Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“HADITS PADA MASA TABI’IN DAN MADHU”

Disusun oleh: Kelompok 6

Ummul Fahmi 2302010122

Sandra Dewi 2302010123

Muh Fatin Fatta 2302010124

Fransiska 2302010125

Muhammad Haekal 2302010126

Dosen pengampuh:

St. Maemunah M.Pd.,I.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO
2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat-Nya kami
diberikan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Hadits Pada Masa Tabi’ih Dan Madhu”. Salawat serta salam tak lupa
kita kirimkan kepada Rasulullah SAW yang membawa kita semua dari zaman
jahiliyah ke zaman yang penuh cahaya dan sekaligus sebagai suri tauladan bagi
ummat manusia.
Dalam makalah ini, kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu segala sasaran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami
nantikan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memberi wawasan
ataupun menjadi referensi kita. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya.

Palopo,1 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hadits Pada Masa Tabi’in ....................................... 4
B. Perkembangan Hadits Madhu ........................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 16
B. Saran .................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an. Istilah


hadis biasanya mengacu pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., berupa sabda, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya (fisik
ataupun psikis), baik yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya. Sebagian
ulama hadis menganggap kedua istilah tersebut adalah sinonim (mutaradif),
sementara sebagian yang lainnya ada yang membedakan antara keduanya
perkembangan hadis dapat dilihat dari dua aspek penting, yaitu periwayatan dan
pen-dewan-annya. Dari keduanya dapat diketahui proses dan transformasi yang
berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW
kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab himpunan hadis
untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait dengan masa pertumbuhan
dan perkembangan hadis, para ulama berbeda dalam menyusunnya.
M.M.Azamiy4 dan Ajjaj al-khatib membagi-nya dalam dua periode, dan
Muhammad Abd al-Ra‟uf membaginya ke dalam lima periode, sedangkan Hasbi
Ash-Shiddieqy membaginya dalam tujuh periode
Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi
Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, dimana beliau telah membina
umatnya selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut merupakan kurun
waktu turunnya wahyu (al-Qur‟an), berbarengan dengan itu keluar pula hadis.
Lahirnya hadis pada masa Nabi adalah adanya interaksi Rasullah sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat-ayat al-Qur‟an kepada sahabat atau
umat lainnya, dalam rangka penyampaian risalah, dan juga karena adanya
berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan solusi atau
jalan pemecahannya dari Nabi SAW, lalu para sahabat memahami dan menghafal
apa yang telah diterimanya dari Nabi SAW.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat berhati-hati
dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya

1
menjaga kemurnian Al-Qur‟an agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga
untuk menjaga keor-isinalitas hadis tersebut. Keadaan di era tabi‟in sedikit
berbeda dengan apa yang terjadi di era sahabat. Karena al-Qur‟an ketika itu telah
disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi‟in bisa mulai menfokuskan
diri dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh
penjuru dunia Islam. Dengan demikian, pada masa tabi‟in sudah mulai
berkembang penghimpunan hadis (al-jam’u wa al-tadwin), meskipun masih ada
percampuran antara ha-dis Nabi dengan fatwa sahabat.
Dalam kedudukannya yang cukup penting tersebut, hadis haruslah benar-
benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi Muhammad saw.,
guna mendapatkan hadis yang benar-benar valid, tentunya diperlukan seperangkat
alat atau syarat yang memungkinkan suatu hadis dipercaya datang dari sumbernya.
Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, karena tidak semua hadis benar berasal
dari Nabi, terdapat juga hadis-hadis maudlu (palsu) yang dinisbatkan kepadanya.
Imam Ibn Sirin (33-110 H) mengatakan ”pada awalnya umat Islam apabila
mendengar sabda Nabi saw berdiri bulu roma mereka, namun setelah terjadinya
fitnah, untuk kali pertamanya mereka mempertanyakan sumber dari hadis tersebut.
Ungkapan Ibn Sirin mengindikasikan bahwa sejak terbunuhnya Utsman bin Affan
telah terjadi pemalsuan hadis, dan hal ini dilakukan oleh kelompok-kelompok
penyebar bid`ah.

Kemunculan hadis madhu (palsu) telah mewarnai eksistensi hadis, pada


satu sisi menyebabkan tidak semua hadis otentik dan pada sisi yang lain
berimplikasi pada kehidupan, baik yang berkenaan dengan keagamaan maupun
aktivitas umum lainnya. Munculnya para pengingkar sunnah merupakan bukti
telah terjadi penolakan terhadap hadis Nabi saw. Implikasi negatif lain, hadis
maudlu` (palsu) dapat memalingkan umat Islam dari jalan yang lurus dan
membawa pada kesesatan. Para pemalsu hadis telah melakukan kejahatan
terhadap agama, dengan kedustaan, menghancurkan pondasi-pondasi Islam
sehingga jika tidak dilakukan klasifikasi dan koleksi, maka berakibat pada
perpecahan umat dan kehancuran Islam.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka masalah dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Perkembangan Hadits pada Masa Tabi‟in?
2. Bagaimana Perkembangan Hadits Madhu?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan pembahasan adalah
sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Perkembangan Hadits pada Masa Tabi‟in


2. Untuk mengetahui Perkembangan Hadits Madhu

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan hadits pada masa Tabi’in


1. Pergertian Tabi’in

Tabi‟in menurut asal bahasanya berasal dari bahasa arab yang


berarti pengikut. Sedangkan menurut istilah arti dari Tabi‟in adalah orang islam
awal yangmasa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami asa
hidup Nabi Muhammad SAW. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi
bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat hidup. Atau
bisa juga disebut bahwasannya Tabi‟in merupakan murid Sahabat Nabi. Pada
tingkatannya, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani membagi para Tabi‟in menjadi empat
tingkatan berdasarkan usia dan sumber periwayatannya, yaitu Para Tabi‟in tertua
(Kibar at-tabi‟in) mereka yang sengkatan dengan Said bin Al-Musayyab, Para
Tabi‟in kelompok pertegahan ( al-wustha min at-tabi‟in) mereka yang seangkatan
dengan Al-Hasan Al-Bashri, Para Tabi‟in kelompok muda (sighar at-tabi‟in) yang
banyak meriwayatkan hadits dari Tabi‟in tertua contohnya Ibnu Syihab az-Zuhri,
dan Para Tabi‟in kelompok termuda yang seangkatan dengan Sulaiman bin
Mihran al-A‟masy Peran Tabi‟in dalam perkembangan sejarah hadits tidak dapat
dipungkiri merupakan peranan kesinambungan dan pemeliharaan hadits.
Pada masa itu banyak para Tabi‟in yang menimba ilmu kepada para
sahabat. Mereka menerima hadits dari para sahabat sekaligus belajar kepada
sahabat tentang makna dan arti hadits yang mereka terima.Ada yang menarik dari
periode Tabi‟in ini, pasalnya pada masa ini Islam telah tersebar ke berbagai
daerah. Dengan begitu banyak pula sahabat yang hijrah ke berbagai daerah seperti
Syam, Irak, Mesir, Samarkand untuk menyebarkan dakwahnya. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan hadits, dan berguru kepada para Sahabat, para Tabi‟in harus
menempuh perjalanan yang jauh. Hal ini dibuktikan dari riwayat Bukhari, Ahmad,
Thabrani ataupun Baihaqi, bahwa Jabir pernah pergi ke Syam, yang memakan
waktu sebulan untuk perjalanannya hanya untuk menanyakan satu hadits saja

4
yang belum pernah di dengarnya. Sahabat yang didatanginya adalahAbdullah Ibnu
Unais al-Anshary. 1

2. Perkembangan hadits pada masa Tabi’in


Sesudah masa Khulafaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh-
sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tata cara periwayatan
hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan
erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan
hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak
dibandingkan dengan periwayatan pada periode khulafaur rasyidin. Kalangan
Tabi‟in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits. Meskipun masih
banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-
hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol,
karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan. 2 Luasnya
wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu munculnya hadits-hadits palsu.
Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan
masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai
puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.

Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi‟in tidak begitu berbeda


dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para
sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan
tabi‟in yang berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran
sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadis telah menyebar
ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi‟in dapat mempelajari
hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani ummayah perluasan
wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin meningkatnya
penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini

1
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits: Pengantar Studi Hadits Praktis, (Malang:Malang Press,
2008),25
2
Lukman Zain, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, ,16

5
dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al
Amshar). 3
Ketika Pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan
islamsampai meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan
Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam, dan Khurasan. Sejalan
dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke
daerah-daerahtersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadits (Intisyar al-riwayah ila al-amshar ).2Pada masa
ini terdapat kota-kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits,
sebagai tempat tujuan paraTabi‟in dalam mencari hadits. Kota-kota tersebut
ialah:4
a. Madinah al-Munawarah
Diantara tokoh –tokoh hadits di kota Madinah dalam kalangan
sahabat ialahAbu Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kuffah),
Abu Hurairah, Aisyah,IbnuUmar, Abu Said al-Khudry dan Zaid bin
Tsabit. Diantara sarjana-sarjana Tabi‟in yang belajar kepada sahabat-
sahabat itu ialah Said, Urwah, Az-Zuhry, Ubaidilah ibn Abdillah ibn
Utbah, Ibnu Ma‟id, Salim ibn Abdillah ibn Umar.
b. Makkah al-Mukarrama
Diantara tokoh hadits makkah ialah Mu‟adz, kemudian Ibnu Abbas.
Diantara Tabi‟in yang belajar padanya ialah Mujahid, Ikrimah, Atha‟ ibn
Abi Rabah, Abu az-Zubair Muhammad ibn Muslim.
c. Kufah
Ulama Sahabat yang mengembangkan hadits di Kuffah ialah Ali Abdullah
ibn Mas‟ud, Saad ibn Abi Waqqash, Said ibn Zaid, Khabab ibn al-Arat,
Salmanal-Farisy, dll. Abdullah ibn Mas‟ud adalah pemimpin besar hadits
di Kuffah. Ulama hadits yang belajar kepadanya ialah Masruq, Ubaidah,
Al aswad,Syuraih, Ibrahim, Said ibn Jubair, Amir ibn Syurahil, dan Asy-
Sya‟by.

3
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70
4
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadis,78

6
d. Bashrah
Pimpinan hadits di Basrah dari golongan sahabat ialah Anas ibn Malik,
Utbah, Imran ibn Husain, Abu Bazrah, Ma‟qil ibn Yasar, dll.Sarjana-
sarjana Tabi‟in yang belajar kepada mereka ialah Abul Aliyah, Rafi‟ibn
Mihram ar-Riyahy, Al-Hasan al-Bishry, Muhammad ibn Sirin, Qatadah,dll.
e. Syam
Tokoh hadits dari kalangan sahabat di Syam ialah Mu‟adz bin
Jabal.Ubadaibn Shamit dan Abu Darda‟, pada beliau-beliau itulah banyak
Tabi‟In belajar diantaranya ialah Abu Idris al-Khaulany, Qabishah ibn
Dzuaib,Makhul, Raja‟ ibn Haiwah.
f. Mesir
Diantara sahabat yang mengembangakan hadits di Mesir ialah Abdullah
ibnAmr, Uqbah ibn Amr, dan ada kira-kira 140 orang sahabat
yangmengembangkan dakwah di Mesir. Diantara Tabi‟in ang belajar
disana ialah Abu al-Khair Martsad al-Yaziny dan Yazid ibn Abi Habib.
g. Maghrib (Afrika Selatan) dan Andalusia(Spanyol)
Tokoh-tokoh sahabat yang mengajarkan hadits di Amr ibn al-„Ash,
Abdullahibn Sa‟ad bin Abi Sarah, Abdullah bin Abbas, dll. Dari para
sahabat tersebutmenghasilkan sarjana-sarjana dari bangsa Afrika sendiri
seperti Abdurrahmanibn Ziyad, Yazid ibn Abi Mansur, al Mughirah ibn
Abi Burdah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Yaman Rasulullah
pernah mengirim Mu‟az ibn Jabal dan Abu Musa Al Ansyari keYaman.
Dari sana muncul Tabi‟in terkemuka seperti Hammam ibn
Munabbih,Thawus dan putranya Ma‟mar ibn Rasyid, dll.
h. Jurjan
Di Jurjan singgah beberapa sahabat, antara lain Abu Abdillah Al Husain
ibn Ali, Abdullah ibn Umar, Hudzaifah ibn Al Yaman, dll. Ada yang
mengatakan juga termasuk Al Hasan ibn Ali
i. Quzwai

7
Tokoh sahabat yang berada di Quzwain yaitu Salman Al Farisiy, dan Abu
Hurairah ad-Dausy. Sedang yang Tabi‟in antara lain Said ibn Jubair,
Syamr ibn „Athiyyah, dan Thulaihah bin Khuwalid.
j. Khurasan
Dari kalangan sahabat yang pernah singgah di Khurasan adalah Buraidah
ibnHasyib al Aslamy, Abu Barzah al Aslamy, dll. Di kawasan inilah
muncul para pakar hadits terkemuka seperti di Bukhara tokohnya Abu
Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, di Samarqand tokohnya Abu
Abdillah ibnAbdillah ibn Abdurrahman ad-Darimiy, dan di Faryab
tokohnya Muhammad ibn Yusuf al-Farabiy kawan sejawat al-Tsaury

Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah terjadinya
perang jamal dan perang suffin berakibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan
terpecahnya umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara langsung ataupun
tidak pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan
hadis berikutnya, baik pengaruh yang bersifat negatif maupun yang bersifat
positif. Pengaruh yang bersifat negatif adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk
mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan
posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya
penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan
politik tersebut (Mudasir. 1999.96).

B. Perkembangan Hadits Madhu


1. Pengertian Hadits Madhu

Secara bahasa, kata maudlu` adalah isim maf’ ul dari wadla’a antonim
dari terangkat yang bermakna kemunduran, ajjaj al-khatib mempunyai beberapa
makna, antara lain: pertama, “hakim mengugurkan hukuman dari fulan”. Kedua ,
“ seseorang meletakkan perkara diantara pundaknya”. Ketiga, “ unta yang di
tinggalkan”. Dan keempat,” mengada-ada dan membuat-buat. Sedangkan secara

8
istilah adalah kebohongan yang diada-adakan, yang diciptkan dan disandarkan
kepada Rasulullah SAW. Secara sengaja.
Ulama hadits juga mempunyai pendefinisian yang beragam; Pertama,
menurut Ibn Shalah, yang kemudian diikuti al-Nawawi, Ibn Jama‟ah, Ibn Katsir,
Al-Sakhawi, dan al-Suyuthi, Hadis maudlu adalah hadis yang diada-adakan dan
dibuat-buat. Kedua, menurut al-Dzahabi Hadis yang redaksinya bertentangan
dengan kaedah-kaedah yang ada, dan perawinya pendusta. Ketiga, menurut Ibn
Hajar Cacatnya hadis karena dustanya perawi atas hadis Nabi saw. Pengertian
hadis maudlu semakin berkembang, dengan tambahan redaksi“dibuat dan
diciptakan, kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW. secara palsu maupun dusta
baik disengaja maupun tidak. 5
Sengaja atau tidaknya pembuatan hadis tersebut, terjadi perbedaan ulama.
Menurut sebagian ulama hadis seperti: Ibn Shalah, al-Suyuthi, dan al-Sakhawi,
hadis maudlu dibuat baik dengan sengaja ataupun tidak. Hal inipun diamini oleh
Ibn Taimiyyah. Dan sebagian ulama menyatakan hadis maudlu adalah yang dibuat
dengan sengaja, jika tidak berarti bukanlah palsu. Al-Muallimi yang kemudian
diikuti Azami memberikan pengertian yang berbeda mengenai hadis maudlu‟yang
dibuat tanpa sengaja. Menurut keduanya, hadis yang dibuat tanpa sengaja disebut
batil Sedangkan hadis maudlu dapat disebut hadis atau tidak, terjadi perbedaan
pendapat. Menurut Ibn Hajar hadis maudlu tidak dapat disebut hadis. Sedangkan
menurut mayoritas ulama hadis seperti Ibn al-Shalah, Ibn Jama‟ah, al-Thiby,
Shalah Muhammad Uwaydat dan al-Nawawi, hadis maudlu dapat disebut hadis
dan dikategorikan sebagai hadis dlaif yang paling buruk. Umar Hasyim
menyatakan bahwa hadis maudlu tidak disebut

2. Perkembangan Hadits Madhu

Ada beberapa pendapat mengenai awal munculnya hadis palsu. pertama,


hadis palsu sudah muncul sejak zaman Nabi saw, pendapat ini dilontarkan oleh
Ahmad Amin, hal ini berdasarkan pada hadis ancaman terhadap setiap orang yang

5
Alamsyah, Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya, al-Hikmah: Jurnal UIN
Alauddin, Volume 14, Nomor 2, (2013), 202

9
berbohong atas nama Nabi. Menurut Ahmad Amien, Hadis ini diungkapkan besar
kemungkinan karena adanya kejadian pemalsuan pada zaman Nabi saw. Pendapat
ini disanggah oleh al-Sibai, dan Akram Dliya al-Umari, karena tidak mungkin
pada masa Rasullah saw, seseorang ataupun sahabat memalsukan hadis atas beliau,
seandainya itu terjadi, pasti secara mutawatir para sahabat akan menuturkannya.
Melihat sejarah sahabat, akan loyalitas mereka terhadap Islam, merupakan hal
yang mustahil berbuat kepalsuan atas nama tuhan dan rasul-Nya. Nabi
mengatakan itu, selain sebagai bentuk antisipasi dan perintah agar sahabat
menyampaikannya pada generasi berikutnya, juga sebagai petunjuk akan adanya
pemalsu hadis yang menyandarkan pada beliau di masa berikutnya. Hal ini bisa
disinyalir dari hadis lain yang menyatakan :
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka,
kemudian generasi sesudah Mereka, dan kemudian mereka yang menebarkan
kedustaan”(HR. Bukhari muslim).
Kedua, pemalsuan yang berkenaan dengan urusan dunia telah terjadi sejak
zaman Nabi Muhammad saw, namun masalah agama belum terjadi. Pendapat ini
dikemukakan oleh al-Adlabi. Ketiga, pemalsuan hadis muncul akibat dari
peristiwa fitnah kubra yang terjadi pada masa Usman bin Affan ra. dan berlanjut
hingga masa Ali bin Abi Thalib ra. Fitnah kubra merupakan awal munculnya
hadis maudlu`, terpecahnya umat Islam menjadi beberapa aliran teologi,
berdampak negatif bagi kehidupan sosial politik umat Islam. Masing-masing
memiliki peta politik, ideologi dan prinsip yang berbeda. Dari keterangan di atas,
pendapat yang lebih disepakati bahwa pemalsuan hadis muncul sejak terjadinya
fitnah Kubra. Akibat dari terjadinya fitnah kubra menjadi alasan paling logis akan
lahir dan semakin berkembangnya hadis palsu di dunia Islam. Ada beberapa
faktor yang melatar belakangi munculnya hadis maudlu`: pertama, motivasi
politik. Kedua, motivasi pendekatan kepada Allah. Ketiga, penodaan Islam oleh
orang zindiq. Empat, memperoleh fasilitas dunia: jabatan, kekayaan dan
popularitas, dan keenam, diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, dan perbedaan
madzab. Motivasi politik menjadi faktor paling dominan akan munculnya hadis
palsu, peristiwa fitnah kubra menjadikan kaum muslimin terpecah dalam berbagai

10
golongan. Dan setiap golongan berusaha melegitimasi posisi masing-masing
dengan teks-teks keagamaan khususnya hadis Nabi. Sasaran utama para pemalsu
hadis adalah sifat ataupun keutamaan para tokoh pujaan mereka.
Mengidentifikasi kriteria hadis palsu tidaklah semudah ketika
mendefinisikan hadis sahih, hasan ataupun daif. Kriteria hadis palsu masih
diperdebatkan karena setiap ulama hadis berbeda dalam mengidentifikasi hadis
palsu baik dari kuantitas maupun kualitas. Ada sebagian ulama yang memberikan
kriteria cukup banyak dari segi sanad, dan ada juga yang lebih fokus pada segi
matan saja. Ada beberapa cara umum untuk mengetahui kepalsuan hadis ditinjau
dari segi sanad maupun matan: Pertama, dari segi sanad (keadaan rawi):
a. Pengakuan pemalsu hadis baik lewat perkataan maupun tingkah laku.
Diriwayatkan dari Ibn Adi, bahwa Abdul Karim bin Abdul Auja' ketika
ditangkap dan dihadapkan kepada Muhammad bin Sulaiman bin Ali dan
dipotong lehernya berkata: Demi Allah, aku telah memalsukan hadis kepada
kalian sebanyak 4000 buah untuk mengharamkan yang halal, dan
menghalalkan yang haram.
Kriteria ini menempati urutan pertama, yang digunakan ulama hadis abad
pertengahan seperti: Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Ibn Shalah (w.643 H), al-
Nawawi (w.676 H), al-Dzahaby (w.748 H), Ibn Katsir (w.774 H), dan Ibn
Hajar (w.862 H) yang kemudian diikuti ulama modern seperti: al-Qasimi (w.
1332 H), Ajjaj al-Khatib dan al-Albani (w.1998) dalam mengidentifikasi
hadis palsu. Perlu digarisbawahi bahwasanya, ulama hadis klasik seperti: al-
Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Hakim (w. 405 H), Khatib al-Baghdady (w. 463
H), belum banyak mengeksplor cara identifikasi hadis palsu, mengingat
pembahasan ulum al-hadis pada masa ini lebih diprioritaskan pada masalah
kedudukan sunnah dan kehujjahannya.
b. Semi pengakuan dari pemalsu hadis
Jika seorang perawi meriwayatkan hadis dari seorang syeikh yang tidak
dapat dipastikan ia pernah bertemu atau dilahirkan setelah syeikh meninggal.
Misalnya pengakuan Ma‟mun bin Ahmad al -Halawi bahwa ia pernah pergi
ke Syiria tahun 250 H dan mendengar riwayat dari Hisyam Ibn Ammar,

11
padahal menurut Ibn Hibban, ia meninggal tahun 245 H. Terdapat paradoks
antara pernyataan di atas dengan kenyataan yang terjadi. Contoh hadis palsu
yang mengindikasikan semi pengakuan: Barang siapa tidak memiliki sesuatu
yang dapat disedekahkan, hendaknya melaknat orang-orang yahudi. Hadis
ini maudhu, telah diriwayatkan oleh khatib dalam Tarikh Baghdad XIV/270,
dari sanad Ali bin Husein ibn Hibban. Ibn Main berkata, ini adalah riwayat
dusta dan batil. Ibn al-Jauzi meriwayatkan dalam deretan hadis hadis-hadis
maudhu, dan ia berkata sanad dari yakub bin muhammad telah dinyatakan
oleh imam Ahmad sebagai perawi sanad yang tidak diterima. Menurut al-
Dzahabi, Yakub bin muhammad tidaklah benar telah meriwayatkan hadis dari
Hisyam bin Urwah. Sebab, Yakub tidak pernah menjumpai Hisyam, bahkan
ketika Hisyam meninggal, Yakub belum lahir.
c. Perawi pendusta
Apabila dalam sanad tersebut terdapat perawi pendusta, dan tidak ada
seorang tsiqah pun yang merawikannya, maka kemungkinan besar hadis
tersebut adalah palsu. Para ulama telah memberikan perhatian besar untuk
mengetahui kualitas intelektual maupun spiritual perawi dengan menulis
beberapa kitab al-Jarh wa al-Ta‟dil. Ulama hadis membagi lafal pendusta
yang mengindikasikan kepalsuan hadis menjadi dua: pertama, lafal yang
sharih (jelas). Kedua, dengan lafal kinayah, sebagian ulama seperti Ibn Araq
juga menggunakan redaksi munkar untuk mengidentifikasi hadis palsu.
Contoh hadis palsu karena perawinya pendusta: Barang siapa mencium di
antara kedua mata ibunya, maka itu adalah tabir dari api neraka. Hadis ini
maudhu, dikeluarkan Ibn Adi dalam al-Kamil (II/102) dan abu bakar al-
Khabbaz dalam al-Amalii (II/16), dengan jalur sanad dari Abu Saleh al-Abdi
Khalaf bin Yahya, seorang qadhi di Rayy: memberitakan kepada kami Abu
Muqatil, dari abdul aziz bin abi Rawwad, dari abdullah bin Thawus, dari
ayahnya, dari Ibn abbas ra. Abdul Aziz bin Abi rawwad dan ibn Thawus tidak
baik sanadnya, sedangkan Abu Muqatil bukanlah seorang perawi yang dapat
dijadikan pijakan. Ibn al-Jauzi dalam al-mudluat (III/86) menyebutkan tidak
lah halal meriwayatkan hadis ini. Ibn Abi Hatim (I/2372) mengatakan seraya

12
menukil pernyataan ayahnya, Abi saleh al-Abdi Khalaf bin Yahya
ditinggalkan periwayatannya. Ia seorang perawi pendusta.
d. Subyektivitas perawi
Apabila periwayat hadis adalah orang yang fanatik bahkan mengkultuskan
salah seorang sahabat - dan hadis yang ia riwayatkan berkaitan dengan
keutamaan dari keluarga tersebut. Menurut Musthafa Ali Yakub, besar
kemungkinan hadis tersebut adalah palsu. Empat point di atas merupakan
kriteria hadis palsu dari segi sanad secara umum yang disepakati mayoritas
ulama hadis. Kriteria Kedua, dari segi matan: sebagian ulama seperti Ibn
Shalah merasa cukup dengan mengatakan ”adanya qarinat pada matan” ,
menurut penulis, redaksi tersebut menunjukkan makna yang cukup luas Ibn
al-Qayyim menjelaskan lebih luas beberapa kriteria pada matan seperti:
menuduh sahabat Nabi tidak amanah, menganjurkan berbuat kerusakan,
berkenaan dengan sejarah masa depan, serupa perkataan dokter, berkenaan
dengan akal, berkenaan dengan Khidir, kekejian, dan sesuai madzab
periwayat. Al-Suyuthi mengutip Ibn al- Jauzi: ”jika kamu melihat hadis yang
berkenaan dengan akal, bertentangan dengan dalil naqli, berlawanan dengan
dasar-dasar agama maka itulahhadis maudlu‟. Jika dilihat dari kriteria hadis
palsu baik dari segi sanad maupun matan, memang tidak ada perubahan yang
signifikan pada setiap periode. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ada beberapa
tambahan kriteria yang dilakukan tiap generasi baik dari segi sanad ataupun
matan. Sebut saja al-albani salah seorang ulama kontemporer yang menulis
kitab silsilah al-Ahadits al-Dlaifah wa al-Maudluah yang mengidentifikasi
bahwa hadis yang diriwayatkan secara mauquf, redaksi mengandung bid'ah
(baik khasanah maupun dalalah) , dan diriwayatkan oleh perawi yang majhul
sebagai ciri dari hadis palsu.
Usaha para ulama dalam mengantisipasi tersebarnya hadis palsu, bisa
dikatakan cukup optimal, metodologi penelitian hadis yang mereka tawarkan
cukup arurat, sehingga ribuan hadis palsu dan yang tidak ada sumbernya bisa
terdeteksi Adapun langkah-langkah yang ditempuh para ulama dalam
mengantisipasi penyebaran hadis maudlu adalah: Pertama, penelitian isnad. Sejak

13
terjadinya fitnah kubra, para ulama sangat berhati-hati dalam menerima hadis, hal
itu diungkapkan oleh Ibn Sirin: Pada awalnya para ulama tidak pernah
menanyakan sanad dalam menerima hadis. akan tetapi setelah terjadi fitnah
mereka selalu menegaskan untk menyebutkan perawi-perawi hadis, ahlu sunnah
diperhatikan dan diambil namun jika ahli bid‟ah hadisnya tidak diambil.
Sejak saat itu, para ulama menuntut adanya isnad. Abu Aliyah
mengatakan : Dulu kami mendengar hadis dari para sahabat, sehingga kami tidak
merasa puas sebelum kami pergi menemui mereka dan mendengarnya secara
langsung. Kedua,otentifikasi hadis merujuk kepada sahabat merupakan salah satu
cara ulama mengantisapasi pemalsuan hadis. Imam hadis memiliki peran yang
sangat besar, mereka menghapal yang sahih, dhaif dan maudlu. ketika para
pengkaji hadis yaitu generasi tabi‟in ingin mengkonfirmasi ulang, maka mereka
tidak akan merasa kabur menghadapi berbagai jenis hadis. Pada masa ini,
perjalanan rihlah sangat marak, para tabi‟in banyak melakukan perjalanan jauh
dari kota ke kota berikutnya, guna mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari
perawi-perawi yang dapat dipercaya Ketiga, penelitian atas perawi hadis. ini
merupakan salah satu cara dalam penelitian hadis untuk membedakan mana yang
otentik dan yang palsu. Penelitian ini terfokus pada sisi kehidupan, riwayat dan
hal ihwal mereka. Mereka melakukan al-Jarh (evaluasi negatif) dan al- Ta‟dil
(evaluasi positif) atas mereka tanpa tendensi apapun, hanya ridha Allah dan
keikhlasan yang mereka harapkan. Pada setiap kurun selalu terdapat kritikus
dalam jumlah yang besar yang melakukan kritik rijal, Jadi bukan lah hal yang
mustahil, jika umat Islam mempunyai kamus biografi perawi hadis yang mencapai
ribuan. Keempat, meletakkan prinsi-prinsip dasar guna mengetahui hadis maudlu.
Para ulama hadis menetapkan kaedah-kaedah dalam rangka mengetahui mana
yang sahih, hasan dan daif, begitu juga dengan maudlu. Tiap ulama mempunyai
kriteria yang berbeda dalam menjustifikasi hadis maudlu baik dari segi sanad
maupun matan. Dan menurut penulis, perkembangan dan penentuan kriteria
tersebut tergantung dari kondisi zaman sang ahli hadis tersebut.
Berikut karya-karya ulama yang menghimpun hadis palsu:

14
a. Al-Maudluat min al-Ahadits al- Marfu‟at, karya Abu Abdullah al-Husein
al- Jawzaqani (w. 543 H)
b. Al-Manar al-Munif karya Ibn al-Qayyim
c. Tadzkirat al-Maudluat karya al-Maqdisi (w. 507 H)
d. Al-Maudluat karya ibn al-Jauzi (w. 597 H)
e. Al-Fawaid al-Majmuat fi al-Ahadits al-Maudluat karya M. Bin Yusuf al-
Dimasyqy (w. 942 H)
f. Al-La‟ali al –mashnu ‟ah fi al -Ahadits al-Maudluat karya al-Suyuthi (w.
911 H)

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adapun cara periwayatan hadits pada masa Tabi‟in, yang mengikuti jejak
para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja
pada masa ini Al-Qur‟an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada
masa tabi‟in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan
meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu
yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik
2. Hadis palsu muncul dan tersebar secara masif sejak terjadinya fitnah kubra.
timbulnya hadis palsu disinyalir karena beberapa alasan: motivasi politik
motivasi pendekatan kepada Allah, penodaan Islam, memperoleh jabatan,
kekayaan dan popularitas, diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, dan
perbedaan madzab. Kepalsuan hadis bisa diidentifikasi dari segi sanad
ataupun matan, kriteria hadis palsu dari segi sanad: pengakuan pemalsu
hadis, semi pengakuan, perawi pendusta dan subyektivitas perawi. Adapun
kriteria hadis palsu dari segi matan, para ulama menggambarkan secara
umum diantaranya: buruk redaksinya, rusak maknanya, bertentangan
dengan dalil-dalil syar‟i dan akal, bertentangan dengan realitas
B. Saran
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga
pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca.
Dan kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan
dalam tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya, al-Hikmah: Jurnal UIN
Alauddin, Volume 14, Nomor 2, 2013
Hasbi, T.M. Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang,
1988)
Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadis, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009
Smeer, Zeid B., Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang: Malang
Press, 2008
Zain, Lukman, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, Jurnal
Driya al-Afkar, Volume 2, Nomor 01, 2014

17

Anda mungkin juga menyukai