Anda di halaman 1dari 11

A.

Pengertian Muamalah: Menurut Al-Qur’an Serta Hadist


SECARA ETIMOLOGI

Menurut segi bahasa muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang artinya
saling melakukan, saling bertindak atau saling mengamalkan. Dengan demikian arti
muamalah melibatkan lebih dari satu orang dalam prakteknya, sehingga akan timbul adanya
hak dan kewajiban.

Sedangkan dari segi  istilah, pengertian muamalah berdasarkan fiqih mempunyai dua arti,
yaitu pengertian dalam arti luas dan pengertian dalam arti sempit.

Muamalah dalam arti yang luas adalah aturan allah yang mengatur tentang masalah hubungan
manusia dan usaha mereka dalam mendapatkan kebutuhan jasmani dengan jalan yang terbaik.
Sedangkan dalam arti sempit muamalah adalah kegiatan tukar menukar suatu barang yang
bermanfaat dengan menggunakan cara cara yang sesuai aturan islam.

MENURUT ALQUR’AN

Ayat Alquran tentang muamalah yang sesuai:

An Nisa’ ayat 29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yg berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu.

Muamalah dalam Islam adalah aturan-aturan dan hukum yang mengatur tata cara memenuhi
kebutuhan dunia dengan cara yang benar menurut syariat islam. Muamalah dapat membantu
kita mengetahui mana yang haram dan mana yang halal.

HADITS

“Sesungguhnya apabila allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka allah
mengharamkan pula hasil penjualannya” (HR. Abu Daud)

“Janganlah kalian berbuat zhalim, ingatlah tidak halal harta seorang kecuali dengan
keridhoan darinya” (HR al-Baihaqi).

B. PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH

Hakikat diturunkannya syari’at Islam adalah mendatangkan kemaslahatan dan


menghindarkan kerusakan, yang tercermin dalam bentuk perintah dan larangan dari Allah
SWT dan Rasul-Nya.

1. Prinsip Umum

Dalam prinsip umum muamalah terdapat 4 hal yang utama, yaitu:

 Hukum asal dalam muamalah pada dasarnya adalah mubah kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
 Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan kemaslahatan / manfaat
dan menghindarkan mudharat dalam masyarakat.
 Pelaksanaan muamalah didasarkan dengan tujuan memelihara nilai keseimbangan dari
berbagai segi kehidupan, antara lain meliputi keseimbangan antara pembangunan
material dan spiritual, pemanfaatan serta pelestarian sumber daya.
 Muamalah dilakukan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur
kedzaliman.

2.  Prinsip Khusus

Sedangkan prinsip khusus muamalah dibagi menjadi dua, yaitu yang diperintahkan dan yang
dilarang:

 Objek transaksi harus yang halal, artinya dilarang melakukan aktivitas ekonomi atau
bisnis terkait yang haram.
 Adanya keridhaan semua pihak terkait muamalah tersebut, tanpa ada paksaan.
 Pengelolaan dana / aset yang amanah dan jujur.

Sedangkan yang dilarang dalam muamalah antara lain:

 Riba, merupakan setiap tambahan / manfaat yang berasal dari kelebihan nilai pokok
pinjaman yang diberikan peminjam. Riba juga sebagai suatu kegiatan yang
menimbulkan eksploitasi dan ketidakadilan yang secara ekonomi menimbulkan
dampak sangat merugikan masyarakat
 Gharar yaitu mengandung ketidakjelasan, spekulasi, taruhan, bahaya, cenderung pada
kerusakan.
 Tadlis atau penipuan, misalnya penipuan dalam transaksi jual beli dengan
menyembunyikan terdapatnya kecacatan barang yang diperjualbelikan.
 Berakad dengan orang-orang yang tidak pandai dalam hukum, seperti orang gila, anak
kecil, terpaksa dan lain sebagainya.

3. Prinsip-Prinsip (Fikih) Mu’amalah

1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.

‫ ِإالَّ َما َد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى ِخالَ ِف ِه‬،ُ‫احة‬ ْ ‫ص ُل ِفى اَأْل‬


ِ َ‫ ا ْل ُم َعا َمال‬D‫شيَا ِء ( ِفى‬
َ َ‫ت) اِإل ب‬ ْ ‫اََأل‬

“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya
mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”

2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.

َ ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َوالَ تَ ْقتُلُ ْوا َأ ْنف‬


29 :‫النساء‬- .‫س ُك ْم ِإنَّ هللاَ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ِ َ‫يآيُّ َها الَّ ِذيْنَ آ َمنُ ْوا الَ تَْأ ُكلُ ْوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب‬
َ ‫اط ِل ِإالَّ َأنْ تَ ُك ْونَ تِ َج‬
ٍ ‫ عَنْ ت ََر‬Dً‫ارة‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah
adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan


menghindari mudharat dalam bermasyarakat.

‫رواه أحمد وابن ماجة‬- .‫ار‬ ِ َ‫ض َر َر َوال‬


َ ‫ض َر‬ َ َ‫سلَّ َم ق‬
َ َ‫ضى َأنْ ال‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ت َأنَّ َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫ ا ْب ِن‬Dَ‫عَنْ عُبا َ َدة‬
ِ ‫صا ِم‬

“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat
kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah)

Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;

َّ ‫اَل‬
‫ض َر ُر يُـزَ ا ُل‬

“Kemudharatan harus dihilangkan”

4 . Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari


unsur-unsur penganiayaan dalam pengambilan kesempatan.

279 :‫البقرة‬- . َ‫س َأ ْم َوا ِل ُك ْم الَ تَ ْظ ِل ُم ْونَ َوالَ تُ ْظلَ ُم ْون‬ ْ ‫س ْو ِل ِه َوِإنْ تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر‬
ُ ‫ُؤو‬ ُ ‫هللا َو َر‬ ٍ ‫ ِب َح ْر‬D‫فَِإنْ لَ ْم تَ ْف َعلُ ْوا فَْأ َذنُ ْوا‬
ِ َ‫ب ِمن‬

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-
Baqarah: 279)

(Berdasarkan sumber MUI edisi 2016 jakarta)


C.RUANG LINGKUP MUAMALAH
Di atas telah dijelaskan berdasarkan aspeknya, muamalah dibagi menjadi dua jenis, yaitu
muamalah adabiyah dan madiyah.

 Muamalah Adabiyah

Penjelasan muamalah adabiyah merupakan muamalah yang berkaitan dengan bagaimana cara
tukar menukar benda ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia. Muamalah ini mengatur
tentang batasan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh manusia terhadap
benda yang berkaitan dengan adab dan akhlak, seperti kejujuran, kesopanan, menghargai
sesama, saling meridhoi, dengki, dendam, penipuan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat dalam mengelola suatu benda

Pada muamalah adabiyah memberikan panduan yang syara’ bagi perilaku manusia untuk
melakukan tindakan hukum terhadap sebuah benda. Semua perilaku manusia harus
memenuhi prasyarat etis normatif sehingga perilaku tersebut dianggap layak untuk dilakukan.

 Muamalah Madiyah

Sedangkan muamalah madiyah adalah muamalah yang berkaitan dengan objek muamalah
atau bendanya. Muamalah madiyah telah menetapkan aturan secara syara’ terkait dengan
objek bendanya. Apakah suatu benda halal, haram dan syubhat untuk dimiliki, diupayakan
dan diperjualbelikan, apakah suatu benda bisa menyebabkan kemaslahatan atau
kemudharatan bagi manusia, dan beberapa segi lainnya.

Dengan kata lain, muamalah madiyah bertujuan untuk memberikan panduan kepada manusia
bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat kebendaan dan bersifat sementara
bukan sekedar memperoleh keuntungan semata, tetapi juga bertujuan untuk memperoleh
ridha Allah SWT, dengan cara melakukan muamalah sesuai dengan aturan main yang sesuai
dengan aturan-aturan yang ditetapkan secara syara’.

Ruang lingkup muamalah yang bersifat madiyah:

 Jual-beli ( bai’ )
 Gadai ( rahn )
 Jaminan dan tanggungan (Kafalah dan Dhaman)
 Pemindahan hutang ( hiwalah )
 Pailit ( taflis )
 Perseroan atau perkongsian ( syirkah )
 Perseroan harta dan tenaga ( mudharabah )
 Sewa menyewa tanah (mukhabarah)
 Upah (ujral al-amah)
 Gugatan (asy syuf’ah)
 Sayembara (al ji’alah)
 Batas bertindak (al hajru)
 Pembagian kekayaan bersama (al qisamah)
 Pemberian (al hibbah)
 Pembebasan (al ibra’), damai (ash shulhu)
 Masalah-masalah seperti bunga bank, kredit, asuransi dan masalah-masalah baru
lainnya.

RUANG LINGKUP MUAMALAH BERDASARKAN TUJUAN

Penting untuk diketahui bahwa ruang lingkup muamalah juga mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia seperti bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.

 Hukum Keluarga (Ahkam Al Ahwal Al-Syakhiyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang
bertujuan untuk membangun dan memelihara keluarga sebagai bagian terkecil. Meliputi
hukum tentang hak maupun kewajiban suami, istri, dan anak serta hubungan keluarga satu
dengan lainnya.

 Hukum Perdata (Al Ahkam Al Maliyah)

Hukum ini yang mengatur hubungan individu didalam bermuamalah serta bentuk
hubungannya, seperti jual beli, sewa-menyewa, hutang piutang, perjanjian, perserikatan. Jadi
hukum perdata berkaitan dengan kekayaan dan hak-hak atas pemeliharaannya sehingga
tercipta hubungan yang harmonis di dalam masyarakat.

 Hukum Pidana (Al-Ahkam Al-Jinaiyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan segala bentuk kejahatan, pelanggaran hukum dan
ketentuan sanksi-sanksi hukumnya. Tujuannya adalah untuk menjaga ketentraman dan
keamanan hidup umat manusia termasuk harta kekayaannya, kehormatannya, dan membatasi
hubungan antara pelaku tindak pidana kejahatan dengan masyarakat maupun korban.

 Hukum Acara (Al-Ahkam Al-Murafa’at)

Definisi hukum acara adalah hukum yang berkaitan dengan sumpah, persaksian, tata cara
mempertahankan hak dan memutuskan siapa yang terbukti bersalah, sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Pada hukum ini bertujuan untuk mengatur dan merealisasikan keadilan
di dalam kehidupan masyarakat.

 Hukum Perundang-Undangan (Al-Ahkam Al-Dusturiyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan perundang-undangan yang berlaku untuk


membatasi hubungan hakim dengan terhukum serta menetapkan hak-hak perorangan dan
kelompok.

 Hukum Kenegaraan (Al-Ahkam Al-Duwaliyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan
rakyatnya, hubungan antar kelompok masyarakat dalam suatu negara maupun antar negara.
Hukum ini bertujuan untuk mengatur mengatur hubungan di antara umat Islam dengan yang
lainnya yang ada dalam suatu Negara, hubungan pemerintah dan rakyatnya serta hubungan
yang terjadi antar negara pada masa damai dan masa perang.

 Hukum Keuangan dan Ekonomi (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyyah Wa Al-


Maliyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan hak hak dari fakir miskin pada harta orang kaya,
mengatur sumber keuangan negara, pendistribusian serta permasalahan pembelanjaan negara
dalam rangka untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya.

D. MAKNA SPIRITUAL TENTANG KEJAYAAN HIDUP

dikutip dari buku Sayyed Hosseein Nash salah seorang spiritualis Islam mendefinisikan
spiritual sebagai sesuatu yang mengacu pada apa yang terkait dengan dunia ruh, dekat dengan
Ilahi, mengandung kebatinan dan interioritas yang disamakan dengan yang hakiki.

Spiritualitas menurut Ibn ‘Arabi adalah pengerahan segenap potensi rohaniyah dalam diri
manusia yang harus tunduk pada ketentuan syar’I dalam melihat segala macam bentuk
realitas baik dalam dunia empiris maupun dalam dunia kebatinan.

1.Penjelasan Al-Qur’an tentang spiritual

‫خَاب َم ْن َدسَّاهَا‬
َ ‫ قَ ْد َأ ْفلَ َح َمن زَ َّكاهَا ) َوقَ ْد‬. ‫ فََأ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا‬. ‫س َو َما َسوَّاهَا‬
ٍ ‫َونَ ْف‬

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan
sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (Qs. asy-Syams/91: 7-10).6

Menurut Ibn ‘Asyur, kata ‘nafs’ dalam ayat berbentuk nakirah (tanpa alif lam ta‘rif), ini
menunjukkan nama jenis, sehingga mencakup jati diri seluruh manusia. Hal ini senada
dengan penggunaan kata yang sama secara nakirah dalam ayat 5 surat al-Infithar:

ْ ‫ت َوَأ َّخ َر‬


)5 :]82[ ‫ت (االنفطار‬ ْ ‫ت نَ ْفسٌ َما قَ َّد َم‬
ْ ‫َعلِ َم‬

“Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.
(Q. S. al-Infithar [82]:8.

Nilai spiritualitas dalam islam adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan dinamika
kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam islam bukanlah dimensi yang
berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh yang kenyataannya adalah kesadaran akan
hubungan seorang muslim dengan Allah ini harus dibawa ke mana pun seorang muslim itu pergi,
dalam kondisi apapun, dan dalam menjalani aktivitas serta urusan apa pun. Inilah makna sejati dari
dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-
geriknya sehingga mendorong seorang muslim untuk selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas
sedikit pun. Demikianlah cara orang-orang yang beriman untuk mentransendensikan seluruh
aktivitas mereka di dunia dan “melayani” Allah dalam setiap urusan yang mereka kerjakan.

E. Pandangan islam tentang kehidupan dunia

Rumusan awal mengenai Islam dalam pandangan Muhammadiyah tertuang dalam


Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai “Masâilul Khamsah”
(Masalah Lima) tanpa ada rujukan nashnya (baik berupa nash al-Quran maupun as-
Sunnah).

Dari rumusan “Masâilul Khamsah” terkandung rumusan fundamental (pandangan


dasar) tentang Islam dalam pandangan Muhammadiyah, yang tertuang dalam
penjelasan mengenai: agama, dunia, ibadah, sabilullah dan qiyas.

Antara Ibadah dan Muamalah

Agama Islam membawa ajaran-ajaran yang secara garis besar — berdasarkan


klasifikasi para ulama — terdiri dari akidah, syariah dan akhlak. Akidah mencakup
pokok-pokok keimanan, yang intisarinya adalah tauhid. Syariah adalah sistem
norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama
manusia dan alam semesta. Syariah dibedakan menjadi dua, yaitu yang mengatur
tatacara ibadah murni (ibadah mahdhah) dan tatacara hubungan dengan sesama
manusia dan alam (mu’amalah). Adapun akhlak adalah ajaran tentang baik-buruk
berkaitan dengan sikap jiwa, perangai, karakter, dan perilaku manusia kepada
Tuhan, sesama manusia, dan alam. Akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak
merupakan satu sistem yang saling berkait-berkelindan, tidak bisa dipisah-
pisahkan, dan saling berhubungan secara korelatif.

Yang sering menimbulkan masalah dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan
ibadah (mahdhah) dan muamalah. Mengenai ibadah ini ada kaidah ushul-fikih
yang menyatakan: “Al-ashlu fil ’ibadati at-tahrim illa ma syara’ahullah wa
rasuluh” (ibadah itu pada dasarnya dilarang kecuali yang diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya). Allah SWT sudah menetapkan pokok-pokoknya, sedangkan
Rasulullah SAW menjelaskan tata-caranya. Dalam hal ibadah ini dasar utamanya
adalah mengikuti perintah dan contoh dari Nabi SAW. Disini tidak berlaku
analogi, logika, atau alasan-alasan. Oleh karena itu dalam hal ibadah tidak ada
ruang untuk “kreativitas”, kecuali menyangkut sarana penunjangnya. Perbedaan
masih dimungkinkan menyangkut hal-hal yang tidak pokok karena dalil-dalil
naqlinya yang multi-tafsir disamping persoalan yang menyangkut kuat-lemahnya
sebuah hadis. Sepanjang ada landasan dalil naqlinya, perbedaan harus ditolerir.
Berkaitan dengan ibadah mahdhah ini yang sering menjadi perdebatan adalah
amalan di sekitar pelaksanaan ibadah. Misalnya, bacaan ta’awwudz,
basmalah dan shalawat oleh muadzin sebelum mengumandangkan adzan,
melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram dalam shalat, dan bersalam-
salaman sesudah shalat berjamaah. Satu pihak berpendapat hal itu tidak
diperbolehkan karena tidak ada contoh dari Nabi SAW. Pihak lain
memperbolehkan karena hal itu dilakukan di luar (sebelum atau sesudah) ibadah.
Masalahnya, karena amalan itu dilakukan secara rutin dan berurutan langsung
dengan pelaksanaan ibadah, maka bisa menimbulkan kesan atau pemahaman
bahwa amalan itu bersifat wajib dan merupakan bagian dari syarat atau rukun
ibadah. Pemahaman ini yang harus diluruskan.

Jika dalam hal ibadah dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh dari
Rasulullah SAW, maka dalam hal muamalah dasar utamanya untuk sebagian besar
ketentuan syariah adalah pemahaman terhadap hakekat, tujuan, alasan, dan
masalahat di balik ketentuan tersebut. Dengan kata lain, dalam hal muamalah
ketentuan syariah tidak seketat seperti dalam ibadah, dalam arti masih ada ruang
untuk mempertimbangkan berbagai variabel dan ruang untuk kreativitas. Dalam
hubungan ini ada sebagai misal kaidah ushul fikih yang berkaitan dengan
muamalah, ”al-hukmu yaduru ma’al ’illati wujudan wa ’adaman” (hukum itu bisa
berubah menjadi ada dan tidak ada berdasarkan alasan-alasannya).

Jika dalam hal ibadah terdapat kaidah “semua dilarang kecuali yang
diperintahkan”, maka dalam hal non-ibadah, termasuk adat, tradisi, dan produk-
produk budaya, kaidahnya adalah “semua boleh kecuali yang dilarang” (al-ashlu fil
’adati al-ibahah illa ma warada tahrimuhu). Dalam hal ini, kreativitas atau
kepeloporan untuk menciptaan kebaikan-kebaikan justru didorong, sebagaimana
ucapan Nabi SAW “Man sanna sunnatan hasanah falahu ajruhu wa ajru man
’amila bihu ba’dahu” (Barangsiapa mempelopori suatu kebaikan, maka ia akan
memperoleh pahala kebaikan yang dia lakukan itu, dan pahala siapa saja yang
melakukan kebaikan itu sesudahnya).

Antara Urusan Agama dan Urusan Dunia

Istilah “urusan agama” dan “urusan dunia” ini berasal dari sabda Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan dengan beberapa
sahabat dan melihat orang-orang berada di pucuk pohon-pohon korma. Rasul
bertanya: “apa yang mereka lakukan di sana?”. Dijawab: “mereka sedang
mengawinkan bunga-bunga korma agar berbuah”. Nabi berkata: “saya kira itu
tidak perlu”. Setelah mendengar perkataan Nabi itu mereka berhenti melakukan
pengawinan. Ternyata pohon korma mereka kurang banyak buahnya. Merekapun
mengadukan hal tersebut kepada Nabi. Jawaban Nabi atas pengaduan ini ada
beberapa versi riwayat. Menurut riwayat Imam Muslim, bersumber dari Thalhah
ibn Ubaidillah, beliau menjawab: “yang aku katakan itu pendapatku, jangan aku
dipersalahkan karena pendapatku, tapi kalau aku mengatakan sesuatu yang berasal
dari Allah, kalian wajib mengambilnya”. Sedangkan yang bersumber dari Rafi’ ibn
Al-Khadij, Nabi menjawab: “kalau aku perintahkan sesuatu berkaitan dengan
agama ambillah, tapi kalau aku berkata berdasarkan pendapatku, maka aku
hanyalah seorang manusia (yang bisa salah bisa benar)”. Adapun Imam Ahmad,
Ibnu Majah dan Ibnu Hibban meriwayatkan jawaban Nabi adalah “Kalian lebih
tahu mengenai urusan dunia kalian. Jika berkaitan dengan urusan dunia, itu
terserah kalian, tapi kalau berkaitan dengan urusan agama, serahkan kepadaku”.

Beberapa riwayat di atas berbeda tapi tidak bertentangan satu sama lain. Intinya,
ada urusan-urusan agama yang otoritasnya milik Allah dan Rasulullah; dan ada
urusan-urusan dunia yang otoritasnya “didelegasikan” kepada umat termasuk
Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai manusia (basyar). Disini timbul
persoalan, apa batasan antara urusan agama dan urusan dunia?. Ada yang
berpendapat bahwa “urusan agama” yang merupakan otoritas Allah dan Rasul-Nya
adalah yang berkaitan dengan akidah dan ibadah (mahdhah) saja; di luar kedua
aspek itu adalah “urusan dunia” yang merupakan otoritas manusia untuk
mengaturnya. Yang lain berpendapat bahwa terminologi urusan agama dan urusan
dunia tidak ada kaitannya dengan soal otoritas pengaturannya. Dalam kedua urusan
itu manusia harus mengikuti dan menjalankan aturan Allah. Pendapat pertama
bertentangan dengan hakekat agama Islam yang didefinisikan sebagai “sistem
keyakinan dan tata-ketentuan Ilahi yang mengatur segala pri-kehidupan dan
penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan”. Pendapat kedua tidak
sesuai dengan inti pesan dari hadis Nabi SAW diatas.

Jalan tengah dari kedua pendapat ini adalah (1) dalam aspek akidah dan ibadah
(yang oleh para ulama disebut sebagai agama dalam arti sempit), ketentuan-
ketentuan Allah dan Rasulullah bersifat mutlak. (2) dalam aspek muamalah, Allah
dan Rasulullah memberikan patokan-patokan atau prinsip-prinsip, sedangkan
penjabaran dan aplikasinya diserahkan kepada ijtihad manusia. (3) dalam aspek
Akhlak, Allah dan Rasulullah mengajarkan nilai- nilai kebaikan universal (al-
khair) yang bersifat mutlak, sedangkan kebaikan-kebaikan kultural (al-
ma’ruf) disesuaikan dengan budaya yang bersifat relatif dan bisa berubah-ubah.

(berdasarkan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta)

F. Akhlak Rasulullah dalam Bermuamalah

KITA teringat sebuah kata-kata mutiara dari Imam syafi’i berkaitan dengan nasihat,

“Nasihatilah diriku di kala aku sendiri


Jangan kau nasihati aku di tengah keramaian
Karena nasihat di muka umum adalah
bagian dari penghinaan yang tak suka aku mendengarnya
Jika engkau enggan dan tetap melanggar kata-kataku
Maka jangan menyesal jika aku enggan menurutimu.”
AGAMA islam adalah nasihat, yakni nasihat yang berkaitan mengenai kebenaran dan
kesabaran. Nasihat mengenai ketakwaan. Nasihat mengenai amar ma’ruf nahi mungkar.
Nasihat laksana telaga yang diminum airnya ditengah kehausan dalam pengembaraan.
Nasihat adalah sedekah laksana senyuman dan laksana perkataan yang baik. Oleh karenanya
nasihat itu akan bermanfaat. Nasihat adalah amal shalih namun letakkanlah nasihat itu pada
tempatnya dan situasinya agar ia menyentuh hati.

Oleh karena itu akhlak muamalah ini sangatla penting bagi kemaslahatan dunia,
dan berikut ini akhlak muamalah yg diterapkan oleh Rasulullah SAW ketika
beliau berdagang
1.Jagalah Kejujuran

“Penjual dan pembeli boleh meneruskan/memutuskan transaksi selama belum berpisah. Jika
keduanya jujur, keduanya akan diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta dan saling
tertutup., hilanglah berkah jual beli keduanya.” (Muttafaq “alaihi).

2. Bersikap terbuka dan toleransi

Sikap keterbukaan dan toleransi didalam perdagangan adalah sikap yang penuh
dengan rahmat dan kasih sayang dari Allah. Semoga kita bisa meraihnya.
“Semoga Allah merahmati seorang hamba yang bersikap penuh toleransi ketika menual,
membeli, dan menagih hutang.” (HR. Bukhari)

3. Janganlah menipu dan bersikap curang.

Menipu didalam perdagangan akan merugikan konsumen dan mampu menghilangkan tingkat
kepercayaan konsumen kepada penjual. Semoga Allah jauhkan dari sifat ini.

“Barangsiapa yang menipu bukanlah golongan kami. Makar dan tipuan tempatnya adalah
neraka.” (HR. Thabrani)

4. Seringlah memberikan saran dan informasi

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim
menjual barang yang mengandung cacat kepada orang lain, kecuali jika ia menjelaskan.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah)

5. Jangan mengurangi takaran

“Celaka bagi orang-orang yang mengurangi takaran.” (QS. Al-Muthaffifin : 1)

6. Janganlah menimbun

“Barangsiapa menimbun, maka ia berdosa.” (HR. Muslim)

7. Jauhi sumpah bohong


“Sumpah dusta itu melariskan barang dagangan, namun menghilangkan berkah
usaha.” (Muttafaq ‘Alaihi)

8. Janganlah mendekati riba

“Satu dirham hasil riba yang dimakan seseorang, padahal ia tahu lebih berat dosanya
dari pada 36 kali berzina.” (HR. Ahmad)

9. Menjauhkan diri keluarga kira dari harta haram

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata,

“Mata pencaharian yang halal lebih sulit dari pada memindah gunung.”

Anda mungkin juga menyukai