Anda di halaman 1dari 25

Jual Beli

dalam
Islam
MUTIMATUN NIAMI
Pengertian
Jual beli disebut dengan al-bai’, dari segi bahasa berarti  memindahkan hak milik
terhadap benda dengan akad saling mengganti (Abdul Aziz Muhammad Azzam,
2010), atau menukar suatu barang dengan barang yang lain (barter).
Pertama: Imam Hanafi (Mazhab Hanafi); jual beli ialah pertukaran suatu harta dengan harta yang
lain menurut cara tertentu.

Kedua: Imam Syafi’i (Mazhaab Syafi’i); jual beli ialah pertukaran sesuatu harta benda dengan
harta benda yang lain, yang keduanya boleh di-tasharruf-kan (dikendalikan), dengan ijab dan
qabul menurut cara yang diizinkan oleh syari’at.

Ketiga: Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini; jual beli adalah; kontrak pertukaran harta benda
yang memberikan seseorang hak memiliki sesuatu benda atau manfaat untuk selama-lamanya.
Prinsip-prinsip Jual Beli
Pertama: Larangan menawar barang yang sedang diitawar oleh orang lain.

Salah satu hikmah larangan menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain adalah  untuk
menghindari munculnya kekecewaan (gelo), perkelahian dan pertentangan di antara sesama.
Sebab orang yang menawar (membeli) suatu barang umumnya dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk memiliki dan kebutuhkannya terhadap barang tersebut. Namun karena diambil oleh pihak
lain (pada saat terjadinya tawar menawar), menyebabkan hal tersebut tidak didapatkannya.
Akibatnya, muncul rasa kecewa, marah, bahkan kebencian di antara mereka.
Kedua: Sesuatu yang diperjual belikan adalah sesuatu yang mubah (boleh) dan bukan
sesuatu yang diharamkan

Contoh-contoh jual beli yang termasuk kategori ini misalnya; jual beli babi, anjing, bangkai,
 khamar dan lainnya. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw., antara lain:
Ketiga: Menghindari praktek perjudian dalam sistem jual beli

ْ َ‫ان ف‬
90 :‫المائدة‬ – .‫اجتَنِبُ ْوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح ْو َن‬ ِ َ‫ش ْيط‬ ٌ ‫اب واَأل ْزالَ ُم ِر ْج‬
َّ ‫س ِمنْ َع َم ِل ال‬ ُ ‫ص‬َ ‫س ُر واَأل ْن‬
ِ ‫يَآيُّ َهاالَّ ِذ ْي َن آ َمنُ ْوا ِإنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntunga”. (QS. Al-
Ma’idah: 90)
Selain tiga prinsip di atas, masih banyak lagi prinsip-prinsip dan etika yang harus diperhatikan
sehingga sebuah praktek jual beli menjadi sah sesuai dengan ajaran agama Islam, antara lain;
menghindari berbagai bentuk penipuan dan kecurangan (gharar dan al-gasy), tidak transparan
(jahalah), menzalimi konsumen/pembeli; seperti menimbun barang (ihtikar) sehingga
menyebabkan kelangkaan barang di pasaran dan menyulitkan masyarakat untuk
mendapatkannya, atau mematok harga dengan sangat tinggi di saat masyarakat sangat
membutuhkannya, melakukan praktek yang membahayakan (dharar),
Jual beli tidak hanya merupakan salah satu cara untuk mencari nafkah dan keuntungan finansial,
namun jual-beli juga merupakan salah satu jenis usaha yang mendapatkan perhatian besar dalam
Islam, baik karena merupakan salah satu aktivitas yang banyak dibutuhkan oleh manusia, profesi
yang banyak dilakukan oleh para Nabi dan beberapa keutamaan lainnya. Karena itu wajar jika
dalam al-Qur’an hadis Nabi dan berbagai kajian fikih persoalan ini mendapatkan porsi
pembahasan yang cukup luas.
Di antara keutamaan atau nilau plus yang terdapat dalam praktek jua beli antara lain; (1)
merupakan usaha yang paling banyak menjanjikan keuntungan, (2) usaha yang tidak mungkin
dihindari oleh siapapun, sehingga akan tetap eksis dan dibutuhkan oarang, (3) usaha yang sangat
ideal dalam beberapa aspek, diantaranya seseorang lebih leluasa untuk mengatur dan memilih
jenis barang yang dibisniskan, tempat serta metode yang diinginkan, (4) peluang besar untuk
mencari nafkah yang halal serta kebahagiaan dunia dan akhirat jika dilakukan secara benar sesuai
norma dan hukum-hukum agama, dan lain sebagainya.
Jual Beli yang Terlarang
1. Jual Beli Benda Najis

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan benda-benda najis di sini adalah makanan, minuman atau
hewan yang dianggap najis dan dilarang untuk dikonsumsi seperti babi, anjing, minuman keras,
bangkai dan lain sebagainya. Benda-benda ini tidak hanya dilarang untuk dikonsumsi secara
langsung, namun juga dilarang untuk diperjual belikan. Bahkan orang yang memakan hasil
penjualannya sama dengan mengkonsumsi barang itu sendiri.
1. Jual Beli dengan Penipuan

Jenis jual beli ini telah umumm dikenal di tengah masyarakat sebagai salah satu bentuk jual beli yang dilarang
dan tidak disukai oleh masyarakat, baik dengan cara-cara tradisional hingga cara-cara penipuan yang moderen.

contoh-contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat antara lain;
menjual sembako (contoh: beras) dengan takaran atau neraca yang direkayasa (dilas atau dipasang magnet)
sehingga berat barang tidak sesuai dengan realitanya, menjual buah yang sesungguhnya sudah tidak layak
namun diberikan zat pewarna sehingga terkesan masih segar, menjual daging sapi namun dicampur dengan
daging babi dan sejenisnya, menjual ayam yang sudah menjadi bangkai (ayam tiren) lalu direkayasa seolah
ayam yang baru disembelih, barang kemasan yyang sudah kadaluarsa atau terbuat dari bahan-bahan haram lalu
disembunyikan masa kadaluarsanya atau ditempelkan llabel halal, dan lain sebagainya.
Bai’ al-wafa’ (‫لوفاء‬aa‫ ا‬a‫يع‬aa‫)ب‬

Bai al-wafa’ adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan, dimana seorang menjual barangnya
kepada pihak lain dengan syarat barang tersebut harus dijual pada dirinya (penjual) dengan harga tertentu
dan pada saat tertentu sesuai dengan perjanjian. Atau menjual barang dalam batas waktu tertentu, jika waktu
itu tiba maka seorang pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual pertama itu. Misalnya
penjual mengatakan kepada calon pembeli, barang ini saya jual dengan harga satu juta rupiah, dengan syarat
tiga bulan yang akan datang kamu harus menjual barang tersebut kepada saya dengan harga tertentu.
Jual Beli Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabazah dan Muzabanah

1. Jual beli al-Muhaqalah adalah; jenis jual beli dengan cara sewa menyewa tanah, baik berbentuk sawah, kebun maupun berbentuk
tambak dengan cara hasilnya nanti dibagi antara pemilik tanah dengan penyewa tanah.

2. Jual beli al-Mukhadharah adalah; pengadaan jual beli buah-buahan yang masih berada di atas pohon yang belum diketahui secara
pasti kualitas (baik-buruknya) buah yang masih diatas pohon itu pada saat terjadinya musim panen. Pengertian jual beli seperti ini
daalam praktek masyarakat di Indonesia sering disebut dengan jual beli Ijon.

3. Jual beli al-Mulamasah adalah; mengadakan jual beli dengan cara meraba barang yang akan diperjual belikan dengan tanpa
melihat barangnya.

4. Jual beli al-Munabazah adalah; mengadakan jual beli dengan cara saling melemparkan barang-barang yang akan dijual belikan
dengan tampa memeriksanya kembali.

5. Jual beli al-Muzabanah adalah; mengadakan jual beli kurma basah dengan kurma kering yang masih berada di atas pohon. Hal ini
juga berlaku terhadap semua jenis buah-buahan lainnya, sehingga taksiran perbedaan volume (baik secara kuantitas maupun
kualitas) antara yang basah apabila telah kering tidak dapat diketahui.
Jual Beli ‘Inah

suatu jenis jual beli dimana seseorang menjual barang kepada orang lain (pembeli) secara tidak tunai,
kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tersebut secara tunai dengan harga yang lebih murah.

Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali memperdaya pihak lain agar mendapatkan
keuntungan dari transaksi utang piutang yang dikemas dengan akad atau transaksi jual beli.
Contoh jual beli ‘Inah: “Seorang Pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh seseorang (pihak lain atau calon
pembeli). Karena pada saat transaksi pihak yang ditawarkan belum memiliki uang tunai, maka pemilik
tanah mengatakan kepadanya; Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit seharga 200 juta rupiah dengan
tenggang waktu pelunasan sampai dua tahun ke depan.  Namun beberapa waktu kemudian, pemilik tanah
mengatakan kepada pihak pembeli, sekarang saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara
tunai.

Sebenarnya di sini, pemilik tanah telah melakukan tipu muslihat, karena ia sesungguhnya ingin
meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara.
Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini
termasuk di antara trik riba. Karena dalam hadis Nabi saw disebutkan:  “setiap piutang yang mendatangkan
keuntungan, itu adalah riba.”
Khiyar dalam Jual-Beli

Dalam praktiknya, tidak sedikit orang merasa gelo (menyesal) dalam melakukan transaksi jual beli.
Penyesalan tersebut dapat terjadi baik di pihak penjual maupun pihak pembeli. Penyesalan umumnya dapat
diakibatkan oleh tidak adanya transparansi, tekhnik penjualan yang tidak oftimal sampai persoalan kualitas
barang yang ditransaksikan tidak sesuai dengan harapan, baik karena kesengajaan pihak penjual maupun
karena ketidak cermatan, kurang hati-hati (tergesa-gesa) atau faktor-faktor lainnya dari pihak pembeli.

Padahal salah satu prinsip pokok dalam transaksi jual beli adalah harus didasari oleh sikap saling suka atau
saling ridha (Innamal bai’ ‘an taradin; hanya saja jual beli harus didasari saling meridhai) sebagaimana
dijelaskan dalam hadis Nabi. Atas dasar itulah, agama memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang
melakukan transaksi atau akad jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu melangsungkan
transaksi (akad) jual beli atau membatalkannya, atau yang sering disebut dengan khiyar.
Secara lughah (bahasa), khiyar berarti; memilih, menyisihkan atau menyaring. Secara semantik kebahasaan,
kata khiyar berasal dari kata khair yang berarti baik. Dengan demikian khiyar dalam pengertian bahasa
dapat berarti memilih dan menentukan sesuatu yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan
pegangan dan pilihan. Sedangkan menurut istilah, khiyar adalah; hak yang dimiliki seseorang yang
melakukan perjanjian usaha (jual-beli) untuk menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual-beli
atau membatalkannya.
Pertama: Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian)

Pengertian khiyar majlis adalah; hak untuk memilih bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi atau
perjanjian jual-beli, antara melanjutkan atau membatalkan transaksi/perjanjian selama masih berada dalam
majlis akad (seperti; di toko, kios, pasar dan sebagainya). Atau, khiyar majlis adalah; kebebasan untuk
memilih bagi pihak penjual dan pembeli untuk melangsungkan jual beli atau membatalkannya selama masih
berada ditempat jual beli. Apabila kedua belah pihak telah terpisah dari majlis maka hilanglah hak khiyar
sehingga perubahan dalam jual beli itu tidak bisa dilakukan lagi.
Kedua: Khiyar Syarat (Hak Pilih Berdasarkan Persyaratan)

Khiyar Syarat yaitu, khiyar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya pembeli atau penjual
memilih antara meneruskan atau membatalkan transaksi sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
 Setelah hari yang ditentukan itu tiba, maka jual beli itu harus dipastikan apakah dilanjutkan atau tidak.
Terkait dengan batas maksimal waktu kebolehan khiyar Syarat, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam hal ini
pendapat para ulama dapat dikategorikan menjadi tiga pendapat: Pertama:  Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Zhahiri berpendapat; bahwa
tidak boleh bagi kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya untuk memberikan syarat lebih dari tiga hari untuk jenis barang
apa saja. Jika keduanya atau salah satunya menyaratkan lebih dari tiga hari, maka akadnya menjadi rusak (tidak sah).

Kedua: Mazhab Hambali, Al-Auza’i dan sebagian ulama Hanafi berpendapat;  kedua belah pihak boleh mensyaratkan lebih dari tiga
hari asalkan penjual merelakannya (ridha). Sedangkan yang ketiga; Madzhab Maliki berpendapat; bahwa tempo khiyar berbeda-beda
berdasarkan perbedaan barang yang dijual apakah ia termasuk barang yang perlu ada khiyar untuk mencari informasi atau meminta
pendapat keluarga atau pihak yang ahli di bidangnya, seperti dalam satu, dua atau tiga hari untuk memilih baju, satu bulan untuk
membeli tanah, semuanya ditetapkan berdasarkan keperluan dan pertimbangan barang yang dijual.

Dari ketiga pendapat ulama’ tersebut, tentu yang paling realistis adalah gabungan dari pendapat yang kedua dan ketiga, yaitu
kebolehan untuk melakukan hak khiyar disesuaikan dengan keperluan dan pertimbangan barang serta keridhaan dari pihak penjual.
Perbedaan dan Persamaan antara Khiyar Syarat dan Garansi

Perbedaan mendasarnya adalah; bahwa Khiyar Syarat merupakan suatu transaksi antara penjual dan pembeli
yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli sesuai dengan kesepakan kedua belah
pihak. Sedangkan garansi umumnya merupakan salah satu bentuk pelayanan pihak penjual untuk menjamin
kualitas barang, dimana selama waktu yang telah ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap
barang yang telah dijual jika terjadi sesuatu, baik menyangkut perawatan maupun kerusakan dan tidak
berakibat pada pembatalan transaksi jual beli.
Adapun persamaannya adalah, baik khiyar Syarat maupun sistem garansi, sama-sama memiliki motif untuk
menjamin hak-hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka tidak merasa dirugikan dan terciptanya
kepuasan dan saling ridha antara mereka berdua sesuai dengan spirit yang diajarkan oleh Rasulullah saw
“Innamal bai’ ‘an taradhin” (hanya saja jual beli harus atas dasar saling meridhai).
Ketiga: Khiyar ‘Aib (Hak Pilih karena Cacat Barang)

Yang dimaksud dengan khiyar ‘aib adalah; hak untuk memilih antara membatalkan atau meneruskan akad
jual beli apabila ditemukan kecacatan (aib) pada obyek (barang) yang diperjualbelikan, sedang pembeli
tidak mengetahui adanya kecacatan pada saat akad berlangsung. Atau dengan kata lain, jika seseorang
membeli barang yang mengandung kecacatan dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli
berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada penjualnya, dengan
meminta ganti barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau sesuai dengan perbandingan
kerusakan dan harganya.
Dalam khiyar ‘aib, pembeli memiliki dua pilihan (hak khiyar) apakah ia rela dan puas terhadap barang yang
dibelinya ataukah tidak. Jika pembeli rela dan merasa puas dengan kecacatan yang ada pada barang, maka
khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerima barang yang telah dibelinya tersebut. Namun jika ia
menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal. Konsekwensinya,
bagi penjual harus menerima pengembalian barang tersebut jika kecacatannya murni dari pihak penjual (cacat
bawaan) dan bukan karena kelalaian ata kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan lainnya.

Dalam hal mengembalikan barang yang cacat tersebut, pihak pembeli hendaknya mengembalikannya dengan
segera tanpa menunda-nunda. Karena menunda-nunda waktu pengembalian – terlebih lagi dalam waktu yang
cukup lama – merupakan salah satu bentuk melalaikan tanggung jawab, sehingga ia dapat dianggap rela
terhadap barang yang cacat, kecuali karena ada halangan yang dapat dibenarkan dan dimaklumi bersama.
SEKIAN..

Anda mungkin juga menyukai