Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KODIFIKASI HADITS

Tugas Ullumul Hadits

Oleh :

SUPIYAN

JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUIDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM BANTEN (IAIB)

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis menurut bahasa berarti sesuatu yang baru (ُ‫ )ال َج ِديد‬yang menunjukkan sesuatu yang
dekat atau waktu yang singkat. Selain itu hadis juga dapat berarti Berita (‫) الخبر‬yakni sesuatu
yang dibicarakan, di perbincangkan dari satu orang ke orang yang lain. ! Sedangkan menurut
istilah hadis menurut muhadditsun menunjuk kepada “makna atau sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, persetujuan beliau akan
tindakan sahabat atau deskripsi tentang karakter dan sifatnya.” Sifat yang dimaksud di sini
menunjuk kepada penampilan fisikal Beliau.

Keberadaan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari zaman nabi, sahabat, tabi’in,
hingga pembukuan hadis setelah abad ke-2 Hijriyah. Perkembangan Hadis dari masa awal
lebih memfokuskan pada lisan, hal ini karena pada waktu itu Rosulullah khawatir akan
tercampurnya antara Nash Al-Qur’an dengan Hadis. selain itu juga disebabkan karena
Rosulullah lebih memfokuskan pada penulisan Al-Qur’an oleh para Sahabat. Periodisasi
Pembukuan Hadis secara resmi baru dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu kodifikasi hadis?

2. Mengapa kodifikasi hadis perlu dilakukan?

3. Bagaimana sejarah perkembangan kodifikasi hadis?

4. Apa saja kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasinya?

C. Tujuan

Adapun tujuan kami menyusun makalah ini, adalah:

1. Mengetahui apa kodifikasian hadis dan tujuannya;

2. Mengetahui proses perkembangan kodifikasi hadis (sejarah);

3. Mengetahui hasil dari proses kodifikasi hadis (kitab-kitab).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Kodifikasi berasal dari bahasa Arab yang dikenal dengan istilah Tadwîn. Yakni: pencatatan,
penulisan atau pembukuan.1 Sedangkan kodifikasi hadis sendiri merupakan sebuah proses
pencatatan atau pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW.

Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan pengumpulan Al-Hadis
dan penulisannya secara besar-besaran yang secara resmi disponsori atau diperintahkan oleh
pemerintah (khalifah). Sedangkan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi sebenarnya
sudah di lakukan sejak pada masa Rasulullah SAW, saat beliau masih hidup.2

B. Tujuan Kodifikasi Hadis

Proses kodifikasi hadis, Pada awalnya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Khalifah Umar bin
Abdil Aziz terhadap berbagai persoalan di masa pemerintahannya.

Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu:

1. Hilangnya hadis-hadis dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal
hadis di medan perang;

2. Bercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu;

3. Meluasnya daerah kekuasaan islam.

Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk menyelamat-kan
hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.3

C. Sejarah Kodifikasi Hadis

Dalam sejarah kodifikasi hadis, sejarahnya dapat dibagi menjadi dua bab. Yakni:

1. Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi, dan

2. Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis.4

1. Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi

a. Hadis Pada Periode Rasul

Selama nabi masih hidup, beliaulah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-
satunya bagi kaum muslimin, baik melalui wahyu Al-Qur’an maupun dengan ucapan-ucapan
beliau sendiri di luar Al-Qur’an, termasuk juga melalui tingkah laku beliau. Paling tidak, ada
tiga alasan mengapa nabi ditempatkan sebagai seorang pembimbing agama satu-satunya,
yakni:
1) Sebagai seorang utusan Allah yang harus ditaati;

2) Nabi merupakan teladan yang baik bagi seluruh umat manusia, khususnya umat muslim

3) Sebagai salah satu tokoh sentral di dunia arab saat itu.

Berpijak dari tiga alasan diatas, maka sangatlah wajar bila beliau merupakan pusat perhatian
bagi semua masyarakat saat itu. Seluruh tindak tanduknya menjadi sorotan bagi setiap
masyarakat muslim.perbincangan tentang diri dan pribadi beliau tidak dapat dihindarkan oleh
masyarakat. Perbincangan tentang diri dan pribadi nabi adalah bagian dari peristiwa harian
mereka, sehingga dalam pengertian sederhana, pengertian transfer informasi (hadis) yang
disandarkan kepada beliau sudah mulai muncul.

Berdasarkan deskripsi tentang hubungan antara nabi dengan masyarakat pada saat itu, dapat
diambil kesimpulan, yaitu:

1) Telah terjadi pengajaran agama islam, baik yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-
Qur’an ataupun selain Al-Qur’an (penjelasan dan tafsiran nabi terhadap Al-Qur’an); dan

2) Secara tidak disengaja telah terjadi proses transformasi informasi yang berasal atau
berkenaan dengan nabi, di mana informasi ini di kemudian hari dikenal dengan istilah sunah
atau hadis nabi.

Dalam konteks penyebaran hadis maka penyebaran hadis pada saat nabi dapat di identikkan
dengan proses pengajaran agama islam (‫ )دين اإلسالم‬oleh nabi kepada masyarakat saat itu.

Cara Periwayatan dalam memperoleh dan menyampaikan hadis pada periode rasul tentu saja
berbeda dengan periode selainnya. Di samping penyebaran hadis pada periode rasul identik
dengan pengajaran agama oleh beliau, cara periwayatan hadis pada saat itu lebih terbebas dari
syarat-syarat tertentu bila dibandingkan dengan periode sesudahnya. Hal ini disebabkan
karena di zaman nabi selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan
hadis, juga karena pada zaman itu seseorang akan dengan mudah melakukan pemeriksaan
sekiranya ada hadis yang diragukan kesahihannya.

Pada dasarnya, sifat penerimaan berita tentang tindakan, perkataan atau penetapan rasullah
terhadap sesuatu oleh para sahabat nabi hanyalah terjadi dalam dua kemungkinan,yaitu secara
langsung (mubasyarah) dan secara tidak langsung atau melalui pemberitaan sahabat nabi
yang lain.

Sanad pada masa sahabat nabi belum memperoleh posisi yang sangat istimewa dan tidak
mempunyai makna penting. Hal ini dikarenakan setiap sahabat nabi diyakini memiliki yang
tinggi dan dapat dipercaya.

Adapun cara-cara para sahabat dalam memperoleh (menerima) dan meriwayatkan hadis pada
zaman nabi adalah sebagai berikut :

1) Melalui majelis-majelis kajian agama yang diselenggarakan oleh nabi baik secara
langsung maupun tidak langsung;
2) Peristiwa-peristiwa yang ditemui atau dialami oleh nabi sendiri, sehingga nabi
memberikan penilaian(hukum) terhadap peristiwa tersebut;

3) Peristiwa-peristiwa yang ditemui atau dialami para sahabat nabi, baik urusan pribadi
ataupun orang banyak yang kemudian ditanyakan pada nabi tentang hukumnya;

4) Peristiwa atau kejadian yang disaksikan oleh para sahabat melalui contoh-contoh sikap
nabi dalam merespon suatu peristiwa;

5) Dikirimnya beberapa sahabat nabi untuk pergi ke berbagai daerah, baik khusus untuk
berdakwah ataupun untuk memangku jabatan.

b. Hadis pada periode sahabat

Di tangan para sahabat nabi, wilayah kekuasaan sudah mulai mulai berkembang hingga
keluar jazirah Arab. Bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam banyak sahabat
yang kemudian dikirim dan menetap di daerah-daerah tersebut untuk menyebarkan ajaran-
ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-sunnah) , hingga akhirnya daerah tersebut menjadi pusat-
pusat ilmu pengetahuan Islam. Di antara yang menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan adalah
Madinah, Mekah, Kufah, Basyrah, Syiria, Mesir, Maghrib (Afrika selatan), Andalusia
(Spanyol) , dan lain-lain.

Melalui mereka, riwayat-riwayatan tentang tindakan nabi tersebar di berbagai wilayah


kekuasaan Islam. Namun, sebagai mana diketahui bersama, tak ada satu pun sahabat nabi
yang selalu mengetahui seluruh tindakan nabi. Karenanya, dalam rangka mendapatkan
informasi tentang seluruh tindakan nabi, mereka melakukan tukar-menukar informasi. Sejak
itu, fenomena perlawatan untuk mencari hadis ( al-rihlah fit thalib al-‘ilm) mulai
berkembang, terutama oleh generasi pasca-sahabat, yakni al-tabi’in dan atba’ al-tabi’in.

Perlawatan ini dilakukan dalam rangka mencari, memantapkan, dan menyebarkan


pengetahuan. Termasuk adanya upaya cross refence dalam rangka pembuktian kebenaran
suatu informasi yang pernah diterima mereka. Perkembangan hadis pada fase ini oleh Fazlur
Rahman disebut fase perkembangan hadis secara semi formal.

Meskipun pada masa sahabat nabi, sanad belum memperoleh posisi yang sangat
istimewa dan tidak mempunyai makna yang penting, karena setiap sahabat nabi diyakini
memiliki sifat kejujuran yang tinggi dan dapat dipercaya. Namun, para sahabat tetap berhati-
hati dalam menerima atau meriwayatkan hadis.

Adapun tolak ukur yang sering digunakan para sahabat sebagai acuan untuk saling
koreksi/kritik atas periwayatan hadis, pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga
tolak ukur yaitu :

1) Metode perbandingan dengan Al-Qur’an ;

2) Metode rujuk silang atau cross reference antar periwayatan hadis; dan
3) Pendekatan rasional yang digunakan untuk menilai kelayakan isi hadis sebagai sebuah
sabda nabi.

c. Hadis pada periode tabi’in

Kondisi periwayatan hadis pada periode tabi’in sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kondisi periwayatan hadis pada periode sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in sanad hadis
sudah mulai mendapat perhatian yang cukup serius. Jika setiap sahabat nabi dapat dinilai adil,
maka penilaian ini tidak lagi berlaku bagi setiap generasi tabi’in

Tata cara penyampaian dan penerimaan hadis yang mulai dikembangkan dan dibakukan
adalah :

1) Sima’(mendengar dari guru)

2) Qira’ah ( membaca di hadapan guru )

3) Ijazah ( pelimpahan otoritas )

4) Munawalah (pelimpahan otoritas dengan syarat)

5) Kitabah (menulis untuk murid)

6) Washiyyah (wasiat), dan

7) Wijadah ( temuan ).

Pembakuan tata cara periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama untuk
menyelamatkan hadis nabi dari pemalsuan-pemalsuan hadis yang sedang berkembang.

Mata rantai periwayat hadis (sanad) pun makin panjang di bandingkan dengan
generasi sahabat, karena generasi pasca sahabat tidak hidup sezaman dengan nabi. Seorang
mukharrij(periwayat hadis) bisa jadi memperoleh hadis dari periwayat yang :

1) Dasar dari generasi sebelumnya, akan tetapi masih sempat sezaman;

2) Berasal dari satu generasi dengannya;

3) Berasal dari generasi sesudahnya yang masih sempat sezaman dengannya.

2. Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis


Hampir selama abad l H. Telah terjadi sikap ambivalensi dari sebagian besar sahabat nabi dan
para tabi’in besar dalam memperhatikan persoalan penulisan hadis. Sikap ambivalensi
tersebut tampak pada kenyataan bahwa di satu sisi, penulisan hadis adalah suat tindakan yang
jelas-jelas akan memberikan banyak keuntungan (manfaat). Akan tetapi, di sisi lain, ternyata
mereka juga khawatir bahwa penulisan hadis tersebut akan berdampak negatif, yakni
terjadinya pencampur adukkan hadis dengan al-Qur’an. Akibatnya, masyarakat bisa menjadi
bingung dalam membedakan mana yang Al-Qur’an dan mana yang selainnya.

Namun demikian, sebuah fakta sejarah menyebutkan bahwa ada sekitar 50 sahabat nabi yang
ternyata mempunyai manuskrip-manuskrip yang belakangan dikenal dengan sebutan shuhuf
(bentuk tunggalnya = shahifah), yakni suat karya di mana beberapa materi hadis nabi ditulis.
Oleh karena itu, periode penulisan hadis dalam bentuk suhu ini diklasifikasikan sebagai
sebuah gerakan pembukuan hadis yang sangat dini. Karena ciri khusus dari trend penulisan
hadis saat itu adalah dalam bentuk shuhuf, maka periode tersebut dapat disebut sebagai
periode gerakan penulisan hadis dalam bentuk shuhuf. Sayangnya, karya-karya asli yang
dalam bentuk shuhuf tersebut sudah musnah, meskipun ada sejumlah salinannya yang dapat
ditemukan saat ini.

a. Pembukuan Hadis Abad ke II, III, dan Pertengahan Abad IV H

1) Gerakan Penulisan Hadis dalam Bentuk Mushannaf

Selama abad pertama dan awal abad kedua hijriyah, kompilasi hadis dilakukan hanya terbatas
kepada hadis-hadis yang beredar secara lisan. Berikutnya, para ulama mulai
mengelompokkan hadis di bawah topik yang menunjukkan tema persoalannya.
Pengelompokan hadis dalam bentuk ini disebut dengan istilah mushannaf, yakni kompilasi
hadis yang sudah terklasifikasikan atau tersistematisasi. Oleh karena itu, gerakan penulisan
hadis dalam bentuk tersebut disebut sebagai gerakan penulisan hadis dalam bentuk
mushannaf.

Meskipun ibn Juraij dan ma’mar bin rasyid adalah penghimpun hadis dalam bentuk
mushannaf, namun karya yang terkenal dari jenis penulisan hadis dalam bentuk ini adalah
karya Al-Muwaththa’ yang disusun oleh imam malik bin anas, seorang pendiri madzhab fikih
kedua.

2) Gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad

Meskipun karya mushannaf dinilai sistematis dan secara akademik bermanfaat sekali, namun
ia merupakan karya hadis yang di dalamnya telah ditambahkan pendapat-pendapat hukum. Ia
bukanlah karya yang layak sebagai sebuah karya literatur hadis, di mana studi hadis hanyalah
merupakan kajian yang di dalamnya telah diposisikan sebagai bagian dari kepentingan
diskusi hukum. Oleh karena itu, trend gerakan penulisan mulai berubah dalam bentuk yang
lain. Gerakan penulisan hadis pada fase berikutnya adalah gerakan penulisan hadis dalam
bentuk musnad, yakni gaya hadis yang hanya disandarkan kepada rasullah saja.

Karya musnad adalah sebuah karya hadis yang di susun berdasarkan pengelompokan hadis
hadis di bawah nama-nama periwayat hadis dari generasi sahabat. Pada umumnya,
penyusunan tata urutan nama sahabat nabi tersebut didasarkan atas tingkat senioritas. Akan
tetapi masing-masing hadis yang ada dalam setiap kelompok tidak di susun secara beraturan.

Adapun karya musnad yang paling populer adalah kitab musnad karya Ahmad Bin .Hanbal,
seorang pendiri mazhab fikih ke-4. Karya ini merupakan karya hadis terbaik dalam bentuk
musnad.

3) Gerakan penulisan hadis dalam bentuk himpunan hadis-hadis shahih

Gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad ternyata tidak membedakan materi-materi
hadis yang otentik (shahih) dan yang lemah (dha’if). Penggunaannya pun juga sulit, karena
hadis-hadisnya disusun tidak berdasarkan tema atau topik tertentu, melainkan tersebar di
berbagai bagian kitab. Oleh karena itu, muncullah sebuah gerakan baru yang hampir sering
dengan gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad tersebut di bawah panji-panji gerakan
penulisan hadis yang didasarkan pada kategori hadis-hadis shahih. Beberapa penulis karya di
bawah gerakan tersebut memasukkan hadis-hadis yang dinilai kurang kredibel untuk
kepentingan-kepentingan agama dan hukum mereka, hanya saja mereka tetap menunjukkan
kualitas hadis-hadis tersebut.

Di antara karya-karya kompilasi hadis yang dihasilkan melalui gerakan penulisan hadis
dengan kategori himpunan hadis-hadis shahih adalah sebagai berikut :

a) Al-jami’ al-shahih, karya Muhammad bin Abdullah al Bukhari (w.256 H)

b) Al-jami’ al-shahih karya Muslim bin al-Hajjaj (w.261 H)

c) Kitab Al-sunan karya Abu Dawud,Sulaiman bin Asy’as (w.275 H), dll.

b. Pembukuan Hadis pada Pertengahan kedua abad ke IV H, ke V H dan Seterusnya.

Pembukuan atau kompilasi hadis nabi pada abad ke V H menunjukkan karakteristik yang
sangat berbeda dari abad-abad sebelumnya. Bila pada abad-abad sebelumnya, dapat
dikatakan sebagai kitab-kitab hadis yang asli, yakni suatu kompilasi hadis nabi yang
didasarkan atas sanad penghimpun hadis yang diperolehnya dari perjalanan individu kepada
guru-guru yang ada di berbagai daerah imperium Islam. Maka, karya-karya hadis pada abad
ke V H (tepatnya sejak pertengahan abad ke IV) tidak semuanya dapat diklasifikasikan
sebagai kitab-kitab hadis yang asli. Hal ini lebih dikarenakan karya-karya yang muncul
semenjak pertengahan abad ke IV H lebih banyak disandarkan pada hasil karya ulama-ulama
sebelumnya.

Secara umum, bentuk dari karya-karya yang muncul semenjak pertengahan abad ke IV H,
bahkan hingga saat sekarang adalah dalam bentuk elaborasi (sharah) , kritisime, ringkasan
(mukhtashar), pengembangan, komentar, revisi dan penseleksian atau pembuatan indek-indek
untuk referensi secara mudah. Berikut ini adalah beberapa contoh dari model-model karya
yang muncul semenjak pertengahan abad ke IV H tersebut :

1) Kompilasi hadis dalam bentuk karya pelengkap (istidrakat)

Pertama: al- ilzamat ‘ala al-bukhari wa mislim karya Ali bin Umar al-daruqutni (w.385 H).
Dan yang kedua : almustadrak ‘ala al-shahihain karya Muhammad bin Ali Al-hakim (w. 404
H).

2) Kompilasi hadis dalam bentuk catatan-catatan kritis

a) Ma’alim al-sunah karya Hammad bin Muhammad al-Khottobi, dikenal dengan al-
Khottobi (w. 389 H). Karya ini merupakan karya tentang komentar terhadap karya kitab al-
Sunan karya Abu Dawud. Di samping karya ini, al-Khottobo juga membuat karya komentar
lainnya yang berjudul I’lam al-Sunan yang merupakan karya komentar terhadap al-Jami’ al-
Shohih-nya al-Bukhari dan ditulis segera setelah al-Khottobi menyelesaikan Ma’alim al-
Sunan.

b) Kitab Qur’an wa al-Hadis karya Ahmad bin Muhammad Abu Ubaid al-Harawi, dikenal
dengan al-Harawi (w. 401). Beliau mengkaji kosa kata yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis
tanpa disertai sanad dan sumber rujukan kitab hadisnya.

c) Tafsir Gharib al-Shahihain karya Muhammad bin Abi Nasr al-Hamidi, dikenal dengan al-
Hamidi (w.488 H).

3) Kompilasi hadis dalam bentuk ringkasan (mukhtashar)

a) Al –Mulakhkhis li ma fi al-Muatha’ min al hadis al musnad karya Ali bin Muhammad bin
Khallaf al-Qabisi, dikenal dengan al-Qabbisi (w.403 H). Karya ini berisi 525 hadis lengkap
dengan sanadnya

b) Al-tajrid al-sharih karya Abu al-Abbas Ahmad bin Ahmad al Zubaidi(w.893 H). Karya ini
terdiri dari dua jilid dan merupakan sebuah karya populer yang menghimpunkan hadis-hadis
yang terdapat di dalam al-Jami’ al-shahih karya al-Bukhari tanpa disertai sanad dan
pengulangan hadis yang sering dijumpai dalam karya asli al-Bukhari.

D. Kitab-Kitab Hasil dari Proses Kodifikasi Hadis

Adapun kitab-kitab hasil dari kodifikasi hadis yaitu :

1. Al-Muwatha’ karya Ibnu Malik;

2. Al-Musnad karya Ahmad Imam ahmad;

3. Shahih al-bukhari penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim;

4. Shahih Muslim penyusun Abu al husain Muslim;


5. Sunan Abu Daud penyusun Abu Daud;

6. Sunan Al-Nasa’i penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr;

7. Sunan at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi;

8. Sunan Ibnu Majah penyusun Ibnu Majah;

9. Dan lain-lain.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan pengumpulan Al-Hadis
dan penulisannya secara besar-besaran yang secara resmi disponsori atau diperintahkan oleh
pemerintah (khalifah). Sedangkan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi sebenarnya
sudah di lakukan sejak pada masa Rasulullah SAW, saat beliau masih hidup.

Selanjutnya proses kodifikasi hadis, yang pada awalnya dilatar belakangi oleh kekhawatiran
Khalifah Umar bin Abdul Aziz terhadap berbagai persoalan di masa pemerintahannya.
Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu: Hilangnya hadis-hadis dikarenakan
meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal hadis di medan perang, Bercampurnya
antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu, Meluasnya daerah kekuasaan
islam. Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk menyelamat-
kan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.

Kemudian sejarah pengkodifikasian hadis dibagi menjadi dua bab yaitu :

1. Sejarah pra-kodifikasi hadis, yaitu sebelum adanya perintah untuk mengumpulkan hadis
yang terdori dari beberapa periode yakni : periode pada masa rasul,periode masa sahabat dan
periode pada masa tabi’in.

2. Sejarah perkembangan kodifikasi hadis, yaitu mulai diperintahkan untuk mengumpulkan


hadis-hadis yang masih berada dimana-mana belum menjadi satu mushaf.

Kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasi yaitu :

1. Al-Muwatha’ karya Ibnu Malik,

2. Al-Musnad karya Ahmad Imam ahmad,

3. Shahih al-bukhari penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim,

4. Shahih Muslim penyusun Abu al husain Muslim,


5. Sunan Abu Daud penyusun Abu Daud,

6. Sunan Al-Nasa’i penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr,

7. Sunan at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi,

8. Sunan Ibnu Majah penyusun Ibnu Majah.

Dan lain-lain.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini tak luput penulisan dari kesalahan atau kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk kritik dan sarannya yang
konstruktif bagi penulis khususnya, guna kesempurnaan penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Nizar, Ali. 2009. File: Kodifikasi Hadis.ppt.

Nizar, Ali. 2011. Artikel: Sejarah Kodifikasi Hadis.

Muhsin, Imam dkk. 2005. Al-Hadis. Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga.

Sambas, Aceng dkk. 2010. Ebook: Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi. Bandung: UIN Sunan
Gunung Djati.

El-Rasheed, Brilly. 2010. Makalah: Catatan Historis Kronologis Kodifikasi Hadits.

Rasyid, Daud. 2007. Makalah: Hadis Tidak Ditulis pada Masa Rosul.

Abdul, Amr. 1997. Ebook: Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in (Edisi Terjemahan oleh
Abah Zacky).

Abdul, Amr. 1997. Ebook: Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in (Edisi Terjemahan
oleh Abah Zacky).

Foto copy buku tentang Hadis, tanpa Judul dan Pengarang didalamnya.

Yaqin, Ainul. 2007. Artikel: Sejarah Kodifikasi Hadis Nabi.

Nugraheni, Aninditya Sri dan Suyadi. 2011. Cerdas Menulis Karya Ilmiah Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Metamorfosa Press.

Anda mungkin juga menyukai