Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan, tentunya setiap manusia memiliki aturan tersendiri.


Aturan dibuat dan ditetapkan untuk mengatur pribadi manusia dalam bertingkah
laku dan bermasyarakat. Hal terpenting yang menjadi latar belakang aturan
tersebut adalah untuk membedakan antara manusia yang termasuk makhluk
berakal dengan hewan yang tidak dianugrahi akal oleh Allah SWT.

Hal ini juga berlaku dalam kehidupan beragama. Setiap agama diciptakan
untuk kemashlahatan umatnya masing-masing. Tentunya berpangku pada
kerelatifan dari kebenaran masing-masing ajaran. Tergantung bagaimana setiap
pemeluk agama tersebut menyikapinya.

Namun tentunya tidak semua agama memiliki tata cara atau sumber
rujukan yang sama. Misalnya agama Islam. Islam merupakan agama Samawi
atau agama yang bersumber dari langit. Artinya, islam murni agama ciptaan
Tuhan. Agama Islam sendiri memiliki sumber hukum untuk setiap permasalahan
umat, yakni Al Quran, Hadist, Ijma' dan Qiyas. Setiap sumber tersebut meniliki
pengertian dan fungsi yang berbeda-beda. Namun tetap dalam kesatuan yang
menjadi dasar para pemeluk agama islam.

Titik berat dari pemasalahan ini adalah Hadist. Hadist yang menjadi
sumber kedua setelah Al Quran menjadi sesuatu yang tidak boleh diacuhkan. Hal
ini karena begitu pentingnya hadist dalam menanggapi permasalahan umat,
walaupun kedudukannya sebagai sumber hukum yang kedua. Hadist sendiri
adalah segala sesutu yang bersumber dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir maupun sifatnya1. Untuk mempelajari hadist diperlukan ilmu hadist. Ilmu
hadist adalah ilmu yang membahas hadist Nabi SAW. Ilmu hadist dibedakan
menjadi dua, yakni ilmu hadist riwayah dan ilmu hadist dirayah. Ilmu hadist

1
A.Hasan Asy’ari Ulama’i, Studi Ilmu Hadits (Semarang, RaSAIL Media, 2007) halaman 3
tersebut tumbuh dan semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Tetapi hal
tersebut tidak setara dengan minat umat islam untuk mempelajarinya.

Berbicara mengenai ilmu hadist, di era Rosulullah, Sahabat, dan Tabi'in


sudah mulai mengenal tentang Ulumul Hadist. Namun, bagi generasi di era
sekarang terutama bagi umat islam seringkali terjadi krisis ilmu pengetahuan
mengenai dasar agama islam tersebut. Mereka tergolong awam dalam
pengetahuan mengenai sejarah perkembangan ilmu hadits. Dikarenakan sudah
tergesernya budaya islam dengan budaya modern, ilmu dunia lebih diunggulkan
daripada ilmu agama. Hal inilah yang menjadikan umat islam mengalami krisis
pengetahuan agama dan mengakibatkan pada kemunduran.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud pertumbuhan dan perkembangan?
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada masa Rosul,
Sahabat, Tabi’in?
3. Bagaimana perkembangan ilmu hadist di masa sekarang?

1
A.Hasan Asy’ari Ulama’i, Studi Ilmu Hadits (Semarang, RaSAIL Media, 2007) halaman 3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan

B. Perkembangan Ilmu Hadist Pada Masa Rosul, Sahabat, dan Tabi’in.


Ilmu hadist dari masa ke masa terus mengalami pertumbuhan seiring dengan
munculnya proses lahir hadist (urutan hadist). Kemunculan ilmu hadist karena sikap
kritis para sahabat dalam menanggapi dan menerima hadist yang sampai kepadanya.
Sikap kritis para sahabat tersebut menandakan bahwa mereka tidak mau menerima
suatu riwayat hadist sebelum mereka yakin bahwa hadist ersebut benar-benar dari
Nabi SAW. Berikut ini adalah sejarah perkembangan ilmu hadist semenjak Nabi masih
hidup, masa sahabat, dan masa tabiin.
a. Masa Nabi Muhammad SAW
Ilmu hadist pada masa Nabi Muhammad SAW belum banyak ditemukn data
keberadaannya. Hal itu benar adanya, bila yang dimaksud adalah ilmu hadist sebagai
sebuah disiplin ilmu. Ilmu hadist pada masa itu belum ditemukan sebagai entitas
keilmuan. Ilmu hadist sebagai sosok the body of knowledge e tentu saja belum lahir.

Namun yang ditemukan pada saat itu baru sebatas embrio atau cikal bakal
hadist. Cikal bakal ilmu hadist masih berupa data perilku kehidpan Nabi SAW
berkaitan dengan proses kelahiran hadist. Cikal bakal ilmu hadist yang dapat
diemukan pada masa Nabi SAW mencakup dua aspek penting yakni aspek sanad
dan aspek matan.
Aspek sanad dapat diidentifikasi dari beberapa perilaku Nabi SAW.
Perilaku Nabi SAW yang dimaksud yaitu : Rasulullah pernah menyuruh para
sahabat hadir dalam majelis taklim menyampaikan riwayat kepada sahabat tidak
hadir (al-Ghaib). Pesan hadits Rosulullah termasuk dalam kategori Hadits
Qauliyyah. Dalam hadits tersebut menerangkan bahwa nabi selalu menyampaikan
pesan hadits melalui forum majlis. Ketika ditemukn sahabat yang tidak datang,
maka beliau menugaskan sahabat yang datang menyampaikan pesannya kepada

1
A.Hasan Asy’ari Ulama’i, Studi Ilmu Hadits (Semarang, RaSAIL Media, 2007) halaman 3
sahabat yang tidak datang tersebut. Sikap Nabi tersebut dengan senduruny
membicarakan masalah sanad. Sahabat yang datang menjadi periwayat pertama,
sementara sahabat yang tidak hadir menjadi periwayat kedua atau murid sahabat
yang hadir.

Aspek matan dapat diidentifikasi pada beberapa bukti sejarah. Rosulullah SAW
sangat berhati-hati dalam menyampaikan pesannya. Ada beberpa cara
penyampaian pesan yang dilakukan nabi SAW, ntara lain :
- Husn al-tarbiyah wa al-ta’lim (pembelajarannya menarik)
- Tadarruj (bertahap)
- Tanwi’ wa taghyir ( variatif dan inovatif)
- Tathbiq al- ‘amal (learning by doing)
- Mura’ah al mustawiyat al-mukhtalifah (menjaga kesetaraan atas
keragaman)
- Taisir wa ‘adam al-tasydid (membuat mudah dan meminimalisir kesulitan)
Beberapa cara pengajaran Nabi SAW tersebut merupakan bukti adanya Ilmu
Hadits bidang matan semenjak awal lahirnya hadits.
a. Masa Sahabat
Perkembangan ilmu hadits pada masa sahabat dapat dikenali melalui
perilaku para sahabat terkait dengan proses periwayatan hadits.Ilmu hadits
pada masa itu merupakan kelanjutan dari masa Nabi SAW.
Ada persamaan antara perkembangan ilmu hadits masa sahabat dengan masa
Nabi SAW, disamping ada perbedaanya. Persamaannya, pada kedua masa
tersebut ilmu hadits masih berbentuk perilaku-perilaku para pelaku hadits.
Pada masa Rasulullah ilmu hadits masih berbentuk perilaku Rasulullah terkait
proses kelahiran hadits. Sedangkan pada masa sahabat, ilmu hadits masih
berbentuk perlaku-perilaku sahabat terkait proses periwayatan dan syarat-
syarat yang ditetapkan. Karenanya ilmu hadits pada masa itu dapat disebut
sebagai ilmu hadits amaly. Ilmu hadits amaly adalah ilmu hadits yang belum
berwujud sebagai sebuah disiplin ilmu, melainkan masih berbentuk perilaku-
perilaku para pelaku hadits.

1
A.Hasan Asy’ari Ulama’i, Studi Ilmu Hadits (Semarang, RaSAIL Media, 2007) halaman 3
Adapun perbedaannya, perkembangan ilmu hadist pada masa sahabat
sudah mulai melebar wlayah kajiannya dan bukti-bukti sejarahnya semakin
kuat. Wilayah kajian ilmu hadist tidak hanya mencakup aspek sanad dan
matan, melainkan sudah mulai menyentuh aspek metodologis.
Pada masa sahabat, kajian sanad sudah mulai tampak jelas entitasnya
sebagai cikal bakal ilmu hadist bidang sanad. Kehati-hatian para sahabat
dalam penerimaan riwayat adist dari setiap sahabat menyampaikan merupakan
bukti penting hadirnya kajian sanad. Pada saat itu muncul peraturan resmi
pemerintah yang dikenal dengn kebijakan “al-tatsabbut wa al-iqlal min al-
riwayat” (pembatasan dan penyedikitan periwayatan hadist).
Implementasi kebijkan tersebut adalah bahwa setiap seseorang yang
meriwayatkan hadist harus mampu mendatangkan seorang saksi atau berani
bersumpah. Saksi dan sumpah merupakan syarat penerimaan seseorang yang
meriwayatkan hadist. Keberanian bersaksi bahwa dirinya bersikap jujur
merupakan syarat penerimaan pribadi seorang periwayat hadist.
Masa sahabat sering disebut sebagai masa transisi atau peralihan dari masa
nabi masih hidup menuju masa sahabat. Pada masa nabi masih hidup semua
permasalahan dan persoalan kehidupan para sahabat dan masyarakat dapat
selesai dihadapan-Nya. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, apapun yang
mereka lakukan selalu dinisbatkan kepada perkataan, perbuatan atau taqrir
nabi.
Pada masa Khulafaur Rosyidin mengeluarkan beberapa kebijakan dalam
periwayatan hadits, seperti mendatangkan saksi, dan bersumpah. Pada masa ini
tidak hnaya kajian sanad yang mulai berkembang, kajian matan juga sudah
berkembang cukup signifikan. Sikap kritis sahabat tidak hanya dilakukan terhadap
riwayat (aspek sanad saja), melainkan juga terhadap materi hadits (aspek matan).
Mtan suatu hadits akan diterima setelah melalui uji kritik matan.
Kajian ilmu hadits lain yang berkembang pada masa sahabat adalah aspek
metodologis. Aspek ilmu hadits juga ditmukan dalam bentuk praktik para sahabat
dalam memahami dan menerapakan hadits-hadits nabi terkait fenomena

1
A.Hasan Asy’ari Ulama’i, Studi Ilmu Hadits (Semarang, RaSAIL Media, 2007) halaman 3
kehidupan terus berkembang. Aspek metodologis yang berkembag pada masa
tersebut antara lain: Metode ijma’dan metode Qiyas.
b. Masa Tabi’in
Perkembangan ilmu hadits pada masa Tabi’in merupakan sikap kritis yang
semakin meningkat dengan semakin maraknya pembuatan dan penyebaran hadits
palsu. Para ulama’ ahli hadits dikalangan Tabi’i merasa terbangkitkan untuk
melakukan upaya pnyelamatan hadits Nabi SAW. Mereka mulai mengadakan
pengkajian terhdap sifat-sifat positif dan sifat-sifat negatif kepribadian para
periwayat hadits. Pengkajian ini menjelma menjadi salahsatu cabang ilmu hadits,
yakni ilmu Jarh al-ta’dil
Masa Tabi’in disebut juga masa transformasi yaitu perubahan bentuk ilmu
hadits dari amaly menjadi sebuah disiplin ilmu (ilmu hadits nadhary). Secara
sederhana tahapan perkembangan ilmu hadits pada masa Tabi’in dapat
dikategorikan dalam tahapan berikut:
1.) Tahap perintisan
Berdasarkan Pernyataan Edi Sapri, ilmu hadits hingga periode Tabi’in masih merupakan
khazanah intelektual yang tersimpan dalam dada masing-masing ulama’ yang
menggelutinya. Kondisi seperti ini berlangsung hingga kisaran abad kedua dan ketiga
hijriyah.
Pada tahap ini, Kemunculan Imam Syafi’i dianggap sebagai perintis bagi perumusan ilmu
hadits secara tertulis. Pemaparan mengenai ilmu hadits beliau dapat ditemukan dalam
dua kitab populernya yaknni kitab Ar-Risalah dan kitab al-um dalam kitab pertama
membahas hadis-hadist yang dapat dijadikan hujjah dan berisi hafalan para periwayat,
riwayat hadist bil makna. Dalam kitab al-um membahas mengenai hadist hasan, hadist
mursal, dan pengkajian aspek ilmu hadist lainnya. Kedua kitab ersebut bukan hanya
membahas ilmu hadist akan tetapi lebih dikenal dengan kitab fiqih dan ushul fiqih.
2.) Tahap Kelahiran
Ditandai dengan munculnya kitab al-Muhadist al-Fashil Bain al-Rawy wa al-Wa’iy (ahli
hadits yang memisahkan antara seorang periwayat dan pemberi nasihat) yang ditulis
oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmudzy (265-360H). Kitab tersebut merupakan
kitab pertama yang membahas ilmu hadits dalam satu kajian tersendiri. Oleh karena itu
kitab ini disebut sebagai penanda lahirnya ilmu hadits sebagai disiplin ilmu. Ilmu hadits
nadhary telah lahir atas karya al-Ramahurmudzy.
3.) Tahap Penamaan
Kitab al-Hakim abu abdillah bin abdillah al-naisabury disebut sebagai kitab ilmu hadits
yang diberi judul ulumul hadits. Secara lengkap kitab tersebut diberi judul ma’rifatu ulum
al-hadits (pengenalan ilmu-ilmu hadits)

1
A.Hasan Asy’ari Ulama’i, Studi Ilmu Hadits (Semarang, RaSAIL Media, 2007) halaman 3
1
A.Hasan Asy’ari Ulama’i, Studi Ilmu Hadits (Semarang, RaSAIL Media, 2007) halaman 3

Anda mungkin juga menyukai