Disusun Oleh :
Aditya syahril (221150217)
Yuan Bintang V (221150218)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI……………………………………………………....
BAB I………………………………………………………………
PENDAHULUAN…………………………………………………
Latar Belakang…………………………………………………
BAB II……………………………………………………………...
PEMBAHASAN…………………………………………………….
A. Jual Beli…......6
B. Hutang Piutang…………………………………………..…….
C. Riba...........………………………………………………………
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………….
Saran……………………………………………………………
Daftar Pusataka ………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap
hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sah ataupun tidak. Utang
piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan
kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh krena itu, pada makalah ini akan memebahas tentang jual- beli, utang piutang,
agar para penbaca tidak masuk dalam jurang riba.
BAB II
PEMBAHASAN
MUAMALAT JUAL BELI, HUTANG PIUTANG, RIBA
Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela.
Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (agar tebedakan
dengan jual beli terlarang). Sedangkan dalam buku ‘Fiqih Islam’ pada bab Kitab
Muamalat, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan
cara yang tertentu (akad).
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-
Baqarah: 275)
Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului
oleh penghalalan jual beli. Jual beli adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi
manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli.
Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun
jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah
aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem
perekonomian.
Namun, seperti apakah konsep jual beli tersebut yang dibolehkan dan sesuai
dengan pandangan Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu
melihat batasan-batasan dalam melakukan aktivitas jual beli. Al-Omar dan Abdel-
Haq (1996) menjelaskan perlu adanya kejelasan dari obyek yang akan
dijualbelikan. Kejelasan tersebut paling tidak harus memenuhi empat hal.
Masalah existence. Yaitu Obyek dari barang tersebut harus benar-benar nyata dan
bukan tipuan. Barang tersebut memang benar-benar bermanfaat dengan wujud
yang tetap.
Delivery. Artinya harus ada kepastian pengiriman dan distribusi yang tepat.
Ketepatan waktu menjadi hal yang penting disini.
Precise determination. Yaitu Kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan
melekat dengan barang yang akan diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual
barang yang tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan pada saat promosi dan
iklan.
Dari keempat batasan obyek barang tersebut kemudian kita perlu melihat
bagaimanakah konsep kepemilikan suatu produk dalam Islam. Al-Omar dan
Abdel,Haq (1996) juga menjelaskan bahwa konsep kepemilikan barang itu adalah
mutlak milik Allah yang terdapat dalam surah Al-Hadid: 7. Semua yang ada di
darat, laut, udara, dan seluruh alam semesta adalah kepunyaan Allah. Manusia
ditugaskan oleh Allah sebagai khalifah untuk mengelola seluruh harta milik Allah
tersebut dan kepemilikan barang-barang yang menyangkut hajat hidup harus
dikelola secara kolektif dengan penuh kejujuran dan keadilan.
Dan Nabi SAW berabda: “dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk
saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling
jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan
cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya
saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya, maka akan dicabut barokah
jual beli dari keduanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan
shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas
yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli,
karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik
berupa harga atau sesuau yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat
mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka
jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan
yang dikehendaki.
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun
pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
2. Jual beli amanah, dengan dasar ini jual beli terbagi menjadi 4 jenis:
· Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang
diketahui
· Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian
yang diketahui
· Jual beli tauliyah, yitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga
modal, tanpa keuntungan atau kerugian
· Cara pembayaran (jual beli kont`n, jual beli nasi’ah, jual beli dengan
penyerahan barang tertunda, jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran
sama-sama tertunda.
Dalam ijab Kabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus,
Karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan
dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela
(ridho), direalisasikan dalam bentuk mengambil dan member atau cara lain yang
dapat menunjukkan keridhaan dan berdasarkan makna pemilikkan dan
mempermilikkan. Seperti ucapan penjual: aku jual, aku berikan, aku milikkan atau
ini menjadi milikmu dan ucapan si pembeli: aku beli, aku ambil, aku terima, aku
rela atau ambillah harganya. Akad juga sah dengan bahasa isyarat yang dipahami
dari orang bisu. Karena isyarat bagi orang bisu merupakan ungkapan dari apa yang
ada di dalam jiwanya tak ubahnya ucapan bagi orang yang dapat berbicara. Bagi
orang bisu dapat berakad dengan tulisan, sebagai ganti dari bahasa isyarat, ini jika
si bisu dapat memahami baca tulis.
4. Khiyar
Khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara, yaitu melangsungkan jual beli
atau mengurungkannya. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang
berjual beli dapat memikirkan kemashlahatan masing-masing lebih jauh, supaya
tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu. Khiyar ada
3 macam, yaitu:
a. Khiyar majelis
Artinya: “Si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama
keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan
dalam segala macam jual beli”.
Bagi tiap-tiap pihak dari kedua pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau
membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan
pengertian bercerai dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Albaihaqqi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Aku pernah menjual
kekayaanku yang ada di Wadi (lembah) dengan Amirulmukminin Utsman yang
hartanya ada di Khaibar. Setelah Kami melangsungkan jual beli, Aku keluar
mundur ke belakang dari rumahnya, Aku takut kalau-kalau ia mengembalikan jual
beli. Menurut sunnah, bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli boleh
khiyar sebelum berpisah.
Seperti inilah yang dianut oleh Jumhur sahabat dan tabi’in. Dari kalangan Ulama,
Asy-syafi’I dan Ahmad paham ini mereka mengatakan:
Sesungguhnya khiyar majelis itu beralasan baik dalam jual beli, shulh (perjanjian
damai), hiwalah (tukar menukar) maupun ijarah (sewa menyewakan), dan semua
jenis akad pertukaran yang lazim dalam urusan harta.
Adapun akad lazim yang bukan bermotifkan ganti seperti akad perkawinan dan
perceraian, untuk jenis ini khiyar tidak berlaku.
Syaratnya adalah:
a) Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang gila tidak sah jual belinya.
b) Dengan kehendak sendiri, tidak karena dipaksa atau suka sama suka.
d) Balig
Syaratnya adalah:
a) Suci,
b) Ada manfaatnya
b. Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang di dalamnya syaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun
oleh pembeli, seperti seorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga
Rp100.000.000,- dengan syarat khiyar selama 3 hari.
“Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga
malam.”( H.R. Baihaqi dan Ibnu Majjah).
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang
mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari merak`. Tetapi
kalau kedua duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh
seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah
diketahui bahwa barang itu kepunyaan pemilik mulai dari masa akad. Tetapi kalau
jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk
menuruskan jual beli atau tidaknya, hendak lah dengan lafadz yang jelas
menunjukkan terus atau tidak nya jual beli.
c. Khiyar ‘Aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda benda yang dibeli,
seperti seorang berkata : “ saya beli mobil itu mobil itu seharga sekian, bila mobil
itu cacat akan saya kembalikan ”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu
Daud ari ‘Aisyah R.A bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut
disuruh berdiri didekatnya, didapatinya pada budak itu kecacatan, lalu diadukannya
kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual itu.
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang
yang dijual sebelum diterima oleh pembeli masih dalam tanggungan si penjual.
Kalau barang ada ditangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali
uang nya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi, umpamanya yang dibeli itu
kambing, sedangkan kambing nya sudah mati, atau yang dibeli tanah, sedangkann
tanah itu sudah diwakafkan nya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa
yang di beli nya ada kecacatan, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja
sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, berterus
terang, dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan
bersumpah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli.
Rasulullah SAW bersabda:
Para pedagang jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran islam dalam
berdagang nya didekatkan dengan para nabi, para sahabat dan orang orang yang
mati syahid pada hari kiamat.
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang
diperjual belikan, maka yang dibenarkan ialah kata kata yang punya barang, bila
antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah SAW bersabda:”Bila
penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang
dibenakan adalah perkataan yang punya barang atau di batalkan.”(HR Abu
Dawud).
6. Lelang (Muzayadah)
Penjualan dengan cara lelang disebut muzayadah. Penjualan seperti ini dibolehkan
oleh agama islam, karena dijelaskan dalam keterangan:
“Dari Annas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW. Menjual sebuah pelana dan sebuah
mangkok air dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini?
Seorang laki-laki menyahut: aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu
nabi berkata lagi, siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh
seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki
tadia.” (HR. Tirmidzi)
Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak
binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam
tulang dada induknya (madhamin).
Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual
barang najis, haram dan sebagainya.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas
seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang
yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya
konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya
pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat
Jum’at.
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah satu
jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah dan merupakan jenis mu’amalah
yang bercorak pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
b. Muqtaridh (peminjam).
d. Ijab qabul
Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal
tersebut telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab Hanafiyah adalah
boleh.
C. RIBA
1. Arti Riba
Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut;
Artinya.
Riba hanyalah berlaku pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang.
Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak,
kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan. Tidak
diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada
ditangannya (misal A membeli barang tersebut kepada si B)
Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup.
Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga
nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan
dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak
diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak
seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi
miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain – lain
Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan” (Ali imran/3 : 130)
Artinya: “Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang
mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua
berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)
Setiap orang Islam dan mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan, terlebih dahulu
wajib mengetahui apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Sesungguhnya
Allah telah membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi. Oleh karena itu,, mau
tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada kita. Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Allah telah mengayidi kata jual beli dengan alat memakrifatkan, yakni ْ اَلdan اَ ْلبَ ْي ُع
Jual beli ini diikat oleh beberapa ikatan – ikatan, syarat, dan rukun yang harus
dipelihara semua.
Jadi orang yang hendak jual beli wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak,
jelas akan makan riba, mau tidak mau Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang
jujur, besok pada hari kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur
dan orang – orang yang mati sahid”.
Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan yaitu berperang
melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta memaksa nafsunya
untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Jika tidak,
maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan Allah kepada orang
yang melanggar batas – batas, Kemudian sesungguhnya semua akad, seperti akad
ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rohn (gode), wakalah, wadiah, ariah,
sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat – syarat dan rukun –
rukunnya Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan ketelitian untuk
menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan ketidaksempurnaan syarat dan
rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri disetubuhi, maka berarti berzinah)
a. Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama)
dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan
satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan
seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW
Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba
nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata
b. Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau
pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam
atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu
juta Tiga ratus ribu rupiah)
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti
sabda Rasulullah Saw.:
c. Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari
orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran
utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan
perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum
dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan
pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B
menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda
dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan
bahwa:
Artinya: Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah
melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat
Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d. Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah
terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal
beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung
belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang
sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.
Artinya:“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum
dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa
dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu
menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)
Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan
membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain
Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang
akan diperoleh dari orang yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan –
angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was – was dan
khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya
dengan bunga yang besar. Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada
dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena
hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena
sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan
persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau
dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan
pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan
pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga
pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan
menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
Haram menjual barang yang belum diterima (oleh si penjual). menjual hewan
dengan daging juga haram, hutang ditukar dengan hutang juga haram, begitupula
dengan fuduly (si penjual bukan pemilik barangnya dan bukan sebagai wakil),
menjual barang yang tidak dapat dilihat atau jual belinya orang yang tidak
mukalaf, menjual barang yang tidak ada manfaatnya, menjual barang yang tidak
bisa diserahkan, tanpa ijab qobul, menjual barang yang tidak di bawah hak milik
seperti tanah mati atau orang merdeka, menjual barang yang samar atau najis,
seperti anjing dan menjual barang yang memabukan atau yang diharamkan, semua
adalah haram
Haram menjual sesuatu yang halal dan suci kepada orang yang diketahui bahwa
sesuatu itu akan digunakan untuk bermaksiat Haram menjual barang yang dapat
memabukan dan menjual barang yang cacat tanpa diberitahukan cacatnya
Harta peninggalan mayit tidak sah dibagi – bagikan atau dijual sekalipun hanya
sedikit, seperenam dirham misalnya, selagi hutang – hutang simayit belum
dilunasi, dan wasiat – wasiatnya harus dipenuhi. Jika belum naik haji, padahal
sudah berkewajiban maka harus dipungutlah dulu ongkos untuk haji dan umrah
sebelum diwaris, kecuali (boleh dijual) untuk memenuhi hal – hal diatas (untuk
hutang – hutang / untuk haji/umrah) Jadi harta peninggalan mayit seperti
digadaikan pada hal – hal di atas. Sebagaimana budak yang melukai, juga tidak
boleh dijual sebelum dipenuhi hak yang berurusan dengan dirinya, kecuali jika
yang memberi hutang (pada sayidnya) telah mengijinkan untuk menjual budak itu.
Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli,
tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa
dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual
karena demi hutangnya tersebut Demikian juga umpamanya, memberi hutang
kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh, tapi
sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan
upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah
rubtah, ini juga amat haram.
Haram memberi hutangan kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai
saat panen, tapi dengan janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi
utangan tersebut dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan
muqda
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a) Jual beliadalah saling menukar (menukarkan). Dan kata Al-Bai’ (jual) dan Asy-
Syiraa (beli), dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang sau sama
lain bertolak belakang. Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran harta
atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan (agar tebedakan
c) Dalam ijab Kabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, Karena
ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-
kata dan bentuk kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela (ridho),
d) Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus Al-
Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman. Pengertian qardh menurut
terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah adalah “sesuatu
penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan
dalam pengembaliannya.”
B. Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengarapkan
respon dari para teman – teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran
konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para
pembaca lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://youthecacoy.blogspot.com/2011/04/makalah-jual-beli.html
Lathif, AH. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005.