Anda di halaman 1dari 95

BAI' (JUAL-BELI)

Definisi bai' ( jual-beli)


Secara bahasa bai' berarti: menerima sesuatu dan memberikan sesuatu yang lain. Kata
bai' turunan dari kata "baa" yang berarti: depa. Hubungannya adalah kedua belah pihak
(penjual dan pembeli) saling mengulurkan depanya untuk menerima dan memberikan.
Secara istilah bai' berarti: saling tukar-menukar harta dengan tujuan kepemilikan.

Hukum bai':
Hukum asal bai' adalah mubah, namun terkadang hukumnya bisa berubah menjadi
wajib, haram, sunat dan makruh tergantung situasi dan kondisi berdasarkan asas
maslahat.
Dalil yang menjelaskan tentang hukum asal bai' berasal dari Al quran, Hadist, Ijma dan
logika:
1. Allah berfirman:
ِّ ‫اَّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم‬
}‫الرََب‬ َّ َّ‫َحل‬
َ ‫{وأ‬
َ
"… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al
Baqarah: 275)
2. Nabi bersabda :

) ‫( البيعان َبخليار ما مل يتفرقا‬


" Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilihan untuk meneruskan atau
membatalkan akad jual-beli) selama mereka belum berpisah" HR. Bukhari- Muslim.
3. Para ulama islam sejak zaman nabi hingga sekarang sepakat bahwa bai' secara
umum hukumnya mubah.
4. Logika. Seorang manusia sangat membutuhkan barang-barang yang dimiliki oleh
manusia yang lain dan jalan untuk memperoleh barang orang lain tersebut dengan
cara bai' dan islam tidak melarang manusia melakukan hal-hal yang berguna bagi
mereka.

Bentuk-bentuk bai':
Dari berbagai tinjauan, bai' dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Berikut ini bentuk-
bentuk bai':
1. Ditinjau dari sisi obyek akad bai' dibagi menjadi:
1.1. Tukar-menukar uang dengan barang. Ini bentuk bai' berdasarkan konotasinya.
Misalnya:
Tukar-menukar mobil dengan rupiah.
1.2. Tukar-menukar barang dengan barang, disebut juga dengan muqayadhah (barter).
Misalnya:
Tukar-menukar buku dengan jam tangan.
1.3. Tukar-menukar uang dengan uang, disebut juga dengan sharf. Misalnya:
Tukar-menukar rupiah dengan real.
2. Ditinjau dari sisi waktu serah-terima, bai' dibagi menjadi 4 bentuk:
2.1. Barang dan uang serah-terima dengan cara tunai. Ini bentuk asal bai'.
2.2. Uang dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini
dinamakan salam.
2.3. Barang diterima dimuka dan uang menyusul, disebut juga dengan bai' ajal (jual-beli
tidak tunai).
Misalnya:
Jual-beli kredit.
2.4. Barang dan uang tidak tunai, disebut juga bai' dain bi dain (jual-beli hutang dengan
hutang).
3. Ditinjau dari cara menetapkan harga, bai' dibagi menjadi:
3.1. Bai' musawamah (jual-beli dengan cara tawar-menawar), yaitu: jual-beli dimana
pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang akan tetapi menetapkan
harga tertentu dan membuka peluang untuk ditawar. Ini bentuk asal bai'.
3.2. Bai' amanah, yaitu: jual-beli dimana pihak penjual menyebutkan harga pokok
barang lalu menyebutkan harga jual barang tersebut. Bai' jenis ini terbagi lagi
menjadi 3 bagian:
3.2.1. Bai' Murabahah yaitu: pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan
laba.
Misalnya:
Pihak penjual mengatakan," barang ini saya beli dengan harga Rp. 10.000
dan saya jual dengan harga Rp. 11.000 atau saya jual dengan laba 10%
dari modal.
3.2.2. Bai' wadh'iyyah, yaitu: pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan
menjual barang tersebut dibawah harga pokok.
Misalnya:
Penjual berkata," barang ini saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan
akan saya jual dengan harga Rp. 9.000,- atau saya potong 10% dari harga
pokok.
3.2.3. Bai' tauliyah, yaitu: penjual menyebutkan harga pokok dan menjual
barangnya dengan harga tersebut.
Misalnya:
Penjual berkata," barang ini saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan
saya jual sama dengan harga pokok".

Rukun Bai':
Bai' memiliki 3 rukun:
1. Pelaku transaksi, yaitu: penjual dan pembeli.
2. Obyek transaksi, yaitu: harga dan barang.
3. Akad (transaksi), yaitu: segala tindakan yang dilakukan kedua-belah pihak yang
menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan tersebut berbentuk
kata-kata atau perbuatan.
Ada 2 bentuk akad:
1. Akad dengan kata-kata, dinamakan juga dengan ijab-qabul.
Ijab, yaitu: kata-kata yang diucapkan terlebih dahulu.
Misalnya:
Penjual berkata," baju ini saya jual dengan harga Rp. 10.000,-
Qabul, yaitu: kata-kata yang diucapkan kemudian.
Misalnya:
Pembeli berkata," barang saya terima".
2. Akad dengan perbuatan, dinamakan juga dengan mu'athah.
Misalnya:
Pembeli memberikan uang Rp. 10.000,- kepada penjual kemudian mengambil
barang yang senilai itu tanpa terucap kata-kata dari kedua belah-pihak.

Syarat-syarat Sah Bai':


Suatu bai' tidak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad 7 syarat;
1. Saling rela antara kedua-belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk
melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya, berdasarkan firman Allah:

}‫ض ِم ْن ُك ْم‬ ِ ‫{َي أايُّها الَّ ِذين آمنوا اَل اَتْ ُكلُوا أاموالا ُكم ب ي ن ُكم ِِبلْب‬
ٍ ‫اط ِل إََِّل أا ْن تا ُكو ان ِِتا اارًة اع ْن تا ارا‬‫ْ ا ْ اْ ا ْ ا‬ ُ‫ا ا‬ ‫ا ا‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu." ( An Nisaa: 29 ).
Sabda nabi:

) ‫( إمنا البيع عن تراض‬


Bai' (jual-beli) haruslah atas dasar kerelaan (suka sama-suka). HR. Ibnu Majah.
Jika seseorang dipaksa menjual barang miliknya dengan cara yang tidak dibenarkan
hukum maka penjualan yang dia lakukan batal dan tidak terjadi peralihan kepemilikan.
Demikian pula halnya bila seseorang dipaksa membeli.
Adapun bila seseorang dipaksa melakukan akad atas dasar hukum maka akad yang
dilakukan sah.
Misalnya:
Seseorang yang dililit hutang dipaksa oleh qadhi (hakim) untuk menjual harta
yang dimilikinya guna melunasi beban hutangnya.
Yang serupa dengan pemaksaaan adalah canda dan sungkan.
Misalnya:
Seseorang menjual/membeli barang dikarenakan sungkan atau bergurau. Maka
akad yang dilakukan tidak sah karena ketiadaan unsur suka sama-suka.
2. Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah
baligh, berakal, dan mengerti, maka akad yang dilakukan oleh anak di bawah umur,
orang gila atau idiot, tidak sah kecuali dengan seijin walinya.
Berdasarkan firman Allah,

}‫اَّللُ لا ُك ْم قِيا ًاما‬


َّ ‫الس اف اهاءا أ ْام اوالا ُك ُم الَِِّت اج اع ال‬
ُّ ‫{واَل تُ ْؤتُوا‬
‫ا‬
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
(An Nisaa: 5).

} ‫اح فاِإ ْن آنا ْستُ ْم ِم ْن ُه ْم ُر ْش ًدا فاا ْدفا ُعوا إِل ْاي ِه ْم أ ْام اوا الُ ْم‬ ِ
‫{وابْ تا لُوا الْيا تا اامى اح ََّّت إِذاا بالاغُوا الن اك ا‬
‫ا‬
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. (An Nisaa: 6).
Anak kecil dikecualikan dari kaidah di atas, dia boleh melangsungkan akad yang bernilai
rendah, seperti: membeli kembang gula.
3. Harta yang menjadi obyek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak. Maka
tidak sah menjual-membeli barang yang belum dimiliki tanpa seizin pemiliknya.
Berdasarkan sabda Nabi:

)‫(َل تبع ما ليس عندك‬


"Jangan engkau jual barang yang bukan milikmu". (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Adapun wakil, wali anak kecil dan orang gila serta pengurus anak yatim statusnya
disamakan dengan pemilik.
Jika seseorang menjual barang orang lain tanpa izin akadnya tidak sah. Akad ini
dinamakan oleh para ahli fiqh tasharruf fudhuli.
4. Obyek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka tidak boleh menjual
barang haram, misalnya: khamer, rokok, alat musik, kaset lagu, video porno dll.
Berdasarkan sabda Nabi

) ‫( إن هللا إذا حرم على قوم أكل شيء حرم عليهم مثنه‬
Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu barang juga mengharamkan nilai jual
barang tersebut. (HR. Ahmad).
Termasuk dalam hal ini barang yang asal hukumnya haram namun dibolehkan dalam
keadaan darurat, seperti bangkai saat darurat, anjing buru dan anjing jaga. Tidak
dibenarkan juga menjualnya. Berdasarkan sabda Nabi

) ‫( مثن الكلب خبيث‬


Uang hasil penjualan anjing adalah najis (HR. Muslim).
5. Obyek transaksi adalah barang yang bisa diserahterimakan. Maka tidak sah menual
mobil hilang, burung di angkasa, dll karena tidak dapat diserahterimakan.
Berdasarkan hadist nabi:

‫ هنى عن بيع الغرر‬ ‫ أن النيب‬ ‫عن أيب هريرة‬


Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi melarang jual beli gharar (penipuan). (HR.
Muslim).
6. Obyek transaksi diketahui oleh kedua belah pihak saat akad. Maka tidak sah menjual
barang yang tidak jelas.
Misalnya:
Penjual mengatakan, "Aku jual mobil kepadamu" dan pembeli mengatakan "Aku
terima", sedangkan dia belum melihat dan belum mengetahui spesifikasi mobil
tersebut.
Berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah di atas tentang larangan jual-
beli gharar.
Obyek transaksi dapat diketahui dengan dua cara;
1. Barang delihat langsung pada saat akad atau beberapa saat sebelumnya yang
diperkirakan barang tersebut tidak berubah dalam jangka waktu itu.
2. Spesifikasi barang dijelaskan dengan sejelas-jelasnya seakan-akan orang yang
mendengar melihat barang tersebut.
7. Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual-beli dimana penjual mengatakan
"Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya".
Berdasarkan Hadist di atas yang melarang jual beli gharar.

Qabdh (Penerimaan Barang)


Dari penjelasan di atas telah kita ketahui bahwa akad jual beli yang sah akan berdampak
beralihnya kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli, kepemilikan beralih
dikarenakan akad, sekalipun belum terjadi qabdh.
Misalnya: penjual berkata, "Aku jual mobilku kepadamu dengan harga 50 juta rupiah",
pembeli berkata, "Saya terima". Dengan kata-kata tersebut kepemilikan barang
telah berpindah dari penjual kepada pembeli walaupun surat balik nama belum
keluar. Apabila surat balik nama telah keluar saat itu dikatakan kepemilikan mobil
telah berpindah dan telah terjadi qabdh.
Dengan demikian, qabdh berarti pihak pembeli telah dapat menggunakan barang
tersebut, dan qabdh lebih dari sekedar peralihan kepemilikan.
A. Konsekwensi Qabdh
Ada dua hal yang merupakan konsekwensi qabdh:
1. Kewenangan menggunakan barang, seperti: menjualnya kembali. Dan tidak sah
seseorang yang membeli barang kemudian dia jual kembali sebelum terjadi qabdh atas
barang tersebut.
Berdasarkan sabda nabi:

) ‫ ( من ابتاع طعاما فال يبعه حَّت يستوفيه‬: ‫ قال‬ ‫ أن النيب‬ ‫عن ابن عمر‬
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa nabi bersabda," barang siapa membeli makanan
maka jangan dijual sebelum terjadi serah terima barang" (HR. Bukhari- Muslim).

‫ ( َي ابن أخي‬: ‫ وما حيرم علي ؟ فقال‬، ‫ إين أشرتي بيوعا فما حيل يل منها‬، ‫ َي رسول هللا‬: ‫ قلت‬:‫ قال‬ ‫عن حكيم بن حزام‬
.) ‫ إذا اشرتيت شيئا فال تبعه حَّت تقبضه‬،
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata," aku bertanya kepada rasulullah, jual-
beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda," hai keponakanku!
Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima". HR. Ahmad.
Hikmah akad ini diharamkan, karena pihak penjual masih mengusai barang yang dijual,
manakala dia tahu pembeli meraup keuntungan yang besar dari penjualan barang
tersebut ke pihak lain, kemungkinan dia enggan menyerahkannya. Hal ini sering
menyebabkan sengketa antara tiga pihak. Dan islam sangat menjaga untuk tidak
terjadinya permusuhan dan kebencian sesama pemeluknya.
2. Tanggungjawab barang berpindah dari pihak penjual kepada pembeli.
Jikalau barang lenyap setelah terjadi jual beli dan sebelum terjadi qabdh maka barang
berada dalam tanggungan pihak penjual karena barang masih dalam garansinya,
kecuali sebab lenyapnya oleh si pembeli.
Dikecualikan dari kaidah di atas bilamana penjual bermaksud menyerahkan barang
kepada pembeli, tetapi pembeli mengulur waktu sehingga barang lenyap. Maka garansi
ditanggung pembeli, karena kelalaiannya.
B. Cara qabdh
Penentuan cara qabdh merujuk kepada kebiasaan yang berlaku, caranya berbeda
berdasarkan jenis barang, misalnya:
1. Qabdh properti seperti rumah dan tanah dengan cara memberi peluang kepada
pembeli untuk menempatinya.
2. Qabdh makanan, pakaian dan perkakas dengan cara memindahkannya dari tempat
semula.
3. Qabdh emas, perak dan permata dengan cara mengambilnya dengan tangan.
4. Qabdh uang dengan cara memegangnya dengan tangan atau dibukukan dalam
rekening bank
5. Qabdh mobil dengan cara membawanya keluar dari tempat semula atau dengan
cara menerima dokumen yang telah tercantum nama pembeli.
Dan begitu seterusnya, qabdh setiap barang merujuk kepada kebiasaan yang berlaku.

Khiar
A. Definisi
Menurut bahasa khiar berasal dari kata ikhtiar yang bermakna memilih. Menurut istilah
khiar adalah hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad.
B. Jenis-jenis khiar, di antaranya :
1. Khiar majelis.
a. Majelis berarti: tempat transaksi, dengan demikian khiar majelis berarti hak
pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad selagi mereka
berada dalam tempat transaksi dan belum berpisah.
b. Dalil

‫ فإن صدقا وبينا بورك لما يف‬، ‫ ( البيعان ِبخليار ما مل يتفرقا‬: ‫ قال‬ ‫ أن النيب‬ ‫عن حكيم بن حزام‬
) ‫بيعهما وإن كذِب وكتما حمقت بركة بيعهما‬
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam bahwa Nabi bersabda, "Penjual dan pembeli
memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya jujur dan
saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi dan jika keduanya berdusta dan
saling menutupi dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan". (HR.
Bukhari Muslim).
c. Hikmah Penetapan Hukum Khiar
Terkadang, seseorang setelah menjual atau membeli suatu barang timbul dalam
dirinya penyesalan maka dengan khiar majelis dia berhak untuk rujuk.
d. Waktu Khiar Majelis
Khiar majelis merupakan hak kedua pihak, waktunya dimulai dari awal akad dan
berakhir saat jasad kedua belah pihak berpisah dari tempat akad berlangsung
sekalipun akad tersebut berlangsung lama.
Bilamana akad berlangsung via telepon waktu khiar berakhir dengan ditutupnya
gagang telepon. Dan bilamana berlangsung via internet menggunakan program
messenger maka waktu khiar berakhir dengan ditutupnya program tersebut.
Dan bila berlangsung dengan cara mengisi daftar belanja maka ijabnya dengan
mengisi daftar yang kemudian dikirim ke pihak penjual, sedangkan pengiriman
daftar dari pihak penjual dianggap sebagai qabul. Dan khiar berakhir dengan
terkirimnya daftar belanja yang telah diisi sebelumnya.
e. Menafikan/menggugurkan khiar:
Dibolehkan menafikan dan menggugurkan khiar majelis.
Menafikan khiar, yaitu: kedua belah pihak sepakat sebelum melakukan akad
untuk tidak ada hak khiar bagi keduanya dan akad menjadi tetap dengan ijab dan
qabul.
Menggugurkan khiar, yaitu: kedua pihak melakukan transaksi, setelah transaksi
dan sebelum berpisah mereka sepakat menggugurkan khiar, ini biasanya terjadi
manakala mejelis akad terlalu lama.
f. Upaya tipuan untuk menggugurkan khiar:
Tidak dibenarkan kedua-belah pihak melakukan tipuan untuk menggugurkan
khiar, seumpama: bersegera meninggalkan majelis akad dengan maksud hak
khiar gugur dari pihak lain.
Berdasarkan hadist nabi :

، ‫ إَل أن تكون صفقة خيار‬، ‫ ( املتبايعان ِبخليار ما مل يتفرقا‬: ‫ قال‬ ‫ أن النيب‬ ‫عن عبد هللا بن عمرو‬
) ‫وَل حيل له أن يفارق صاحبه خشية أن يستقيله‬
Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah, kecuali
akad khiar syarat dan tidak dibolehkan seseorang sengaja meninggalkan majelis
akad karena khawatir pihak lain membatalkan akadnya. HR. Ahmad.
2. Khiar Syarat:
a. Definisi.
Khiar syarat, yaitu: kedua pihak atau salah satunya berhak memberikan
persyaratan khiar dalam jangka waktu tertentu.
Misalnya: Pembeli berkata," aku beli barang ini dengan syarat aku berhak khiar
selama 1 minggu. Maka dia berhak meneruskan atau membatalkan transaksi
dalam tempo tersebut sekalipun barang itu tidak ada cacatnya.
b. Dalil:

‫ ( املسلمون على شروطهم إَل شرطا حرم حالَل أو أحل حراما‬: ‫ قال‬ ‫ أن النيب‬ ‫عن عمرو بن عوف‬
)
"Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Nabi bersabda," Orang islam terikat dengan
persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram". (HR. Tirmizi).
c. Syarat sah khiar syarat:
Agar khiar syarat dianggap sah disyaratkan 2 hal:
1. Kedua belah pihak saling rela, baik kerelaannya terjadi sebelum atau saat akad
berlangsung.
2. Waktunya jelas sekalipun jangkanya panjang.
d. Berakhirnya masa khiar syarat
Khiar syarat berakhir ditandai dengan berakhirnya jangka waktu yang telah
disepakati atau keduanya sepakat mengakhiri waktu khiar sebelum berakhirnya
waktu yang disepakati sebelumnya.
3. Khiar Aib
a. Definisi.
Khiar aib yaitu hak pilihan untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenakan
terdapat cacat pada barang yang mengurangi harganya.
Misalnya:
 Retak pada dinding rumah yang merupakan obyek akad.
 Mesin mobil tidak berfungsi.
 Banyak terdapat buah busuk dibagian bawah keranjang saat membelinya dalam
jumlah besar.
b. Hukum menutupi cacat barang
Bila terdapat cacat yang mengurangi harga barang maka pihak penjual berkewajiban
menjelaskannya kepada pembeli, jika tidak dilakukannya maka dia termasuk orang yang
menipu.
‫ ما هذا َي‬: ‫ فقال‬، ‫ فنالت أصابعه بلال‬، ‫ مر على صربة طعام فأدخل يده فيها‬ ‫ أن النيب‬ ‫عن أيب هريرة‬
‫ من غش‬، ‫ ( أفال جعلته فوق الطعام كي يراه الناس‬: ‫ قال‬، ‫ أصابته السماء َي رسول هللا‬: ‫صاحب الطعام ؟ قال‬
) ‫مين‬ ‫فليس‬
Diriwayatkan dari Abu Huraira bahwa Nabi melewati setumpuk tepung gandum yang
dijual, lalu Beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut ternyata bagian
dalamnya basah, Beliau bertanya, "Apa ini hai penjual tepung?", ia menjawab, "Terkena
hujan wahai Rasulullah", lalu Beliau bersabda, "Mengapa engkau tidak meletakkannya di
bagian atas sehingga orang dapat melihatnya. Sesungguhnya orang yang menipu tidak
termasuk golonganku". HR. Muslim.

‫ وَل حيل ملسلم ِبع من أخيه بيعا وفيه‬، ‫ ( املسلم أخو املسلم‬: ‫ يقول‬ ‫ مسعت النيب‬: ‫ قال‬ ‫عن عقبة بن عامر‬
) ‫عيب إَل بينه له‬
Dari Uqbah bin Amir, ia berkata, "Aku mendengar Nabi bersabda, "Seorang muslim
adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak dibenarkan seorang muslim menjual barang
yang cacat kepada saudaranya melainkan ia jelaskan cacatnya". HR. Ibnu Majah.
c. Hak pembeli barang cacat
Seseorang yang membeli barang, ternyata barang tersebut cacat dan dia tidak
mengetahui sebelumnya maka dia berhak memilih;
1. Mengembalikan barang dan menarik kembali uang yang telah dibayar.
2. Menahan barang serta meminta sebagian dari uang yang telah dibayarkannya
sesuai dengan kekurangan harga barang tersebut dikarenakan cacat.
Misalnya:
pak Saleh membeli mobil dengan harga 54 juta rupiah, ternyata transmisinya
tidak berfungsi maka untuk menentukan berapa uang yang harus dikembalikan
penjual maka harga mobil ditaksir oleh pedagang dalam keadaan baik
umpamanya seharga 45 juta rupiah dan dalam kondisi transmisi rusak seharga
40 juta rupiah. Dengan demikian selisih antara 2 harga Rp. 5 juta sama dengan
1/9 dari harga keseluruhan. Maka pembeli boleh pilih antara menarik kembali
seluruh uangnya yaitu 54 juta rupiah atau mengambil mobil tersebut dan
menarik 1/9 dari 54 juta rupiah = 6 juta rupiah.
d. Menjual Barang Dengan Syarat tidak ada jaminan
Apabila penjual memberikan persyaratan kepada pembeli bahwa tidak ada jaminan
kerusakan pada barang dan pembeli menyetujui persyaratan tersebut, maka apakah
lepas tanggung jawab penjual? Ataukah pembeli masih berhak menuntut kerugian jika
kelak dia menemukan cacat?
Hal ini ada 2 macam:
1. Bila penjual menjelaskan cacatnya dan pembeli tahu, umpamanya: penjual
berkata,"oli mesin mobil sering berkurang," atau cacatnya nyata, umpamanya:
tampak jelas bekas tabrakan pada bagian luar mobil. Maka penjual telah lepas
tanggungannya dan pembeli tidak memiliki khiar lagi.
2. Pembeli tidak tahu cacat barang dan penjual mensyaratkan lepas tanggungan dari
segala cacat barang.
Misalnya:
Ia berkata, "Aku jual barang ini kepadamu dengan syarat aku lepas tanggungan
dari segala cacatnya.
Dalam hal ini, pihak penjual lepas tanggungan dari seluruh cacat barang andai dia
benar-benar tidak mengetahui cacat sebelumnya karena khiar adalah hak pembeli
manakala dia rela hal itu dibolehkan.
Namun jika penjual tahu cacat barang sebelumnya lalu menyembunyikan dan
mensyaratkan lepas tanggungan dari seluruh cacat barang maka dia tetap
menjamin kerusakan barang tersebut, karena tindakan ini termasuk penipuan dan
pengelabuan, padahal nabi bersabda:

) ‫( من غش فليس مين‬
" Sesungguhnya orang yang menipu tidak termasuk golonganku".

Waktu Bai'
Bai' tidak terikat dengan waktu tertentu dan dibolehkan melakukan bai' kapan saja
selama tidak menyebabkan tertinggalnya suatu kewajiban. Dengan demikian tidak
dibolehkan orang yang wajib shalat jumat melakukan akad setelah azan
dikumandangkan karena saat itu dia diperintahkan untuk bersegera menuju masjid
melakukan rangkaian shalat jumat, berdasarkan firman Allah:
َِّ ‫لص االةِ ِمن ي وِم ا ْْلمع ِة فااسعوا إِ اَل ِذ ْك ِر‬
‫اَّلل اوذا ُروا الْبا ْي اع ذالِ ُك ْم اخ ْي ر لا ُك ْم إِ ْن ُك ْن تُ ْم‬ َّ ِ‫ي ل‬ ِ ِ ِ َّ
ْ ‫ْ ا ْ ُُ ا ْ ا‬ ‫آمنُوا إذاا نُود ا‬
‫ين ا‬
‫{َي أايُّ اها الذ ا‬
‫ا‬
}‫تا ْعلا ُمو ان‬
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al Jumu'ah : 9).
Dan termasuk dalam hal ini juga, menghadiri shalat berjamaah, maka dilarang seseorang
berjual beli bila shalat jamaah telah dimulai.

Tempat Bai'
Bai' tidak disyaratkan dilakukan pada tempat tertentu, boleh dilakukan dimana saja
kecuali di masjid. Berdasarkan sabda Nabi:

‫ هنى عن الشراء والبيع يف املسجد‬ ‫ أن النيب‬ ‫عن عبد هللا بن عمرو بن العاص‬
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa nabi melarang berjual beli di dalam
masjid. HR. Abu Daud.
Diantara hikmah pelarangan ini agar masjid terjaga dari kegaduhan yang melalaikan
seperti yang terjadi di pasar.
Termasuk dalam larangan ini juga melakukan transaksi jual-beli saham dengan
menggunakan PDA/telepon genggam saat berada di dalam masjid.
Hal-hal yang Merusak Keabsahan Akad
1. Riba.
Definisi Riba
Riba di dalam bahasa Arab berarti "bertambah". Maka segala sesuatu yang bertambah
dinamakan riba.
Menurut istilah, riba berarti: menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (dikenal
dengan riba dayn) atau menambahkan takaran saat melakukan tukar menukar 6 komoditi
(emas, perak, gandum, sya'ir, kurma dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar
emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai (dikenal dengan
riba Ba'i).
Sejarah Riba
Riba merupakan penyakit ekonomi masyarakat yang telah dikenal lama dalam peradaban
manusia. Beberapa pakar ekonomi memperkirakan bahwa riba telah ada sejak manusia
mengenal uang (emas dan perak). Riba dikenal pada masa peradaban Farao di Mesir, peradaban
Sumeria, Babilonia dan Asyuriya di Irak, dan peradaban Ibrani Yahudi. Termaktub dalam kitab
perjanjian lama bahwa diharamkan orang Yahudi mengambil riba dari orang Yahudi, namun
dibolehkan orang Yahudi mengambil riba dari orang di luar Yahudi1.
Tidak dapat dipastikan kebenaran perkiraan di atas kecuali keberadaan riba pada peradaban
Yahudi. Karena Alquran menjelaskan bahwa Bani Israel (umat Nabi Musa 'alaihis salam)
melakukan riba dan Allah-pun telah melarang mereka memakan riba. Allah berfirman,

ِ ‫ اوأا ْخ ِذ ِه ُم‬ ‫ريا‬ِ َِّ ‫يل‬ ِ ِ‫ص ِد ِه ْم اع ْن اسب‬ ِ ‫ات أ‬ ٍ ‫ادوا ح َّرمناا اعلاي ِهم طايِب‬ ِ َّ ِ ِ
ُ‫الراِب اوقا ْد نُ ُهوا اع ْنه‬ ً ‫اَّلل اكث‬ ‫ت الُ ْم اوبِ ا‬ ْ َّ‫ُحل‬ ‫ين اه ُ ا ْ ْ ْ ا‬ ‫فابظُل ٍْم م ان الذ ا‬
ِ ِ ‫اط ِل وأا ْعت ْد اَن لِ ْل اكافِ ِر‬
ِ ‫اوأا ْكلِ ِه ْم أ ْام او ا‬
‫يما‬
ً ‫ين م ْن ُه ْم اع اذ ًاِب أال‬
‫ا‬ ‫َّاس ِِبلْبا ا ا‬
ِ ‫ال الن‬
"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih. (An Nisaa: 160-161).
Kemudian umat Yahudi memperkenalkan riba kepada bangsa arab di semenanjung Arabia,
tepatnya di kota Thaif dan Yatsrib (kemudian dikenal dengan Madinah). Di dua kota ini Yahudi
berhasil meraup keuntungan yang tak terhingga, sampai-sampai orang-orang Arab jahiliyah
menggadaikan anak, istri, dan diri mereka sendiri sebagai jaminan utang riba. Bila mereka tidak
mampu melunasi utang maka jaminan mereka dijadikan budak Yahudi.
Dari kota Thaif praktik riba menjalar ke kota Makkah dan dipraktikkan oleh para bangsawan
kaum Quraisy jahiliyah2. Maka riba marak di kota Makkah. Sebagaimana yang kita ketahui
dalam khutbah Rasulullah di Arafah pada haji wada' beliau bersabda,

1
Dr. Abdullah Al Umrani, Al Manfa'atu fil Qardh, hal 86.
2
Dr. Rafiq Al Mishri, Jami' Ushulurriba, hal 22.
»ُ‫ضوع ُكلُّه‬ ِ ِ‫اس بْ ِن اع ْب ِد ال ُْمطَّل‬
ُ ‫ فاِإنَّهُ ام ْو‬،‫ب‬ ِ َّ‫اض ُع ِراِب اَن ِراِب اعب‬ ُ ‫اهلِيَّ ِة ام ْو‬
‫ اوأ َّاو ُل ِرًِب أ ا‬،‫ضوع‬ ِ ‫«وِرِب ا ْْل‬
‫اا ا‬
"Riba jahiliyah telah dihapuskan. Riba pertama yang kuhapuskan adalah riba Abbas bin Abdul
Muthalib, sesungguhnya riba telah dihapuskan seluruhnya". (HR. Muslim).
Bentuk-bentuk riba yang dilakukan orang-orang jahiliyah adalah sebagai berikut:
- Seseorang memberikan pinjaman 10 keping uang emas selama waktu yang ditentukan
dengan syarat nanti dibayar sebanyak 11 keping uang emas.
- Seseorang meminjam 10 keping uang emas, bila jatuh tempo pelunasan dan ia belum
mampu membayar, ia mengatakan, "Beri saya masa tangguh, nanti piutang anda akan
saya tambah".
- Seseorang memberikan pinjaman modal usaha 100 keping uang emas. Setiap
bulannya ia mendapat bunga 2 keping uang emas. Bila telah sampai masa yang
ditentukan, si peminjam harus mengembalikan modal utuh sebanyak 100 keping uang
emas. Jika ia telat melunasi maka ia harus membayar denda keterlambatan yang
terkadang rasionya lebih besar dari pada bunga bulanan.
- Seseorang membeli barang dengan cara tidak tunai. Bila dia belum melunasi hutang
pada saat jatuh tempo maka ia harus membayar denda keterlambatan selain melunasi
hutang pokok3.
Hukum Riba
Tidak seorang muslimpun yang menyangkal haramnya hukum riba. Teks Alquran begitu jelas
menyatakan bahwa Allah telah mengharamkan riba. Allah berfirman,

ِ ‫اَّللُ الْبا ْي اع او اح َّرام‬


‫الراِب‬ َّ ‫اح َّل‬
‫ اوأ ا‬
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". (AlBaqarah:275).
Kemudian Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghentikan praktik riba.
Allah berfirman,
ِِ ِ ‫اَّللا اوذا ُروا اما باِقي ِم ان‬ ِ َّ
‫الراِب إِ ْن ُك ْن تُ ْم ُم ْؤمن ا‬
‫ي‬ ‫ا‬ َّ ‫آمنُوا اتَّ ُقوا‬
‫ين ا‬
‫ اَي أايُّ اها الذ ا‬
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman". (AlBaqarah: 278).
Dan Allah mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintahNya untuk
meninggalkan riba. Allah berfirman,

‫اَّلل اوار ُسولِ ِه‬


َِّ ‫ب ِمن‬ ِ
‫فاِإ ْن املْ تا ْف اعلُوا فاأْ اذنُوا ِبا ْر ٍ ا‬
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
RasulNya akan memerangimu". (AlBaqarah:279).
Pembagian Riba
Para ulama membagi riba menjadi dua: riba dayn dan riba ba'i.
Riba Dayn

3
Dr. Rafiq Al Mishri, Jami' Ushulurriba, hal 22-25.
Riba dayn adalah riba yang dilakukan oleh bangsa arab jahiliyah sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya. Yaitu: pemberi hutang mensyaratkan kepada peminjam untuk mengembalikan
hutang ditambah bunga, atau penjual barang tidak tunai mensyaratkan denda jika si pembeli
telat melunasi kewajiban bayarnya yang telah jatuh tempo, atau si pembeli sendiri yang
mengajukan persyaratan untuk membayar denda dengan ucapan, "Beri saya tenggang waktu
dan akan saya bayar lebih besar dari harga semula".
Memahami Kaidah Kaidah fikih:

»‫ض اج َّر ام ْن اف اعةً فا ُه او ِرًِب‬


ٍ ‫« ُك ُّل قا ْر‬
"Setiap Pinjaman yang Memberikan Manfaat Adalah Riba"4
Kaidah di atas seolah-olah meliputi setiap bentuk keuntungan yang dihasilkan dari akad
pinjaman hukumnya riba, namun sesungguhnya tidak demikian. Suatu manfaat (keuntungan)
dari akad pinjaman dianggap riba bila terpenuhi kriteria berikut,
- Keuntungan yang terpisah dan bukan keuntungan yang mengikut dalam akad pinjaman.
Maka keuntungan yang bersifat mengikut tidak diharamkan, seperti: seseorang yang
memberikan pinjaman kepada pihak lain, terlebih pihak tersebut mapan secara ekonomi dan
tidak menunda-nunda pembayaran pinjaman (bank) maka peminjam mendapat keuntungan
dalam bentuk uangnya aman dari hal-hal yang tidak diinginkan dan terkumpul dalam bentuk
tabungan.
- Keuntungan hanya dinikmati oleh pemberi pinjaman.
Bila keuntungan yang disebabkan oleh akad pinjaman yang disyaratkan di awal akad adalah
untuk peminjam, hukumnya boleh. Karena pemberi pinjaman berarti menambah kebajikannya
terhadap peminjam yang biasanya adalah orang yang sangat membutuhkan5.
Dan boleh juga bila manfaat dari akad pinjaman didapatkan sama oleh kedua belah pihak
(peminjam dan pemberi pinjaman), seperti: arisan dimana peminjam dan pemberi pinjaman
mendapatkan manfaat yang sama dari akad pinjaman dalam bentuk terkumpulnya uang dalam
jumlah besar.
Begitu juga, dibolehkan jika keuntungan untuk pihak ketiga, seperti keuntungan yang
didapatkan oleh perantara dalam akad pinjaman. Bila seseorang berkata kepada perantara,
"Carikan aku pinjaman, dan untukmu sepuluh persen dari besarnya uang pinjaman". Maka
perantara berhak mendapatkan sepuluh persen dari besarnya pinjaman jika ia berhasil
mendapatkan pinjaman untuk peminjam sesungguhnya.
Ibnu Qudamah berkata, "Jika seseorang berkata kepada seseorang, "Carikan aku pinjaman
seratus dinar dan untukmu sepuluh dinar" akad ini sah, karena sepuluh dinar itu merupakan
imbalan dari jasanya mencari pinjaman"6.

4
Al Mawardi, Al Hawi, jilid V, hal 356, Sihnun, Al Mudawwanah Al Kubra 4/133. Dianggap ini sebagai kaidah fikih
karena tidak ada hadis yang marfu' yang shahih dari Nabi dengan lafaz ini. hadis yang diriwayatkan dengan lafaz
ini oleh Al Harits dalam musnadnya dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dengan sanad yang sangat dhaif,
karena diantara sanadnya adalah Siwar bin Mush'ab Al Kufi. Ibnu Hajar berkata, "Hadis dengan lafaz ini tidak ada
yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam". Akan tetapi kaidah ini berdalil kepada ijma' yang dinukil oleh
Al Baji. Dan sekalipun sanad hadis ini dhaif akan tetapi maknanya shahih. Ibnu Hajar Al Haitami berkata, " ‫« ُك ُّل‬
»‫ض َج َّر َم ْنفَعَةً فَ ُه َو ِربًا‬
ٍ ‫ قَ ْر‬Setiap Pinjaman yang Memberikan Manfaat Adalah Riba. Dhaifnya hadis ini diperkuat oleh
maknanya shahih yang diriwayatkan dari beberapa orang sahabat". Tuhfatul Muhtaj 5/47.
5
Dr. Nazih Hammad, Aqdul Qardh, hal 60.
- Keuntungan yang dinikmati pemberi pinjaman disyaratkan di awal akad.
Bila tidak disyaratkan di awal akad, akan tetapi pada saat pelunasan utang peminjam
memberikan hadiah baik dalam bentuk yang sejenis dengan barang yang dipinjam ataupun
tidak maka hukumnya boleh. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu
anhuma, ia berkata,

»‫ادِين‬ ‫ فا اق ا‬،‫ ِيف املا ْس ِج ِد‬ ‫َّيب‬


‫ض ِاين اواز ا‬ َّ ِ‫ت الن‬
ُ ‫«أاتا ْي‬
"Nabi pernah memiliki utang kepadaku, lalu Beliau melunasinya dan memberikan tambahan dari
nilai utangnya". (HR. Bukhari).
- Keuntungan yang tidak dipersyaratkan tersebut diberikan sebelum utang dilunasi.
Bila keuntungan diberikan sebelum utang dilunasi juga tidak dibolehkan sekalipun atas nama
hadiah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

‫ إََِّل أا ْن يا ُكو ان اج ارى با ْي ناهُ اوبا ْي ناهُ قا ْب ال اذلِ ا‬،ُ‫ فا اال يا ْراك ْب اها اواَل يا ْقبا لْه‬،‫ أ ْاو اَحالاهُ اعلاى الدَّابَِّة‬،ُ‫ فاأ ْاه ادى لاه‬،‫ضا‬
»‫ك‬ ً ‫اح ُد ُك ْم قا ْر‬
‫ضأا‬‫إِ اذا أاق اْر ا‬
"Apabila seseorang di antaramu memberikan pinjaman, lalu yang menerima pinjaman
memberikan hadiah kepadamu atau memintamu untuk menaiki kendaraannya, maka janganlah
engkau menaikinya dan jangan terima hadiahnya. Kecuali (pemberian hadiah tersebut) telah
berlangsung antaramu dengannya sebelum engkau berikan dia pinjaman". (HR. Ibnu Majah.
Derajat hadis ini dinyatakan hasan oleh Imam Suyuthi).
Kapan Riba Dayn Boleh Dilakukan?
Berbeda dengan gharar yang dibolehkan dengan nisbah sedikit, riba dayn tetap diharamkan
walaupun jumlahnya hanya sedikit. Tidak ada keringanan sedikitpun dalam jumlah riba,
hukumnya haram sekalipun kecil.
Imam Malik berkata, "Adapun riba, selamanya wajib dikembalikan dan tidak dibolehkan baik
banyak maupun sedikit"7.
Al Baji (wafat th 474H) berkata, "Membuat persyaratan pertambahan dalam utang adalah riba,
meskipun sedikit. Dan tidak ada perbedaan pendapat para ulama bahwa setiap pertambahan
utang itu adalah riba"8.
Ibnu Qudamah berkata, "Riba diharamkan, baik jumlah uang ribanya banyak maupun sedikit"9.
Para peserta symposium ekonomi Islam di Qatar sepakat, "Riba mutlak diharamkan. Tidak ada
perbedaan antara riba yang dilakukan dalam jumlah besar atau kecil"10.
Juga berbeda dengan gharar yang dibolehkan jika berkaitan dengan hajat11 orang banyak akan
transaksi tersebut, riba dayn tetap diharamkan sekalipun transaksinya dibutuhkan oleh orang
banyak, kecuali dalam keadaan darurat, riba dayn boleh dilakukan dengan ketentuan
mengangkat sebuah darurat.

6
Al Kaafi, jilid II, hal 127.
7
Lihat. Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwatha', jilid V, hal 157.
8
Al Muntaqa Syarh Al Muwatha', jilid V, hal 99.
9
Raudhatun Nazhir, jilid II, hal 138.
10
Al Fatawa Al Iqtishadiyyah, fatwa no (6), hal 79.
11
Hajat adalah kebutuhan yang bila tidak terpenuhi tidak akan berakibat hilangnya salah satu 5 hal yang sangat
penting, yaitu agama, nyawa, akal, harta dan kehormatan akan tetapi akan berakibat susahnya seseorang
menjalani hidupnya.
Hal ini, karena riba dayn merupakan riba yang diharamkan atas asas maqshad (tujuannya) dan
bukan diharamkan hanya karena dapat menghantarkan kepada sesuatu yang diharamkan
(tahrim wasail). Maka sebuah kebutuhan yang tidak masuk kategori darurat tidak dapat
memberikan dampak terhadap hukum asal haramnya riba jenis ini.
Ibnu Al Arabi (wafat th. 453H) berkata,
ِ ِ ِ
‫إذا ُهن اي عن اش ْيء بِ ْعينه مل تؤث ْر فيه الا ا‬
ُ‫اجة‬
"Apabila sesuatu diharamkan karena zatnya maka sebuah hajat tidak berpengaruh terhadap
hukum haramnya"12.
Kecuali darurat dapat membolehkan riba dayn berdasarkan firman Allah,

 ‫ضطُ ِرْرُُتْ إِل ْاي ِه‬


ْ ‫ص ال لا ُك ْم اما اح َّرام اعلاْي ُك ْم إََِّل اما ا‬
َّ ‫ اوقا ْد فا‬
"Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali
apa yang terpaksa kamu melakukannya". (Al An'aam: 119).
Ibnu Asyur (wafat th. 1393H) berkata,
ِ‫اَلستِثْ نا ِاء فِيه‬ ِ ِ ‫ب‬ ِ ‫ و اذلِ ا‬،ُ‫اسة‬ ِ ِ ‫َّف ِيف املاْق‬ ِ ِ
ْ ْ ِ ‫الوع ْيد او اع ادِم‬
‫سبا ِ ا‬
‫كبا‬ ‫ اولا اذا فاالا ُِِت ْي ُزهُ الا ا‬... ‫صد الض َُّرْوِر ِي‬
‫اجةُ املا َّ ا‬ ‫ا‬ ْ ُ ‫صن‬ ‫ان ِراِب النَّس ْي ئاة يُ ا‬
َّ ‫أ‬
ُ‫ اوإِ َّمناا ُِِت ْي ُزهُ الض َُّرْوارة‬... ‫َّح ِرِْْي‬ ِِ ِ
ْ ‫اوتا اعدُّد ام اقاصد الت‬
"Sesungguhnya, riba dayn digolongkan riba yang diharamkan atas asas maqshad (tujuannya).
Hajah (kebutuhan di bawah darurat) tidak dapat melegalkan riba ini. Karena ancaman Allah
sangat keras terhadap pelakunya, tidak ada pengecualian dan beragam kerusakan yang
ditimbulkan riba. Riba jenis ini hanya dilegalkan dalam keadaan darurat"13.
Syaikh Ibn Bayyah hafizhahullah berkata,

‫ أا اش ُّد ِم ان املاْي ِس ِر اوال ِْق اما ِر‬:‫ فا ُه او اك اما يا ُق ْو ُل ابْ ُن تا ْي ِميَّةا‬،‫َّس ْي ئا ِة‬
ِ ‫ي َلا تُبِيحهُ إَِلَّ الضَّرورةُ ال ُكب رى اكتح ِرِْْي ِرِب الن‬
‫ُْ ا ْ ا ا ْ ا‬
ِِ
ُ ْ ٌّ ‫نا ْهي ام اقاصد‬
"Sesuatu yang dilarang atas asas maqshad (tujuannya) tidak dapat dilegalkan kecuali kondisi
sangat darurat. Contoh larangan ini riba dayn. Ibnu Taimiyah berkata, "Riba dayn lebih berat
(dosanya) daripada perjudian"14.
Namun perlu diingat bahwa darurat adalah kondisi dimana orang yang berada dalam kondisi ini
akan binasa atau hampir binasa bila dia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut.
Juga dengan ketentuan bahwa orang yang dalam keadaan darurat tidak mempunyai pilihan
selain melakukan hal yang diharamkan. Dan kadar haram yang boleh dia lakukan hanyalah
sebatas menghilangkan kondisi daruratnya.
Apabila kriteria di atas tidak terpenuhi maka kondisi tersebut belum dapat dinamakan darurat.
Dan tidak berhak mendapatkan keringanan untuk melakukan pinjaman dengan riba.
Mungkin yang dapat dijadikan contoh untuk darurat yang memenuhi kriteria yaitu pertanyaan
yang pernah diajukan kepada syaikh Al Munajjid bahwa seseorang akan dilakukan operasi pada
lambungnya. Akan tetapi dia tidak memiliki biaya yang cukup untuk itu apakah boleh dia
meminjam ke bank konvensional dengan jaminan gajinya?

12
'Aridhatul Ahwazi, jilid VIII, hal 48.
13
Maqashid al Muamalat, hal. 100.
14
ibid, hal. 101.
Syaikh menjawab: "… menurut pendapat sebagian para ulama dalam kondisi yang ditanyakan ini
engkau boleh meminjam dengan cara ribawi, jika kondisimu sampai pada tahap darurat dan
berat dugaan bahwa operasi akan berguna bagimu dan menghilangkan penyakitmu dan
kondisimu ini tidak dapat ditunda sampai engkau mendapatkan pinjaman tanpa riba atau Allah
memberikanmu rizki yang baik".
4.6.2 Riba Ba'i
Sebagaimana yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa riba terbagi dua, yaitu riba dayn (riba
yang objeknya penambahan hutang) dan riba ba'i. Tentang riba dayn telah dirinci pada
pembahasan sebelumnya.
Sekarang akan dibahas tentang riba ba'i.
4.6.2.1 Definisi Riba Ba'i
Riba ba'i yaitu: riba yang objeknya adalah akad jual-beli.
Riba ini terbagi 2:
1. Riba fadhl yaitu menukar salah satu dari 6 jenis harta riba (emas, perak,
kurma, gandum, gandum jenis murah dan garam) dengan yang sejenis dan
ukuran berbeda.
Misalnya:
- menukar 10g emas Singapura dengan 11g emas Jakarta.
- menukar 1kg kurma Ajwa' Madinah dengan 3kg kurma Sukkari.
2. Riba nasi'ah: menukar salah satu harta riba dengan harta riba lainnya yang sejenis atau
berlainan jenis akan tetapi 'illatnya sama (yaitu: emas dan perak illatnya alat tukar. Kurma,
gandum, Sya'ir, dan garam illatnya makanan pokok dan tahan lama) dengan cara tidak tunai.
Misalnya:
- menukar 10g emas Singapura dengan 10g emas Jakarta tidak tunai.
- menukar 1g emas dengan 15g perak tidak tunai.
4.6.2.2 Dalil Tentang Riba Ba'i
- Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit
radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

،‫س او ٍاء‬ ِ ِِ ِ ِ ‫ وال ِْملْح ِِبل ِْمل‬،‫ والتَّمر ِِبلتَّم ِر‬،‫لشعِ ِري‬
‫ اس اواءً ب ا‬،‫ مثْ ًال ِبثْ ٍل‬،‫ْح‬ ُ ‫ري ِِب َّ ا ْ ُ ْ ا‬ ُ ‫الشع‬ ‫ضةُ ِِبلْفض ا ُ ُ ا‬
ِ ِ َّ ‫ وال ِْف‬،‫ب‬
ِ َّ ‫ و‬،‫ والْب ُّر ِِبلْب ِر‬،‫َّة‬
‫لذ اه ِ ا‬ َّ ‫ب ِِب‬ َّ «
ُ ‫الذ اه‬
»‫ إِذاا اكا ان يا ًدا بِيا ٍد‬،‫ف ِش ْئ تُ ْم‬ ِ ِ ْ ‫ فاِإ اذا ا ْخت لا اف‬،‫ي ًدا بِي ٍد‬
ُ ِ‫ فاب‬،‫اف‬
‫يعوا اك ْي ا‬ ُ ‫اصنا‬
ْ ‫ت اهذه ْاْل‬ ‫ا‬ ‫ا ا‬
"Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, dan
Sya'ir ditukar dengan Sya'ir, Kurma ditukar dengan Kurma, garam ditukar dengan garam,
haruslah sama ukuran dan takarannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukurannya juga
boleh berbeda dengan syarat tunai". (HR. Muslim).
- Ijma' para ulama. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa
serah-terima komoditi riba disyaratkan tunai dan disyaratkan sama ukurannya bila
ditukar dengan komoditi yang sejenis, dan bila berlainan jenis dan masih satu illat
disyaratkan tunai saja berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
Ijma' ini dinukil oleh An Nawawi15.
Ibnu Munzir berkata, "Para ulama sepakat bahwa dua orang yang saling menukar uang bila
berpisah sebelum melakukan serah-terima uangnya maka transaksinya tidak sah"16.

15
Al majmu', jilid X, hal 40.
16
Al Ijma', hal 92.
4.6.2.3 Kaidah Riba Ba'i
Dalam tukar menukar 6 harta riba ada 3 kemungkinan yang terjadi:
1. Menukar harta riba dengan harta riba yang sejenis, seperti: emas ditukar dengan emas dan
kurma ditukar dengan kurma.
Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan 2 syarat:
1.a. Ukuran keduanya harus sama, berat -jika satuan barang berdasarkan timbangan- atau
volume -jika satuan barangnya berupa liter- haruslah sama.
1.b. Serah terima kedua barang harus tunai di majelis akad. Tidak boleh 10g emas Singapura
diterima sekarang dan 10g emas Jakarta diserahkan besok.
Jika syarat pertama tidak terpenuhi, akad ini dinamakan riba fadhl, dan jika syarat kedua tidak
terpenuhi, akad ini dinamakan riba nasi'ah dan jika kedua syarat tidak terpenuhi akad ini
dinamakan riba fadhl-nasi'ah.
2. Menukar harta riba dengan harta riba yang tidak sejenis tapi satu illat, seperti menukar
kurma dengan gandum, menukar emas dengan perak. Untuk keabsahan akad ini
dibutuhkan satu syarat saja, yaitu serah-terima kedua barang harus tunai dan tidak
disyaratkan ukurannya sama.
Menukar 1g emas dengan 20g perak boleh dengan syarat harus tunai, yaitu barang diserah-
terimakan di majelis akad.
Dan tidak boleh menukar 1g emas diterima sekarang dan 20g perak diserahkan pada keesokan
harinya. akad ini disebut riba nasi'ah.
Begitu juga boleh menukar 10kg gandum dengan 5kg kurma tunai, barang diserah-terimakan di
majelis akad.
Dan tidak boleh menukar 10kg gandum diterima sekarang dan 5kg kurma diserahkan pada
keesokan harinya. Akad ini disebut riba nasi'ah.
3. Menukar harta riba dengan harta riba yang tidak sejenis dan tidak satu illat, seperti
menukar kurma dengan emas.
Dalam akad ini tidak ada persyaratan harus sama ukurannya atau harus tunai.
Maka boleh menukar 1g emas dengan 10kg kurma tidak tunai, dengan cara uang emas
diserahkan di majelis akad dan kurma diserahkan pada keesokan harinya. Berdasarkan hadis
Nabi

»ُ‫ اواراهناهُ ِد ْر اعه‬،‫اج ٍل‬ ِ ِ


‫«ا ْشتا ارى م ْن يا ُهود ٍي طا اع ًاما إِ اَل أ ا‬
"Rasulullah membeli makanan dengan cara tidak tunai dari seorang Yahudi dan menggadaikan
baju besi beliau kepadanya". (HR. Bukhari).
4.6.2.4 Dapatkah Komoditi Lain Diqiyaskan dengan 6 Komoditi Ribawi?
Untuk 4 komoditi yang merupakan makanan dapat diqiyaskan seluruh makanan pokok yang
dapat disimpan lama –menurut pendapat yang terkuat tentang illatnya-, seperti: beras, jagung
dan lain-lain. Dengan demikian, tidak boleh menukar 2kg beras murah dengan 1kg beras Raja
Lele. Hal ini termasuk riba ba'i yang diharamkan.
Solusinya: hendaklah si pemilik beras murah menjualnya terlebih dahulu, lalu dari uang hasil
penjualan tersebut, ia beli beras Raja Lele, sekalipun hasil akhirnya tidak akan jauh berbeda.
Solusi ini yang diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala seorang utusan beliau
datang dari Khaibar membawa kurma jenis bagus…

ِ ْ ‫اع‬
،‫ي‬ َّ ‫اع ِم ْن اه اذا ِِب‬
‫لص ا‬ ‫الص ا‬
َّ ‫ْخ ُذ‬ ِ ‫ول‬
ُ ‫هللا إِ ََّن لاناأ‬ ِ ‫ اَل و‬:‫ال‬
‫هللا اَي ار ُس ا‬ ‫ا‬ ‫ فا اق ا‬، »‫ «أا ُك ُّل َتاْ ِر اخ ْي با ار اه اك اذا؟‬:  ‫هللا‬ِ ‫ول‬ ُ ‫ال لاهُ ار ُس‬ ‫فا اق ا‬
»‫َّر ِاه ِم اجنِيبًا‬ ِ ‫ بِ ِع ا ْْلمع ِِبلد‬،‫ «فا اال تا ْفعل‬:‫هللا صلَّى هللا علاي ِه وسلَّم‬ ِ ‫ول‬ ‫ فا اق ا‬،‫ي ِِبلث اَّالثاِة‬
‫ ُُثَّ ابْ تا ْع ِِبلد ا‬،‫َّراه ِم‬
‫اْ ا ا‬ ْ‫ا‬ ‫ُ اْ اا ا‬ ‫ا‬ ُ ‫ال ار ُس‬ ِ ْ ‫اع‬
‫الص ا‬
َّ ‫او‬
Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya, "Apakah semua kurma Khaibar jenis
ini? Orang itu menjawab, "Tidak, akan tetapi saya menukar 1sha' kurma bagus ini dengan 2sha'
kurma yang jelek dan 2sha' kurma yang bagus ditukar dengan 3 sha' kurma yang jelek". Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jangan lakukan hal itu! Akan tetapi tukar kurma yang
jelek dengan uang dirham dan beli dengan uang dirham itu kurma yang bagus". (Muttafaq Alaih).
Untuk komoditi emas dan perak terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang illatnya.
Pendapat pertama: Illat riba untuk emas dan perak adalah satuan berat dan sejenis. Ini
merupakan mazhab Hanafi dan Hanbali.
Dalil dari pendapat ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Said al Khudri radhiyallahu
anhu bahwa seseorang menukar kurma kwalitas rendah sebanyak 2 sha' dengan kurma bagus
1 sha'. Maka nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

‫ اواك اذلِ ا‬،‫يعوا اه اذا اوا ْشتا ُروا بِثا امنِ ِه ِم ْن اه اذا‬
»‫ك املِ ايزا ُن‬ ِ ِ ِ
ُ ِ‫ أ ْاو ب‬،‫ اولاك ْن مثْ ًال ِِبثْ ٍل‬،‫«َلا تا ْف اعلُوا‬
"Jangan lakukan itu! Tukarlah dengan ukuran yang sama, atau jual kurmamu dengan uang dan
beli dengan uang kurma yang bagus. Dan begitulah timbangan". (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa riba dalam komoditi kurma dikaitkan dengan timbangan. Dan
bila dikaitkan dengan timbangan maka timbangan dapat dijadikan illat. Emas dan perak di
waktu itu merupakan komoditi yang satuannya adalah ditimbang maka timbangan dapat
dijadikan illat riba untuk komoditi ini17.
Tanggapan: dalil ini tidak kuat, karena lafaz "Dan begitulah timbangan" merupakan tambahan
dari rawi. Maka statusnya adalah mauquf. Dan juga kata timbangan tidak dapat dijadikan illat
karena tidak ada munasabah dalam kata ini.
Konsekuensi dari pendapat ini bahwa uang kartal dewasa ini tidak dapat dianalogikan dengan
emas dan perak karena uang kartal dihitung berdasarkan nominal yang tertera pada
lembarannya dan tidak dihitung dengan berdasarkan timbangan (berat).
Dari pendapat bahwa illat riba pada emas dan perak timbangan lahir beberapa pandangan
tentang uang kartal.
Pertama: Sebagian ulama menganggap bahwa uang kartal adalah surat utang. Ini pendapat
syaikh Muhammad al Amin Asy Syinqithi. Ia berkata, "Pendapat yang terkuat bahwa uang (Nota
Bank) adalah surat utang yang diwakili oleh sejumlah perak … maka tidak boleh menukarnya
dengan emas dan perak sekalipun tunai karena perak yang diwakilinya tidak diserahkan tunai,
karena nota tersebut bukanlah harta dan juga bukan jasa pada intrinsiknya"18.
Argumen dari pendapat ini bahwa yang tertera pada lembaran nota bank yang diterbitkan oleh
negara pada waktu itu, contoh; sebagai berikut, "Lembaran ini adalah sertifikat yang
menyatakan bahwa telah disimpan senilai satu dollar emas Amerika di bank sentral Amerika. Dan

17
Al Mutrik, Ar Riba wal Muamalat Mashrafiyyah, hal 99.
18
Adhwa ul Bayan, jilid I, hal 182.
emas tersebut akan diserahkan kepada pemegang sertifikat ini jika ia mengunjukkannya kepada
bank"19. Pernyataan yang tertera pada nota bank ini jelas menyatakan bahwa nota tersebut
adalah surat utang yang dikeluarkan oleh negara.
Tanggapan: argumen ini tidak kuat, karena ada perbedaan yang sangat berarti antara surat
utang dengan nota bank. Di mana surat utang jika pemegangnya mengatakan dihadapan saksi
bahwa dia membebaskan utang yang tertera pada surat tersebut maka dia tidak akan dapat
menarik utangnya lagi. Adapun nota bank, sekalipun pemegangnya menyatakan dihadapan
saksi bahwa dia membebaskan utang bank yang menerbitkan nota tersebut dia tetap berhak
memperoleh emas dari bank sebanyak yang tertera pada nota.
Kemudian pendapat ini dikeluarkan pada saat uang di waktu itu tertera pada setiap
lembarannya tulisan di atas berbeda dengan yang tertulis pada uang kartal dewasa ini.
Bila pendapat ini tidak kuat maka pendapat sebagian penggiat uang dinar dan dirham yang
menyatakan bahwa uang kartal sekarang tidak sah -karena merupakan lanjutan dari nota bank
yang disamakan dengan surat utang- adalah pendapat yang lemah karena didasarkan kepada
pendapat yang lemah20.
Konsekuensi dari pendapat ini tidak boleh membeli emas dengan uang kartal karena tidak
akan terjadi tukar menukar tunai sekalipun serah terima emas dan uang terjadi dengan cara
tunai. Dan tidak ada kewajiban zakat kecuali setelah utang emasnya diterima dari bank yang
menerbitkan uang nota.
Kedua: Sebagian ulama yang lain menganggap bahwa uang kartal disamakan dengan komoditi
lain yang bukan komoditi riba, seperti kayu, batu dan lain-lain. Pendapat ini didukung oleh
syaikh Abdurrahman ibn Nashir As Sa'di. Ia berkata, "Bila telah diketahui bahwa nota bank
bukanlah emas atau perak dan tidak mungkin dapat diterapkan illat emas dan perak yaitu
timbangan maka nota bank itu adalah komoditi biasa … Nota bank boleh ditukar sesama nota
bank berlebih dan tidak tunai"21.
Argumen pendapat ini bahwa transaksi dilakukan terhadap kertas uang baik secara lafaz
maupun makna. Dan kertas merupakan sebuah komoditi sebagaimana komoditi lainnya.
Tanggapan: argumen ini tidak kuat karena transaksi bukanlah dilakukan terhadap potongan
kertas sebagai komoditi akan tetapi transaksi dilakukan terhadap nilai tukar uang yang
dihasilkan dari kekuatan ekonomi negara yang menerbitkannya. Potongan kertas bila dianggap
sebagai komoditi maka tidak mungkin nilai sebuah lembaran uang akan berbeda jauh dengan
lembaran lainnya. Karena nilai kertas itu tidaklah semahal nilai nominal yang tertera pada
lembaran uang.
Konsekuensi dari pendapat ini bahwa tidak ada riba bai' pada mata uang kertas. Boleh
menukar 1000 rupiah dengan 2000 rupiah secara tidak tunai. Dan tidak ada kewajiban zakat
kecuali uang kertas dijadikan sebagai barang dagangan.
Pendapat kedua: Illat riba untuk emas dan perak adalah ghalabat tsamaniyah (dominasi
sebagai alat tukar). Pendapat ini merupakan mazhab Syafii dan Maliki22.

19
Dr. Ahmad Hasan, Awraq Naqdiyyah, hal 167.
20
Lihat artikel yang ditulis oleh Umar Vadillo salah seorang pencetus gerakan kembali kepada uang dinar dan
dirham dengan judul "Ketetapan Hukum atas Uang Kertas". www.islamhariini.org/muamalat/muaAR02.htm.
21
Al fatawa As Sa'diyyah, hal. 325.
22
Al mawardi, Al Hawi Al Kabir, jilid V, hal. 91. Al Kharsyi, Syarh Mukhtashar Khalil, jilid V, hal 56.
Maksud dari illat ini bahwa emas dan perak saja yang merupakan komoditi riba karena emas
dan perak dapat diterima sebagai alat tukar di seluruh negri. Berbeda halnya dengan uang fulus
(yang terbuat dari tembaga atau nikel), karena sekalipun fulus menjadi alat tukar di sebagian
tempat seperti di Khurasan akan tetapi hanya menjadi alat tukar yang dominan di negri
tersebut dan tidak diterima sebagai alat tukar di negri lainnya. Oleh karena itu, para ulama
mazhab syafi'i dan maliki berpendapat bahwa fulus bukanlah komoditi riba.
Argumen pendapat ini bahwa emas dan perak menjadi alat tukar dari masa ke masa. Al Maqrizy
(wafat 845H) berkata, "Uang yang merupakan alat pengukur nilai barang dan jasa hanyalah
emas dan perak saja. Tidak diketahui -dari khabar yang shahih maupun tidak- bahwa ada suatu
umat atau kelompok manusia dahulu maupun sekarang yang membuat alat tukar dari selain
emas dan perak. Diriwayatkan bahwa orang yang pertama sekali membuat alat tukar emas
(dinar) dan perak (dirham) adalah Adam alaihissalam"23. Ini berarti bahwa illatnya adalah
ghalabat tsamaniyah (dominasi sebagai alat tukar).
Tanggapan: pendapat ini tidak kuat, karena illat ini tidak dapat diqiyaskan dengan komoditi
lainnya dan ini dinamakan dengan illat qashirah. Dan illat qashirah adalah illat yang tidak sah
dalam ilmu qiyas24.
Konsekuensi dari pendapat ini bahwa fulus tidak ada riba dan tidak ada zakat. Imam Syafii
berkata, "Uang fulus boleh dijual tidak tunai (salam), berbeda halnya dengan emas dan perak.
Karena fulus tidak dizakatkan dan fulus bukan sebagai alat pembayaran sebuah barang
sebagaimana halnya emas dan perak yang merupakan alat pembayaran untuk semua jenis
barang. Serta emas dan perak dizakatkan. Ini karena terdapat perbedaan bahan baku antara
uang emas dengan uang fulus"25.
Apa pendapat ulama yang mengatakan illat riba ghalabat tsamaniyah (dominasi sebagai
alat tukar) terhadap uang kartal?
Para ulama kontemporer yang bermazhab syafii menyatakan uang kartal dewasa ini dapat
dianalogikan dengan fulus bukan dengan emas dan perak karena uang kartal nilainya terdapat
pada pengakuan negara penerbitnya bukan pada nilai intrinsiknya sama halnya dengan fulus.
Ahmad Khatib Al Jawi berkata, "Uang adalah lembaran kertas yang dapat pengakuan sebagai
alat tukar secara luas sama seperti emas dan perak. Namun pengakuan nilainya berdasarkan
kepada pengakuan pemerintah sama seperti fulus yang terbuat dari tembaga yang nilai
materialnya tidak lebih dari satu fulus (dan bukan karena nilai intrinsiknya). Konsekuensi dari
menganalogikan uang dengan fulus hukumnya sama dengan fulus; tidak wajib dizakatkan
menurut mazhab kami (syafii), karena zakat hanya wajib atas emas dan perak"26.
Tanggapan: pendapat ini tidak kuat karena terdapat perbedaan yang mendasar antara fulus
dan uang kartal. Di antara perbedaannya;

23
Al maqrizy, Ighatsatul ummah fi kasyfil ghummah, dinukil dari buku, "An Nuqud fil Islam", hal 116. Riwayat yang
dimaksud oleh Al Maqrizy adalah perkataan Ka'ab radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushannaf, Jilid VII, hal 275. Dan Al Ashfahany dalam Hilyatul Auliya', Jilid VI, hal 13, ia berkata, "Orang
yang pertama membuat dinar dan Dirham adalah Adam alaihissalam, ia berkata, "Kehidupan tidak akan menjadi
baik kecuali dengan menggunakan dua uang ini (emas dan perak)".
24
Al Mutrik, Ar Riba wal Muamalat Mashrafiyyah, hal 107.
25
Al Umm, jilid III, hal 98.
26
Dr. Ahmad Hasan, Awraq Naqdiyyah, hal 167.
- Fulus di masa itu bukan sebagai alat tukar yang bersifat wajib dalam pembayaran
kewajiban. Jika seseorang menolak untuk menerima fulus sebagai alat pembayar maka
tidak ada konsekuensi apapun.
Imam Syafii berkata, "Fulus tidak dapat menjadi alat pembayar kecuali disyaratkan di awal akad.
Jika seseorang tidak mau menerimanya, pemilik fulus tidak dapat memaksanya. Berbeda dengan
uang dirham"27.
Ini merupakan perbedaan yang sangat mendasar antara fulus dengan uang kartal dimana uang
kartal merupakan alat pembayar yang harus diterima setiap orang di negara yang
menerbitkannya. Bila seseorang tidak menerimanya akan dijatuhi sanksi oleh pemerintah
tersebut.
- Fulus di masa itu hanyalah sebagai alat pembayaran barang dan jasa yang harganya
murah. Maka status fulus di masa itu sebagai uang pembantu dan bukan sebagai uang
utama. Berbeda halnya dengan uang kartal dimana statusnya sebagai satu-satunya
alat pembayaran yang sah untuk semua barang dan jasa, baik yang harganya mahal
maupun murah.
Bila terdapat perbedaan antara fulus dan uang kartal maka qiyas uang kartal dengan fulus tidak
dibenarkan.
Pendapat ketiga: Illat riba untuk emas dan perak adalah muthlaq tsamaniyah (mutlak sebagai
alat tukar) atau qiyamul asy yaa' (pengukur nilai harga). Pendapat ini didukung oleh As Syirazi
(ulama mazhab syafii, wafat th. 476H) dan sebagian ulama mazhab maliki.
As Syirazi berkata, "Emas dan perak illat ribanya adalah qiyamul asy yaa' (pengukur nilai
harga)"28.
Al Kharasyi (maliki wafat th. 1101 H) berkata, "Ulama mazhab maliki berbeda pendapat tentang
illat riba pada emas dan perak; pendapat yang masyhur illatnya adalah ghalabat tsamaniyah.
Pendapat kedua illatnya adalah muthlaq tsamaniyah … berdasarkan illat pertama maka fulus
bukanlah komoditi riba. Dan berdasarkan illat kedua maka fulus adalah komoditi riba"29.
Maksud dari illat ini bahwa emas dan perak dikategorikan sebagai komoditi riba dikarenakan
emas dan perak sebagai alat pembayaran dan sebagai nilai harga barang dan jasa di waktu itu.
Maka jika di kemudian hari disepakati alat pembayaran dari material yang lain selain emas dan
perak hukumnya sama dengan emas dan perak.
Pendapat ini diperkuat oleh beberapa pendapat ulama yang lain, di antaranya;
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata, "Aku berkeingingan untuk membuat uang dari
kulit unta". Lalu dikatakan kepadanya, "Kalau begitu, tidak akan ada lagi unta! Lalu Umar
mengurungkan niatnya"30.
Imam Malik berkata tentang fulus,

‫ود اح ََّّت تا ُكو ان الاا ِس َّكة او اع ْي لا اك ِرْهتُ اها أا ْن تُبا ا‬


‫اع‬ ‫ازوا با ْي نا ُه ْم ا ْْلُلُ ا‬
ُ ‫اج‬
‫َّاس أ ا‬ َّ ‫ اول ْاو أ‬،‫ب اواَل ِِبل اْوِر ِق‬
‫ان الن ا‬ َّ ‫اَل اخ ْي ار فِ ايها نا ِظ ارةً ِِب‬
ِ ‫لذ اه‬
ً‫ب اوال اْوِر ِق نا ِظ ارة‬ َّ ‫ِِب‬
ِ ‫لذ اه‬

27
Al Umm, jilid III, hal 98.
28
At Tanbih fil Fiqh Asy Syafii, hal. 90.
29
Syarh Mukhtasar Khalil, jilid V, hal. 56.
30
Tafsir As Shan'ani, jilid III, hal. 93.
"Tidak boleh menukar fulus dengan emas dan perak secara tidak tunai. Andaikan orang-orang
membuat uang dari kulit dan dijadikan uang yang dicetak dan alat tukar oleh mereka, maka saya
melarang uang kulit itu ditukar dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai"31.
Ibnu Hazmi berkata, "Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan dapat digunakan sebagai alat
tukar, dan tidak terdapat satu nash-pun yang menyatakan bahwa uang haruslah terbuat dari
emas dan perak"32.
Ibnu Taimiyah juga berkata, "Adapun dinar dan dirham tidak ada batasannya bahwa harus yang
dicetak dan tidak ada juga batasan syar'i. Maka material uang merujuk kepada 'urf (adat
istiadat) dan kesepakatan orang-orang para penggunanya. Sebagian ulama berkata, "Uang
adalah suatu benda yang disepakati oleh para penggunanya sebagai (alat tukar), sekalipun
terbuat dari sepotong batu atau kayu"33.
Dalil dari pendapat yang mengatakan illat emas dan perak adalah muthlaq tsamaniyah
merupakan pendapat yang terkuat dan didukung oleh seluruh lembaga fatwa internasional.
Konsekuensi pendapat ini bahwa emas dan perak yang merupakan mata uang utama di masa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dapat disamakan dengan mata uang sekarang sebagaimana
hasil keputusan para ulama se-dunia yang tergabung dalam Rabithah Alam Islami (Muslim
World League) dalam muktamar ke V di Mekkah pada tahun 1982, yang berbunyi, "Berdasarkan
penelitian yang diajukan kepada Majelis Lembaga Fikih Islam tentang uang kartal (real money)
serta hukumnya menurut syariat, setelah ditelaah, dikaji dan didiskusikan oleh para anggota
majlis, maka diputuskan sebagai berikut:
Pertama: berdasarkan bahwa asal uang adalah emas dan perak, dan berdasarkan illat
berlakunya riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah (nilai tukar mutlak) menurut
pendapat ulama yang terkuat. Dan berdasarkan pendapat ulama bahwa mutlaq tsamaniyah tidak
terbatas pada emas dan perak saja, sekalipun statusnya adalah logam mulia yang menjadi
patokan. Dan berdasarkan bahwa uang kartal pada masa sekarang dianggap sebagai alat tukar,
menggantikan emas dan perak, dan sebagai alat ukur harga, karena tidak ada lagi orang yang
menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar. Dan uang kartal telah dipercaya orang untuk
menginvestasikan, dan menyimpan hartanya, serta digunakan sebagai alat pembayar kewajiban,
sekalipun nilai uang kartal bukan pada zat fisiknya, akan tetapi nilainya berasal dari kepercayaan
pengguna untuk dipindahtangankan, dari hal itulah sifat tsamaniyah (nilai) dihasilkan. Dan
karena pendapat yang terkuat tentang illat riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah
dan hal itu terdapat pada uang kartal.
Berdasarkan alasan-alasan di atas maka majlis memutuskan bahwa uang kartal adalah uang
yang berdiri sendiri. Hukum uang kartal sama dengan uang emas dan perak, maka wajib
mengeluarkan zakat dari uang kartal. Riba fadhl dan nasi'ah juga berlaku pada uang kartal,
layaknya emas dan perak … Maka hukum-hukum yang berkenaan dengan emas dan perak juga
berlaku pada uang kartal.
Kedua: uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri sama seperti uang emas dan perak. Uang
kartal terdiri dari berbagai jenis, sesuai dengan jenis negara yang mengeluarkannya. Maka mata
uang Saudi satu jenis, mata uang Amerika jenis yang lain, dan seterusnya setiap mata uang
sebuah negara merupakan jenis tersendiri.

31
Al Mudawwanah Al Kubra, jilid III, hal. 5.
32
Al Muhalla, jilid VIII, hal. 477.
33
Majmu' Al Fatawa, jilid XIX, hal. 251.
Dengan demikian, dapat terjadi riba fadhl dan nasi'ah pada setiap mata uang sebagaimana
terjadi riba fadhl dan nasi'ah pada uang emas dan perak".
Konsekuensi dari keputusan ini adalah sebagai berikut:
a. Tidak boleh menukar satu mata uang dengan mata uang negara yang lain, atau dengan
emas dan perak dengan cara tidak tunai.
Misalnya:
Menukar Riyal Saudi dengan mata uang lain dengan cara tidak tunai (serah-terima kedua mata
uang tidak di tempat akad berlangsung) tidak dibolehkan.
b. Tidak boleh menukar uang menjadi pecahan dalam satu mata uang dengan nominal
yang berbeda, sekalipun dilakukan tunai.
Misalnya:
Satu lembar nominal S.R.10.00 dengan 11 lembar nominal S.R.1.00 tidak boleh.
c. Boleh menukar mata uang yang berlainan jenis berbeda nominalnya dengan syarat
berlangsung tunai.
Misalnya:
Menukar 1 Dollar Amerika dengan 3 Riyal Saudi dengan cara tunai dibolehkan.
Ketiga: wajib mengeluarkan zakat uang kartal bila nominalnya senilai salah satu nishab zakat
emas atau perak, atau menggenapkan nishab bersama harta yang lain seperti harta perniagaan.
Keempat: boleh menjadikan uang kartal sebagai modal pada akad jual-beli salam dan sebagai
modal dalam berserikat. Wallahu a'lam".
Begitu juga keputusan Muktamar ke III para ulama Islam se-dunia di bawah OKI yang
diselenggarakan di Amman, Yordania pada tahun 1986. Keputusan No. 21 (9/3), yang berbunyi,
"Majlis Lembaga Fikih Islam menetapkan bahwa uang kartal mempunyai kriteria tsamaniyyah
(harga/nilai). Hukumnya sama dengan hukum-hukum yang telah dijelaskan syariat tentang emas
dan perak. Riba dapat terjadi pada uang kartal. Uang kartal terkena zakat dan dapat dijadikan
modal dalam akad salam. serta seluruh hukum-hukum yang telah ditentukan"34.
Dengan demikian maka 1 lembar uang Rp100.000,00 harus ditukar dengan nominal uang
rupiah pecahan yang sama (dengan 10 lembar uang Rp10.000,00) dan harus tunai. Bila tidak
tunai maka terjadilah riba nasi'ah.
Sebagai ilustrasi:
Seseorang membeli buku dari pedagang A di pasar seharga 20 ribu rupiah. Ia memberikan uang
lembaran 100 ribu. Pedagang A sama sekali tidak mempunyai recehan untuk mengembalikan
uang pembeli. Ia menukar dengan pedagang B pemilik kios di sebelahnya, ternyata B hanya
memiliki uang pecahan sebanyak 80 ribu. A Memberikan lembaran 100 ribu kepada B dan
mengambil pecahan 80 ribu dan diberikan kepada pembeli. Nanti setelah B memiliki recehan 20
ribu ia memberikannya kepada A.
Dalam kasus di atas, pedagang A dan B telah melakukan riba nasi'ah.
Solusi Syar'i untuk kasus ini:

34
Journal Islamic Fiqh Council, edisi III, jilid III, hal 1650.
- Pedagang B memberikan pinjaman kepada A 80 ribu. Dan lembaran 100 ribu tetap di
tangan A. Nanti setelah A memiliki pecahan 80 ribu ia mengembalikan utangnya
kepada B. Atau ketika B telah memiliki pecahan 20 ribu ia boleh memberikannya
kepada A dan menukarnya dengan lembaran 100 ribu dari A.
- Pedagang B memberikan pinjaman kepada A 80 ribu. Dan lembaran 100 ribu
diberikan kepada pedagang B sebagai jaminan. Nanti setelah A memiliki pecahan 80
ribu ia mengembalikan utangnya kepada B dan mengambil uang pecahan 100 ribu
yang dijaminkan. Atau ketika B telah memiliki pecahan 20 ribu ia boleh
memberikannya kepada A dan pada saat itu terjadi tukar menukar uang sejenis dan
sama nominalnya tunai.
Dari hasil keputusan muktamar di atas, maka 100 Dollar Amerika boleh ditukar dengan,
misalnya, Rp900.000,00 dengan syarat harus tunai.
Begitu juga jual-beli emas. Tidak boleh membeli emas dengan cara kredit. Karena antara emas
dan uang kartal illatnya sama yaitu: tsamaniyah, hanya jenisnya yang berbeda. Maka
disyaratkan antara barang emas dan uang harus diserahkan-terimakan tunai di majelis akad
berlangsung35.
Juga termasuk riba ba'i membeli emas dengan cara memberikan uang muka/DP (down
payment) kemudian melunasi sisanya pada waktu yang ditentukan dan emas diterima.
Untuk lebih jelasnya sebagai ilustrasi:
A membeli cincin mas kawin 10g seharga 3 juta rupiah dengan asumsi harga emas 300 ribu per
gram. Akan tetapi A ingin diukirkan huruf awal namanya pada cincin. Penjual meminta tangguh
waktu 1 hari untuk mengerjakannya. Dan ia meminta DP dari A sebanyak 1 juta. Keesokan
harinya A menerima cincin dan menyerahkan sisa harga emas.
Jual-beli emas di atas termasuk riba ba'i karena emas ditukar dengan uang kartal dengan cara
tidak tunai, padahal illat kedua barang tersebut sama yaitu tsamaniyah.
Solusi syar'i untuk kasus ini: A membeli tunai cincin yang diinginkannya dan menerima cincin
tersebut. Kemudian ia menyerahkan cincin itu kembali kepada penjual emas untuk diukirkan
huruf awal namanya dengan akad yang baru.
Kasus hampir serupa dengan di atas pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab
Saudi, nomor fatwa: 3211, berbunyi,
Soal: Seorang pelanggan datang ingin membeli emas ke tokoku, ia hanya membawa uang tunai
cukup untuk bayar DP saja. Ia berkata, "Saya beli emas yang ini, saya hanya bawa DP saja, mohon
emasnya disisihkan dan ini uangnya! Nanti saya datang untuk melunasinya". Beberapa waktu
kemudian ia datang melunasi dan menerima emas tersebut. Apa hukum jual-beli ini?
Jawab: Jual-beli ini tidak dibolehkan, karena serah-terima barang tidak tunai"36.
Juga termasuk riba ba'i membeli emas via internet. Di mana pembeli melakukan transaksi
beli emas melalui website salah satu pedagang emas (dinar) dan membayar tunai harganya
dengan fasilitas kartu kredit atau internet banking. Setelah transaksi beli dilakukan pedagang
mengirimkan emas yang dipesan ke pembeli yang tentunya akan diterima pembeli setelah
beberapa waktu transaksi dilakukan. Ini termasuk riba ba'i karena illat emas dan uang kartal
satu. Namun, serah terima barang dan uang tidak tunai.

35
Dr. Sulaiman At Turki, Ba'i taqsith wa ahkamuhu, hal 141.
36
Fatawa lajnah daimah, jilid XIII, hal 476.
Juga termasuk riba ba'i yaitu jual-beli emas melalui telepon, karena serah-terima komoditi
riba yang sama illatnya tidak tunai.
Hal ini pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa No. 3211, yang
berbunyi,
Soal: Terkadang pemilik toko emas membeli emas dalam jumlah besar dari salah satu agen emas
di luar kota melalui telepon, dan jenis emas yang dipesan jelas. Setelah terjadi kesepakatan harga,
kemudian pembeli mengirim uang kepada penjual melalui transfer rekening bank, apakah
transaksi ini dibolehkan, atau apa yang harus dilakukan?
Jawab: transaksi ini hukumnya tidak boleh, karena serah-terima barang emas dan uang tidak
tunai, padahal keduanya adalah komoditi riba. Transaksi ini termasuk riba nasi'ah, hukumnya
haram. Solusinya, pada saat uang diterima, akad jual-beli diulang kembali agar akad berlangsung
tunai"37.
Apakah Ada Riba Bai' yang Dibolehkan?
Berbeda dengan riba dayn yang diharamkan karena zatnya yang mendatangkan kezaliman, riba
bai' seperti yang telah dijelaskan tentang hikmah pengharamannya bahwa riba jenis ini
diharamkan bukan karena zatnya, akan tetapi diharamkan karena riba ini dapat membuka celah
dilakukannya riba dayn yang dilakukan oleh orang jahiliyyah. Pengharaman riba ini dikenal
dalam istilah ilmu ushul fikih dengan saddan lizzari'ah. Karena perbedaan maqshad (tujuan)
pengharaman dua riba ini maka tingkat keharamannyapun berbeda.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa riba dayn selamanya diharamkan kecuali dalam keadaan
darurat yang berakibat hilangnya salah satu dari lima hal yang darurat bagi seorang manusia,
yaitu; nyawa, agama, harta, akal dan kehormatan diri. Adapun riba ba'i dibolehkan bila
bertentangan dengan hajat yang statusnya di bawah darurat, sebagaimana kaidah yang
dijelaskan oleh para ulama.
Ibn al Arabi berkata,

ْ ‫يف غا ِْريهِ أاثَّ ار‬


ُ‫ت فِ ْي ِه ال ا اجة‬ ِ ِ ِ
‫إذا ُهن اي عن اش ْيء بِ ْعينه مل تؤث ْر فيه الا ا‬
ْ ِ ‫ اوإِذاا اكا ان ملاْع ًًن‬، ُ‫اجة‬
"Apabila sesuatu diharamkan karena zatnya maka sebuah hajat tidak berpengaruh terhadap
hukum haramnya. Dan apabila diharamkan karena tujuan lain (bukan zatnya) maka hajat dapat
mengubah hukum keharamannya."38.
Ibn Taimiyah berkata,
ِ ‫الر‬ ِ َّ ‫َّهي إِذاا اكا ان لِس ِد‬
‫اج احة‬ ْ ‫الذ ِريْ اعة أُبِْي اح لل اْم‬
َّ ‫صلا احة‬ ‫ا‬ ُ ْ ‫الن‬
"Sebuah larangan jika tujuannya untuk menutup celah keharaman yang lebih besar dibolehkan
bila terdapat maslahat yang kuat"39.
Ibn Qayyim berkata,

‫اج ِة‬ ِ ‫الذرائِ ِع فاِإنَّه ي ب‬ ِ ِ‫ما ح ِرم ل‬


‫ْح ا‬
‫اح لل ا‬
ُ ‫ُ ُا‬ ‫سد َّ ا‬
‫ا ُ ا ا‬

37
ibid.
38
'Aridhatul Ahwazi, jilid VIII, hal 48.
39
Majmu' Fatawa, jilid I, hal 164.
"Sesuatu yang diharamkan untuk menutup celah keharaman yang lebih besar dibolehkan bila
terdapat hajat"40.
Ibn Utsaimin berkata,

‫اج ِة اكال اْع ِريَّة‬ ِ َّ ِ‫اك َّن اما ُح ِرام ل‬


‫لذ ِريْ اعة‬ ِ‫ل‬
‫ْح ا‬
‫اَيُ ْوُز لل ا‬
Akan tetapi, sesuatu yang diharamkan untuk menutup celah keharaman
Dibolehkan bila terdapat hajat, seperti bai' 'Araya
Dalil dari kaidah ini adalah dibolehkannya bai' 'Araya. Bai' 'Araya yaitu menukar kurma kering
yang dapat ditakar dengan kurma segar yang masih berada di pohon. Ini berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Haitsamah radhiyallahu anhu:
ِ ‫اع ِِبار‬ ِ ‫ول‬
ِ ‫ ورخَّص ِيف‬،‫ ناهى اعن ب ي ِع الثَّم ِر ِِبلتَّم ِر‬ ‫هللا‬ َّ ‫«أ‬
»‫ اَيْ ُكلُ اها أ ْاهلُ اها ُرطابًا‬،‫ص اها‬ ْ ‫الع ِريَّة أا ْن تُبا ا‬
‫ا‬ ‫ْ اا ا‬ ‫ا ْ اْ ا‬ ‫ان ار ُس ا‬
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang menjual kurma yang di pohon dengan kurma
kering. Akan tetapi beliau memberi rukhsah (keringanan) dalam bentuk 'Araya, yaitu: kurma
kering ditukar dengan kurma dipohon dengan perkiraan untuk dimakan kurma di pohon oleh
pembelinya yang miskin". (HR. Bukhari).
Pada dasarnya bai' 'Araya termasuk riba bai' (riba fadhl) dimana penjual dan pembeli tidak
dapat memastikan persamaan takaran antara kurma kering dengan kurma di pohon. Padahal
untuk menghindari riba dalam transaksi tukar menukar kurma dengan kurma haruslah sama
takaran/timbangan dan haruslah tunai. Akan tetapi, dalam kasus bai' 'Araya tidak dapat
diketahui persamaan takarannya. Maka ini termasuk riba fadhl.
Akan tetapi bai' 'Araya dibolehkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk hajat fakir
miskin yang menginginkan makan kurma segar yang masih di pohon. Keingingan fakir miskin
tersebut belum sampai pada tahap darurat yang berakibat hilangnya salah satu dari lima hal
pokok pada diri seorang manusia. Fakir miskin hanya akan bersedih bila berlalu musim panen
kurma dan mereka belum merasakan manisnya kurma segar. Kesedihan jiwa kaum miskin ini
hanyalah sebatas hajat dan bukan darurat.

40
Zaadul Ma'ad, jilid IV, hal 78.
2. Gharar

Definisi Gharar
Gharar berasal dari bahasa Arab yang berarti: resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke
jurang kebinasaan.
Menurut istilah para ahli fiqh, gharar berarti: jual beli yang tidak jelas kesudahannya. Sebagian
ulama mendefinisikannya dengan: jual-beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak.
Misalnya:
Penjual berkata, "Aku jual barang yang ada di dalam kotak ini kepadamu dengan harga
Rp100.000,00". Penjual tidak menjelaskan isi kotak dan pembeli pun tidak tahu fisik
barang yang berada di dalam kotak.
Akad di atas mengandung unsur untung-rugi (spekulasi). Bila salah satu pihak mendapat keuntungan
maka pihak lain mengalami kerugian, inilah hakikat gharar.
Pembeli kotak yang tidak mengetahui isinya dengan harga Rp100.000,00 mungkin mendapat untung
jika ternyata isi kotak adalah barang seharga Rp130.000,00 dan mungkin mengalami kerugian jika
ternyata isinya hanya seharga Rp90.000,00.

Kriteria Gharar Yang Diharamkan


Keharaman riba bersifat mutlak, riba diharamkan baik sedikit maupun banyak. Berbeda halnya
dengan gharar. Gharar hanya dihukumi haram bilamana terdapat salah satu kriteria berikut:
a. Nisbah gharar dalam akad besar.
Jika nisbah gharar sedikit maka tidak mempengaruhi keabsahan akad, seperti: pembeli mobil yang
tidak mengetahui bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui rincian aset
perusahaan, atau pembeli kebun yang tidak mengetahui jumlah pasti hasil panen buah per
tahunnya, tidaklah merusak akad yang dilangsungkan.
Ibnu Qayyim berkata, "Gharar dalam jumlah sedikit atau tidak mungkin dihindari, tidak
mempengaruhi keabsahan akad. Berbeda halnya gharar dengan nisbah besar atau gharar yang
mungkin dihindari"41.
Al Qarafi berkata, "Gharar dalam ba'i ada 3 macam: Gharar yang nisbahnya dalam akad relatif besar
maka gharar ini membatalkan keabsahan akad, seperti: menjual burung di angkasa. Gharar yang
nisbahnya dalam akad relatif kecil maka tidak membatalkan akad dan hukumnya mubah, seperti
ketidak-jelasan pondasi rumah atau ketidak-jelasan jenis benang qamis yang dibeli. Gharar yang
nisbahnya dalam akad pertengahan, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Apakah boleh atau
tidak" 42.
Al Baji berkata, "Gharar dalam jumlah besar, yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang
mengatakan bahwa jual-beli ini adalah jual-beli gharar"43.
b. Keberadaan gharar dalam akad mendasar.
Jika gharar dalam akad hanya sebagai pengikut maka tidak merusak keabsahan akad. Dengan
demikian menjual binatang ternak yang bunting, menjual binatang ternak yang menyusui dan
menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu pohon hukumnya dibolehkan. Walaupun
janin, susu dan sebagian buah tersebut tidak-jelas, karena keberadaannya dalam akad hanya sebagai
pengikut dan bukan tujuan akad jual-beli.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

41
Zaadul ma'ad, jilid V, hal 820.
42
Al furuuq, jilid.III, hal 265.
43
Al Muntaqa, jilid. V, hal 41.
‫ فاثا ام ارتُ اها لِلْباائِ ِع إََِّل أا ْن يا ْش اِرت ا‬،‫اع اَنْ ًال با ْع اد أا ْن تُ اؤبَّ ار‬
»ُ‫ط املُْب تااع‬ ‫« ام ِن ابْ تا ا‬
"Siapa yang menjual kebun kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, kecuali
pembeli mensyaratkan buah itu untuknya" (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mensyaratkan sahnya jual-beli kebun bila
buah di pohon telah matang, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah di
pohon dalam sebuah kebun sebelum buah itu menjadi matang (tua).
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan,

‫صالا ُح اها نا اهى الباائِ اع اواملُْب تا ا‬


»‫اع‬ ِ
‫ نا اهى اع ْن با ْي ِع الث اما ِر اح ََّّت يا ْب ُد او ا‬ ‫ول هللا‬ َّ ‫«أ‬
‫ان ار ُس ا‬
"Nabi melarang menjual buah di pohon dalam sebuah kebun sebelum buah itu matang (tua), beliau
melarang penjual dan pembeli untuk melakukannya". (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini dikarenakan status buah di pohon kurma hanya sebagai pengikut, adapun tujuan objek jual-
beli adalah pohon kurma dan bukan buahnya.
Ibnu Qudamah berkata, "Gharar yang terdapat pada akad yang statusnya sebagai pengikut
dibolehkan … seperti: menjual kambing yang sedang menyusui (menjual susu di dalam kantung susu
hewan mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanyalah sebagai pengikut
dalam transaksi), hewan ternak bunting (menjual janin di dalam perut induknya mengandung
gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanya sebagai pengikut dalam transaksi) … dan
tidak boleh bila dijual terpisah (seperti menjual janin hewan ternak saja yang berada dalam perut
induknya)" 44.
c. Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak.
Jika suatu akad mengandung gharar, tetapi akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak maka
hukumnya sah dan dibolehkan.
An Nawawi berkata, "Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat
menyusahkan kehidupan manusia maka akadnya dibolehkan"45.
Ibnu Taimiyah berkata, "madharat gharar di bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan)
jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika diharamkan madharatnya lebih besar daripada
dibolehkan"46.
Dengan demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti: wortel, bawang,
umbi-umbian dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti: semangka, telur dan lain-
lain, sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan orang banyak untuk menjual dengan cara
demikian tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya atau dicabut dari tanah.
d. Gharar terjadi pada akad jual-beli.
Jika gharar terdapat pada akad hibah/wasiat hukumnya dibolehkan.
Misalnya :
Seseorang bersedekah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu berapa
jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang yang menerima
tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, bisa jadi bernilai mahal, bisa juga tidak. Akad ini sah
walaupun mengandung gharar.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِِ ِ ِ ِ‫ت ب ْع اد نا اف اق ِة ن‬ ِ ِ
»‫ص ادقاة‬
‫سائي اوامئُوناة اعاملي فا ُه او ا‬
‫ا‬ ‫«َلا يا ْقتاس ُم اوارثاِِت دينا ًارا اما تا ارْك ُ ا‬

44
Al Mughni, jilid. VI, hal 141.
45
Al Majmu' Syarh Al Muhazzab, jilid IX, hal 246.
46
Qawaid Nuraniyah, hal 140.
"Tidak satu Dinarpun dari harta warisanku dibagi. Seluruh harta yang kutinggalkan setelah
dikeluarkan nafkah isteri-isteriku serta gaji pekerja yang mengurus, maka harta warisanku aku
sedekahkan". (HR. Bukhari dan Muslim).
Jumlah sedekah yang diberikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak jelas (termasuk gharar),
karena nafkah isteri dan gaji para pekerja tidak dapat diperkirakan saat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berwasiat, mungkin naik harganya mungkin juga turun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat. Ini berdampak terhadap tidak jelasnya jumlah sedekah Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dengan demikian, maka gharar yang terdapat pada akad hibah, sedekah dan wasiat tidak
mempengaruhi keabsahan akad 47.
Dari dalil ini para ahli fikih membuat sebuah kaidah,
ِ ‫ض ُّر ِيف التَّ ب ُّر اع‬
‫ات‬ ‫الغا ارُر َلا يا ُ ْ ا‬
"Gharar dalam akad hibah tidak merusak akad"48.

Ruang Lingkup Gharar Dalam Akad Jual-Beli


Gharar (ketidak-jelasan) dalam akad jual-beli dapat terjadi pada akad, objek akad dan waktu
pelunasan kewajiban.
Gharar dalam Akad
Misalnya:
Dua akad jual beli dalam satu akad. Seperti: A pemilik motor X mengatakan kepada B, "Saya jual
motor ini kepada anda, kalau tunai seharga 10 juta rupiah, kalau kredit selama dua tahun seharga
12 juta rupiah". Lalu B tanpa menentukan akad yang mana ia inginkan -apakah tunai atau kredit-
mengambil motor dan mengatakan, "Saya beli motor anda".
Akad ini mengandung gharar karena tidakjelas jual-beli mana yang diinginkan oleh pembeli.
Jual-beli ini dilarang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata,
»‫ي ِيف با ْي اع ٍة‬
ِ ْ ‫صلَّى هللا اعلاْي ِه او اسلَّم اع ْن با ْي اعتا‬
‫ا‬ ‫ول هللا ا‬
ُ ‫«نا اهى ار ُس‬
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dua jual-beli dalam satu jual beli". (HR Nasa'i.
Derajat hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Gharar dalam Objek Akad
Yang dimaksud dengan objek akad yaitu barang dan harga.
Gharar (Ketidakjelasan) pada barang dan harga disebabkan beberapa hal:
a. Fisik barang tidak jelas.
Misalnya:
Penjual berkata, "Aku jual kepadamu barang yang ada di dalam kotak ini dengan harga
Rp100.000,00." sedangkan pembeli tidak tahu fisik barang yang berada di dalam kotak.
b. Sifat barang tidak jelas.
Misalnya:
Penjual berkata, "Aku jual kepadamu satu unit mobil dengan harga 50 juta rupiah". Dan pembeli
belum pernah melihat mobil tersebut dan tidak tahu ciri-cirinya serta penjual pun tidak
menjelaskannya.
c. Ukuran barang tidak jelas.
Misalnya: Penjual berkata, "Aku jual kepadamu sebagian tanah ini dengan harga 10 juta rupiah".
Tanpa merincikan ukuran bagian yang dijualnya.

47
Dr. Fahd Al Hamud, Ritaj Al Muamalat, hal 135.
48
An Nadwi, Al Jamharah fil qawaid Fiqhiyyah fil Muamalat Maliyyah, jilid II, hal 795.
d. Barang bukan milik penjual.
Misalnya: Seorang calo tanah yang membuat transaksi jual-beli tanah dengan pihak ke tiga tanpa
mendapatkan izin dari pemilik tanah sebelumnya.
Jual beli ini dilarang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Hakim bin
Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
»‫س ِع ْن اد اك‬ ِ
‫ « اَل تاب ْع اما ل ْاي ا‬:‫ال‬
‫وق؟ فا اق ا‬ ُّ ‫اعهُ لاهُ ِم ان‬
ِ ‫الس‬ ِ ‫الرجل فا ِريي ُد ِم ِين الْب يع لاي‬
ُ ‫س ع ْن ِدي أافاأابْ تا‬
‫اْ ا ْ ا‬
ِ
ُ ُ ُ َّ ‫ اَيْت ِيين‬،‫ول هللا‬
‫ اَي ار ُس ا‬:‫ال‬
‫قا ا‬
"Wahai, rasulullah! seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang
tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang
diinginkan dari pasar? maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, ”Jangan engkau jual
barang yang belum engkau miliki!” (HR. Abu Daud. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
»‫س ِع ْن اد اك‬ ِ ‫« اَل اِحي ُّل سلاف وب يع واَل اشرطا‬
ْ ‫ان ِيف با ْي ٍع اواَل ِربْ ُح اما املْ تا‬
‫ض ام ْن اواَل با ْي ُع اما ل ْاي ا‬ ْ ‫ا ا اْ ا‬
"Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli. Tidak halal dua persyaratan dalam
jual-beli. Tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu, dan tidak halal menjual
barang yang bukan milikmu". (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan shahih).
e. Barang yang telah dibeli penjual namun belum diterima dari penjual pertama.
Misalnya:
A membeli motor dari B. sebelum A menerima motor dari B, A menjualnya kepada C. Dan A
menerima uang dari C dan meminta B untuk menyerahkan langsung motor ke C.
Ini termasuk ba'i gharar, karena motor tersebut bisa jadi lenyap dari B dan tidak bisa diserah-
terimakan kepada C.
Jual beli ini dilarang oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Hakim
bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
ِ ‫ إِ اذا ا ْشت ري ا‬،‫اخي‬
ِ ‫ «َي ابن أ‬:‫ال‬ ِ ِ
ُ‫ت م ْن اها با ْي ًعا فا اال تابِ ْعه‬ ْ‫ا ا‬ ً ُ‫ إِِين أا ْش اِرتي بُي‬،‫ول هللا‬
‫وعا فا اما احي ُّل ِيل م ْن اها اواما اْحي ُرُم اعلا َّي؟ قا ا ا ْ ا‬ ‫ اَي ار ُس ا‬:‫ْت‬ ُ ‫قُل‬
»ُ‫ضه‬ ‫اح ََّّت تا ْقبِ ا‬
"Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual-beli, apa jual-beli yang halal dan yang haram? Nabi
bersabda, "Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual
sebelum barang tersebut engkau terima". (HR. Ahmad. Imam Nawawi menyatakan derajat hadis ini
hasan).
f. Barang tidak dapat diserah-terimakan.
Misalnya:
Seseorang memiliki sebuah barang di luar negeri dan ia menjualnya di Indonesia. Ini termasuk jual-
beli gharar, karena barang tersebut kemungkinan tidak diizinkan masuk ke Indonesia.
g. Gharar pada harga disebabkan penjual tidak menentukan harga.
Misalnya:
Penjual berkata, "Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga sesukamu". Lalu mereka berpisah dan
harga belum ditetapkan oleh kedua belah pihak. Ini termasuk gharar, karena kemungkinan harga
yang ditetapkan pembeli lebih tinggi dari yang diinginkan penjual dengan demikian penjual
beruntung atau sebaliknya.
Termasuk dalam kategori harga yang tidak jelas menurut mayoritas para ulama membeli
barang atau jasa dengan harga yang berlaku secara umum di pasar, seperti membeli jasa angkutan
umum dengan tarif yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, atau membeli barang dengan
harga pasar, seperti makan di sebuah sebuah restoran tanpa mengetahui harga makanan tersebut
dan diketahui pada saat membayar di kasir. Karena akad ini dianggap mengandung unsur gharar
Imam Ahmad ketika ditanya tentang akad jual beli bahwa pembeli berkata, "Aku beli barang ini
seharga yang engkau jual kepada orang lain", ia berkata, "Jual beli ini tidak boleh"49.
Namun sebagian para ulama mazhab Syafi'iyyah membolehkan akad jual beli dengan penetapan
harga pasar. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.
Diantara dalil pendapat ini:
- Hukum asal muamalat adalah mubah. Adapun gharar yang terjadi dalam akad ini bukanlah
gharar yang merusak akad, karena pada saat melangsungkan akad penjual dan pembeli
telah mengetahui harga pasar barang tersebut. Walaupun akan terdapat perbedaan harga
dari perkiraan mereka berdua, namun biasanya penjual memberitahukan perubahan
harga tersebut.
- Yang menjadi persyaratan dalam jual-beli adalah keridhaan dari kedua belah pihak, dalam
akad ini mereka telah saling ridha untuk membuat akad sesuai dengan harga pasar atau
harga yang ditentukan oleh pihak yang berwenang.
- Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa akad seperti ini dilakukan oleh kaum muslimin dari masa
ke masa dan di berbagai negeri dan bila terdapat ketidak-ridhaan mereka memiliki hak
khiyar50.
- Ijma' para ulama bahwa dalam akad nikah yang tidak disebutkan maharnya maka
maharnya sesuai dengan nilai mahar umumnya (harga pasar). Dari ijma' ini dapat
dianalogikan bahwa akad jual-beli yang tidak disebutkan harganya maka harganya sesuai
dengan nilai pasar barang tersebut.
Wallahu A'lam, dalam hal ini pendapat yang membolehkan jual-beli dengan harga pasar adalah
pendapat yang terkuat, karena sekalipun pada saat akad tidak disebutkan harga barang/jasa akan
tetapi kedua belah pihak telah mengetahui harganya dan keridhaanpun telah terjadi.
3.9.3 Gharar (Ketidakjelasan) Jangka Waktu Pembayaran
Misalnya:
Penjual berkata, "Saya jual motor ini dengan harga 5 juta rupiah dibayar kapan anda mampu". Jual-
beli ini dilarang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
»‫ «نا اهى اع ْن با ْي ِع احبا ِل الابا لا ِة‬ ‫ول هللا‬ ِ
َّ ‫ أ‬:‫ضي هللا اع ْن ُه اما‬ ِ
‫ان ار ُس ا‬ ‫اع ْن اع ْبد هللا بْ ِن ُع ام ار ار ا‬
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual habalul habalah.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Umar menjelaskan maksud jual-beli hablul hablah, yaitu: menjual suatu barang dengan cara
tidak tunai dengan jangka waktu pembayaran hingga janin dari janin yang ada di perut unta yang
hamil ini lahir. Waktu pembayaran utang dikaitkan dengan waktu kelahiran anak dari janin unta yang
sedang bunting. Kalau saja waktu kelahiran janin unta yang di perut tidak bisa dipastikan apalagi
waktu kelahiran anak dari janin itu kelak. Ketidak jelasan waktu ini termasuk gharar. Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama mazhab.
Tetapi, menurut Ibnu Taimiyah dan diperkuat oleh Ibnu Utsaimin rahimahumullah boleh
menyatakan pembayaran dengan ucapan, "Dibayar kapan mampu". Berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Tirmizi bahwa Nabi membeli 2 lembar kain dari seorang Yahudi dengan
mengatakan:
ِ ْ ‫ا ْشتا ريْت ِم ْنهُ ثا ْوبا‬
ٍ‫ي إِ اَل ميسرة‬
‫اْ ا ا‬ ‫ا‬
"Aku beli 2 lembar kain darinya dibayar bila mampu".

49
Dubayyan Ad Dubayyan, Al Muamalat maliyyah ashalatan wa muasharah, jilid III, hal 284.
50
Ilaamul Muwaqi'in, jilid IV, hal 5-6.
Murabahah lil Aamir bi syira’

2. Langkah-langkah sebelum melaksanakan akad Murabahah

2.1. Permohonan nasabah untuk memiliki barang melalui lembaga keuangan


2.1.1. Lembaga keuangan boleh membeli sebuah barang atas dasar permintaan dan
keinginan dari nasabah selama hal tersebut sesuai dengan kaidah kaidah syariat
tentang akad jual beli
2.1.2. Dengan tetap memperhatikan pasal 3.2.2 nasabah boleh meminta dari lembaga
keuangan untuk membeli barang dari tempat yang ditentukan, dan Lembaga
keuangan berhak tidak melanjutkan proses apabila nasabah menolak penawaran
yang lebih tepat menurut lembaga.
2.1.3. Permohonan nasabah bukanlah janji atau perjanjian kecuali ia menyatakan
dengan terang terangan, dan bisa juga nasabah menulis pernyataan yang ditanda
tangani oleh nasabah yang menyatakan keinginannya, atau bisa juga berupa surat
permohonan yang berformat dari lembaga keuangan yang ditanda tangani oleh
nasabah.
2.1.4. Nasabah boleh mendapatkan penawaran harga barang baik ditujukan atas nama
nasabah atau bukan, penawaran tersebut bersifat panduan bukan berarti
menjual, dan lebih baik penawaran ditujukan kepada lembaga keuangan dalam
waktu terbatas, agar bila pihak lembaga keuangan menjawab penawaran
tersebut dapat langsung dianggap sebagai qabul dari ijab yang dibuat oleh
penjual (pengirim penawaran).
2.2. Sikap lembaga keuangan terhadap permohonan nasabah.
2.2.1. Apabila nasabah telah menjawab untuk membeli atas tawaran yang ditawarkan
padanya dari penjual , maka lembaga keuangan tidak boleh melakukan
)51(
Murabahah dengan nasabah .
2.2.2. Wajib membatalkan bentuk hubungan akad apapun yang telah berlalu yang
)52(
terjadi antara nasabah dengan pemilik barang sesungguhnya . Dan disyaratkan
bahwa pembatalan ini secara hakiki dari kedua belah pihak bukan pembatalan
bentuk pura pura.
Dan tidak boleh mengalihkan akad yang telah di sepakati antara nasabah
Murabahah bi syira’ dan penjual pada lembaga keuangan.
2.2.3. Lembaga keuangan harus memastikan bahwa yang menjual barang kepadanya
adalah pihak ketiga, bukan nasabah maupun wakilnya. Maka tidak sah
umpamanya pemilik asli barang adalah nasabah atau wakilnya. Apabila ini

)51( Dalil larangan melakukan murabahah dalam kondisi ini, karena pihak nasabah telah menerima
penawaran yang berarti telah terjadi akad jual beli antara nasabah dan pemilik barang dan status barang
menjadi milik nasabah. Dan hukum tidak berubah karena nasabah belum membayar angsuran, karena
tidak ada ketentuan bahwa syarat sah jual beli uang pembayaran dilunasi.
)52( Dalil yang mengharuskan agar seluruh bentuk keterikatan akad antara nasabah dengan pemilik barang
dihapuskan agar akad murabahah bukan sekedar pengelabuan terhadap kredit riba dalam kondisi ini,
karena pihak nasabah telah menerima.
terjadi umpamanya dan kemudian baru diketahui maka Murabahah bi syira’
)53(
menjadi batal .

2.2.4. Lembaga keuangan boleh membeli maupun menjual barang dengan cara
Murabahah bi syira’ dari orang yang ada hubungan kerabat atau hubungan suami
istri, selama bukan cara muslihat untuk jual beli ‘inah, dan sebaiknya hal demikian
dihindari dalam praktek lembaga keuangan.
2.2.5. Tidak boleh lembaga keuangan dan nasabah melakukan kesepakatan untuk
bermusyarakah dalam sebuah transaksi jual beli dan salah satu pihak berjanji
untuk membeli bagian pihak yang lain dengan cara murabahah tunai atau tidak
)54(
tunai . Adapun apabila salah satu pihak berjanji untuk membeli bagian pihak
lain dengan harga pasar atau dengan harga yang disepakati mereka berdua ketika
waktu jual beli maka tidak mengapa asalkan dengan akad jual beli yang baru, baik
pembayaran tunai maupun tertunda.
2.2.6. Tidak boleh melakukan Murabahah dengan pembayaran tidak tunai pada objek
)55(
emas, perak dan mata uang .

)56(
2.2.7. Tidak boleh melakukan re-Murabahah atas sebuah barang yang sama .

2.2.8. Tidak boleh menerbitkan sukuk atas hutang Murabahah.


2.3. Janji dari Pihak Nasabah
2.3.1. Tidak boleh dokumen janji atau yang sejenisnya mengandung perjanjian yang
)57(
mengikat kedua belah pihak ( lembaga keuangan dan nasabah) .

2.3.2. Janji nasabah untuk membeli barang bukanlah keharusan dalam Murabahah,
maupun kesepakatan umum, hal tersebut hanya untuk meyakinkan lembaga
keuangan kalau nasabah betul-betul bertekad akan membeli barang yang telah
dipesan nasabah setelah lembaga keuangan memiliki barang tersebut. Dan kalau
lembaga keuangan bisa menjual barang yang dipesan nasabah Murabahah maka

)53( Dalil yang mengharuskan agar lembaga keuangan memastikan bahwa pemilik barang bukanlah nasabah
atau wakilnya adalah tidak terjadinya jualbeli Inah yang haram.
)54( Dalil yang melarang membuat janji antara dua yang berserikat agar salah seorang membeli bagian
temannya, karena ini merupakan jaminan dari salah satu pihak. Dan ini termasuk riba.
)55( Dalil yang melarang melakukan murabahah emas, perak atau mata uang adalah sabda Nabi tentang
menukar emas dengan perak ) ‫ (ي اا يي ا‬tunai, HR. Muslim. Dan mata uang disamakan hukumnya dengan
emas dan perak. Hal ini diperkuat oleh keputusan divisi Fikih OKI No 63 (1/7).
)56( Dalil yang melarang re-murabahah dan penerbitan sukuk utang murabahah, karena transaksi ini
merupakan salah satu bentuk jualbeli utang yang diharamkan.
)57( Dalil yang melarang membuat perjanjian yang mengikat kedua pihak bahwa ini menyerupai akad jual
beli sebelum barang dimiliki. Dan divisi fikih OKI telah mengeluarkan fatwa mengharamkan ini No. 41
(3/5).
sebaiknya tidak memberlakukan perjanjian bagi nasabah untuk harus membeli
barang.
2.3.3. Boleh melakukan perjanjian antara nasabah dengan lembaga keuangan dengan
syarat khiyar bagi salah satu pihak maupun kedua belah pihak.
2.3.4. Lembaga keuangan dan nasabah Murabahah bi syira’ setelah perjanjian dan
sebelum kontrak murabahah boleh sepakat untuk merubah pasal pasal perjanjian
yang telah berlalu, baik tentang termin pembayaran maupun keuntungan atau
yang lain lain. Dan tidak boleh merubah perjanjian tersebut kecuali dengan
kesepakatan kedua belah pihak.
2.3.5. Lembaga keuangan boleh membeli barang dengan mensyaratkan khiyar denga
waktu tertentu, apabila nasabah Murabahah tidak mengambil barang yang di
pesan lembaga keuangan bisa mengembalikan barang kepada penjual dalam
masa waktu yang telah ditentukan, masa khiyar lembaga keuangan tetap berlaku
walaupun barang ditawarkan pada nasabah Murabahah.
2.4. Komisi dan Biaya
2.4.1. Lembaga keuangan tidak boleh mengambil komisi ( ‫( ) ارتباط‬keterikatan) dari
)58(
nasabah .

2.4.2. Lembaga keuangan tidak boleh mengambil komisi ( ‫( ) تسهيالت‬kesediaan LKS


)59(
memberikan pembiayaan) dari nasabah .
2.4.3. Biaya biaya yang di butuhkan untuk persiapan kontrak dibebankan kepada
lembaga keuangan dan nasabah, apabila kedua belah belum belum ada
kesepakatan kalau salah satu dari mereka akan menanggung biaya tersebut,
selama biaya tersebut sesuai, yang mana biaya tersebut tidak mengandung
komisi ‫ ارتباط‬dan komisi ‫ تسهيالت‬.
2.4.4. Apabila Murabahah bi syira’ dari cara mengumpulkan harta orang banyak, maka
lembaga keuangan yang dibentuk sebagai pelaksana usaha menanggung biaya
operasioanal yang di tanggung oleh para peserta usaha tersebut.
2.4.5. Lembaga keuangan boleh membebankan biaya studi kelayakan seseorang
menjadi nasabah, apabila peninjauan tersebut diminta oleh nasabah untuk
kebaikannya, dan ia telah sepakat akan membayar biaya tersebut dari awal.
2.5. Jaminan yang berkaitan dengan pelaksanaan Murabahah.
2.5.1. lembaga keuangan boleh mendapatkan dari nasabah ( yang mengajukan
pembelian barang ) jaminan bahwa penjual barang yang diajukan oleh nasabah
agar lembaga keuangan membeli padanya adalah orang amanah. Jaminan
nasabah tersebut bukan karena dia sebagai nasabah murabahah maupun sebagai
wakil lembaga keuangan tersebut. Oleh karena itu walaupun akad Murabahah
tidak terjadi terlaksana maka jaminan tersebut tetap berlaku, jaminan seperti ini

)58( Dalil yang melarang komisi ini karena fee ini merupakan imbalan hak untuk bertransaksi yang statusnya
adalah keinginan untuk membuat akad dan ini bukanlah objek yang layak diberikan imbalan.
)59( Dalil yang melarang komisi ini karena kalau saja mendapatkan pembiayaan tidak boleh mengambil fee
apatah lagi hanya sekedar kesediaan untuk memberikan pembiayaan.
sebaikanya tidak diberlakukan kecuali nasabah mengusulkan pada lembaga
keuangan agar membeli barang yang akan dimurabahahkan pada pedagang
tertentu. Jaminanan ini mengakibatkan bahwa nasabah akan menanggungkan
kerugian yang dialami lembaga keuangan baik materi maupun non materi jika
pedagang tersebut tidak menjual barang yang tidak sesuai dengan yang disifati
atau pedagang lalai dalam pendistribusian barang yang mengakibatkan kerugian
pada lembaga keuangan atau meneyebabkan lembaga terlibat sengketa yang
mengeluarkan biaya besar.
2.5.2. Nasabah (orang yang mengajukan pembelian barang) tidak boleh menjamin akan
mengganti kerusakan yang terjadi pada barang pada waktu pengemasan untuk
dikirim atau waktu penyimpanan barang. Karena jaminan kerusakan ini tidak bisa
dikategorikan pada jaminan bahwa pedagang yang direkomendasikan adalah
amanah dalam pendistribusian barang. Dan juga seharusnya yang menanggung
kerusakan barang ketika pengiriman adalah pemilik barang (lembaga keuangan ).
2.5.3. Lembaga keuangan boleh mengharuskan agar nasabah menepati janji akan
membeli barang murabahah dengan memberikan syarat kepada nasabah agar

mendepositkan sejumlah dana yang dinamakan dengan . ‫هامش اجلاية‬ untuk

memastikan bahwa nasabah mampu secara ekonomi, dan juga agar lembaga
keuangan mudah mengganti kerugian yang dialaminya ketika nasabah inkar
untuk membeli barang murabahah. Dengan demikian lembaga keuangan tidak
perlu meminta ganti rugi pada nasabah tetapi cukup hanya memotong dana

nasabah tersebut ( . ‫) هامش اجلاية‬. ‫ هامش اجلاية‬bukanlah uang DP. Dana yang
didepositkan pada lembaga keuangan untuk sebagai jaminan bisa berupa amanah
yang di pegang oleh lembaga keuangan untuk disimpan sehingga lembaga
keuangan tidak berhak menggunakannya, dan bisa sebagai investasi yang akan
dikembangkan oleh lembaga keuangan atas dasar akad Mudhorabah antara
nasabah dan lembaga keuangan.

2.5.4. Lembaga keuangan tidak boleh menahan dana ‫ هامش اجلاية‬ketika nasabah
inkar untuk membeli barang Murabahah, hak lembaga keuangan hanya
mengambil dari dana tersebut sekedar pengganti kerugian yang riil yaitu selisih
antara biaya pembelian barang dan penjualan ke pihak pengganti nasabah
pemesan dan tidak termasuk dalam ganti rugi kesempatan yang hilang.
2.5.5. Apabila nasabah menepati janji untuk membeli barang murabahah dan telah
melakukan kontrak murabahah, maka lembaga keuangan wajib mengembalikan

uang ‫هامش اجلاية‬ kepada nasabah. Dan lembaga keuangan tidak berhak

menggunakan uang tersebut kecuali untuk mengganti kerugian ketika nasabah


inkar yang bersesuaian dengan pasal 2.5.3. dan nasabah boleh ketika akad
murabahah menjadikan dana ini bagian dari harga barang.
2.5.6. Lembaga keuangan boleh mengambil DP setelah melakukan akad murabahah
dengan nasabah, dan ini tidak boleh jika baru dalam tahapan janji nasabah untuk
membeli.
3. Pemilikan lembaga keuangan terhadap barang, serah terima, dan mewakilkan.
3.1. Kepemilikan lembaga keuangan terhadap barang murabahah sebelum menjualnya.
3.1.1. Haram hukumnya lembaga keuangan menjual barang murabahah sebelum
memilikinya. Tidak sah lembaga keuangan menandatangani akad murabahah
dengan nasabah sebelum melakukan akad dengan penjual yang pertama serta
telah serah terima baik secara hakiki maupun hukmi atau menerima dokumen
dokumen yang menyatakan serah terima ( lihat pasal 3.2.1 / 3.2.4. ). Murabahah
juga dianggap tidak sah apabila akad jual beli dengan penjual barang yang
pertama batal sehingga lembaga keuangan tidak memiliki barang secara
sempurna.
3.1.2. Lembaga keuangan boleh melakukan akad dengan penjual dengan cara
pertemuan kedua belah pihak kemudian setelah mengadakan diskusi langsung
melakukan kontrak jual beli, dan boleh juga keduanya melakukan ijab qobul
dengan berkirim surat maupun dengan mengunakan sarana prasana modern.
3.1.3. Pada dasarnya lembaga keuangan langsung membeli barang secara langsung dari
penjual. Dan boleh untuk melakukan transaksi tersebut dilakukan dengan
perwakilan asalkan bukan nasabah Murabahah, tidak menjadikan nasabah
sebagai wakil kecuali terpaksa. Dan kemudian nasabah yang sebagai wakil
lembaga keuangan tidak langsung membeli barang tersebut. Akan tetapi dimiliki
terlebih dahulu oleh lembaga keuangan. Dan ini untuk menjaga pasal 3.1.5.
3.1.4. Pada keadaan nasabah sebagai wakil lembaga keuangan untuk membeli barang
murabahah maka harus memenuhi syarat syarat berikut ini, diantaranya :
a. Lembaga keuangan sendiri yang langsung membayar harga barang pada penjual
)60(
barang murabahah , tidak dengan menitipkan uang harga barang tersebut
pada rekening nasabah yang juga sebagai wakil lembaga keuangan.
b. Lembaga keuangan sendiri yang menerima bukti dokumen untuk memastikan jual
beli yang hakiki.
3.1.5. Wajib memisahkan antara dua jaminan (tanggung jawab risiko barang) : jaminan
lembaga keuangan dan jaminan nasabah yang sebagai wakil lembaga keuangan
untuk membeli barang murabahah. Yaitu dengan adanya waktu yang terpisah
antara akad mewakilkan untuk membeli dan akad membeli dengan murabahah
dengan cara nasabah menyetujui melaksanakan akad wakalah dan pembelian
)61(
dan persetujuan lembaga untuk menjual .
3.1.6. Pada dasarnya dokumen-dokumen, akad-akad, ketika melakukan akad membeli
barang atas nama lembaga keuangan bukan atas nama nasabah, walaupun
nasabah sebagai wakil.
3.1.7. Ketika lembaga keuangan mewakilkan pada orang selain nasabah untuk membeli
barang dengan tidak mengumumkan perwakilannya, maka yang diwakilkan
melakukan akad dengan pihak yang lain seolah olah dialah yang melakukan akad,
pembelian tersebut berdasarkan atas namanya akan tetapi untuk menjaga

)60( Dalil yang mengharuskan lembaga mentransfer langsung uang pembayaran kepada penjual untuk
menghindari syubhat bahwa muamalat ini hanya sekedar pengelabuan kredit ribawi.
)61( Dalil yang mengharuskan akad mewakilkan kepada nasabah terpisah dari akad murabahah agar syubhat
mengikat antara akad wakalah dengan akad murabahah..
kebaikan lembaga keuangan lebih baik memberitahukan bahwa pembeli sebagai
wakil lembaga keuangan.
3.2. Serah terima lembaga keuangan terhadap barang sebelum menjualnya dalam bentuk
murabahah
3.2.1. Wajib hukumnya memastikan lembaga keuangan telah menerima barang baik
secara hakikat maupun hukmi sebelum menjualnya kepada nasabah dalam
)62(
bentuk murabahah .
3.2.2. Tujuan memberikan syarat serah terima barang agar lembaga keuangan akan
menanggung kerusakan yang akan terjadi pada barang tersebut, dengan
demikian barang tersebut tidak lagi menjadi tanggung jawab penjual akan tetapi
menjadi tanggung jawab lembaga keuangan. harus jelas titik pisah yang
menjadikan berpindah jaminan terhadap barang dari pihak lembaga keuangan
kepada nasabah yang sebagai pembeli demikian itu melalui fase-fase
perpindahan barang dari satu pihak pada pihak lain.
3.2.3. Cara serah terima barang berbeda beda sesuai dengan keadaannya dan
perbedaan kebiasaan suatu daerah untuk serah terima terhadap barang tersebut.
Serah terima bisa dengan secara hakikat yaitu dengan mengambil barang
tersebut dengan tangan atau memindahkan, atau merubah kepemilikan kepada
pembeli atau wakilnya bisa juga dengan secara hukum yaitu dengan
pengosongan yang memungkinkan untuk menggunakan barang tersebut,
sekalipun tidak memegang barang tersebut. Maka serah terima rumah adalah
dengan pengosongan yang memungkinkan untuk menempati rumah tersebut,
maka jika pembeli tidak dianggap memiliki barang dengan pengosongan maka
tidak dinamakan serah terima, adapun barang yang bisa dipindahkan maka serah
terima disesuaikan dengan kondisi barang.
3.2.4. Dan termasuk serah terima secara hukmi yaitu lembaga keuangan maupun
wakilnya menerima dokumen-dokumen pengiriman peti kemas ketika membeli
barang dari luar negeri, dan juga penerimaan sertifikat-sertifikat penyimpanan
barang digudang yang dengan sertifikat itu dapat ditentukan di bagian mana
keberadaan barang kita.
3.2.5. Hukum asalnya lembaga keuangan sendiri yang menerima dari tempat
penyimpanan penjual atau dari tempat yang telah ditentukan dalam pensyaratan
serah terima, dan berpindahlah tanggungjawab keselamatan barang kepada
lembaga keuangan dengan kepemilikannya terhadap barang tersebut, lembaga
keuangan boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan hal tersebut.
3.2.6. Asuransi terhadap barang murabahah adalah tanggungjawab lembaga keuangan
pada tahap kepemilikan, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk asuransi ditanggung
oleh lembaga keuangan karena lembaga keuanganlah sebagai pemilik barang
yang menjadikannya menanggung risiko kerusakan barang, Dan klaim ganti rugi
dari asuransi adalah hak lembaga keuangan bukan nasabah murabahah jika
terjadi kejadian yang mendapatkan penggantian sebelum perpindahan
kepemilikan kepada nasabah. Lembaga keuangan boleh menambahkan biaya
asuransi tersebut pada barang yang mengakibatkan naiknya harga barang.

)62( Dalil wajib menerima barang sebelum dijual untuk memastikan tanggungan lembaga risiko kerusakan
barang sebelum dijual kepada nasabah.
3.2.7. Boleh mewakilkan pelaksanaan asuransi barang, akan tetapi biaya-biaya tetap
ditanggung oleh lembaga keuangan.

4. Melangsungkan akad murabahah


4.1. Lembaga keuangan tidak boleh menetapkan akad murabahah lil amil bi syira’
pengesahan begitu saja pada saat barang telah dimiliki, tidak boleh juga mengharuskan
nasabah menerima barang serta membayar dengan cara murabahah ketika nasabah enggan
melakukan akad murabahah.
4.2. Lembaga keuangan boleh meminta ganti dari kerugian yang timbul akibat nasabah
ingkar untuk membeli barang murabahah, yaitu; nasabah menanggung perbedaan harga
barang yang dijualkan pada orang lain dengan harga asli yang dibayarkan lembaga keuangan
pada pembelian pertama.
4.3. Apabila lembaga keuangan membeli barang dengan cara tidak tunai dan menjualnya
secara murabahah maka lembaga keuangan wajib memberi tahu nasabah tentang hal
tersebut. Lembaga keuangan harus menjelaskan ketika akad jual beli dengan rinci biaya-
biaya yang akan dimasukkan pada harga barang. Lembaga keuangan boleh memasukkan
biaya apapun juga yang berkaitan dengan barang apabila nasabah menerimanya. Adapun
apabila tidak dijelaskan biaya-biaya tersebut maka lembaga keuangan tidak boleh
memasukkan kedalam harga barang kecuali yang berlaku secara kebiasaan sebagai beban
dari harga barang tersebut, seperti biaya transportasi, penyimpanan, biaya dokumen-
dokumen dan cicilan asuransi.
4.4. Lembaga keuangan tidak berhak menambahkan kedalam harga barang kecuali biaya-
biaya yang langsung dibayarkan kepada orang lain, maka lembaga keuangan tidak boleh
contohnya menambahkan kedalam harga barang gaji karyawan lembaga keuangan tersebut
atau yang semisalnya.
4.5. Apabila lembaga keuangan mendapatkan potongan harga dari penjual maka nasabah
juga harus mendapatkan potongan tersebut walaupun setelah akad yaitu dengan
mengurangi total harga.
4.6. Wajib hukumnya harga barang dan keuntungannya didalam jual beli murabahah
ditentukan, dan diketahui oleh kedua belah pihak ketika penandatanganan akad murabahah.
Tidak boleh dengan alasan apapun untuk tidak menentukan harga barang dan
keuntungannya dengan cara merujuk kepada indeks yang tidak diketahui atau menentukan
harga pada masa yang akan datang, contohnya melakukan akad jual beli murabahah dan
menjadikan standar keuntungannya berdasarkan LIBOR yang terjadi pada masa yang akan
datang. Dan boleh menyebutkan indeks tertentu pada tahap janji untuk akad murabahah
untuk sekedar menjadi estimasi besaran margin dengan syarat penentuan besaran margin
pada saat akad berdasarkan rasio yang jelas dari biaya pokok dan tidak diikat lagi besaran
margin dengan LIBOR atau dengan waktu.
4.7. Wajib hukumnya keuntungan dalam akad murabahah lil amir bil syira’ diketahui dengan
rinci, tidak cukup sebatas menjelaskan total harga pokok, dan boleh keuntungan yang
ditentukan tersebut dengan nilai yang pasti atau persentase dari harga beli saja atau dari
harga beli ditambahkan biaya-biaya. Dan penentuan ini disepakati dan diridhai kedua belah
pihak
4.8. Boleh disepakati cara pelunasan harga barang pada jual beli murabahah li amir bil syira'
dengan cicilan yang waktunya pendek maupun panjang sehingga jadilah harga barang
tersebut hutang nasabah yang wajib dia bayar ketika jatuh tempo yang telah disepakati dan
tidak boleh setelah itu meminta tambahan baik dengan sebab penambahan tenggang waktu
maupun sebab keterlambatan yang mempunyai alasan maupun yang tidak mempunyai
)63(
alasan .
4.9. Lembaga keuangan boleh memberikan syarat dalam akad murabahah lil amir bil syira'
bahwa lembaga keuangan tidak bertanggung jawab dari keseluruhan cacat pada barang

maupun sebagiannya dan ini dinamakan ‫ ييع الرباءة‬. ketika adanya syarat ini alangkah

baiknya lembaga keuangan menganjurkan kepada nasabah untuk komplain kepada penjual
yang pertama meminta ganti atas cacat barang.
4.10. Apabila lembaga keuangan tidak memberikan syarat tidak bertanggung jawab atas
cacat-cacat yang tersembunyi yang ketahuan setelah akad maka lembaga keuangan hanya
bertanggungjawab kepada cacat yang sebelum akad bukan yang setelah akad.
4.11. Lembaga keuangan boleh memberi syarat kepada nasabah bahwa apabila nasabah
enggan menerima barang pada waktu yang telah ditetapkan setelah pengesahan kontrak
murabahah maka lembaga keuangan berhak untuk membatalkan akad atau menjual barang
atas nama nasabah dan lembaga mengambil haknya dari hasil penjualan barang dan
kekurangannya wajib ditutupi oleh nasabah.
5. Barang jaminan dalam murabahah dan cara mengatasi hutang murabahah
5.1. Lembaga keuangan boleh memberikan syarat kepada nasabah untuk seluruh cicilan
menjadi tunai sebelum jatuh tempo ketika nasabah enggan atau terlambat membayar cicilan
dengan tanpa alasan yang masuk akal. Oleh karna itu maka diberlakukan salah satu dari
gambaran-gambaran berikut ini
A. Angsuran yang belum jatuh tempo menjadi tunai dengan sebab keterlambatan
pembayaran walaupun keterlambatan dalam waktu yang sedikit.
B. Angsuran yang belum jatuh tempo menjadi tunai dengan sebab terlambat dari waktu yang
ditentukan
C. Angsuran yang belum jatuh tempo menjadi tunai setelah surat pemberitahuan dari
lembaga keuangan pada masa yang telah ditentukan
Lembaga keuangan boleh memberikan potongan angsuran pada keadaan di atas.
5.2. Lembaga keuangan selayaknya meminta kepada nasabah jaminan-jaminan yang syar’i
dalam akad jual beli murabahah lil amir bil syira' dengan cara lembaga keuangan
mendapatkan penjamin dari pihak ketiga, atau barang gadai berupa sertifikat deposito
investasi mudharabah dari pihak nasabah atau barang gadai dalam bentuk harta apapun
yang bergerak maupun yang tidak bergerak atau barang yang dibeli dijadikan sebagai barang
gadaian yang bersifat jaminan bukan penggadaian yang ditahan barangnya, atau dengan
menahan barang lalu dilepas bertahap sesuai dengan besaran angsuran yang sudah dilunasi.
5.3. Lembaga keuangan boleh meminta kepada nasabah menyerahkan cek atau surat
perintah bayar sebelum akad murabahah lil amir bil syira' ditandatangani sebagai jaminan
hutang yang akan terjadi setelah pelaksanaan akad, dengan syarat dituliskan pada akad
bahwa lembaga keuangan tidak boleh menggunakan cek atau dokumen tersebut kecuali
pada waktu-waktu yang ditentukan, tidak boleh meminta cek pada Negara-negara yang
dimungkinkan dinegara tersebut mencairkan cek sebelum waktu yang ditentukan.
5.4. Tidak boleh memberikan syarat berpindahnya kepemilikan barang bila nasabah telah
lunas membayar harga barang akan tetapi boleh menunda mencatatkan barang dengan atas

)63( Dalil haramnya meminta pertambahan uang angsuran akibat keterlambatan nangsuran bahwa itu
merupakan riba jahiliyah yang diharamkan.
)64(
nama nasabah bertujuan sebagai jaminan pelunasan harga barang . Lembaga keuangan
mendapatkan limpahan kekuasaan dari nasabah untuk menjual barang apabila nasabah

terlambat membayar dan lembaga keuangan wajib memberikan pada pembeli ( ‫سنا‬
‫)ضا‬pengukuhan hak kepemilikan dan apabila lembaga keuangan menjual barang tersebut
untuk melunasi haknya maka wajib lembaga hanya mengambil sebatas haknya dan
mengembalikan sisa kepada nasabah.
5.5. Lembaga keuangan boleh ketika memperoleh barang gadaian dari nasabah memberikan
syarat pelimpahan kekuasaan untuk menjual barang gadaian untuk menutupi harga barang
tanpa harus ke pengadilan.
5.6. Boleh dicantumkan dalam kontrak murabahah lil amir bil syira' mewajibkan nasabah
membayar uang atau persen dari hutang yang digunakan untuk sosial ketika nasabah
)65(
terlambat membayar cicilan pada waktu jatuh tempo . Uang tersebut digunakan untuk
sosial atas pengawasan lembaga pengawas syar’iyah yang berada di bawah lembaga
keuangan tersebut dan tidak boleh lembaga keuangan mengambil manfaat dari uang
tersebut.
5.7. Tidak boleh menunda waktu jatuh tempo pembayaran hutang dengan imbalan
pertambahan besaran utang (penjadwalan ulang) baik bagi nasabah mampu maupun
)66(
tidak .
5.8. Apabila nasabah tidak membayar cicilan tepat waktu sedangkan dia mampu maka yang
diminta hanya sejumlah utang saja. Tidak boleh lembaga keuangan mewajibkan kepada
nasabah untuk menambah pembayaran. Dengan memperhatikan apa yang telah disebutkan
pada pasal 5.6.
5.9. Lembaga keuangan boleh mengurangi harga barang ketika pembeli membayar lebih
cepat dari waktu yang telah ditentukan selama tidak sepakati sebagai syarat dalam akad.
5.10. Lembaga keuangan dan nasabah boleh bersepakat untuk pembayaran hutang
murabahah lil amir bil syira' dengan mata uang asing apabila dengan harga tukar pada hari
pembayaran, disyaratkan pelunasan hutang telah sempurna secara keseluruhan atau
pembayaran yang disepakati ukurannya dengan sekiranya tidak lagi bersisa tanggungan
sedikitpun uang yang telah disepakati pembayarannya.
Sukuk Murabahah

)64( Dalil larangan membuat persyaratan bahwa perpindahan kepemilikan barang setelah pelunasan harga
ini bertentangan dengan konsekuensi akad jualbeli yang bahwa dengan akad terjadi perpindahan
kepemilikan barang.
Dan dalil bolehnya menunda penulisan sertifikat kepemilikan atas nama nasabah sebelum lunas karena
ini tidak bertentangan dengan perpindahan kepemilikan menurut syariat.
)65( Dalil bolehnya membuat persyaratan bahwa nasabah harus membayar sejumlah uang selain angsuran
untuk bersedekah kepada lemabag sosial adalah ini merupakan komitmen untuk berderma yang dikenal
dalam mazhab Maliki dan pendapat Abu Abdillah bin An Nafi' dan Muhammad bin Ibrahim bin Dinar.
)66( Dalil diharamkannya penambahan utang dengan imbalan penambahan waktu tempo pembayaran
karena ini termasuk salah satu bentuk riba jahiliyah.
Yaitu surat berharga bernilai sama yang diterbitkan dengan tujuan memperoleh dana
untuk pembiayaan pembelian barang murabahah, sehingga barang murabahah
menjadi milik pemegang sukuk.
Salam67 dan Salam Muwaaziy (paralel)68

1. ‘Akad Salam
1.1. Kerangka Umum ‘Akad Salam

67
Yaitu jual beli barang dengan cara indent, termasuk salah satu transaksi dimana uang dibayar dimuka yang
kemudian dinamakan dengan Modal Salam. Barang yang disifati dalam tanggungan di serahkan nanti,
kemudian ini diistilahkan dengan “Muslam Fiih”. Penjual diistilahkan dengan Muslam Ilaih, sedangkan
pembelinya diistilahkan dengan Muslim atau Rabb As Salam, dan terkadang As Salam dinamai juga dengan
Salaf.
Salam disyari’atkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Dalam Al Qur’an Allah berfirman : “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya”, (QS. Al Baqarah : 282). Ibn ‘Abbas berkata : Aku bersaksi bahwa As Salaf yang di jamin sampai
pada waktu yang ditentukan telah Allah halalkan dan diperbolehkan, beliau membaca ayat : “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai…”. Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas beliau berkata :
“Ayat ini turun khusus untuk permasalahan Salam. Lihat : Tafsir Ibn Katsir (1/496).
Dalil dari As Sunnah : Ibn ‘Abbas berkata : “Ketika Rasulullah tiba di Madinah orang-orang mempraktekan jual
beli buah-buahan dengan sistim salaf, yaitu membayar dimuka dan barang diterima setelah kurun waktu satu
atau dua tahun. Maka Nabi bersabda: "Siapa yang mempraktekkan salaf dalam jual beli buah-buahan
hendaklah dilakukannya dengan takaran dan timbangan yang diketahui (pasti)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun Ijma : Ibn Mundzir menceritakan bahwa telah terjadi Ijma’ diantara para ulama, beliau berkata : “Para
ulama sepakat bahwa sistem salaf dibolehkan, yaitu : Seseorang bertransaksi salam dengan sahabatnya pada
sesuatu yang takaran dan timbangannya diketahui, sampai pada waktu yang ditentukan. Lihat : Al Ijma’, hal.
54.
Hikmah disyari’atkannya sistem salam ini adalah karena ia memudahkan kebutuhan manusia dalam
menjalankan roda perekonomian. Karena para pemilik pertanian, buah-buahan, dan para pedagang
membutuhkan modal untuk pertanian mereka, dan juga untuk menghidupi mereka sendiri manakala mereka
kekurangan nafkah. Oleh sebab itu mereka diperbolehkan untuk bertransaksi salam, agar mudah
mendapatkan uang, dan muslim (pembeli) dapat harga murah, karena biasanya ia mendapatkan barang
dengan harga jauh lebih murah dari harga pasar.
Salam memenuhi kebutuhan sebagian besar para pemilik usaha dari berbagai tingkatan; kecil, menengah dan
besar, dimana mereka dan orang yang serupa dengan mereka mengembangkan harta mereka di sektor
pertanian, perindustrian dan perdagangan. Usaha-usaha ini membutuhkan modal penggerak baik uang atau
barang agar bisa menghasilkan. Hal ini memberi ruang gerak perputaran uang dalam investasi. Disamping itu ia
juga berperan menutupi kebutuhan orang yang membutuhkan aliran dana (selama ia sanggup melunasinya)
dengan tempo waktu tertentu. Transaksi Salam tidaklah terbatas pada sektor pertanian saja, walaupun
kebanyakan orang sering menggunakannya dalam sektor pertanian, akan tetapi transaksi ini boleh digunakan
juga pada sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti industri dan perdagangan.
Salam memenuhi kebutuhan pencairan dana cepat, fleksibilitas harga kepada muslam Ilaihi (penjual), peluang
untuk mengelola Muslam Fiih (barang) dan penyerahannya pada waktunya kepada Muslim (pembeli).
68
Jika Muslam Ilaihi (pembeli) membuat ‘akad salam lagi yang terpisah dengan pihak ketiga, supaya bisa
mendapatkan barang yang karakteristiknya sesuai dengan barang yang telah dijanjikan utnutk dijual, yang
diserahkan dalam transaksi salam diawal agar kewajiban dengan komitmennya bisa ia tunaikan kepada
(pembeli pada akad kedua). Maka ‘akad ini dalam istilah kontemporer disebut dengan As Salam Al Muwaziy
(salam parallel), contohnya: Sebuah perusahaan membeli kapas dari petani kapas dengan jumlah tertentu,
kemudian perusahaan membuat ‘akad salam baru dengan pabrik pemintalan dan tekstil. Maka ia menjual
kapas melalui cara ‘akad salam dengan ciri-ciri yang telah disepakati dalam ‘akad pertama tanpa mengaitkan
‘akad kedua dengan ‘akad pertama.
1.1.1. Jika kontrak akad salam dibuat berdasarkan atas nota kesepahaman, maka nota
menjadi bagian dari akad, kecuali hal-hal yang dikecualikan oleh kedua belah
pihak ketika membuat akad.
1.2. Lafaz ‘akad salam.
Salam sah hukumnya dengan menggunakan kata salam atau salaf atau jual, atau
lafazh apa saja yang menunjukkan makna “menjual” barang yang telah disifatkan
dalam tanggungan, dengan pembayaran tunai dimuka.
2. Objek Akad Salam
2.1. Modal (uang yang dibayar sebagai harga) salam dan syarat-syaratnya.
2.1.1. Modal salam boleh dalam bentuk barang mitsliyyah -barang yang ada di
pasaran- (seperti gandum dan sejenisnya dari hasil pertanian) dan disyaratkan
tidak ada unsur riba. Modal boleh juga dalam bentuk qimiyyat -barang yang
tidak ada persamaannya di pasaran- (seperti hewan). Dan modal boleh juga
dalam bentuk jasa benda-benda yang ditentukan69, seperti jasa menempati
rumah atau jasa memanfaatkan pesawat terbang atau kapal dengan waktu yang
ditentukan, maka penyerahan barang (dalam bentuk jasa) dianggap sebagai
bentuk serah-terima tunai sebagai modal.
2.1.2. Modal salam disyaratkan harus diketahui oleh kedua belah pihak, untuk
menghilangkan ketidak-tahuan dan menghindari perselisihan70. Bila modal
dalam bentuk uang (dan inilah asalnya), maka harus ditentukan jenis mata
uangnya, nominal dan teknis pembayarannya. Jika modal dalam bentuk
mitsliyyat (barang) yang lain maka harus ditentukan jenis, bentuk, sifat dan
ukurannya.
2.1.3. Modal salam disyaratkan untuk diserahkan di tempat ‘akad terjadi71. Boleh
menundanya dua atau tiga hari paling lama, dengan syarat jangan sampai tempo
penundaan sama atau lebih dari tempo penyerahan barang.
2.1.4. Piutang tidak boleh dijadikan sebagai modal salam72, seperti menjadikan
piutang uang atau barang sebagai modal salam.
2.2. Muslam Fiih (barang) dan syarat-syaratnya.
2.2.1. Akad salam boleh digunakan untuk mitsliyah, seperti makiilaat -barang yang
ditakar-, mawzuunaat -barang yang ditimbang-, madzru’aat -barang yang diukur

69
Dasar dibolehkannya modal salam dalam bentuk jasa adalah berpijak atas pernyataan Madzhab Malikiyyah,
dimana mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidah : “Serah terima di awal sama dengan serah terima
di akhir”. Maka hal tersebut tidak termasuk jual beli hutang dengan hutang.
70
Dasar disyari’atkannya modal salam harus diketahui oleh kedua pihak, adalah karena salam merupakan
salah satu akad dari akad-akad mu’awadhat (tukar menukar barang), yang mana disyaratkan di dalamnya
barang yang dipertukarkan harus jelas, untuk menghilangkan (gharar) ketidak-jelasan.
71
Dasar disyaratkannya serah-terima modal di majelis akad adalah sabdanya Nabi : “Barangsiapa yang
bertransaksi dengan salaf, maka hendaklah bertransaksi pada barang yang ditakar yang diketahui”, (HR.
Bukhari Muslim). Taslif atau Islaf artinya mendahulukan, dinamakan dengan salam karena ra'su maal (modal)
diserahkan di muka, jika diserahakan di akhir maka tidak dikatakan dengan salam. Karena mengakhirkan
penyerahan modal dari majelis akad, dan kedua bela pihak berpisah tanpa adanya serah-terima menjadikan
akad ini sebagai kaali’ bi kaali’ yakni hutang dengan hutang, maka hal ini terlarang, dan disepakati
keharamannya. Ibn Rusyd berkata : “Adapun hutang dengan hutang maka kaum muslimin sepakat akan
keharamannya” (Bidayatul Mujtahid 2/150).
72
Dasar tidak dibolehkannya modal dalam bentuk piutang karena ini termasuk jual beli hutang dengan hutang,
dan ini dilarang dalam syari’at.
dengan meteran-, dan ‘adadiyaat mutaqaribaat -dihitung per item- (yang tidak
terpaut jauh perbedaannya satu sama lain).
2.2.2. Termasuk kategori ‘adadiyaat mutaqaribaat; barang yang diproduksi oleh
perusahaan dimana barang tersebut tidak ada perbedaannya satu sama lain,
bersifat konstan, bermerek dagang, berspesifikasi standar dan banyak tersedia.
Hal ini dengan memperhatikan pasal 3.3.8
2.2.3. Akad salam tidak boleh pada barang yang ditunjuk73 seperti mobil ini. Tidak
boleh pada barang yang tidak tetap dalam tanggungan, seperti tanah, bangunan
dan pohon. Tidak boleh pada barang yang spesifikasinya tidak tetap, seperti
permata dan barang-barang antik. Dan tidak boleh juga dari hasil kebun tertentu
(kebun yang ini). Ketika waktu salam sudah habis maka muslam ilaihi (penjual)
harus menyerahkan muslam fiih (barang/objek) apapun ia miliki baik dari lahan
pertanian, atau pabrik miliknya atau dari kebun dan pabrik orang lain.
2.2.4. Muslam fiih (objek salam) tidak boleh berupa uang, emas atau perak jika alat
pembayarnya (modal salam) berupa uang, emas dan perak.
2.2.5. Disyaratkan untuk muslam fiih (objek salam) harus memiliki sifat yang tetap dan
berada dalam tanggungan; minimal barang/ objek tersebut tidak terpaut jauh
perbedaannya pada saat akad dibuat dengan waktu penyerahan, unsur perbedaan
ini dan unsur ketidak-tahuannya bisa diterima oleh orang-orang menurut
kebiasaan, sehingga tidak menyebabkan pertikaian.
2.2.6. Disyaratkan muslam fiih harus diketahui dengan pengetahuan yang
menghilangkan ketidak-jelasan. Rujukan untuk membedakan muslam fiih
dengan yang lain dan untuk mengenalnya adalah kebiasaan manusia serta
pengalaman para ahli.
2.2.7. Disyaratkan untuk mengetahui ukuran muslam fiih, maka ukuran setiap barang
disesuaikan dengan satuan ukurnya; berat, takaran, volume dan jumlah unit.
2.2.8. Disyaratkan muslam fiih dalam kondisi ada secara umum pada waktu
penyerahannya74, agar muslam iliahi (penjual) memungkinkan untuk
menyerahkannya kepada muslim (pembeli salam).
2.2.9. Disyaratkan tempo penyerahan muslam fiih harus diketahui oleh kedua belah
pihak dengan jelas agar tidak terjadi pertikaian. Tidak mengapa di dalam
penyerahan muslam fiih ini dengan menentukan tempo waktu (lebih dari satu)
yaitu penyerahan yang bertahap dengan syarat modal salam disegerakan
semuanya pada waktu akad.
2.2.10. Pada dasarnya, tempat penyerahan muslam fiih harus ditentukan, dan jika kedua
belah pihak tidak menentukan hal tersebut maka tempat akad dianggap sebagai

73
Dasar tidak dibolehkannya akad salam pada barang mu’ayyan (yang ditunjuk) yaitu bahwa seseorang datang
mendatangi Nabi berkata kepadanya : Sesungguhnya Bani fulan melakukan akad salam dengan salah satu
kaum Yahudi, sesungguhnya mereka kelaparan, maka aku khawatir mereka akan murtad, lalu Nabi bersabda :
“Siapa yang memiliki (uang)?”, seorang laki-laki Yahudi berkata : Aku mempunyai ini dan ini (untuk sesuatu
yang disebutkannya) aku melihatnya berkata : Tiga ratus dinar dengan harga begini dan begini dari kebun Bani
fulan, kemudian Rasulullah bersabda “Dengan harga begini dan begini sampai pada waktu begini dan begini,
dan tidak dari kebun Bani fulan” (HR. Ibn Majah dan Abu Dawud). Karena salam dari buah kebun tertentu,
barangkali pada waktu penyerahan buah tersebut terputus (gagal panen) atau rusak, maka berakibat
terjadinya penipuan.
74
Dasar disyaratkannya muslam fiih harus ada secara umum di tempatnya adalah untuk menghindari penipuan
dan supaya muslam ilaihi sanggup menyerahkannya.
tempat penyerahan, kecuali jika tidak memungkinkan, maka penentuan tempat
penyerahan tergantung kebiasaan.
2.3. Penjaminan Muslam Fiih
Pembeli salam boleh meminta jaminan atas muslam fiih dengan barang gadai atau
kafaalah (garantor), atau selain keduanya yang sesuai dengan syari’at.
3. Hal-hal yang berlangsung dalam transaksi Salam
3.1. Menjual Muslam Fiih (Objek salam) sebelum serah terima.
Muslim (pembeli) tidak boleh menjual muslam fiih sebelum objek salam diterima75.
3.2. Meminta ganti Muslam Fiih.
Muslim (pembeli) boleh mengganti muslam fiih dengan barang yang lain –selain
uang- setelah tempo penyerahan barang tiba tanpa adanya persyaratan hal tersebut
dalam akad, walaupun jenis barang yang diganti sama dengan jenis barang
pengganti. Hal ini dengan syarat, barang yang diganti layak dijadikan sebagai
muslam fiih dan dan modal salam, dan harga pasar barang pengganti tidak lebih
tinggi dari harga pasar barang yang diganti pada waktu penyerahan76.
3.3. Pembatalan salam.
Boleh berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk membatalkan seluruh
objek salam dengan mengembalikan modal salam semuanya, sebagaimana halnya
dibolehkan juga membatalkan sebagian muslam fiih (objek salam) dengan
mengembalikan modal yang setara dengan nilainya77.
4. Penyerahan Muslam Fiih (Objek Salam)
4.1. Muslam ilaihi (penjual) wajib menyerahkan muslam fiih (barang/ objek) kepada
muslaim (pembeli) ketika tempo yang diperjanjikan tiba, dan barang tersebut harus
sesuai dengan sifat dan ukuran yang telah ditetapkan dalam akad. Pembeli
berkewajiban menerimanya jika cocok dengan spesifikasi yang dijelaskan dalam
akad, dan dipaksa untuk menerimanya jika ia menolak.
4.2. Bila dalam penyerahan, si penjual menawarkan barang dengan sifat yang lebih
bagus maka pembeli harus menerimanya dengan syarat penjual tidak meminta
tambahan harga atas sifat yang lebih baik, hal ini termasuk ke dalam kebaikan
dalam menunaikan hutang, selama sifat yang ditentukan dalam akad adalah yang
dimaksud oleh pembeli.
4.3. Bila dalam penyerahan, si penjual menawarkan barang yang di bawah mutu yang
disepakati dalam akad, maka pembeli berhak untuk menolaknya, atau menerima
apa adanya, dan ini termasuk kebaikan dalam pelunasan piutang. Dan kedua belah

75
Dasar dilarangnya menjual barang muslam fiih sebelum diterima, supaya tidak masuk ke dalam jual beli
hutang yang dilarang syari’at.
76
Dasar dilarangya mengganti (barang) bila harga barang pengganti lebih tinggi nilainya dari harga pasar
barang yang diganti pada waktu penyerahan adalah supaya pembeli tidak beruntung dua kali dalam satu kali
transaksi.
77
Dasar dibolehkannya Iqalah dalam salam, adalah bahwasanya Nabi menyunnahkan Iqalah secara mutlak,
dan salam masuk ke dalamnya, sebagaimana yanga ada dalam jual beli secara mutlak; karena salam
merupakan salah satu bentuk jual beli. Dan karena Iqalah dalam transaksi barang disyari’atkan agar kedua
belah pihak terhindar dari rasa penyesalan. Dan kemungkinan penyesalan dalam salam lebih banyak, karena
salam menjual barang dengan harga yang murah, maka ia lebih membutuhkan pensyari’atan Iqalah di
dalamnya. (Lihat : Badaai’ Ash Shanaai’ 5/214)
pihak boleh juga berdamai untuk menerima barang/ objek dengan mengurangi
harga barang/objek tersebut.
4.4. Barang tidak boleh diserahkan dengan bentuk yang lain walaupun sejenis dengan
objek barang yang dipesan, kecuali penggantian tersebut atas dasar syarat-syarat
yang telah ditentukan (lihat : Pasal 4.2).
4.5. Barang boleh diserahkan kepada pembeli sebelum jatuh tempo temponya, dengan
syarat muslam fiih harus sesuai karakter dan ukurannya. Jika pembeli menolak
dengan alasan yang dapat diterima maka hal tersebut diterima karena tidak boleh
ada unsur paksaan, namun jika tidak demikian maka ia harus menerimanya.
4.6. Bila penjual tidak sanggup menyerahkan barang disebabkan jatuh pailit maka
berikan kesempatan sampai ia bisa memenuhinya.
4.7. Tidak boleh diadakan syarat jazza’iy (penalty atas keterlambatan penyerahan
barang) 78.
4.8. Jika muslam fiih belum tersedia semuanya atau sebagiannya di pasar dimana
penjual tidak sanggup menyediakan barang tepat waktu, maka pembeli dihadapkan
kepada dua pilihan :
a. Bersabar sampai muslam fiih tersedia di pasar.
b. Membatalkan akad dan meminta kembali modal yang telah diserahkan,
sebagaimana dibolehkan juga menggantinya dengan barang lain, (lihat : Pasal
4.2).
5. Salam Muwaaziy (Salam Paralel).
5.1. Muslam ilaihi (penjual) boleh membuat akad salam muwaziy dengan pihak ketiga
untuk mendapatkan barang yang spesifikasinya cocok dengan barang yang
diakadkan pada akad pertama dan akan diserahkan dalam akad salam pertama, agar
ia bisa menunaikan janjinya tepat waktu. Dalam kondisi ini, si penjual dalam akad
yang pertama bertindak sebagai pembeli dalam akad salam kedua79.
5.2. Muslim (pembeli) boleh melakukan akad salam muwaziy secara terpisah dengan
pihak ketiga untuk menjual barang yang cocok spesifikasinya dengan barang yang
dibelinya dalam akad salam yang pertama. Dalam kondisi ini, si pembeli dalam
salam pertama bertindak sebagai penjual dalam akad yang kedua.
5.3. Pada kedua kondisi yang disebutkan diatas yakni pasal 5.1 dan 5.2 tidak boleh
mengikat akad salam yang satu dengan akad salam yang lain, akan tetapi wajib
bagi setiap pihak membuatnya terpisah dalam setiap hak dan kewajiban. Jika salah
satu pihak menangguhkan tempo dalam akad salam yang pertama dengan penuh
tanggung jawab, maka pihak lain (yang dirugikan dengan pelanggaran janji) tidak
berhak memindahkan kerugian orang tersebut kepada orang yang berakad salam
muwaziy dengannya, baik dengan membatalkan akad atau menunda pelaksanaan.
5.4. Seluruh hukum yang dijelaskan dalam pasal 1-4 bisa diterapkan dalam akad salam
muwaziy.

78
Dasar larangan dari syarat jazzai’y dalam salam adalah karena muslam fiih tergolong hutang, dan tidak boleh
mensyaratkan adanya tambahan dalam hutang ketika hutang tersebut diakhirkan, karena hal ini termasuk riba.
79
Dasar disyari’atkannya salam muwaziy adalah karena ia dianggap sebagai dua transaksi, yang mana masing-
masing transaksi terpisah dengan yang lain, tanpa melihat kemiripan spesifikasi barang antara kedua akad. Dan
hal ini tidak termasuk ke dalam bentuk dua transaksi dalam satu jual beli yang dilarang.
6. Penerbitan Sukuk Salam
Tidak boleh menerbitkan Sukuk salam yang dapat diperjual-belikan di pasar sekunder80.
(lihat pasal 3.1)

Sukuk Salam
Yaitu surat berharga bernilai sama yang diterbitkan dengan tujuan untuk
mendapatkan dana untuk modal dalam akad salam, sehingga barang yang akan
disediakan melalui akad salam menjadi milik pemegang sukuk.

80
Dasar dilarangnya untuk menerbitkan sukuk salam yang dapat diperjual-belikan adalah karena penjualannya
termasuk jual beli hutang yang dilarang menurut syari’at.
Istishna’81 dan Istishna’ Muwaziy82

1. Cakupan Draft
Draft ini diterapkan dalam transaksi istishna’83 (produksi) dan istishna’ muwaziy (paralel)
baik suatu perusahaan itu bertindak sebagai pembeli atau penjual.
2. Akad Istishna’84.
2.1. Membuat akad istishna’ secara langsung atau setelah perjanjian.
2.1.1. Akad istishna’ boleh dibuat antara Lembaga Keuangan Syariah dengan pemesan
walaupun tanpa didahului dengan kepemilikan barang yang akan dijual atau
kepemilikan bahan-bahan baku.
2.1.2. Lembaga Keuangan boleh mengambil cara penetapan harga melalui penawaran
yang diperoleh nasabah dari pihak lain. Hal tersebut berguna untuk memudahkan
dalam menentukan biaya pokok dan laba yang ditargetkan.
2.1.3. Lembaga Keuangan tidak boleh hanya berperan sebagai pemberi pembiayaan
akad istishna’, yang dibuat antara nasabah dengan pihak lain85, apalagi ketika
nasabah tidak sanggup menunaikan angsuran kepada pihak lain, baik sebelum
memulai pembuatan akad istishna' ataupun setelahnya, (lihat pasal 4.2.2).
2.2. Sifat Akad Istishna’ dan Syarat-syaratnya.

81
Akad Istishna’ : Adalah akad menjual barang yang telah ditentukan kriteria dan sifatnya yang berada dalam
tanggungan, dan dibuat dengan cara tertentu.
82
Istishna’ Muwaziy (parallel) : dalam istilah kontemporer disebut dengan “Istishna’ Muwaziy” ini terlaksana
ketika membuat dua akad yang terpisah : Salah satunya akad pesanan pembuatan dengan nasabah, maka
status lembaga keuangan syariah bertindak sebagai produsen. Sedangkan terhadap produsen yang
sesungguhnya maka lembaga keuangan syariah bertindak sebagai pemesan. Maka LKS mendapatkan
keuntungan dari selisih harga pada dua akad. Umumnya salah satu dari akad tunai yakni akad antara LKS
dengan produsen, dan akad yang kedua tidak tunai yakni antara LKS dengan nasabah.
83
Perbedaan antara akad Istishna’ dengan Ijarah (upah) : Berbeda antara akad istishna’ dengan akad ijarah
dimana akad ijarah merupakan akad atas suatu pekerjaan yang tidak mengharuskan si pekerja menanggung
bahan baku, sedangkan akad istishna’ mengharuskan si produsen menanggung bahan baku dan pekerjaan
sekaligus.
Perbedaan antara istishna’ dengan muqawalah (kontraktor): Berbeda antara istishna’ dengan muqawalah
dimana muqawalah termasuk akad ijarah jika terbatas hanya bekerja saja, dan bahan-bahan baku berasal dari
nasabah. Adapun jika muqawalah mencakup pekerjaan kontraktor dan bahan baku juga berasal dari dia maka
ia dinamakan juga dengan akad istishna’.
Perbedaan antara akad istishna’ dan salam : Berbeda antara istishna’ dengan jual beli salam. Istishna’ adalah
akad atas barang yang telah di sifati dan dijamin yang disyaratkan padanya pekerjaan, maka prosedurnya harus
berjalan sesuai pesanan. Adapun salam adalah akad atas barang yang disifati dan dijamin tanpa disyaratkan
padanya pekerjaan.
84
Istishna’ telah ditetapkan berdasarkan perbuatan Rasulullah dimana beliau minta dibuatkan cincin dan
mimbar, hadits tersebut dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan juga dari kaidah Istihsan, kaidah umum
dalam akad-akad transaksi serta maqashid syariah. Istishna’ merupakan akad yang mengikat dan bukan hanya
sekedar janji. Mengenai hal ini sudah ada ketetapan dari Majma’ Fiqh Islami (OKI) (No. 65 – 7/3).
85
Dasar tidak dibolehkannya peran perusahaan itu sekedar tamwil pemutar uang antara pemesan dan pihak
lain adalah karena hal itu menyebabkan terjadinya riba, dan akad istishna’ hanya sebagai cover saja.
2.2.1. Akad istishna’ bersifat mengikat kedua belah pihak -bila syarat-syaratnya
terpenuhi-86, yaitu : Kejelasan objek isitishna’; macam, jenis, ukuran, spesifikasi
yang dipesan, alat bayar yang diketahui, dan batas tempo jika ada. Pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) bila barang yang dipesan tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diminta.
2.2.2. Akad istishna’ pada dasarnya adalah akad yang bersifat mengikat dan
memberikan konsekuensi, tidak butuh pengulangan ijab qobul setelah barang
dibuat, hal ini berbeda dengan perjanjian akad murabahah lil amir bisy syiraa’
yang membuat transaksi itu membutuhkan ijab qobul setelah Lembaga Keuangan
memiliki barang yang dijual.
2.2.3. Produsen/penjual tidak boleh mensyaratkan bebas cacat barang dalam akad
istishna’87.
2.2.4. Akad dan proses istishna’ tidak boleh dijadikan sebagai hilah (pengelabuan) untuk
praktek ribawi88. Seperti perusahaan yang bersepakat membeli barang produksi
atau atau peralatan dari produsen dengan harga tunai lalu menjualnya kembali
kepada produsen dengan cara tidak tunai dengan harga yang lebih mahal, atau
yang meminta istishna’ adalah produsen/penjual itu sendiri, atau produsen/penjual
sebagai pihak yang memiliki saham 30% objek istishna’, sekalipun akad terjadi
dengan cara tender. Hal tersebut diharamkan untuk menghindari jual beli ‘inah.
3. Objek Istishna’ dan jaminan-jaminannya.
3.1. Hukum-hukum objek istishna’.
3.1.1. Akad istishna’ tidak boleh kecuali dalam hal-hal yang ada kriteria pengolahan dan
mengubahnya dari kondisi asli89. Selama produsen berkomitmen terhadap objek
yang diproduksi maka akad istishna’ sah.
3.1.2. Boleh membuat kontrak untuk mengolah objek barang dengan spesifikasi khusus
yang diinginkan oleh pemesan walaupun tidak ada barang yang serupa dengannya
di pasar90, dengan syarat spesifikasinya tetap. Dan objek istishna’ boleh dari
barang-barang yang banyak di pasar , dimana sebagian satuannya serupa dengan
sebagian satuan yang lain, sama saja dalam hal ini barang yang diproduksi untuk
dikonsumsi atau untuk digunakan.

86
Dasar bahwa akad istishna’ mengikat kedua belah pihak adalah perkataan Imam Abu Yusuf yang ada di
majalah Ahkam ‘Adliyah, bahwasanya produsen telah mengeluarkan biaya dan bekerja sesuai dengan pesanan.
Maka jika pemesan enggan mengambilnya maka hal tersebut mendatangkan mudharat kepada produsen.
87
Dasar tidak dibolehkannya produsen mensyaratkan bara’ah (lepas tanggung jawab) dari segala cacat (objek/
barang) adalah karena istishna’ merupakan transaksi barang yang telah disifati dan dijamin, sedangkan bara’ah
hanya pada barang tertentu, dan objek istishna’ adalah barang yang bersifat mutlak dan tidak tertentu.
88
Dasar tidak dibolehkannya akad atau proses istishna’ dalam bentuk yang bisa dijadikan sebagai siasat untuk
memutarkan harta riba adalah agar terhindar dari praktek riba atau mirip riba atau jual-beli i’nah yang
diharamkan.
89
Dasar dilarangnya membuat akad istishna’ kecuali dalam hal-hal yang diproduksi manusia adalah karena
segala sesuatu yang tidak dibuat oleh manusia (sesuatu yang tercipta secara alami) seperti hasil pertanian,
peternakan, buah-buahan dan sayur-sayuran dan semisalnya maka tidak termasuk ke dalam hakikat istishna’
yang mana istishna’ ini menjual barang yang dibuat oleh manusia.
90
Dasar dibolehkannya membuat akad atas objek mutsliyyah mushna’ah dan tidak mutsliyah adalah karena hal
ini biasanya sering dikerjakan orang-orang. Dan hukum yang dibangun di atas kebiasaan akan berubah sesuai
dengan kondisi. Setiap mu’amalah yang berjalan di atas konsep ini dan terjaga sifat barangnya maka
dibolehkan untuk memproduksi barang tersebut, baik untuk dikonsumsi atau digunakan.
3.1.3. Objek Istishna’ tidak boleh sesuatu yang sudah tertentu barangnya91, seperti
perkataan : Aku jual mobil ini kepadamu, atau pabrik ini. Karena akad istishna’
membatasi spesifikasi yang ditentukan dan bukan menentukan zatnya. Tidak ada
prioritas bagi pemesan terhadap apa yang dikerjakan produsen, kecuali setelah
diserahkan seluruhnya atau sebagiannya, dan tidak ada kekhususan bagi pemesan
dalam kepemilikan bahan-bahan penunjang bagi produsen untuk menyelesaikan
barang produksi, kecuali bila produsen berjanji untuk tidak mengerjakan yang lain
kecuali dari barang yang telah dipesan oleh pemesan tersebut sebagai jaminan
untuk menyelesaikannya. Perjanjian ini terjadi ketika produsen mensyaratkan
kepada pemesan untuk mempercepat pembayaran agar bisa membeli sebagian
barang mentah.
3.1.4. Boleh disyaratkan dalam akad istishna’ untuk menyelesaikan produksi dari
lembaga itu sendiri92, dalam kondisi ini lembaga memenuhi persyaratan, dan tidak
boleh membuat perjanjian dengan pihak lain untuk menyelesaikan objek produksi.
3.1.5. Boleh bagi produsen menyerahkan barang produksi sebelum membuat akad
istishna’ atau apa yang dibuat orang lain untuknya, bila tidak disyaratkan
memproduksi sendiri93, dan tidak boleh hal ini dijadikan sebagai alasan untuk
menunda barang dalam transaksi yang sudah disifati yang barangnya tidak
dimaksudkan agar dibuat oleh lembaga yang menerima pesanan.
3.1.6. Produsen berkewajiban menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan spesifikasi
yang disyaratkan dalam akad, dan dalam tempo yang telah disepakati; atau dalam
tempo yang sudah menjadi kebiasaan dalam memproduksi suatu barang menurut
orang yang telah berpengalaman.
3.1.7. Boleh membatasi masa garansi cacat barang yang dibuat atau garansi perawatan
untuk waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak atau yang sudah
menjadi kebiasaan94.
3.1.8. Boleh membuat akad istishna’ untuk membangun bangunan di atas tanah tertentu
yang dimiliki oleh pemesan ataupun produsen, atau diatas tanah hak pakai.
Dengan syarat bangunan yang dibuat adalah bangunan yang spesifikasinya telah
ditentukan.
3.2. Harga Istishna’

91
Dasar tidak dibolehkannya objek istishna’ objek yang tertentu zatnya adalah karena istishna’ merupakan
akad barang yang dijual dalam tanggungan. Dan jika barang yang dijual tertentu, maka demikian itu termasuk
jual beli barang yang tidak dimiliki penjual yang dilarang, Nabi bersabda : “Janganlah engkau jual apa yang
tidak engkau miliki”, (HR. Tirimidzi). Dan karena biasanya objek istishna’ berasal dari tidak ada maka tidak
mungkin dia tertentu, dan barang yang tidak ada bergantung dengan tanggungan dan apa yang bergantung
dengan tanggungan maka ia adalah hutang. (Lihat : Majallah Ahkam ‘Adliyyah, Materi : 158).
92
Dasar dibolehkannya bagi mustashni’ (pemesan) mensyaratkan (dalam akad) untuk menuntaskan produksi
dari lembaga itu sendiri adalah bahwa syarat ini tidak menghilangkan tujuan akad istishna’ bahkan mendukung
hal tersebut; karena bisa saja tujuan pemesan adalah pekerjaan lembaga itu sendiri karena keistimewaannya
dalam tingkat ketelitian dan kwalitas objek istishna’.
93
Dasar dibolehkannya bagi shani’ menyerahkan apa yang ia produksi atau orang lain sebelum akad istishna’
dibuat jika shani’ belum mensyaratkan adalah karena hal tersebut merealisasikan tujuan/maksud, dimana
barang yang diserahkan mencakup spesifikasi yang disyaratkan dalam akad istishna’.
94
Dasar bolehnya mensyaratkan masa garansi cacat barang yang diproduksi adalah karena ia merupakan
syarat yang dapat merealisasikan maksud istishna’, yaitu mengambil manfaat dari objek istishna’ dan hal
tersebut tidak mungkin kecuali dengan terbebasnya barang dari semua cacat.
3.2.1. Harga istishna’ disyaratkan harus diketahui kedua pihak ketika membuat akad95.
Boleh dalam bentuk uang, barang atau jasa, dalam masa yang telah ditentukan.
Baik jasa dari barang yang lain atau barang yang dibuat. Bila imbalannya adalah
manfaat dari barang yang dipesan ini bisa maksudnya (Build Operate Transfer).
3.2.2. Pembayaran istishna’ boleh diakhirkan, atau dicicil dengan beberapa kali cicilan
yang diketahui dalam masa yang ditentukan. Atau pembayaran uang muka tunai,
kemudian pembayaran yang tersisa diangsur beberapa kali pembayaran yang
disesuaikan dengan janji penyerahan objek istishna’ yang diserahkan secara
bertahap96. Boleh mengikat cicilan dengan persentase penyelesaian pekerjaan bila
waktu penyelesaian pekerjaan tersebut jelas menurut kebiasaan dan tidak terjadi
perselisihan.
3.2.3. Jika pekerjaan dicicil menjadi beberapa kali, atau pembayaran dengan cara per-
unit, maka produsen boleh mensyaratkan kepada pemesan untuk melakukan
pembayaran sesuai dengan pekerjaan yang telah diselesaikan (dimana pekerjaan
tersebut harus sesuai dengan yang dipesan).
3.2.4. Boleh jika ada perbedaan harga disetiap objek istishna’ dikarenakan perbedaan
tempo penyerahan97. Tidak ada larangan jika ada kelebihan atas setiap penyerahan
yang dicicil. Dengan syarat ketika akad harus disebutkan agar terhindar dari
gharar (penipuan) dan jahalah (ketidak tahuan) yang berakibat kepada
perselisihan.
3.2.5. Akad murabahah tidak boleh digabung dengan akad istishna’, dengan cara
membatasi harga dengan biaya pokok ditambah laba tertentu yang diketahui98.
3.2.6. Bila biaya pokok produksi ternyata turun dari biaya yang diperkirakan lembaga,
atau lembaga mendapatkan potongan harga dari produsen dalam istishna’paralel,
maka lembaga tidak harus menurunkan harga yang telah disepakati dalam akad,
dan tidak ada hak bagi pemesan untuk mendapat selisih harga atau sebagian.
Demikian juga sebaliknya yakni jika biaya produksi naik99.
3.3. Jaminan-jaminan

95
Dasar disyaratkannya harga istishna’ harus diketahui adalah karena untuk menghilangkan ketidak-jelasan
dan penipuan yang berakibat kepada perselisihan.
96
Dasar dibolehkannya mengakhirkan pembayaran atau mencicilnya adalah karena pekerjaan dalam istishna’
merupakan bagian penting dari objek barang yang menjadikannya mirip dengan sewa upah. Dan sewa upah
boleh dibayar belakangan dan boleh juga diawal. Ini adalah pengecualian dari jual beli hutang dengan hutang
yang dilarang dalam syari’at.
97
Dasar dibolehkan adanya perbedaan harga mengikuti perbedaan waktu penyerahan adalah qiyas (analogi)
istsihna’ kepada akad ijarah dimana para ulama mengatakan bahwa pekerja jika menyelesaikan pekerjaannya
dalam satu hari maka ia mendapatkan upah dua dirham dan jika ia menuntaskannya dalam waktu dua hari
maka upahnya satu dirham. Keputusan ini dikeluarkan Nadwah Al Barkah (No. Kep. 13.7)
98
Dasar tidak dibolehkannya menjalankan akad murabahah dalam istishna’ dengan membatasi harga pokok
ditmbah laba tertentu adalah karena murabahah disyaratkan bahwa objek murabahah pada saat akad dibuat
wajib sudah ada dan sudah dimiliki penjual dan harga harus diketahui pada saat akad murabahah. Sedangkan
akad istishna’ dibuat sebelum barang dimiliki; karena ia merupakan jual beli barang dengan spesifikasi dalam
jaminan, yang status kepemilikannya belum ditentukan, dan biayanyapun tidak diketahui kecuali setelah
selesainya proyek, sedangkan harga wajib diketahui ketika akad murabah berlangsung.
99
Dasar tidak diwajibkan bagi lembaga untuk menurunkan harga jika ada penurunan biaya produksi yang di
biayai oleh perusahaan, atau perusahaan mendapatkan diskon dari pihak lain (sub-kontraktor) adalah karena
terpisahnya dua akad yaitu akad istsihna’ dan istishna’ paralel. Serta tidak ada ikatan diantara keduanya. Maka
setiap dari keduanya memiliki konsekuensi berbeda. Dewan Syari’ah Baituttamwil di Kuwait telah
mengeluarkan fatwa mengenai hal ini (fatwa No. 447)
3.3.1. Perusahaan boleh menerima DP (uang muka) jika lembaga bertindak sebagai
shani’, atau menyerahkan DP jika perusahaan bertindak sebagai mustashni’. DP
ini merupakan bagian dari sisilan pembayaran jika akad tidak dibatalkan, atau
menjadi hak produsen jika akad dibatalkan. Yang lebih utama DP diambil oleh
produsen sebesar kerugian yang nyata-nyata terjadi.
3.3.2. Dalam akad istishna’, perusahaan boleh -baik sebagai shani’ atau mustashni’-
mengambil jaminan-jaminan yang dilihatnya memadai dalam menunaikan hak
mustashni’ atau shani’. Sebagaimana halnya jika perusahaan bertindak sebagai
mustashni’ memberikan jaminan yang diminta oleh shani’, baik jaminan berupa
barang gadai, atau kafalah (jaminan dari pihak lain), atau pemblokiran
rekening100.
4. Konsekuensi Istishna’ yang lain
4.1. Koreksian, Tambahan dan Permintaan Susulan
4.1.1. Shani’ (produsen) dan mustashni’ (pemesan) boleh membuat kesepakatan -setelah
akad Istishna’- untuk koreksian spesifikasi yang disyaratkan pada objek istishna’.
Atau pemesan menambahkan spesifikasi yang berakibat pada perubahan harga
serta tempo tambahan untuk menyelesaikannya. Boleh dituliskan dalam akad
tambahan, bahwa konsekuensi dari koreksian atau penambahan adalah perubahan
harga yang tergantung dari pengalaman dan kebiasaan, atau merujuk kepada
indikator yang jelas dan dapat menghilangkan ketidak-tahuan yang berakibat pada
perselisihan.
4.1.2. Mustashni’ tidak dapat memaksa shani’ dalam penambahan atau koreksian
spesifikasi atas akad istishna’ bila shani’ sendiri tidak setuju.
4.1.3. Tidak boleh menambah harga untuk perpanjangan waktu pembayaran 101. Adapun
mengurangi harga ketika pembayaran lebih cepat maka dibolehkan asal tidak
disyaratkan dalam akad102.
4.2. Kondisi Darurat atau Terdesak.
4.2.1. Bila ada kondisi darurat yang menuntut diadakannya penyesuaian harga istishna’,
baik penambahan atau pengurangan maka hal itu diperbolehkan. Atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak, atau melalui putusan abitrase, atau pengadilan,
dengan selalu memperhatikan pasal 4.1.3.
4.2.2. Akad istishna’ boleh digunakan untuk menuntaskan proyek yang dikerjakan oleh
shani’ sebelumnya. Maka ketika itu, wajib dilakukan penyelesaian kontrak
sebelumnya antara nasabah dan pihak tersebut, dimana hutang-hutang –jika ada-
harus dikembalikan kepada pihak yang terlibat. Setalah itu barulah akad istishna’
dibuat untuk menuntaskan pekerjaan yang tersisa, tanpa mensyaratkan lembaga
untuk meminta bantuan shani’ sebelumnya, bahkan harus tertulis bahwa
perusahaan mempunyai hak untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cara apapun
yang menurutnya cocok.

100
Dasar dibolehkannya bagi lembaga untuk mengambil jaminan yang layak baginya adalah karena dalam
jaminan ini ada kekuatan untuk menjaga hak dan tidak merusak tujuan dari akad itu sendiri.
101
Dasar tidak dibolehkannya menambah harga karena adanya perpanjangan tempo pembayaran adalah
karena hal tersebut termasuk riba.
102
Dasar dibolehkannya penurunan harga ketika pembayaran dipercepat tanpa syarat adalah karena sabda
Nabi kepada Ubai bin Ka’ab : “Bebaskan setengah piutangmu” (HR. Bukhari). Majma’ Fiqh Islamiy Ad Dauliy
telah mengeluarkan keputusan yang serupa (Kep. No. 64-2.7)
4.2.3. Mustashni’ boleh mensyaratkan untuk menyelesaikan sendiri objek istishna’
dengan biaya ditanggung oleh shani' ketika shani’ tidak bisa lagi
menyelesaikannya dalam waktu yang telah ditentukan. Terhitung sejak pekerjaan
vakum, dan selama objek istishna’ di bangun atau di buat di atas tanah
mustashni’.
4.2.4. Bila shani’ tidak sanggup menyelesaikan proyek, maka proyek bangunan tidak
bisa dimiliki mustashni’ secara cuma-cuma, hukumnya berbeda dengan adanya
perbedaan sebab103. Jika proyek tidak tuntas karena sebab yang kembali kepada
shani’, maka mutashni’ mengganti nilai bangunan yang disesuaikan dengan
persentase penyelesain proyek, serta shani’ menanggung kerugian yang diderita
mustashni’. Jika proyek tidak tuntas karena sebab yang kembali kepada
mustashni’, maka shani’ berhak mendapatkan nilai bangunan sesuai dengan hasil/
pekerjaan yang telah ia kerjakan dan mustashni’ pun menanggung kerugian yang
diderita shani’. Jika tidak tuntasnya karena sebab yang tidak dikembalikan kepada
keduanya, maka mustashni’ membayar harga bangunan sesuai dengan persentase
yang telah dikerjakan, dan kerugian tidak oleh siapapun. (lihat pasal 4.2.3)
4.2.5. Boleh menambahkan syarat ke dalam akad istishna’ yang mengatakan bahwa
setiap syarat baru yang ditetapkan oleh instansi terkait yang tidak dijelaskan
dalam akad, dan hal tersebut berakibat kepada konsekuensi-konsekuensi maka
shani' tidak menanggungnya menurut akad atau undang-undang, karena demikian
itu sepenuhnya dibebankan kepada mustashni’104.
5. Pengawasan pelaksanaan
5.1. Lembaga keuangan sebagai pihak mustashni’ boleh mewakilkan kepada pihak lain
untuk pemeriksaan terhadap spesifikasi yang telah ditentukan, dan menyetujui
penyerahan dan penerimaan persentase proyek yang telah selesai105.
5.2. Lembaga Keuangan sebagai shani’ boleh mewakilkan mustashni’ dengan akad
wakalah yang terpisah dari akad istishna’, untuk melaksanakan tugas pengawasan
atas pengerjaan objek istsihna’ sesuai dengan spesifikasi yang telah diakadkan.
5.3. Shani’ dan mustashni’ boleh menentukan siapa yang menanggung biaya tambahan
atas pengawasan.
6. Penyerahan objek istsihna’
6.1. Tanggung jawab shani’ lepas sejak diserahkannya objek istishna’ atau
menguasakannya kepada mustashni’ atau diserahkan kepada orang yang ditunjuk
oleh mustashni’.

103
Dasar tidak adanya kuasa mustashni’ atas asal (bangunan) yang berdiri di tanahnya, ketika shani’ tidak
mampu menyelesaikan proyek adalah karena bangunan tersebut dibangun oleh shani’ atas permintaan
mustashni’ dan permintaan lebih kuat dari izin.
104
Dasar dibolehkannya menambahkan syarat dalam akad istishna’ yang mengatakan bahwa syarat baru apa
saja dari instansi terkait maka konsekuensinya ditangung sendiri dan tidak di tanggung oleh shani’ adalah
karena hal tersebut terjadi atas kesepakatan kedua belah pihak dengan ridha keduanya dan tidak
menghilangkan tujuan dari akad istishna’ itu sendiri. Dewan Syari’ah Baituttamwil Kuwait telah mengeluarkan
fatwa mengenai hal tersebut (Fatwa No. 251).
105
Dasar dibolehkannya bagi perusahaan selaku mustashni’ mewakilkan kepada pihak lain bertugas sebagai
pengawas, dan dibolehkannya bagi perusahaan itu sendiri menjadi pengawas jika ia bertindak sebagai shani’
adalah karena wakalah disyari’atkan dan tidak ada larangan pembolehannya dalam akad istishna’ selama hal
itu disepakati kedua belah pihak.
6.2. Jika objek istishna’ tidak sesuai keriteria ketika diserahkan, maka mustashni’ berhak
menolaknya, atau menerima apa adanya. Dan boleh juga kedua belah pihak
melakukan damai untuk menerima objek istishna’ walaupun dengan mengurangi
harga, misalnya.
6.3. Boleh menyerahkan objek istishna’ sebelum waktunya, dengan syarat objek
istishna’ tersebut sesuai dengan kriteria. Jika mustashni’ menolak objek istishna’,
maka hukumnya berbeda; dilihat dari ada atau tidak adanya penghalang (dari
menerima objek).
6.4. Boleh menerima objek istishna’ dengan cara qabadh hukmiy dengan cara shani’
memberikan kuasa kepada mustashni’ untuk menggunakan objek setelah selesai
dibuat. Dengan demikian selesailah tanggung jawab shani’ dan berpindah kepada
mustashni’, jika terjadi kerusakan setelah itu tanpa ada unsur kesalahan dari shani’
maka hal tersebut sepenuhnya ditanggung mustashni’. Hal tersebut karena kedua
jaminan sudah terpisah dengan sempurna; jaminan shani’ dan jaminan mustashni.
6.5. Jika mustashni’ tidak mau menerima objek yang telah selesai tanpa ada alasan yang
logis setelah dikuasakan kepadanya, maka status barang sebagai amanah ditangan
shani’ tanpa tanggung jawab, kecuali ada unsur kesengajaan (dirusak atau
dikurangi) oleh shani'. Dan mustashni’ menanggung beban biaya pemeliharaan.
6.6. Boleh dituliskan dalam akad istishna’, yaitu akad wakalah dari mustashni’ kepada
shani’ untuk menjual objek jika mustashni’ terlambat menerimanya pada waktu
yang telah ditentukan. Maka penjualan objek tersebut atas nama mustashni’. Jika
ada kelebihan atau kekurangan maka dikembalikan kepada mustashni’. Dan biaya
penjualan dibebankan kepada mustashni’.
6.7. Akad istsihna’ boleh dicantumkan syarat jazza’iy (penalty)106 dalam jumlah yang
tidak terlalu memberatkan sebagai ganti rugi bagi mustashni’ akibat terlambatnya
penyerahan objek, dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak, ini jika keterlambatan tidak terjadi karena ada unsur darurat. Syarat jazza’iy
(penalty) tidak boleh dikenakan kepada mustashni’ bila ada keterlambatan dalam
pembayaran angsuran (lihat draft hutang mumaathal, pasal 2.2 B).
6.8. Tidak boleh menjual objek istishna’ sebelum diserahkan shani’ secara hakikat atau
hukmy107, (lihat pasal 6.4). Akan tetapi boleh membuat akad istishna’ lain untuk
membuat objek (dengan spesifikasi yang dijamin) yang serupa setelah pembelian
dari shani’ selesai dan dinamakan dengan istishna’ parallel (lihat pasal 7).
6.9. Lembaga keuangan yang bertindak selaku mustashni’ (pemesan) boleh menjadikan
shani’ sebagai wakilnya untuk menjual objek istishna’ (setelah dikuasakan untuk
qabadh) kepada pekerja shani’, untuk kebaikan perusahaan. Baik perwakilan
tersebut gratis atau diupah atau diambil upahnya dari persentase harga jual. Dengan
syarat akad wakalah ini tidak disyaratkan dalam akad istishna’.
7. Istishna’ Muwaziy (parallel)
7.1. Lembaga Keuangan selaku mustashni’ (pemesan/pembeli) boleh membuat akad
istishna’ bersama shani’ (produsen/penjual), untuk membuat objek istishna’ yang

106
Dasar dibolehkannya syarat jazza’iy atas shani’ dalam akad istsihna’ adalah karena syarat ini mengandung
kemashlahatan akad dan syarat tersebut ada pada barang yang dijamin serta disyaratkan padanya pekerjaan,
bukan hutang dalam jaminan.
107
Dasar tidak dibolehkannya menjual objek istishna’ sebelum diterima dari shani’ adalah karena hal tersebut
termasuk menjual barang ma’dum (yang tidak ada), dan juga termasuk menjual barang yang tidak dimiliki,
karena tidak ada di tangan si penjual.
spesifikasinya tetap, tidak ada unsur ketidak-tahuan dan dibayar tunai ketika akad
berlangsung, agar dana segar bisa diterima shani’. Lalu perusahaan menjual kepada
pihak lain -dengan akad istishna’ muwaziy (parallel)- objek istishna’ yang dijamin
pembuatannya dengan spesifikasi yang sama dengan yang ia beli pada akad
pertama, dan barangnya diserahkan setelah objek istishna’ yang pertama selesai.
Hal ini boleh dengan syarat tidak ada ikatan antara dua akad108, (lihat Pasal 4.1.3).
7.2. Lembaga Keuangan selaku shani’ (produsen) boleh membuat akad istishna’ dengan
nasabah dengan pembayaran tidak tunai, dan kemudian lembaga membuat akad
istishna' dengan shani’ atau kontraktor objek istishna’ atau bangunan dengan
spesifikasi yang sama dan dibayar tunai. Dengan syarat tidak mengikat dua akad ini,
serta selalu memperhatikan apa yang dituangkan dalam pasal 4.1.3.
7.3. Lembaga Keuangan wajib bertanggung jawab atas konsekuensi akad istishna’
selaku shani’ seperti: konsekuensi kepemilikan, biaya pemeliharaan dan asuransi
sebelum barang diserahkan kepada mustashni’ (nasabah), dan ia tidak berhak
memindahkan tanggung jawabnya terhadap nasabah kepada shani’ yang ada di
dalam akad istishna’ muwaziy.
7.4. Tidak boleh mengikat akad istishna’ dengan akad istishna’ muwaziy dan tidak boleh
juga melepaskan diri dari salah satu keduanya sebelum terjadi penyerahan objek
istishna’ dari salah satu akad. Demikian juga bila ada beban biaya yang diakhirkan
atau ditambah. Tidak ada halangan jika perusahaan mensyaratkan kepada shani’
dalam akad istishna’ syarat (yakni syarat jazza’iy) yang sama dengan syarat yang
diwajibkan kepada nasabah dalam akad istishna’ di awal.

Sukuk Istishna’
Yaitu surat berharga bernilai sama yang diterbitkan dengan tujuan mendapatkan
dana dari hasil penawaran yang akan digunakan untuk memproduksi suatu barang,
sehingga barang yang akan diproduksi menjadi milik pemegang sukuk.

108
Dasar dibolehkannya bagi perusahaan selaku mustashni’, membuat akad istishna’ muwaziy dengan pihak
lain, dimana spesifikasi objek istishna’nya sama dengan yang ia beli adalah karena ia ibarat dua akad istishna’
yang tidak ada keterikatan diantara keduanya, maka tidak berakibat kedalam dua penjualan dalam satu
transaksi yang dilarang. Yang juga hal yang dilarang yang dapat mengakibatkan perubahan istishna’ muwaziy
menjadi hutang ribawi.
SEWA MENYEWA)109(

DAN SEWA MENYEWA YANG BERAKHIR DENGAN KEPEMILIKAN)110(

1. Ruang lingkup ketentuan


Ketentuan ini membicarakan tentang sewa menyewa barang, sewa menyewa yang berakhir
dengan kepemilikan, lembaga keuangan baik sebagai pemberi sewa maupun sebagai penyewa.
Ketentuan ini tidak membicarakan tentang upah pekerja (akad upah).
2. janji untuk menyewa.
2.1. Pada dasarnya sewa menewa terjadi pada barang yang dimiliki oleh pemberi sewa, dan
boleh nasabah memohon kepada lembaga keuangan untuk membeli barang atau mendapatkan
jasa pada suatu barang yang diinginkan oleh nasabah untuk kemudian nasabah berjanji
menyewanya.
2. 2. Pada dasarnya sewa menyewa tidak didahului dengan membuat ketentuan umum dan
akad sewa menyewa dapat dilkukan secara langsung. Ketentuan umum boleh dilakukan atas
kesepakatan yang akan mengatur pelaksanaan sewa menyewa yang terjadi antara lembaga
keuangan dan nasabah yang mencakup syarat syarat umum transaksi antara kedua belah
pihak, atau saling menukar persetujuan ijab-qabul beserta merujuk kepada ketentuan umum.
2.3. Lembaga keuangan boleh meminta kepada nasabah yang berjanji akan menyewa untuk
membayar sejumlah uang yang disimpan oleh lembaga keuangan sebagai jaminan atas
keseriusan nasabah untuk menyewa dan membayar hal hal yang mesti dilakukan oleh nasabah,
dengan syarat uang tersebut tidak akan dipotong oleh lembaga keuangan kecuali hanya sebatas
mengganti kerugian yang terjadi akibat nasabah tidak jadi menyewa, yaitu nasabah mengganti
selisih harga sewa barang ketika disewakan pada orang lain, atau membebankan kepada
nasabah selisih antara biaya operasional dan harga penjualan barang. Uang jaminan yang
didepositokan ini statusnya sebagai amanah untuk disimpan lembaga keuangan maka
lembaga keuangan tidak boleh menggunakannya, bisa juga sebagai investasi yang mana
nasabah member izin untuk dikembangkan oleh lembaga keuangan atas dasar akad

)109( ijarah disyariatkan dengan dalil dari Alquran, sunnah dan ijma'. Allah berfirman,

ِّ ِّ
]77 :‫َجرا} [الكهف‬ َ ‫ت ََل ََّّتَ ْذ‬
ْ ‫ت َعلَْيه أ‬ َ ‫{لَ ْو شْئ‬
"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". ( Al Kahfi: 77).
Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

)‫(أعطوا األجري أجره قبل أن جيف عرقه‬


Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya! (HR. Ibnu Majah).
Dan para ulama juga telah bersepakat bahwa ijarah hukumnya boleh.
)110( Adapun sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan maka bentuknya tidak keluar dari hukum
ijarah yang diikuti dengan janji untuk memberikan kepemilikan objek sewa kepada penyewa setelah
berakhirnya masa sewa menyewa. Hal ini diperkuat oleh fatwa divisi fikih OKI No. 110 (4/12) yang
merincikan bentuk yang dibolehkan dan bentuk yang diharamkan.
IMBT (Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik) yang dibolehkan ini berbeda bentuknya dengan beli sewa yang
dipraktikan oleh lembaga keuangan konvensional dimana konsekuensi jual dan sewa diberlakukan
terhadap barang yang sama dalam satu waktu, kemudian kepemilikannya berpindah kepada penyewa
dengan sekedar membayar angsuran terakhir tanpa ada akad kepemilikan yang terpisah. Adapun IMBT
selama masa sewa menyewa yang diberlakukan adalah hukum sewa kemdian dibuat akad kepemilikan.
mudharabah antara lembaga keuangan dan nasabah, boleh juga membuat kesepakatan dengan
nasabah ketika dalam akad sewa menyewa nanti uang tersebut bagian dari harga sewa.
3. Kepemilikan lembaga keuangan terhadap barang atau kepemilikan fungsi barang
yang akan disewakan .
3.1. Disyaratkan untuk keabsahan akad sewa menyewa atas suatu barang tertentu barang
tersebut atau manfaatnya sudah dimiliki oleh pihak yang menyewakan:
A. Maka apabila barang tersebut atau manfaatnya sudah menjadi hak milik lembaga keuangan
maka baru lah boleh dilangsungkan akad sewa-menyewa ketika kedua belah pihat telah
sepakat.
B. Adapun apabila barang tersebut baru akan dimiliki oleh lembaga keuangan dengan cara
membeli dari penyewa ( lihat pasal 3.2 ) maupun dari orang lain, maka sewa-menyewa tidak
boleh dilangsungkan akadnya kecuali setelah lembaga keuangan memiliki barang tersebut. Sah
kepemilikan barang dengan akad jual beli sekalipun belum selesai pencatatan barang tersebut
atas nama pembeli ( lembaga keuangan ), selayaknya pembeli sudah mendapatkan dokumen
hak milik ( lihat pasal 4.1.5 )
3.2. Lembaga keuangan boleh membeli objek yang akan disewakan dari seseorang dan
kemudian menyewakan objek tersebut kepada penjualnya)111(. Dan tidak boleh pada saat akad
jual beli lembaga keuangan mensyaratkan kepada penjual untuk menyewa objek tersebut)112(.

3.3. Orang yang menyewa suatu barang boleh menyewakannya kepada orang lain ( bukan
sipemilik barang ) dengan harga yang sama atau lebih murah atau lebih mahal baik dengan
cara tunai ataupun tidak, (ini yang dinamakan dengan ‫ )التأجري من الباطن‬dengan syarat pemilik
barang tidak melarang untuk disewakan kepada orang lain atau harus atas kesepakatan
pemilik barang)113(.

3.4. Penyewa boleh menyewakan barang yang telah disewanya kepada pemilik barang dengan
harga lebih murah atau dengan harga yang sama atau lebih mahal apabila kedua akad sewa-
menyewa tersebut berlangsung tunai. Tidak boleh hal tersebut apabila mengakibatkan akad
jual beli 'Inah : karena berubahnya harga sewa atau sewa-menyewa dengan pembayaran tunda.
Contoh: sewa-menyewa pertama dengan harga 1oo dinar tunai kemudian penyewa
menyewakan kembali kepada pemilik barang dengan harga 110 dinar dengan tidak tunai, atau
sewa-menyewa pertama dengan 110 dinar dengan tidak tunai kemudian sewa-menyewa kedua
dengan 100 dinar tunai, atau kedua akad sewa-menyewa tersebut dengan harga yang sama
akan tetapi akad sewa-menyewa yang pertama dengan pembayaran penundaan 1 bulan dan
pada yang kedua dengan penundaan dalam masa 2 bulan.
3.5. Akad sewa-menyewa boleh dilakukan atas barang yang disifatkan dengan sifat yang rinci
dalam tanggungan yang menyewakan (salam), sekalipun barang tersebut belum dimiliki oleh
orang yang menyewakan ( sewa menyewa barang yang dipesan ) yang mana disepakati
penyerahan barang yang disifati tersebut pada waktu yang ditentukan selama berjalannya

)111( Hal ini dibolehkan karena bukan akad jual beli 'Inah yang diharamkan.
)112( larangan mensyaratkan penjual harus menyewa barang setelah dibeli oleh pembeli karena ini termasuk
menggantung akad jual beli dengan akad sewa. Hal ini dilarang oleh banyak para ulama dengan dalil
larangan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam " Melarang dua jual beli dalam satu jual beli" HR. Ahmad dan
Nasa'i.
)113( Dalil yang membolehkan hal ini karena penyewa telah memiliki fungsi dari objek barang, maka dia
berhak menyewakannya ke pihak lain.
akad, yang mesti dijaga dalam hal ini mungkinnya orang yang menyewakan untuk memiliki
barang tersebut atau membuatnya, dan tidak disyaratkan pembayaran sewa menyewa tersebut
tunai selama dalam akad tidak menggunakan kata salam atau salaf)114(. Dan apabila yang
menyewakan menyerahkan barang tidak sesuai sifat yang disebutkan oleh penyewa maka
penyewa boleh menolaknya dan meminta barang yang telah disifatkan.
3.6. Nasabah boleh membeli barang yang ingin disewa olehnya dengan cara musyarakah
dengan lembaga keuangan, kemudian nasabah menyewa bagian yang menjadi hak lembaga
keuangan maka jadilah sewa-menyewa pada lembaga keuangan hanya bagian yang dimiliki
oleh lembaga keuangan tersebut dan penyewa memiliki sebagian dari barang tersebut,
lembaga keuangan tidak berhak menerima sewa kecuali hanya yang dimilikinya.
3.7. Lembaga keuangan boleh mewakilkan kepada nasabah atas biaya dan tanggung jawab
lembaga keuangan untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah seperti
peralatan kerja dan yang semisalnya dari barang-barang yang bisa ditentukan sifat-sifat dan
harganya. Dengan syarat lembaga keuangan baru boleh menyewakan barang-barang tersebut
kepada nasabah setelah memilikinya dan menerimanya baik secara hakikat maupun hukmi.
Namun, jika memungkinkan sebaiknya wakil untuk membeli barang tersebut bukanlah
nasabah )115(.

4. Pengesahan akad sewa-menyewa dan keadaan-keadaannya


4.1. Pengesahan akad sewa-menyewa dan dampak dari akad tersebut
4.1.1. Akad sewa-menyewa adalah akad yang lazim yang salah satu pihak tidak bisa
membatalkan akad tersebut kecuali atas kesepakatan yang lain ( lihat pasal 5.2.2 , 7.2.1 , 7.2.2 )
. akan tetapi memungkinkan batalnya akad sewa-menyewa dengan alasan yang terpaksa (force
majuer) ( lihat pasal 7.2.1 ).
4.1.2. Wajib menentukan batas waktu sewa-menyewa yang awal waktunya dimulai dari tanggal
akad dibuat selama kedua belah pihak sepakat untuk tidak menunda awal masa sewa-
menyewa, yang dinamakan ( ‫ )اإلجارة املضافة‬artinya ditentukan pelaksanaannya pada waktu yang
akan datang.
4.1.3. Apabila orang yang menyewakan barang terlambat menyerahkan barang dari waktu yang
telah ditentukan dalam akad sewa-menyewa maka dia tidak berhak mendapatkan upah sewa
selama waktu keterlambatan barang dan upah sewa-menyewa dipotong sesuai dengan
keterlambatan kecuali apabila disepakati akan diganti selama masa keterlambatan setelah
berakhirnya waktu sewa-menyewa.
4.1.4. Boleh meminta DP dalam akad sewa-menyewa ketika akad tersebut dibuat)116(. Dan DP
tersebut menjadi bagian dari upah sewa yang dibayar didepan jika akad sewa dilanjutkan dan
ketika penyewa tidak jadi menyewa maka pemberi sewa boleh mengambil DP tersebut.
Sebaiknya lembaga keuangan hanya mengambil sebagai ganti dari kerugiannya atas

)114( Hal ini dibolehkan karena menyerupai salam dan tidak harus disertahkan uangnya tunai berdasarkan
salah satu pendapat syafiiyyah dan hanabilah.
)115( Hal ini untuk menghindari bahwa ini hanya sekedar pengelabuan akad riba dan agar jelas peran lembaga
keuangan dalam transaksi tersebut.
)116( Dalil yang membolehkan DP adalah perbuatan Umar radhiyallahu anhu yang disaksikan para shahabat
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Pendapat ini didukung oleh Imam Ahmad dan difatwakan boleh oleh
divisi fikih OKI No. 72 (3/8).
pembatalan akad dan mengembalikkan sisa DP tersebut, kerugian yang dimaksud adalah
perbedaan harga sewa antara penyewa pertama dengan penyewa yang lain.
4.2. Keadaan-keadaan akad sewa-menyewa
4.2.1. Boleh beberapa akad sewa-menyewa dalam waktu yang berbeda untuk 2 orang penyewa
yang berbeda; yang mana setiap akad tidak terjadi pada satu objek dan satu waktu.
4.2.2. Apabila orang yang memberikan sewa telah mengesahkan akad sewa-menyewa suatu
barang dalam waktu yang tertentu maka tidak boleh ia membuat akad sewa-menyewa kepada
penyewa yang lain selama rentang waktu akad sewa-menyewa yang pertama maupun sebagian
dari waktu tersebut ( lihat pasal 7.1.2 ).
4.2.3. Boleh dalam akad sewa-menyewa beberapa orang penyewa bergantian menggunakan
barang tersebut dengan masa yang ditentukan tanpa menentukan penyewa tertentu pada
waktu tertentu, setiap penyewa berhak menggunakan barang tersebut dengan waktu yang
secara kebiasaan masyarakat untuk menggunakan barang tersebut. Keadaan ini merupakan
bagian dari gambaran penggunaan barang pada waktu yang telah disiapkan ( time sharing ).
4.2.4. Penyewa boleh mengikutsertakan orang lain dengannya untuk mengambil saham dalam
sewa-menyewa pertama manfaat objek yang telah dimilikinya dan sebelum ia menyewakannya
ke pihak ketiga. Maka mereka adalah orang yang berkerja sama untuk mengambil manfaat
barang sewa)117(. Setiap orang yang bekerja sama untuk menyewakan suatu barang mereka
berhak mendapat bagian dari upah yang dibayar sebesar bagian sahamnya dalam kepemilikan
manfaat tersebut.
5. Objek akad sewa menyewa
5.1. Hukum-hukum yang berkenaan dengan manfaat barang dan barang sewaan
5.1.1. Barang yang disewakan disyaratkan bahwa mungkin untuk diambil manfaatnya dan
barang tersebut tetap tidak hilang. Dan disyaratkan pemanfaatan barang tersebut hukumnya
mubah dalam syariat)118(, maka tidak boleh menyewakan tempat tinggal atau alat untuk bekerja
yang diharamkan; seperti menyewakan bangunan untuk bank-bank yang sistimnya ribawi,
atau toko-toko untuk menjual atau menyimpan barang yang tidak halal, atau mobil untuk
membawa barang yang tidak halal.
5.1.2. Objek yang disewakan itu boleh bagian seseorang dari barang yang dimiliki oleh
beberapa orang, baik si penyewa bagian dari orang yang ikut memilikinya ataupun tidak. Dan si
penyewa menggunakan bagiannya tersebut dengan cara yang digunakan oleh sipemilik.
5.1.3. Akad sewa-menyewa dengan objek tempat tinggal atau peralatan kerja boleh dilakukan
dengan non muslim selama tujuan dari akad tersebut untuk yang halal; seperti rumah untuk
ditempati, mobil untuk transportasi, computer untuk menyimpan data, kecuali apabila pihak

)117( Dalil yang mensyaratkan bahwa syirkah harus terjadi sebelum disewakan lagi ke pihak ketiga karena
apabila telah disewakan ke pihak ketiga maka penyewa pertama tidak lagi memiliki manfaat dari barang
tersebut maka berarti dia menjual hak yang bukan miliknya.
)118( Dalil bahwa barang objek sewa tidak boleh hilang karena akad sewa akad terhadap manfaat dari barang
maka tidak sah bila melenyapkan barangnya. Dan dalil wajib manfaatnya yang mubah karena
menyewakan untuk hal yang diharamkan termasuk tolong menolong dalam dosa. Allah berfirman,
}‫اإل ِّْث َوالْ ُع ْا َو ِّان‬
ِّْ ‫{وََل تَ َعاونُوا َعلَى‬
َ َ
"Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". (Al Maidah: 2).
yang menyewakan mengetahui atau meyakini bahwa barang sewa tersebut akan digunakan
untuk hal yang haram.
5.1.4. Penyewa harus membatasi penggunaan barang sewaan dengan yang sesuai pada barang
sewa atau dengan kebiasaan masyarakat, pembatasan pemakaian barang-barang sewa dengan
syarat-syarat yang disepakati dibolehkan syari’at. Seperti penyewa harus menghindari faktor-
faktor yang menyebabkan kerusakan pada barang sewa karena penggunaan yang salah atau
kesengajaan atau kelalaian.
5.1.5. Pihak yang menyewakan tidak boleh memberikan syarat untuk tidak bertanggungjawab
pada cacat barang yang disewakan yang berakibat kepada barang tersebut tidak bisa
digunakan, atau memberikan syarat tidak bertanggungjawab dari kerusakan-kerusakan yang
akan terjadi pada barang sehingga tidak bisa digunakan baik dengan sebab perbuatannya
maupun faktor lain yang bukan atas keinginannya.
5.1.6 Apabila barang sewa tidak bisa digunakan secara keseluruhan maupun sebagian karena
faktor kesengajaan penyewa, maka penyewa harus bisa memfungsikan kegunaan barang
tersebut atau memperbaikinya, dan tidak gugur sewa pada waktu barang sewa tidak bisa
digunakan.
5.1.7. Pihak yang menyewakan tidak boleh memberikan syarat kepada penyewa untuk
melakukan servis berkala terhadap barang sewa agar tetap berfungsi. Pihak yang menyewakan
boleh mewakilkan kepada penyewa untuk melakukan servis berkala terhadap barang sewa
atas tanggungan pemberi sewa. Penyewa bertanggung jawab terhadap biaya perawatan untuk
operasional objek sewa.
5.1.8. Barang sewa merupakan tanggung jawab Pihak yang menyewakan selama waktu
penyewaan selama penyewa tidak sengaja merusak atau lalai. Pihak yang menyewakan boleh
mengasuransikan barang sewaan dengan asuransi yang Islami selama hal itu memungkinkan,
biaya asuransi ditanggung oleh Pihak yang menyewakan. Pihak yang menyewakan boleh
mengambil biaya asuransi termasuk dalam biaya sewa selama waktu sewa menyewa, akan
tetapi tidak boleh membebankan pada penyewa setelah akad biaya tambahan yang tidak
terduga pada waktu akad sewa menyewa dilangsungkan. Sebagaimana Pihak yang
menyewakan boleh mewakilkan kepada penyewa untuk mengasuransikan barang sewa yang
ditanggung oleh Pihak yang menyewakan.
5.2. Hukum –hukum Upah sewa menyewa
5.2.1. Upah boleh berbentuk uang atau barang atau manfaat (jasa). Upah harus diketahui,
penentuannya boleh dengan sejumlah uang untuk seluruh waktu sewa, atau dengan cicilan
untuk waktu yang berkala. Boleh dengan sejumlah uang yang tetap maupun berubah-ubah
sesuai dengan cara yang diketahui oleh kedua belah pihak (lihat pasal 5.2.3.).
5.2.2. Upah wajib dibayarkan dengan akad dan menjadi hak pemilik barang penyerahan barang
sewa bukan hanya sekedar penanda-tanganan kontrak. Upah boleh dibayarkan sekaligus
setelah pengesahan akad atau dibayarkan dengan cara berangsur-angsur selama masa sewa
dalam tempo yang sama atau lebih dari tempo sewa menyewa.
5.2.3. Bila harga sewa berubah-ubah maka untuk harga waktu sewa yang pertama harus
ditentukan dengan sejumlah uang yang diketahui. Dan boleh pada waktu-waktu sewa
berikutnya berpedoman kepada indeks yang baku yang tidak akan menyebabkan sengketa
dalam upah sewa)119(. Dan dibuat upah maksimal dan minimal.

5.2.4. Boleh disepakati upah sewa dibagi dua. Upah pertama diberikan kepada pemilik barang
sewa dan yang lain tetap pada penyewa untuk menutupi biaya-biaya yang harus dikeluarkan
oleh pemilik barang sewa; contohnya yang berhubungan dengan pemeliharaan barang sewa,
asuransi, dan lain –lainya.
5.2.5. Kedua belah pihak boleh bersepakat mengubah upah sewa untuk waktu yang akan
datang, artinya waktu yang belum digunakan oleh penyewa, hal tersebut termasuk dari bab
perubahan akad sewa menyewa. Adapun harga sewa yang waktunya telah digunakan dan
belum dibayar maka sebagai hutang bagi si penyewa, tidak boleh mensyaratkan penambahan
upah sewa.
6. Jaminan-jaminan hutang sewa dan cara mengatasinya
6.1. Pihak yang menyewakan boleh meminta jaminan yang disyari’at untuk menguatkan
penyerahan upah oleh penyewa atau jaminan bila penyewa sengaja merusak barang sewa.
Jaminan tersebut berupa barang gadai, atau orang penjamin, atau mengalihkan hak penyewa
dari orang lain kepada pihak yang menyewakan, sekalipun hak-hak tersebut sebagai klaim
ganti rugi asuransi Islami terhadap jiwa penyewa ataupun asetnya.
6.2. Pihak yang menyewakan boleh memberikan syarat pelunasan upah sewa dimuka,
sebagaimana boleh mencicil dan ketika itu pemberi sewa boleh memberikan syarat kepada
penyewa untuk melunasi seluruh cicilan apabila ia terlambat membayar satu kali cicilan tanpa
alasan yang sesuai syari’at dan setelah pengiriman surat pemberitahuan dari Pihak yang
menyewakan pada waktu tertentu. Pembayaran yang dilakukan dimuka disyaratkan mengikuti
masa akhir sewa-menyewa atau ketika pembatalan sewa menyewa sebelum berakhirnya
waktu sewa. Penangguhan waktu penyerahan barang dari pihak yang menyewakan yang
terjadi setelah pemberian syarat pembayaran dimuka adalah sebagai toleransi bukan hak si
penyewa. Sebaiknya diperhatikan pasal (5.2.2).
6.3. Tidak boleh memberikan syarat penambahan harga sewa dalam keadaan keterlambatan
penyewa membayar sewa)120(.

6.4. Boleh dicantumkan dalam akad sewa menyewa atau IMBT (sewa-menyewa yang akhirnya
menjadi hak milik) persyaratan yang mengharuskan nasabah ketika terlambat membayar
cicilan padahal dia mampu membayarnya untuk menginfakkan sejumlah uang yang ditentukan
atau persentase dari harga sewa, dengan syarat uang tersebut digunakan untuk sosial atas
pengetahuan dewan pengawas syariah lembaga keuangan tersebut.
6.5. Pada waktu eksekusi barang jaminan yang diajukan oleh penyewa, maka Pihak yang
menyewakan berhak mengambil upah sewa untuk waktu yang telah berlalu, dan tidak boleh
mengambil seluruh upah sewa yang akan datang, selama cicilan tersebut belum jatuh
temponya dan waktunya belum digunakan. Pihak yang menyewakan boleh juga mengambil
dari hasil lelang jaminan sebagai ganti yang sesuai syari’at yang diakibatkan karena penyewa
melanggar akad sewa menyewa.

)119( Hal ini dibolehkan karena penentuan upah dengan cara seperti itu akan berakhir dengan saling tahu
besaran upahnya dan ini termasuk penentuan upah dengan upah harga pasar yang tidak akan
menyebabkan sengketa.
)120( Diharamkannya persyaratan penambahan biaya sewa karena keterlambatan pembayaran karena
termasuk riba jahiliyah.
7. Hal- hal yang terjadi pada akad sewa
7.1. Penjualan barang sewa atau kerusakan pada barang sewa.
7.1.1. Apabila Pihak yang menyewakan menjual barang yang disewakan kepada penyewa, maka
berakhirlah akad sewa menyewa dengan sebab perpindahan kepemilikan barang kepada
penyewa yang tentunya berhak untuk mengambil manfaat dari kepemilikan tersebut.
7.1.2. Pihak yang menyewakan boleh menjual barang yang disewakan kepada selain penyewa,
dan berpindahlah kepemilikan barang yang disewakan; dan menjadi hak orang tersebut akad
sewa yang sedang berlangsung, dan tidak disyaratkan keridhaan penyewa)121(. Adapun pembeli
apabila ia tidak mengetahui bahwa barang yang dibelinya sedang dalam akad sewa menyewa
maka ia boleh membatalakan pembeliannya, dan apabila dia mengetahui dan menerima maka
dia menggantikan posisi pemilik yang dahulu dan berhak mengambil upah sewa barang dari
waktu yang tersisa.
7.1.3. Pada saat barang sewaan rusak keseluruhannya gugurlah akad sewa menyewa, jika sewa
menyewa tersebut dilakukan pada barang tertentu. Dan tidak boleh memberikan syarat ketika
barang sewa rusak secara keseluruhan harus membayar sisa cicilan.
7.1.4. Status barang sewaan adalah amanah yang harus dijaga oleh penyewa maka penyewa
tidak harus menjamin kerusakannya kecuali apabila kerusakan terjadi dengan sebab
kesengajaan, kelalaian dan ketika itu dia wajib mengganti yang semisalnya jikalau barang
tersebut mempunyai yang semisalnya, dan jika tidak ada semisal dengannya maka penyewa
menanggung harga yang sesuai dengan barang tersebut ketika rusak.
7.1.5. Pada saat barang sewaan mengalami kerusakan sebagian yang mengurangi manfaat
barang maka penyewa boleh membatalkan akad sewa, dan kedua belah pihak boleh bersepakat
ketika itu untuk mengubah upah sewa pada saat barang rusak sebagian apabila penyewa ingin
tersu menggunakan barang dan tidak menggunakan haknya untuk membatalkan akad. Pihak
yang menyewakan tidak berhak atas upah sewa barang mulai dari waktu tidak berfungsinya
barang sewa tersebut kecuali apabila pemberi sewa menggantinya (dengan kesepakatan
bersama penyewa) dengan yang semisalnya setelah berakhir masa akad.
7.1.6 Adapun pada sewa barang yang disifatkan maka dalam keaadaan barang rusak
keseluruhan ataupun sebagiannya pemilik barang harus mengajukan barang ganti yang sesuai
dengan barang yang rusak tersebut. Dan akad sewa menyewa terus berlaku untuk waktu yang
tersisa kecuali apabila tidak memungkinkan adanya barang pengganti maka akad sewa
menyewa menjadi batal (lihat pasal 3.5).
7.1.7. Apabila penyewa berhenti menggunakan barang sewa atau mengembalikannya kepada
pemilik tanpa kesepakatan, maka upah sewa tetap terus dibayar sampai waktu yang tersisa.
Dan pemilik barang sewa tidak boleh menyewakan barang tersebut kepada penyewa yang lain
selagi masih dalam waktu sewa tersebut, akan tetapi dia membiarkan barang tersebut dibawah
kuasa penyewa sekarang (lihat pasal 7.2.1).
7.2. Pembatalan akad sewa menyewa dan berakhirnya akad serta pembaharuan akad
7.2.1. Akad sewa menyewa boleh dibatalkan atas kesepakatan kedua belah pihak, tidak boleh
salah satu pihak membatalkan akad sewa menyewa kecuali dengan uzur yang datang
belakangan, sebagaimana penyewa boleh membatalkan akad sewa menyewa dengan sebab

)121( Tidak disyaratkan ridha penyewa karena pemilik barang bebas berbuat terhadap barang miliknya yang
tidak mengakibat kekurangan terhadap hak penyewa. Dan serah terima barang cukup dengan
penguasaan pembeli terhadap barang pada saat berakhirnya masa sewa.
cacat yang terjadi pada barang yang menghalangi penyewa untuk menggunakannya. Akad sewa
boleh dibatalkan dengan khiyar syarat bagi orang yang meminta khiyar syarat selama masa
khiyar yang ditentukan masih berlaku.
7.2.2. Pihak yang menyewakan boleh memberikan syarat pembatalan akad sewa menyewa
apabila penyewa tidak membayar sewa atau terlambat membayar sewa)122(.

7.2.3. Akad sewa menyewa tidak berakhir dengan kematian salah satu pihak, namun ahli waris
penyewa boleh membatalkan akad sewa menyewa apabila mereka menetapkan bahwa akad
sewa menyewa menjadi beban lebih dibandingkan dengan harta waris mereka. Atau barang
sewaan tidak mereka butuhkan.
7.2.4. Akad sewa menyewa berakhir dengan sebab barang rusak secara keseluruhan atau
dengan tidak memungkinkan menggunakan barang sewa tersebut jika akad dibuat dengan
objek barang yang ditunjuk; demikian itu karena hilangnya manfaat yang diinginkan .
7.2.5. Dengan kerelaan kedua belah pihak akad sewa boleh dibatalkan sebelum
diberlakukannya.
7.2.6. Akad sewa menyewa berakhir dengan berakhirnya masa sewa, akan tetapi dalam kondisi
darurat terus akad terus berlangsung sebagai pencegah akan terjadinya mudharat; contoh
terlambatnya sarana transportasi yang disewa sampai pada tempat yang dituju, buah yang di
tanam di atas tanah yang disewa belum matang. Pada kasus ini sewa menyewa tetap
berlangsung dengan harga sewa yang sesuai. Dan boleh memperbarui akad sewa menyewa
dengan masa waktu yang lain setelah berakhirnya akad sewa menyewa pertama. Pembaruan
akad sewa menyewa tersebut baik terjadi sebelum berakhirnya masa sewa maupun langsung
setelah berakhirnya akad sewa menyewa bila dicantumkan dalam akad apabila tidak
disampaikan keinginan salah satu pihak untuk menghentikan sewa menyewa.
8. Kepemilikan barang yang disewakan dalam IMBT (sewa menyewa yang berakhir
dengan menjadi hak miliik).
8.1. Dalam akad IMBT harus ditentukan cara kepemilikan barang tersebut bagi penyewa
dengan dokumen yang terpisah dari akad sewa menyewa, dengan salah satu dari cara-cara
berikut ini:
a. Janji untuk menjual dengan harga simbolis, atau dengan harga hakikat atau dengan
menyegerakan membayar sewa yang tersisa atau dengan harga pasaran.
b. Janji untuk dihibahkan.
c. Akad hibah yang dikaitkan dengan syarat semua upah sewa lunas pada waktunya.
Dan pada keadaan-keadaan menerbitkan janji untuk dihibahkan atau janji untuk dijual atau
akad hibah yang dikaitkan dengan dokumen yang terpisah tidak boleh disebutkan bahwa janji
itu satu bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari akad sewa menyewa yang berakhir dengan
menjadi hak milik.

)122( Dalil bolehnya persyaratan ini karena hukum asal setiap persyaratan dalam akad adalah boleh dan sah.
Dan persyaratan ini tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka berlaku pada
kasus ini hadist Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
)‫(املسلمون على شروطهم إَل شرطا أحل حراما أو حرم حالَل‬
"Orang islam itu memenuhi persyaratan yang mereka buat kecuali persyaratan yang menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal".
8.2. Janji untuk pengalihan hak milik dengan salah satu cara yang disebutkan dalam pasal (8.1)
tidak bisa dibatalkan bagi orang yang menerbitkannya, janji tersebut menjadi wajib dipatuhi
oleh salah satu pihak saja, adapun pihak yang lain maka dia bisa memilih. Hal ini untuk
menghindari perjanjian yang mewajibkan keduabelah pihak mematuhinya dan ini hukumnya
haram; karena ketika itu status janji sama dengan akad.
8.3. Pada seluruh keadaan kepemilikan melalui cara janji dengan hibah atau janji menjual mesti
pengesahan akad pemilikan dengan akad baru. Dan kepemilikan barang tersebut tidak
langsung berpindah secara otomatis hanya dengan dokumen janji yang pertama.
8.4. Pada saat menyertakan akad sewa menyewa dengan akad hibah yang digantung dengan
syarat pelunasan seluruh cicilan sewa pada waktunya, hibah itu dibuat dengan dokumen
terpisah. Pada kasus ini kepemilikan barang sewa tersebut berpindah kepada penyewa apabila
syarat tersebut terpenuhi tanpa membutuhkan pembuatan akad yang baru. Adapun apabila
penyewa tidak membayar cicilan tepat waktu walaupun satu kali maka kepemilikan tidak
berpindah kepadanya, karena tidak terpenuhinya syarat.
8.5. Apabila barang yang disewakan dibeli dari penyewa sebelum disewakan kepadanya
dengan cara sewa yang berakhir menjadi hak milik maka harus menghindari akad jual beli
'Inah dengan cara berlalunya masa yang berubah pada masa tersebut barang yang disewakan
atau harganya berubah pada waktu akad sewa menyewa dan janji menjualnya kepada
penyewa)123(.

8.6. Sambil memperhatikan pasal (8.8) wajib memberlakukan hukum sewa menyewa atas akad
IMBT)124(. Dan tidak boleh melanggar hukum sewa dengan alasan bahwa barang tersebut telah
dibeli atas janji dari penyewa untuk memilikinya, atau barang sewa tersebut akan berpindah
kepemilikannya kepada penyewa, atau penyewa diharuskan membayar cicilan melebihi dari
harga sewa yang biasa dan menyerupai cicilan jual beli, atau undang-undang yang berlaku atau
sistim perbankan konvensional menganggapnya jual beli dengan cicilan dengan mengakhirkan
kepemilikan.
8.7. Tidak boleh kepemilikan berpindah dengan akad jual beli pada yang akan datang dan pada
waktu yang sama akad sewa menyewa juga dilakukan atas barang.
8.8. Apabila barang yang disewakan rusak atau tidak memungkinkan akad sewa menyewa
dilanjutkan hingga akhir masa sewa dengan tanpa sebab dari pihak penyewa maka ada dua
pilihan; penyewa membayar uapah sewa biasa, dan dikembalikan kepda penyewa selisih harga
sewa biasa dan harga sewa IMBT bila upah sewa IMBT lebih mahal. Demikian itu untuk
mencegah mudharat dari penyewa yang rela menambahkan harga sewa IMBT dari harga sewa
biasa dengan imbalan untuk mendapatkan janji kepemilikan barang setelah berakhirnya masa
sewa menyewa
Sukuk Ijarah
Yaitu surat berharga bernilai sama yang diterbitkan dengan tujuan menyewakan
asset yang terjamin spesifikasinya dan mengambil upahnya dari hasil barang,

)123( Dalil Bolehnya hal tersebut karena proses itu telah menghindarkan transaksi dari jual beli 'Inah, karena
perubahan zat atau nilainya dengan berlalunya waktu tertentu telah mengubahnya menjadi barang yang
berbeda.
)124( Dalil bahwa wajib diberlakukan hukum sewa karena janji untuk memindahkan kepemilikan barang tidak
mengeluarkan barang dari akad sewa. Dan karena dilarangnya pembauran dua akad (sewa dan beli).
Fatwa divisi fikih OKI telah melarang hal ini.
sehingga pemegang sukuk menjadi pemilik hak manfaat asset yang terjamin
spesifikasinya.
Syirkah/Musyarakah (Serikat/Kerja Sama Bisnis)
dan Syirkah Haditsah (Serikat Kontemporer)

1. Cakupan Mikyar
Mikyar ini diaplikasikan dalam berbagai macam syirkah yang sudah dikenal dalam kitab-
kitab fiqh atas asas akad syirkah, kecuali hal-hal yang dikecualikan nantinya.
Juga mikyar diaplikasikan pada berbagai serikat kontemporer, termasuk juga MMQ
Musyarakah Mutanaqishah.
Mikyar ini tidak bisa diaplikasikan dalam Syirkah Milik125 (penguasaan harta secara
kolektif). Mikyar ini tidak mencakup hukum-hukum khusus Syirkah Mufawadhah126;
karena prakteknya jarang, dan bila dibutuhkan dapat merujuk kepada kitab-kitab fiqh.
Mikyar ini tidak mencakup Mudharabah; karena ada mikyar khusus, begitu juga dengan
Muzara’ah127, Musaqah128 dan Mugharasah129. Mikyar ini tidak mencakup aturan dan
proses khusus yang ada di dalam serikat modern.
2. Defenisi Akad Syirkah, Pembagian dan Bentuk-bentuknya.
2.1. Defenisi Akad Syirkah.
Kesepakatan dua atau lebih orang untuk menggabungkan harta mereka atau
perbuatan atau tanggungan kewajiban, dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
2.2. Pembagian Akad Syirkah.
Akad Syirkah terbagi dua :
Pertama : Serikat-serikat Klasik secara fiqh
Kedua : Serikat-serikat Kontemporer
2.2.1. Serikat-serikat yang dikenal dalam kitab-kitab fikih, mencakup hal-hal berikut :
a. Syirkah ‘Inan

125
Syirkah Milik : Percampuran kepemilikan dua atau tiga orang, yang menghasilkan -dari perserikatan
tersebut- hak memiliki keuntungan atau pendapatan atau kenaikan harga, dan jika terjadi kerugian maka
ditanggung bersama. Syirkah Milik bisa dengan idhthirar (tidak suka rela/ involuntari) seperti hak waris
porsi/saham syirkah, atau dengan ikhtiyar (suka rela/ voluntary), sebagaimana kondisi kepemilikan dua
orang atau lebih akan saham-saham yang tak terbatas dalam objek tertentu.
126
Syirkah Mufawadhah : Adalah setiap serikat dimana para syarik (pihak yang berserikat) memiliki kesamaan
dalam harta, pengelolaan, dan hutang dari mulai perkongsian sampai selesai.
127
Syirkah Muzara’ah : Adalah perkongisan dalam pertanian dengan menyerahkan tanah kepada penggarap
untuk digarap dengan bagi hasil nisbah hasil panenan yang jelas.
128
Syirkah Musaqah : Adalah menyerahkan pohon tua yang ditanam yang diketahui akan berbuah yang bisa
dimakan kepada orang yang menyiraminya dengan bagi hasil nisbah yang jelas dari buahnya.
129
Syirkah Mugharasah : Adalah perserikatan yang terjadi dalam menyerahkan tanah –yang tidak ada
pohonnya- kepada orang yang akan menanaminya dengan pohon, dengan perjanjian bahwa apa yang
dihasilkan dari tanaman dan buah akan dibagi dengan nisbah yang diketahui.
b. Syirkah Wujuh
c. Syirkah A’mal (Serikat Kerja), seperti Shanai’ (Serikat Para Tukang) atau Abdan
(Serikat Fisik) atau Taqabbul (Serikat Penerimaan).
2.2.2. Syirkah Haditsah (Modern), yang paling terkenal adalah :
a. Syirkah Musahimah (Tbk)
b. Syirkah Tadhamun (perseroan tidak terbatas/unlimited company).
c. Syirkah Taushiyah Basithah
d. Syirkah Taushiyah bil Ashum
e. Syirkah Muhashah (joint adventure)
f. Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) yang berasal dari Syirkah ‘Inan
3. Bagian Pertama : Serikat Klasik (yang terdapat dalam literature kitab fiqh
klasik)130.
3.1. Hukum-umum umum serikat, khususnya ‘Inan.
Syirkah ‘Inan adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-
masing yang diketahui jumlahnya, dimana masing-masing pihak berhak mengelola
harta syirkah, untung dibagi sesuai kesepakatan sedangkan rugi dibagi menurut
kadar harta mereka.
3.1.1. Keabsahan akad syirkah

130
Syirkah secara umum menurut fuqaha’ ada empat : Syirkah ‘Inan, Syirkah Abdan, Syirkah Mufawadhah dan
Syirkah Wujuh, yang paling penting adalah Syirkah ‘Inan. Syirkah disyari’atkan dalam Alqur’an, Sunah dan
Ijma’; adapun dalam Alqur’an firmanNya:
}‫ت َوقَ ِلي ٌل َما ُه ْم‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫ض ِإ ََّّل الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ ٍ ‫علَى َب ْع‬ ُ ‫اء لَيَ ْب ِغي َب ْع‬
َ ‫ض ُه ْم‬ ِ ‫ط‬َ َ‫يرا ِمنَ ْال ُخل‬
ً ِ‫{و ِإ َّن َكث‬
َ
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim
kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan
amat sedikitlah mereka ini". (QS. Shad : 24).
Adapun dari sunnah; diantaranya Hadits Sa’ib bin Abi Sa’ib Al Makhzumiy : “Bahwasanya beliau adalah
sekutu dagang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di awal keislaman, maka tatkala penaklukan Mekah, Nabi
bersabda : “Selamat datang saudara dan serikatku, kamu tidak pernah melakukan mudharat dan tidak pula
hobi berdebat denganku”. (HR. Hakim, dishahihkan dan disepakati Dzahabi). Bermu’amalah dengan Syirkah
ini dikerjakan setiap masa semenjak awal risalah, maka hal ini tergolong Ijma’ ‘Amaliy.
Syirkah-syirkah yang menjadi perhatian para ulama untuk menjelaskan hukum-hukumnya ini adalah dasar
bagi Syirkah-syirkah baru/ modern yang mengalami pembaharuan seperti Syirkah Musahimah (Tbk) dimana
tidak melihat kepada personal syarikat akan tetapi kepada porsi/bagian saham dalam syirkah dan
kepercayaan yang mengacu kepada Syakhshiyah I’tibariyah (entitas pribadi). Sesungguhnya hukum dan
standar yang dijelaskan para ulama dalam syirkah dapat menjadi dasar hukum yang berhubungan dengan
Syirkah Modern , adapun aturan-aturan yang bersifat prosedural dalam merepresentatikan para syarik
serta memelihara hak-hak mereka, mengatur administrasi dan pengawasan, maka semua itu demi menjaga
kemashlahatan yang bisa terlaksana jika memperhatikan dhawaabit syar’iy (kaidah-kaidah syariat).
Akad yang paling penting dalam syirkah adalah wakalah (mewakilkan), setiap syarik bertindak atas nama
dirinya sekaligus mewakili pihak lain dalam mengelola, untuk kemashlahatan syirkah. Dalam Syirkah
Mufawadhah terdapat juga akad wakalah ditambah dengan kafalah.
3.1.1.1. Akad Syirkah sah dengan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat, melalui ijab
dari salah satu mereka dan qabul dari yang lain. Hendaknya menulis akad
syirkah dan mendaftarkannya secara resmi jika hal tersebut dibutuhkan.
Disertai juga dengan pencantuman tujuan syirkah dan pasal-pasal aturan
syirkah.
3.1.1.2. Lembaga keuangan boleh melibatkan non muslim, atau bank konvensional
dalam proses yang tidak bertentangan dengan syari’at, kecuali jika terbukti
harta yang diberikan –uang atau barang- berasal dari harta haram. Dan
hendaknya lembaga keuangan meminta jaminan sebagai pengikat agar non
muslim tundauk dengan hukum dan dasar-dasar syari’at Islam dalam praktek
lapangan. Dan dengan syarat yang mengendalikan syirkah harus dari pihak
lembaga keuangan syariah atau dari pihak lain yang berpedoman kepada
syari’at.131
3.1.1.3. Keikutsertaan bank konvensional bersama perusahaan dibolehkan dalam
pembiayaan bank gabungan yang prosedurnya berpegang kepada hukum-
hukum syar’i, dengan syarat bahwa LKS yang memegang kendali syirkah, dan
harus tunduk terhadap dewan pengawas syariah.
3.1.1.4. Bagi anggota yang berserikat boleh melakukan kesepakatan mengubah pasal-
pasal syarat akad Syirkah kapan saja, termasuk perubahan nisbah keuntungan132
dengan memperhatikan bahwa kerugian dengan porsi modal dalam Syirkah.
3.1.2. Ra'su Maal Syirkah (modal)
3.1.2.1. Pada dasarnya Ra'su Maal Syirkah (modal) adalah asset dalam bentuk uang
sehingga dengan modal dapat menentukan hasil nisbah keuntungan atau
kerugian syirkah. Walaupun demikian, boleh juga –dengan kesepakatan
syuraka’ (pihak-pihak yang berserikat)- mereka memiliki saham terhadap asset
non uang (barang-barang) setelah dinilai dengan uang133, agar diketahui ukuran
porsi masing-masing.

131
Dasar dibolehkannya non muslim atau bank konvensional ikut serta dalam serikat kepemilikan lembaga
keuangan sayariah dengan syarat prosedurnya harus sesuai dengan syari’at, dengan adanya jaminan yang
mengikat agar berkomitmen kepada hukum dan dasar-dasar syari’at Islam adalah hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: “Beliau melarang musyarakah dengan Yahudi dan Nasrani,
kecuali jual-beli di tangan muslim” (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannafnya). Alasan larangan adalah
mu’amalah riba atau transaksi yang batil yang hal ini akan hilang dengan adanya jaminan, sehingga hukum
syari’atpun bisa diterapkan. Mengenai berserikatnya Bank Konvensional, Nadwah Barakah telah
mengeluarkan keputusan (No. Kep. 9.1).
132
Dasar dibolehkan adanya kesepakatan atas penyesuaian syarat akad musyarakah dan perubahan nisbah
keuntungan : Bahwasanya kesepakatan ini tidak memotong keuntungan serikat. (lihat : Kep. No. 11.8,
Fatwa Nadwa Barkah ke-11 hal. 194).
133
Dasar dibolehkannya modal Syirkah aset non uang (barang) setelah dinilai karena tujuan Syirkah adalah
membolehkan pengelolaan dua orang yang berserikat pada harta mereka seluruhnya dan keuntunganpun
untuk mereka berdua, maka hal ini juga terdapat dalam ‘urudh (barang-barang) yang bisa dinilai dengan
uang. Maka wajib untuk mensahkan Syirkah dan Mudharabah dengan ‘Urudh (barang) seperti halnya
dengan uang. Dan ketika terjadi pembatalan Syirkah, modal barang harus dikembalikan kepada masing-
3.1.2.2. Dalam kondisi ketika terjadi perbedaan mata uang yang diserahkan masing-
masing pihak sebagai modal, maka wajib dinilai dengan mata uang yang telah
disepakati dalam syirkah sesuai dengan nilai kurs pada hari penyerahan
modal134. Demikian itu untuk menentukan kadar porsi/bagian para syarik dan
kewajiban mereka.
3.1.2.3. Wajib menentukan porsi/ bagian para anggota syirkah dalam modal syirkah135,
baik diserahkan sekaligus atau bertahap (penambahan modal).
3.1.2.4. Hutang murni tidak boleh dijadikan sebagai modal, kecuali dalam kondisi
dimana hutang statusnya sebagai pengikut kepada aset yang lain, hal
menjadikannya sah sebagai modal dalam syirkah136, contohnya : Pabrik
diserahkan oleh pemiliknya sebagai modal syirkah dan tentunya pabrik tersebut
memiliki utang dan piutang ke pihak lain.
3.1.2.5. Deposito dalam rekening –walaupun menurut pandangan fikih hal itu dianggap
piutang kepada lembaga keuangan- boleh dijadikan sebagai modal Syirkah oleh
lembaga keuangan tersebut atau pihak lainnya137.
3.1.3. Manajemen Syirkah
3.1.3.1. Pada dasarnya setiap anggota syirkah berhak hak mengelola syirkah untuk
menjual, membeli, membayar dengan kontan atau tempo, menerima barang,
menyerahkan barang, menitipkan, menggadaikan, mengambil jaminan,
menuntut hutang dan menetapkannya, menggugat, memperkarakan di
pengadilan, membatalkan akad dan menolak cacat barang, menyewa,
mengalihkan hutang, berhutang, dan setiap hal yang mendatangkan mashlahat
bisnis yang biasa dilakukan. Anggota syirkah tidak berhak mengelola sesuatu
yang tidak mendatangkan manfaat bagi syirkah atau bahkan mendatangkan

masing setelah dinilai dengan uang, dan ini adalah madzhab Malikiyah dan Hanabilah. (lihat : Ad Dusuqiy
2/517 dan Mugni 5/17).
134
Dasar diwajibkanya menyesuaikan mata uang yang berbeda jika dijadikan sebagai modal syirkah, dengan
mata uang tertentu dalam syirkah serta harus disesuaikan dengan kurs yang berlaku di hari penyerahan
modal adalah karena ini merupakan proses akad musharafah fi dzimmah antara dua mata uang, dan hal
tersebut tidak sah kecuali dengan kurs di hari itu. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Ibn ‘Umar
ketika menjual unta di Baqi’i.
135
Dasar diwajibkannya membatasi saham orang-orang yang berserikat dalam modal adalah karena dengan
tidak membatasi akan meyebabkan jahalah (ketidak tahuan) dalam modal, “Modal syirkah tidak boleh
tidak diketahui; karena mesti harus merujuk ketika modal pada saat terjadi likuidasi dan hal tersebut tidak
bisa dilakukan bila ada unsur ketidak-tahuan”, (Al Mughni 7/125).
136
Dasar tidak dibolehkannya hutang dijadikan sebagai saham modal adalah karena hutang tidak memiliki
kekuatan untuk dikelola dalam kegiatan syirkah, dan karena bisa menyebabkan riba jika anggota syirkah
adalah orang yang menerima pinjaman, Lihat : Ad Dusuqiy (3/517) dan Mughniy (5/17). Adapun jika hutang
yang statusnya sebagai pengikut, maka dasar dibolehkannya adalah kaidah (At Tabi’ Tabi’ wa La Yufradu bil
Hukmi-Pengikut secara hukum harus mengikuti yang diikuti dan tidak tersendiri hukumnya).
137
Dasar dibolehkannya giro/tabungan sebagai modal dalam kerjasama walaupun sebenarnya ia adalah
hutang akan tetapi utang dengan status di tangan (dapat ditarik akapanpun juga sesuai dengan
permintaan); dan lembaga keuangan terikat untuk mengikuti aturan dan arahan dari pengawas keuangan
negara untuk wajib menyerahkan uang nasabah atau membayar cek atas namanya dalam kondisi apapun.
mudharat, seperti : hibah atau memberikan piutang –kecuali bila ada izin dari
anggota syirkah yang lain-, atau dalam jumlah uang yang sedikit dan tempo
yang singkat menurut kebiasaan138.
3.1.3.2. Boleh -menurut kesepakatan para anggota- menyerahkan manajemen syirkah
kepada sebagian anggota –satu atau lebih-, dan anggota yang lain harus
mengikuti apa yang telah mereka sepakati yaitu tidak ada yang boleh ikut
mengelola kecuali anggota yang sudah ditunjuk.
3.1.3.3. Boleh mengangkat direktur syirkah selain dari anggota syirkah dengan upah
yang ditentukan, dan dimasukkan ke dalam biaya pengelolaan syirkah. Boleh
juga memberikan nisbah dari keuntungan syirkah yang didapat sebagai bonus
agar ia termotivasi. Adapun jika direktur tersebut meminta gaji dalam bentuk
nisbah dari keuntungan maka statusnya adalah sebagai mudharib dan
mendapatkan persentase dari keuntungan -jika ada-. Akan tetapi, pada waktu
yang sama ia tidak berhak menerima gaji lagi tas pekerjaannya.
3.1.3.4. Dalam akad syirkah tidak boleh membuat ketentuan bahwa anggota syirkah
yang dibantukan untuk mengelola manajemen syirkah atau sebagai bendahara
mendapat gaji dalam jumlah tertentu139, akan tetapi upahnya diambilkan dari
laba bersih syirkah dengan menambah persentase laba yang menjadi haknya.
3.1.3.5. Anggota syirkah yang diperbantukan untuk mengelola -seperti yang disebutkan
dalam pasal (4.3.1.3)- boleh menerima gaji dalam jumlah uang yang ditentukan
jika akadnya dibuat terpisah dari akad syirkah. Dan dia dapat dinonaktifkan dari
jabatannya dalam manajemen syirkah tanpa harus mengubah akad syirkah140.
3.1.4. Jaminan-jaminan dalam syirkah
3.1.4.1. Kewenangan anggota syirkah atas harta syirkah statusnya adalah amanah, maka
anggota syirkah tidak dituntut menanggung kerugian harta syirkah kecuali jika
ada tindakan diluar ketentuan atau kelalaian. Dan tidak boleh ada persyaratan
bahwa salah seorang anggota menanggung kerugian atas modal syarik yang
lain141.

138
Dasar dibolehkannya hak mengelola diberikan kepada setiap syarik dalam harta syirkah adalah karena
syirkah dibangun atas wakalah dan amanah, maka tujuan dari wakalah adalah hak mengelola hal-hal yang
dapat mendatangkan mashlahat bagi syirkah, dan tujuan dari amanah adalah tidak mengelola kecuali yang
mendatangkan manfaat. Lihat : Al Mughni (7/128).
139
Dasar tidak dibolehkannya menentukan gaji dengan jumlah tertentu bagi anggota syirkah yang membantu
menajemen syirkah adalah karena hal tersebut terkadang menyebabkan modal yang disetor oleh anggota
tersebut menjadi terjamin sebanyak gaji yang diterimanya dan dia tidak mengalami kerugian sejumlah itu
manakala terjadi kerugian dalam usaha syirkah tersebut.
140
Dasar dibolehkannya hal ini, karena status anggota syirkah yang diperbantukan ini tidak lagi sebagai
anggota syirkah akan tetapi sebagai orang gajian (pegawai).
141
Dasar tidak dibolehkannya memberikan jaminan modal kepada anggota syirkah kecuali bila ada tindakan
melampaui batas dan begitu juga tidak dibolehkan mensyaratkan jaminan modal kepada siapa saja dari
anggota syirkah adalah karena syirkah berdiri di atas amanah, dan tidak sah menjamin amanah.
3.1.4.2. Salah satu anggota syirkah boleh mensyaratkan agar anggota yang lain untuk
memberikan orang penjamin atau barang agunan, sebagai jaminan atas tindakan
anggota syirkah pemberi jaminan yang diluar ketentuan atau kelalaian142.
3.1.4.3. Pihak ketiga -yang tidak ada hubungan dengan anggota yang lain- boleh
mengadakan perjanjian akan menanggung kerugian143, dengan syarat bahwa
perjanjian tersebut -yang mengikat dan terpisah dari akad musyarakah- tanpa
imbalan. Dan dengan syarat bahwa pihak ketiga -yang memberikan jaminan-
tidak sebagai pihak yang memiliki 1/2 atau lebih harta pihak yang dijamin144.
Oleh sebab itu anggota syirkah yang mendapat jaminan modal atas kerugian dari
pihak ketiga tidak berhak menolak dan membatalkan syirkah atau tidak
melanjutkan konsekuensi syirkahnya dengan anggota lain dengan alasan bahwa
pihak ketiga yang menjamin tidak memenuhi janjinya.
3.1.5. Konsekuensi Syirkah (Untung dan Rugi).
3.1.5.1. Dalam akad Syirkah wajib dicantumkan teknis pembagian keuntungan diantara
para anggota. Dan penentuan besarnya laba hendaknya dengan nisbah syai’ah
(persentase) dari keuntungan, dan bukan dengan jumlah uang tertentu atau
jumlah uang tertentu persentase dari modal145. Lihat pasal (3.1.5.9).
3.1.5.2. Tidak boleh menunda penentuan nisbah (bagi hasil) keuntungan kepada pihak
Syirkah sampai keuntungan diperoleh, bahkan wajib ditentukan ketika akad
Syirkah berlangsung. Dan tidak ada halangan membuat perubahan kesepakatan
ketika pembagian laba atau salah satu anggota menghibahkan sebagian laba
yang menjadi haknya kepada anggota yang lain146.

142
Dasar dibolehkan salah satu anggota syirkah mensyaratkan kepada pihak lain untuk menyerahkan kafiil
atau barang gadai untuk menjamin dari tindakan melampaui batas dan yang semisalnya adalah karena
syarat ini tidak berseberangan dengan tujuan dari kaidah syirkah, pada dasarnya dalam akad dan
musyarakah adalah menjaga syarat-syarat yang ada semampunya. Lihat : Fatwa Nadwa Barkah ke-1 (1/5)
th. 1403 H.
143
Dasar dibolehkan mengikat perjanjian dengan pihak ketiga -secara terpisah- sebagai penjamin dana kepada
mitra syirkah untuk menanggung kerugian… : adalah karena hal tersebut murni berdiri di atas tabarru’
(hibah), dan karena hal tersebut merupakan kewajiban yang terpisah dari akad syirkah. Artinya apa yang
dilaksanakan oleh pihak ketiga ini; (dalam menunaikan janjinya) bukanlah bagian dari syarat pelaksanaan
akad syirkah. Dan juga tidak membawa pengaruh negative terhadap pokok-pokok syari’at yang telah
ditetapkan yaitu tidak menjamin modal atau keuntungan syirkah. Majma’ Al Fiqh Al Islamiy Ad Duwaliy
telah mengeluarkan keputusan mengenai hal ini (Kep. No. 30-5/4)
144
Dasar disyaratkan tidak ada kepemilikan perusahaan penjamin terhadap yang dijamin atau kebalikannya
adalah karena jika ada kepemilikan maka hal tersebut termasuk jaminan anggota syirkah terhadap anggota
syirkah yang lain.
145
Dasar tidak dibolehkan adanya kesepakatan untuk membatasi keuntungan dengan sejumlah uang tetap
atau dengan persen dari modal adalah karena hal tersebut bisa menyebabkan putusnya keikutsertaaan
dalam keuntungan dan karena tidak ada keuntungan kecuali setelah modal dikeluarkan.
146
Dasar tidak dibolehkannya menunda-nunda penentuan nisbah keuntungan bagi mitra syirkah sampai
keuntungan diperoleh adalah karena ada unsur ketidak-jelasan yang membawa perselisihan. Adapun
kesepakatan untuk perubahan nisbah keuntungan ketika pembagian deviden, atau penurunan, maka hal
tersebut merupakan hak mitra syirkah agar tidak membuat pertengkaran diantara mereka, maka hal ini
diperbolehkan.
3.1.5.3. Pada dasarnya persentase pembagian keuntungan disesuaikan dengan persen
saham di modal, namun dibolehkan para anggota syirkah membuat kesepakatan
penetapan persen yang berbeda dengan persen saham modal masing-masing147,
akan tetapi tidak boleh memberikan persen yang lebih besar kepada anggota
yang mensyaratkan dirinya tidak akan bekerja dalam usaha syirkah. Adapun
anggota yang mensyaratkan untuk berkerja maka boleh baginya syarat tambahan
persen walaupun dia tidak bekerja.
3.1.5.4. Harus ada kecocokan antara nisbah kerugian dengan nisbah saham di modal.
Salah seorang anggota tidak boleh menanggung seluruh kerugian, atau
menanggung porsi kerugian yang berbeda dari saham yang ia miliki148. Namun
bila kerugian terjadi lalu salah seorang anggota ingin menanggungnya tanpa ada
syarat sebelumnya, maka hal ini tidak mengapa.
3.1.5.5. Dibolehkan adanya kesepakatan -apapun- mengenai teknis pembagian
keuntungan baik bersifat permanen atau temporer, dalam beberapa periode
waktu; seperti dengan nisbah begini yang pertama dan begini yang kedua
mengikuti perbedaan periode, atau menurut besarnya keuntungan bersih149.
Dengan syarat tidak sampai memutus perserikatan salah satu anggota dalam
keuntungan.
3.1.5.6. Tidak boleh membagi keuntungan kepada anggota syirkah secara final kecuali
setelah dipotong dengan pengeluaran, biaya, upah, pajak dan pada waktu yang
memungkinkan para anggota menarik kembali modalnya150.
3.1.5.7. Syarat-syarat syirkah atau asas pembagian dividen tidak boleh mencakup
kewajiban atau syarat yang membawa kepada kemungkinan pemutusan serikat
dalam pembagian keuntungan, jika hal itu terjadi maka akad secara otomatis
batal.

147
Dasar dibolehkannya menjadikan nisbah keuntungan -yang telah disepakati- sama dengan nisbah saham di
modal atau berbeda … adalah karena keuntungan yang akan dicapai bisa dengan sebab harta atau dengan
sebab kerja atau sebab jaminan. Bila salah satu dari ketiga hal ini tercapai, maka tidak ada halangan untuk
bersepakat dalam menetapkan nisbah keuntungan -tergantung ridha para anggota syirkah-. Ini merupakan
madzhab Hanafiyah dan Hanabilah. Lihat : Al Hidayah Syarh Bidayah (3/ 7 & 8), Badai’ Ash Shanai’ (6/ 62 &
63) dan Al Mubdi’ (5/4).
148
Dasar tidak dibolehkannya untuk bersepakat bahwa salah satu anggota menanggung kerugian atau
menanggungnya dengan nisbah yang berbeda satu sama lain dari saham-saham yang dimiliki (kerugian
tidak dibagi rata) adalah atsar yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu anhu : “Keuntungan itu adalah apa
yang telah disepakati bersama para aanggota syirkah dan kerugian itu dibebankan kepada anggota sesuai
edngan ukuran modal”. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Mushannafnya. Dan karena
membebankan kerugian kepada salah satu pihak merupakan syarat batil karena mengandung unsur
kezhaliman dan memakan harta yang bukan haknya.
149
Dasar dibolehkan untuk bersepakat atas cara apa saja untuk menentukan pembagian deviden baik yang
permanen atau temporer tergantung perubahan zaman adalah karena kesepakatan ini terikat pada hal-hal
yang tidak menyalahi dhawabith syar’i (ketentuan-ketentuan syari’at) yang telah ditetapkan, dan ia adalah
tidak memutuskan keikutsertaan salah satu pihak dalam pembagian keuntungan.
150
Dasar tidak dibolehkannya pembagian deviden kepada anggota syirkah dengan cara keseluruhannya
sebelum dipotong dengan biaya pengeluaran dan pengelolaan adalah karena tidak ada keuntungan kecuali
setelah modal dikembalikan penuh.
3.1.5.8. Tidak boleh salah satu anggota syirkah mensyaratkan laba dalam nominal
tertentu dari keuntungan atau nisbah dari modal151.
3.1.5.9. Dengan memperhatikan pasal (3.1.5.3) maka boleh membuat kesepakatan; yaitu
jika keuntungan bertambah dari nisbah tertentu, maka salah satu anggota syirkah
bisa mendapatkan keuntungan lebih dari nisbah yang telah ditentukan. Jika
keuntungan dengan nisbah tersebut atau lebih kecil maka pembagian
keuntungan berdasarkan kesepakatan semula152.
3.1.5.10. Pembagian dividen sepenuhnya harus berdasarkan harga riil penjualan aset
syirkah yang ada, hal ini dikenal dengan tandhidh hakiki, dan dibolehkan
membagi dividen berdasarkan tandhidh hukmiy153 yaitu ditaksir semua aset
dengan nilai yang adil. Dan diperkirakan tanggungan hutang dengan nilai uang
yang yakin diperoleh, yakni setelah dipotong piutang yang ragu diperoleh. Dan
tidak dimasukkan dalam perkiraan piutang yaitu bunga keterlambatan, dan tidak
dipotong berdasarkan waktu pelunasan piutang yang lebih cepat dari temponya.
3.1.5.11. Tidak boleh membagi dividen secara keseluruhan berdasarkan atas keuntungan
yang diperkirakan akan diperoleh, akan tetapi berdasarkan atas keuntungan yang
sudah diterima menurut tandhidh haqiqiy atau hukmiy.
3.1.5.12. Uang boleh dibagi dengan syarat akan diperhitungkan kembali sebelum
tandhidh haqiqiy atau hukmiy, syarat ini berarti bahwa semua anggota benar-
benar berkomitmen untuk mengembalikan kembali kelebihan dari haknya
setelah tandidh haqiqiy atau hukmiy154.
3.1.5.13. Jika aobjek usaha Syirkah bersifat jasa barang -yang hasilnya sudah diterima-,
atau jasa orang -yang hasilnya sudah diperoleh-, maka bagian yang dibagikan
kepada anggota syirkah secara berkala dianggap sebagai pembagian keuntungan
dan harus dihitung ulang pada saat likuidasi155.

151
Dasar tidak dibolehkannya untuk mensyaratkan jumlah uang tertentu kepada salah satu anggota syirkah
adalah karena hal itu berakibat kepada pemutusan keikutsertaan salah satu pihak dalam pembagian laba.
152
Dasar dibolehkannya untuk bersepakat jika keuntungan bertambah dari nisbah tertentu maka dikhususkan
salah satu pihak untuk mendapatkan keuntungan –nisbah tersebut- adalah karena syarat ini termasuk
syarat yang dibolehkan dalam syari’at, dan tidak berakibat kemungkinan hilangnya keikutsertaan salah satu
pihak mendapatkan keuntungan. Lihat : Al Bahr Az Zakhkhar (5/83).
153
Dasar dibolehkannya pembagian dividen atas dasar tandidh hukmiy adalah karena adanya ketetapan
dibolehkannya beramal atas dasar taqwiim (penilaian) dalam syari’at (lihat : Keputusan Ke-4, Rabithah
‘Alam Al Islamiy dalam Daurah yang ke-16 di Makkah Al Mukarramah, tanggal 21 s/d 26 Syawwal 1422 H,
dan Majma’ Al Fiqh Al Islamiy Ad Duwaliy No.30 : 5/4 dan Fatwa No. 8/2 dari Fatwa Simposium Al Barakah
yang ke-8) dan sudah banyak diterapkan, diantaranya zakat dan pencurian, Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda : “Barangsiapa yang memerdekakan budak bagiannya (yang dimiliki secara bersama),
maka ia harus memerdekakan dengan hartanya jika ia memiliki harta, jika ia tidak memiliki harta (untuk
menebus bagian partnernya) maka budak tersebut dinilai dengan harga yang adil”, (HR. Muslim).
154
Dasar dibolehkannya membagi sejumlah uang, sebelum tandhidh haqiqiy atau hukmiy, dengan syarat
benar-benar berkomitmen untuk mengembalikan tambahan adalah karena tidak ada mudharat bagi para
anggota syirkah selama uang ini nantinya akan dihitung kembali.
155
Dasar dibolehkannya pembagian hasil syirkah yang objeknya adalah jasa sebelum tandhidh adalah karena
pembagian ini dihitung ulang di akhir dan tidak ada mudharat dalam hal itu.
3.1.5.14. Boleh menetapkan –dengan perpedoman kepada aturan syirkah atau ketetapan
dari para anggota syirkah- untuk menyimpan keuntungan syirkah tanpa dibagi,
atau tanpa memotong nisbah tertentu dari keuntungan secara berkala dengan
tujuan meperkuat modal serikat, atau sebagai langkah persiapan untuk
menghadapi kekurangan modal, atau untuk penyesuaian dalam pembagian
dividen.
3.1.5.15. Boleh bersepakat untuk mengkhusukan nisbah dari keuntungan yang diberikan
kepada orang lain selain para angota syirkah, atas dasar tabarru’ (bantuan).
3.1.6. Berakhirnya Syirkah.
3.1.6.1. Bagi setiap anggota syirkah berhak untuk fasakh (mengundurkan diri dari
Syirkah) dengan sepengetahuan anggota syirkah yang lain, dan sahamnya ditarik
dari syirkah, namun hal ini tidak membuat keanggotaan yang lain batal. Dan
boleh juga membuat perjanjian sesama anggota syirkah untuk tidak keluar dari
Syirkah dalam masa yang ditentukan. Dalam kondisi ini dibolehkan juga untuk
mengakhiri syirkah sebelum habis masanya atas dasar kesepakatan bersama.
Dalam kondisi apapun fasakh (mengundurkan diri dari Syirkah) tidak membawa
pengaruh terhadap pengelolaan yang telah berjalan sebelumnya156, ini berlaku
untuk seluruh bentuk syirkah selain Musahimah (Tbk).
3.1.6.2. Salah satu anggota syirkah boleh berjanji yang bersifat mengikat untuk membeli
seluruh aset syirkah pada masa berjalannya syirkah atau ketika terjadi likuidasi
dengan harga pasar atau berdasarkan harga yang disepakati oleh para pembeli
(lelang)157. Tidak boleh ada perjanjian untuk membeli aset dengan nilai nominal
(nilai sertifikat saham)158.
3.1.6.3. Syirkah berakhir dengan berakhirnya masa syirkah atau sebelum itu,
berdasarkan kesepakatan para anggota syirkah atau dengan tandhidh haqiqiy
(likuidasi) terhadap aset syirkah dan dalam kondisi melakukan kerjasama
dengan bentuk tertentu. Syirkah berakhir juga dengan tandhidh hukmiy, dan
dianggap berakhir jika syirkah yang berdiri sudah berakhir dan dimulai dengan
syirkah yang baru, dimana objek syirkah yang telah terjual dengan tandhidh
haqiqiy dan penaksiran nilai aset dengan tandidh hukmiy, kemudian hasil
likuidasi ini dijadikan modal untuk syirkah baru. Dan jika tashfiyah (clearing)
itu dengan berakhirnya masa, maka penjualan aset syirkah dengan harga yang
ada di pasar dan hasil tashfiyah (kliring) syirkah digunakan untuk hal berikut :

156
Dasar tidak adanya pengaruh dari pembatalan syirkah atas pengelolaan yang berjalan sebelumnya adalah
karena mudharat sudah tertutup dari mitra syirkah yang lain.
157
Dasar dibolehkannya mengadakan perjanjian untuk membeli aset dengan harga pasar adalah karena hal
tersebut tidak ada jaminan antara para anggota syirkah.
158
Dasar tidak dibolehkan adanya perjanjian yang mengikat dari salah satu pihak syirkah untuk membeli aset
syirkah dengan harga nominal adalah karena hal tersebut sama dengan jaminan terhadap modal, dan ini
terlarang dalam syari’at Islam.
1) Pembayaran biaya penyelesain.
2) Pelunasan kewajiban harta terhadap pihak lain dari keseluruhan aset syirkah.
3) Membagi sisa aset syirkah kepada para anggota syirkah dengan rasio saham
masing-masing yang ada di dalam modal, dan jika aset syirkah tidak cukup
untuk mengembalikan modal, maka dibagi menurut nisbah.
3.2. Syirkah Wujuh
3.2.1. Syirkah Wujuh adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang berserikat
dalam membeli objek secara tidak tunai, dan berkomitmen -dengan jaminan-
untuk melunasinya berdasarkan nisbah yang ditentukan oleh para anggota syirkah.
Dan juga menentukan nisbah keuntungan dengan bentuk yang sama atau tidak,
dengan nisbah yang ditentukan sebagai jaminan pelunasan atau tidak sama.
3.2.2. Di dalam syirkah wujuh ini tidak ada modal uang, karena objek perkongsian disini
adalah komitmen dalam tanggungan kewajiban, yakni jaminan yang dibangun –
biasanya- di atas nama baik, dan ia merupakan jaminan syirkah untuk melunasi
hutang yang timbul akibat pembelian tidak tunai dalam tanggung jawab para
syirkah. Wajib ada kesepakatan atas nisbah tanggungan yang dibebankan kepada
setiap anggota dalam melunasi hutang.
3.2.3. Pembagian deviden tergantung kesepakatan, adapun kerugian maka dibebankan
(kepada anggota syirkah) tergantung nisbah yang diwajibkan kepada anggota
dalam tanggungannya –dari harga objek yang dibeli secara tidak tunai-. Dan tidak
boleh mensyaratkan sejumlah uang tetap dari keuntungan untuk salah satu
anggota.
3.3. Syirkah A’mal (profesi)
3.3.1. Syirkah A’mal yaitu kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk menerima
pekerjaan fisik atau fikiran lalu mengerjakan kegiatan produksi atau jasa
pelayanan atau jasa konsultasi disertai dengan penentuan nisbah keuntungan
sesama mereka berdasarkan kesepakatan.
3.3.2. Dalam Syirkah A’mal tidak ada modal uang, karena objek kerjasama disini adalah
pekerjaan atau menerima pekerjaan. Tidak mengapa jika ada perbedaan beban
yang dikerjakan tiap-tiap pihak atau orang yang menggantikan mereka, atau
pembagian jenis pekerjaan yang berbeda-beda diantara mereka sehingga tugas
yang diterima dapat dilakukan dengan sempurna.
3.3.3. Pembagian deviden antara anggota syirkah tergantung dari kesepakatan. Dan tidak
boleh mensyaratkan sejumlah uang tetap dari keuntungan tersebut.
3.3.4. Jika Syirkah A’mal mengharuskan tersedianya aset yang tetap (seperti peralatan
berat dan ringan) maka setiap anggota boleh mengadakan sendiri peralatan yang
dibutuhkannya dengan status barang tersebut adalah miliknya, atau peralatan
tersebut dibeli dari harta syirkah, maka menjadi milik syirkah. Dan dibolehkan
juga bagi tiap-tiap anggota syirkah menyediakan peralatan lalu menyewakannya
dengan upah yang dimasukkan sebagai biaya operasional syirkah.
4. Bagian Kedua : Syirkah Modern159.
4.1. Syirkah Musahimah.
4.1.1. Defenisi Syirkah Musahimah
4.1.1.1. Syirkah Musahimah adalah syirkah yang modalnya terbagi menjadi beberapa
saham dengan nilai yang sama, yang dapat dipindah-tangankan di pasar
sekunder. Setiap anggota syirkah tidak bertanggung jawab kecuali sebesar
sahamnya yang tercatat di modal, dan ini termasuk Syirkah Amwal. Hukum
Syirkah ‘Inan diterapkan dalam syirkah ini kecuali yang berhubungan dengan
tanggung jawab para anggota dan ketidak-mungkinan pembatalan syirkah dari
salah satu anggota syirkah, (lihat : Pasal 4.1.2.1 dan pasal 4.1.2.9).
4.1.1.2. Syirkah Musahimah memiliki status hukum dari pengumuman status hukum
yang dimilikinya, dimana tidak ada unsur penipuan untuk setiap pihak yang
bertransaksi dengannya, dan konsekuensi hal tersebut terjadinya pemisahan
tanggungan harta syirkah dengan tanggungan harta para anggota Syirkah
Musahimah. Dan status hukum yang dimiliki oleh syirkah ini sebatas yang
diatur dalam perundang-undangan sekalipun sebagian anggotanya tidak
memenuhi status hukum. Syirkah ini memiliki hak hukum di pengadilan melalui
divisinya. Dan status hukum ini tergantung di negara mana syirkah tersebut
didaftarkan.
4.1.2. Hukum-hukum syar’i Syirkah Musahimah.
4.1.2.1. Akad Syirkah Musahimah bersifat mengikat dalam masa yang ditentukan
berdasarkan perjanjian yang sudah diatur Syirkah yang tidak dapat dicabut
kecuali dengan kesepakatan mayoritas anggota syirkah. Maka salah seorang
anggota syirkah tidak berhak melakukan pemutusan syirkah (fasakh) dengan
saham yang ia miliki. Namun, ia berhak menjual saham-sahamnya di pasar
sekunder atau melepasnya kepada anggota yang lain.
4.1.2.2. Boleh menambahkan nisbah tertentu ke dalam nilai saham ketika Initial Public
Offering IPO (penawaran umum perdana), untuk menutup biaya penerbitan
saham selama nisbah tersebut jelas besarannya.
4.1.2.3. Saham-saham baru boleh diterbitkan untuk menambah modal syirkah jika
syirkah mengeluarkan saham dengan nilai yang seimbang dengan nilai saham
sebelumnya menurut taksiran para ahli yang berpengalaman terhadap aset

159
Pensyari’atan syirkah-syirkah modern ini kembali kepada apa yang ditetapkan dalam syari’at bahwa hukum
asal dalam mu’amalat adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, apalagi syirkah-syirkah
modern ini kembali –dari sisi teknis fiqh- kepada salah satu atau lebih dari syirkah yang yang diolehkan
dalam syari’at seperti ‘Inan, Mudharabah dan lainnya. Lihat : Keputusan Majma’ Fiqh Islamiy Ad Dauliy No.
30-5/4 dan Keputusan Majma’ Fiqh Islamiy Rabithah ‘Alam Islamiy - Simposium ke- 16.
syirkah, yakni kenaikan atau penurunannya sesuai, atau sesuai dengan nilai
pasar.
4.1.2.4. Menjamin penerbitan (saham) boleh jika tanpa imbalan dari penjaminan
tersebut160, yaitu kesepakatan ketika membentuk syirkah dengan pihak yang
akan membeli semua saham yang diterbitkan atau sebagian, yaitu perjanjian dari
pihak tersebut untuk membeli dengan nilai nominal saham yang tersisa yang
tidak ada pembelinya. Namun boleh menerima komisi atas jasanya selain
penjaminan seperti komisi studi kelayakan atau komisi marketing.
4.1.2.5. Nilai saham boleh dicicil ketika IPO dengan membayar tunai sebagian cicilan
dan sisa cicilan akan dilunasi nanti, maka pembeli dianggap berserikat sebesar
uang tunai cicilan yang dibayarnya, dan bertanggung jawab akan menambah
modal syirkah dengan sisa cicilannya. Dengan syarat, cicilan mencakup semua
nilai saham. Dan tanggung jawab syirkah tinggal dengan nilai saham yang telah
terjual.
4.1.2.6. Membeli saham tidak boleh dengan pinjaman ribawi kepada pialang atau pihak
manapun dengan mengagunkan saham saham yang telah dibeli161.
4.1.2.7. Tidak boleh menjual saham yang tidak dimiliki penjual162, dan janji broker
untuk menghutangkannya saham pada waktu penyerahan tidak berpengaruh
akan pelarangan jual saham yang belum dimiliki. Apalagi jika broker
mensyaratkan agar uang diserahkan di muka dan ia bisa mengambil bunga
dengan mendepositokannya dan ia mendapatkan imbalan dari piutangnya.
4.1.2.8. Lembaga resmi negara yang terkait dalam hal ini boleh membuat peraturan
bahwa penjual-belian saham tidak dapat dilakukan kecuali melalui perantara
resmi berlisensi khusus, agar tercapai maslahat program ini.
4.1.2.9. Boleh membatasi tanggung-jawab syirkah sebatas modalnya, bila telah
diumumkan kepada publik, dimana setiap pihak yang bertransaksi dengan
perusahaan tersebut mengetahuinya. Dan unsur penipuan pun dapat dihindari.
4.1.2.10. Saham boleh dijual dengan memperhatikan ketentuan yang ditetapkan dalam
aturan perusahaan dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, seperti
prioritas para pemegang saham untutk membeli saham yang dpindah-tangankan.

160
Dasar dibolehkan adanya jaminan penerbitan tanpa ada imbalan adalah karena hal itu hanyalah komitmen
saja dan tidak menyebabkan hal yang diharamkan, yakni mengambil imbalan dari akad penjaminan.
Majma’ Fiqh Islamiy Ad Dauliy telah mengeluarkan keputusan mengenai hal ini (No. 63-1/7).
161
Dasar tidak dibolehkannya membeli saham dengan pinjaman ribawi dari para broker atau lainnya, dengan
menggadai saham sebagai jaminan adalah karena hal ini termasuk praktek riba dan menjaminkan saham
sebagai barang gadai. Keduanya termasuk amalan yang diharamkan dalam nash (Al Qur’an dan As Sunnah)
yang melaknat pemakan riba, yang mewakilkan, yang menulis dan yang menjadi saksi riba. Lihat:
Keputusan yang dikeluarkan Majma’ Fiqh Islamiy Ad Dauliy No. 63-1/7.
162
Dasar tidak dibolehkannya menjual saham yang tidak dimiliki… adalah karena hal itu mengakibatkan
menjual barang yang tidak dalam jaminan penjual dan tidak dimilikinya, dan ini dilarang oleh syari’at.
4.1.2.11. Boleh menggadaikan saham, selama aturan syirkah tidak melarang para
pemegang saham untuk menggadaikan sahamnya yang ada di syirkah163.
4.1.2.12. Saham lil Amr dibolehkan 164.
4.1.2.13. Saham li Hamilihi (Saham atas Unjuk/ Bearer Stock) dibolehkan165. Yaitu
dengan menyerahkan sertifikat yang mewakili kepemilikan aset dan penerimaan
uang atau sertifikat. Pemegang sertifikat saham selamanya adalah pemilik
perusahaan sebesar rasionya.
4.1.2.14. Tidak boleh menerbitkan saham istimewa (preferred stock)166 dimana memiliki
keistimewaan berupa prioritas dalam pembagian asset ketika dilikuidisi atau
ketika pembagian deviden. Boleh memberikan keistimewaan dalam bentuk
administrasi kepada sebagian saham, atau hak suara yang lebih banyak.
4.1.2.15. Tidak boleh menerbitkan saham tamatu’167, yaitu saham yang ditutup secara
bertahap selama pembagian keuntungan, hal ini menyebabkan pengembalian
modal kepada pemegang bersaham sebelum masa syirkah berakhir.
4.2. Syirkah Tadhamun (Solidarity Company)
4.2.1. Defenisi Syirkah Tadhamun
4.2.1.1. Syirkah Tadhamun termasuk Syirkah Asykhash (usaha perorangan); dan harus
diperkenalkan dengan nama khusus.
4.2.1.2. Syirkah Tadhamun memiliki tanggungan kewajiban harta terpisah dari
tanggungan kewajiban harta para anggota syirkah. Walaupun begitu para anggota
syirkah tetap bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban syirkah secara pribadi
pribadi terhadap harta mereka jika harta syirkah tidak mencukupi membayar
kewajiban-kewajiban yang ada ke pihak lain.

163
Dasar dibolehkannya menggadai saham adalah karena gadai disyari’atkan, dan apa saja yang boleh dijual
maka boleh juga digadai. Selama tidak ada aturan dari syirkah yang melarang hal tersebut, karena syarat
haruslah dipenuhi.
164
Dasar dibolehkannya saham li amr adalah karena ini termasuk jenis dari perpindahtanganan saham kepada
pemegang saham yang lain atas dasar keridhaan dari pemilik-pemilik saham lain yang memang telah
menerima aturan syirkah. Lihat : Keputusan Majma’ Fiqh Islamiy Ad Dauliy No. 62 (1/7).
165
Dasar dibolehkan saham li hamilihi (Saham atas Unjuk) adalah karena ini termasuk menjual saham kepada
pemilik saham lain dengan ridha seluruh pemilik saham yang menerima aturan syirkah. Ketidak-tahuan
disini diganti dengan pengetahuan ketika ada hajat untuk mengetahui pemegang saham. Lihat : Keputusan
Majma’ Fiqh Islamiy Ad Dauliy No. 63 (1/7)
166
Dasar tidak dibolehkannya menerbitkan saham istimewa (preferred stock) adalah karena hal tersebut
menyebabkan pemutusan keikutsertaan dalam keuntungan, dan menyebabkan terjadinya kezhaliman
kepada para anggota syirkah yang lain. Lihat : Keputusan Majma Fiqh Ad Duwaliy No. 63 (1/7).
167
Dasar tidak dibolehkannya menerbitkan saham tamatttu’ adalah karena apa yang diambil oleh pemegang
saham ini pada hakikatnya hak mereka -dari keuntungan-, karena itu bentuk penyelesaian kepemilikan
hanyalah sebatas di atas kertas. Karena itu, kepemilikan pemegang saham tersebut terhadap aset
perusahaan masih berlangsung dan ketika terjadi likuidasi mereka juga masih mendapat hak. Lihat :
Keputusan Majma’ Fiqh Islamiy Ad Dauliy No. 63 (1/7).
4.2.1.3. Para anggota dalam Syirkah Tadhamun wajib mengatur buku perniagaan usaha
mereka yang ada diluar syirkah, selain buku syirkah.
4.2.2. Hukum-hukum syari’at mengenai Syirkah Tadhamun.
4.2.2.1. Pihak yang memiliki piutang kepada Syirkah Tadhamun berhak
menuntut/memanggil siapa saja dari anggota syirkah; semua atau sebagian
mereka tergantung keinginannya168. Dan pihak tersebut tidak mesti harus
menuntut syirkah dahulu sebelum para anggotanya.
4.2.2.2. Akad Syirkah Tadhamun tidaklah mengikat, dan anggota syirkah berhak
mengundurkan diri dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Tidak ada kesepakatan sebelumnya dengan para anggota syirkah dalam
pembatasan masa syirkah, jika ada maka mereka wajib mentaatinya.
b. Pemberitahuan kepada anggota yang lain perihal keinginannya untuk
mengundurkan diri.
c. Pengunduran dirinya tidak membawa mudharat bagi anggota yang lain.
4.3. Syirkah Taushiyah Basithah (Limited Partnership Coorporation/ CV)
4.3.1. Defenisi Syirkah Taushiyah Basithah
4.3.1.1. Syirkah Taushiyah Basithah termasuk Syirkah Asykhash (usaha perorangan);
karena pribadi anggota syirkah yang ikut sangat berperan dalam syirkah, dari
sisi kepercayaan anggota syirkah (sekutu pasif) yang memberikan perintah
kepadanya. Dan karena ada tata cara yang berbeda dalam penentuan persentase
kepemilikan para mitra syirkah dimana harus diukur dengan saham –dan ia
bertingkat-tingkat- dan tidak diukur dengan saham yang nilainya sama.
4.3.1.2. Syirkah Taushiyah Basithah merupakan gabungan para anggota Syirkah yang
ikut bertanggung jawab terhadap kewajiban syirkah atas harta mereka sendiri
dan harta yang lain (yang disebut juga dengan sekutu aktif), dan anggota Syirkah
yang memberikan perintah yang mana tanggung jawabnya terbatas dari saham
yang dimilikinya -dalam syirkah- dan tidak bertanggung jawab atas beban
syirkah dengan harta pribadinya. Tanggung jawab sebagian pemegang saham
boleh dibatasi tanpa kompensasi atas batasan tersebut. Maka di dalam syirkah
ada mitra syirkah mutadhamin (sekutu aktif) dan mitra syirkah yang terbatas
tanggung jawabnya169. (lihat : pasal 4.1.2.9).

168
Dasar sahnya kewajiban para anggota syirkah tadhamun dengan tanggung jawabnya adalah karena
jaminan antara para anggota syirkah dalam kondisi ini tunduk kepada akad kafalah, dan izin setiap anggota
untuk mengelola tunduk kepada akad wakalah, sebagaimana halnya yang ada dalam syirkah mufawadhah
yang dibangun diatas kafalah dan wakalah.
169
Dasar pembatasan tanggung jawab para anggota syirkah pasif dalam sirkah taushiyah basithah(CV) dengan
saham yang mereka miliki adalah karena sama dengan pemilik harta dalam mudharabah.
4.3.1.3. Para anggota pasif tidak boleh ikut campur dalam masalah pelaksanaan
syirkah170. Dan pada umumnya nama mereka tidak dicantumkan dalam aturan
(AD/ART) ketika memperkenalkan syirkah. Akan tetapi cukup disebutkan
jumlah saham sekutu pasif.
4.3.1.4. Otoritas urusan administrasi syirkah taushiyah basithah (CV) diserahkan kepada
salah satu syuraka’ mutadhamin (sekutu aktif) atau kepada direktur di luar
anggota syirkah. Dan syuraka’ mushin (sekutu pasif) tidak berhak mengelola
urusan administrasi.
4.3.2. Hukum-hukum syar’i yang berkenaan dengan syirkah taushuiyah basithah
(Commanditaire Vennotschaap)
4.3.2.1. Pembagian dividen tergantung besarnya saham atau berdasarkan kesepakatan.
Adapun kerugian-kerugian yang ada harus ditanggung oleh syuraka’
mutadhamin (sekutu aktif) tanpa melihat saham yang mereka miliki -dalam
modal syirkah-. Adapun syuraka’ mushin (sekutu pasif) maka tidak
menanggung kerugian kecuali sebesar nisbah saham yang mereka miliki -dalam
modal syirkah-.
4.3.2.2. Tidak boleh mensyaratkan dividen dengan nisbah dari modal atau sejumlah
tertentu yang dimiliki syarik mushi (sekutu pasif). (lihat : pasal 3.1.5.8).
4.4. Syirkah Taushiyah Bil Ashum (Stock Limited Partnership Company)
4.4.1. Defenisi Syirkah Taushiyah Bil Ashum (Firma)
Syirkah taushiyah bil ashum termasuk syirkah amwal (firma harta), kontribusi
disini adalah dengan saham yang berukuran yang sama, dan terdiri dari syuraka’
mutadhamin (sekutu aktif) dan syuraka’ mushin (sekutu pasif).
4.4.2. Hukum-hukum syar’i dalam syirkah taushiyah bil ashum.
4.4.2.1. Para anggota aktif dalam syirkah taushiyah bil ashum bertanggung jawab atas
kewajiban syirkah terhadap harta mereka secara pribadi dan secara umum.
Mereka dianggap sebagai mudharib (pengelola), bila dilihat dari tugas mereka
yang bersekutu dengan hartanya. Sedangkan para anggot pasif tanggung jawab
mereka sebesar saham yang mereka miliki dan tidak melampaui batas terhadap
harta pribadi mereka dan mereka dianggap seperti arbab maal (pemilik modal)
dalam mudharabah. Boleh membatasi tanggung jawab sebagian pemilik modal
tanpa imbalan dari pembatasan tersebut. Maka dalam syirkah ada syuraka’
mutadhamin (sekutu aktif) dan syuraka’ (sekutu) yang tanggung jawabnya
dibatasi, (lihat : pasal 4.1.2.9).

170
Dasar tidak dibolehkannya para sekutu pasif ikut campur dalam syirkah basithah atau bil ashum adalah
karena ini sudah menjadi syarat yang diridhai para mitra syirkah dan hal ini tidak bertentangan dengan
tujuan syirkah.
4.4.2.2. Sekutu pasif tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan syirkah, dan biasanya
nama mereka tidak dicantumkan dalam AD/ART ketika memperkenalkan profil
syirkah, cukup menyebutkan jumlah saham dari sekutu pasif.
4.4.2.3. Urusan administrasi syirkah taushiyah bil ashum (Firma) diserahan kepada salah
satu syarik mutadhamin (sekutu aktif) atau direktur selain anggota syirkah. Dan
syarik mushin (sekutu pasif) tidak berhak mengatur urusan administrasi.
4.4.2.4. Pembagian deviden tergantung dari saham. Disamping itu syuraka’ mutadhamin
(sekutu aktif) juga berhak mendapatkan bagian tambahan dengan persen tertentu
sebagai upah atas pekerjaan yang ia lakukan. Adapun kerugian, maka syuraka’
mushin (sekutu pasif) tidak bertanggung jawab kecuali nisbah saham yang
mereka miliki dalam modal syirkah. Yang bertanggung jawab adalah syuraka’
mutadhamin (sekutu aktif) tanpa ada batasan.
4.4.2.5. Tidak boleh mensyaratkan keuntungan dari nisbah modal atau sejumlah uang
tertentu untuk syarik mushi (sekutu pasif).
4.5. Syirkah Muhashah.
4.5.1. Defenisi Syirkah Muhashah.
4.5.1.1. Defenisi syirkah muhashah sama dengan apa yang ada dalam syirkah ‘inan
(lihat : pasal 3.1). Syirkah muhashah itu termasuk ke dalam syirkah asykhash
(person) dengan memperhatikan person syarik dari sisi kemampuan harta dan
tanggung jawabnya terhadap harta mereka pribadi.
4.5.1.2. Dalam syirkah muhashah ini tidak ada status hukum. Karena syirkah ini bersifat
tertutup kepada selain para anggota syirkah, dan tidak ada tanggungan harta
yang terpisah.
4.5.2. Hukum-hukum syar’i mengenai syirkah muhashah.
4.5.2.1. Tidak ada perbedaan antara syirkah muhashah dengan syirkah ‘inan dalam
teknis dan hukumnya (lihat : pasal 3.1)
4.5.2.2. Syuraka’ Mutadhamin (sekutu aktif) adalah orang yang bertanggung jawab atas
kewajiban-kewajiban syirkah muhashah sampai kepada harta mereka yang
khusus.
4.5.2.3. Akad Syirkah Muhashah tidak bersifat mengikat, akan tetapi bila para anggota
bersepakat membatasi masanya, maka mereka wajib mengikuti hal tersebut
(lihat : pasal 4.3.2.2).
4.5.2.4. Salah seorang amggota boleh mengundurkan diri dengan syarat
memberitahukan hal tersebut kepada para anggota syirkah yang lain, dan hal
tersebut tidak menimbulkan mudharat kepada mereka atau orang-orang yang
bertransaksi dengan syirkah171. Persekutuan mereka berakhir sesuai dengan
likuidasi aset yang ada secara hakiki atau hukmiy.
5. Musyarakah Mutanaqishah (MMQ)
5.1. Musyarakah Mutanaqishah adalah ketika salah seorang anggota syirkah berjanji
untuk membeli bagian saham lain dengan dicicil, sampai ia melunasi dan memiliki
bagian saham tersebut. Sesungguhnya pelaksanaan ini termasuk dari syirkah pada
awalnya kemudian berubah menjadi jual-beli antara dua pihak yang bersekutu.
Ketika akad syirkah tidak boleh mensyaratkan adanya jual beli, akan tetapi anggota
syirkah berkomitmen akan hal itu dengan janji yang dibuat terpisah dari syirkah.
Demikan pula halnya dengan jual beli, harus akadnya terpisah dari syirkah, dan
salah seorang dari mereka tidak boleh mensyaratkan yang lainnya untuk jual-beli.
5.2. Hukum-hukum umum syirkah wajib diterapkan dalam musyarakah mutanaqishah
ini, khususnya hukum syirkah ‘inan172. Dan tidak boleh membuat aturan dalam
akad syirkah yang mengatakan bahwasanya salah satu pihak musyarakah akan
diberikan hak pengembalian sahamnya yang ada di modal.
5.3. Tidak boleh membebankan kepada salah satu anggota syirkah untuk bertanggung
jawab terhadap beban jaminan atau pemeliharaan, walaupun dengan alasan bahwa
objek syirkah akan dialihkan kepadanya173.
5.4. Wajib bagi setiap anggota syirkah untuk menyerahkan bagiannya dalam asset
syirkah baik berupa uang atau barang yang telah dinilai terlebih dahulu; seperti :
tanah yang akan dibangun rumah diatasnya, atau peralatan yang dibutuhkan oleh
kegiatan syirkah. Bagian kepemilikan setiap pihak, dijadikan sebagai jaminan jika
terjadi kerugian, dan tanggung jawab selalu diperhitungkan sesuai dengan
pengurangan bagian salah satu pihak dan pertambahan pihak lain.
5.5. Wajib menentukan nisbah yang menjadi hak setiap pihak syirkah (lembaga
keuangan dan nasabah) dalam keuntungan atau pemasukan syirkah. Dan boleh juga
bersepakat -atas nisbah laba- dalam bentuk yang tidak sama dengan nisbah
kepemilikan, dan boleh nisbah keuntungan tersebut stabil walaupun terjadi
perubahan bagian kepemilikan. Kedua pihak boleh bersepakat atas perubahan –
yang terjadi- dengan mengikuti perubahan kepemilikan saham yang tidak

171
Dasar dibolehkannya bagi siapa saja untuk membatalkan syirkah muhashah adalah karena asas dalam
syirkah adalah selama tidak membawa mudharat, seperti yang disebutkan dalam hadits: “Jangan
mendatangkan mudharat terhadap sendiri maupun kepada orang lain”, (HR. Ibn Majah).
172
Dasar perkataan bahwa wajib untuk menerapkan hukum-hukum umum perkongsian dalam musyarakah
mutanaqishah dan secara khusus syirkah ‘inah adalah karena untuk menjaga agar syirkah-syirkah baru ini
tidak sekedar menjadi aktifitas pinjaman hutang dengan cara riba yang mewajibkan nasabah untuk
melunasinya bersama deviden syirkah.
173
Dasar tidak dibolehkannya salah seorang mitra syirkah untuk menanggung premi asuransi atau
pemeliharaan adalah karena syarat ini menghilangkan tujuan dari akad musyarakah. (Lihat : Fatwa Bait
Tamwil Al Kuwaitiy – Fatwa No. 219).
bertentangan dengan kaidah bahwa kerugian akan dibebankan kepada nisbah
kepemilikan saham.
5.6. Tidak boleh mensyaratkan jumlah uang tertentu dari keuntungan yang dibagikan
kepada salah satu anggota syirkah, (Lihat : Pasal 3.1.5.8).
5.7. Salah satu pihak boleh membuat janji yang mengikat, yang dengan janji tersebut ia
berhak untuk memiliki kepemilikan saham pihak lain dengan cara bertahap selama
akad jual pada saat objek dibeli, dan harganya tergantung kepada harga pasar setiap
waktu penjualan, atau dengan nilai yang telah disepakati ketika membeli. Namun
tidak boleh mensyaratkan penjualan dengan harga nominal.
5.8. Boleh mengatur proses kepemilikan saham lembaga keuangan oleh pihak yang
bersekutu dengannya, dalam bentuk apa saja, yang bisa merealisasikan tujuan
kedua pihak. Seperti perjanjian dari pihak sekutu lembaga keuangan dengan
mengkhususkan sahamnya dari keuntungan syirkah atau pengembaliannya (yang
berhak ia miliki) agar diberikan kepada lembaga keuangan agar dia memiliki
bagian saham lembaga keuangan. Atau membagi objek syirkah menjadi beberapa
saham yang bisa diperoleh oleh pihak sekutu lembaga keuangan dengan bilangan
tertentu setiap waktu, sampai ia bisa membeli seluruh saham lembaga keuangan,
maka ia memiliki hak otoritas atas syirkah.
5.9. Setiap anggota syirkah boleh menyewa bagian anggota yang lain dengan upah yang
tertentu dalam tempo tertentu, dan setiap pihak tetap bertanggung jawab atas
pemeliharaan objek syirkah sebesar sahamnya pada setiap waktu.

Sukuk Syirkah
Yaitu surat berharga musyarakah yang merepresentasikan proyek-proyek atau
kegiatan-kegiatan yang dikelola berdasarkan akad syirkah dengan menunjuk salah
satu anggota atau lainnya sebagai pengelola.
Mudharabah174
1. Cakupan Mikyar.
Mikyar ini diterapkan dalam mudharabah, antara lembaga keuangan dengan
pihak-pihak atau pribadi-pribadi, sebagaimana juga diterapkan pada rekening
investasi, jika di jalankan dengan dasar mudharabah.
Mikyar ini tidak mencakup sukuk mudharabah, karena akan ada mikyar khusus
mengenai hal tersebut. Dan tidak juga musyarakah yang lain karena nanti ada
mikyar khusus.

174
Disyariatkannya Mudharabah: Mudharabah dinamakan juga dengan (qiradh) akad yang
disyari’atkan, yang mengatur kerjasama investasi antara modal dari satu sisi dan pekerjaan dari
sisi yang lain, dimana keuntungan yang didapat harus dibagi dan dimiliki secara bersama diantara
para pihak berdasarkan atas kesepakatan yang mereka buat. Dan dinamakan pihak yang memiliki
modal sebagai Rabb Maal, pihak yang dibebankan pekerjaan disebut Mudharib atau ‘Amil atau
Muqaridh. Dalil disyari’atkannya mudharabah adalah sebagai berikut :
a. Dari Al Qur’an, firmanNya:
ََِ َ‫ل‬
َ}َ‫اّلل‬ ْ َ‫نَف‬
َِ ‫ض‬ َ ِ ‫{ َوآخ َُرونَََيَض ِْربُونَََفِيَ ْاْل َ ْر‬
َْ ‫ضَيَ ْبتَغُونَََ ِم‬
“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…” (QS. Al
Muzzammil : 20), yang dimaksud dengan berjalan dimuka bumi adalah sesungguhnya mereka
berjalan dalam rangka untuk berniaga dan mencari harta halal untuk menafkahi diri dan keluarga
mereka.
b. Dari Sunnah; bahwa ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bila menyerahkan harta untuk mudharabah
(dikelola) maka beliau mensyaratkan kepada pengelola untuk tidak melewati laut, tidak pula
lembah, tidak membeli sesuatu yang basah dan lembab, jika mudharib melakukan hal tersebut
maka ia penjamin (pengganti), kemudian syarat beliau dibawa kepada Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam dan beliaupun membolehkannya, (HR. Baihaqi dalam Sunan Kubra. Dari atsar, yang
diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwasanya beliau memberikan kepada seorang laki-laki
harta anak yatim untuk dikelola (mudharabah) dan ia mengerjakannya di Irak, (HR. Baihaqi dalam
Ma’rifah Sunan). Dari Ibn Mas’ud dan Hakim bin Hizam, sesungguhnya mereka berdua (yakni
melakukan mudharabah), dan para sahabat tidak mengingkari perbuatan mereka berdua, maka
hal ini menjadi Ijma’.
c. Ibn Mundzir menyebutkan ijma’ para ahli ilmu atas mudharabah secara global.
Hikmah disyari’atkannya Mudharabah :
a. Karena uang tidak akan berkembang kecuali bila disandarkan kepada suatu pekerjaan (dikelola),
bagi siapa yang ingin mengembangkannya maka tidak boleh menyewakannya; karena hal tersebut
bisa menyebabkan riba dayn.
b. Mudharabah disyari’atkan agar memudahkan tolong menolong dalam mengembangkan harta
antara pemilik modal (yang tidak ingin mengembangan sendiri hartanya) dengan orang
berpengalaman dalam mengembangkan harta namun tidak memiliki modal yang cukup. Oleh
sebab itu manusia ada yang kaya dengan harta namun tidak berpengalaman dalam mengelolanya
dan adapula yang mahir mengatur namun tangannya kosong, maka dibutuhkan akad untuk
memberikan kemashlahatan kepada mereka berdua. Mudharabah termasuk shighah yang
digunakan –biasanya- dalam sebuah perdagangan, kemudian penggunaannya meluas hingga
mencakup medan-medan yang lain seperti : pertanian, produksi, jasa dan lain-lain.
c. Falsafah Bank-bank konvensional berdiri atas dibolehkannya menyewa uang dan mengambil
untung dari hal tersebut, dan syari’at mengharamkan hal tersebut karena termasuk riba. Skema
pembiayaan dengan mudharabah adalah skema pokok yang berdiri diatasnya lembaga keuangan
untuk menarik rekening investasi mutlak atau muqayad dan mengembalikan investasi harta ini ke
dalam bentuk dan aktivitas yang beragam.
2. Defenisi Mudharabah.
Mudharabah : Syirkah175 dalam mencari keuntungan dengan harta dari pihak
(rabb maal) dan pekerjaan dari pihak mudharib.
3. Kesepakatan pembiayaan dengan mudharabah.
3.1. Boleh membuat kesepakatan dengan sesuai dengan kerangka umum atau
mudzakkirah tafahum (Memorandum of Understanding) dalam membuat
akad pembiayaan dengan akad mudharabah dengan sejumlah dana tertentu
selama waktu yang diketahui untuk melaksanakan kesepahaman tadi
berdasarkan akad mudharabah secara khusus dan kontinyu.
3.2. MOU menentukan kerangka konsep bertransaksi. Mulai dari niat awal
bertransaksi yakni shighat (lafazh) tamwil apakah dengan mudharabah
mutlak atau muqayyad, apakah dengan cara periodik atau terpisah. Dan MOU
juga menentukan nisbah dividen dan jenis jaminan yang akan diserahkan
Mudharib untuk menjaga bila terjadi hal-hal yang melampaui batas, lalai,
atau menyelisihi syarat-syarat akad mudharabah dan setiap kewajiban yang
telah ditetapkan.
3.3. Jika akad mudharabah ini tuntas berdasarkan MOU, maka MOU menjadi
bagian dari akad apa saja yang terjadi berikutnya kecuali hal-hal yang
dikecualikan oleh orang-orang yang berakad.
4. Akad Mudharabah
4.1. Akad Mudharabah sah dengan lafazh mudharabah atau qiradh atau
mu’amalah.
4.2. Disyaratkan bagi kedua pihak memiliki kecapakan tawkil (memberikan
kuasa) dan tawakkul (menerima kuasa)176. Maka tidak akan sah kecuali
dengan kesempurnaan kecakapan kedua belah pihak atau orang yang
mewakili mereka.

175
Syirkah adalah kesepakatan dua orang atau lebih untuk mencampurkan kedua harta mereka atau
pekerjaan atau kewajiban dalam tanggungan, dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Mudharabah dengan syirkah memiliki perbedaan diantaranya :
a. Dalam syirkah, modal yang berhak didapatkan darinya keuntungan adalah modal yang ditarik dari
semua pihak, sama saja dalam bentuk uang atau barang atau pekerjaan atau kewajiban
tanggungan hutang, dan objek akad adalah dari unsur yang sama. Adapun dalam mudharabah
maka terdiri dari dua unsur: Pertama; modal yang mengikuti syarat-syarat modal syirkah, Kedua;
pekerjaan yang dilakukan oleh mudharib, dalam hal ini keduanya berbeda (dalam modal).
b. Pada asalnya, syirkah adalah pekerjaan yang dilaksanakan bersama, adapun dalam mudharabah
maka yang bekerja adalah mudharib saja.
176
Dasar disyaratkannya kecakapan tawkil dan tawakkul adalah karena dua orang yang berakad
masing-masing dari mereka mewakili sahabatnya dan mewakilkan kepada sahabatnya, maka siapa
saja yang cakap untuk mewakili dan mewakilkan maka boleh baginya untuk melakukan akad
mudharabah.
4.3. Pada dasarnya akad mudharabah tidak mengikat177, dan siapa saja (dari
kedua belah pihak) berhak untuk membatalkan akad ini kecuali dalam dua
kondisi :
a. Jika mudharib telah mulai menjalankan usahanya, maka mudharabah
berubah menjadi akad yang mengikat sampai pada waktu tandhidh
haqiqiy (barang sudah diuangkan= likuidasi) atau hukmiy178.
b. Jika kedua pihak sepakat untuk menetapkan batasan waktu, maka salah
satu anggota tidak boleh mengakhiri mudharabah sebelum waktu yang
telah disepakati kecuali dengan kesepakatan kedua pihak179.
4.4. Mudharabah termasuk kategori akad amanah. Mudharib adalah orang yang
diamanahi harta mudharabah yang ada di tangannya180, kecuali jika Ia
menyelisihi syarat-syarat akad amanah dengan berbuat hal-hal yang
melampaui batas pada harta mudharabah, atau lalai mengurus harta tersebut
atau menyelisihi syarat-syarat mudharabah. Bila salah satu hal ini Ia lakukan,
maka mudharib menjadi bertanggung jawab terhadap modal (bukan lagi akad
amanah).
5. Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah terbagi kepada Mudharabah Mutlak atau Muqayyad.
5.1. Mudharabah Mutlak (Tak Terbatas) : adalah pemilik modal memberikan
kuasa kepada mudharib untuk menjalankan usaha mudharabah tanpa dibatasi
dengan syarat-syarat tertentu. Maka mudharib menjalankan usahanya dengan
otoritas penuh dan hal tersebut karena ia adalah orang yang terpercaya
amanah dan pengalamannya. Dan juga termasuk Mudharabah Mutlak jika
pemilik modal berkata kepada mudharib, “Kerjakanlah terserah
kebijakanmu”. Perkara mutlak walaupun luas akan tetapi tetap terbatas, yaitu
dengan selalu melihat kemashlahatan demi mewujudkan maksud dari
mudharabah itu sendiri yaitu mendapatkan keuntungan. Dan harus

177
Dasar akad mudharabah adalah akad yang tidak mengikat adalah karena mudharib berkuasa
penuh atas harta orang lain (setelah diizinkan), maka ia bertindak sebagai orang yang mewakili,
dan akad wakalah merupakan akad yang tidak mengikat.
178
Dasar keterikatan mudahrabah sampai tandhidh (likuidasi) jika mudharib telah memulai
pekerjaannya adalah karena pembatalan akad dapat menghilangkan kesempatan bagi kedua pihak
untuk memperoleh kentungan, atau berakibat kepada hilangnya jerih payah mudharib.
179
Dasar dibolehkannya membatasi jangka waktu mudharabah adalah karena mudharabah itu
perwakilan dan akad perwakilan boleh ditentukan batas akhir waktunya. Majma’ Fiqh Islamiy Ad
Dauliy sudah mengeluarkan keputusan mengenai hal tersebut (Kep. No. :122-5/13).
180
Dasar mudharib itu akad amanah terhadap harta mudharabah yang ada ditangannya adalah
karena mudharib berkuasa atas harta orang lain dengan izin dari pemilik harta. Dan pemilik harta
juga mendapatkan manfaat dari hartanya. Pada dasarnya orang yang diamanahi tidak menjamin
musibah yang menimpa harta mudharabah, baik dari kerusakan maupun kehancuran.
menjalankan usaha sesuai dengan kebiasaan yang ada, dan dalam medan
bisnis investasi sesuai dengan objek mudharabah.
5.2. Mudharabah Muqayyad : adalah pemilik modal membatasi mudharib dengan
tempat atau medan yang ia bekerja di sana, dan membatasi apa saja yang
menurut pemilik modal cocok dan tidak menghalangi mudharib untuk
berusaha.
6. Jaminan dalam Akad Mudharabah.
Pemilik modal boleh mengambil jaminan yang cukup dan layak dari mudharib181.
Dengan syarat pemilik modal tidak mengeksekusi jaminan-jaminan tersebut
kecuali bila terjadi tindakan melampaui batas, mengurangi atau menyelisihi
syarat-syarat akad mudharabah.
7. Modal dan syarat-syaratnya.
7.1. Pada dasarnya modal mudharabah harus berupa uang. Barang/ benda boleh
dijadikan sebagai modal dalam mudharabah182. Dalam kondisi ini yang jadi
patokan modal adalah nilai barang dengan uang tunai, lalu dianggap sebagai
modal mudharabah. Penentuan nilai barang baru terpenuhi berdasarkan
pendapat dari para ahli yang berpengalaman dan juga kesepakatan dari kedua
belah pihak.
7.2. Disyaratkan dalam modal mudharabah; harus diketahui sifat dan ukurannya,
untuk menghilangkan unsur ketidakjelasan (modal)183.
7.3. Hutang mudharib atau hutang orang lain kepada pemilik modal tidak boleh
dijadikan sebagai modal dalam mudharabah184.

181
Dasar dibolehkannya mengambil jaminan dari mudharib dengan tujuan agar dapat digunakan
ketika mudharib bertindak melampaui atau mengurangi batas adalah karena pada waktu itu ia
telah menjadi penjamin dan wajib atasnya menanggung risiko. Dan ini adalah pendapat dewan
syariah bank Al Rajhi (36), dan Nadwa Barakah Pertama 5.
182
Dasar dibolehkannya nilai barang dijadikan sebagai modal dalam mudharabah adalah karena
tujuan mudharabah adalah mengelola harta demi menghasilkan keuntungan, dan hal ini ada
dalam nilai barang seperti : harga. Berdasarkan pendapat Malikiyyah dan Hanabilah. (Lihat :
Hasyiyah Ad Dasuqiy (3/517) Al Mughni (5/17)).
183
Dasar diwajibkannya modal mudharabah harus diketahui dengan pengetahuan yang
menghilangkan keraguan dari segi sifat dan ukuran adalah karena kejelasan laba diketahui setelah
pengembalian modal ketika clearing dan tidak mungkin mengembalikannya bila tidak diketahui
maka ketidaktahuan menyebabkan perselisihan.
184
Dasar tidak dibolehkannya modal dari hutang pemilik modal atas mudharib adalah karena pada
dasarnya modal harus barang yang ada sedangkan hutang adalah harta yang tidak ada, dan ada
syubhat riba, karena pemberi pinjaman mengakhirkan piutangnya agar ditambahkan oleh
penerima pinjaman dengan cara mensiasatinya dalam bentuk laba mudharabah.
7.4. Agar mudharib dapat melaksanakan akad mudharabah maka disyaratkan
modal mudharabah sebagian atau seluruhnya harus diserahkan kepada
mudharib, atau ia diberi kuasa untuk mengelolanya185.
8. Hukum Keuntungan dan Syarat-syaratnya.
8.1. Disyaratkan dalam masalah laba; penentuan tata cara pembagian untuk
mencegah terjadinya persengketaan186. Dan hal tersebut atas asas nisbah
(persentase) dari keuntungan dan bukan dengan sejumlah uang tertentu atau
nisbah modal187.
8.2. Pada dasarnya tidak boleh menggabungkan keuntungan mudharabah dengan
upah188, namun jika kedua belah pihak bersepakat memilih salah satu diantara
mereka untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang bukan termasuk dari
pekerjaan mudharabah dengan upah yang ditentukan, dan kesepakatan
tersebut terpisah akadnya dengan akad mudharabah -dimana jika dipisah
dengan pekerjaan tersebut akad mudharabah tetap berjalan-, maka dalam
kondisi ini diperbolehkan menurut syari’at.
8.3. Wajib dituangkan dalam kesepakatan: nisbah dividen ketika akad
dilangsungkan, begitu juga jika kedua pihak sepakat merubah nisbah
keuntungan -pada waktu kapan saja-189 disertai dengan menjelaskan masa
yang akan dilalui dalam kesepakatan ini.

185
Dasar disyaratkannya penyerahan modal kepada mudharib agar bisa melaksanakan pekerjaannya
adalah karena mudharib adalah orang yang mengatur pekerjaan mudharabah dan orang yang
memelihara dan bisa dipercaya untuk mengelola modal dan apa yang dihasilkan dari objek. Maka
wajib meyerahkan harta kepada mudharib agar bisa dipelihara, dikembangkan dan
mereralisasikan apa yang dicita-citakan.
186
Dasar diwajibkannya keuntungan harus diketahui adalah karena keuntungan bagian dari akad, dan
ketidak tahuan yang diakadkan menyebabkan kerusakan akad itu sendiri.
187
Dasar diwajibkannya bagian masing-masing dari laba dengan persentase dan bukan jumlah yang
tertentu adalah karena mudharabah termasuk syirkah (kerjasama) yang berdiri atas perkongsian
dalam keuntungan. Sedangkan Ini merupakan syarat yang mewajibkan terputusnya perkongsian
dalam keuntungan karena membolehkan mudharib tidak mendapatkan keuntungan kecuali
dengan ukuran yang disebutkan, maka salah satu mendapatkan keuntungan sedangkan yang lain
tidak maka kerjasama tidak terwujud.
188
Dasar tidak dibolehkan menggabung keuntungan dalam mudharabah dengan upah adalah karena
upah dalam jumlah yang tetap, terkadang untung yang dihasilkan tidak besar maka perkongsian
dalam keuntungan terputus.
189
Dasar dibolehkannya kesepakatan atas perubahan nisbah pembagian dividen antara kedua pihak
pada waktu kapan saja adalah karena keuntungan hak bagi mereka berdua, dan kesepakatan
seperti yang disebutkan tidak menyebabkan hal yang diharamkan seperti pemutusan perkongsian
dalam mengambil keuntungan bahkan mengkokohkan perkongsian diantara keduanya. Lihat
Simposium Barkah ke-11 / 8, Simposium Barkah ke-4/ fatwa 5, hal ini juga diperkuat dengan fatwa
Dewan Pengawas Bank Faishal Islamiy Sudan (107) dan bulletin Dalil Fatwa Syar’iy fil A’mal
Mashrifiyyah, Markaz Iqtishad Islamiy, Mashrifiy Islamiy Ad Dauliy (53).
8.4. Jika kedua pihak tidak menyebutkan nisbah pembagian keuntungan, maka
dalam membagi keuntungan dikembalikan kepada kebiasaan yang sudah
biasa dipakai, seperti kebiasaan membagi keuntungan 50-50. Jika kebiasaan
seperti itu pun tidak ada maka akad mudharabah batal190. Dan mudharib
mengambil upah mitsl (upah yang wajar) atas apa yang telah ia kerjakan.
8.5. Jika salah seorang dari dua pihak mensyaratkan kepada dirinya sejumlah
uang tertentu maka akad mudharabah menjadi batal191. Dan tidak termasuk
dalam hal ini jika kedua belah pihak bersepakat: Jika ada keuntungan
berlebih dari jumlah sekian maka salah seorang dari mereka berhak
mengambil kelebihan tersebut. Bila keuntungan hanya sejumlah yang
ditentukan atau dibawahnya maka pembagian keuntungan berdasarkan
kesepakatan semula.
8.6. Pemilik modal tidak boleh menyerahkan dua modal kepada satu mudharib
dimana mudharib menerima keuntungan dari modal pertama sedangkan
pemilik modal mendapatkan keuntungan dari modal yang kedua192. Atau
pemilik modal mendapatkan keuntungan dari kedua modal dalam periode
tertentu dan pada waktu berikutnya mudharib yang mendapatkan keuntungan
dari kedua modal. Atau salah satu mendapatkan keuntungan pada transaksi
pertama dan yang lain mendapatkan keuntungan pada transaksi kedua.
8.7. Dalam mudharabah tidak ada keuntungan kecuali setelah modal kembali
secara utuh193. Kapan saja kerugian terjadi dalam aktivitas mudharabah maka
ditutupi dari keuntungan yang diperoleh dalam aktivitas yang lain. Kerugian
yang lalu ditambal dengan keuntungan berikutnya, yang dilihat adalah
akumulasi hasil aktivitas ketika kliring. Jika kerugian dalam kliring aktivitas

190
Dasar batalnya mudharabah bila dalam kondisi tidak disebutkan nisbah pembagian dividen dan
tidak adanya kebiasaan dalam pembagian keuntungan dengan membagi 50-50 adalah karena yang
diakadkan itu adalah keuntungan, dan ketidaktahuan yang diakadkan menyebabkan rusaknya
akad.
191
Dasar batalnya mudharabah jika salah seorang dari dua pihak mensyaratkan dirinya mendapatkan
sejumlah uang tertentu adalah karena mudharabah merupakan perkongsian dalam keuntungan,
sedangkan syarat ini menyebabkan kepada pemutusan perkongsian dalam keuntungan dan
kecurangan salah satu pihak.
192
Dasar tidak dibolehkannya mudharib mendapatkan satu keuntungan dari dua modal, dan pemilik
mendapatkan keuntungan dari modal yang lain adalah karena hal tersebut menyebabkan
pemutusan perkongsian keuntungan dan menyebabkan kecurangan kepada salah satu keduanya.
193
Dasar tidak ada keuntungan kecuali setelah selamatnya modal adalah hadits Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam beliau bersabda, “Orang shalat seperti orang yang berdagang ia tidak
mendapatkan keuntungan sebelum modalnya kembali, demikian juga dengan orang yang shalat ia
tidak mendapatkan pahala shalat sunat sebelum ia melaksanakan shalat wajib”, (HR. Baihaqi
dalam Sunan Kubra). Hadits ini menunjukkan bahwa pembagian keuntungan sebelum modal
kembali tidaklah sah. Dan karena keuntungan itu adalah tambahan, dan tambahan dari sesuatu
tidak akan ada kecuali setelah selamatnya pokok.
lebih banyak dari keuntungan maka saldo kerugian ditutupi dari modal, dan
mudharib tidak menanggung apapun karena ia bertindak sebagai orang yang
diamanahi, selama tidak ada tindakan melampaui atau mengurangi batas. Jika
biaya operasional seimbang dengan pemasukan maka pemilik modal
menerima modalnya dan mudharib tidak mendapatkan apapun. Kapan saja
keuntungan terealisasi maka kepada kedua belah pihak mendapatkannya
berdasarkan kesepakatan.
8.8. Mudharib berhak mendapatkan bagiannya dari keuntungan semata-mata
dengan melihat secara zhahirnya (realisasi) dalam aktivitas mudharabah194,
akan tetapi kepemilikannya tidak tetap, sebab tertahan sebagai perlindungan
terhadap modal, maka tidaklah pasti kecuali pembagian dengan dasar
tandhidh (likuidasi) haqiqiy atau hukmiy195. Boleh membagi keuntungan yang
tampak secara zhahir kepada kedua pihak dibawah perhitungan (yang akan
dihitung kembali nantinya) ketika tandhidh haqiqiy atau hukmiy. Keuntungan
dibagai secara utuh berdasarkan harga barang yang telah dijual (likuidasi),
dan boleh juga pembagian dividen berdasarkan atas dasar tandhidh hukmiy
yaitu penilaian objek dengan nilai yang adil. Tanggungan kewajiban hutang
kepada pihak lain ditutupi dengan uang yang diyakini akan diterima, dan
setelah dipotong piutang yang diragukan akan kembali. Dan dalam
pemotongan piutang pihak lain tidak dimasukkan bunga sebagai
keterlambatan pembayaran, dan juga dimasukkan potongan bila piutang
dibayar sebelum jatuh tempo.
8.9. Jika harta pribadi mudharib tercampur dengan harta mudharabah, maka ia
menjadi mitra syirkah terhadap hartanya dan mudharib terhadap harta orang
lain. Keuntungan harus dibagi dua berdasarkan adanya dua harta (harta
mudharabah dan harta mudharib yang tercampur), maka mudharib
mengambil keuntungan dari hartanya ditambah dengan keuntungan dari harta
mudharabah yang dibagi dua, satu untuknya dan satu lagi untuk pemilik
modal menurut kesepakatan mereka berdua.
9. Wewenang Mudharib dan Tugas-tugasnya.

194
Dasar bahwasanya mudharib mendapatkan haknya dari bagian keuntungan yang tampak
(terealisasi) dan sudah dipastikan, atas dasar pembagian yang ada dengan tandhidh haqiqiy atau
hukmiy adalah karena diqiyaskan kepada musaqah. Dan sudah dikeluarkan keputusan mengenai
tandhidh hukmiy dari Majma’ Fiqh Islamiy-Rabithah ‘Alam Al Islamiy di Makkah Kep. Ke-4 dalam
symposium ke-16 yang dilaksanakan di Makkah, dan begitu juga dengan symposium Barkah ke-8,
fatwa (2).
195
Dasar Tandhidh Hukmiy adalah syari’at membolehkan adanya taqwim (penilaian), akan tetapi ia
merupakan alat yang sah untuk membantu mengembalikan hak-hak modal kepada pemiliknya.
Adapun tandidh haqiqiy maka ia adalah asalnya.
Mudharib wajib bersungguh-sungguh mencapai tujuan-tujuan mudharabah, dan
pemilik modal menjadi tenang, karena hartanya berada di tangan orang yang
amanah, digunakan untuk mencari keuntungan yang dihasilkan dengan cara-cara
yang sesuai dengan syari’at.
9.1. Jika akad mudharabah mutlak maka mudharib boleh mengerjakan apa saja
yang dikerjakan oleh orang-orang yang mencari untung dalam medan
aktivitasnya196, hal tersebut mencakup sebagai berikut :
9.1.1. Memanfaatkan setiap peluang untuk berinvestasi syari’ yang
memungkinkannya sesuai dengan besar modal yang dimiliki. Dengan
syarat hal tersebut mungkin sesuai dengan pengalamannya,
kecakapannya dan teknisnya dalam berkompetisi.
9.1.2. Berinteraksi dengan pekerjaan langsung atau mewakilkan sebagian
pekerjaan kepada orang lain -ketika dibutuhkan- seperti membeli barang-
barang atau memasarkannya.
9.1.3. Sedapat mungkin memilih waktu, tempat dan pasar yang cocok untuk
berinvestasi dan aman dari bahaya.
9.1.4. Menjaga harta mudharabah atau menitipkannya kepada orang yang bisa
dipercaya kapan saja dibutuhkan.
9.1.5. Menjual dan membeli dengan tidak tunai.
9.1.6. Mudharib -dengan izin atau hak kuasa dari pemilik modal- boleh :
a. Mengikutsertakan syirkah ke dalam mudharabah ini dari awal akad
atau di pertengahan mudharabah, baik syirkah tersebut dari harta
mudharib atau dari pihak ketiga. Dan lembaga keuangan mengambil
asas ini dalam penggabungan harta pada rekening investasi dan harta
lembaga keuangan.
b. Mengambil harta dari pihak ketiga dengan tujuan mudharabah,
selama mudharabah kedua ini tidak menguras perhatiannya dan
melalaikan mudharabah harta yang pertama.
9.2. Pemilik modal boleh membatasi aktivitas mudharib demi kemashlahatan
menurutnya. Boleh menentukan waktu atau tempat; maka investasi
disyaratkan pada waktu tertentu atau negeri tertentu atau pasar di negeri
tertentu, atau medan investasi. Investasi juga boleh disyaratkan pada sektor-

196
Dasar bahwa mudharib bebas melakukan aktivitas yang disebutkan dalam poin-poin yang
disebutkan dalam mudharabah muthlak adalah karena mudharib bertujuan untuk merealisasikan
tujuan pemilik modal dari akad mudaharabah, yaitu menghasilkan keuntungan yang disyari’atkan,
hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan menggerakkan harta.
sektor tertentu; seperti: jasa atau perdagangan, penentuan satu komoditi atau
beberapa komoditi, ang tidak boleh dilanggar mudharib, dengan syarat
ketentuan tersebut sejalan dengan apa yang diinginkan dari akad
mudharabah. Dan jenis barang yang ditetapkan tadi tersedia bukannya
menghalangi tujuan mudharabah itu sendiri.
9.3. Pemilik modal tidak berhak mensyaratkan bahwa dia juga boleh mengelola
bersama mudharib melakukan aktivitas bersama dalam jual beli dan serah
terima197. Atau memintanya untuk selalu berkonsultasi dalam segala hal, dan
tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa pertimbangan pemilik modal.
Atau mendiktenya dengan syarat yang memaksa; seperti: mewajibkan
mudharib bekerja sama dengan orang tertentu atau mencampurkan hartanya
dengan harta mudharabah.
9.4. Mudharib melakukan sendiri setiap pekerjaan yang biasa dilakukan sendiri
oleh para investor dan ia tidak berhak mendapatkan upah atas pekerjaan
tersebut; karena pekerjaan tersebut termasuk dalam kewajibannya. Jika ia
mengupah orang lain untuk melaksanakannya maka upahnya harus dari
hartanya sendiri, bukan dari harta mudharabah. Mudharib boleh meminta
upah dari harta mudharabah untuk mengerjakan hal-hal yang tidak menjadi
kewajibannya.
9.5. Mudharib tidak boleh menjual barang dengan harga yang lebih murah dari
biasanya. Dan tidak boleh membeli barang dengan harga lebih mahal dari
biasanya kecuali jelas kemaslahatannya.
9.6. Mudharib tidak boleh meminjamkan atau menghibahkan atau
mensedekahkan harta mudharabah198, dan boleh juga memutihkan utang
pihak lain kecuali atas izin khusus dari pemilik modal.
9.7. Mudharib berhak mendapatkan biaya perjalanan untuk kemashlahatan
mudharabah -tergantung kebiasaan-199.
10. Berakhirnya Mudharabah

197
Dasar tidak dibolehkannya bagi pemilik modal mensyaratkan kepada mudharib untuk melakukan
pekerjaan bersama dengannya dimana ia ikut campur dalam aktifitas yang berhubungan dengan
proses mudharabah adalah karena hal itu bisa membatasi kebebasan mudharib dan
mempersempit gerak langkahnya dalam mengembangkan harta, serta menghalangi realisasi
tujuan pemilik modal yaitu mendapatkan keuntungan.
198
Dasar tidak dibolehkan bagi mudharib dalam mengelola harta mudharabah dengan
meminjamkannya atau menghibahkan atau mensedekahkannya adalah karena semua hal ini
kembali kepada apakah mendatangkan manfaat kepada mudharabah atau tidak?, dan bahkan hal
ini bisa mendatangkan mudharat kepada pemilik modal.
199
Dasar dibolehkannya bagi mudharib untuk membiayai dirinya (sesuai dengan kebiasaan) dalam hal
yang berhubungan dengan pekerjaan mudharib adalah karena sebuah kebiasaan sama hukumnya
dengan apa yang disyaratkan.
10.1. Mudharabah berakhir dalam kondisi-kondisi berikut ini :
a. Pembatalan atas keinginan dari salah satu pihak, karena mudharabah
termasuk kategori akad yang tidak mengikat (lihat : pasal 4/3)
b. Kesepakatan kedua belah pihak.
c. Berakhirnya waktu mudharabah jika kedua belah pihak bersepakat untuk
menetapkan tempo berakhirnya200, kecuali dalam kondisi yang
mengharuskan untuk dilanjutkan, (lihat : pasal 4.3).
d. Lenyap atau hancurnya harta mudharabah201.
e. Wafatnya mudharib202, atau likuidasi perusahaan mudharabah.
10.2. Bila mudharabah berakhir dilakukan likuidasi berdasarkan ketentuan yang
dijelaskan dalam pasal 8.8.

Sukuk Mudharabah
Yaitu surat berharga musyarakah yang merepresentasikan proyek-proyek
atau kegiatan-kegiatan yang dikelola berdasarkan akad mudharabah dengan
menunjuk mudharib (pengelola usaha) dalam melakukan usaha tersebut.

200
Dasar berakhirnya mudharabah atas dasar keinginan salah satu dari kedua pihak atau atas
persetujuan mereka atau berakhirnya masa mudharabah adalah karena ini merupakan akad yang
tidak mengikat selama belum ada kesepakatan pembatasan waktu.
201
Dasar berakhirnya mudharabah dengan lenyapnya modal adalah karena jika modal yang diterima
mudharib telah lenyap, sedangkan ia belum mengunakannya untuk mudharabah, maka artinya
harta yang menjadi objek akad mudharabah telah hancur dan hilang.
202
Dasar berkahirnya mudharabah dengan kematian mudharib adalah karena mudhabarah itu ibarat
wakalah (mewakilkan), dan wakalah batal dengan wafatnya orang yang diwakilkan.

Anda mungkin juga menyukai