Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU 

HADIS
A.Pengertian Ilmu Hadist
Menurut Prof Dr T.M Hasbi Asidiq, Ilmu Hadist ialah : ilmu yang berkaitan dengan
hadist.definisi ini dikemukakan mengingat ilmu yang behubungan dengan hadist sangat banyak
macamnya. Hal ini disebabkan karena ulama yang membahas masalah ini juga banyak,
karenanya dijumpai sejumlah istilah yang berkaitan dengan ilmu hadist.

Diantara ulama ada yang menggunakan sejarah ilmu hadsit, ilmu usul Al hadist atau ilmu
musthalah hadist. Ilmu hadist dibagi menjadai dua bagian :
1. Ilmu Hadist Riwayah
Ilmu yang mangetahui perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu
hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan,
perbuatan, ataupun takrir.
2. Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-
cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang menjadi
objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadist

B. Perkembangan Ilmu Hadist


Orang yang melakukan kajian secara mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan pokok-pokok
penting bagi ilmu riwayah dan menyampaikan bertita dijumpai didalam Al Quran dan Sunnah
Nabi. Allah Swt berfirman :

Artinya : “Hai oarang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti” (Qs Al Hujrat 6)

Sedangkan didalam sunnah Rasulullah Saw:


Artinya : “Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu berita, yaitu hadist lalu
ia menyampaikan berita itu sebagaimana yang didengar dan mungkin saja orang yang menerima
berita itu lebih faham dari orang yang mendengar. (H.r At Tirmidzy)
Dalam uapaya melaksanakan perintah Allah dan Rasul nya para sahabat telah menetapkan hal-
hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya, terutama jika mereka
meragukan kejujuran si pembawa berita . berdasarkan hal itu, tampak nilai dan pembahasan
mengenai isnad dalam menerima dan menolak suatu berita.
Didalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin, “dikatakan, pada awalnya
mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadi peristiwa fitnah maka
mereka berkata, “sebutkanlah pada kami orang-orang yang meriwayatkan hadist kepadamu”.
Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadist itu adalah ahlu sunnah, maka mereka ambil
hadistnya . jika orang-orang yang meriwayatkan hadistitu adalah ahli bidah maka mereka tidak
mengambilnya.
Berdasarkan hal ini, maka suatau berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanadnya.
Karena itu muncullah ilmu jarah wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara untuk
mengetahui bersambung (Muttasil) atau terputus (munqati)-nya sanad, mengetahui cacat-cacat
yang tersembunyi. Mmuncul pula ucapan-ucapan sebagai tambahan dari hadist sebagian perawi
meskipun sangat sedikit karena masih sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal.
Kemudian para ulama dalam bidang itu semakin banyak, sehinggga muncul berbagai
pembahasaan didalam banayak cabang ilmu yang terkait denag hadist, baik dari aspek
kedhabitannya, tata cara menerima dan menyampaikannnya, pengetahuan tentang hadist-hadist
yang nasikh dari hadist-hadist yang mansukh dll. Semua itu masih disampaikan ulama secara
lisan
Lalu masalah itu pun semakin berkembang lam kelamaan ilmu hadist ini mulai ditulis dan
dibukukan, akan tetapi masih terserap diberbagai tempat didalam kitab-kitab lain yang
bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqih dan ilmu hadist contohnya ilmu Ar
Risalah dan Al Umm Imam Syafi’I.
Ilmu hadist mengalami perkembangan yang sanagat luart biasa pada awal abad ke tiga hijriyyah.
Hanya saja, perkembangan itu masih berkutat pada upaya mengatahui yang bisa diterima dan
ditolak karenanya pembahasan seputar periwayatan dan hadist yang diriwayatkan. Menurut
sejarah ulama yang pertama-tama menghimpun ilmu hadist riwayat adalah Muhammad Ibnu
Shihab Al Juhri atas perintah dari khalifah Umar bin Abdul Aziz. Al Zuhri adalah salah satu
seorang tabiin kecil yang banayak mendengar hadist dari para sahabat dan tabi’in besar.
Sedangkan ilmu hadist dirayah sejak pertengahan abad kedua Hijriyyah telah dibahas oleh para
ulama hadist, tetapi belum dalam bentuk kitab khusus dan belum merupakan disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Pada masa Al Qadhi Ibnu Muhammad Al Ramahurmudzi (265-360 H), barulah
kemudian dibukukan dalam kitab khusus yang dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdidri
sendiri.
Setelah itu barulah diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al Hakim Abdul Al Naysaburi
dll. Pada masa ulama konten porer ilmu hadist dirayah dinamakan dengan Ulumul Hadist dan
pada masa terakhir ini lebih mashur. Akhirnya ilmu-ilmu itu semakin matang , mencapai
puncaknya dan memiliki istilah sendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini terjadi
pada abad ke empat Hijriyyah para ulama menyusun ilmu msthalah dalam kitab tersendiri, orang
yang pertama menyusun kitab ini adalah Qadli Abu Al Fasih Baina Ar Rawi wa Al-wa’i.

C. Cabang-cabang Ilmu Hadist


Cabang-cabang ilmu hadsit dikelompokan menjadi beberapa hal sebagai berikut :
1. Ilmu Rijal Al Hadist
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadist ilmu ini
sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu hadist, karena pada saat ini ada dua yaitu matan
dan sanad. Ilmu Rijal Al Hadist memberikan pengertian kepada persoalan khusus persoalan
seputar sanad
2. Ilmu Al Jarah wa Ta’dil
Ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya. Sehingga dapat
ditentukan siapa diantara perawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadsit yang
diriwayatkannya. Ilmu jarah wa ta’dil ini dikelompokan oleh sebagian ulama kedalam ilmu
hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada sanad dan matan
3. Ilmu Tarikh Ruwat
Ilmu untuk mengetahui para pwrawi hadist yangberkaitan dengan usaha periwayatan mereka
terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada aspek
kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan
4. Ilmu Ilalil Hadist
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang mencacatkan keshahihan hadist,
seperti mengatakan muttasil terhadap hadist munqati menyebat hadist marfu kepada hadsit
mauquf.
5. Ilmu Nasikh wa Mansukh
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan cara
menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang
datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang dinamakan nasikh.
6. Ilmu Asbabi Wurudil Hadis
Ilmu yang menerangkan sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan
itu. Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu Hafash Umar ibnu Muhammad Ibnu
Rajak Al Ukbary, dari murid Ahmad
7. Ilmu Ghraib Al Hadist
Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafad-lafad hadist yang jauh
dan sulit dipahami, karena lapad-lapd tersebutjarang digunakan.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi’in pada tahun 150 H. mulailah
bahasa arab yang tinggi tidak diketahui lagi umum. Satu-satu orang saja lago yang
mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpul kata-kata yang dipandang
tidak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-
hari dalam sesuatu kitab dan mengsarahkannya.
8. Ilmu Al Tashif
Ilmu pengetahuan yang berusaha menanamkan tentang hadist-hadist yang sudah diubah titik atau
sakalnya atau bentuknya.
9. Ilmu Muktalif Al Hadist
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan,
kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya,
sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit difahami isi atau kandungannya
dengan cara menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta menjelaska hakikatnya
10. Ilmu Talfiqiel Hadist
Ilmu yang membahaskan tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang berlawanan
lahirnya
Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan yang Am atau mentaqyidkan yang mutlak
atau dengan memandang banyak kali terjadi.
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist diantara para ulama besar yang telah
berusaha menuyusun ilmu ini ialah Al Imamusy Syafi’I, Ibnu Qutaibah, Ibnul Jauzy kitabnya
bernama At Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.

http://t4f5.wordpress.com/2009/04/10/sejarah-perkembangan-ilmu-hadis/
Orang yang melakukan studi secara kritis akan mengetahui bahwa asas sarta prinsip-prinsip
pokok ulumul hadits (kaidah-kaidah menerima dan menyampaikan hadits) itu benar-benar
terdapat dalam kitab al Quran yang mulia, serta terdapat dalam Sunnah Nabawiyah. Allah
berfirman :

Wahai orang-orang yang telah beriman, jika datang orang fasiq dengan membawa suatu berita
kepada kalian, maka hendaklah kalian menelitinya (al Hujurat : 6).

Nabi pernah bersabda :

Semoga Allah mengelokkan wajah orang yang mendengar berita dariku, lalu ia menyampaikan
persis seperti apa yang pernah didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang mendengarnya
sendiri (HR Tirmidzi)

dalam suatu riwayat lain beliau juga bersabda :

Maka tidak sedikit orang yang membawa berita itu lebih mengerti daripada orang yang
menerima berita tersebut, begitu pula tidak sedikit orang yang membawa berita itu tidak lebih
mengerti daripada orang lyang menerima berita tersebut (HR Tirmidzi).

Dalam ayat al Quran serta dua hadits tersebut jelas terdapat suatu prinsip ketentuan mengenai
pengambilan suatu berita sekaligus tata cara dalam menerima suatu berita tertentu; dengan cara
melakukan tabayyun (memperjelasnya) serta menelitinya dan agar hati-hati dalam
menyampaikan suatu berita kepada orang lain. Dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan
Rasuyl-Nya itu, maka para sahabat telah menetapkan ketentuan-ketentuan dalam menyampaikan
suatu berita sekaligus dalam hal menerimanya, terutama ketika mereka meragukan terhadap
kejujuran dari orang yang menyampaikan berita tersebut. Atas dasar ini, maka nampak jelaslah
kedudukan serta nilai sanad dalam rangka untuk menerima atau menolak suatu berita. Dalam
muqadimah Shahih Muslim, dari riwayat Ibnu Sirin, dikatakan Semula mereka tidak pernah
mempertanyakan tentang sanad, kemudian setelah timbul fitnah, mereka baru
mempertanyakannya : 'Sebutkanlah kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepada
kamu sekalian'. Lalu jika ternyata mereka yang meriwayatkan hadits tersebut adalah orang-orang
Ahli Sunnah maka terimalah hadits itu, sebaliknya, jika ternyata memang orang-orang Ahli
Bid'ah, maka janganlah kamu mengambil hadits yang diriwayatkannya..

Berpijak pada prinsip bahwa uatu hadits itu tidak dapat diterima kecuali sesudah dikatahui
sanadnya, maka munculah ilmu Jarh wa Ta'dil, dan (ilmu mengenai) pembicaraan terhadap rawi-
rawi hadits, serta (cara) pembicaraan terhadap rawi-rawi hadits, serta (cara) mengetahui sanad-
sanad yang muttasil dan yang munqati', dan mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Bahkan
telah muncul pula pembicaraan pada sebagian rawi-rawi yang tercela â??meskipun masih sangat
sedikit sekali- karena sedikitnya rawi-rawi yang benar-benar tercela pada masa awalnya.

Kemudian para ulama lama kelamaan memperluas (jangkauan pembahasan) dalam masalah yang
demikian itu, hingga lahirlah pembahasan dalam beberapa cabang yang berhubungan dengan
hadits dari segi pencatatannya, tata cara menerimanya serta menyampaikannya, dan mengetahui
nasikh-mansukhnya, gharibnya dan hal-hal selainnya, hanya saja demikian itu dilakukan para
ulama secara lisan.

Kemudan terus berkembang, dan lambat laun ilmu-ilmu ini ditulis dan dibukukan, akan tetapi
dalam beberapa kitab yang masih bercampur dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu Ushul Fikih
dan ilmu hadits, misalnya kitab Ar Risalah dan kitab Al Umm karya Imam Syafi'i.

Para akhirnya ilmu-ilmu tersebut telah mencapai puncaknya dan telah menjadi sebuah istilah
tersendiri, dan masing-masing cabang ilmu telah terpisah dari cabang ilmu lainnya. Hal ini
terjadi pada abad keempat hijriah, maka para ulama ahli hadits berusaha menyusun kitab secara
khusus dalam bidang ulumul hadits. Adapun ulama yang pertama kali menyusun kitab dalam
bidang ini adalah al Qadhi Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin Chalad ar
Ramaharmuzi (wafat pada tahun 360 H), kitabnya Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al
Wa'i.

Kitab-kitab yang populer dalam bidang ulumul hadits

Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al Wa'i.

Disusun oleh al Qadhi Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin Chalad ar Ramaharmuzi.
Kitab ini belum membahas seluruh persoalan dalam bidang ulumul hadits, dan memang
begitulah umumnya keadaan orang yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ilmu
apapun.

Ma'rifat 'Ulum al Hadits.

Disusun oleh Abdullah Muhammad bi Abdul Hakim an Naisabury (wafat 405 H). kitab ini
belum disusun sacara sistematis seperti halnya ilmu yang lain.

Al Mustakhraj ala Ma'rifat 'Ulum al Hadits.

Disusun oleh Abu Nu'em Ahmad bin Abdullah al Asbahany (wafat 430 H). sebuah kitab
pelengkap Al Hakim Ma'rifat 'Ulum al Hadits , akan tetapi masih terdapat beberapa persoalan
yang tertinggal belum dibahas, yang hal itu dapat ditemukan oleh orang yang kritis terhadap
persoalan tersebut.
Al Kifayatu fi ilmi al Riwayah.

Disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit al Khatib al Baghdadi (wafat 463 H). sebuah
kitab yang menghimpun segala permasalahan dalam cabang ilmu ini, sekaligus berisi penjelasan
kaidah-kaidah periwayatan dan merupakan kitab acuan pokok yang sangat penting dalam ilmu
ini.

Al Jami' li al Akhlaki al Rawi wa adabi al Sami'i.

Disusun oleh al Khatib al Baghdadi juga, sebuah kitab yang membahas tentang adab periwayatan
sebagaimana nampak jelas pada namanya, dan merupakan kitab yang paling baik dalam babnya
dan sangat bernilai pembahasannya serta cakupannya. Dan sangat sedikit cabang-cabang ilmu
hadits kecuali al Khatib telah menyusun dalam sebuah kitab tersendiri, makanya benar apa yang
dikatakan oleh al Hafidz Abu Bakar bin Nuqthah bahwa Setiap orang yang sadar mengetahui
bahwa para ahli hadits sesudah al Khatib dalam menyusun kitab selalu mengacu kepada kitab
beliau tersebut.

Al Ilma'u ila Ma'rifati Ushuli al Riwayah wa Taqyidi al Sima'i.

Disusun oleh Al Qadhi 'Iyadh bin Saushi al Yahshuby (wafat 544 H). kitab ini belum mencakup
seluruh pembahasan ulumul hadits, bahkan hanya terbatas pada persoalan yang berhubungan
dengan tata cara penerimaan dan penyampaian hadits dan cabang-cabangnya, akan tetapi sangat
bagus sekali bab pembahasan dan sistematika serta urutan-urutannya.

Ma la yasa'u al Muhadditsa jahluhu.

Disusun oleh Abu Hafs Umar bin Abdul majid al Mayanaji (wafat 580 H), sebuah bagian kecil
yang tidak begitu besar faidahnya.

Ulumul Hadits.

Disusun oleh Abu Amru Utsman bin Abdurrahman al Syahrazury, terkenal dengan sebutan Ibnu
Shalah (wafat 643 H). kitabnya terkenal dengan nama 'Muqaddimah Ibnu Shalah', merupakan
kitab yang paling baik dalam bidang ulumul hadits. Dalam kitab ini penyusunnya menghimpun
masalah-masalah yang terpisah-pisah dari kitab-kitab al Khatib dan orang yang mendahuluinya,
karenanya kitabini menghimpun kaidah-kaidah ilmu hadits, akan tetapi belum tersusun secara
urut sesuai dengan tema pokok bahasan, sebab meloncat-loncat dari satu masalah ke masalah
yang lain, sekalipun begitu kitab ini merupakan kitab pegangan pokok bagi para ulama yang
datang sesudahnya, banyak sekali ulama yang telah membuat ringkasan dari kitab ini, serta
mensistematiskannya, bahkan ada pula ulama yang telah memberikan tanggapan serta koreksi
perbaikan terhadap kitab ini.

Al Taqrib wa al Taisir li Ma'rifati Sunani al Basyir al Nadhir.

Disusun oleh Muhyidin Yahya bin Syarifu al Nawawi (wafat 676 H). kitab ini merupakan
ringkasan dari kitab 'Ulumul Hadits' karya Ibnu Shalah, sebuah kitab yang sangat baik sekali,
Cuma kadang-kadang terdapat ungkapan yang sulit untuk dipahami.

Tadribu al Rawi fi Syarhi Taqrib al Nawawi.

Disusun oleh Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar As Suyuti (wafat 911 H).merupakan kitab
pensyarah kitab Taqrib An Nawawi sebagaimana nampak jelas pada namanya, dalam kitab ini
penyusunnya mengumpulkan kaidah-kaidah yang banyak sekali.

Nahlmu al Durar fi Ilmi al Atsar.


Disusun oleh Zainuddin Abdurrahim bin Husein al Iraqi (wafat 806 H), terkenal dengan nama
'Alfiyah al Iraqi' merupakan kitab Nadham dari kitab 'Ulumul Hadits karya Ibnu Shalah, dengan
beberapa tambahan kitab ini bagus sekali faidahnya, dan telah banyak disyarahkan, dua
diantaranya disusun oleh penyusunnya sendiri.

Fathu al Mughits fi Syarhi Alfiyah al Hadits.

Disusun oleh Muhammad bin Abdurrahman al Sakhawy (wafat 902 H), merupakan kitab
pensyarah kitab Alfiyah karya al Iraqi, dan merupakan syarah yang paling sempurna dan paling
baik dari sekian banyak kitab syarah Alfiya

Nuhbatu al Fakir fi Musthalah Ahli al Atsar.

Disusun oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany (wafat 852 H), sebuah kitab kecil dan sangat
ringkas, akan tetapi merupakan ringkasan yang paling bermanfaat dan paling bagus urutan-
urutannya, penyusunnya merupakan orang yang paling awal dalam menyusun kitab yang
menempuh jalan secara urut dan terbagi-bagi pembahasannya, yang sebelumnya belum pernah
dilakukan orang lain. Kemudian beliau telah mensyarahnya dengan nama 'Nuzhatu al Nadhar',
sebagaimana yang lainnya telah mensyarahkannya.

Al Mandhumatu al Baiquniyah.

Disusun oleh Umar bin Muhammad al Baiquny (wafat 1080 H), merupakan kitab nadham yang
ringkas karena hanya terdiri dari tiga puluh empat bait, dan merupakan ringkasan yang
bermanfaat lagi terkenal dan telah banyak disyarahkan.

Qawaidu al Tahdits.

Disusun oleh Muhammad Jamaluddin al Qashimy (wafat 1332 H), merupakan kitab karangan
orisinil yang sangat berfaidah sekali.

Dinukil dari kitab Taisir Musthalah Hadits karya Dr. Mahmud Thahhan yang diterjemahkan
kedalam bahasan Indonesia oleh Drs. Zainul Muttaqin dan diterbitkan oleh Titian Ilahi Press (Cet
II/Des 1999).

http://www.salafyoon.net/manhaj/sekilas-sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html
Pengantar Ilmu Hadits

Sesungguhnya segala pujian hanya untuk Allah. Kami memuji kepada-Nya, meminta
pertolongan hanya kepada-Nya dan meminta ampunan hanya kepada-Nya. Kita berlindung
kepada-Nya dari kejelekan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amalan-amalan kita. Barangsiapa yang
diberi hidayah oleh Allah, niscaya tidak ada yang sanggup menyesatkannya. Barangsiapa yang
disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi hidayah kepadanya. Saya bersaksi
bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-
Nya. amma ba’du:

Definisi Ilmu Musthalah Al-Hadits


Ilmu musthalah al-hadits biasa juga dinamakan ilmu al-hadits atau ilmu ar-riwayah atau ilmu
ushul ar-riwayah. Mengenai definisinya, As-Suyuthi rahimahullah di awal Tadrib Ar-Rawi
menyebutkan beberapa definisi di kalangan ulama. Dan setelah beliau menyebutkan semuanya,
beliau kemudian menukil ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar dimana beliau berkata, “Definisi yang
paling tepat untuk ilmu hadits adalah dikatakan: Ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah yang
dengan kaidah-kaidah ini bisa diketahui keadaan ar-rawi (periwayat) dan al-marwi (lafazh yang
diriwayatkan). ” Semisal dengan definisi dari Ibnu Juma’ah yang juga dinukil oleh As-Suyuthi,
dimana beliau berkata, “Ilmu hadits adalah sebuah ilmu yang berisi kaidah-kaidah yang
dengannya bisa diketahui keadaan sanad dan matan (redaksi hadits).”
Dari kedua definisi di atas, kita bisa mengetahui bahwa pokok pembahasan ilmu hadits adalah
sanad dan matan hadits. Sementara manfaat dari ilmu hadits ini adalah agar seseorang bisa
membedakan mana hadits yang bisa diterima dan mana hadits yang harus ditolak.

Sejarah Ringkas Perkembangan Ilmu Hadits


Setiap orang yang mempelajari ilmu hadits ini harus mengetahui bahwasanya semua landasan
dan aturan mendasar dari ilmu riwayat dan penukilan kabar itu sudah termaktub dalam Al-
Qur`an dan sunnah. Di dalam Al-Qur`an Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam juga telah bersabda:


َ ْ‫ب ُمبَلَّ ٍغ َأ ْوعَى ِمن‬
‫سا ِم ٍع‬ َّ ‫س ِم َع فَ ُر‬
َ ‫ش ْيًئا فَبَلَّ َغهُ َك َما‬ َ ‫ض َر هَّللا ُ ا ْم َرًأ‬
َ ‫س ِم َع ِمنَّا‬ َّ َ‫ن‬
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar sesuatu dariku
kemudian dia sampaikan sebagaimana dia mendengarnya, maka bisa jadi orang yang
disampaikan kepadanya itu lebih faham (tentang hadits itu) daripada orang yang mendengarnya
(secara langsung)”. (HR. At-Tirmizi no. 2581 dari Ibnu Mas’ud)
Dalam riwayat lain:
‫س بِفَقِي ٍه‬ َّ ‫ب َحا ِم ِل فِ ْق ٍه ِإلَى َمنْ ُه َو َأ ْفقَهُ ِم ْنهُ َو ُر‬
َ ‫ب َحا ِم ِل فِ ْق ٍه لَ ْي‬ َ ‫ض َر هَّللا ُ ا ْم َرًأ‬
َّ ‫س ِم َع ِمنَّا َح ِديثًا فَ َحفِظَهُ َحتَّى يُبَلِّ َغهُ فَ ُر‬ َّ َ‫ن‬
“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengar hadits dariku lalu
menghafalnya dan menyampaikannya kepada orang lain. Karena terkadang orang yang
membawa fiqhi (hadits), dia menceritakannya kepada orang yang lebih faqih darinya, dan
terkadang orang yang membawa fiqhi itu sendiri itu bukanlah orang yang faqih.” (HR. Abu
Daud no. 3175, At-Tirmizi no. 2580, dan Ibnu Majah no. 226 dari Zaid bin Tsabit)
Dalam ayat dan hadits di atas terdapat landasan awal dari kewajiban meneliti dan memeriksa
sebuah kabar sebelum kabar tersebut diterima. Juga menjadi landasan dalam hal bagaimana cara
memeriksanya, memperhatikannya, menghafalnya, dan berhati-hati dalam menyampaikan kabar
tersebut kepada orang lain.

Dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya ini, para sahabat radhiallahu anhum
senantiasa melakukan tatsabbut (mengecek kebenaran) dalam menukil dan menerima sebuah
kabar, terlebih lagi jika mereka meragukan kejujuran orang yang membawa kabar tersebut. Maka
dari sisi inilah muncul pembahasan mengenai sanad sebuah kabar dan bagaimana pentingnya
kedudukan sanad dalam menerima atau menolak suatu kabar.

Disebutkan dalam Muqaddamah Shahih Muslim dari Muhammad bin Sirin bahwa beliau berkata,
“Dahulu, mereka  tidak pernah mempertanyakan mengenai sanad suatu hadits. Tapi tatkala
fitnah (kekacauan) telah terjadi , mereka sudah mulai bertanya (kepada orang yang
menceritakan hadits), “Sebutkan kepada kami rijal (para penukil hadits) kalian. Maka dilihatlah
orang yang disebutkan; Jika rijal yang dia sebutkan adalah ahlussunnah maka diterima hadits
mereka, tapi jika yang disebutkan itu adalah ahli bid’ah maka tidak diterima hadits mereka. “

http://penuntutilmu.com/pengantar-ilmu-hadits/
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode
yaitu :
a. Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13
SH - 11 SH ).
b. Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).
c. Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi'in dan sahabat-
sahabat muda : 41 H - akhir abad 1 H ).
d. Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).
e. Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai
selesai.
f. Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H  sampai
jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ).
g. Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan
penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan
seterusnya ).
 
Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab :
a. Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat
tertentu yang diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.
b. Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa
tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
c. Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.
d. Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.
e. Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam
menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting.
Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat
dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman ‘Umar bin
Abdul Azis, khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah ( 99-101 H ) timbul
inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan hadits itu.
Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan
para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada
sa'at generasi tabi'in mencari hadits-hadits itu.
 
Diantara sahabat-sahabat itu ialah :
Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah. Abdullah bin ‘
Umar bin Khattab, meriwayatkan sekitar 2630 buah. Anas bin Malik,
meriwayatkan sebanyak 2286 buah. Abdullah bin ‘Abbas, meriwayatkan
sebanyak 1160 buah. ‘Aisyah Ummul Mu'minin, meriwayatkan sebanyak
2210 buah. Jabir bin ‘Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 buah. Abu
Sa'id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.
 
Kenapa kemudian Hadits Dikodifikasi.
 
Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-
usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu
dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri
karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang
sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini
ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam
beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula
kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam,
berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang
dinilai mereka sebagai hadits.
 
Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh
mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau
memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah : " Barangsiapa
berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka ".
 
Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-
hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku,
serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu
disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits. Walaupun
usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha
penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah
melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk
mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu
musthalah hadits tersebut.
 
Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat
mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin
Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama at-Turmudzi, al-Madini,
Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan
nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-
hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.
Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita
perhatikan perkembangan kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu
hadits.
 
Perkembangan Kitab-kitab Hadits
 
A. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.
 
Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-
cara antara lain :
1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-
hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-
shalah,hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam
babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam :
 
a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti
yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim.
b. Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih ( asal
tidak munkar ), seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I,
dan sebagainya.
 
2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang
meriwayatkannya. Cara ini terbagi dua macam :
a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama
qabilah. Mereka dahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang
terdekat dengan Rasulullah.
c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik
masuknya Islam. Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk
assabiqunal awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah,
kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.
d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi
berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi.
Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahehnya.
 
3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan
hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam
Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
B. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke I H.
1. Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 - 124 H ).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.
Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan
keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggung-jawabkan.

C. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-2 H.


1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man ( wafat 150 H ).
2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 - 179 H ).
3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
5. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 - 203 H ).
6. Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan'ani ( wafat 311 H ).
7. Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj ( 80 - 180 H ).
8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud ( 94 - 175 H ).
9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina ( 107 - 190 H ).
10.as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza'i ( wafat
157 H ).
11.as-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada
kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.
 
D. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari ( 194 - 256 H ).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj ( 204 - 261 H ).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi ( 209 - 279 H ).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at ( 202 -
275 H ).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai ( 215 - 303 H ).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman
ad Damiri ( 181 - 255 H ).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah
( 209 -  273 H ).
8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 - 241 H).
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307
H ).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur  ( wafat
227 H ).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari
( wafat 310 H ).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi
( wafat 276 H ).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ).
16. Al-Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ).
17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ).
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la ( wafat 307 H ).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad
at-Tamimi ( 282 H ).
20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim Ahmad bin Amr asy-
Syaibani ( wafat 287 H ).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya
Aladani ( wafat 243 H ).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari ( wafat 282 H ).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai ( wafat
303 H ).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari ( wafat
280 H ).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin ( wafat 228 ).
 
Dan masih banyak sekali  kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para
ulama abad ini.
 
E. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H.
1. Al-Mu'jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman
bin Ahmad ath-Thabrani ( wafat 360 H ).
2. As-Sunan oleh Imam Darulkutni ( wafat 385 H ).
3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban ( wafat
354 H ).
4. Ash-Shahih oleh Imam Abu ‘Awanah Ya'qub bin Ishaq ( wafat 316
H ).
5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin  Ishaq
( wafat 311 H ).
6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa'id bin'Usman al-Baghdadi
( wafat 353 H ).
7. Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh ( wafat 340 H ).
8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi ( wafat 321 H ).
9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat
402 H ).
10.Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ).
11.Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ).
12.Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ).
13.Al-Mustadrak ‘ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 - 405 H ).
 
F. Tingkatan Kitab Hadits.
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan
kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah
diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits
yang shahih saja.
2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada
derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang
dha'if ( yang tidak sampai kepada munkar ). Dan sebagian mereka
menjelaskan kedha'ifannya.
3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat
banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut
tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya
bercampur-baur diantara hadits-hadits yang shahih, yang dha'if dan yang
lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-
Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-
lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-
Qur'an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits
yang meneliti  kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata
kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara
penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari,
sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih
ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang
syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara
seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi Muslim hanya
cukup dengan muttashil ( bersambung ) saja.
 
g. Kitab-kitab Shahih Selain Bukhari Muslim.
Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits
shahih sebagaimana yang ditempuh oleh Bukhari dan Muslim, akan
tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits, ternyata kitab-kitab mereka
tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim.
 
Para ulama yang menyusun Kitab Shahih tersebut ialah :
1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih.
2. Abu ‘Awanah dalam kitab ash-Shahih.
3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarba.
4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak.
5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa.
6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitabnya al-
Mukhtarah.                         
 
Menurut sebagian besar para ulama hadits, diantara kitab-kitab hadits
ada 7 ( tujuh ) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu :
1. Ash-Shahih Bukhari.
2. Ash-Shahih Muslim.
3. Ash-Sunan Abu-Dawud.
4. As-Sunan Nasai.
5. As-Sunan Tirmidzi.
6. As-Sunan Ibnu Majah.
7. Al-Musnad Imam Ahmad.
 
Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu Hadits yang kemudian populer dengan ilmu mushthalah hadits
adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu
Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi ( wafat 260 ), walaupun norma-norma
umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan
penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits.
 
Secara garis besarnya ilmu hadits ini terbagi kepada dua macam
yaitu : ilmu hadits riwayatan dan ilmu hadits dirayatan. Ilmu hadits
dirayatan membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu
hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri. Dalam
perkembangan berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits,
seperti :
a. Ilmu rijalul hadits, yaitu ilmu yang membahas tokoh-tokoh yang
berperan dalam periwayatan hadits.
b. Ilmu jarh wat-ta'dil, yaitu ilmu yang membahas tentang jujur dan
tidaknya pembawa-pembawa hadits.
c. Ilmu panilmubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-
orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan suatu hadits.
d. Ilmu tashif wat-tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-
hadits yang berubah titik atau bentuknya.
e. Ilmu ‘ilalil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang penyakit-
penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits, yang dapat
menjatuhkan kwalitas hadits tersebut.
f. Ilmu gharibil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-
kalimat yang sukar dalam hadits.
g. Ilmu asbabi wurudil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang
sebab timbulnya suatu hadits.
h. Ilmu talfiqil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan hadits yang nampaknya bertentangan.
i. Dan lain-lain.
 
Seleksi Hadits
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka
timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para
ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk, dan
kualitas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah
pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu :
a. Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits
shahih dan hadits hasan.
b. Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup
hadits dha'if / lemah dan hadits maudhu' / palsu.
Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits, yaitu :
a. Matan ( materi hadits ).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak
bertentangan dengan al-Qur'an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak
bertentangan dengan realita, tidak bertentangan dengan fakta sejarah,
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk
sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik,tapi
bertentangan isi materinya dengan al-Qur'an :
1. Hadits yang mengatakan bahwa " Seorang mayat akan disiksa oleh
Tuhan karena ratapan ahli warisnya ", adalah bertentangan dengan
firman Allah : " Wala taziru waziratun wizra ukhra " yang artinya " Dan
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain " ( al-An'an : 164 ).
2. Hadits yang mengatakan : " Barangsiapa yang meninggal dunia dalam
keadaan punya hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya
", adalah bertentangan dengan firman Allah : " Wa allaisa lil insani illa
ma-sa'a ", yang artinya : " Dan seseorang tidak akan mendapatkan
pahala apa-apa kecuali dari apa yang dia kerjakan sendiri ". ( an-Najm :
39 ).
Ada satu norma yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu : " Apabila
Qur'an dan hadits bertentangan, maka ambillah Qur'an ".
b. Sanad ( persambungan antara pembawa dan penerima hadits ).
Suatu persambungan hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara
pembawa dan penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam
batas-batas tertentu berguru. Tidak boleh ada orang lain yang
berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam
susunan pembawa hadits itu.
Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima
hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang
maqbul.
c. Rawi ( orang-orang yang membawakan hadits ) :
Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-
syarat :
1. ‘Adil, yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah
berdusta dan membiasakan dosa.
2. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur ( mayoritas )
ulama berpendirian bahwa kitab ash-Shahih Bukhari dan kitab ash-
Shahih Imam Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi
sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat memberikan
seleksinya dengan pedoman-pedoman diatas. Beberapa langkah praktis
dalam usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak
adalah :
1. Perhatikan materinya sesuai dengan norma diatas.
2. Perhatikan kitab pengambilannya ( rowahu = diriwayatkan atau
ahrajahu = dikeluarkan ). Apabila matannya baik diriwayatkan oleh
Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling
rendah hasan.
Dengan demikian dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh
para ulama diberi kata-kata :
a. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah.
b. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 7.
c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 6.
d. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh ( Bukhari dan Muslim ).
e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim ( Muttafaqun ‘ alaihi ).
f.  Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja.
g. Diriwayatkan oleh …..dan disyahkan oleh Bukhari atau Muslim.
h. Diriwayatkan oleh …..dengan syarat Bukhari atau Muslim.
3. Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk
dalam persyaratan pun 2 diatas maka hendaknya diperhatikan komentar-
komentar ulama terhadap hadits itu seperti :
Komentar baik : Hadits quwat, hadits shahih,hadits jayyid, hadits
baik, hadits pilihan dan sebagainya.
Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya,
mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain
sebagainya.
 
Dalam hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapatkan
penilaian berbeda / bertentangan antara seorang ulama dan lainnya.
Maka langkah kita adalah : dahulukan yang mencela sebelum yang
memuji ( " Al-jarhu Muqaddamun ‘alat ta'dil " ). Hal ini apabila dinilai oleh
sama-sama ahli hadits. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa
tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Artinya sesuatu hadits yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-
kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak demikian. Contohnya dalam
hadits kita akan menemukan kata-kata dan dishahihkan oleh Imam
Hakim, oleh Ibnu Huzaimah dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut
tidak shahih ( belum tentu shahih ).
 
Apabila langkah-langkah diatas tidak mungkin ditempuh atau belum
memberikan kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka
hendaknya digunakan norma-norma umum seleksi, seperti yang
diterangkan diatas, yaitu menyelidiki langsung tentang sejarah para rawi
dan lain-lain, dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu
sejumlah buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan para
pembawa hadits, seperti yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam
bukunya ad-Dhu'afa ( kumpulan orang-orang yang lemah haditsnya ).

Anda mungkin juga menyukai