Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain,
masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar
keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun
untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang
teratur dan menjadi ajang silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-
sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan
dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya
aturan.
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata 'AMALA-YU'AMILI-
MU'AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan
cara yang paling baik (Idris Ahmad) atau " Muamalah adalah tukar-menukar barang
atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan" (Rasyid
Ridho) "(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).

B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan Muamalah?
2.      Apa saja macam-macam jual beli?
3.      Rukun dan syarat apa saja yang mengsahkan jual beli?
4.      Perilaku Apa saja yang harus dimiliki oleh penjual?
5. Cara menghindari Riba

1
B.  Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui maksud dari muamalah
2.      Untuk mengetahui apa saja macam-macam jual beli
3.      Untuk mengetahui Rukun dan syarat yang mengsahkan jual beli
4.      Untuk mengetahui Perilaku Apa saja yang harus dimiliki oleh penjual?
5. Untuk mengetahui cara menghindari Riba

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Muamalah
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai
sumber ekonomi. Allah SWT berfirman :

Artinya : “Dan Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagai mana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS Al-Qoshosh : 77)
           Muamalah dalam ilmu ekomi Islam memiliki makna hukum yang bertalian
dengan harta, hak milik, perjanjian,jual beli, utang piutang, sewa menyewa, pinjam-
meminjam dan semacamnya. Juga hukum yang mengatur keuangan serta segala hal
yang merupakan hubungan manusia dengan sesamanya, baik secara individu maupun
masyarakat. Tujuannya adalah agar tercapai suatu kehidupan yang tentram, damai,
bahagia dan sejahtera. Adapun transaksi-transaksi ekonomi dalam Islam tersebut
antara lain :

1.    Jual Beli

Jual beli dalam bahasa arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna
berlawanan yaitu al-bai’ yang artinya jual dan asy-syira’ayang artinya beli.
Menurut istilah hukum syara, jual beli ialah menukar suatu barang/uang dengan
barang yang lain dengan cara aqad (ijab/qobul). Di zaman yang modern seperti
sekarang ini transaksi jual beli dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
lewat internet, telpon dan lain sebagainya. Demikian juga sistem pembayarannya
bisa lewat cek, surat berharga dan  semacamnya. Allah swt berfirman :

3
 Artinya : "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”,
(Al-Baqoroh :275)

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(An-Nisa :29)

Rasulullah saw bersabda :


ِ ‫ض ُل ْال َك ْس‬
) ‫ب َع َم َل ال َّر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبرُوْ ٌر (رواه احمد‬ َ ‫َأ ْف‬
Artinya : " Perolehan yang paling afdhal adalah hasil karya tangan seseorang
dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad)

a. Rukun Dan Syarat Jual Beli

Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun masing-masing rukun memiliki syarat yaitu;
1.  Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal
(tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan
baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali
atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik
tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak
yang memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli
mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-
belinya, berdasarkan firman Allah:
َ ‫َوا ْبتَلُوا ْاليَتَا َمى َحتَّى ِإ َذا بَلَ ُغوا النِّ َك‬
‫اح فَِإ ْن آنَ ْستُ ْم ِم ْنهُ ْم ُر ْشدًا فَا ْدفَعُوا ِإلَ ْي ِه ْم‬
‫َأ ْم َوالَهُ ْم‬                         

4
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
2.    Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan
harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya
terima atau saya beli”.
3.   Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang ).
Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
1)  Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan
syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ُ‫ِإ َّن هَّللا َ ِإ َذا َح َّر َم َعلَى قَوْ ٍم َأ ْك َل َش ْى ٍء َح َّر َم َعلَ ْي ِه ْم ثَ َمنَه‬                                                   
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk
memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu
Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih).
2)   Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan
kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi
sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi
shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya
untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak
ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan
membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu
alaihi wasallam menjawab:
َ‫ْس ِع ْندَك‬
َ ‫الَ تَبِ ْع َما لَي‬                                                                                           
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud)
3)   Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli, maka tidak sah
menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang
lain dan belum kembali.

5
4)    Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh
pembeli dan penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau
mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila
dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian,
semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si
pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya
didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan
mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual
bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka
yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai
contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang
dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk
jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi
shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur
gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)

- Dan Syarat Sah Jual Beli

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat,
harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi
dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli,
dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan:
1)  Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi
untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh
serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang
dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang
dipaksa.
2)    Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
 Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan
merupakan milik penuh salah satu pihak.

6
 Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar
tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam
karung’ karena hal tersebut dilarang.
 Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang
untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.

b. Perilaku atau sikap yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli

1)   Berlaku Benar (Lurus)

Berperilaku benar merupakan ruh keimanan dan ciri utama orang yang
beriman. Sebaliknya, dusta merupakan perilaku orang munafik. Seorang
muslim dituntut untuk berlaku benar, seperti dalam jual beli, baik dari segi
promosi barang atau penetapan harganya. Oleh karena itu, salah satu karakter
pedagang yang terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku benar.
Dusta dalam berdagang sangat dicela terlebih jika diiringi sumpah atas
nama Allah SWT Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya sebagai
berikut: “Empat macam manusia yang dimurkai Allah, yaitu penjual yang
suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina,
dan pemimpin yang zalim.”(HR Nasai dan Ibnu Hibban)
2)   Menepati Amanat
Menepati amanat merupakan sifat yang sangat terpuji. Yang dimaksud
amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya. Orang yang
tidak melaksanakan amanat dalam Islam sangat dicela.
Hal-hal yang harus disampaikan ketika berdagang adalah penjual atau
pedagang menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangannya
kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Hal itu dimaksudkan agar
pembeli tidak merasa tertipu dan dirugikan.
3)   Jujur
Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku
jujur. Kejujuran merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual
beli karena kejujuran akan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat

7
merugikan salah satu pihak. Sikap jujur dalam hal timbangan, ukuran
kualitas, dan kuantitas barang yang diperjual belikan adalah perintah Allah
SWT. Firman Allah :
Yang artinya : Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan
saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-
kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran
dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang
takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al A’raf : 85)
Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan
cacat barang dagangan, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Muslim itu adalah saudara muslim, tidak boleh seorang muslim apabila ia
berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat, kecuali
diterangkannya.”
4)   Khiar
Khiar artinya boleh memilih satu diantara dua yaitu meneruskan
kesepakatan (akad) jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali atau
tidak jadi melakukan transaksi jual beli). Ada tiga macam khiar yaitu sebagai
berikut.
* )  Khiar Majelis adalah si pembeli an penjual boleh memilih antara
meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya selama keduanya
masih tetap ditempat jual beli. Khiar majelis ini berlaku pada semua
macam jual beli.
*)  Khiar Syarat adalah suatu pilihan antara meneruskan atau
mengurungkan jual beli setelah mempertimbangkan satu atau dua hari.
Setelah hari yang ditentukan tiba, maka jual beli harus ditegaskan untuk
dilanjutkan atau diurungkan. Masa khiar syarat selambat-lambatnya tiga
hari

8
*) Khiar Aib (cacat) adalah si pembeli boleh mengembalikan barang yang
dibelinya, apabila barang tersebut diketahui ada cacatnya. Kecacatan itu
sudah ada sebelumnya, namun tidak diketahui oleh si penjual maupun si
pembeli. Hadis nabi Muhammad SAW. Yang artinya : “Jika dua orang
laki-laki mengadakan jual beli, maka masing-masing boleh melakukan
khiar selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul,
atau salah satu melakukan khiar, kemudian mereka sepakat dengan
khiar tersebut, maka jual beli yang demikian itu sah.” (HR Mutafaqun
alaih)

B.  Menghindari Riba

Gencarnya media dalam menampilkan kehidupan yang serba mewah telah


menimbulkan gaya hidup konsumsif dalam masyarakat kita. Tidak hanya terjadi di
kota-kota besar, gaya hidup konsumtif pun mulai merambah ke pelosok-pelosok
desa. Seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan yang memberikan
kredit dengan cara yang sangat mudah, masyarakat yang konsumtif jadi merasa
mudah dalam membeli sesuatu untuk memenuhi hasratnya. Tinggal mengisi formulir
pengajuan kredit, menandatanganinya, barang pun akan terbeli. Masalah bagaimana
melunasinya urusan belakang. Yang penting menikmati dulu barangnya, menikmati
rasa gengsi yang timbul karena membeli barang mahal. Apa manfaat dari barang
yang dibeli seringkali justru menjadi pertimbangan kedua. Masalah mulai timbul
ketika tagihan kredit datang di kemudian hari, yang ternyata jumlahnya membengkak
akibat bunga berbunga yang diterapkan.

Intinya, masyarakat di zaman penuh ‘wah’ saat ini, untuk mendapatkan barang
mewah mau saja terjun dalam praktek riba. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,

‫ َأ ِم ْن َحالَ ٍل َأ ْم ِم ْن َح َر ٍام‬، ‫ان الَ يُبَالِى ْال َمرْ ُء بِ َما َأ َخ َذ ْال َما َل‬ ‫ْأ‬
ِ َّ‫لَيَ تِيَ َّن َعلَى الن‬
ٌ ‫اس زَ َم‬

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka
mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari
no. 2083, dari Abu Hurairah). Tentu Allah tidak meridhoi hal ini, bahkan Allah
murkai. Lalu bagaimana kiat agar kita tidak mudah terjerumus dalam praktek riba?
Beberapa kiat tersebut akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana berikut ini.

9
Kiat Pertama: Berilmu Dulu Sebelum Membeli

Dalam bertindak, Islam selalu mengajarkan berilmulah terlebih dahulu. Dalam


masalah ibadah, Islam mengajarkan hal ini agar amalan seseorang tidak sia-sia.
Dalam masalah muamalah pun demikian. Karena jika tidak diindahkan, malah bisa
terjerumus dalam sesuatu yang diharamkan. Semisal seorang pedagang, hendaklah ia
paham seputar hukum jual beli. Jika ia tidak memahaminya, bisa jadi ia memakan
riba atau menikmati rizki dengan cara yang tidak halal. ‘Ali bin Abi Tholib
mengatakan,

‫َم ْن اتَّ َج َر قَ ْب َل َأ ْن يَتَفَقَّهَ ارْ تَطَ َم فِي ال ِّربَا ثُ َّم ارْ تَطَ َم ثُ َّم ارْ تَطَ َم‬

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti
akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus
menerus terjerumus.”

Lihatlah pula apa kata ‘Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,

‫اَل يَتَّ ِجرْ فِي سُوقِنَا إاَّل َم ْن فَقِهَ َأ ْك َل ال ِّربَا‬

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai
seluk beluk riba.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)

Kiat Kedua: Mengetahui Bahaya Riba

Setelah mengetahui definisi riba dan berbagai bentuknya, mengetahui bahaya riba
akan semakin membuat seorang muslim menjauhinya transaksi haram tersebut.
Karena dengan mengetahui ancaman-ancaman riba, tentu ia enggan terjerumus dalam
riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

ً‫ِدرْ هَ ُم ِربًا يَْأ ُكلُهُ ال َّر ُج ُل َوهُ َو يَ ْعلَ ُم َأ َش ُّد ِم ْن ِستَّ ِة َوثَالَثِ ْينَ َز ْنيَة‬

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia
mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36
kali” (HR. Ahmad 5: 225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1033).

Dalam hadits yang lain disebutkan,

‫الربَا ثَالَثَةٌ َو َس ْبعُوْ نَ بَابًا أ ْي َس ُرهَا ِم ْث ُل َأ ْن يَ ْن ِك َح الرُّ ُج ُل ُأ َّمهُ َوِإ ْن َأرْ بَى ال ِّربَا ِعرْ ضُ ال َّرج ُِل ْال ُم ْسلِ ِم‬
ِ

10
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang
yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah
apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
dilihat dari jalur lainnya).

Dosa riba bukan hanya berlaku bagi kreditur, pihak perkreditan atau bank, namun si
nasabah atau debitur juga mendapatkan dosa. Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ آ ِك َل ال ِّربَا َو ُمو ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َو َشا ِه َد ْي ِه َوقَا َل هُ ْم َس َوا ٌء‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang


yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang
saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (karena sama-sama
melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).

Kiat Ketiga: Tidak Bermudah-mudahan dalam Berutang

Islam menerangkan agar kita tidak terlalu bermudah-mudahan untuk berutang. Orang
yang berutang dan ia enggan melunasinya –padahal ia mampu - sungguh sangat
tercela.

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ْس ثَ َّم ِدينَا ٌر َوالَ ِدرْ هَ ٌم‬ ِ ُ‫َم ْن َماتَ َو َعلَ ْي ِه ِدينَا ٌر َأوْ ِدرْ هَ ٌم ق‬
َ ‫ض َى ِم ْن َح َسنَاتِ ِه لَي‬

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu
dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat
nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham” (HR. Ibnu Majah
no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫َأيُّ َما َر ُج ٍل يَ َديَّنُ َد ْينًا َوهُ َو ُمجْ ِم ٌع َأ ْن الَ يُ َوفِّيَهُ ِإيَّاهُ لَقِ َى هَّللا َ َس‬
‫ارقًا‬

“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan
bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah
no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

11
Berhutanglah ketika perlu dan yakin mampu melunasinya! Karena kita pun tidak
mengetahui kondisi kita nantinya, apakah kita bisa melunasi kreditan kita.

Kiat Keempat: Milikilah Sifat Qona’ah

Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat qona’ah, itulah yang membuat orang
ingin hidup mewah-mewahan. Padahal penghasilannya biasa, namun karena ingin
seperti orang kaya yang memiliki smart phone mahal, mobil mewah dan rumah layak
istana, akhirnya jalan kreditlah yang ditempuh. Dan kebanyakan kredit yang ada
tidak jauh-jauh dari riba, bahkan termasuk pula yang memakai istilah syar’i sekali
pun sepertimurabahah.

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ َولَ ِك َّن ْال ِغنَى ِغنَى النَّ ْف‬، ‫ض‬


‫س‬ ِ ‫ْس ْال ِغنَى ع َْن َك ْث َر ِة ْال َع َر‬
َ ‫لَي‬

“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’)
adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no.
1051). Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau
butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya
hati), namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).

Kiat Kelima: Perbanyaklah Do’a

Kiat terakhir yang juga jangan terlupakan adalah memperbanyak do’a. Karena kita
bisa terhindar dari yang haram, tentu saja dengan pertolongan Allah termasuk dalam
masalah riba. Di antara do’a yang bisa kita panjatkan,

ِ ‫ك ْال ُم ْن َك َرا‬
‫ت‬ ِ ‫ك فِ ْع َل ْال َخ ْي َرا‬
َ ْ‫ت َوتَر‬ َ ُ‫اللَّهُ َّم ِإنِّى َأ ْسَأل‬

“Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot” (Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan
meninggalkan berbagai kemungkaran) (HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Juga perbanyaklah do’a agar bisa terbebas dari utang,

‫ك ِمنَ ْال َمْأثَ ِم َو ْال َم ْغ َر ِم‬


َ ِ‫اللَّهُ َّم ِإنِّى َأعُو ُذ ب‬

12
“Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom” (Ya Allah, aku
berlindung pada-Mu dari dosa dan terlilit utang). Dalam lanjutan hadits tersebut
disebutkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kenapa beliau banyak meminta perlindungan dari utang. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ َو َو َع َد فََأ ْخلَف‬،‫ب‬
َ ‫ث فَ َك َذ‬ ِ ‫ِإ َّن ال َّرج َُل ِإ َذا غ‬
َ ‫َر َم َح َّد‬

“Seseorang yang terlilit utang biasa akan sering berdusta jika berucap dan ketika
berjanji sering diingkari” (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).

Ya Allah, berikanlah kepada kami sifat qona’ah, dijauhkan dari yang haram, serta
dijauhkan dari riba dan debu-debunya. (*)

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Dalam pembahasan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa muamalah


ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang meberi manfaat dengan cara yang
ditentukan. Hal yang termasuk muamalah yaitu:
1. Jual beli yaitu penukaran harta atas dasar saling rela. Hukum jual beli adalah
mubah, artinya hal tersebut diperbolehkan sepanjang suka sama suka.
2. Menghindari riba.
Dalam pelaksanaan jual beli juga ada rukun jual beli yaitu:
a. Penjual dan pembeli
b. Uang dan benda yang dibeli
c. Lafaz ijab dan kabul

B. Saran

Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan tata
cara jual beli yang sah menurut agama islam. Dan kita juga harus memperhatikan
riba yang terkandung didalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang
mengharamkan riba dalam islam.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Idris. 1986. Fiqh Al-Syafi’iyah, Jakarta : Karya Indah

Hendi, Suhendi. 2002. Fiqh Muamalah, Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Ahmad, Wardi. 2010. Fiqh Muamalat, Jakarta : AMZAH

Al-zuhailii, Wahbah. 1997 Al-fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus : Dar al-Fikr.

Ibrahim, Anwar. 1997 Islam Dan Pembangunan Ekonomi Umat dalam Ainur R.


Sophiaan (Ed.), Etika ekonomi politik elemen-elemen strategis
pembangunan masyarakat islam, Jakarta : risalah Gusti.

Sulaiman, rasjid. 1990. Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru

Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah,.PT. RajaGrafindo,.Jakarta, 2010. 


Mashur khar,bulughul maram cetakan pertama,Jakarta:PT Rineka cipta,1992
Hasan ali,berbagai macam transaksi dalam islam(fiqh muamalat), JakarTa:
PT.RajaGrafindo persada, 2003.

15
Mata Kuliah : BIMBINGAN DAN KONSELING
Prog. Studi : S1 PAI
Semester : Ganjil
Tugas : Kelompok
Dosen Pengasuh : ABD. KHALIK, S.Pd, SHI, M.Pd

MAKALAH
TENTANG
M U A M A L AH

DI SUSUN OLEH KELOMPOK III

NAMA : YAHYA AR.


JURUSAN : PAI
SEMESTER : III

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


YAYASAN PENDIDIKAN NASIONAL
JENEPONTO
2018

16
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah.. Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan
hidayah-Nya. Segala pujian hanya layak kita aturkan kepada Allah SWT. Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta petunjuk-Nya yang sungguh
tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang penulis
beri judul ” MUAMALAH ”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan rasa berterimakasih yang
sebesar-besarnya kepada mereka, kedua orang tua dan segenap keluarga besar
penulis yang telah memberikan dukungan, moril, dan kepercayaan yang sangat
berarti bagi penulis.
Berkat dukungan mereka semua kesuksesan ini dimulai, dan semoga semua
ini bisa memberikan sebuah nilai kebahagiaan dan menjadi bahan tuntunan kearah
yang lebih baik lagi. Penulis tentunya berharap isi makalah ini tidak meninggalkan
celah, berupa kekurangan atau kesalahan, namun kemungkinan akan selalu tersisa
kekurangan yang tidak disadari oleh penulis.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis mengharapkan
agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Penyusun,

SUPARMAN

ii
17
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1

A. Latar Belakang............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah........................................................................................ 2

C. Tujuan.......................................................................................................... 2

II. PEMBAHASAN............................................................................................... 3

A. Pengertian Muamalah.................................................................................. 3

B. Menghindari Riba........................................................................................ 9

III. PENUTUP........................................................................................................ 14

A. Kesimpulan.................................................................................................. 14

B. Saran............................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 15

iii
18

Anda mungkin juga menyukai