Anda di halaman 1dari 11

Klasifikasi Hadits Shahih, Hasan, dan Dha’if

Oleh Rudi Ruhimat


Pendahuluan

Agama Islam adalah anugrah yang sangat agung yang diturunkan oleh Allah ‫ع ّزوج ّل‬.
Seluruh kunci keselamatan manusia di dunia maupun di akhiran telah ada dalam Islam. Hal
itu tidak lain adalah bentuk kasih sayang Allah ‫ ع ّزوج ّل‬atas makhluknya agar mencapai
kebahagiaan yang sesungguhnya. Sebagai makhluk yang tidak luput dari salah dan lupa,
manusia tidak akan mampu mencapai kesuksesan yang hakiki tanpa tuntunan atau petunjuk
Islam. Manusia harus senantiasa sadar bahwa mereka dapat hidup di dunia ini karena ada
yang menciptakan dan yang menciptakan itu pasti akan selalu lebih mengetahui mengenai
apa yang telah diciptakannya. Allah Sang Pencipta manusia lebih mengetahui kondisi,
kebutuhan, dan kebaikan untuk setiap manusia dari pada manusia itu sediri. Oleh karena itu
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan peraturan dan bimbingan berupa syari’at Islam demi
kebaikan makhluk ciptaanya.
Syari’at yang Allah turunkan dalam Islam seluruhnya mengandung kebaikan. Tidak
ada satupun tutunan agama Islam yang akan menjerumuskan dan itu merupakan suatu
kemustahilan. Akan tetapi terkadang manusia tidak mengerti atau bahkan dibutakan oleh
hawa nafsu yang buruk. Sebagian manusia menganggap bahwa tidak seluruhnya ajaran Islam
itu membawa maslahat karena tidak sesuai dengan kebiasaan mereka, bertentangan dengan
akal mereka atau bahkan membatasi kebebasan mereka. Hakikatnya, inilah keterbatasan
manusia yang sesungguhnya. Mereka tidak mengetahui atau tidak sadar bahwa manusia
adalah makhluk lemah dan terbatas. Kondisi yang lebih parah lagi adalah mereka
menunjukan kebodohan itu dengan diselimuti istilah kritis dan filosofis. Memang tidak ada
yang salah dengan sikap kritis dan filosofis, namun yang menjadi permasalahan adalah
penempatan kedua sikap tersebut. Jika penempatannya tepat justu kedua sikap ini akan
menjadi sangat positif. Akan tetapi jika tidak tepat, hal ini akan menjadi berantakan. Tempat
yang tidak tepat dalam menempatkan sikap ini biasanya berkaitan dengan hal-hal yang ghaib
yang tidak mampu diterawang dan tidak mampu diperoleh informasinya kecuali melalui jalur
wahyu.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada orang-orang pilihan-Nya adalah petunjuk
yang patut untuk diyakini dan diikuti. Sesungguhnya, setiap wahyu yang diturunkan oleh
Allah ‫ ع ّزوج ّل‬kepada utusan-Nya tidak akan pernah ada yang menyelisihi fitrah manusia.

1
Semuanya akan terasa sinkron bagi orang-orang yang berhati sehat. Jenis wahyu yang
diturunkan ada dua macam, pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah Al-Hadits. Al-
Qur’an adalah wahyu yang seluruhnya dari Allah ‫ ع ّزوج ّل‬baik itu redaksi maupun maknanya.
Sedangkan Hadits adalah ucapan Rasulullah ‫ ص لى هللا علي ه وس لم‬yang menyimpulkan hal-hal
yang ditunjukan oleh Allah ‫ع ّزوج ّل‬.
Al-quran adalah wahyu yang terjaga dan akan senantiasa dijaga oleh Allah sepanjang zaman
sampai hari kiamat sesuai dengan janji dan ketentuan Allah yang telah tercantum dalam
firman-Nya. Demikian pula dengan Hadits Nabawiyyah, akan mendapat penjagaan dari Allah
melalui para ulama yang Allah kehendaki berkompeten di bidangnya. Hadits lebih banyak
dihadapkan dengan rintangan dan tantangan dalam menjaga keutuhan dan kemurniannya di
sepanjang perjalanannya. Hal tersebut mungkin karena hadits itu merupakan ungkapan
bahasa arab yang mudah ditiru dan mudah dipalsukan. Berbeda dengan Al-Quran yang
memiliki karakteristik yang kuat dan nilai sastra yang tidak mungkin bisa ditiru atau
dipalsukan oleh manusia secerdas apapun meskipun hanya satu ayat. Oleh karena itu
perjalanan hadits memiliki dinamika yang sangat dinamis dibandingka Al-Quran. Para ulama
yang Allah kehendaki untuk menjaga ilmu hadits menyusun dan merumuskan kedudukan
hadits ke dalam beberapa tingkatan yakni hadits Shahih, Hasan, Dhoif dan Maudhu.

Latar Belakang

Pada masa Rasulullah ‫ صلى هللا عليه وسلم‬sampai masa parara shahabat, hadits-hadits nabi masih
lebih terjaga kemurniannya. Hal itu karena Rasulullah masih hidup dan masa para sahabat
masih sangat terjaga amanah mereka. Begitu juga pada masa tabiin dan tabi’ut tabiin, ini
merupakan empat masa gemilang yang dijanjikan dalam hadits Rasulullah ‫صلى هللا عليه وسلم‬.

“Sebaik-baik manusian adalah pada zamanku (Rasulullah dan Shahabat) kemudian yang
setelahnya (Tabi’in), kemudian yang setelahnya (Tabi’ut tabi’in).” (Al- Hadits)

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban yang kemudian Islam tersebar
dengan luas ke seluruh jazirah arab, mulailah muncul berbagai polemik dan problematika
dalam persatuan umat. Mulai dari bermunculannya berbagai firkoh yang menyimpang hingga
para penguasa yang dzalim dan para pelajar yang tidak adil dalam menyampaikan ilmu.
Seiring dengan gejolak tersebut, ilmu hadits juga mendapatkan begitu banyak serangan dan
ancaman. Artinya, saat itu begitu banyak orang yang tidak adil atau bahkan ingin merusak
2
kemurnian agama islam dengan cara menyerang dan memalsukan hadits-hadits Rasulullah
‫صلى هللا عليه وسلم‬. Bahkan dalam sebuah kitab sejarah ada seorang yang dianggap ulama yang
telah ditangkap oleh Khalifah Harun Al-rasyid pada masa Abasiyyah, orang itu ditangkap dan
dihukum kemudian diminta untuk mengakui berapa hadits palsu yang telah dia buat. Dia
mengakui lebih dari seribu hadits. Ini baru dari satu orang saja yang tertangkap, belum lagi
jika masih ada orang-orang dzalim lainnya ataupun murid-murid mereka yang sudah
meyakini dan menyebarkan hadits palsu mereka.
Bertolak dari keprihatinan dan problematika tersebut, maka lahirlah para pemerhati yang
sangat peduli terhadap kemurnian hadits-hadits Rasuluullah ‫صلى هللا علي ه وس لم‬. Mereka rela
mengorbankan seluruh harta benda mereka dan mengerahkan segala kemampuannya demi
mengembalikan keutuhan dan keaslian hadits Rasulullah ‫صلى هللا عليه وسلم‬. Mereka meneliti
dan menyeleksinya dengan begitu ketat hingga mereka menjadi orang yang berkompeten di
bidangnya yang mampu menghafal ribuan bahkan ratusan ribu hadits. Mereka dikenal
sebagai para ulama hadits yang melahirkan ilmu klasifikasi hadits yang di dalamnya
mencakup hadits shahih, hadits hasan, hadits dho’if, dan maudhu. Makalah ini akan mencoba
memaparkan pengertin dari klasifikasi tersebut yang mencakup hadits shahih, hasan dan
dha’if. Kemudian akan dipaparkan pula mengenai beberapa metode ulama dalam
mengkasifikasi derajat suatu hadits.

3
Pengertian Hadits Shahih, Hasan, dan Dha’if1

1. Hadits Shahih

Secara etimologi, sahaih berarti selamat dari cela atau cacat 2. Sedangkan menurut istilah ilmu
hadits, shahir berarti satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,
disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna
(dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz)
dan tidak ada illat yang berat.

Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits shahih memiliki beberapa syarat
yaitu,

1. sanadnya bersambung, artinya setiap perawi telah mengambil hadits secara langsung
dari gurunya dan begitu seterusnya hingga sampai runtutannya kepada Rasulullah ‫صلى‬
‫هللا عليه وسلم‬.
2. Para perawinya yang adil adalah seorang perawi harus muslim, berakal, baligh, tidak
fasik, dan berperangai baik.
3. Dhabith, hal ini terbagi menjadi dua yaitu dhabith shader dan dhabith kitab
a. Dhabith shadr yaitu seorang perawi telah menghafal sempurna hadits tersebut
dalam ingatannya sehingga mampu mengungkapkannya kapan saja.
b. Dhabith kitab adalah bila seorang perawi menjaga hadits yang didengarnya
dengan tulisannya.
4. Tidak ada syudzudz yaitu seorang perawi tidak menyelisihi perawi yang lebih
terpercaya darinya berdasarkan penilaian para ulama dan kaidah keilmuan.
5. Tidak boleh ada illat yang berat dalam hadits tersebut yakni hadits tersebut tidak
boleh cacat. Illat adalah suatu cacat tersembunyi yang akan diketahui oleh para pakar
peneliti hadits. Illat pada suatu hadits akan mempengaruhi derajat hadits tersebut.

1
Al-Qaththan, Manna. 2004. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Terjemahan). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal. 117-
131
2
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. Hal. 764

4
Contoh hadits shahih adalah,

‫عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي هللا عنه قال سمعت رسول هللا صلى هللا علي ه وس لم‬
‫ فمن ك انت هجرت ه إلى هللا ورس وله فهجرت ه إلى‬, ‫ وإنما لكل امرئ ما نوى‬, ‫يقول " إنما األعمال بالنيات‬
‫ ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه " متفق عليه‬, ‫هللا ورسوله‬

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu
tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang
siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan
Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang
wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.

(Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul
Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua
kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim
no. 1907)

Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya
dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada
beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada
akhir bab Jihad.

2. Hadits Hasan

Hasan scara etimologi berarti baik dan bagus.3 Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang
sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil,
kurang dhabithnya, serta tidak ada syudzudz dan illat yang berat di dalamnya.

Kekuatan hukum hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih walaupun derajatnya lebih
rendah. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada dhabithnya saja. Hadits shahih
memiliki dhabith yang sempurna sedangkan hadits hasan dhabitnya kurang.

Selain dua istilah di atas, kita juga sering menemukan istilah hadits hasan shahih. Istilah ini
muncul ketika ada dua jalur periwayatan hadits yang satu berpendapat hasan dan yang lain

3
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. Hal. 264-
265

5
berpendapat shahih. Maka diambil kesimpulan oleh para ulama yang meriwayatkan
setelahnya menjadi hadits hasan shahih.

Ada pula istilah hadits sahihul isnad atau hasanul isnad. Hal ini mengisyaratkan bahwa hadits
tersebut memiliki derajat shahih atau hasan dalam sanad. Derajat tersebut berbed dengan
hadits yang dihukumi shahih atau hasan saja. Hadits shahihul isnad atau hasanul isnad
memiliki derajat shahih atau hasan dalam sanadnya saja namun matannya memiliki
kelemahan karena syadz atau illat.

Contoh hadits Hasan adalah,

‫عن أبى سعيد بن سعد بن سنان الخدري – رضي هللا عنه – أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال " ال‬
‫ضرر و ال ضِ رار " حديث حسن رواه ابن ماجه و الدارقطني و غيرهما مسندا ورواه مالك في الموطأ‬
‫ وله طرق أخرى‬، ‫مرسال عن عمرو بن يحيى عن أبيه عن النبي صلى هللا عليه وسلم فأسقط أبا سعيد‬
‫يقوي بعضها بعضا‬

Dari Abu Sa'id, Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri radhiyallahu anhu, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Janganlah engkau
membahayakan dan saling merugikan”.

(HR. Ibnu Majah, Daraquthni dan lain-lainnya, Hadits hasan. Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa sebagai Hadits mursal dari Amr bin Yahya dari
bapaknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa menyebut Abu Sa’id. Hadits ini
mempunyai beberapa jalan yang saling menguatkan)

[Ibnu Majah no. 2341, Daruquthni no. 4/228, Imam Malik (Muwaththo 2/746)]

3. Hadits Dha’if

Dha’if secara etimologi berarti lemah.4 Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, dha’if berarti
sebuah hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahi maupun syarat hadits hasan.
Hadits dhaif memiliki beberapa tingkatan yaitu, dhaif, dhaif jiddan, wahi, munkar, maudhu.

Sebuah contoh hadits dhoif yang ditelaah dan dikomentari oleh para ulama yang bunyinya,
“Barangsiapa yang shalat 6 rakaat setelah shalat maghrib dan tidak berbicara sedikit pun di
antara shalat tersebut, maka baginya sebanding dengan pahala ibadah selama 12 tahun.”

4
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. Hal. 822

6
Diriwayatkan oleh Umar bin Rasyid dari Yahya bin Abi katsir dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah. Komentar Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Daruquthni mengatakan bahwa
Umar bin Rasyid ini dha’if. Haditsnya tidak bernilai sama sekali, kata Imam Ahmad.
Sedangkan Imam Bukhari menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan dan munkar. Begitu pula
komentar Ibnu Hibban yang mengatakan bahwa tidak halal menyebutkan hadits tersebut
kecuali untuk dijadikan contoh sebagai hadits yang cacat. Penyebab kelemahan Umar bin
Rasyid ini adalah, karena dia telah memalsukan hadits dari atas nama ulama-ulama yang
tsiqah.

Selain itu ada pula beberapa contoh sanad yang dha’if yang juga menobatkan
ketersambungan jalurnya kepada para shahabat, di antaranya:

1. Shadaqah bin Musa Ad-Daqiqy dari Farqad As-Sabakhy dari Murrah At-thib dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
2. Muhammad bin Marwan dari Kalaby dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas.
3. As-Sariy bin Ismail dari Dawud bin Yazid Al-Azdy dari bapaknya dari Abu Hurairah.
4. Muhammad bin Qais Al-Maslub dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Yazid dari
Qasim dari Abu Umamah.

Mengamalkan hadits dha’if pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh, namun sebagian
ulama masih ada yang berpendapat tentang kebolehannya asalkan dengan berbagai syarat
yang begitu ketat. Berikur ini adalah pendapat para ulama yang berkomentar tentang
pengamalan hadits dhoif di antaranya:

1. Para ulama muhaqqiq atau ahli hadits berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh
diambil dan diamalkan sama sekali dalam urusan apapun yang menyangkut syariat
Islam.
2. Para ahli fikih berendapat bahwa dibolehkannya mengamalkan hadits dha’if jika tidak
didapatkan hadits yang lain dalam suatu permasalahan yang sama.
3. Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan hadits dhoif sebagai motivasi
beramal dan mencegah maksiat serta fadilah-fadilah beramal, sedangkan dalam
masalah akidah dan penentuan hala- haram, mereka melarangnya.
Para ulama ini juga menetapkan syarat-syarat dalam mengamalkan hadist dhaif di
antaranya:
a. Kelemahan haditsnya tidak seberapa

7
b. Hadits tersebut sejalan dan tidak bertolak belakang dengan ketentuan syariat yang
shahih
c. Jangan meyakini bahwa yang kita amalkan adalah hadits Nabi.

Metode Klasifikasi Hadits yang Dilakukan Para Ulama

Pada pembahasan klasifikasi ilmu hadits, para ulama memiliki berbagai istilah. Begitu pula
dalam menyepakati kesahihan hadits ada dua macam kriteria,

Pertama, kriteria yang munttafaq alaiha yaitu kreteria yang disepakati oleh para ulama, baik
Imam al-Bukhari maupun yang lainnya. Kedua, kriteria yang mukhtalafun fiha yaitu kreteria
yang masih diperselisihkan oleh para ulama.

Kriteria hadits shahih yang munttafaq ada lima macam dan sama dengan yang disebutkan
sebelumnya, yaitu: 5

1. Ittishalus Sanad (sanadnya bersambung). Artinya sebuah hadits dapat dimasukkan dalam
kategori shahih jika sanadnya bersambung, yakni setiap perawi benar- benar meriwayatkanya
langsung dari gurunya, dan gurunya langsung dari gurunya, demikianlah hingga bersambung
kepada Rasulullah .‫ص ًل هللا عليو وسلم‬

2. 'Adalatur Ruwah (para perawinya adil). Maksudnya perawinya harus seorang Muslim,
mukallaf, berakal, baligh, selamat dari kefasikan atau dosa besar dan tidak terus menerus
melakukan dosa-dosa kecil, dan menjaga martabat atau muru'ah. Menjaga muru'ah
maksudnya menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak martabat dan menurunkan harga
diri seseorang meskipun tidak berdosa secara syara'.

3. Tamamudh Dhabth, yaitu super kuat dalam menjaga hafalan dan perawatan naskah.
Dhabth ini ada dua macam, yaitu Dhabthu Shadr, maksudnya adalah kuatnya hafalan

5
Kholis, Nur. 2013. Terjemah Shahih Bukhari. www.ibnumajjah.wordpress.com. “Lihat Tadrib al-Rawi Syarh
Taqrib al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, 1/61-69 (Riyadh: Dar Thaibah, 1422 H). Dengan
diringkas oleh penulis. 18 al-Ta'liqat al-Atsariyah ala al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Ali bin Hasan al-Halabi
(Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1428 H), hlm. 21”.

Lihat juga Usamah, Abu Umar Athaya Al-Utaibi. 2007. Kaidah Emas dalam Mengetahui Hadits Shahih dan
Dha’if (terjemahan). http://dear.to/abusalma.

8
terhadap hadits yang sudah didengarkan dari gurunya, ia ingat terhadap hapalannya itu kapan
saja diperlukan. Dan Dhabtu Kitab, maksudnya adalah sangat berhati-hati dalam menjaga
tulisan hadits yang dipelajari dari gurunya, setelah ia mentashihnya, baik dengan cara
memperdengarkannya kepada sang guru atau teman seprofesinya, jika ada kesalahan dalam
tulisannya, ia segera membetulkannya. Ia menjaganya sampai ia meriwayatkannya kepada
muridnya.

4. Ghairu Syadz, yaitu perawinya tidak bertolak belakang dan bertentangan dengan
periwayatan perawi lain yang semisalnya yang jumlahnya lebih banyak atau lebih tsiqah
darinya.

5. Ghairu Mu'allal. Hadits shahih harus selamat dari 'illah qadihah, yaitu suatu cacat yang
tersembunyi dibalik hadits yang dapat merusak keshahihan hadits tersebut, sekalipun secara
dhahir tampaknya tidak ada masalah.

Adapun kriteria hadits shahih yang mukhtalaf fiha cukup banyak diantaranya :

- Perawi harus masyhur (terkenal) menurut al-Hakim.

- Perawi harus lebih dari satu orang menurut mu'tazilah.

- Perawi harus faqih menurut Imam Abu Hanifah.

- Pada hadits mu'an'an, Imam Bukhari mensyaratkan bahwa semua perawi harus bertemu
dengan gurunya meskipun satu kali, artinya hadits mu'an'an tersebut masuk kategori hadits
shahih atau muttashil sanadnya, jika memenuhi kreteria-kreteria hadits shahih yang muttafaq
alaiha ditambah dengan kreteria lain yaitu semua perawinya harus bertemu dengan gurunya
meskipun satu kali, tidak cukup hanya hidup satu masa (mu'asharah) dan Imkanul Liqa'
(memungkinkan bertemu antara keduanya) dan masih banyak lagi kriteria-kriteria lain yang
mukhtalafun fiha.

Akan tetapi, kriteria hadits shahih yang mukhtalaf fiha ini sudah mendapat jawaban dari para
ulama bahwasanya kriteria hadits shahih yang muttafaq alaiha (disepakati) sudah mewakili
kriteria hadits shahih yang mukhtalaf fiha (diperselisihkan). Adapun kreteria yang
disyaratkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menurut mereka bukanlah kriteria hadits yang
hanya mendapatkan label shahih akan tetapi merupakan kriteria hadits yang paling shahih.

Mengenai hadits mu'an'an, jumhur ulama berpendapat bahwasannya hadits tersebut dapat
dikatakan shahih atau muttashil sanadnya, jika memiliki dua syarat. Pertama; perawi

9
(mu'an'in) bukan seorang mudallis. Kedua; antara perawi (mu'an'in) dan gurunya (mu'an'an
'anhu) memungkinkan untuk bertemu dan hidup dalam saru masa (mu'asharah). Adapun
Imam al-Bukhari tidak demikian, syarat beliau ‫ رحم و هللا‬lebih ketat dibandingkan syarat
jumhur, sebagaimana yang disebutkan di atas, beliau mensyaratkan liqa' (bertemu antara
perawi dan gurunya). Oleh sebab itu Shahih Bukhari lebih unggul dibandingkan yang
lainnya.

Kemudian dalam hal perawi, Imam al-Bukhari memilih perawi tingkat pertama dalam hal
dhabith, itqan dan thulul mulazamah, yakni perawi yang sangat kuat hafalannya, takwa dan
sangat lama ber-mulazamah kepada gurunya. Perawi semacam ini beliau jadikan sebagai inti
dari kitabnya. Kemudian Imam Bukhari ‫ رحم و هللا‬memilih itqan dan mulazamah pada
tingkatan di bawahnya sebagai ittishal dan ta'liq. Adapun Imam Muslim ‫رحمو هللا‬, murid Imam
al-Bukhari ‫ رحمو هللا‬, beliau menjadikan tingkatan itqan dan mulazamah tingkat kedua ini
sebagai inti dari kitabnya. Oleh sebab itu Shahih Bukhari secara global lebih unggul
dibandingkan Shahih Muslim. Syarat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya jika dibandingkan
dengan syarat para penulis kitab Sunan, maka sudah jelas syarat Imam al-Bukhari jauh lebih
ketat, karena ia hanya memasukkan hadits-hadits shahih saja sebagai inti kitab, berbeda
dengan para penulis sunan, mereka memasukkan bermacam-macam hadits dalam kitab-kitab
mereka, ada yang shahih ada yang hasan dan ada pula yang dha’if maupun dha’if jiddan.

Kesimpulan

Beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah:

1. Hadits Nabi akan Allah jaga melalui para ulama yang gigih dalam meneliti hadits.
2. Lahirnya ilmu klasifikasi hadits disebabkan oleh bermunculannya hadits dha’if dan
palsu.
3. Menentukan derajat suatu hadits dilakukan dengan meneliti matan dan perawi hadits
dengan sangat teliti dan ketat.
4. Hukum mengamalkan hadits dha’if adalah terlarang kecuali dengan berbagai syarat
dan kriteria yang ditetapkan para ulama, maka boleh mengambil faidah dari hadits
dha’if tersebut

10
Daftar Pustaka

1. Al-Qaththan, Manna. 2004. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Terjemahan). Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar.
2. Munawir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif.
3. Usamah, Abu Umar Athaya Al-Utaibi. 2007. Kaidah Emas dalam Mengetahui Hadits
Shahih dan Dha’if (terjemahan). http://dear.to/abusalma.
4. Kholis, Nur. 2013. Terjemah Shahih Bukhari. www.ibnumajjah.wordpress.com.
5. Hadits Arba'in An-Nawawi, Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied Free for non comercial use
- Versi 1.0, 2005.

11

Anda mungkin juga menyukai