Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, TADWIN DAN

SELEKSI HADIS PADA MASA RASULLULLAH, SAHABAT DAN


TABI’IN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Ulumul Hadis.

Dosen Pengampu : Dr. H Abd. Rozak, MA

Humaira Zildani : 11210510000102

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS


DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021-2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata hadis berasal dari bahasa Arab; al-hadis, jamaknya al-hadis, al-hidsan, dan
al-hudsan. Dari aspek etimologi, kata ini bermakna banyak di antaranya al-jadid (yang
baru) lawan dari al-qodim (yang lama) dan al-khabar (kabar atau berita).(1)
Hadis menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam Islam. Kitab suci
Alquran yang berisikan ajaran menyeluruh bagi ummat manusia terkhusus Islam,
memerlukan hadis untuk memahami isi dan kandungannya. Hadis dipandang sebagai
miftah Alquran (kunci untuk memahami Alquran), karena ia bukan saja sebagai penguat
dan penjelasan Alquran terhadap ayat-ayat yang umum, atau yang masih mutlaq, tapi bisa
juga dijadikan dasar bagi penetapan hukum baru yang tidak dijelaskan dalam Alquran.
Dari zaman nabi Muhammad SAW hingga sekarang, hadis mengalami penjagaan
yang begitu ketat oleh para ulama mulai dari ranah sumber (matan), pesan (sanad),
sampai perowinya. Oleh karena itu para ulama menyusun seperangkat kaidah secara
khusus untuk mempelajari ilmu hadis, yang dikenal dengan berbagai nama seperti, ‘Ilm
al-Hadis, Mustalah al-Hadis, Usul al-Hadis, dan Ilm ql-Hadis Dirayah. Itu semua
diadakan supaya dapat memiliki penguasaan ilmu hadis yang sempurna.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masa pertumbuhan, perkembangan, seleksi dan tadwin hadis pada masa
Rosululloh SAW?
2. Bagaimana masa pertumbuhan, perkembangan, seleksi dan tadwin hadis pada masa
Sahabat?
3. Bagaimana masa pertumbuhan, perkembangan, seleksi dan tadwin hadis pada masa
Tabi’in?
1

1
Lihat Muhammad bin Mukran Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Misriyah, t.th) juz II, hlm. 436-439.

2
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada Masa Nabi Muhammad SAW


Hadis sebagai suatu disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-
hari seorang muslim, memiliki sejarah yang harus dipelajari supaya tidak terjadi
kesalahan pada generasi-generasi selanjutnya. Adapun hadis sering juga disebut dengan
sunnah. Dalam Kitab ‘Ushul Hadis’ karya Syekh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dikatakan,
“Sudah berlalu tentang pengertian sunnah menurut para ahli hadits bahwa sunnah itu
sama artinya dengan hadits. Dan maksud dari keduanya adalah, setiap apa yang
ditinggalkan dari rasul ‫ ﷺ‬sebelum beliau diutus dan juga setelahnya, akan tetapi
apabila dimutlakkan lafadz "hadis" saja, maka secara umum maknanya beralih menjadi
apa yang diriwayatkan dari nabi ‫ ﷺ‬setelah kenabian dari ucapan, perbuatan, dan
iqrarnya. Oleh karenanya maka sunnah lebih umum dibanding hadis.” 1
Hadis sebagai sumber ajaran dalam Islam telah mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangannya. Dimulai dari fase pengumpulan sampai pembukuan dari zaman Nabi
Muhammad SAW, para sahabat, dan para tabi’in, sehingga dapat dirasakan esensinya
hingga saat ini.
Menurut M. Syuhudi Ismail, yang dimaksud dengan sejarah perkembangan hadis
ialah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan
perkembangan hadis, sejak Rasulullah masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadis
seperti yang dapat disaksikan hari ini. Salah satu kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW
yang berkaitan dengan hadis adalah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk
menghapal dan menyampaikan atau menyebarkan hadis-hadisnya.
Menurut Ajjaj al-Khatib, proses terjadinya hadis bisa muncul dari berbagai sisi yakni; 2
1. Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat,
selanjutnya para sahabat menyampaikan kepada sahabat lain.
21
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah…Op.Cit., hlm. 27
2
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah…Op.Cit., hlm. 44-48.

3
2. Terjadi pada sahabat atau umat Islam karena mengalami sesuatu masalah
yang kemudian ditanyakan kepada Nabi SAW. Model yang ini sangat
banyak dalam bentuk pertanyaan sahabat yang Nabi memberikan jawaban
dan penjelasan.
3. Segala amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan syariah,
baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat,
kemudian mereka sampaikan kepada sahabat yang lain atau tabi’in.

Pada masa Nabi Muhammad SAW pertumbuhan dan perkembangan hadis


menggunakan beberapa metode yakni :

1. Pengajaran secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW berbentuk


verbal/ lisan.
2. Pengajaran secara tertulis kepada para ahli dengan mendiktekannya untuk
dikirim kepada raja, penguasa, komandan tentara, dan gubernur muslim.
3. Demonstrasi praktis untuk mengikuti segala tindakan Nabi.

Selain itu Nabi Muhammad SAW juga mengambil beberapa kebijakan untuk
mendorong kesempatan kaum muslimin mempelajari Hadis, yakni :

1. Mendirikan lembaga pendidikan.


2. Pengarahan Nabi tentang penyebaran ilmu pengetahuan.
3. Memberikan janji pahala kepada guru dan murid.

Adapun cara penyampaian hadis dari Rosullullah kepada para sahabatnya


meliputi beberapa hal. Menurut M. Syuhudi dalam bukunya ‘Cara Praktis Mencari
Hadis’ mengemukakan :

1. Pada majelis-majelis Rosullullah, baik di masjid atau di rumah beliau.


2. Pada peristiwa Nabi Muhammad yang beliau mengalaminya, kemudian
Nabi menerangkan hukumnya.
3. Pada peristiwa kaum muslimin yang menanyakan suatu hukum atas
peristiwa yang mereka alami.

4
4. Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh sahabat apa yang terjadi
atau dialami oleh Nabi.

Kemudian, menurut Mustafa al-Siba’iy dalam mempelajari hadis pada masa Nabi
Muhammad SAW, para sahabat menggunakan 3 macam metode :3

1. Hafalan
Para sahabat menghafalakan hadis dengan hati-hati untuk mempelajari hadis.
Dahulu, menghafal adalah cara yang paling banyak digunakan untuk
mempelajari hadis daripada tulisan. Hal itu dikarenakan, kemampuan tulis
menulis pada masa awal Islam bagi orang-orang Arab masih sangat sedikit
dan dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah ditugaskan untuk menulis
wahyu Alquran. Selain itu, ingatan orang-orang Arab yang bersifat ummi
sangat kuat dan dapat lebih diandalkan.
2. Catatan
Para sahabat mempelajari hadis dengan cara mencatatnya dalam catatan yang
cukup rapi.
3. Praktik
Setelah mendapatkan ilmu dari apa yang mereka pelajari, para sahabat
langsung mempraktekkan hadis Nabi sebagai etika ilmu dalam Islam.

Sebagai generasi pertama yang langsung menerima perkataan, perbuatan, dan


ketetapan Nabi, peran sahabat sangatlah penting karena mereka memiliki kesungguhan
alam menyertai kehidupan Rasulullah SAW.

Adapun tujuan Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat,
diantaranya ialah :

1. Karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat yang diturunkan Allah


SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang.
2. Karena ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu
peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri.

3
Mustafa Azami , Op. Cit., hlm. 85-86.

5
3. Ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang
terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya, baik oleh pelaku
peristiwa, maupun oranglain.
4. Ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat
yang disaksikan oleh sahabat.
5. Ia bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan
dengan ajaran Islam.4

Para sahabat sangat menghormati Rosullulloh SAW. Sehingga mereka berusaha


keras untuk memperoleh pengetahuan dari Nabi Muhammad SAW. Menurut Ahmad
Umar Hasyim, terdapat tiga faktor penyebab perhatian para sahabat kepada hadis, yakni;

1. Nabi sebagai panutan yang baik umatnya.


2. Kandungan beberapa ayat Alquran dan Hadis Nabi yang menganjurkan
mereka menuntut ilmu dan mengamalkannya.
3. Kesiapan mereka secara fitrah Arab yang memiliki ingatan kuat untuk
mengingat segala hal yang terjadi pada Nabi SAW.5

Namun asumsi ini tidak menunjukan bahwa semua sahabat memiliki pengetahuan
yang sama tentang hadis dalam menerima periwayatab dan keadaan Nabi sendiri. Hal
tersebut disebabkan oleh;

1. Tempat tinggal yang jauh.


2. Kesibukan sehari-hari.
3. Intelektual dan kecakapan.
4. Keintiman atau keakraban pergaulannya dengan Nabi.
5. Masa cepat atau lambatnya masuk Islam.6

Pada hakikatnya, hadis tidaklah lepas dari kehidupan dan kepribadian Rosullullah
SAW yang berkaitan erat ditengah kehidupan bermasyarakat beliau. Oleh karena itu,

4
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 66-69.
5
Ahmad Umar Hasyim, al-Sunnah al-Nabawiyah wa ‘Ulumuh (Kairo: Maktabah Gharib, t.th), hlm. 46.
6
M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., hlm. 88-89.

6
hadis merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan
masyarakat baik secara umum maupun secara khusus.

B. Tadwin Hadis pada Masa Sahabat dan Tabi’in


Dalam perkembangannya, hadis mengalami fase penulisan yang dilakukan oleh
para sahabat dan tabi’in. Hal itu bertujuan sebagai penjagaan hadis setelah wafatnya
Rosullullah SAW. Terdapat dua perspektif dalam kepenulisan hadis. Yang pertama, masa
kepenulisan ketika pertama kali disampaikan oleh nabi, dan yang kedua masa kodifikasi
atau penulisan hadis dalam kitab-kitab hadis.
Dalam konteks ini Nabi Muhammad SAW memiliki dua kebijakan yang berbeda
yakni melarang para sahabat untuk menulis hadis dan memerintahkan para sahabat untuk
menulis hadis. Kebijakan Nabi tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan
ulama bahkan di kalangan sahabat tentang boleh tidaknya penulisan hadis dilakukan.7
Larangan nabi dalam penulisan hadis terangkum dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id al-Khudariy yang berbunyi;
‫فليمحه القرآن غير عني كتب ومن تكتبوا ال‬

“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali Al-quran. Dan
barangsiapa telah menulis daripadaku selain Alquran, hendaklah ia menghapusnya”.
(HR. Muslim)

Para ulama memahami hadis di atas sebagai bentuk kekhawatiran Nabi SAW agar
tidak terjadi pencampuran antara Alquran dan hadis, sekaligus mengajak para sahabat
untuk lebih fokus terhadap Alquran yang dalam proses turunnya wahyu. Menurut Azami,
dilarangnya pembukuan hadis di awal masa perkembangan Islam, karena seluruh
perhatian harus dicurahkan kepada Al-qurab dan pemeliharaannya, lalu di saat tidak ada
kekhawatiran atau bahaya pengabaian Alquran, larangan penulisan tersebut ditarik
kembali dan orang muslim diizinkan untuk menulis dan membukukan hadis.8

7
Abustani Ilyas, Studi Hadis Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 49-50.

8
Mustafa Azami , Op. Cit., hlm. 57.

7
Sedangkan perintah nabi untuk menuliskan hadis juga terangkum dalam sabdanya yakni;

1. Dari Abu Hurairoh r.a. bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengadukan
kesulitannya dalam menghafal Alquran, lalu Rosul bersabda:

‫بيمينك حفظلك على استعن‬


“Bantulah hafalanmu dengan tanganmu”. (HR. Tirmidzi)

2. Dari Abu Hurairoh r.a. pada saat nabi menaklukan kota Mekah, beliau berdiri dan
berkhutbah. Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama Abu Syah dan
bertanya: “Tuliskanlah aku”? Maka nabi Muhammad SAW bersabda:
‫اكتبوا البي شاة‬
“Tuliskanlah untuk Abi Syah”.
Berkaitan perintah untuk menulis hadis nabi, menurut Abu Abd. Al-Rahman
bahwa tidak ada satupun hadis yang lebih shahih selain dari hadis yang berhubungan
dengan Abu Syah ini. Karena dalam hadis tersebut Rosullullah SAW dengan tegas telah
memerintahkannya.
Dalam memahami kedua hadis yang tampak bertentangan di atas, para ulama
telah mengkompromikan atau menyelesaikan dengan mempertemukan kedua hadis
tersebut kedalam beberapa pemahaman, yakni;
1. Bahwa larangan menulis hadis itu telah dimansuhkan oleh hadis yang
memerintah menulis hadis.
2. Bahwa larangan itu bersifat umum , sedang beberapa sahabat secara khusus
diizinkan.
3. Bahwa larangan menulis hadis ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan
mencampuradukkan dengan Alquran.
4. Bahwa larangan tersebut dimaksudkan dalam konteks kodifikasi formal seperti
mushaf Alquran, sedang jika sekedar berupa catatan-catatan untuk dipakai sendiri tidak
dilarang.

8
5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu sedang turun, belum dihafal dan
dicatat oleh para sahabat; sedang setelah wahyu turun dan telah dihafal serta dicatat,
menulis hadis diizinkan.9

Kemudian masa penulisan yang kedua yakni masa kodifikasi (tadwin) dalam
kitab-kitab hadis, yang merupakan periode keempat yakni ‘Asr al-Kitabah wa al-
Tadwin.’ Masa ini dimulai pada masa pemerintahan Umayyah angkatan kedua [mulai
Khalifah Umar bin Abdul Aziz] sampai akhir abad II Hijriyah [menjelang akhir masa
Dinasti Abbasiyah angkatan pertama]. Dengan demikian, masa ini merupakan periode
tabi’in.10

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama hadis tentang pemrakasa


kodifikasi hadis secara resmi. Secara umum, yang dikenal memprakarsai kodifikasi
secara resmi dari kalangan penguasa adalah Umar bin Abd al-‘Aziz. Namun, menurut
‘Ajjaj, kodifikasi hadis telah lebih dahulu diprakarsai oleh Abd al-Aziz bin Marwan (w.
85 H) ayah Umar bin Abd al-Aziz sendiri, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur di
Mesir.

Riwayat tersebut menceritakan bahwa Abd al-Aziz meminta Katsir bin Murrah al-
Hadhramiy, seorang tabi’in di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70
orang sahabat veteran Perang Badar, untuk menuliskan hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW. Yang pernah diterimanya dari para sahabat selain Abu Hurairah, karena dia sudah
memiliki catatan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang didengarnya
sendiri secara langsung darinya.11 Kemudian mengirimkannya kepada Abd al-Aziz
sendiri. Perintah tersebut adalah pertanda bahwa kodifikasi secara resmi yang diprakarsai
oleh penguasa telah dimulai pada tahun 75 H.12

Terdapat beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abd al-Aziz melakukan
kodifikasi hadis, yakni;

9
Ibid., hlm. 5.
10
Abustani Ilyas, Studi Hadis Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 53.
11
Ajjaj, al-Sunnah Qabla…Op.Cit., hlm. 218.
12
Ibid., hlm. 218.

9
1. Kekhawatiran akan hilangnya hadis, karena sahabat banyak yang meninggal dunia
karena perang dan usia lanjut.
2. Kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan
perbedaan aliran di kalangan umat Islam semakin massif.
3. Daerah kekuasaan Islam semakin luas, permasalahan yang dihadapi umat semakin
banyak dan kompleks.

Hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk dari hadis nabi SAW,
selain petunjuk Alquran. Sedangkan M. Syuhudi Ismail menambahkan alasan dari Umar
adalah Alquran telah dibukukan dan telah tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi
akan bercampur dengan hadis. 13

Motif diatas dapat dilihat dalam surat yang dikirimkan Umar kepada para gubernur yang
artinya,

”Telitilah hadis Rasulullah SAW, dan tulislah. Aku mengkhawatirkan upaya pencarian
ilmu dan mangkatnya para ahli… hendaklah ilmu disebarkan dan dikaji sehingga orang
yang tidak tahu menjadi tahu, ilmu tidak sirna kecuali ia menjadi rahasia”

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang gubernur yang menerima


instruksi khalifah untuk menulis dan membukukan hadis. Menurut Syuhudi Ismail,
diantara gubernur yang menerima instruksi dari khalifah adalah gubernur Madinah yang
juga seorang ulama yakni Abu Bakar bin Amr bin hazm atau Muhammad bin hazm (w.
117 H). Instruksi tersebut berisikan agar gubernur segera membukukan hadis-hadis yang
dihafal oleh penghafal hadis di Madinah antara lain :

1. Amrah bin abad Al-Rahman bin Saad bin Zurarah bin Ades, seseorang ahli fiqih dan
murid Aisyah r.a.
2. Al qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as Siddiq salah seorang pemuka tabi’in.

Setelah masa ibn Syihab maka pengkodifikasian hadis diteruskan oleh ulama-
ulama di berbagai kota. Diantaranya Ibn Juraij (80-150 H/ 669-767 M) di Mekkah; Ibnu
Ishaq (w. 151 H/768 M) dan Malik bin Anas (93-179 H/703-798 M) di Madinah; al-Rabi’

13
M. Syuhudi Ismail, Pengantar… Op.Cit., hlm.102

10
bin Shabih (wm 160 H), Said bin Abi Arubah (w. 156 H) dan Hammad bin Salamah (w.
176 H) di Bashrah; Sufyan al-Tsauriy (w.161 H) di Kufah; al-Auza’iy (w. 156 H) di
Syam; Husain al-Wasithy (w.188 H/804 M) di Wasith; Ma’mar al-Azdiy (95-153 H/753-
770 M) di Yaman; Karir al- Dlabby (110-188 H/ 728-804 M) di Rei; IBN Mubarak (118-
181 H/ 735-797 M) di Khurasan; al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H) di Mesir. 14

Adapun ciri-ciri dan sistem pembukuan hadis pada masa kodifikasi adalah:15

4. Hadis yang disusun dalam kitab Hadis mencangkup hadis-hadis nabi fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in.
5. Hadis yang disusun dalam kitab hadis umumnya belum diklasifikasi berdasarkan
tema-tema masalah tertentu.
6. Hadis-hadis yang disusun belum diklasifikasi antara yang berkualitas sahih Hasan
dan dhaif.

Diantara kitab-kitab hadis yang muncul sebagai hasil kodifikasi pada masa ini ialah :16

1. Al muwatta' yang disusun oleh Imam Malik bin Anas atas permintaan Khalifah Abu
Ja'far al Manshur.

2. Musnad al-Syafi'i yang disusun oleh Imam Syafi'i sebagai kumpulan hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab beliau yang bernama al-'Umm.

3. Mukhtaliful al-Syafi'iy hadits yang disusun oleh Imam Syafi'i berisi tentang cara-cara
menerima hadis sebagai hujjah dan cara-cara mengkompromikan hadis yang tampak
bertentangan.

4. Al- Surah al-Nabawiyah yang disusun oleh Ibnu Ishaq berisi tentang perjalanan hidup
nabi dan peperangan-peperangan di zaman nabi.

14
Ibid., hlm. 104
15
Ibid., hlm. 105
16
Ibid., hlm. 105

11
C. Seleksi Hadis pada Masa Tabi’in

Masa pentasihan dalam pandangan Hasbi merupakan periode kelima yang dimulai
sejak masa akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah al-Makmun)
sampai awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah al-Muqtadir) masa
pentasihan ini lahir sebagai solusi terhadap kondisi umat Islam yang telah mengalami
kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Menurut M. Syuhudi Ismail ada tiga kondisi umat Islam pada masa penantasihan yakni :

1.Pertikaian paham dikalangan ulama.


2.Sikap penguasa terhadap ulama hadits.
3.Kegiatan para pemalsu hadis.

Pada masa pentasihan para ulama hadis mengadakan seleksi kualitas hadits kepada
shahih dan daif. Ulama yang menjadi pelopor dalam pemikiran tentang kesahihan suatu hadis
adalah Al-Syafi’i, yang pemikirannya dapat dilihat pada persoalan yang dikemukakannya
tentang khabar ahad yang dapat dijadikan hujjah. Al-Syafi’i memberikan persyaratan yakni :17

1. Mata rantai transmisi standarnya bersambung hingga kepada nabi.

2. Periwayatnya memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu yaitu;

a) Dapat diandalkan kualitas agamanya.

b) Dikenal sebagai orang yang jujur dalam periwayatannya.

c) Memahami dengan baik hadis yang diriwayatkannya.

d) Mengetahui perubahan makna hadis jika terjadi perubahan lafadz

e) Mampu meriwayatkan hadits secara lafaz dan tidak meriwayatkan hadits secara makna.

f) Terpelihara hafalannya jika ia meriwayatkan secara hafalan dan terpelihara catatannya


jika ia meriwayatkan melalui tulisan

17
Lihat Abu ‘Abd. Allah Muhammah bin Idris al-Syafi’I, al-Risalah, diteliti dan diberi “Syarah” oleh Ahmad
Muhammad Syakir, Juz II (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1979), hlm. 369-371.

12
g) Apabila hadis yang diriwayatkannya di teliti dengan riwayat lain dari periwayatan
yang lebih siqah, maka terdapat kesesuaian.

h) Riwayat haruslah bukan seorang mudallis yakni meriwayatkan dari seseorang tentang
sesuatu yang tidak ia dengar sendiri darinya atau meriwayatkan dari nabi sesuatu yang
berbeda dengan yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya.

Akan tetapi terdapat perbedaan antara Al-Syafi’I dengan Bukhari dalam


penetapan standar kaidah kesahihan hadis. Salah satu yang menjadi perbedaan antara
keduanya dalam menetapkan kriteria bersambung atau ikhtisar, Bukhari menetapkan
bahwa muttasil terjadi bila ada liqo’ atau pertemuan dalam proses periwayatan dan liqo’
yang dimaksud adalah subut al-liqo’ artinya benar-benar terjadi pertemuan dalam proses
belajar mengajar.

Sedangkan persamaannya adalah :18

1.Jalur periwayatan dari periwayat pertama sampai akhir bersambung.


2.Para periwayat dari awal sampai akhir harus dikenal siqah yakni adil dan dabit
(tingkat akurasi hafalan yang tinggi)
3. Hadis yang diriwayatkan harus bebas dari kecacatan dan kejanggalan.

Berdasarkan kriteria yang di konsep oleh masing-masing ulama kemudian lahirlah


kitab-kitab hadis yang sistem kodifikasinya dapat dikategorikan pada tiga bentuk
penyusunan yakni : 19

1.Kitab shahih

Yakni kitab hadis yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun hadis-hadis
yang berkualitas shahih, sedang hadis-hadis yang tidak berkualitas shahih tidak
dimasukkan. Misalnya, al-Jami’ al-sahih Karya Imam Bukhari dan al-Jami’ al-sahuh
Karya Imam Muslim.

18
Lihat Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Reliabilitas Metode Kritik Hadis (Cet. I; Bandung: Mizan, 2008), hlm.
13.
19
Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar… Op. Cit., hlm. 125.

13
2.Kitab sunan

Yakni kitab hadis yang oleh penyusunnya selain dimasukkan dalam kategori hadis-hadis
yang berkualitas shahih juga dimasukkan yang berkualitas dhaif dengan syarat yang tidak
berkualitas mungkar dan terlalu lemah. Di antara kitab sunan adalah karya Imam Abu
Dawud, Imam al-Turmudzi, Imam al-Nasa’iy, Imam Ibnu Majah dan Imam al-Darimiy.

3.Kitab musnad

Yakni kitab Hadis yang oleh penyusunnya dihimpun seluruh hadits yang diterimanya
dengan bentuk susunan berdasar nama periwayat pertama. Contoh dari kitab musnad
adalah kitab musnad karya Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu al-Qasim al-Baghawiy
dan Imam Usman bin Abi Syaibah.

14
Daftar Pustaka

Abustani Ilyas. (2019). Studi Hadis. Depok: Rajawali Pers.

Muhammad 'Ajjaj al Khatib. (1998). Ushul Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Muhammad Halid Syar'i. (2022, Oktober Senin). muslim.or.id. Retrieved Oktober Senin, 2022, from
muslim.or.id: https://muslim.or.id/25321-sejarah-penulisan-hadits-1.html

15
16

Anda mungkin juga menyukai