Pendahuluan
Meneliti sejarah bangsa Indonesia tidak akan lepas dari umat Islam, baik dari perjuangan
melawan penjajah maupun dalam lapangan pendidikan. Melihat kenyataan betapa bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan berjuang secara tulus ikhlas
mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping mengadakan perlawanan militer.
Di antara ciri-ciri Islam yang dapat menduduki ranking par-excellence (istimewa) ialah
kerana sifatnya yang universal, setiap aspek kehidupan tidak terlepas dari peraturannya
tidak terkecuali aspek politik dan dunia pendidikan di Indonesia. Kaum kolonial
Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda
(antara imperialis dan kristenisasi) justru sangat merusak dan menjungkir balikkan tatanan yang
sudah ada. Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia sudah
bermotif ekonomi, politik dan agama.1
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Situasi dan Kondisi Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda Datang?
2. Apa Latar Belakang Kedatangan Belanda dan VOC ke Hindia Belanda?
3. Seperti apa Politik Belanda dan Politik Islam Hindia-Belanda?
4. Bagaimana Perlawanan yang dilakukan Pribumi Terhadap Penjajahan Belanda?
5. Apa saja Organisasi Islam yang Lahir pada Masa Kolonial?
PEMBAHASAN
2. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 374-375
3. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 231
4. Nur Huda, Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
2007), hlm. 67
4
2. Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, demikian juga peranan
pedagang dan pelayar Jawa, dan
3. Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.5
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah didalam kekuasaan Mataram, yang ketika
itu di bawah Sultan Agung. Pada Masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak-kontak bersenjata
antar kerajaan Mataram dan VOC Mulai terjadi.
Meskipun ekspansi Mataram telah menghancurkan kota-kota pesisir dan mengakibatkan
perdagangan setengahnya menjadi lumpuh, namun sebagai penghasil utama pengekspor beras,
posisis Mataram dalam jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.
Sementara itu di Banten, di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain
karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram dan munculnya
Makasar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di
Indonesia bergeser. Kalau di awal abat ke-16 rute yang ditempuh ialah Maluku – Jawa – Selat
Malaka, maka diakhir abad itu menjadi Maluku - Makasar - Selat Sunda. Sehubungan dengan
perubahan itu Banten dan saingannya, Sunda Kelapa, Bertambah strategis.6
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makasar berkembang dengan pesat. Letaknya
memang strategis. Adapun faktor-faktor historis yang mempercepat perkembangan tersebut adalah:
1. Pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara
lain ke Makasar.
2. Arus migrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke
Johor dan pelabuhan-pelabuhan ke Semenanjung Melayu.
3. Blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun
India, Asia Barat dan Asia Timur.
4. Merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh pelabuhan
Makassar.
5. Usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat Makasar
mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu semua
membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.7
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan
rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik
monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis
dan Spanyol, namun ia mendapat ancaman dari Belanda yang datang ke sana.8
9 . Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 214
10. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1987), hlm. 70-71
6
benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak dengan pribumi mengenai jual
beli rempah-rempah. Dalam angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan
Banten dan Ternate, tetapi mereka gagal merebut benteng Portugis di Tidore.11
Dalam perjalanan selanjutnya VOC berhasil menguasai perdagangan di hampir seluruh
wilayah Indonesia. Berbagai jenis rempah-rempah mereka monopoli. Para penduduk harus menjual
hasil panen mereka kepada VOC dengan harga yang telah ditentukan oleh mereka yang tentunya
sangat murah. VOC melarang penjualan rempah-rempah ke pihak lain. Tindakan sewenang-
wenang VOC ini tentunya telah terlebih dahulu mendapat izin atau pengakuan oleh pengusa
setempat.
VOC terlebih dahulu menguasai atau mengalahkan penguasa setempat dengan cara apapun
misalnya dengan politik adu domba. Mereka saling mengadu domba para penguasa akibatnya
mereka saling berperang dan VOC tampil seolah-olah sebagai pahlawan atau pihak penengah yang
membantu salah satu pihak dan pada akhirya VOC mendesak diberikan imbalan misal imbalan
memonopoli perdagangan. Dengan persenjataan yang lebih modern VOC tak jarang melakukakan
penyerangan ke daerah tertentu. Walaupun melakukan perlawanan namun karena kalah strategi dan
persenjataan mereka harus menyerah dan menerima segala persyaratan yang diajukan oleh VOC.
Dalam usaha mengembangkan usaha perdagangannya, VOC nampak ingin melakukan
monopoli. Karena itu, aktivitas ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan
pedagang-pedagang pribumi karena merasa terancam.12
Pada tahun 1798 M, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta golden.
Sebelumnya pada tahun 1795 M izin operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan, dan
dibubarkannya VOC disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai
yang tidak cakap dan korup, hutang besar, dan sistem monopoli serta sistem paksa dalam
pengumpulan bahan-bahan / hasil tanaman penduduk menimbulkan kemeresotan moril baik para
penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi Indonesia pindah ke tangan
pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda ini berlangsung sampai tahun 1942 M dan hanya
diinterupsi pemerintahan Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816 M. Sampai pada tahun
1811 M, pemerintahan Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada
tahun 1816 M, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-
banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang
mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830 M, pemerintahan Hindia Belanda
menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan Suez dibuka dan industri di negeri Belanda sudah
berkembang pemerintah menerapkan politik liberal di Indonesia.13
11. Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 235.
Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis kemudian bersatu di bawah pimpinan Arung
Palaka untuk melawan Makasar. VOC mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang
itu, persekutuan Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk terlibat
dalam peperangan melawan Makasar. Dalam peperangan itu Makasar mengalami kekalahan.
Konfrontasi antara Makasar dan VOC baru berakhir setelah diadakan genjatan pada tanggal 6
November 1667.16
Selanjutnya penetrasi politik Belanda terjadi di Banjarmasin. Pada mulanya Belanda datang
pada abad ke-17, dengan susah payah mendapat izin untuk berdagang di situ, namun diusir
beberapa kali. Akhirnya Belanda mendapat izin dari Sultan Tahlilillah. Perebutan kekuasaan oleh
Pangeran Amir dan Pangeran Nata, yang mana dimenangkan Pangeran Nata dengan bantuan
Belanda, membuat kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Dan akhirnya secara de facto,
Belanda sudah menjadi penguasa politik di Banjarmasin.
Di samping itu juga Indonesia terjadi konflik intern, sehingga seperti bola dalam keranjang
yang mudah dipermainkan oleh penjajah. Dan itu terjadi karena politik pecah belah penjajah itu. Ini
semua mempengaruhi ajaran agama Islam menjadi mundur, kerajaan-kerajaan Islam dari hari ke
hari menjadi kecil dan lemah.16
Penetrasi VOC ke Minangkabau dijalankan dengan menggunakan berbagai strategi sejak
tahun 1663 M. Panglima Aceh yang berkedudukan di Minangkabau dan raja Minangkabau diberi
kredit dalam transaksinya. VOC menuntut jabatan wali negara ditempatkan di sana dan secara de
facto berarti kekuasaan ada di tangan VOC. Setelah itu, dengan cepat mengadakan kontrak dengan
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Minangkabau. Akibatnya, hubungan baik
antara Minangkabau dan Aceh terputus.17
kekuasaan belanda di Indonesia. Oleh karena itu, peranan politik kantoor voor islandsche zaken
semakin menghilang pada tahun-tahun terakhir, meskipun wewenangnya mengawasi gerakan
politik lebih dipertegas sejak tahun 1931. Kantoor ini memang harus menjamin kelangsungan
pemerintah Hindia Belanda.21
21. Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 298.
22. Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 255.
23. Samsul Munir Amin, Op.Cit, hlm. 388-389
11
muridnya yang lebih radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang yang amat berpengaruh dan
memiliki banyak murid di daerah Luhak Agam.24
Pada akhir abad ke-18, seorang ulama dari kampung Kuta Tuo yaitu Tuanku Koto Tuo mulai
mengajarkan pembaharuan-pembaharuan. Beliau mengajarkan bahwa masyarakat sudah terlalu jauh
menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kemudian ditunjukkannya bagaimana seharusnya hidup
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Sementara itu, pada tahun 1803 telah kembali dari Makkah tiga orang haji, yakni Haji Miskin,
Pandai Sikat, dan Haji Sumanik, dari delapan kota, dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Ketiga
ulama ini menyaksikan secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di Makkah meluruskan agama
dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan pula agama di negerinya Minangkabau.25
Di antara kedudukan kaum padri yang kuat adalah Bonjol. Di sini didirikan benteng yang
cukup besar, di dalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan 3 gubug kecil.
Ketika Datuk Bandoro meninggal karena terkena racun. Ia digantikan oleh Muhammad
Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku
Imam Bonjol yang lahir pada tahun 1774 adalah anak dari Tuanku Rajanuddin dari kampung
Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah lembah Alahan Panjang.
Perang saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami perkembangan baru setelah
kekuasaan asing mulai campur tangan. Kemudian kaum adat ini minta bantuan kepada Belanda.26
Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen Do Puy beserta Tuanku Suruaso (pemerintah dari
Belanda) dan 14 penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Dengan dasar
perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda. Langkah Belanda tidak
semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri akan tetapi lebih banyak ditujukan untuk
menanamkan kekuasaannya. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda menduduki Simawang dengan
membawa dua meriam dan 100 orang tentara. Sejak itu dimulailah perang padri melawan Belanda.
Peranan kaum adat sebagai musuh utama kaum padri digantikan oleh Belanda. Kaum padri
menghadap Belanda yang mempunyai sistem persenjataan yang modern serta personel yang terlatih.
Peperangan ini dapat dibagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825,
ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua antara
tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan
perjanjian dengan gerakan kaum padri yang mulai melemah. Ketika itu pihak Belanda sedang
memusatkan perhatiannya pada perang Diponegoro di Jawa. Masa ketiga antara tahun 1830-1838,
ditandai dengan perlawanan padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran.
Kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin padri.
24. Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 167-169.
25. Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 242.
26. Ibid, hlm. 242.
12
Kaum Padri mulai bergerak menyerang pos-pos Belanda dan melakukan pencegatan terhadap
pasukan patroli mereka. Pos Belanda di Semarang menjadi sasaran penyerangan kaum Padri dalam
bulan September 1821 M.27
Baru pada akhir tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang
Bonjol. Setelah jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai dikuasai oleh
Belanda. Pada akhir september 1834 pasukan Belanda menyiapkan pasukan besar untuk mulai
menyerang Bonjol. Pada tanggal 11 Mei 1835 benteng Padri di sebuah bukit dekat Bonjol juga telah
diduduki pasukan Belanda.
Pada tanggal 10 Agustus 1837 Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia lagi untuk
mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi perundingan perdamaian itu gagal. Sehingga
menyebabkan timbulnya lagi pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Dalam pertempuran bulan Oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan
Belanda di luar Benteng Bonjol. Tembak-menembak terjadi antara pasukan Belanda di luar benteng
dan pasukan padri di dalam benteng. Akhirnya benteng Bonjol yang dipatahkan oleh kaum padri
dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan Belanda. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol
beserta pasukannya terjadi pada tanggal 25 Oktober 1837 dan merupakan pukulan berat bagi
penawanan kaum padri pada umumnya. Kaum padri terpaksa meninggalkan Bonjol untuk
meneruskan perang di hutan-hutan.
Tuanku Imam Bonjol kemudian di buang ke Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 19 Januari
1839 dibuang ke Ambon pada tahun 1841 dipindahkan ke Menado, dan meninggal disana pada
tanggal 6 Nopember 1864.28
2. Perang Diponegoro
Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berlangsung antara tahun
1825 sampai dengan 1830, disebut juga perang Diponegoro atau Perang Jawa, karena meletus di
hampir seluruh daerah di Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa
Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta. Yang menjadi
pemimpin peperangan ini adalah Putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang bernama
Pangeran Diponegoro.
Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan tata pemerintahan Mataram, sebenarnya
tidak terlepas dari faktor intern dalam negara Mataram sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan
antar bangsawan. Kericuhan istana, perebutan tahta, perang antara bangsawan merupakan gejala
kronis dalam sejarah negara Mataram sampai abad ke-18.
Sementara itu, gejala baru yang timbul sebagai akibat hubungan dengan kekuasaan itu, ialah
makin meluasnya peredaran minuman keras baik dikalangan bangsawan maupun rakyat umum.
Gejala umum ini oleh golongan agama dalam istana dianggap membahayakan kehidupan agama
Islam. Golongan bangsawan yang taat menjalankan syariat agama, diantaranya termasuk Pangeran
Diponegoro, menyaksikan gejala tersebut dengan kekhawatiran.
Kekecewaan terhadap pemerintah kerajaan, yang dalam bidang politik banyak dipengaruhi
oleh Belanda, adalah sebab utama mengapa Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo dari pada
di istana. Di tempat ini ia lebih memusatkan perhatian pada soal-soal agama, pengetahuan tentang
adat, sejarah maupun hal-hal yang mengenai kerokhanian.29
Pangeran Diponegoro menggariskan maksud dan tujuan perlawanan terhadap Belanda, para
pejabat dan agen Belanda; pertama, untuk mencapai cita-cita luhur mendirikan masyarakat yang
bersendikan agama Islam. Kedua, mengembalikan keluhuran adat Jawa, yang bersih dari pengaruh
barat. Tekat yang luhur itu memantapkan hati para pengikutnya untuk memulai peperangan besar
melawan Belanda.30
Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak korban berguguran di
pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda memperkuat diri dengan melakukan benteng stelsel untuk
mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegara. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri
Belanda sekitar 3000 orang.
Pada waktu merayakan idul fitri 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro diundang ke rumah
residen untuk melanjutkan perundingan. Dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro
menuntut agar diberi kebebasan untuk mendirikan negara yang merdeka yang bersendikan Islam.
Akhirnya Ia ditawan karena tetap mempertahankan tuntutannya, kemudian di buang ke Manado
pada 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Ujung Pandang, Makasar. Di pengasingan
terakhir inilah ia meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun. 31
Walaupun perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik ulama telah menjadi
pelajaran politik umat Islam Indonesia. Penggalangan atas nama Islam telah memupuk cinta tanah
air dan anti kolonial.
3. Perang Banjarmasin
Perlawanan yang terjadi di Kalimantan Selatan, di wilayah Kerajaan Banjar berlangsung
hampir setengah abad lamanya. Perang Banjar berlangsung antara tahun 1854-1864 M, berawal dari
ketidaksenangan rakyat Banjar terhadap tindakan campur tangan pemerintah kolonial dalam urusan
intern kerajaan. Ketidaksenangan itu memuncak saat pemerintah mengakui Pangeran Tamjidillah
sebagai Sultan Banjar. Sultan baru itu tidak disenangi rakyat. 32 Di kalangan rakyat terpendam rasa
tidak senang karena persoalan pajak. Selain pajak, rakyat juga dikenakan kerja-wajib untuk
kepentingan golongan yang berkuasa. Ketidaksenangan itu juga disebabkan karena Pangeran
Tamjid adalah anak Sultan Muda dengan Nyai Aminah. Ia amat dibenci baik oleh golongan kraton
maupun rakyat. Kebiasaan mabuk menyebabkan ia dimusuhi oleh golongan agama.33 Dan juga
menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar lainnya. Akibatnya timbul
kericuhan di dalam wilayah kerajaan Banjarmasin. Melihat kericuhan yang terjadi, Belanda kembali
memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Colonel Andresen
sengaja didatangkan dari Batavia (Jakarta) untuk meneliti persoalan dari dekat. Andresen
berkesimpulan bahwa Pangeran Tamjid adalah sumber kericuhan tersebut. Ia kemudian diturunkan
dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda.34
Pengambil alihan kekuasaan itu mengalihkan penentangan rakyat yang semua diarahkan
kepada sultan Tamjidillah, kini ditunjukan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Ketika itulah
perang Banjarmasin dianggap dimulai. Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-
daerah yang di pimpin oleh Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3600
orang yang menyerbu pos-pos Belanda. Ia di dukung oleh pembesar-pembesar kerajaan lainnya.
Pangeran Hidayat sendiri berbelot kepada Pangeran Antasari untuk bersama-sama berperang
melawan Belanda.
Dalam pertempuran tersebut banyak pasukan Belanda yang tewas. Gerakan cepat yang
dilakukan Antasari sangat menyulitkan pasukan Belanda. Namun akhirnya beberapa pembesar
kerajaan yang melawan Belanda satu demi satu dapat dikalahkan atau menyerah. Pangeran Hidayat
sendiri tertangkap dan di buang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan Pangeran Hidayat, pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran
Antasari memproklamasikan suatu pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang bebas dan merdeka,
pengganti kerajaan Banjarmasin yang dirampas Belanda. Ketika itu diumumkan pengangkatan raja
baru yaitu Pangeran Antasari sendiri, dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Ibu kota sementara di tetapkan di Teweh, yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan
melawan Belanda.
Akan tetapi, tujuh bulan setelah proklamasi Pangeran Antasari jatuh sakit dan pada tanggal 11
Oktober 1862, ia wafat di Hulu Teweh. Kemudian ia digantikan oleh anaknya, Pangeran
Muhammad Seman. Perlawanan terus berlangsung sampai tahun 1905, ketika raja ini terbunuh
sebagai syahid dalam medan pertempuran.35
4. Perang Aceh
Perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1837-1904. Belanda memang
membutuhkan waktu lama untuk memadamkan perang itu, mengingat perang ini melibatkan seluruh
rakyat Aceh.
Diantara perlawanan-perlawanan besar yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia dalam abad
ke-19, perlawanan di Aceh termasuk yang paling berat dan terlama bagi Belanda.
Pada tanggal 17 maret 1824, sebuah persetujuan antara Inggris dan Belanda mengenai
pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya di tandatangani. Isinya antara
lain, bahwa setelah memperoleh kembali jajahan yang selama perang direbut oleh Inggris, Belanda
tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Aceh tetap merdeka dan bebas
menjalankan politik dalam berkembang. Tampaknya jaminan untuk mempertahankan kemerdekaan
Aceh hanyalah bersifat politik saja.36 Dorongan untuk menguasai Aceh semakin kuat sejak
dibukanya Terusan Suez. Setelah Terusan Suez dibuka pelabuhan Aceh menjadi sangat strategis
karena berada dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme
memuncak dan negara-negara barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru.37
Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah kontrak antara Aceh dan Hindia Belanda.
Dicantum di dalamnya kebebasan perdagangan dan larangan perdagangan budak dan perampokan.
Pada tanggal 2 November 1871, Inggris dan Belanda bersepakat menandatangani Traktat Sumatra.
Berdasarkan perjanjian tersebut pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya
di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di daerah Siak.
Traktat itu memberi keluasaan kepada Belanda untuk meneruskan agresinya. Diplomasi Aceh
untuk melawannya, antara lain lewat hubungan dengan wakil Itali dan Amerika serikat, tidak
berhasil. Setelah ultimatum tidak ditanggapi, pemakluman terhadap Aceh dinyatakan pada tanggal
26 Maret 1873.38
Itulah awal perang Aceh yang menurut waktu dan ruang tidak ada taranya dalam sejarah
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Perang ini disebut juga perang rakyat, karena seluruh
rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial. Pejuang aceh dipersenjatai oleh ideologi perang
sabil sepanjang berlangsungnya perang yang jelas mempersulit belanda.
Pada tanggal 5 April 1873, tentara Belanda mendarat dengan kekuatan sekitar 3000 personil.
Dalam serangan pertama itu, masjid diserang dan dapat diduduki tentara Belanda, tetapi segera
direbut kembali oleh pasukan Aceh. Karena kuatnya tentara Aceh, pasukan Belanda ditarik untuk
menunggu bala bantuan di Batavia. Bulan November tahun itu juga, Belanda mengirikm ekspedisi
kedua dengan kekuatan sekitar 13.000 prajurit. Kali ini dengan mudah Belanda menduduki masjid
dan keraton, karena sultan dan penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya keraton tidak melunturkan
semangat juang rakyat Aceh.
Tidak lama setelah itu, pada 1874, Sultan meninggal dunia karena penyakit kolera dan para
pengikutnya mengungsi lebih jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan perundingan, tetapi tidak
ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian memakai strategi menunggu dan menjalankan
sistem pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda berusaha menguasai dan mengamankan lembah
Sungai Aceh dan Aceh besar. Mereka mendirikan benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi
daerah sekitarnya.
Pos-pos pengawasan itu terus-menerus mendapat serangan dari tentara Aceh yang mulai
terorganisasi. Di samping itu, di sekitar pos-pos tersebut berjangkit penyakit kolera. Akhirnya
hubungan antarpos tersebut dapat ditembus dan diputus oleh tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah
itu, belanda melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII, tempat Panglima Polim
memimpin perlawanan. Panglima Polim terpaksa mengungsi dan daerah- daerah sekitar Aceh Besar
jatuh ketangan Belanda.
Gerakan pelawanan masih terus berlangsung, walaupun pengganti sultan belum ditunjuk dan
keraton telah diduduki Belanda. Perlawanan masih perpusat di daerah sultan, karena putra mahkota,
Muhammad Daud, tetap berperan sebagai pusat dan pemimpin perang. Dia baru dinobatkan
sebagai sultan pada tahun 1884.39
Dalam tahun itu juga Belanda mulai melaksanakan sistem konsentrasinya. Kotaraja sebagai
pusatnya, dikelilingi benteng-benteng yang terletak dalam setengah lingkaran serta berjarak 5-6 km
dari kota itu. Dibuat jalan untuk saling berhubungan, kemudian benteng-benteng itu dihubungkan
dengan term. Di bagian luar benteng, hutan dan semak belukar ditebang, sehingga ada tanah lapang
selebar 1 km sebagai pengamanan terhadap penyelundupan pasukan Aceh. Selama pembangunan
benteng-benteng itu banyak korban yang jatuh karena serbuan dari pihak Aceh. Strategi
berdasarkan sistem konsentrasi ternyata memberi peluang luas kepada pejuang Aceh untuk
menggalakkan perang gerilya, maka serangan dapat dilancarkan sampai ke dalam kotanya dimana
terjadi banyak pembunuhan.40
Perang Aceh yang sangat menguras perbendaharaan keuangan Belanda ini menjadi dilematis.
Biaya perang yang banyak dikeluarkan memaksa pemerintah melakukan penghematan pada tahun
1884-1885. Namun, kebijakan ini menjadikan wilayah-wilayah pedalaman kembali dalam
kekuasaan pihak gerilyawan Aceh. Belanda akhirnya menemukan cara pemecahan di dalam
kebijakannya. Pemecahan ini diajukan oleh Dr.C.Snouck Hugronje (1857-1936) dan Johannes
Benedictus Van Heutsz (1851-1921).41
Pada tahun 1890, Gubernur Deykerhoff berusaha mendekati kaum bangsawan atau ulebalang.
Dengan demikian, perlawanan kembali bergolak di seluruh Aceh besar. Belanda kembali
melakukan ofensif yang memaksa pihak Aceh bersikap defensif. Setelah itu, Belanda melakukan
pengejaran terhadap rombongan Sultan. Bahkan, untuk memancing agar Sultan mau menyerahkan
diri, Belanda melakukan penyanderaan terhadap istri-istri dan putra sultan. Akhirnya,Sultan
menyerah pada 3 Januari 1903. Taktik yang sama juga dilakukan terhadap Panglima Polim, yang
terpaksa menyerah pada 6 September 1903.
Meskipun Sultan tertawan dan Panglima Polim menyerah, peperangan terus berlangsung,
sampai Belanda meninggalkan Indonesia tahun 1942. Antara 1903-1930-an, di daerah Pidie Aceh
tengah dan tenggara, namun di Aceh Barat dan Aceh timur masih sering muncul perlawanan sengit
yang sebagian besar dipimpin oleh para ulama. Bahkan, tahun 1942, kelompok-kelompok kecil
pejuang Aceh masih melakukan perlawanan.42
1. Sarekat Islam
Sarekat Islam awal mula berdirinya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan
oleh H. Samanhoedi pada tanggal 16 Oktober 1905 di Surakarta. Organisasi ini dibentuk sebagai
reaksi terhadap dominasi para pedagang cina di surakarta ketika itu. Pada tahun 1909, RM
Tirtoadisuryo mendirikan SDI di Batavia dan tahun 1912 diikuti oleh Haji Oemar Said
Cokroaminoto yang mendirikan SDI di Surabaya. Pada tahun 1912 itu pula, SDI diubah namanya
menjadi Sarekat Islam oleh Cokroaminoto agar lebih fleksibel dan tidak mengurusi ranah ekonomi
saja.44
Pada masa kolonial, Sarekat Islam banyak memberikan kontribusi pada bangsa Indonesia. SI
secara nyata menolak praktik kolonialisme di Hindia Belanda. Mereka menentang Eksploitasi yang
dijalankan pemerintah colonial, seperti penarikan pajak yang terlalu besar dan hingga masalah upah
buruh dan jam kerja yang tidak sesuai. Gerakan nyata yang dilakukan SI yaitu pada tahun 1923
yang mendukung para buruh untuk memberikan perlawanan kepada Belanda serta mogok kerja
yang dilakukan buruh kereta api di Semarang.45
2. Muhammadiyah
Muhammadiyah resmi berdiri pada tanggal 18 November 1912. Kemudia pada tanggal 20
Desember 1912 diumumkan kepada para tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun
para pejabat dan kerabat keraton Yogyakarta serta Kadipaten Pakualaman. Muhammadiyah
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang awalnya merupakan Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah pada
tahun 1910. Melalui manajemen dan pengelolaan yang baik dan rapih hingga akhirnya diputuskan
untuk dibentuk sebuah organisasi yang bernama Muhammadiyah. 46
Kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa saat itu adalah fokus dalam bidang pendidikan.
Hingga saat ini Muhammadiyah masih berkonsentrasi dan semakin besar kontribusinya terhadap
pendidikan. Saat ini bisa kita jumpai, hampir di setiap daerah, Muhammadiyah memiliki cabang
lembaga pendidikan. Bahkan dewasa ini kontribusi Muhammadiyah sudah lebih meluas lagi
termasuk ke ranah sosial dan kesehatan.
4. Mathla’ul Anwar
46. Machmudi, Yon. 2013. Sejarah dan Profil Ormas-ormas Islam di Indonesia, PKTTI UI: Depok. Hal. 44
19
Mathla’ul Anwar bermula dari sebuah lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh
para kyai di banten pada 10 Juli 1916. Sebelum lembaga ini berdiri, para pemuka agama di
banten memang sudah berperan aktif dalam melakukan perlawanan dan pertentangannya
terhadap pemerintahan belanda. Mimbar-mimbar masjid menjadi sarana para kyai dari
pesantren tradisional tersebut untuk memdidik dan menyemangati umt agar berani melawan
ketidakadilan dan kolonialisme. Tercatat ada beberapa perlawanan yang mereka lakukan,
mulai dari pemberontakan Petani 1888 hingga penentangan politik etis gagasan ratu Belanda
pada tahun 1901.47
6. Nahdlatul Ulama
NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 yang dipelopori oleh KH. Wahab.
Kontribusinya untuk bangsa cukup banyak terutama di bidang pendidikan. Saat ini NU
menjadi organisasi Islam terbesar di tanah air.49
Selain beberapa organisasi besar dan tertua di atas menyusul berikutnya beberapa organisasi islam
di antaranya; Rabithah Alawiyah 27 Desember 1928, ketua Umumnya Sayyid Muhammad bin
Abdurrahman bi Syihab. Al Jam’iyatul Washliyah pada tanggal 30 Agustus 1930 yang diketuai oleh
Ismail Banda. Kemudian Al Ittihadiyah di Medan pada tanggal 27 Januari 1935 dibentuk oleh KH.
Ahmad Dahlan.50 Semua organisasi tersebut mewarnai dan memberikan kontribusinya sesuai
kapasitas masing-masing dalam mendorong perjuangan rakyat Indonesia untuk terbebas dari
penjajahan.
47. Machmudi, Yon. 2013. Sejarah dan Profil Ormas-ormas Islam di Indonesia, PKTTI UI: Depok. Hal. 60 - 67
48. Machmudi, Yon. 2013. Sejarah dan Profil Ormas-ormas Islam di Indonesia, PKTTI UI: Depok. Hal. 71 - 73
49 . Machmudi, Yon. 2013. Sejarah dan Profil Ormas-ormas Islam di Indonesia, PKTTI UI: Depok. Hal. 82 - 94
50 . Machmudi, Yon. 2013. Sejarah dan Profil Ormas-ormas Islam di Indonesia, PKTTI UI: Depok. Lihat hal. 96-116
20
Daftar Pustaka