Anda di halaman 1dari 8

MACAM-MACAM MUAMALAH KEBENDAAN

A. Jual Beli
Jual beli (al-bay) secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan
akad saling mengganti, dikatan : ba’a asy-syaia jika ia mengeluarkannya dari hak miliknya,
dan ba’ahu jika ia membelinya dan memasukannya ke dalam hak miliknya.
Adapun makna bay’i (jual beli) menurut istilah menurut syaikh Al-Qalyubi
dalam Hasyiyah-nya bahwa : “Akad saling mengganti dengan harta yang berakibat
kepemilikan terhadap suatu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan
untuk bertaqarrub kepada Allah.” Dengan kata “saling mengganti“ maka tidak termasuk di
dalamnya hibah, dan yang lain yang tidak ada saling ganti, dan dengan kata “harta” tidak
termasuk akad nikah sebab walaupun ada saling ganti namun ia bukan mengganti harta
dengan harta akan tetapi halalnya bersenag-senang antara suami dan istri, dan dengan kata
“kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama-lamanya”, maka tidak termasuk di
dalamnya akad sewa karena hak milik dalam sewa bukan kepad bendanya tetapi pada
manfaatnya setimpal dengan jumlah bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam akad ini
juga dibatasi dengan waktu tertentu. Adapun yang dimaksud manfaat yang langgeng dalam
definisi jual beli adalah seperti menjual hak tempat aliran air jika air itu tidak akan sampai ke
tujuan kecuali jika melalui perantara hak orang lain. Dan tidak masuk dengan ucapan “tidak
untuk bertaqarrub kepada Allah” seperti hibah, sebab ia hanya pemberian manfaat yang
mubah untuk selamanya kepada pihak yang menerima namun bukan ntuk bertaqarrub kepada
Allah.
Ada juga yang mendefinisikan jual beli sebagai pemilikan terhadap harta atau manfaat
untuk selamanya dengan bayaran harta.
B. Pembagian jual beli
1. Bai’ Sohihah
Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.

2. Bai Fasidah
Yaitu akad jual yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat dan rukunnya .
a.       Macam-macam Bai’ Sohihah
1. Jual beli barang yang terlihat secara jelas dan ada ditempat terjadinya transaksi.
2. Jual beli barang yang pesanan yang lazim dikenal dengan istilah dengan akad salam.
3. Jual beli mas atau perak, baik sejenis atau tidak (bai’ sharf).
4. Jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan ditambah keuntungan (bai
murabahah).
5. Jual beli barang secara kerja sama atau serikat (bai isyrak).
6. Jual beli barang dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli (bai muhatah).
7. Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’ tauliyah).
8. Jual beli hewan dengan hewan (bai muqabadah).
9. Jual beli barang dengan syarat khiyar, yaitu perjanjian yang telah disepakati antara penjual
dan pembeli, untuk mengembalikan barang yang diperjual belikan, jika tidak ada kecocokan
didalam masa yang telah disepakati oleh keduanya.
10. Jual beli barang dengan syarat tidak ada cacat (bai bisyarti al baro)
b.      Macam-macam bai’ fasidah (terlarang)
Jual beli terlarang artinya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, yaitu :
1. Jual Beli Sistem Ijon
Maksud dari jual beli sistem Ijon adalah jual beli hasil tanaman yang masih belum nyata
buahnya, belum ada isinya, belum ada buahnya, seperti jual beli padi masih muda, jual beli
mangga masih berwujud bunga, semua itu kemungkinan besar masih bisa rusak yang akan
dapat merugikan kedua belah pihak. Rasulullah saw bersabda : “Dari Ibnu Umar, Nabi
Muhammad SAW, telah melarang jual beli buah-buahan sehingga nyata baiknya buah itu
(pantas untuk diambil dan dipetik buahnya)” HR. Bukhori dan Muslim.
2. Jual beli barang haram
Jual beli barang yang diharamkan hukumnya tidak sah atau dilarang serta karena  haram
hukumnya. Seperti jual beli minuman keras (khamr), bangkai, darah, daging babi, patung
berhala dan sebagainya.
3. Jual beli sperma hewan
Jual beli sperma hewan tidak sah, karena sperma tidak dapat diketahui kadarnya dan tidak
dapat diterima wujudnya, rasulullah saw, bersabda : “rasulullah saw, telah melarang jual
beli kelebihan air (sperma)” (H.R Muslim)
4. Jual beli anak binatang yang masih ada dalam kandungan induknya
Hal ini dilarang karena belum jelas kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati.
Rasulullah saw, bersabda : “sesungguhnya rasulullah saw, melarang jual beli anak binatang
yang masih dalam kandungan induknya” (H.R Bukhori dan Muslim)
5. Jual beli barang yang belum dimiliki
Maksudnya adalah jual beli yang barangnya belum diterima dan masih berada di tangan
penjual pertama. Rasulullah saw, bersabda : “nabi Muhammad saw, telah bersabda
janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja engkau beli, sehingga engkau menerima
(memegang) barang itu” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
6. Jual beli barang yang belum jelas
Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya, sabda nabi Muhammad saw, dari Ibnu
Umar Ra : “Nabi Muhammad saw, telah melarang menjual buah-buahan yang tidak
tampak manfaatnya” (HR. Muttafaq Alaih)

3.      Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam :


a. Jual beli saham (pesanan)
Jual beli saham adalah jual-beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan
terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual-beli muqayadhah (barter)
Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti
menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat
pertukaran, seperti uang.
d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai
sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
4.      Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian :
1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah), 
2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah),
3. Jual beli rugi (al-khasarah)
4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang
yang akad saling meridai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
C. Sumber hukum jual beli
Dasar hukum (landasan syara’) jual beli adalah sebagai berikut :
   a.      Dasar Al-Qur’an

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ......... (Q.S.
AN-Nisa : 29)

b.      Al-Hadits :
 “Dari Rifa’ah ibn  Rafi’ RA. Nabi Muhammad SAW., Ditanya tentang mata pencaharian yang
paling baik, beliau menjawab, ‘Seseorang yang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli
yang mabrur’.” (HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud Mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu, dan
merugikan orang lain.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.
  
c.       Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik
orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

d.      Hukum-hukum yang bersangkutan paut dengan jual beli :


1. Mubah (boleh), ialah asal hukum jual beli;
2. Wajib,  seperti wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga qadhi menjua
harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya) sebagaimana akan
datang keterangannya tentang muflis;
3. Haram, sebagaimana yang telah lalu apa-apa jual beli yang terlarang;
4. Sunat, seperti jual beli kepada sahabat atau pamili yang dikasihi, dan kepada orang yang
sangat berhajat kepada barang itu.
D. Hukum Jual beli
Jual beli disyariatkan berdasarkan al-Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
ْ َ‫َواَ َح َّل ْا هَّلل ُ ْا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم ْالرِّ ب‬
‫وا‬
“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(al-Baqarah : 275)
Juga berdasarkan as-Sunnah al-Qauliyyah (sabda Rasullullah salallahu alaihi wassallam)
dan as-Sunnah al- Fi’liyah (perbuatan Rasullullah salallahu alaihi wassallam )

ِ َ‫اَ ْلبَيِّ َعا ِن بِا ْل ِخي‬


‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا‬
“pihak pembeli dan pihak pejual memiliki hak khiyar (memilih) selama keduanya belum
berpisah.”
Di tempat lain Allah SWT. berfirman :

‫اض ِّم ْن ُك ْم‬ ْ ً‫وا اَ ْم َولَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَ ِط ِل اِالَّ اَن تَ ُكوْ نَ تِ َج َرة‬
ٍ ‫عن تَ َر‬ ْ ُ‫واالَتَاْ ُكل‬
ْ ُ‫يَاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ َءا َمن‬
“hai orang-oran yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu.” (QS. An-Nisa (4): 29)
Allah mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu tampa ganti
dan hibah, yang demikian itu adalah batil berdasarkan ijma’ umat dan termasuk di dalamnya
juga semua jenis akad yang rusak yang tidak boleh secara syara’ baik karena ada unsur riba
atau jahalah (tidak diketahui), atau karena kadar ganti yang rusak seperti minuman keras,
babi dan yang lainya dan jika yang diakadkan itu adalah harta perdagangan, maka boleh
hukumnya, sebab pengecualian dalam ayat di atas adalah terputus karena harta perdagangan
bukan termasuk harta yang tidak boleh dijualbelikan. Ada juga yang
mengatakan istitsna’ (pengecualian) pada ayat bermakna lakin (tetapi) artinya akan tetapi,
makanlah dari harta perdagangan, dan perdagangan adalah gabungan antara penjualan dan
pembelian.
Adapun dalil sunnah diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah
salallahu’alaihi wassallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling
ridha.”  Ketika ditanya tentang usaha apa yang paling utama, Nabi salallahu’alaihi wassallam
menjawab : “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang
mabrur.”  Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta dan hianat,
sedang dusta itu adalah penyamaran dalam barang yang dijual, dan penyamaran itu adalah
menyembunyikan aib barang dari penglihatan pembeli. Adapun makna hianat ia lebih umum
dari itu, sebab selain menyamarkan bentuk barang yang dijual, sifat, atau hal-hal luar seprti ia
menyifatkan dengan sifat yang tidak benar atau memberi tau harga yang dusta.
‫نَهَى َرسُوْ ُل هَّللا ِ ع َْن بَي ِْع ْالغ ََر ِر‬
“Telah melarang Rasulullahu’alaihi wassallam jual-beli barang yang samar.”(H.R. Muslim)

‫ك فِى ْال َما ِء فَاِنَّهُ غ ََر ٌر‬


َ ‫الَ تَ ْشتَرُو اال َس َم‬
“Jangan kamu sekalian membeli ikan dalam air, karena itu samar.”(H.R. Ahmad)

‫اِ َّن هَّللا َ َح َّر َم بَ ْي َع ْاخَ ْم ِر َو ْال َم ْيتَ ِة َو ْال ِح ْن ِزي ِْر َواالَصْ ن َِام‬
“Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual : arak, bangkai, babi dan berhala.” (H.R.
Muslim)
Berdasarkan dalil-dalil di atas hukum jual beli adalah halal sedangkan riba adalah
haram. Sedangkan menjual barang yang ghaib yang tidak kelihatan, maka hukumnya tidak
boleh. Dan syah menjual setiap barang yang suci yang bisa dimanfaatkan (menurut syara’)
yang dimiliki. Dan tidak syah menjual barang yang najis (seperti arak, kotoran manusia,
bangkai dll) dan tidak syah menjual barang yang tidak ada manfaatnya (seperti semut
kaljengking dsb.)
E. Rukun Jual Beli
Rukun dn Syarat Jual Beli
Rukun Jual Beli ada lima perkara Yaitu :
1. Penjual
Hendaklah ia pemilik yang sempurna dari barang yang dijual atau orang yang mendapat izin
menjualnya dan berakal sehat, bukan orang bodoh.
2. Pembeli
Hendaklah ia termasuk kelompok orang yang diperbolehkan menggunakan hartanya, bukan
orang bodoh, dan bukan pula anak kecil yang tidak mendapat izin.
3. Barang Yang Dijual
Hendaklah ia termasuk barang yang dibolehkan, suci, dapat diserahterimakan kepada
pembelinya dan kondisinya diberitahukan kepada pembelinya, meski hanya gambaranya saja.
4. Kalimat Transaksi
Kalimat ijab dan qobul. Misalnya pembeli berkata, “juallah barang ini kepadaku” atau dengan
sikap yang mengisyaratkan kalimat transaksi. Misalnya pembeli berkata, “jualah pakaian ini
kepada ku”. Kemudian penjual memberikan pakaian tersebut kepadanya.
5. Adanya Kerdhoan Di Antara Keduabelah Pihak
Tidak sah jual beli yang dilakukan tanpa ada keridhaan di antara keduabelah
pihak  berdasarkan sabda Rasullullah salallahu ‘alaihi wasallam :
“Jual beli itu (dianggap sah) hanyalah dengan berdasarkan keridhaan. (H.R. Ibnu Majah)

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas
sebagai berikut :
a. Syarat-Syarat Orang Yang Berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi
syarat, yaitu:
1) Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat
agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan
anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2) Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat
bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
b. Syarat Yang Terkait Dalam Ijab Qabul
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak
sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang
melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.
c. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :
1) Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai,
babi, anjing, dan sebagainya.
2) Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang
memilikinya.
3) Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat
adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat
perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
4) Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5) Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6) Boleh diserahkan saat akad berlangsung .
d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para ulama fiqh
membedakan al-tsaman dengan al-si’r.Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang
berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang
yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai).Dengan
demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan
konsumen (harga dipasar).

Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu :


1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek
dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya
harus jelas.
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang
dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar,
karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.

Anda mungkin juga menyukai