Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH STUDI HADIST

Hadist pada masa tabi’in

Dosen Pengampu : M.Aliyul Wafa. M.Pd.

KELOMPOK 3

Fajar Surya Jamaluddin ( 2301013150 )


Iwan Wahyuddin ( 2301013121 )
Chabib Sofyan Wardana (2301013157 )
Dessy Korestad Sari ( 2301013142 )
Khaulatul Aliyah ( 2301013091)

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS KH. A. WAHAB CHASBULLAH
TAMBAK BERAS JOMBANG
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat,nikmat,taufiq serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik sesuai waktu yang telah diberikan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Karena dengan kuasa Allah lah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan dan disusun berdasarkan tugas perkuliahan.

Ucapan terimakasih kami kepada semua pihak yang telah membantu tugas
makalah ini yang berjudul “Hadist Pada masa Tabi’in” khususnya kepada Bapak,
Aliyul Wafa.M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Hadist semoga
bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi penulis.

Semoga dengan terselesaikannya makalah ini, pembaca bisa bersemangat


dan termotivasi lagi, karena dalam penyusunan makalah ini mungkin masih jauh
dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki,sehingga
kita juga mencoba berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian makalah ini.Karena
kita sebagai manusia biasa yang tak luput dari sifat manusiawi yang penuh khilaf
dan salah.

Oleh karena itu, penulis juga berharap semoga dengan adanya makalah ini
dapat tercatat dan bisa menjadi motivator bagi penulis untuk menyusun makalah
lain yang lebih baik lagi dan bermanfaat di masa datang, amiin.
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................
C. Tujuan Masalah…………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Pengertian Tabi’in.........................................................................
B. Pembukuan Hadist Pada Masa Tabi’in..........................................
C. Perkembangan Hadist Pada Masa Tabi’in.....................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini dapat mengetahui
sikap dan tindakan ummat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli hadis,
terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap priode
sampai masa kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Sebab studi tentang keberadaan hadis
ini selalu semakin menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan nalar manusia yang
semakin kritis. Apalagi yang terlibat dalam wacana ini bukan hanya kalangan ummat Islam,
melainkan juga melibatkan kalangan orientalis. Bahkan menguatnya kajian hadis dalam
dunia Islam tidak lepas dari upaya ummat Islam yang melakukan counter balik terhadap
sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Salah satu alasannya
adalah jarak semenjak wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salllam dengan
masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh, menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat
orisinalitas hadis tersebut. Oleh karena itu, mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya
mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak kebenarannya.
Perjalanan hadis pada tiap-tiap priodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang
dihadapinya, yang antara satu priode dengan priode lainnya tidak sama. yang perlu diuraikan
secara khusus pada bahasan ini, iyalah pada masa Tabi’in.[1]
Disinilah perlu dibuktikan sejarah hadis dimasa Tabi’in itu seperti apa sebenarnya? Semoga
makalah ini nantinya dapat menambah wawasan pembacanya dan memberikan masukan dan
saran yang bersifat membangun dan ilmiyah.

B. Rumusan Masalah
A. Pengertian Tabi’in
B. Pembukuan Hadist Pada Masa Tabi’in
C. Perkembangan Hadist Pada Masa Tabi’in

c. Tujuan Masalah
Seiring dengan perkembangan nalar manusia yang semakin kritis, studi tentang keberadaan
hadist ini selalu semakin menarik untuk dikaji.
Oleh karena itu, mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang
sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak kebenarannya

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tabi’in

Tabi’in jama’ dari Tabi’i atau Tabi’ kalau menurut bahasa arti dari Tabi’in adalah
pengikut. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadis, sebagaimana yang dinyatakan
oleh ahli hadis seperti Al-Hakim, Ibnu Shalah, An Nawawy, dan Iraqy, bahwa yang
disebut Tabi’in ialah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan imam dan
Islam baik perjumpaannya itu lama atau atau sebentar.[2]
Pengikut disini berarti orang yang mengikuti para sahabat baik cara berbicaranya
akhlaknya yang berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Orang yang
mengikuti para sahabat itu akan melihat pula sahabat yang benar-benar pernah bertemu
dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam semasa hidupnya dan benar-benar sudah
mengucapkan syahadatain atau yang dikatakan dengan masuk agama Islam. Dan orang
yang akan mengikuti sahabat itu berarti orang yang memperkokoh imannya dan lebih
menmyempurnakan keIslamannya. Dengan kesungguhannya mencari para sahabat
tersebut untuk diikuti maka orang itu bisa melakukan perjalanan jauh dari satu negri
kenegri lain dari sahabat satu kesahabat yang lain demi untuk mengetahui islam itu yang
sebenarnya melalui bukti hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Menyebarnya
sahabat diberbagai daerah ataupun wilayah membuat para Tabi’in itu semakin banyak
jumlahnya.
Menurut sebagaian pendapat, bahwa seutama-utama Tabi’iy ialah: Uwais ibn Amr
Al-Qarni. Sedang menurut Iamam Ahmad ialaha: Said ibnu Musayyab.Dari perjuangan
mereka berdua antara Uwaisdan Sayid Al-Musayyab benar-benar teruji akan kegigihan
mereka untuk menmuntut ilmu hadis tersebut. Prof. Hasbi mengkompermasikan kedua
pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa perbedaan pendapat tersebut bukanlah
perselisihan yang hakiki, sebab sesungguhnya, masing-masing kedua Tabi’in tersebut
memeiliki keistimewaan sendiri.[3]
Sebenarnya perlu dikaji ulang kembali apa sebenarnya keistimewaan kedua Tabi’in
tersebut? Keistimewaan mereka berdua dikatakan seutama-utama Tabi’iy adalah: Dalam
kisahnya Uwais ibn Amr Al-qarni. Dia adalah teladan , ahli zuhud, pemimpin generasai
Tabi’in pada masanya. Dia adalah Abu Amr Uwais bin Amir bin Jaz’in Al-qarani Al-
Muradi Al-Yamni. Qaran adalah tengah-tengah kota Murad. Dia pernah dikirim menemui
Umar lalu meriwayatkan sedikit hadits darinya dan Ali. Dia termasuk wali Allah yang
bertaqwa dan hambanya yang ikhlas.
Pendapat lain tentang pengertian Tabi’in ada juga yang mengatakan bahwa Tabi’in
jamak dari kata tabi’i atau tabi’ berarti orang yang mengikuti atau berjalan dibelakang.
Menurut istilah Tabi’in adalah sebagai berikut
‫ُه َو َم ْن َلِقْي َص َح ا ِبًيا ُمْس ِلًما َو َم اَت َع َلى اِالْس اَل ِم‬
Adalah orang muslim yang bertemu dengan seorang sahabat dan mati dalam beragama
Islam.[4]

B erjalan dibelakang para sahabat berarti yang mengikuti apa yang di katakan
sahabat termasuk akan perbuatan sahabat yang dicontoh para pengikutnya yang dasarnya
dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bisa dijadikan hujjah dan sifatnya
ilmiyah.

Dari dua pengertian diatas jelas sekali bahwa Tabi’in itu bukan saja setiap
orang yang bisa bertemu dengan sahabat dikategorikan Tabi’in. Mungkin kalau hanya
bisa berjumpa dengan para sahabat banyak sekali orang di masa itu yang berjumpa
bahkan dekat dengan sahabat, akan tetapi mereka tidak dikategorikan Tabi’in. Makanya
seseorang itu baru bisa di katakan Tabi’in apabila dia itu telah beragama Islam semenjak
dia berjumpa dengan sahabat baik lama maupun sebentar sampai dia itu wafat. Jadi
kesimpulan dari dua pengertian Tabi’in diatas adalah orang yang berjumpa dengan
sahabat dalam keadaan beragama islam mulai dari awal perjumpaannya sampai wafatnya
baik itu lama ataupun hanya sebentar. Jadi seorang Tabi’in baru bisa diakui akan
keTabi’inannya harus memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Benar-benar pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu


Alaihi wa Sallam
2. Benar-benar sudah beragama Islam
3. Menjaga amanah sariat Islam
4. Iman dan Islam sampai mati
Walaupun kriteria menjadi Tabi’in itu tidak mudah, namun orang sangat tertarik akan
ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam apalagi agama yang disebarkannya
melalui sahabat bisa dipertanggungjawabkan baik didalam kehidupan bermasayrakat
apalagi dihadapan Allah Subaha na Wata’ala. Maka orang yang mengikuti para sahabat
itu tidak bisa dihitung jumlahnya

Jumlah Tabi’in tidak terhitung karena setiap orang muslim yang bertemu dengan
seorang sahabat disebut Tabi’in padahal sahabat yang ditinggalkan Rasulullah lebih dari
seratus ribu orang.[5] Bisa kita bayangkan para sahabat yang ditinggalkan oleh
Rasulullah ratusan ribu banyaknya wajarlah para Tabi’in itu secara ril tidak akan bisa
dipastikan jumlahnya. Namun bermacam pendapat disini salah satu yang lebih kuat dari
kesepakatan para ulama hanya mengatakan akan berakhirnya masa Tabi’in sedangkan
jumlahnya tidak ada yang lebih pasti.
Jumlah Tabi’in tidak terhingga, namun para ulama sepakat bahwa akhir dari masa Tabi’in
adalah tahun 150 H.[6] Walaupun jumlah para Tabi’in itu tidak dapat dihitung secara ril
namun diantara sekian banyak para Tabi’in maka ada kategorinya yang terkemuka, para
Tabi’in yang dikatakan terkemuka itu ada tujuh Fuqoha.
Diantara Tabi’in yang terkemuka adalah mereka yang disebut sebagai Fuqoha Tujuh,
yaitu:

1. Said Ibnu Musayyab.


2. Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakr.
3. Urwah Ibnu Zubair.
4. Kharijah Ibnu Zaid
5. Abu Ayyub Sulaiman Ibnu Yassar Al-Hilaly
6. Ubaidullah Ibnu Abdullah Ibnu Utbah.
7. Ada yang mengatakan : Salim Ibnu Abdillah Ibnu Umar Ibnu Khatthab. Ada yang
mengatakan: Abu Salamah Ibnu Abdur Rahman Ibnu Auf.[7]

Tabi’in yang disebut Fuqoha Tujuh mempunyai perjuangan dan kesungguhan dalam
menuntut ilmu dibuktikan dengan sebuah sejarah tentang Said Ibnu Musayyab.
Beliau mendatangi rumah istri-istri Rasulullah untuk memperoleh ilmu dan berguru pada
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas. Beliau mendengar hadits
dari Utsman , Ali Suhaib dan para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lain.
Beliau berakhlak dengan akhlak mereka dan berprilaku seperti mereka. Beliau selalu
mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari: Tiada yang lebih
menjadikan hamba berwibawa selain taat kepada Allah Subaha na Wata Ala dan tiada
yang lebih membuat hina seorang hamaba dari bermaksiat kepada-Nya.[8]
Begitulah seorang Tabi;in memegang teguh amanah yang sudah didapti mereka dari
para sahabat sebelumnya.

B. Pembukuan Hadist Pada Masa Tabi’in

Pada awalnya hadis itu tidaklah boleh dibukukan oleh Rasululllah Shallallahu
Alahi wa Sallam. Setelah masa para sahabat Radhiyallahu Anhum berlalu, kemudian
datanglah generasi selanjutnya yaitu generasi Tabi’in. Mereka menimba ilmu dari para
sahabat, Semoga Allah merahmati ilmu mereka. Para Tabi’in bermu’amalah dengan para
sahabat dan berusaha mengetahui segala sesuatu dari mereka, mengambil banyak hadis
Rasulullah Shallallhu Alaihi wa Sallam melewati mereka dan mereka jhuga mengetahui
as-Sunnah asy-Syarifah, maka tabiatnya akan sama antara pendapat para Tabi’in dengan
pendapat para Sahabat mengenai hokum pembukaan hadis; karena sebab-sebab yang
menjadi alasan Khulafa Ar-Rasyidin dan para Sahabat atas ketidak sukaannya pada
penulisan hadis sama halnya kebencian para Tabi’in. Oleh karena itu, semuanya memiliki
yang sama, dan membenci penulisan selama sebab-sebab dibencinya hal itu masih ada,
kemudian mereka menghimpun hadis-hadis itu dalam bentuk tulisan serta
membolehkannya ketika alasan-alasan yang menjadi sebab-sebab dibencinya penulisan
telah hilang. Bahkan mayoritas mereka menekankan pada pembukuan hadis dan motivasi
tersebut. Diantara orang yang tidak menyukai penulisan dan pembukuan hadis dari
kalangan Tabi’in yang senior adalah Ubaidah bin Amr As-Salamani Al-Muradi wafat
tahun 72 H, Ibrahim bin Yazid At-Taimi wafat pada tahun 92 H, dan Ibrahim An-Nakha’I
wafat pada tahun 96 H yang membenci penulisan hadis-hadis dalam Al-karaariis (buku-
buku) dan diserupakan dengan mushaf-mushaf. An-Nakha’I berkata,Sya tidak menulis
hadis sama sekali, sampai ia melarang Hammad bin Sulaiman untuk menulis ujung-ujung
hadis.[9] Begitulah perdebatan para sahabat dan Tabi’in saling mempertahankan
keinginan dan memberikan alsan-alasan yang membuat pembukuan hadis itu terkendala
demi menjaga kesucian hadis untuk pegangan ummat Islam. Kalau kita lihat kelemahan
ilmu yang dimiliki seseorang tanpa dituliskan akan mengakibatkan banyak hal. Terutama
sekali kesilapan dan kelupaan seseorang terhadap apa yang didengarnya. Makanya
sebaiknya ilmu itu diikat dengan cara penulisan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anas
bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata kepada Anak-anaknya” Wahai anak-anakku Ikatlah
ilmu itu dengan tulisan.[10] Dalam sumber yang lain mengatakan Anas bin Malik al-
Anshori Rahimahullah menyruh anak-anaknya untuk menulis ilmu, seraya berkata,
Wahai anak-anakku, ikatlah ilmudengan menuliskannya.” Dan dia berkata,” Dahulu kami
tidak menganggap ilmu (sunnah) dari orang yang tidak menuliskan ilmunya.[11]

Tabi’in lainnya adalah Amir Asy-Sya’bi yang meninggal pada tahun 103 H, kita
mendengar bahwa ia lselalu mengulang-ulang pernyataannya, “ Saya tidak pernah
menggoreskan tinta hitam diatas lembaran putih, dan tidak mendengar satu hadispun dari
sesorang kemudian saya menginginkan agar ia mengulanginya untukku. Dan semakin
bertambah keengganan para Tabi’in untuk menuliskan hadis-hadis ketika pendapat-
pendapat mereka telah masyhur terutama yang berkenaan dengan mereka, sehingga
mereka merasa khawatir apabila murid- murid mereka membukukan hadis-hadis akan
bercanmpur dengan pendapatnya, lalu akan menjadi rancu bagi orang yang setelah
mereka.[12] Para Tabi’in bukan tidak mampu dan tidak mau membukukan hadis, namu
begitulah para Tabi’in menghargai para Sahabat yang ketika itu masih ada beberapa
orang Sahabat yang tidak setuju untuk membukukan hadis tersebut, dengan alasan
mereka takutnya para sahabat itu tercampurnya hadis dengan pendapat-pendapat para
Tabi’in.
Sebagaimana hal itu terjadi pada Sa’id bin Al- Musayyib ketika seorang laki-laki
datang menemuinya dan bertanya tentang sesuatu, maka Sa’id mendiktekan kepadanya,
kemudian laki-laki itu bertanya lagi tentang pendapatnya, maka Sa’id pun menjawabnya
setelah itu, laki-laki tadi menulisnya. Melihat hal tersebut, ada seorang yang duduk
bersama dengannya berkata, “Apakah laki-laki itu menulis pendapatmu, wahai Abu
Muhammad?” Maka Sa’id berkata kepada laki-laki penanya tadi,”Bawakan kepadaku
tulisan itu” Kemudian setelah ia mendapatkan lembaran tersebut lalu membakarnya.
Perbuatan ini tidak dilakukan karena kekhawatiran akan bercampuraduknya antara hadis
dengan pendapatnya sendiri yang dimungkinkan adanya kesalahan kemudian
memperbaiki kesalahannya. Sebagaimana yang dikatakan Jabir bin Zaid ketika
disampaikan padanya, “Sesungguhnya ia menuliskan pendapatmu.” Maka ia berkata,”
Kalian menulis sesuatu yang kemungkinan saya membatalkannya besok.[13] Pendapat
yang yang dikemukakan seseorang bisa berobah seketika, tidak sama dengan pendapat
yang berasal dari Rasul, sudah bisa dijadikan landasan hukum ataupun ketetapan yang
baku. Maka penulisan hadis bukan larangan dari kalangan Sahabat, namu kekhawatiran
para sahabatlah sebenarnya membuat salah seorang Sahabat itu sampai membakar tulisan
yang hanya ada pendapat-pendapat yang dikatakan oleh Sahabat itu ketika seseorang
bertanya kepadanya. Kekhawatiran para Sahabat itu wajar karena disaat itu para Sahabat
masih banyak yang hidup dan yang hafal akan hadis-hadis yang bersumber dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Disamping itu para Sahabat ketika itu masih
ada yang langsung dapat dido’akan oleh Rasulullah agar ingatannya kuat dan lama. Akan
tetapi kalu kita bawa kondisi itu pada saat sekarang sangatlah jauh ketinggalan ummat
Islam dibidang hadis. Apalagi jauhnya masa ataupun waktu Rasul masih hidup.
Bersamaan dengan ini semua, kita mengetahui bahwa sebagian Tabi’in yang mulia
memperhatikan banyak masalah tulisan, sehingga ada dari sebagian mereka yang
memiliki semangat ganda dalam menuliskan hadis. Adalah Sa’id bin Bashir
Rahimahullah yang wafat pada tahun 95 H, dia telah menulis dari Ibnu Abbas, ketika
lembaran yang ia bawa telah dipenuhi dengan tulisan, maka ia mengambil sandalnya dan
menuliskan diatasnya hingga memenuhinya. Tidak cukup dengan itu bahkan ia memiliki
kesungguhan luar biasa untuk menghimpun dan membukukan hadis, sebagaimana
ungkapannya,”Dahulu saya mondar-mandir untuk menemui antara Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas, saya mendengarkan hadis Rsulullah dari mereka berdua, lalu saya menulisnya,
bahkan dari atas kendaraan dan setelah saya turun, sayapun meneruskannya kembali.
[14] lau Begitu para Tabi’in semangatnya untuk membukukan hadis yang ada pada para
Sahabat, berbagai cara mereka untuk supaya hadis itu bisa mereka tuliskan walau diatas
sandalnya penuh dengan tulisan hadis tersebut. Mereka tidak sampai disitu usahanya
dalam membukukan hadis.
Ketika pembukuan hadis mulai banyak digeluti dan para penuntut ilmu memisahkan
antara larangan penulisan hadis dan larangan penulisan pendapat pribadi dengan hadis,
maka pada saat itu, ada sebagian Tabi’in yang memberikan keringanan pada murid-
muridnya untuk menuntut ilmu dengan kuat dari mereka, motivasi agar menulisnya
sebagaimana yang dilakukan oleh Said Al-Musayyib Rahimahullah yang wafat pada
tahun 105 H. Dia telah memberikan keringanan kepada Abdurrahman bin harmalah agar
membukukan ilmu ketika mulai mengeluhkan tentang buruknya hafalannya.[15]
C. Wilayah Perkembangan Hadist Pada Masa Tabi’in

Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak Sahabat ataupun Tabi’in
yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula
yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah.[16]
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai
tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah Al-
Munawwaroh, Makkah Al- Mukarromah, Kufa, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalus, Yaman dan Kurasan. Dari sejumlah para sahabat Pembina hadis pada kota-kota
tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu
Hurairah,Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah Ibn Abbas, Jabir ibn
Abdillah dan Abi Sa’id Al Khudri. Sebagian Pusat pembinaan pertama adalah:

A.Madinah

Madinah, adalah tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menetap setelah


hijrah. Disini pulalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membina masyarakat
islam yang didalamnya terdiri atas Muhajirin, dan Anshar dari berbagai suku atau
kabilah, di samping dilindunginya umat-umat non mulim, seperti Yahudi. Para sahabat
yang menetap disini, diantaranya Khulafa’ Al- Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah,
Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-khudri, dengan menghasilkan para pembesar
Tabi’in.[17] Pembesar-pembesar Tabi’in itulah mereka yang telah diuraikan sebagai
fuqoha yang Tujuh yakni: Said ibnAl-Musyayyab, urwah ibn Zubair,ibn Syhab Al-Zuhri,
Ubaidillah ibn Utbah Mas’ud dan Salim ibn Abdillah ibn Umar.[18]

B. Mekkah

Mekah salah satu tempat para Sahabat berdiam mengajarkan hadis diantara Sahabat
itu adalah: Mu’adz ibn Jabal,’Atah ibn Asid, Haris ibnu Hisyam, Utsman ibn Thalhah,
dan Utbah ibn Al-Haris.[19] Para Sahabat ini dicari dan didekati oleh para Tabi’in,
bagaimana mereka itu supaya mendapatkan Hadis dari para Sahabat. Diantara para
Tabi’in yang pergi ke Mekkah adalah:
Mujtahid Ibn Jabar, Ataha’ ibn Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan dan Ikrimah
maula Ibn Abbas.[20].

C. Kufah
Kufah merupakan tempat para Sahabat Rasul untuk beraktipitas membina dan
menyebarkan serta mengembangkan hadis kepada para penuntut ilmu didaerah itu,
diantara para Sahabat yang ada dikufah adalah: Ali bin abi Talib, Sa”ad ibn Abi Waqas,
dan Abdullah ibn Mas’ud.[21] Mereka inilah yang sempat tinggal dinegri Kufah untuk
mengkaji tentang Hadis Rasulullah dengan para Tabi’in, karena para Sahabat diketahui
para Tabi’in ada di Kufah maka ketika itulah para Tabi’in pergi menemui para Sahabat,
diantara Para Tabi’innya adalah: Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i, Said
ibn Zubair Al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrashim Al-Nakha’I dan Abu Ishaq
Al-Sa’bi.[22]

D. Mesir
Wilayah mesir tidak pula tinggal dari pembinaan para sahabat yang menunggu orang-
orang yang akan menemui mereka. Orang tidak akan berdiam begitui saja diwilayahnya
Mesir, tapi banyak orang mencari informasi keberadaan sahabat-sahabat Nabi dimana
mereka berada.Sahabat yang ada dilayah Mesir adalah: Amr ibn Al-Ash, Uqbah ibn Amr,
Kharizah ibn Huzafah, dan Abdullah ibn Al-Haris.[23]
Karena Mesir merupakan wilayah yang sudah ditempati para Sahabat maka
tumbuh pulalah disini tabi’in antara lain: Amr ibn Al-Harist, Khair ibn Al-Nu’aimi Al-
Hadrami, Yazid ibn Abi Habib, Abdullah ibn Abi Jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-
Thawil.[24] Kedudukan para Tabi’in diMesir membuktikan semakin meluasnya wilayah
Islam terutama dibidang pembinaan hadis.

Diantara bendaharawan hadis yang banyak menerima menghapal, dan


mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:
1. Abu Hurairah, manurut Ibn Umar meriwayatkan 5.374 hadis sedangkan menurut
Al-Kiramany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
2. Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
3. Aisyah, istri Rasulullah Shallallhu Alaihi wa Sallam meriwayatkan 2.276 hadis.
4. Abdullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadis
5. Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
6. Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.[25]
Nama-nama yang telah diuraikan diatas hanya mewakili dari Tabi’in yang tidak
terhitung jumlahnya apalagi tentang hafalan hadisnya inilah guna kita untuk
memperbanyak membaca dan menyeleksi akan hadis-hadis yang sudah di bukukan
oleh para Sahabat terutama dizaman Tabi’in.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pengertan Tabi’in bermacam pendapat, namun yang kami ambil hanya dua pengertian
saja yakni Orang yang bertemu dengan Sahabat dengan cara iman dan Islam baiik lama
ataupun baru sampai wapatnya dalam keadaan Islam.
Asal usul pembukuan hadis dimasa Tabi’in mengalami perdebatan dan saling
mempertahankan pendapat masing-masing serta memberikan alsan-alsan yang kuat dari
berbagai pengalaman dan usahanya, namun akhirnya satu kesimpulan yang diambil
mereka kembali kepada pembukuan hadis yang sebenarnya Wilayah-wilayah yang
ditempati oleh para sahabat didatangi oleh para Tabi’in dengan tujuan ingin mengetahui
hadis yang sebenarnya yang telah didapati langsung dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa
Sallam. Dari usaha para Tabi’in pergi ke berbagai wilayah yang di situ ada Sahabat maka
Tabi’in berhasil untuk mengetaqhui hadis-hadis bisa dihafalnya bahkan tahulah berapa
banyak hadis yang dihafal oleh para Sahabat begitu juga para Tabi’in sampai kepada
jumlah hafalan yang dikuasi oleh Sahabat termasuk Tabi’in.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Muzeir suparta, Ilmu hadis (Cet …9: Jakarta, PT Raja grafindo persada,2014) h.69-70
[2] M.Suhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Angkasa anggota IKAPI 1983-1987), h. 32
[3] Ibid, h.32
[4] Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, Cet….. 5 ( Ikrar Mandiri Abadi Jakarta 2011) h. 113
[5] Ibid. h. 113
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis Cet…. 1 (PT .Mutiara Sumber Widya 2001) h. 184
[7] M. Syuhudi Isn ail, Op.Cit, h.32,33
[8] Abdurrahman Ra’fat Basya, Tabi’in Kisah-kisah yang Menakjubkan yang Belum Tertandingi Hingga
Hari Ini, Cet …8 (Semanggi Solo At-Tibyan 2009) h. 182
[9] Imam An-Nawawi, Syarah sahih Muslim, Cet…1 (Jakarta Darussunnah 2009), h. 34-35
[10] Ibid, h.34
[11] muhammad Az-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-Kitab Rujukan Hadits lengkap dengan
biografi ulama Hadits dan sejarah Pembukuannya Ulama Hadits dan sejarah
pembukuannya, Cet… ke-2 ( Jakarta Darul Hak 2012) h.86
[12] mam An Nawawi ,Op Cit, h. 35
[13] Ibid, h. 36
[14] Ibid,
[15] Ibid. h.36
[16] Idri, Studi Hadis, Cet, ke-2 (PT Fajar Interpratama Mandiri, 2013) h.44
[17] Munzier Suparta, Op Cit, h. 86
[18] Ibid,h.86
[19] Ibid,
[20] Ibid,
[21] Ibid
[22] Ibid,
[23] Ibid. h. 86-87
[24] Ibid
[25] Solahuddin, Ulumul Hadis, Cet …1 (Bandung Pustaka setia 2009) h.

Anda mungkin juga menyukai