Anda di halaman 1dari 11

Makalah Perkembangan Hadis

Pada Masa Tabi’in


Dibuat untuk memenuhi tugas Ilmu Hadis

Disusun :

Isti Machsusi

Fazirah Iftania Ahyar

Rosa Nur Khofifah

Sonia Isna Suratin


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang

Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini dapat


mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama
ahli hadis, terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-
tiap priode sampai masa kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Sebab studi tentang
keberadaan hadis ini selalu semakin menarik untuk dikaji seiring dengan
perkembangan nalar manusia yang semakin kritis. Apalagi yang terlibat dalam wacana
ini bukan hanya kalangan ummat Islam, melainkan juga melibatkan kalangan
orientalis. Bahkan menguatnya kajian hadis dalam dunia Islam tidak lepas dari upaya
ummat Islam yang melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif
kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Goldziher misalnya, ia meragukan
sebaguian besar keaslian (orientalis) hadis, bahkan yang diriwayatkan oleh Bukhori
sekalipun. Salah satu alasannya adalah jarak semenjak wafatnya Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Salllam dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh,
menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut. Oleh karena
itu, mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang
sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak kebenarannya.

Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan


hambatan yang dihadapinya, yang antara satu priode dengan priode lainnya tidak
sama. Terlepas dari priodesasi yang dikemukakan diatas, yang perlu diuraikan secara
khusus pada bahasan ini, ialah masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, masa
sahabat, masa Tabi’in.

Dalam makalah ini penulis tidak akan membahas semua priodesasi seperti
halnya diatas akan tetapi hanya membahas priodesasi dimasa Tabi’in saja. Disinilah
perlu dibuktikan sejarah hadis dimasa Tabi’in itu seperti apa sebenarnya? Semoga
makalah ini nantinya dapat menambah wawasan pembacanya dan memberikan
masukan dan saran yang bersifat membangun serta ilmiah.            
BAB II

PEMBAHASAN

A.  Hadis Pada Masa Tabi’in

Pengertian Tabi’in:

Tabi’in jama’ dari Tabi’i atau Tabi’ kalau menurut bahasa arti dari Tabi’in
adalah pengikut. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadis, sebagaimana yang
dinyatakan oleh ahli hadis seperti Al-Hakim, Ibnu Shalah, An Nawawy, dan Iraqy,
bahwa yang disebut Tabi’in ialah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan
imam dan Islam baik perjumpaannya itu lama atau sebentar. Pengikut disini berarti
orang yang mengikuti para sahabat baik cara berbicaranya akhlaknya yang berasal dari
Rasulullah SAW. Orang yang mengikuti para sahabat itu akan melihat pula sahabat
yang benar-benar pernah bertemu dengan Rasulullah SAW semasa hidupnya dan
benar-benar sudah mengucapkan syahadatain atau yang dikatakan dengan masuk
agama Islam. Dan orang yang akan mengikuti sahabat itu berarti orang yang
memperkokoh imannya dan lebih menmyempurnakan keIslamannya. Dengan
kesungguhannya mencari para sahabat tersebut untuk diikuti maka orang itu bisa
melakukan perjalanan jauh dari satu negri kenegri lain dari sahabat satu kesahabat
yang lain demi untuk mengetahui islam itu yang sebenarnya melalui bukti hadis
Rasulullah SAW. Menyebarnya sahabat diberbagai daerah ataupun wilayah membuat
para Tabi’in itu semakin banyak jumlahnya.

Menurut sebagaian pendapat, bahwa seutama-utama Tabi’iy ialah: Uwais ibn


Amr Al-Qarni. Sedang menurut Imam Ahmad ialah: Said ibnu Musayyab. Pendapat
lain tentang pengertian Tabi’in ada juga yang mengatakan bahwa Tabi’in jama’ dari
kata tabi’i atau tabi’ berarti orang yang mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut
istilah Tabi’in adalah sebagai berikut

ِ ‫ص َحا بِيًا ُم ْسلِ ًما َو َماتَ َعلَى‬


‫اال ْساَل ِم‬ َ ‫هُ َو َم ْن لَقِ ْي‬ 

Adalah orang muslim yang bertemu dengan seorang sahabat dan mati dalam
beragama Islam.

Berjalan dibelakang para sahabat berarti yang mengikuti apa yang di katakan
sahabat termasuk akan perbuatan sahabat yang dicontoh para pengikutnya yang
dasarnya  dari Rasulullah SAW dan bisa dijadikan hujjah dan sifatnya ilmiah.  

Dari pengertian diatas jelas sekali bahwa Tabi’in itu bukan saja setiap orang
yang bisa bertemu dengan sahabat dikategorikan Tabi’in. Seorang Tabi’in baru bisa
diakui akan keTabi’inannya harus memiliki kriteria sebagai berikut:

1.        Benar-benar pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah


Shallallahu Alaihi wa Sallam

2.        Benar-benar sudah beragama Islam

3.        Menjaga amanah sariat Islam


4.        Iman dan Islam sampai mati

Walaupun kriteria menjadi Tabi’in itu tidak mudah, namun orang sangat
tertarik akan ajaran Rasulullah SAW apalagi agama yang disebarkannya melalui
sahabat bisa dipertanggungjawabkan baik didalam kehidupan bermasyarakat apalagi
dihadapan Allah SWT. Jumlah Tabi’in tidak terhitung karena setiap orang muslim
yang bertemu dengan seorang  sahabat disebut Tabi’in padahal sahabat yang
ditinggalkan Rasulullah lebih dari seratus ribu orang. Namun bermacam pendapat
disini salah satu yang lebih kuat dari kesepakatan para ulama hanya mengatakan akan
berakhirnya masa Tabi’in sedangkan jumlahnya tidak ada yang lebih pasti. Jumlah
Tabi’in tidak terhingga, namun para ulama sepakat bahwa akhir dari masa Tabi’in
adalah tahun 150 H. Walaupun jumlah para Tabi’in itu tidak dapat dihitung  secara
real namun  diantara sekian banyak para Tabi’in maka ada kategorinya yang
terkemuka.

Tabi’in yang disebut Fuqoha Tujuh mempunyai perjuangan dan kesungguhan


dalam menuntut ilmu dibuktikan dengan sebuah sejarah tentang Said Ibnu Musayyab.
Yang perlu diambil pelajaran dari sejarah ini bagaimana saeorang Tabi’in kita jadikan
contoh dalam kehidupan kita mulai dari dia menuntut ilmu, kesungguhannya dari
berbagai sumber baik dari kaum wanita yang bisa dipertanggung jawabkan ilmunya
begitu juga dari kaum lelaki. Sumber ilmu bukan satu jalan, banyak jalannya
memperoleh ilmu yang penting kita mau bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Dengan ilmulah kita bisa beramal dengan baik, dengan ilmulah amal kita bisa
sempurna dan bisa diterima Allah, dengan limu pulalah derjad seseorang diangkat oleh
Allah Azza Wa Jalla. Berwibawanya seseorang sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.
Oleh karena itu, para Tabi’in semangatnya tidak lekang karna panas tidak lapuk karna
hujan yang penting dia mencari guru dari waktu kewaktu untuk memperkaya ilmu.

Begitulah seorang Tabi’in memegang teguh amanah yang sudah mereka


dapatkan dari para sahabat sebelumnya. Dia tidak mau menyimpan ilmu yang ada
padanya walaupun ilmu itu mungkin tidak akan diterima anaknya, tapi dia tetap
mengatakan nasehat kepada anaknya dihari-hari hayatnya sudah dekat. Makanya pesan
yang paling terakhir dikatakannya kepada anaknya itu adalah karena aku bukanlah
apa-apa. Kata-kata aku bukanlah apa-apa mengandung makna yang sangat luas, baik
itu disegi akidah, ibadah apalagi syariat. Berdasarkan itulah kita selaku manusia biasa
yang jauh dari periode Tabi’in mengambil cara dan sikap yang ada pada para Tabi’in
tersebut. Diantara sikap Tabi’in itu katakanlah sesuatu ilmu yang mempunyai sumber
dari sahabat, kalau sudah dari Sahabat maka sudah pastilah berasal dari Rasul. Dan
ingat ketika kita punya ilmu jangan lupa untuk mentransfernya kepada orang lain,
karena ilmu itu adalah milik Allah kalau ilmu tidak dikembangkan, tidak diajarkan
sama orang maka ilmu akan binasa, dengan kuncinya semua kata-kata aku bukan apa-
apa. Diantara tokoh Tabi’in terdapat para Ulama yang dikenal dengan sebutan AL-
Fuqaha’ al-Saba’ah (Fuqaha yang Tujuh) .yaitu:

1.    Sa’id Ibn al- Musayyab ( 15-94 H )

2.    Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abu Bakar al- Shiddiq (  37- 107 H )

3.    Urwah Ibn al- Zubair ( W. 94 H )

4.    Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit ( 29-99 H )


5.    Sulaiman Ibn Yasar ( 34-107 )

6.    Ubaid Allah Ibn ‘Abd Allah Ibn ‘Utbah Ibn Mas’ud ( W. 98 H )

7.    Abu Salamah Ibn ‘Abd Al- Rahman Ibn Auf ( W. 94 H )

Ada yang mengatakan , yang termasuk Fuqaha yang tujuh ini adalah Salim
ibn ‘Abd Allah ibn Umar (w. 106 H) dan Abu Bakar ibn ‘Abd al- Rahman ibn al-
Harits Ibn Hisyam al- Makhzumi ( w. 94 H ). Disinilah peran dari seorang Tabi’iyah
untuk menunutut ilmu kepada para Sahabiyat. Ilmu tidak akan difokuskan kepada
kaum lelaki saja akan tetapi kaum wanitapun butuh akan ilmu, apalagi untuk
menjelaskan sesuatu yang tidak pantas laki-laki yang akan menjelaskannya, maka
itulah para Tabi’iyah sama kedudukannya dengan para Tabi’in. Adapun yang seutama-
utama Tabi’iyah (Tabi’in wanita) ialah : Hafsah binti sirin dan Ummu darda’ As-
Sughara. Dengan adanya Tabi’iyah ini maka Islam semakin berkembang pesat, karena
antara Tabi’in dengan Tabi’iyah sama-sama mencari dan menggali hadis yang benar-
benar berasal dari Rasulullah. Perjuangan Tabi’in dan Tabi’iyah perlu dicontoh dalam
hal menuntut ilmu hadis yang sampai sekarang kita rasakan kenikmatan dan kesahihan
dalam kehidupan masyarakat Islam. Begitu mulianya kaum wanita dalam pandangan
Islam terutama diera periodenya  sampai sekarang.

B.  Penulisan dan pembukuan Hadis dimasa Tabi’in

Pada awalnya hadis itu tidaklah boleh dibukukan oleh Rasululllah SAW.
Setelah masa para sahabat RA berlalu, kemudian datanglah generasi selanjutnya yaitu
generasi Tabi’in. Mereka menimba ilmu dari para sahabat, Semoga Allah merahmati
ilmu mereka. Para Tabi’in bermu’amalah dengan para sahabat dan berusaha
mengetahui segala sesuatu dari mereka, mengambil banyak hadis Rasulullah SAW
melewati mereka dan mereka juga mengetahui as-Sunnah asy-Syarifah, maka
tabiatnya akan sama antara pendapat para Tabi’in dengan pendapat para Sahabat
mengenai hukum pembukaan hadis, karena sebab-sebab yang menjadi alasan Khulafa
Ar-Rasyidin dan para Sahabat atas ketidak sukaannya pada penulisan hadis sama
halnya kebencian para Tabi’in. Oleh karena itu, semuanya memiliki yang sama, dan
membenci penulisan selama sebab-sebab dibencinya hal itu masih ada, kemudian
mereka menghimpun hadis-hadis itu dalam bentuk tulisan serta membolehkannya
ketika alasan-alasan yang menjadi sebab-sebab dibencinya penulisan telah hilang.
Bahkan mayoritas mereka menekankan pada pembukuan hadis dan motivasi tersebut.
Diantara orang yang tidak menyukai penulisan dan pembukuan hadis dari kalangan
Tabi’in yang senior adalah Ubaidah bin Amr As-Salamani Al-Muradi wafat tahun 72
H, Ibrahim bin Yazid At-Taimi wafat pada tahun 92 H, dan Ibrahim An-Nakha’I wafat
pada tahun 96 H yang membenci penulisan hadis-hadis dalam Al-karaariis (buku-
buku) dan diserupakan dengan mushaf-mushaf. An-Nakha’I berkata,Saya tidak
menulis hadis sama sekali, sampai ia melarang Hammad bin Sulaiman untuk menulis
ujung-ujung hadis. Begitulah perdebatan para sahabat dan Tabi’in saling
mempertahankan keinginan dan memberikan alsan-alasan yang membuat pembukuan
hadis itu terkendala demi menjaga kesucian hadis untuk pegangan ummat Islam. Kalau
kita lihat kelemahan ilmu yang dimiliki seseorang tanpa dituliskan akan
mengakibatkan banyak hal. Terutama sekali kesilapan dan kelupaan seseorang
terhadap apa yang didengarnya. Makanya sebaiknya ilmu itu diikat dengan cara
penulisan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anas bin Malik RA berkata kepada
Anak-anaknya” Wahai anak-anakku Ikatlah ilmu itu dengan tulisan”. Dalam sumber
yang lain mengatakan Anas bin Malik al-Anshori Rahimahullah menyruh anak-
anaknya untuk menulis ilmu, seraya berkata, Wahai anak-anakku, ikatlah ilmu dengan
menuliskannya.” Dan dia berkata,” Dahulu kami tidak menganggap ilmu (sunnah) dari
orang yang tidak menuliskan ilmunya”.

Bersamaan dengan ini semua, kita mengetahui bahwa sebagian Tabi’in yang
mulia memperhatikan banyak masalah tulisan, sehingga ada dari sebagian mereka
yang memiliki semangat ganda dalam menuliskan hadis. Adalah Sa’id bin Bashir
Rahimahullah yang wafat pada tahun 95 H, dia telah menulis dari Ibnu Abbas, ketika
lembaran yang ia bawa telah dipenuhi dengan tulisan, maka ia mengambil sandalnya
dan menuliskan diatasnya hingga memenuhinya. Tidak cukup dengan itu bahkan ia
memiliki kesungguhan luar biasa untuk menghimpun dan membukukan hadis,
sebagaimana ungkapannya,”Dahulu saya mondar-mandir untuk menemui antara Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas, saya mendengarkan hadis Rasulullah dari mereka berdua, lalu
saya menulisnya, bahkan dari atas kendaraan dan setelah saya turun, sayapun
meneruskannya kembali”. Walau Begitu para Tabi’in semangat untuk membukukan
hadis yang ada pada para Sahabat, berbagai cara mereka untuk supaya hadis itu bisa
mereka tuliskan walau diatas sandalnya penuh dengan tulisan hadis tersebut.

Ketika pembukuan hadis mulai banyak digeluti dan para penuntut ilmu
memisahkan antara larangan penulisan hadis dan larangan penulisan pendapat pribadi
dengan hadis, maka pada saat itu, ada sebagian Tabi’in yang memberikan keringanan
pada murid-muridnya untuk menuntut ilmu dengan kuat dari mereka, motivasi agar
menulisnya sebagaimana yang dilakukan oleh Said Al-Musayyib Rahimahullah yang
wafat pada tahun 105 H. Dia telah memberikan keringanan kepada Abdurrahman bin
harmalah agar membukukan ilmu ketika mulai mengeluhkan tentang buruknya
hafalannya. Begitulah perubahan cara berpikir generasi kegenerasi para Sahabat dan
Tabi’in. Sesudah dia mengakui akan keburukan hafalannya maka barulah ia mau
memberikan kemudahan kepada muridnya. Demikian juga sebagaimana diulang-ulang
perkataan Amir Asy-Sya’bi “saya tidak pernah menggoreskan tinta hitam diatas 
lembaran putih”. Ketegasan Sahabat ini ada juga Sahabat yang membantah walaupun
mereka berbeda persepsi tapi tidaklah membuat permusuhan dan perpecahan diantara
Sahabat, mereka tetap menjalin hubungan baik apalagi dengan para Tabi’in. Disini
tampak bahwa pendapat Qatadah bin Di’amah As-Sudusi Rahimahullah yang wafat
pada tahun 118 H, bahwa ia tidak ragu-ragu lagi menyarankan untuk membukukan
hadis ketika diminta fatwanya dalam masalah penulisan hadis-hadis Nabi. Ia berkata”
Apa yang menghalangimu untuk menuliskannya, sedangkan Allah Yang Maha lembut
dan Mahateliti.  Kemaha lembutan Allah dan Kemaha telitinya” dijelaskan dalam Al-
Qur’an surat Toha ayat 52 yang berbunyi

52.  Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah
kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.

Pada mulanya penulisan hadis tidak disetujuinya bahkan membencinya


sampai-sampai ketika mendengar ada orang yang menulis suatu hadis, maka segera
mengingkarinya dan menghapusnya. Allah memberikan hidayah kepada mereka yang
pada awalnya tidak menyetujui penulisan dan pembukuan hadis tapi Sekarang,
pemikiran untuk membukukan hadis sudah sampai pada puncak kejayaannya, semakin
giat pula aktivitas keilmuan dengan bertambahnya orang belajar pada ulama. Kondisi
semacam itu tetap bergulir hingga bergejolak fitnah, perselisihan politik dan harta,
bahkan muncullah pemalsuan dan kedustaan terhadap hadis Rasulullah SAW, yang
mengharuskan pemuka Tabi’in khususnya dan orang-orang setelah mereka untuk
melawan pergerakan pemalsuan ini dan melemahkan ambisi mereka. Oleh kareana itu,
para Tabi’in mulai membukukan hadis-hadis karena takut akan lenyap dari dada
manusia dan dengan tujuan untuk memelihara hadis-hadis tersebut dari penambahan
dan pengurangan. Jelaslah bahwa pembukuan hadis tersebut dari awalnya penghafal
hadis masih banyak baik dari kalangan Sahabat begitu juga Tabi’in namun
pertumbuhan semakin pesat para penghafal semakin sedikit, tuntutan politik semakin
kuat orang sudah mulai terpikat dengan harta yang muncul adalah perpecahan
dikalangan Sahabat dan Tabi’in.

Maka kesimpulan hadis itu dibukukan mengingat dan menimbang agar jangan
muncul dan mencuat pakar-pakar hadis palsu dengan cara menambah ataupun
mengurangi hadis yang sebenarnya. Dari sinilah kita dapat mengambil pelajaran yang
sangat berharga tentang perbedaan pendapat yang saling memberikan alasan-alasan.
Ditambah lagi gejolak politik yang memasuki area pendidikan terkait dengan
pembinaan,penulisan dan pembukuan hadis yang pandu oleh para guru ketika itu. Dan
saat sekarang langkah para pendahulu itulah yang harus kita tanamkan pada diri kita
terutama kegigihannya menuntut ilmu melalui para Sahabat dan kegigihannya untuk
mempertahankan pendapatnya yang akhirnya tercapai keinginannya mampu dan bisa
mereka membukukan hadis-hadis yang benar-benar dari  Rasulullah SAW, dan dengan
kegigihan merekalah kita bisa mengetahui, menggali serta mencari hadis-hadis yang
sudah dibukukan para pendahulu tersebut.

C.  Wilayah Perkembangan hadis pada masa Tabi’in  

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak


berberda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagaimanapun. Mengikuti
para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka
agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para
sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman para
sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah
para tabi’in mempelajari hadis. Daerah-daerah yang telah di tempati oleh para sahabat
untuk mengembangkan ajaran Islam dan dijadikan mereka sebaagai pusat pembinaan
periwayatan hadis. Pada masa ini daerah  kekuasaan Islam semakin luas. Banyak
Sahabat ataupun Tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru
dikuasai, disamping  banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah.

Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,


sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah
Madinah Al- Munawwaroh, Makkah Al- Mukarromah, Kufa, Basrah, Syam, Mesir,
Maghribi dan Andalus, Yaman dan Kurasan. Dari sejumlah para sahabat Pembina
hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup
banyak, antara lain Abu Hurairah,Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah,
Abdullah Ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al Khudri. Pusat pembinaan
pertama adalah:

a.Madinah

Madinah, adalah tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menetap


setelah hijrah. Disini pulalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membina
masyarakat islam yang didalamnya terdiri atas Muhajirin, dan Anshar dari berbagai
suku atau kabilah, di samping dilindunginya umat-umat non mulim, seperti Yahudi.
Para sahabat yang menetap disini, diantaranya Khulafa’ Al- Rasyidin, Abu Hurairah,
Siti Aisyah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-khudri, dengan menghasilkan para
pembesar Tabi’in. Pembesar-pembesar Tabi’in itulah mereka yang telah diuraikan
sebagai fuqoha yang Tujuh yakni: Said ibnAl-Musyayyab, urwah ibn Zubair,ibn Syhab
Al-Zuhri, Ubaidillah ibn Utbah Mas’ud dan Salim ibn Abdillah ibn Umar.

b. Mekkah

 Mekah salah satu tempat para Sahabat berdiam mengajarkan hadis diantara
Sahabat itu  adalah: Mu’adz ibn Jabal,’Atah ibn Asid, Haris ibnu Hisyam, Utsman ibn
Thalhah, dan Utbah ibn Al-Haris. Para Sahabat ini dicari dan didekati oleh para
Tabi’in, bagaimana mereka itu supaya mendapatkan Hadis dari para Sahabat. Diantara
para Tabi’in yang pergi ke Mekkah adalah: Mujtahid Ibn Jabar, Ataha’ ibn Abi Rabah,
Thawus ibn Kaisan dan Ikrimah maula Ibn Abbas.

c. Kufah

Kufah merupakan tempat para Sahabat Rasul untuk beraktipitas membina dan
menyebarkan serta mengembangkan hadis kepada para penuntut ilmu didaerah itu,
diantara para Sahabat yang ada dikufah adalah: Ali bin abi Talib, Sa”ad ibn Abi
Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Mereka inilah yang sempat tinggal dinegri Kufah
untuk mengkaji tentang Hadis Rasulullah dengan para Tabi’in, karena para Sahabat
diketahui para Tabi’in ada di Kufah maka ketika itulah para Tabi’in pergi menemui
para Sahabat, diantara Para Tabi’innya adalah:  Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid
Al-Nakha’i, Said ibn Zubair Al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrashim Al-
Nakha’I dan Abu Ishaq Al-Sa’bi.

d. Basrah

Kawasan Islam semakin meluas dalam mengembangkan hadis para Sahabat


dari Kufah sudah sampai pula ke Basrah dengan rasa semangat dan gembira untuk
menyebarkan hadis baik itu penulisannya begitu juga untuk pembukuannya. Para
Sahabat yang ada di Basrah itu adalah: Anas Ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, ‘Imran
ibn Husin, Ma’qal ibn Yasar, Abdurrahman ibn Samrah, dan Abu Said Al-Anshari.
Mereka semata-mata mengembangkan dan membina orang-orang yang menuntut ilmu
hadis baik yang berasal dari negri itu sendiri termasuk orang yang datang untuk
mencari hadis kepada para Sahabat, terutama para Tabi’in yang hadir diBasrah antara
lain:  Hasan Al- Basri,Muhammad ibn Sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibn’Ubaid,
Abdullah ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al- Sudusi dan Hasyim Ibn Hasan.

e. Syam
Para Sahabat tidak sedikit jumlahnya wilayah masih ada yang akan ditempati
salah satunya Syam, disini waktu itu belum ada Sahabat yang akan mengembangkan
ilmu Hadis disaat itu para Sahabat pergi kesana antara lain: Abu Ubaidah Al Jarrah,
Bilal ibn Rabah, Ubadah ibn Shamit, Mu’adz ibn Jabal, Sa’ad ibn Ubadah, Abu Qarda’
Surahbil ibn Hasanah, Khalid ibn Walid dan ‘Iyad ibn Ghanam. Merka inilah yang
berada diwilayah Syam, sedangkan para Tabi’in yang datang menemui mereka para
Sahabat adalah:

Salim ibn Abdillah Al-muharibi, Abu Idris Al-kaulani, Abu Sulaiman Al-Darani, dan
Umar ibn Hana’i. Mereka berempat yang sempat meminta pembinaan para sahabat di
Syam tentang hadis yang akan di pertanggungjawabkan mereka akan kebenaran dan
kesahihan hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa
Sallam.

F. Mesir

Wilayah mesir tidak pula tinggal dari pembinaan para sahabat yang
menunggu orang-orang yang akan menemui mereka. Orang tidak akan berdiam begitui
saja diwilayahnya Mesir, tapi banyak orang mencari informasi keberadaan sahabat-
sahabat Nabi dimana mereka berada.Sahabat yang ada dilayah Mesir adalah: Amr ibn
Al-Ash, Uqbah ibn Amr, Kharizah ibn Huzafah, dan Abdullah ibn  Al-Haris. Karena
Mesir merupakan wilayah yang sudah ditempati para Sahabat maka tumbuh pulalah
disini tabi’in antara lain: Amr ibn Al-Harist, Khair ibn Al-Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid
ibn Abi Habib, Abdullah ibn Abi Jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil.
Kedudukan para Tabi’in diMesir membuktikan semakin meluasnya wilayah Islam
terutama dibidang pembinaan hadis.

g. Andalus

Meluasnya wilayah binaan hadis sampai pulalah kewilayah Andalus.


Keberadaan para sahabat membuat orang semakin semangat untuk mencari lagi akan
kebenaran hadis. Orang tidak kenal lelah walaupun jauh wilayah yang akan ditujunya
demi mencari ilmu hadis diwilayah ini ditemui pula beberapa orang sahabat
diantaranya: Mas’ud ibn Al-Aswad Al-Balwi, Bilal ibn Harisim, Aslima Al-Muzami,
Salamah ibn Al-Akwa dan Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Muid. Sahabat-sahabat ini pun
tidak luput dari carian para Tabi’in, mereka para Tabi’in berlomba pergi menjadikan
hari-harinya bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan pembinaan hadis. Diantara
Tabi’in yang pergi keAndalus adalah: Ziyad ibn An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn
Ziyad, Yazid ibn Abi Mansur, Al-Mughirah ibn Abi Burdah, Rifa’af ibn Rafi’ dan
Muslim ibn Yasar. Perjuangan para Tabi’in untuk menemui para Sahabat cukup berat
terutama pisiknya sangat teruji untuk bisa jalan kaki sebagiannya ada yang
menggunakan kapal laut.

h. Yaman

 Sahabat itu juga ada juga yang pergi ke daerah Yaman untuk pembinaan
hadis juga yang membuat para Tabi’in mencari para Sahabat yang dietemui mereka di
Yaman itu adalah: Mu’azd ibn Jabal, dan Abu Musa Al-Asy’ary kedua orang sahabat
ini telah dikirim kedaerah ini  sejak masa Rasul Shallallhu Alaihi wa Sallam masih
hidup. Begitu lamanya  dua sahabat ini  di Yaman  tapi para Tabi’in tetap bersemangat
untuk menemui Sahabat demi mendapatkan hadis. Maka para Tabi’in yang pergi
keYaman itu adalah: Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Tha’wus dan
Wahab ibn Munabah dan Tha’awus dan Ma’mar ibn Rasyid. Dikurasan masih ada juga
para Sahabat yang menjadi tempat para Tabi’n untuk menggali ilmu hadis diantaranya
adalah: Muhannad  ibn Ziyad Muhammad Ibn Al- Anshari, dan yaha ibnu sabih Al-
Mugri.

Periode ini disebut Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar ( masa


perkembangan dan meluasnya periwayatan hadis) Pada masa ini, daerah Islam sudah
meluas, yakni kenegri Syam, Irak, Mesir, Samarkand,bahkan pada tahun 93 H, meluas
sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-
daerah tersebut, terutama dalam ranghka tugas memangku jabatan pemerintahan dan
penyebaran ilmu hadis. Para sahabat kecil dan Tabi’in yang ingin mengetahui hadis-
hadis Nabi SAW diharuskan berangkat keseluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah
untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar diwilayah
tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis
kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perawatan untuk mencari hadispun menjadi
ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan
lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis diberbagai daerah diseluruh negri.
Diantara bendaharawan hadis yang banyak menerima menghafal, dan
mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:

1.    Abu Hurairah, manurut Ibn Umar meriwayatkan 5.374 hadis sedangkan menurut
Al-Kiramany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.

2.    Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.

3.    Aisyah, istri Rasulullah Shallallhu Alaihi wa Sallam meriwayatkan 2.276 hadis.

4.    Abdullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadis

5.    Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.

6.    Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.

Nama-nama yang telah diuraikan diatas hanya mewakili dari Tabi’in yang
tidak terhitung jumlahnya apalagi tentang hafalan hadisnya inilah guna kita untuk
memperbanyak membaca dan menyeleksi akan hadis-hadis yang sudah di bukukan
oleh para Sahabat terutama dizaman Tabi’in. Apalagi sekarang ini berbagai sumber
yang bisa digunakan untuk mengakses hadis-hadis yang benar dan sahih bisa diambil
langsung dari sumber dasarnya baik itu yang dari Madinah begitu juga makkah
termasuk dari wilayah-wilayah yang lain. Marilah kita berusaha, bersemangat untuk
mendapatkan ilmu hadis ini semoga kita mengtahui akan kesahihan hadis itu bahkan
mengerti kita akan siapa perawinya bagaimana matan dan sanadnya.

Kesungguhan Tabi’in dapat dilihat dari nukilan mereka yang sempat berbekas
bagi generasi penerusnya. Dengan nukilan para Tabi’in itulah terbuktinya dapat kita
menyimpulkan bahwa pembukuan dan penulisan Hadis dimasa Tabi’in ini boleh
dikatakan berhasil untuk itulah mari kita mencontoh langkah-langkah yang dilakukan
oleh para Tabi’in terhadap para Sahabat. Mudah-mudahan Allah akan selalu menjaga
dan memelihara akan kebenaran dan keaslian hadis Rasulullah SAW.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Pengertan Tabi’in bermacam pendapat, namun yang kami ambil hanya dua
pengertian saja yakni Orang yang bertemu dengan Sahabat dengan cara iman dan
Islam baiik lama ataupun baru sampai wapatnya dalam keadaan Islam.

Asal usul pembukuan hadis dimasa Tabi’in mengalami perdebatan dan saling
mempertahankan pendapat masing-masing serta memberikan alasan-alasan yang kuat
dari berbagai pengalaman dan usahanya, namun akhirnya satu kesimpulan yang
diambil mereka kembali kepada pembukuan hadis yang sebenarnya Wilayah-wilayah
yang ditempati oleh para sahabat didatangi oleh para Tabi’in dengan tujuan ingin
mengetahui hadis yang sebenarnya yang telah didapati langsung dari Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam. Dari usaha para Tabi’in pergi ke berbagai wilayah yang
di situ ada Sahabat maka Tabi’in berhasil untuk mengetahui hadis-hadis bisa
dihafalnya bahkan tahu berapa banyak hadis yang dihafal oleh para Sahabat begitu
juga para Tabi’in sampai kepada jumlah hafalan yang dikuasi oleh Sahabat termasuk
Tabi’in.

B.  Saran

Makalah yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku
reperensi, penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis
mengharap kritikan dan masukan dari pembaca makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai