Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Kelahiran, Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadis

MAKALAH

Mata Kuliah:

Ilmu Hadis

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. KH. M. Mujab Masyhudi

Oleh:

Muhammad Fajrul Falah Fashih

Takhashus Fikih Kebangsaan

Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Lirboyo

Kediri

2021
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hadis merupakan salah satu unsur penting dalam studi keislaman. Pasalnya, hadis
merupakan salah satu dari dua sumber primer yang diakui dalam agama Islam. Sehingga studi
tentang hadis menempati posisi yang tak bisa disingkirkan. Hal ini semakin diperkuat dengan
fakta bahwa hampir semua rumpun ilmu agama Islam masih memiliki hubungan dengan hadis,
baik secara substansial ataupun fungsional.

Di sisi yang lain, studi tentang hadis juga tidak bisa dipisahkan dengan studi tentang
ilmu hadis. Untuk menghasilkan teori yang komprehensif dalam kajian hadis, kemampuan dan
penguasaan terhadap ilmu hadis mutlak dibutuhkan. Apalagi secara fungsional, ilmu hadis
memang memiliki peran untuk melakukan nashru al-sunnah bi ‘ulumiha, menolong hadis
dengan ilmu hadis. Dengan demikian, kajian tentang ilmu hadis memiliki tingkat urgensi yang
tidak bisa dibedakan dengan kajian tentang hadis.

Sebagaimana disiplin ilmu yang lain, ilmu hadis tidak tiba-tiba muncul dengan bentuk
yang utuh dan sistematis, tidak secara instan. Ada proses dan tahapan yang dilalui oleh ilmu
hadis sejak proses perintisan, penyusunan, hingga pengembangan sampai terbentuk suatu
disiplin ilmu yang sistematis dan runtut. Dan sudah sepatutnya, sebagai sebuah bagian dari ilmu
pengetahuan, perkembangan tersebut tidak berhenti dan terus berjalan.

Tentu saja, untuk melakukan pengembangan terhadap suatu disiplin ilmu alangkah
baiknya jika seseorang memahami sejarah perkembangan ilmu tersebut. Ini merupakan hal yang
penting, sebab bisa digunakan untuk mengukur serta menentukan bentuk kontribusi akademik
orang tersebut dalam suatu bidang keilmuan.

Dengan latar belakang yang telah diuraikan, maka kajian tentang sejarah penyusunan
dan perkembangan ilmu hadis layak untuk dianalisis dan dituliskan secara sistematis dan
periodik.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang dikaji
dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut ini:

1. Bagaimana proses perkembangan ilmu hadis dari masa ke masa?

1
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Periode Kelahiran Ilmu Hadis

Pada dasarnya, hampir semua rumpun ilmu agama Islam sudah lahir dan ada sejak
zaman khoirul qurun (periode sahabat Nabi). Di antara cabang ilmu dalam rumpun ilmu agama
Islam yang sudah ada sejak zaman sahabat, namun sering disalahpahami bahwa ilmu tersebut
lahir pada periode setelahnya, adalah ilmu hadis. Hanya saja, pada era tersebut belum ada
rumusan tentang istilah-istilah ilmu hadis yang biasa dipakai dan ditemukan di zaman modern.
Bahkan, pembakuan ilmu hadis sebagai cabang ilmu yang mandiri.

Hal semacam ini sebenarnya wajar terjadi. Dan bukan hanya pada ilmu hadis, hal serupa
juga terjadi pada cabang ilmu yang lain. Salah satu cabang ilmu lain yang memiliki nasib tak
jauh berbeda adalah ilmu nahwu.1

Dalam konteks ilmu hadis, era sahabat merupakan waktu munculnya embrio ilmu hadis.
Era ini bisa disebut sebagai periode kelahiran ilmu hadis. Periode ini memiliki rentang waktu
yang cukup singkat, yakni setelah Rasulullah wafat hingga akhir abad pertama tahun hijriyah.2
Meski periode ini dinyatakan mulai pada masa setelah Rasulullah wafat, namun dasar-dasar
metode yang diterapkan dalam ilmu hadis sebenarnya telah disampaikan pada masa Rasulullah
masih hidup.3

Hal ini dibuktikan bahwa dasar-dasar metode periwayatan hadis, yang menjadi objek
kajian utama ilmu hadis, disarikan dari beberapa nas, baik Al-Qur’an maupun hadis.4 Nas-nas
dari Al-Qur’an dan Hadis5 inilah yang menjadi dasar teori bagi metode periwayatan hadis
sekaligus menjadi dasar teori bagi ilmu hadis.

Pada periode ini, progres yang terjadi pada ilmu hadis adalah standarisasi metode
periwayatan hadis. Standarisasi ini diberlakukan untuk melakukan validasi terhadap
periwayatan hadis dan menghindari dugaan riwayat yang invalid. Sahabat yang menjadi pelopor
untuk menetapkan standarisasi metode periwayatan hadis adalah Abu Bakar Al-Shiddiq yang
kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.6

1
Ibrahim al-Baijuri. 2013. Fathu Robbil Bariyyah. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, hal 18.
2
Ahmad Umar Hasyim. Tth. Al-Sunnah Al-Nabawiyyah wa ‘Ulumuha. Faggala: Maktabah Gharib, hal. 53.
3
Abdul Majid Khon. 2012. Ulumul Hadis. Jakarta: Imprint Bumi Aksara, hal. 87.
4
Nuruddin Itr. 1997. Manhaj Al-Naqdi fi ‘Ulum Al-Hadits. Damaskus: Dar Al-Fikr, hal. 51.
5
Beberapa nas yang menjadi dasar bagi ilmu hadis adalah QS. Al-Nahl: 105, QS. Al-Hujurot: 6, QS. Al-Isro’: 36, HR.
Al-Bukhori: 1291, dan HR. Ibnu Majah: 38.
6
Ahmad Umar Hasyim. Loc. Cit.
2
Standar metode yang ditetapkan dalam periwayatan hadis pada periode ini adalah7:

1. Membatasi jumlah periwatan hadis. Hal ini bertujuan untuk menghindari kelalaian
terhadap Al-Qur’an sebagai akibat dari terlalu sibuk meriwayatkan hadis. Hal ini
juga bertujuan untuk menghindari kesalahan ataupun tahrif (perubahan) dalam
periwayatan yang merupakan peringatan serius dari Rasulullah. Dari hal semacam
ini, ada pernyataan yang masyhur kafa bil mar’i kidzban an yuhditsa bi kulli ma
sami’a, menceritakan segala hal yang didengar sudah cukup menjadi kebohongan
seseorang.
2. Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat hadis. Hal ini dilakukan
dengan meminta syahid ketika menerima sebuah riwayat dan memberikan syahid
ketika menyampaikan riwayat. Secara praktis, metode ini tidak jauh berbeda dengan
praktik triangulasi sumber untuk menguji validitas data pada metodologi ilmiah.8
3. Kritik riwayat. Hal ini dilakukan dengan membandingkan riwayat yang disampaikan
dengan nas lain atau kaidah agama yang telah berlaku. Sehingga jika riwayat
tersebut berseberangan dengan nas atau kaidah agama yang menjadi perbandingan,
maka riwayat tersebut tidak diamalkan.9

Standar metode ini tidak mengalami perubahan pada tahun-tahun berikutnya, hingga
terjadinya tragedi fitnah yang ditandai dengan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, hingga Al-Husein bin Ali. Tragedi ini juga sekaligus menjadi penanda terjadinya
pemalsuan hadis (al-wadl’u fi al-Hadits) untuk pertama kali. Pasca tragedi ini, sebagai bentuk
respon, ilmu hadis mengalami progres yang cukup signifikan, yakni dengan melakukan
penelitian terhadap para rawi untuk menentukan rawi yang riwayatnya diterima dan juga
sebaliknya. Salah satu benuk tindakan dari penelitian ini adalah melakukan perbandingan
terhadap riwayat-riwayat seorang rawi yang diteliti dengan riwayat-riwayat dari rawi lain yang
sudah diakui kredibilitasnya.10 Penelitian terhadap para rawi hadis inilah yang pada periode
berikutnya dikenal dengan sebutan al-jarh wa al-ta’dil.

Dari periode pertama ini, setidaknya para ahli hadis sudah memiliki rumusan ilmu hadis
untuk mengklasifikan hadis yang maqbul dan hadis yang mardud. Selain itu, pada periode ini
para ahli hadis juga telah memiliki rumusan, meski belum ditentukan istilah yang resmi, tentang

7
Nuruddin ‘Itr. Op. Cit. hal. 52-53.
8
Ahmad Umar Hasyim. Op. Cit. hal. 54.
9
Nuruddin ‘Itr. Op. Cit. hal. 53
10
Ibid. hal. 57.
3
hadis marfu’, hadis mauquf, hadis maqthu’, hadis muttashil, hadis mursal, hadis munqothi’, dan
mudallas.11

B. Periode Penyempurnaan Ilmu Hadis

Setelah melewati proses pembentukan di masa sahabat, pada masa tabiin ilmu hadis
memasuki babak baru, yakni periode penyempurnaan. Periode ini disebut sebagai periode
penyempurnaan karena sebenarnya, andaikan diteliti satu per satu maka seluruh kajian dalam
ilmu hadis telah ada pada periode ini. Periode ini memiliki rentang waktu di antara awal abad
kedua hijriyah hingga awal abad ketiga hijriyah.12

Pada periode ini periwayatan hadis telah menyebar secara luas di penjuru kekuasaan
Islam. Akan tetapi, hal ini bersamaan dengan maraknya ‘illat dan qowadih yang merusak
riwayat hadis. Ditambah lagi, pada periode ini mulai bermunculan banyak aliran (firqoh) yang
menyipang yang akhirnya berdampak pula pada kondisi periwayatan hadis.

Sebagai respon atas keadaan ini, ilmu hadis juga mengalami beberapa progres yang
signifikan, antara lain13:

1. Pengembangan kajian al-jarh wa al-ta’dil dan rijal al-hadits. Kajian ini lebih
berfokus untuk melakukan kajian kritis terhadap para rawi, sebab penyebaran bidah
yang semakin marak dan penurunan kualitas hafalan. Beberapa tokoh yang fokus
terhadap bidang ini adalah Syu’bah bin Al-Hajjaj, Sufyan Al-Tsaury, dan
Abdurrohman bin Mahdi.
2. Penelitian dan riset yang lebih mendalam terhadap hadis untuk menemukan data-data
baru yang tersirat untuk kemudian dirumuskan dalam kaidah beserta hukumnya. Hal
ini menjadi salah satu bentuk tindakan untuk menyempurnakan ilmu hadis.
3. Penyusunan istilah. Salah satu tokoh yang menjadi pelopor dalam hal ini adalah Ibnu
Syihab Al-Zuhri.

Meski mengalami progres yang cukup pesat, pada periode ini istilah-istilah dan kaidah
dalam ilmu hadis belum dituliskan dalam bentuk kitab, masih dalam bentuk hafalan para ahli
hadis, kecuali beberapa bab yang ditemukan dalam beberapa kitab Al-Syafi’i.

11
Ibid.
12
Ibid. hal. 58
13
Ibid. hal. 59 - 60.
4
C. Periode Penulisan Ilmu Hadis secara Terpisah

Memasuki abad ketiga hijriyah, perkembangan ilmu hadis memasuki babak baru.
Setelah mengalami proses penyempurnaan pada abad sebelumnya, akan tetapi belum dituliskan
dalam sebuah kitab, maka pada periode ini ilmu hadis sudah dibukukan secara menyeluruh.
Sehingga, periode ini merupakan masa keemasan hadis. Pasalnya, pada periode ini hadis beserta
ilmunya telah ditulis dan dibukukan secara menyeluruh.14 Periode ini memiliki rentang waktu
antara awal abad ketiga hijriyah hingga pertengahan abad keempat hijriyah.

Meski pada periode ini ilmu hadis telah dituliskan dalam kitab secara menyeluruh, akan
tetapi penulisannya masih secara terpisah dan belum termaktub dalam satu kitab secara utuh.
Beberapa tokoh yang menuliskan ilmu hadis pada periode ini antara lain:

1. Yahya bin Main. Kitab ilmu hadis yang ditulis oleh Yahya bin Ma’in berisi kajian
tentang tarikh al-rijal;
2. Muhammad bin Sa’ad. Kitab ilmu hadis yang ditulis oleh Muhammad bin Sa’ad
berisi kajian tentang thabaqat al-ruwat;
3. Ahmad bin Hanbal. Ada 2 kitab yang ditulis oleh Ahmad bin Hanbal dalam rumpun
ilmu hadis, yaitu Al-‘Ilal wa al-Rijal dan Al-Nasikh wa Al-Mansukh;
4. Ali bin Abdullah Al-Madini. Ada banyak sekali kitab dalam rumpun ilmu hadis yang
ditulis oleh Ali bin Abdullah Al-Madini hingga ada yang memberikan pernyataan
bahwa dia telah menulis seluruh cabang pembahasan dalam ilmu hadis. Dan jika
dihitung, kitab yang dia tulis dalam bidang ilmu hadis telah mencapai 200.15 Oleh
sebab itu, ada yang menyatakan bahwa dia merupakan tokoh pertama dan pelopor
penulisan ilmu hadis.16

Pada periode ini penulisan ilmu hadis terus dilakukan oleh banyak ulama. Namun,
demikian, tidak satupun yang benar-benar mengkodifikasikan ilmu hadis secara utuh dalam satu
kitab.17

D. Periode Penghimpunan Ilmu Hadis

Periode ini dimulai pada pertengahan abad keempat hijriyah dan berakhir pada awal
abad ketujuh hijriyah. Progres utama pada periode ini adalah melakukan penghimpunan ilmu

14
Abdul Majid Khon. Op. Cit. hal. 90.
15
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani. 2011. Al-Risalah Al-Mustathrofah li Bayani Masyhuri Kutub Al-Sunnah Al-
Musyarofah. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 95.
16
Ahmad Umar Hasyim. Op. Cit. hal. 398.
17
Nuruddin ‘Itr. Op. Cit. hal. 62.
5
hadis yang telah ditulis secara terpisah-pisah untuk kemudian ditulis secara utuh dalam satu
kitab. Beberapa tokoh ilmu hadis yang populer pada periode ini adalah:

1. Abu Muhammad Al-Ramahurmuzi. Karya besarnya dalam menghimpun ilmu hadis


diberikan judul Al-Muhaddits Al-Fashil.
2. Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khothib Al-Baghdadi. Kitabnya yang menghimpun
tentang ilmu hadis diberikan judul Al-Kifayah fi ‘Ilmi Al-Riwayah. Dia juga
termasuk salah satu tokoh hadis yang paling terkemuka dan berpengaruh pada
periode ini.
3. Iyadl bin Musa Al-Yahshubi. Kitabnya diberikan judul Al-Alma’ fi Ushul Al-
Riwayat wa Al-Sima’.
4. Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Al-Naisabury. Kitab yang dia
tulis berjudul Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits dan mengkaji 52 cabang dari ilmu hadis. Dia
merupakan salah satu tokoh ilmu hadis yang paling terkemuka dan berpengaruh pada
periode ini. Dia juga dianggap sebagai tokoh yang membuka jalan bagi orang-orang
pada masa selanjutnya. Meski demikian, terdapat kritik terhadap kitab Al-Hakim ini,
yakni kitab tersebut dianggap belum mencakup seluruh jenis hadis dan dianggap
belum lengkap dalam memberikan tanda, sehingga dikhawatirkan menimbulkan
salah paham.18
5. Abi Nu’aim Ahmad bin Abdillah Al-Asfihani. Dia melengkapi kitab Al-Hakim Al-
Naisabury kemudian diberikan judul Al-Mustakhroj.
6. Abu Hafs Umar bin Abdul Majid Al-Mayanji. Kitab yang dia tulis berjudul Ma La
Yasa’u Al-Muhaddits Jahluhu.
E. Periode Pematangan Pembukuan dan Penghimpunan Ilmu Hadis

Periode ini berada di rentang waktu antara abad ketujuh hijriyah hingga abad kesepuluh
hijriyah. Setelah mengalami masa penghimpunan selama periode sebelumnya, penulisan ilmu
hadis dalam kitab terus berlangsung dan mengalami perbaikan serta pembenahan. Sehingga
pada periode ini kitab-kitab ilmu hadis sudah disampaikan dalam redaksi yang baik dengan
analisis yang mendalam.

Tokoh ilmu hadis yang paling mengemuka pada periode ini adalah Abu ‘Amr Utsman
bin Sholah. Dia menuliskan kitab yang berjudul Ulumul Hadis. Beberapa keistimewaan kitab ini
adalah19:

18
Nuruddin ‘Itr. Op. Cit. hal. 65.
19
Ibid. hal. 66.
6
1. Riset dan analisis yang mendalam terhadap madzhab-madzhab ulama beserta kaidah-
kaidahnya.
2. Memberikan penjelasan yang lebih konkrit terhadap hal-hal yang telah dirumuskan
oleh para ulama sebelumnya.
3. Melengkapi pendapat para ulama terdahulu dengan analisis pribadinya.

Akan tetapi, kitab yang dihasilkan Ibnu Sholah tak benar-benar nihil dari kritik.
Kitabnya dinilai belum memenuhi urutan pembahasan yang berlaku dalam ilmu hadis20.

Selain Ibnu Sholah pada periode ini juga mengemuka beberapa tokoh ilmu hadis yang
lain. Beberapa di antara ulama tersebut adalah21:

1. Yahya bin Syarof Al-Nawawi yang menulis kitab Al-Irsyad


2. Abdurrohim bin Al-Husein Al-Iroqi yang menulis kitab Al-Tabshiroh wa Al-
Tadzkiroh dan Al-Taqyid wa Al-Idloh Li Ma Uthliqo wa Ughliqo min Kitabi Ibn Al-
Sholah
3. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolani yang menulis Al-Ifshoh ‘ala Nukat Ib Al-
Sholah, Nukhbah Al-Fikri dan Nuzhah Al-Nadzri.
4. Jalaluddin Abdurrohman Al-Suyuthi yang menulis kitab Tadrib Al-Rawi Syarh
Taqrib Al-Nawawi
F. Periode Statis (‘Ashru Al-Rukud wa Al-Jumud)

Periode ini berlalu cukup lama, yakni mulai abad kesepuluh hijriyah hingga awal abad
modern (abad ke-15 hijriyah). Periode ini disebut sebagai periode statis sebab pada periode ini
tidak terjadi pembaruan dan penemuan baru dalam bidang ilmu hadis. Salah satu ciri-ciri
periode ini adalah penulisan kitab ilmu hadis hanya berkisar penyusunan mukhtashor dari kitab
yang sudah ada periode sebelumnya. Selain itu, diskursus dalam ilmu hadis pada periode ini
hanya berkisar pada hal-hal yang bersifat tekstual belum sampai pada hal-hal yang bersifat
substansial.22

Beberapa kitab populer yang ditulis pada periode ini adalah Al-Mandzumah Al-
Baiquniyah (‘Amr bin Muhammad bin Futuh Al-Baiquni), Taudlihul Afkar (Muhammad bin
Ismail Al-Shon’ani), dan Syarh Nuzhah Al-Nadzri Syarh Nukhbah Al-Fikri (Ali bin Sulthon Al-
Harwi).

20
Haji Khalifah. 2017. Kasyfu Al-Dzunun. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, vol. 2. Hal. 554
21
Nuruddin ‘Itr. Loc. Cit.
22
Ibid. hal. 69.
7
Meski dinyatakan sebagai periode statis, akan tetapi keadaan ini tidak terjadi secara
menyeluruh di dunia Islam. Di India, pada periode ini, terjadi kebangkitan ilmu hadis yang
dipelopori oleh Al-Dahlawi.23

G. Periode Kebangkitan Ilmu Hadis

Periode ini dimulai pada masa modern (abad 15 hijriyah) dan masih berjalan hingga saat
ini. Salah satu faktor yang memicu kebangkitan hadis pada masa modern adalah globalisasi.
Globalisasi secara tidak langsung mempermudah jalur pergerakan keilmuan, baik keilmuan
Islam ataupun lainnya, di seluruh penjuru dunia yang mengakibatkan terjadinya perang
pemikiran. Hal ini diperparah dengan dugaan bahwa ada keinginan buruk dari kaum orientalis
untuk menyerang dan mencederai hadis.

Hal semacam ini memicu para ahli hadis untuk melakukan pembaruan dalam ilmu hadis
untuk merespon gerakan-gerakan yang mengancam hadis. Beberapa karya intelektual dalam
ilmu hadis pada abad ini adalah:

1. Qowa’id Al-Tahdits yang ditulis oleh Jamaluddin Al-Qosimi;


2. Miftah Al-Sunnah yang ditulis oleh Abdul Aziz Al-Khuli. Dia juga merupakan
pelopor kajian terhadap sejarah hadis dan sejarah cabang-cabang ilmu hadis;
3. Al-Hadits wa Al-Muhadditsun yang ditulis oleh Muhammad Abu Zahw.

23
Ibid. hal. 70.
8
BAB 3

PENUTUP

Dari pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa sejarah ilmu hadis
dimulai sejak abad pertama tahun hijriyah dan terus berkembang hingga saat ini. Pembabakan
dalam sejarah ilmu hadis dibagi menjadi tujuh periode, mulai periode kelahiran,
penyempurnaan, penulisan secara terpisah, penghimpunan, pematangan, periode statis, hingga
kebangkitan kembali. Sepanjang perjalanan perkembangan ilmu hadis ada beberapa tokoh
dan/atau karya intelektual dalam bidang ilmu hadis yang mengemuka dan melakukan
pengembangan terhadap ilmu hadis ke arah yang lebih baik.

9
Daftar Pustaka

Al-Baijuri, Ibrahim. 2013. Fathu Robbil Bariyyah. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah.
Al-Kattani, Muhammad bin Ja’far. 2011. Al-Risalah Al-Mustathrofah li Bayani Masyhuri Kutub Al-
Sunnah Al-Musyarofah. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Hasyim, Ahmad Umar. Tth. Al-Sunnah Al-Nabawiyyah wa ‘Ulumuha. Faggala: Maktabah Gharib.
Itr, Nuruddin. 1997. Manhaj Al-Naqdi fi ‘Ulum Al-Hadits. Damaskus: Dar Al-Fikr.
Khalifah, Haji. 2017. Kasyfu Al-Dzunun. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis. Jakarta: Imprint Bumi Aksara.

10

Anda mungkin juga menyukai