan secara mandiri oleh masing-masing peneliti hadis.
Apalagi hadis Nabi tidak dimuat dalam satu kitab. Kitab-kitab yang memuat hadis Nabi sangat
bervariasi dari segi nama penulis, metode penyusunan, permasalahan yang diangkat, dan bobot
kualitas. Di sisi lain, hanya ada satu jenis kitab yang disebut Mushaf al-Quran, yang merupakan
kumpulan seluruh surah Al-Quran, dan kumpulan hadis Nabi berbeda dengan kumpulan Al-
Quran. Masa kodifikasi hadis (Tadwin) dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu kodifikasi hadis
personal (Tadwin al-Shaqshi) dan kodifikasi hadis resmi (Tadwin al-Rasmi). Kodifikasi pribadi
belum menjadi kebijakan resmi pemerintah sejak zaman para rasul. Sebaliknya, pada masa Umar
bin Abdul Aziz, kodifikasi hadis secara resmi baru menjadi kebijakan pemerintah.

B. Sejarah Kodifikasi Hadis

Mulai dari masa Nabi, masa Khalifah Rasyidin, dan sebagian besar masa Muawiyah, yaitu abad
pertama Hijriah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadis diturunkan dari mulut ke mulut.
Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya dan
ingatannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, hadis hanya melekat dalam ingatan para sahabat
dan tidak ditulis secara menyeluruh. Bahkan pada masa-masa awal turunnya wahyu, pencatatan
hadis dilarang karena takut tertukar dengan Al-Qur'an. Para sahabat adalah penyambung lidah
Rasulullah. Banyak di antara mereka yang mendengar berbagai hal langsung dari Nabi. Bahkan
Umar bin Khattab bergantian mengunjungi Majlis Nabi bersama para tetangganya. Namun pada
saat itu belum banyak alat pendukung menulis selain pantangan, dan yang terpenting,
masyarakat awam belum bisa menulis dan tradisi menghafalnya kuat sehingga banyak teman
yang tidak menulis. Pada masa Khulafaur Rasyiddin, kebutuhan akan hadis benar-benar mulai
muncul, terutama pada topik-topik yang tidak diketahui oleh Khalifah sendiri dan tidak diajarkan
langsung oleh Nabi. Namun hal ini masih sangat kecil dan hanya terbatas pada kasus dimana
sahabat tersebut tidak mengetahui kejadian yang terjadi pada masa Nabi namun dapat
diselesaikan oleh teman lain yang menyaksikannya pada masa Nabi secara langsung. Ketika
Islam berkembang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab, perkembangan ini menciptakan
kebutuhan akan guru agama, juru bicara kenabian, dan rasul.

Nasehat Nabi tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Bahkan
setelah terbunuhnya Khalifah ketiga Utsman bin Affan, kebutuhan akan hadis semakin
meningkat. Para sahabat semakin berhati-hati dalam menerima hadis karena benih-benih hadis
palsu muncul pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat pada masa Muawiyah bin Abu
Sufyan. Misalnya hadits “Ali adalah manusia terbaik. Siapapun yang meragukannya maka ia
kafir. ” Hadits tersebut digunakan oleh kelompok pembela Ali (Syiah). Contoh lainnya adalah
“Ali adalah manusia terbaik. Mereka yang meragukannya adalah orang-orang kafir”. Ada tiga
tokoh: Jibril, dan Muawiyah, yang digunakan untuk membenarkan kekuasaan dinasti baru
setelah Khalifah Ali, Bani Umayyah, dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Rafidah, kelompok
Syiah pendukung Saidina Ali, merupakan kelompok yang banyak memalsukan hadis. Al-Khoriri
menulis bahwa dalam Kitab Irsyad, Rafidi menulis lebih dari 13.000 buku, termasuk pujian
terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kritik terhadap dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar
dan Umar bin Khattab. Hadits diciptakan oleh Khalifah Umar bin 'Abd al-Aziz, salah satu
khalifah Bani Umayyah. Proses kodifikasi hadis baru yang terjadi pada masa itu dimulai pada
akhir tahun 100 M ketika Khalifah mengirimkan surat kepada seluruh pejabat dan ulama di
berbagai daerah, didampingi oleh Muhammad bin Umar, untuk menyusun seluruh hadis Nabi di
setiap daerah. .Ini dimulai dengan perintah untuk segera mengkompilasinya. Terdapat organisasi
besar di negara Hijaz dan Syam yang mendorong para ulama hadis untuk mengumpulkan hadis
di wilayahnya masing-masing. Al-Zuri berhasil menyusun hadis tersebut menjadi sebuah kitab
sebelum khalifah wafat, dan khalifah mengirimkan kitab tersebut ke berbagai daerah untuk
mengumpulkan hadis yang lebih banyak. Umar juga memerintahkan Abu Bakar Muhammad ibn
Amr ibn Hazm (w. 117 M), di antaranya Amra binti 'Abd al-Rahman (murid terpercaya Asiyah)
dan Qosim ibn Muhammad. - Ibnu Abu Bakar al-Siddiq memerintahkan pengumpulan hadits.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam Islam, terdapat dua sumber hukum utama, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Al-Qur'an
telah diperintahkan dicatat secara resmi sejak awal turunnya guna melindungi
keasliannya. Sebaliknya, hadits awalnya dihafalkan dan disampaikan secara lisan dari
generasi ke generasi. Sejarah kodifikasi hadis penting untuk memahami alasan dan proses
kodifikasi berlangsung. Kodifikasi hadis terbagi menjadi dua periode, yaitu kodifikasi
hadis personal dan kodifikasi hadis resmi. Pada masa Nabi, hadits diturunkan dari mulut
ke mulut, dan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kebutuhan akan hadits mulai
muncul. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, kodifikasi hadis secara resmi menjadi
kebijakan pemerintah
B. Saran
Demikian pembahasan makalah tentang “Kodifikasi Hadis” yang dapat saya paparkan.
saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan baik dari susunan isinya maupun dalam penulisan makalahnya. saya mohon
maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan kata. Maka dari itu, kritik
dan saran akan saya tampung dan terima dengan baik demi perbaikan makalah ini. saya
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita serta
dapat bermanfaat bagi kita semua nantinya.

Anda mungkin juga menyukai