Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Ulumul Hadis.
2021-2022
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata hadis berasal dari bahasa Arab; al-hadis, jamaknya al-hadis, al-hidsan, dan
al-hudsan. Dari aspek etimologi, kata ini bermakna banyak di antaranya al-jadid (yang
baru) lawan dari al-qodim (yang lama) dan al-khabar (kabar atau berita).(1)
Hadis menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam Islam. Kitab suci
Alquran yang berisikan ajaran menyeluruh bagi ummat manusia terkhusus Islam,
memerlukan hadis untuk memahami isi dan kandungannya. Hadis dipandang sebagai
miftah Alquran (kunci untuk memahami Alquran), karena ia bukan saja sebagai penguat
dan penjelasan Alquran terhadap ayat-ayat yang umum, atau yang masih mutlaq, tapi bisa
juga dijadikan dasar bagi penetapan hukum baru yang tidak dijelaskan dalam Alquran.
Dari zaman nabi Muhammad SAW hingga sekarang, hadis mengalami penjagaan
yang begitu ketat oleh para ulama mulai dari ranah sumber (matan), pesan (sanad), sampai
perowinya. Oleh karena itu para ulama menyusun seperangkat kaidah secara khusus untuk
mempelajari ilmu hadis, yang dikenal dengan berbagai nama seperti, ‘Ilm al-Hadis,
Mustalah al-Hadis, Usul al-Hadis, dan Ilm ql-Hadis Dirayah. Itu semua diadakan supaya
dapat memiliki penguasaan ilmu hadis yang sempurna.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masa pertumbuhan, perkembangan, seleksi dan tadwin hadis pada masa
Rosululloh SAW?
2. Bagaimana masa pertumbuhan, perkembangan, seleksi dan tadwin hadis pada masa
Sahabat?
3. Bagaimana masa pertumbuhan, perkembangan, seleksi dan tadwin hadis pada masa
Tabi’in?
1
1
Lihat Muhammad bin Mukran Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Misriyah, t.th) juz II, hlm. 436-439.
2
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah…Op.Cit., hlm. 27
2
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah…Op.Cit., hlm. 44-48.
3
1. Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat,
selanjutnya para sahabat menyampaikan kepada sahabat lain.
2. Terjadi pada sahabat atau umat Islam karena mengalami sesuatu masalah
yang kemudian ditanyakan kepada Nabi SAW. Model yang ini sangat
banyak dalam bentuk pertanyaan sahabat yang Nabi memberikan jawaban
dan penjelasan.
3. Segala amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan syariah,
baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat,
kemudian mereka sampaikan kepada sahabat yang lain atau tabi’in.
Selain itu Nabi Muhammad SAW juga mengambil beberapa kebijakan untuk
mendorong kesempatan kaum muslimin mempelajari Hadis, yakni :
Adapun cara penyampaian hadis dari Rosullullah kepada para sahabatnya meliputi
beberapa hal. Menurut M. Syuhudi dalam bukunya ‘Cara Praktis Mencari Hadis’
mengemukakan :
4
3. Pada peristiwa kaum muslimin yang menanyakan suatu hukum atas
peristiwa yang mereka alami.
4. Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh sahabat apa yang terjadi atau
dialami oleh Nabi.
Kemudian, menurut Mustafa al-Siba’iy dalam mempelajari hadis pada masa Nabi
Muhammad SAW, para sahabat menggunakan 3 macam metode :3
1. Hafalan
Para sahabat menghafalakan hadis dengan hati-hati untuk mempelajari hadis.
Dahulu, menghafal adalah cara yang paling banyak digunakan untuk
mempelajari hadis daripada tulisan. Hal itu dikarenakan, kemampuan tulis
menulis pada masa awal Islam bagi orang-orang Arab masih sangat sedikit dan
dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah ditugaskan untuk menulis wahyu
Alquran. Selain itu, ingatan orang-orang Arab yang bersifat ummi sangat kuat
dan dapat lebih diandalkan.
2. Catatan
Para sahabat mempelajari hadis dengan cara mencatatnya dalam catatan yang
cukup rapi.
3. Praktik
Setelah mendapatkan ilmu dari apa yang mereka pelajari, para sahabat
langsung mempraktekkan hadis Nabi sebagai etika ilmu dalam Islam.
Adapun tujuan Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat,
diantaranya ialah :
3
Mustafa Azami , Op. Cit., hlm. 85-86.
5
2. Karena ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa
yang dilihat dan dialaminya sendiri.
3. Ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang
terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya, baik oleh pelaku
peristiwa, maupun oranglain.
4. Ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat
yang disaksikan oleh sahabat.
5. Ia bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan
dengan ajaran Islam.4
Namun asumsi ini tidak menunjukan bahwa semua sahabat memiliki pengetahuan
yang sama tentang hadis dalam menerima periwayatab dan keadaan Nabi sendiri. Hal
tersebut disebabkan oleh;
4
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 66-69.
5
Ahmad Umar Hasyim, al-Sunnah al-Nabawiyah wa ‘Ulumuh (Kairo: Maktabah Gharib, t.th), hlm. 46.
6
M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., hlm. 88-89.
6
Pada hakikatnya, hadis tidaklah lepas dari kehidupan dan kepribadian Rosullullah
SAW yang berkaitan erat ditengah kehidupan bermasyarakat beliau. Oleh karena itu, hadis
merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan masyarakat baik
secara umum maupun secara khusus.
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali Al-quran. Dan
barangsiapa telah menulis daripadaku selain Alquran, hendaklah ia menghapusnya”.
(HR. Muslim)
Para ulama memahami hadis di atas sebagai bentuk kekhawatiran Nabi SAW agar
tidak terjadi pencampuran antara Alquran dan hadis, sekaligus mengajak para sahabat
untuk lebih fokus terhadap Alquran yang dalam proses turunnya wahyu. Menurut Azami,
dilarangnya pembukuan hadis di awal masa perkembangan Islam, karena seluruh perhatian
harus dicurahkan kepada Al-qurab dan pemeliharaannya, lalu di saat tidak ada
7
Abustani Ilyas, Studi Hadis Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 49-50.
7
kekhawatiran atau bahaya pengabaian Alquran, larangan penulisan tersebut ditarik kembali
dan orang muslim diizinkan untuk menulis dan membukukan hadis.8
Sedangkan perintah nabi untuk menuliskan hadis juga terangkum dalam sabdanya yakni;
1. Dari Abu Hurairoh r.a. bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengadukan
kesulitannya dalam menghafal Alquran, lalu Rosul bersabda:
2. Dari Abu Hurairoh r.a. pada saat nabi menaklukan kota Mekah, beliau berdiri dan
berkhutbah. Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama Abu Syah dan
bertanya: “Tuliskanlah aku”? Maka nabi Muhammad SAW bersabda:
شاة البي اكتبوا
“Tuliskanlah untuk Abi Syah”.
Berkaitan perintah untuk menulis hadis nabi, menurut Abu Abd. Al-Rahman
bahwa tidak ada satupun hadis yang lebih shahih selain dari hadis yang berhubungan
dengan Abu Syah ini. Karena dalam hadis tersebut Rosullullah SAW dengan tegas telah
memerintahkannya.
Dalam memahami kedua hadis yang tampak bertentangan di atas, para ulama telah
mengkompromikan atau menyelesaikan dengan mempertemukan kedua hadis tersebut
kedalam beberapa pemahaman, yakni;
1. Bahwa larangan menulis hadis itu telah dimansuhkan oleh hadis yang memerintah
menulis hadis.
2. Bahwa larangan itu bersifat umum , sedang beberapa sahabat secara khusus diizinkan.
3. Bahwa larangan menulis hadis ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan
mencampuradukkan dengan Alquran.
4. Bahwa larangan tersebut dimaksudkan dalam konteks kodifikasi formal seperti mushaf
Alquran, sedang jika sekedar berupa catatan-catatan untuk dipakai sendiri tidak dilarang.
8
Mustafa Azami , Op. Cit., hlm. 57.
8
5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu sedang turun, belum dihafal dan dicatat
oleh para sahabat; sedang setelah wahyu turun dan telah dihafal serta dicatat, menulis hadis
diizinkan.9
Kemudian masa penulisan yang kedua yakni masa kodifikasi (tadwin) dalam kitab-
kitab hadis, yang merupakan periode keempat yakni ‘Asr al-Kitabah wa al-Tadwin.’ Masa
ini dimulai pada masa pemerintahan Umayyah angkatan kedua [mulai Khalifah Umar bin
Abdul Aziz] sampai akhir abad II Hijriyah [menjelang akhir masa Dinasti Abbasiyah
angkatan pertama]. Dengan demikian, masa ini merupakan periode tabi’in.10
Riwayat tersebut menceritakan bahwa Abd al-Aziz meminta Katsir bin Murrah al-
Hadhramiy, seorang tabi’in di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70
orang sahabat veteran Perang Badar, untuk menuliskan hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW. Yang pernah diterimanya dari para sahabat selain Abu Hurairah, karena dia sudah
memiliki catatan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang didengarnya
sendiri secara langsung darinya.11 Kemudian mengirimkannya kepada Abd al-Aziz sendiri.
Perintah tersebut adalah pertanda bahwa kodifikasi secara resmi yang diprakarsai oleh
penguasa telah dimulai pada tahun 75 H.12
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abd al-Aziz melakukan
kodifikasi hadis, yakni;
1. Kekhawatiran akan hilangnya hadis, karena sahabat banyak yang meninggal dunia
karena perang dan usia lanjut.
9
Ibid., hlm. 5.
10
Abustani Ilyas, Studi Hadis Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 53.
11
Ajjaj, al-Sunnah Qabla…Op.Cit., hlm. 218.
12
Ibid., hlm. 218.
9
2. Kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan
perbedaan aliran di kalangan umat Islam semakin massif.
3. Daerah kekuasaan Islam semakin luas, permasalahan yang dihadapi umat semakin
banyak dan kompleks.
Hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk dari hadis nabi SAW,
selain petunjuk Alquran. Sedangkan M. Syuhudi Ismail menambahkan alasan dari Umar
adalah Alquran telah dibukukan dan telah tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi
akan bercampur dengan hadis. 13
Motif diatas dapat dilihat dalam surat yang dikirimkan Umar kepada para gubernur yang
artinya,
”Telitilah hadis Rasulullah SAW, dan tulislah. Aku mengkhawatirkan upaya pencarian
ilmu dan mangkatnya para ahli… hendaklah ilmu disebarkan dan dikaji sehingga orang
yang tidak tahu menjadi tahu, ilmu tidak sirna kecuali ia menjadi rahasia”
1.Amrah bin abad Al-Rahman bin Saad bin Zurarah bin Ades, seseorang ahli fiqih dan
murid Aisyah r.a.
2. Al qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as Siddiq salah seorang pemuka tabi’in.
Setelah masa ibn Syihab maka pengkodifikasian hadis diteruskan oleh ulama-
ulama di berbagai kota. Diantaranya Ibn Juraij (80-150 H/ 669-767 M) di Mekkah; Ibnu
Ishaq (w. 151 H/768 M) dan Malik bin Anas (93-179 H/703-798 M) di Madinah; al-Rabi’
bin Shabih (wm 160 H), Said bin Abi Arubah (w. 156 H) dan Hammad bin Salamah (w.
176 H) di Bashrah; Sufyan al-Tsauriy (w.161 H) di Kufah; al-Auza’iy (w. 156 H) di Syam;
13
M. Syuhudi Ismail, Pengantar… Op.Cit., hlm.102
10
Husain al-Wasithy (w.188 H/804 M) di Wasith; Ma’mar al-Azdiy (95-153 H/753-770 M)
di Yaman; Karir al- Dlabby (110-188 H/ 728-804 M) di Rei; IBN Mubarak (118-181 H/
735-797 M) di Khurasan; al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H) di Mesir. 14
Adapun ciri-ciri dan sistem pembukuan hadis pada masa kodifikasi adalah:15
4. Hadis yang disusun dalam kitab Hadis mencangkup hadis-hadis nabi fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in.
5. Hadis yang disusun dalam kitab hadis umumnya belum diklasifikasi berdasarkan
tema-tema masalah tertentu.
6. Hadis-hadis yang disusun belum diklasifikasi antara yang berkualitas sahih Hasan
dan dhaif.
Diantara kitab-kitab hadis yang muncul sebagai hasil kodifikasi pada masa ini ialah :16
1. Al muwatta' yang disusun oleh Imam Malik bin Anas atas permintaan Khalifah Abu
Ja'far al Manshur.
2. Musnad al-Syafi'i yang disusun oleh Imam Syafi'i sebagai kumpulan hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab beliau yang bernama al-'Umm.
3. Mukhtaliful al-Syafi'iy hadits yang disusun oleh Imam Syafi'i berisi tentang cara-cara
menerima hadis sebagai hujjah dan cara-cara mengkompromikan hadis yang tampak
bertentangan.
4. Al- Surah al-Nabawiyah yang disusun oleh Ibnu Ishaq berisi tentang perjalanan hidup
nabi dan peperangan-peperangan di zaman nabi.
14
Ibid., hlm. 104
15
Ibid., hlm. 105
16
Ibid., hlm. 105
11
Masa pentasihan dalam pandangan Hasbi merupakan periode kelima yang dimulai sejak
masa akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah al-Makmun) sampai
awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah al-Muqtadir) masa pentasihan
ini lahir sebagai solusi terhadap kondisi umat Islam yang telah mengalami kemajuan dalam
berbagai aspek kehidupan.
Menurut M. Syuhudi Ismail ada tiga kondisi umat Islam pada masa penantasihan yakni :
Pada masa pentasihan para ulama hadis mengadakan seleksi kualitas hadits kepada
shahih dan daif. Ulama yang menjadi pelopor dalam pemikiran tentang kesahihan suatu hadis
adalah Al-Syafi’i, yang pemikirannya dapat dilihat pada persoalan yang dikemukakannya
tentang khabar ahad yang dapat dijadikan hujjah. Al-Syafi’i memberikan persyaratan yakni :17
e) Mampu meriwayatkan hadits secara lafaz dan tidak meriwayatkan hadits secara makna.
17
Lihat Abu ‘Abd. Allah Muhammah bin Idris al-Syafi’I, al-Risalah, diteliti dan diberi “Syarah” oleh Ahmad
Muhammad Syakir, Juz II (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1979), hlm. 369-371.
12
g) Apabila hadis yang diriwayatkannya di teliti dengan riwayat lain dari periwayatan yang
lebih siqah, maka terdapat kesesuaian.
h) Riwayat haruslah bukan seorang mudallis yakni meriwayatkan dari seseorang tentang
sesuatu yang tidak ia dengar sendiri darinya atau meriwayatkan dari nabi sesuatu yang
berbeda dengan yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya.
Akan tetapi terdapat perbedaan antara Al-Syafi’I dengan Bukhari dalam penetapan
standar kaidah kesahihan hadis. Salah satu yang menjadi perbedaan antara keduanya dalam
menetapkan kriteria bersambung atau ikhtisar, Bukhari menetapkan bahwa muttasil terjadi
bila ada liqo’ atau pertemuan dalam proses periwayatan dan liqo’ yang dimaksud adalah
subut al-liqo’ artinya benar-benar terjadi pertemuan dalam proses belajar mengajar.
1. Kitab shahih
Yakni kitab hadis yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun hadis-hadis
yang berkualitas shahih, sedang hadis-hadis yang tidak berkualitas shahih tidak
dimasukkan. Misalnya, al-Jami’ al-sahih Karya Imam Bukhari dan al-Jami’ al-sahuh
Karya Imam Muslim.
18
Lihat Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Reliabilitas Metode Kritik Hadis (Cet. I; Bandung: Mizan, 2008), hlm.
13.
19
Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar… Op. Cit., hlm. 125.
13
2. Kitab sunan
Yakni kitab hadis yang oleh penyusunnya selain dimasukkan dalam kategori hadis-hadis
yang berkualitas shahih juga dimasukkan yang berkualitas dhaif dengan syarat yang tidak
berkualitas mungkar dan terlalu lemah. Di antara kitab sunan adalah karya Imam Abu
Dawud, Imam al-Turmudzi, Imam al-Nasa’iy, Imam Ibnu Majah dan Imam al-Darimiy.
3. Kitab musnad
Yakni kitab Hadis yang oleh penyusunnya dihimpun seluruh hadits yang diterimanya
dengan bentuk susunan berdasar nama periwayat pertama. Contoh dari kitab musnad
adalah kitab musnad karya Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu al-Qasim al-Baghawiy
dan Imam Usman bin Abi Syaibah.
14
Daftar Pustaka
Muhammad 'Ajjaj al Khatib. (1998). Ushul Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Muhammad Halid Syar'i. (2022, Oktober Senin). muslim.or.id. Retrieved Oktober Senin, 2022, from
muslim.or.id: https://muslim.or.id/25321-sejarah-penulisan-hadits-1.html
15
16