Anda di halaman 1dari 5

LABA DALAM ISLAM

A. DUA PRINSIP DASAR PERNIAGAAN

1. Prinsip Saling Ridha


Agama Islam sangatlah mengormati hak ummatnya. Setiap ummat islam
diwajibkan untuk saling menghargai dan menjaga hak-hak saudaranya. Untuk itu,
islam mengharamkan ummatnya untuk mengambil hak saudaranya yang lain
tanpa sepengetahuannya. Dalam hal ini Islam sangat menekankan hukum al-
ghasbu ataupun hukum as-sariqoh. Dalam hadist disebutkan:

.‫اعلَْي ِه‬ ِ ِ ‫احبِ ِه لَعِباواَل ج ًّاداوِإ َذاَأخ َذَأح ُد ُكم ع‬


َ ‫صاَأخيه َف ْلَي ْر ُد ْد َه‬
َ َ ْ َ َ َ َ ًَ
ِ ‫اَل يأخ َذ َّن َأح ُد ُكم متَاع ص‬
َ َ َْ َ ُ َ
Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan
tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur
mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya.
(HR. Ahmad)

Untuk menghindari hal ini maka disyariatkan prinsip perdagangan suka


sama suka atau ridha bi ridha. Prnsip ini berpendapat bahwasannya suatu
perniagaan dapat dijalankan apabila dilandasi dengan dasar saling suka. Alllah
menyatakan dalam Al Qur’an
‫ج‬
‫اض ِمْن ُك ْم‬ ِ ‫يا َأيُّها الَّ ِذين آمنُوا ال تَْأ ُكلُوا َأموالَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
ٍ ‫اط ِل ِإال َأ ْن تَ ُكو َن جِت َ َارةً َع ْن َتَر‬َ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’)

Perniagaan yang tidak didasari dengan prinsip saling


merelakan (ridha bi ridha) dinyatakan tidak sah. Apabila seorang pembeli
memaksa untuk membeli suatu barang yang tidak dijual, meski dengan harga
tinggi, maka transaksi ini tidkak dibenarkan. Karena pada konsepnya perniagaan
haruslah ada rasa saling merelakan, sang penjual rela menjual dan sang pembeli
rela membeli dengan harga sesuai kesepakatan

ٍ ‫ِإمَّنَاالَْبْي ُع َع ْن َتَر‬
.‫اض‬
Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka
sama suka. (HR. Ibnu Majah dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Sunan
Ibnu Majah, no. 2185 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)

2. Prinsip Untuk Tidak Merugikan Orang Lain


Dalam agama apapun hal-hal yang merugikan sesama tentulah dilarang.
Karena pada dasarnya agama ada untuk menentramkan kehidupan manusia,
membimbing manusia menuju jalan yang benar. Islam sebagai agama rahmatan
lil alamin dan juga sebagai agama yang disempurnakan oleh Allah yang mana
telah mengatur kehidupan manusia dalam setiap aspeknya tentu juga
memperhatikan hal ini. Dalam riwayat Muslim no. 2586 Rasulullah bersabda:

‫اعى هَلُ ْم‬ ْ ُ‫ني يف َتَرامُحِ ِه ْم َو َت َو ِّاد ِه ْم َوَت َعاطُِف ِه ْم َك َمثَ ِل اجلَ َس ِد إ َذا ا ْشتَ َكى ِمْن ُه ْم ع‬
َ ‫ض ٌو تَ َد‬
ِ
َ ‫َمثَ ُل املـُْؤ من‬
‫والس َح ِر‬ ِِ ‫ِئ‬
َ ‫َسا ُر اجلَ َسد باحُل َّمى‬
“Perumpamaan umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang dan bahu
membahu sesama mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang
menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan
demam.”

Prinsip tidak merugikan orang lain juga berarti berbuat adil. Dalam
perdagangan hal takar-menakar adalah sesuatu yang tidak akan terpisahkan. Maka
takar-menakar haruslah dengan adil. Adil juga merupakan salah satu upaya untuk
mendekatkan diri pada Allah dan bertakwa kepadanya.
ِ ِ‫وَأقِيموا الو ْز َن ب‬
‫الق ْس ِط َواَل خُتْ ِسُروا املـِْيَزا َن‬ َ ُْ َ
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu..” (QS. Ar-Rahman [55] : 9)
‫صوا املِكْيَ َال َواملـِْيَزا َن‬ ٍ ِ ِ
ُ ‫اه ْم ُش َعْيبَا قَ َال يَا َق ْوم ْاعبُ ُدوا اهللَ َما لَ ُك ْم م ْن ِإله َغْيُرهُ َواَل َتْن ُق‬ َ ‫َوِإىَل َم ْديَ َن‬
ُ ‫َأخ‬
ِ ِ‫) ويا َقوِم َأوفُوا املِكْي َال والْ ِميزا َن ب‬84(‫اف علَي ُكم ع َذاب يوٍم حُمِي ٍط‬
‫الق ْس ِط‬ ‫خِب‬
َ َ َ ْ ْ ََ ْ ْ َ َ َ ْ ْ َ ُ ‫َأخ‬ َ ‫ِإيِّن ََأرا ُك ْم َرْيٍ َوِإيِّن‬
)85( ‫ض ُم ْف ِس ِديْ َن‬ ْ ‫اس َأ ْشيَاءَ ُه ْم َواَل َت ْعَث ْوا يِف‬
ِ ‫اَألر‬ َ َ‫َواَل َتْب َخ ُسوا الن‬
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain
Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku
melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir
terhadapmu akan adzab hari yang membinasakan (kiamat). (84)
"Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
(QS. Hud [11] : 84-85)

B. LABA DALAM ISLAM

Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dalam laporan keuangan
yang memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba pada umumnya
dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, penentuan kebijakan pembayaran
dividen, pedoman investasi dan pengambilan keputusan dan unsur prediksi
kinerja perusahaan
Mendapat keuntungan besar adalah cita-cita setiap pedagang, namun
tidaklah dengan menghalalkan segala cara. Islam selalu memandang maslahatu
ummah atau kemaslahatan bersama sebagai landasan untuk bertindak.
Dalam prakteknya, para pedangang umunya mengambil laba sebesar dua
puluh persen dari barang dagangannya namun adapula yang mengambil
keuntungan sedikit lebih besar yaitu tiga puluh persen dari barang dagangannya.
Hal seperti ini tidaklah menjadi masalah. Dalam Islam tidaklah dibatasi
berapapun laba yang ingin diambil dari dagangannya, hanya saja harus dengan
ridha dari pembeli.
Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, telah terjadi kenaikan harga,
hendaknya engkau membuat ketentuan harga jual!” Menanggapi permintaan ini,
beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “sesungguhnya
Allah-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan
Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allah
dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam
urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan.” (HR. Abu Dawud, no 3453, Tirmidzi,
no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Misykatul
Mashabih, no. 2894).

Hanya saja pada saat ini banyak sekali trik-trik dagang yang dilakukan
untuk mendapatkan laba yang besar. Jika trik yang digunakan seperti penimbunan
barang yang menyebabkan barang tersebut mengalami kelangkaan di pasaran,
maka jelas sekali bahwa hukumnya adalah haram. Karena hal ini tentu saja
merugikan orang lain, sumber daya yang seharusnya tetap mengalir sengaja di
hambat untuk mengambil keuntungan yang lebih besar.
Kedua prinsip dasar perniagaan yang telah dijelaskan sebelumnya tentu
sangat dapat dipahami apabila pedagang diperbolehkan mengambil keuntungan
tanpa batas. Hal ini dikarenakan adanya dasar saling ridha antara penjual dan
pembeli. Dengan catatan: menggunakan cara yang baik dan bukan cara yang batil.
DAFTAR PUSTAKA

Al Quranul Karim
Amin Suma, Muhammad, (2015), Tafsir Ayat Ekonomi. Jakarta: AMZAH
Hafidhuddin, Didin dan Syauqi Beik, (2014), Modul Tafsir Hadist Ekonomi
dan Manajemen. Bogor: Program Pascasarjana MB-IPB.
Majalah As-Sunah Edisi 07/THN.XIV. November 2010 h. 46-49
Sri Nurhayati, Wasilah, (2009), Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat, h. 13

Anda mungkin juga menyukai