Anda di halaman 1dari 18

GHARAR

MAKALAH

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah
Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu: Sugeng Riyadi, S.E, M.S.I
Disusun oleh:

Kelompok 2

1. Aliffia Fatimatuzzahro NIM. 214110301045


2. Syarah Aessy Fitriyani NIM. 214110301046
3. Siska Yulia Nurjanah NIM. 214110301048
4. Mardiyahtul Janah NIM. 214110301074
5. Muhamad Ridwan Fadilah NIM. 214110301180
6. Alwi Fatoni NIM. 214110301176
7. Hanifah Sekar Lisnanti NIM. 224110301074

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


5 HES D
FAKULTAS SYARIAH
UIN PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2023
A. Pendahuluan
Di zaman modern ini bentuk jual beli terjadi baik antar individu maupun
antar individu dengan lembaga bisnis. Aspek yang berkaitan dengan masalah
proses jual beli yaitu penjual dan pembeli, barang yang diperjualbelikan dan
tata cara jual belinya dilakukan. Praktek jual beli sudah berjalan dan sudah
menjadi kebiasaan masyarakat. Dalam terminologi Islam, jual beli
didefinisikan dengan pertukaran harta atas dasar kesepakatan bersama, atau
pemindahan milik dengan pertukaran dan dengan cara yang dibenarkan. Dalam
melakukan aktivitas jual beli, seorang muslim harus memperhatikan rambu-
rambu yang ditetapkan oleh agama.
Aspek yang bersifat muamalah, dalam konteks perekonomian, hukum
Islam menekankan pada unsur etika dalam tataran praktiknya. Unsur etika
dalam hukum Islam menjadi landasan bagi praktik penerapan hukum Islam
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Etika menduduki
posisi yang paling dasar sehingga semua ajaran, semua hukum, semua perilaku
dalam Islam haruslah berlandaskan pada unsur etika. Ajaran hukum Islam
secara tegas melarang adanya unsur eksploitasi ekonomi yang berupa riba atau
bunga uang dan transaksi-transaksi yang belum diketahui kejelasannya, atau
yang dikenal dengan istilah gharar.1
Dalam syariat diketahui ada jenis jual beli yang tidak boleh (dilarang)
untuk dilakukan. Seperti jual beli yang gharar, dan jual beli yang tidak sah
(batal) seperti jual beli yang dilakukan karena terpaksa, jual beli talji'ah dan
lain-lain. Jual beli gharar adalah jual beli barang dagangan yang kondisinya
tidak dapat diketahui atau jual beli yang mengandung jahalah (kemiskinan) dan
Qumaar (permainan judi).

1
Efa Rodiah Nur, "Riba Dan Gharar: Suatu Tinjauan Hukum Dan Etika Dalam Transaksi Bisnis
Modern", Jurnal AL-‘ADALAH, Vol. 12, No. 3, 2015, hlm. 651.

1
B. Pengertian Gharar
Dalam bahasa arab gharar adalah al-khathr; pertaruhan, majhul
alaqibah; tidak jelas hasilnya, ataupun dapat juga diartikan sebagai
almukhatharah; pertaruhan dan al-jahalah; ketidakjelasan. Gharar merupakan
bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang
lain. Secara istilah fikih, gharar adalah hal ketidaktahuan terhadap akibat suatu
perkara, kejadian atau peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli,
atau ketidakjelasan antara baik dengan buruknya.2 Suatu akad mengandung
unsur penipuan, karena tidak ada kepastian baik mengenai ada atau tidak ada
obyek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan obyek akad tersebut .
Pengertian gharar menurut para ulama fikih Imam al-Qarafi, Imam
Sarakhsi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Hazam, sebagaimana
dikutip oleh M. Ali Hasan3 adalah sebagai berikut: Imam al-Qarafi
mengemukakan gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas,
apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli ikan yang
masih dalam air (tambak). Pendapat al-Qarafi ini sejalan dengan pendapat
Imam Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memandang gharar dari
ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad. Ibnu Qayyim al-Jauziyah
mengatakan, bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu
diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak ada, seperti menjual sapi yang
sedang lepas. Ibnu Hazam memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah
satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi akad tersebut.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa gharar
yaitu jual beli yang mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak
karena barang yang diperjual-belikan tidak dapat dipastikan adanya, atau tidak

2
Nadratuzzaman Hosen, “Analisis Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi”, Al-Iqtishad,
Vol.1, No. 1, Januari 2009, hlm. 54.
3
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 147-148.

2
dapat dipastikan jumlah dan ukurannya, atau karena tidak mungkin dapat
diserah-terimakan.4
Jual beli gharar merupakan jual beli yang tidak memiliki kepastian pada
barangnya. Jual beli gharar mengandung resiko dan membawa mudharat
karena mendorong seseorang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya
sementara dibalik itu justru merugikan dan membahayakan. Oleh karena itu,
setiap jual beli yang masih belum memiliki kejelasan atau tidak berada dalam
kuasanya termasuk jual beli gharar. Gharar juga dapat terjadi dalam empat hal
yaitu kuatitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Kehebatan sistem Islam
dalam bisnis sangat menekankan hal ini agar kedua belah pihak tidak didzalimi
atau terdzalimi karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli,
yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat
tersebut adalah:
1. Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas dan berat jenis yang
ditimbang).
2. Barang dan harga yang jelas serta dimaklumi, dan tidak boleh harga yang
majhul (tidak diketahui ketika beli).
3. Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi.
4. Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.

C. Dasar Hukum Gharar


Dalam Islam hukum jual beli gharar dilarang, hal tersebut berdasarkan
al-Qur’an dan hadis. Larangan jual beli gharar didasarkan pada ayat-ayat al-
Qur’an yang melarang memakan harta orang lain dengan cara batil (tidak
dibenarkan). Menurut Ibnu Taimiyah di dalam gharar terdapat unsur memakan

4
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
hlm. 133.

3
harta orang lain dengan cara bathil5. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah
menyandarkan pada firman Allah Swt Q.S. Al-Baqarah (2): 188:

‫اط ِل بَ ْينَ ُك ْم اَ ْم َوالَ ُك ْم تَأْ ُكلُ ْْٓوا َو َل‬ َ ْ ‫ِِّم ْن فَ ِر ْيقًا ِلتَأْ ُكلُ ْوا ْال ُح َّك ِام اِلَى بِ َها ْٓ لُ ْوا‬
ِ َ‫ْوتُد بِ ْالب‬
‫اس اَ ْم َوا ِل‬ ِ َّ‫الثْ ِم الن‬ ِ ْ ‫تَ ْعلَ ُم ْونَ َواَ ْنت ُ ْم ِب‬
Artinya : Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan
yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para
hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang
lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. an-Nisa (4): 29:

‫اط ِل بَ ْينَ ُك ْم اَ ْم َوالَ ُك ْم تَأْ ُكلُ ْْٓوا َل ا َمنُ ْوا الَّ ِذيْنَ يْٓاَيُّ َها‬
ِ َ‫ِل ِب ْالب‬
ْٓ َّ ‫ارةً نَ ْْتَ ُكو اَ ْن ا‬
َ ‫َع ْن تِ َج‬
‫سكُ ْم ت َ ْقتُلُ ْْٓوا َو َل ْ ِِّم ْن ُك ْم تَ َراض‬ َ ُ‫ّللا َْا ِِّن ْ اَ ْنف‬ َ ٰ َ‫َر ِح ْي ًما بِ ُك ْم َكان‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali
dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

ُ ‫صلَّى للاِ َر‬


‫سو ُل َعلى‬ َّ ‫سلَّ َم َعلَ ْي ِه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫َبي ِْع َو َع ْن ْال َح‬
َ ‫صاةِ ي ِْع َْب َع ْن َو‬
‫ْالغ ََر ِر‬
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli dengan
cara al-hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain
yang mengandung unsur gharar (spekulatif)”(HR. Muslim, no: 2783).

5
Evan Muchtar Hamzah, “Muamalah Terlarang: Maysir dan Gharar”, Jurnal Asy- Syukriyyah,.
Vol. 18, No. 1, Oktober 2017, hlm. 85.

4
D. Karakteristik Gharar
1. Ketidakjelasan dalam Barang atau Jasa
Ketidakjelasan barang dan jasa merupakan salah satu karakteristik gharar.
Gharar terjadi ketika terdapat ketidakpastian atau ketidakjelasan yang
signifikan terkait dengan sifat, kualitas, atau kondisi dari barang atau jasa
yang menjadi objek transaksi. Misalnya, jika seseorang membeli atau
menjual sesuatu tanpa memberikan informasi yang cukup atau jelas
mengenai spesifikasi barang atau jasa tersebut, hal ini dapat dianggap
sebagai gharar. Ketidakjelasan semacam itu dapat merugikan salah satu
pihak dalam transaksi, dan oleh karena itu, dalam prinsip ekonomi Islam,
penting untuk mencapai kejelasan dan transparansi dalam deskripsi barang
atau jasa yang diperdagangkan. Upaya ini bertujuan untuk mencegah
spekulasi yang tidak sehat, ketidakadilan, dan ketidakpastian yang dapat
merugikan kepentingan pihak yang terlibat dalam transaksi ekonomi.
2. Ketidakpastian Harga
Ketidakpastian harga merujuk pada keadaan di mana harga suatu barang
atau jasa tidak dapat ditentukan dengan jelas atau dapat mengalami
fluktuasi yang signifikan. Dalam konteks hukum Islam, ketidakpastian
semacam ini dapat dianggap sebagai gharar, yaitu unsur ketidakjelasan atau
ketidakpastian yang dapat menimbulkan kerugian atau ketidakadilan dalam
transaksi ekonomi. Jika harga suatu produk tidak dapat diprediksi atau
ditentukan dengan cukup jelas, hal ini dapat memberikan peluang untuk
praktik-praktik yang tidak adil atau spekulatif, yang dapat merugikan salah
satu pihak dalam transaksi.

5
3. Ketidakpastian Kondisi6
Karakteristik gharar terkait dengan ketidakpastian komoditas mencakup
situasi di mana ada kekurangan informasi atau ketidakjelasan yang
signifikan tentang komoditas yang menjadi subjek dalam suatu transaksi.
Ini mencakup ketidakpastian mengenai kualitas, kuantitas, atau kondisi
nyata dari komoditas tersebut. Misalnya, jika seseorang menjual atau
membeli suatu barang tanpa mengetahui dengan jelas kondisi atau
kualitasnya, hal ini dapat dianggap sebagai gharar. Ketidakpastian
komoditas yang berlebihan dapat menciptakan risiko yang tidak diinginkan
dan merugikan salah satu pihak dalam transaksi. Oleh karena itu, dalam
konteks hukum Islam, penting untuk memastikan adanya informasi yang
memadai dan kejelasan mengenai komoditas yang diperdagangkan untuk
menghindari gharar dan menjaga prinsip keadilan dalam perdagangan.

E. Jenis-Jenis Gharar
Gharar ditinjau dari bentuknya ada tiga :yaitu gharar ringan, gharar sedang
dan gharar berat7
1. Gharar ringan
Gharar ringan dalam transaksi barang bisa mencakup ketidakpastian yang
umum dan dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari. Contoh gharar
ringan termasuk fluktuasi harga alamiah, seperti perubahan harga sayuran
akibat kondisi cuaca atau peningkatan harga bahan pangan karena faktor
musiman. Tingkat ketidakpastian dalam gharar ringan dianggap wajar dan
sering kali tidak dapat dihindari.

6
Hadist Shohih, Ro’fah Setyowati. “Respektif Hukum Islam Mengenai Praktik Gharar Dalam
Transaksi Perbankan Syariah”, Dialogia Iuridica, Vol. 12, No. 2, April 2021, hlm. 73.
7
Muh. Fudhail Rahman, “Hakekat dan Batasan-Batasan Gharar Dalam Transaksi Maliyah”,
Jurnal Sosial & Budaya Syar-I, Vol. 5, No.3, 2018, hlm. 269.

6
2. Gharar sedang
Gharar sedang melibatkan tingkat ketidakpastian yang lebih signifikan
dalam transaksi barang. Misalnya, ketidakjelasan mengenai kondisi barang
yang dijual, seperti mesin bekas yang mungkin mengalami kerusakan
tersembunyi, dapat dianggap sebagai gharar sedang. Kontrak yang ambigu
atau kurangnya informasi yang memadai tentang kondisi barang dapat
menciptakan ketidakpastian yang dapat berdampak pada keadilan transaksi.
3. Gharar berat
Gharar berat dalam konteks barang mencakup tingkat ketidakpastian yang
sangat tinggi dan berpotensi merugikan salah satu pihak secara signifikan.
Contoh gharar berat melibatkan praktik-praktik seperti penipuan dalam
penjualan barang, misalnya menjual barang palsu atau memberikan
informasi palsu tentang kualitas suatu produk. Manipulasi informasi atau
penipuan semacam ini dapat menyebabkan kerugian finansial yang serius
bagi pembeli dan dianggap sebagai gharar berat yang harus dihindari dalam
prinsip-prinsip keuangan Islam.

Ditinjau dari isi kandungannya, bentuk-bentuk transaksi gharar menurut


Abdullah Muslih terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Jual beli barang yang belum ada (ma’dum)


Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada
waktu terjadi akad, baik obyek akad tersebut sudah ada ataupun belum ada
(bai’ al-ma’dum). Misalnya menjual janin yang masih dalam perut binatang
ternak tanpa bermaksud menjual induknya, atau menjual janin dari janin
binatang yang belum lahir dari induknya (habal al-habalah), kecuali dengan
cara ditimbang sekaligus atau setelah anak binatang itu lahir (HR. Abu
Dawud). Contoh lain adalah menjual ikan yang masih di dalam laut atau
burung yang masih di udara. Hal ini didasarkan atas hadist Rasulullah Saw,
”Janganlah kamu menjual ikan yang masih di dalam air, karena itu adalah

7
gharar”. (HR. Ahmad bin Hambal). Demikian juga dengan menjual budak
yang melarikan diri, harta rampasan perang yang belum dibagi, harta
sedekah yang belum diterima, dan hasil menyelam yang di dalam air (HR.
Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah).
2. Jual beli barang yang tidak jelas (Majhul)
a) Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila
suatu barang belum diserahterimakan di saat jual beli, maka barang
tersebut tidak dapat dijual kepada yang lain. Sesuatu/ barang jika belum
diterima oleh si pembeli tidak boleh melakukan kesepakatan kepada
yang lain untuk bertransaksi atau jual beli, karena wujud dari barang
tersebut belum jelas, baik kriteria, bentuk dan sifatnya. Ketentuan ini
didasarkan pada hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw
melarang menjual barang yang sudah dibeli sebelum barang tersebut
berada dibawah penguasaan pembeli pertama (HR. Abu Dawud).
Karena dimungkinkan rusak atau hilang obyek dari akad tersebut,
sehingga jual beli yang pertama dan yang kedua menjadi batal.
b) Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual.
Rasulullah Saw bersabda: ”Janganlah kamu melakukan jual beli
terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan tersebut terlihat baik (layak
konsumsi)” (HR. Ahmad bin Hambal, Muslim, anNasa’i, dan Ibnu
Majah). Demikian juga larangan untuk menjual benang wol yang masih
berupa bulu yang melekat pada tubuh binatang dan keju yang masih
berupa susu (HR. ad-Daruqutni).
c) Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad.
Transaksi yang di laksanakan dengan tidak menyerahkan langsung
barang sebagai obyek perjanjian. Seperti halnya, transaksi dengan
menyerahkan barang setelah kematian seseorang. Jelas bahwasanya
transaksi seperti ini tidak diketahui dengan pasti kapan barang itu akan
diserahterimakan, karena waktu yang di tetapkan tidak jelas. Tetapi,

8
apabila waktu nya ditentukan secara pasti dan telah disepakati oleh
keduanya maka transaksi itu sah.8
d) Tidak adanya kepastian obyek akad. Yaitu adanya dua obyek akad yang
berbeda dalam satu transaksi. Misalnya, dalam suatu transaksi terdapat
dua barang yang berbeda kriteria dan kualitasnya, kemudian ditawarkan
tanpa menyebutkan barang yang mana yang akan di jual sebagai obyek
akad. Jual beli ini merupakan suatu bentuk penafsiran atas larangan
Rasulullah Saw untuk melakukan bai’atain fi bai’ah. Termasuk di dalam
jual beli gharar adalah jual beli dengan cara melakukan undian dalam
berbagai bentuknya (HR. al-Bukhari).
e) Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang
ditentukan dalam transaksi. Misalnya, transaksi/ jual beli motor dalam
kondisi rusak. Jual beli seperti ini salah satu bentuk dari gharar karena
di dalamnya terkandung unsur spekulatif bagi penjual dan pembeli,
sehingga sama halnya dengan melakukan jual beli undian.
3. Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan
a) Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang
dijual. Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa ketidakpastian tersebut
merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.
b) Tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus di bayar.
Misalnya, penjual berkata: ”Saya jual beras kepada anda sesuai dengan
harga yang berlaku pada hari ini.” Ketidakpastian yang terdapat dalam
jual beli ini merupakan illat dari larangan melakukan jual beli terhadap
buah-buahan yang belum layang dikonsumsi. Dasar hukumnya adalah
hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, Muslim, an-Nasa’i,
dan Ibnu Majah di atas.

8
Intan Novita Sari, Lysa Ledista, “Gharar dan Maysir Dalam Transaksi Ekonomi Islam”, Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol. 2, No. 2, 2022, hlm. 33.

9
Adanya keraguan mengenai jumlah harga yang harus di bayar. Seperti
contoh, pedagang mengatakan: "Saya menjual gula kepadamu sama
dengan harga yang ada pada hari ini" keraguan yang ada dalam transaksi
ini merupakan illat dari larangan melaksanakan transaksi kepada buah-
buahan yang belum layang dikonsumsi. Dasar hukum nya ialah hadist
yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, Muslim, an-Nasa'i, Dan
Ibnu Majah.
c) Tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau
lebih transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menentukan
bentuk transaksi yang dipilih saat kontrak dibuat.9 Bentuk jual beli
seperti ini merupakan larangan seperti halnya Rasulullah Saw melarang
terhadap terjadinya dua jual beli/ transaksi dengan satu akad (bai’ataini
fi bai’ah) (HR. Ahmad bin Hambal, an-Nasa’i, dan Tirmidzi). Misalnya,
melakukan jual beli motor dengan harga Rp. 13 juta jika kontan/ tunai
dan Rp. 20 juta jika pembeli melakukan pembayaran dengan cara kredit,
namun ketika akad berlangsung dan terjadi kesepakatan tidak
ditegaskan transaksi mana yang dipilih.
d) Adanya keterpaksaan. Antara lain berbentuk: 1) Jual beli lempar batu
(bai al hasa), yaitu seseorang melempar batu pada sejumlah barang dan
barang yang terkena batu tersebut wajib untuk dibelinya. Larangan
terhadap jual beli tersebut berdasarkan hadist Rasulullah Saw, yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a: Rasulullah Saw melarang jual beli
lempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan.”(HR. al-Jama’ah
kecuali Bukhari). 2) Jual beli dengan saling melempar (bai’ al-
munabazah) yaitu seseorang melemparkan bajunya kepada orang lain
dan jika orang yang dilemparkan tersebut melemparkan bajunya kepada

9
Zulfahmi, Nora Maulana,” Batasan Riba, Gharar, dan Maisir (Isu Kontemporer Dalam Hukum
Bisnis Syariah)”, Jurnal Hukum Islam dan Ekonomi, Vol. 11, No. 2, Desember 2022, hlm. 144.

10
yang melemparnya maka diantara keduanya wajib untuk melakukan
jual beli, meskipun pembeli tidak tahu akan kualitas dari barang yang
dibelinya. 3) Jual beli dengan cara menyentuh (bai’ almulamasah), yaitu
jika seseorang menyentuh suatu barang maka barang itu wajib
dibelinya, meskipun ia belum mengetahui dengan jelas barang apa yang
akan dibelinya.

F. Gharar Dalam Hukum Positif Indonesia


Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dijelaskan
bahwa kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah adalah kegiatan yang
tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim. Gharar yaitu
transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan
kecuali diatur dalam syariah.10
Jika dilihat dari hukum positif bahwa jual beli yang mengandung gharar
dilarang, hal ini sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 4 ayat 2 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa
konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.11 Sehingga jika melakukan jual beli antara
penjual dan pembeli harus mengetahui barang yang akan diperjual belikan,
harga yang ditawarkan, dll mengenai barang tersebut. Menurut hukum Islam
bahwa syarat jual beli haruslah berupa sesuatu yang halal, yaitu adanya penjual
dan pembeli, adanya akad, barang sepenuhnya milik penjual, objeknya jelas
dan bermanfaat, dan harga jual harus jelas. Transaksi yang mengandung gharar
dapat merugikan salah satu pihak karena adanya ketidak jelasan, dan
menimbulkan salah paham antar para pihak yang bertransaksi.

10
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
11
Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

11
Gharar dalam konteks hukum positif Indonesia juga diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Meskipun istilah "gharar"
tidak secara langsung disebutkan, prinsip kehati-hatian dan kejelasan menjadi
dasar perjanjian. Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu
perjanjian harus dilaksanankan dengan itikad baik. Artinya pasal ini
menegaskan prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti dalam pmbentukan
perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum
Sementara itu, Pasal 1320 KUHPerdata disbutkan bahwa untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat:12
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
(3) Suatu hal tertentu
(4) Suatu sebab yang halal
Pasar tersebut menyatakan bahwa perjanjian yang dilakukan oleh pihak
yang tidak memiliki kapasitas hukum, melanggar undang-undang, melanggar
kesusilaan, atau bertentangan dengan ketertiban umum dapat dinyatakan batal.
Oleh karena itu, jika suatu perjanjian mengandung gharar yang dapat
merugikan salah satu pihak atau bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut,
perjanjian tersebut dapat dianggap tidak sah atau dinyatakan batal.
Terkait dengan rumusan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata tentang syarat
sahnya perjanjian memerlukan syarat, “suatu hal tertentu”, Riduan Syahrani
memberikan keterangan bahwa13 “suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah
barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata
barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya

12
R Subekti, R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT. Balai
Pustaka, 1992), hlm. 371.
13
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung: Alumni, 2004), hlm.
209-210.

12
harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan
saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya, dalam Pasal
1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan
ada kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.”

G. Praktik Gharar Dalam Kehidupan


1. Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada
waktu terjadi akad, baik obyek akad tersebut sudah ada ataupun belum ada.
Misalnya menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa
bermaksud menjual induknya, atau menjual janin dari janin binatang yang
belum lahir dari induknya, kecuali dengan cara ditimbang sekaligus atau
setelah anak binatang itu lahir. Dengan demikian, ada ketidakpastian
kemampuan penjual untuk menyerahkan objek transaksi. Namun jika
barang sudah pasti dapat diperoleh, misalnya jual beli ikan di kolam pribadi
dan langsung dilakukan penangkapan, maka tidak termasuk gharar.
2. Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang
ditentukan dalam transaksi. Misalnya, transaksi atau jual beli motor dalam
kondisi rusak. Jual beli seperti ini salah satu bentuk dari gharar karena di
dalamnya terkandung unsur spekulatif bagi penjual dan pembeli, sehingga
sama halnya dengan melakukan jual beli undian. Si penjual menjual
motornya karena diarasa motor tersebut terdapat kerusakan walaupun masih
kerusakan yang wajar, namum pembeli tidak megetahui kerusakan pada
motor tersebut, sehingga nantinya bisa saja akan merugikan si pembeli.
3. Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan pada keberadaan
objek transaksi. Meskipun kedua pihak mengetahui wujud benda yang akan
diserahkan, namun pada saat akad dilakukan, penjual tidak sedang
membawa barang tersebut. Yaitu jual beli barang yang dicuri, dirampok,
atau dirampas. Contohnya menjual motor saat kondisi motor tersebut hilang

13
sehingga pembeli tidak dapat menerima motor tersebut karena barang yang
dijadikan objek jual beli tidak berada ditangan penjual.

H. Kesimpulan
Gharar yaitu jual beli yang mengandung tipu daya yang merugikan
salah satu pihak karena barang yang diperjual-belikan tidak dapat dipastikan
adanya, atau tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya, atau karena tidak
mungkin dapat diserah-terimakan. Dasar hukum gharar berdasarkan al-Qur’an
dan hadist didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang melarang memakan harta
orang lain dengan cara batil (tidak dibenarkan) yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat 188,
Q.S. an-Nisa ayat 29, dan hadist Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh
Bukhari tentang larangan jual beli gharar. Karakteristik gharar meliputi
ketidakjelasan dalam barang atau jasa, ketidakpastiah harga, dan ketidakpastian
kondisi.
Gharar ditinjau dari bentuknya ada tiga yaitu gharar ringan, gharar
sedang dan gharar berat. Jika ditinjau dari isi kandungannya terbagi menjadi
tiga yaitu jual beli barang yang belum ada (ma’dum); jual beli barang yang tidak
jelas (majhul) meliputi menjual sesuatu yang belum berada di bawah
penguasaan penjual, tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda
yang dijual, tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad,
tidak adanya kepastian obyek akad, dan kondisi obyek akad tidak dapat dijamin
kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi; jual beli barang yang
tidak mampu diserahterimakan meliputi tidak adanya kepastian tentang jenis
pembayaran atau jenis benda yang dijual, tidak adanya kepastian tentang
jumlah harga yang harus di bayar, tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, dan
adanya keterpaksaan. Gharar dalam hukum psitif islam diatur dalam pasal 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, pasal 4 ayat 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, dan Kitab Undang-Undang

14
Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 1320, pasal 1333, pasal 1334, dan pasal
1338 ayat 3.

15
DAFTAR PUSTAKA

A, Ghufron Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Konstektual (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada).
Ali, M Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada).
Fudhail, Muh. Rahman. “Hakekat dan Batasan-Batasan Gharar Dalam Transaksi
Maliyah”, Jurnal Sosial & Budaya Syar-I, Vol. 5. No.3. 2018.
Hosen, Nadratuzzama. “Analisis Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi”. Al-
Iqtishad. Vol. 1. No. 1. Januari 2009.
Muchtar, Evan Hamzah. “Muamalah Terlarang: Maysir dan Gharar”. Jurnal Asy-
Syukriyyah. Vol. 18. No. 1. Oktober 2017.
Novita, Intan Sari dan Lysa Ledista. “Gharar dan Maysir Dalam Transaksi Ekonomi
Islam”. Jurnal Ekonomi Syariah. Vol. 2. No. 2. 2022.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Rodiah, Efa Nur. "Riba Dan Gharar: Suatu Tinjauan Hukum Dan Etika Dalam
Transaksi Bisnis Modern". Jurnal AL-‘ADALAH. Vol. 12. No. 3. 2015.
Shohih, Hadist, Ro’fah Setyowati. “Respektif Hukum Islam Mengenai Praktik Gharar
Dalam Transaksi Perbankan Syariah”. Dialogia Iuridica. Vol. 12. No. 2. April
2021.
Subekti, R dan R Tjitrosudibio. 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:
PT. Balai Pustaka)
Surya, Hariman Siregar dan Koko Khoerudin. 2009. Fikih Muamalah Teori dan
Implementasi. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).
Syahrani, Riduan. 2004. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung:
Alumni).

16
Zulfahmi dan Nora Maulana. “Batasan Riba, Gharar, dan Maisir (Isu Kontemporer
Dalam Hukum Bisnis Syariah)”. Jurnal Hukum Islam dan Ekonomi. Vol. 11.
No. 2. Desember 2022.

17

Anda mungkin juga menyukai