Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam
semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan
kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini kami susun untuk melengkapi mata pelajaran Agama Islam. Kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Dan kami juga
menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam
memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta
bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena
kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita
sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Bandung, mei 2022

Salma ayu hazwannisa


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli

B. Dasar Hukum Jual Beli

C. Rukun Jual Beli

D. Syarat Jual Beli

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak yang satu menerima benda-benda dan
pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan secara syara’
dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan, rukun-
rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.

Jual beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh masyarakat, karena dalam setiap
pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk meninggalkan akad
ini. Dari akad jual beli ini masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti
kebutuhan pokok (primer), kebutuhan tambahan (sekunder) dan kebutuhan tersier.

Suatu akad jual beli di katakan sebagai jual beli yang sah apabila jual beli itu disyariatkan,
memenuhi rukun dan syarat sah yang di tentukan, bukan milik orang lain, tidak tergantung pada
hak khiyar. Sebaliknya jual beli di katan batal apabila salah satu rukun atau seluruh rukunnya
tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya tidak disyariatkan, seperti jual beli yang di
lakukan anak kecil, orang gila, atau barang yang di jual itu barang-barang yang di haramkan oleh
syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar. Akan tetapi, dewasa ini, masyarakat melakukan
transaksi jual beli dengan menghalalkan segala cara hanya untuk meraup keuntungan yang besar
tanpa memperhatikan apakah transaksi jual beli yang diakukannya sudah sesuai apa yang telah
disyariatkan atau tidak.

Dalam melaksanakan kemitraan ekonomi dalam jual beli agar sesuai dengan tujuan dan prinsip
dasar fiqih muamalah maka harus memenuhi asas-asas muamalah yang meliputi pengertian-
pengertian dasar yang dikaitkan sebagai teori yang membentuk hukum muamalah, asas-asas
tersebut yakni:

1. Asas Taba’dul Manafi

Bahwa segala bentuk kegiatan muamalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama
bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antara individu atau
pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluan masinh-masing dalam
rangka kesejahteraan bersama.

2. Asas pemerataan
Merupakan penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalat yang menghendaki agar harta itu
tidak dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata
diantara masyarakat, baik kaya maupun miskin.

3. Asas Antaradim atau suka sama suka

Merupakan kelanjutan dari prinsip pemerataan, bahwa setiap bentuk muamalat antar individu
atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan disini dapat berarti
kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam
menerima atau menyerahkan harta yang dijadikan objek perikatan dalam bentuk muamalat
lainnya.

4. Asas Adam Al-Gharar

Bahwa pada setiap bentuk muamalat tidak boleh adanya gharar yaitu tipu daya atau sesuatu yang
menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan
hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan.

5. Asas Al-Birr wa at-taqwa

Merupakan bentuk muamalat yang termasuk dalam kategori suka sama suka ialah sepanjang
bentyk muamalat dan pertukaran manfaat itu dalam rangka pelaksanaan saling tolong menolong
antar sesame manusia untuk al-birr wa at-taqwa, yakni kebijakan dan kebijakan dalam berbagai
bentuknya.

6. Asas Musyarakah

Asas ini menghendaki bahwa setiap bentuk muamalat merupakan musyarakah yakni kerjasama
antar pihak yang saling menguntungkan bukan hanya pihak yang terlibat, melainkan juga bagi
kelurusahan masyarakat. Asas ini melahirkan bentuk pemilikan. Pertama, milik pribadi atau
perorangan adalah harta atau benda dan manfaatnya dapat dimiliki perorangan. Kedua, milik
bersama atau milik umum yang disebut hak Allah atau haqqullah.

Enam prinsip diatas mengungkapkan bahwa jual beli bukan hanya sekedar kegiatan tukar
menukar barang oleh kedua belah pihak yang saling membutuhkan, tetapi jual beli merupakan
manifestasi manusia untuk saling tolong menolong, sehingga tidak dibenarkan dalam jual beli
terdapat sifat saling merugikan. Jual beli harus saling menguntungkan.

Jual beli dalam Islam tidak dilarang, namun Islam sangat memperhatikan unsur-unsur dalam
transaksi jual beli. Itu artinya bahwa semua kegiatan bermuamalah termasuk jual beli pada
dasarnya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hal ini sesuai kaidah
fikih yang artinya: “Pada dasarnya semua akad dan muamalah itu hukumnya sah sampai ada dalil
yang membatalkan dan mengharamkannya.” Dari kaidah tersebut dapat dipahami bahwa dalam
urusan dunia termasuk di dalamnya muamalah, Islam memberikan kebebasan kepada manusia
untuk mengaturnya sesuai dengan kemaslahatan mereka, dengan syarat tidak melanggar
ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara’. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat An-Nisa ayat 29:

‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ‫ْأ‬ ٰ ٓ
ٍ ‫ٰياَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا اَل تَ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن ت ََر‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu.”

B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar hukum jual beli?

2. Bagaimana jual beli itu disyariatkan?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dasar hukum jual beli

2. Untuk mengetahui disyariatkannya jual beli


BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian jual beli

a. Bahasa
Jual-beli atau perdagangan dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bay'u (4), al-tijarah
(a), atau al-mubadalah (). Sebagaimana firman Allah SWT:

‫يزجون تجارة لن تبور‬

Mereka mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi (QS. Fathir: 29)

b. Istilah

Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli


adalah:

‫مقاتلة قال بقال تمليك‬

Tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan.Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni
menyebutkan bahwa jual-beli sebagai :

‫مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا‬

Pertukaran harta dengan harta kepemilikan dan penguasaan. Dengan Dr. Wahbah Az-Zuhaili di
dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu mendefinisikan al-bay'u (c) sebagai :

‫مقابلة شيء بشيء‬

Menukar sesuatu dengan sesuatu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-
beli adalah : Menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, dengan jalan
melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atasdasar saling merelakan".

1.2 Dasar Hukum Jual Beli

Pada hakikatnya, Islam tidak melarang segala bentuk jual beli apapun selama tidak merugikan
salah satu pihak dan selama tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan dan diserukan
agar tetap memelihara persaudaraan. Karenanya, jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara
sesama umat manusia juga mempunyai landasan yang sangat kuat. Selain mengatur jual beli,
Islam juga mengatur dengan rinci mengenai akad sewa menyewa atau Ijarah.

Dasar hukum jual beli dalam Islam sendiri tentunya murni merujuk pada firman Allah SWT yang
tercantum dalam Alquran. Adapun dasar hukum memperbolehkan jual beli, di dalam Alquran
dijelaskan dalam tiga ayat, yakni Surat Al-Baqarah Ayat 275, Surat Al-Baqarah Ayat 198, dan
Surat An-Nisa Ayat 29.

Selain berpedoman pada Alquran, dasar hukum jual beli dalam Islam juga merujuk pada Al-
Sunnah. Artinya, Al-Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW
dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan penetapan yang baik menurut hukum syar’i. Dasar hukum
jual beli sesuai hadits Rasulullah SAW disampaikan Abdullah bin Umar RA yang berkata,
“Seorang laki-laki bercerita kepada Rasulullah SAW bahwa dia ditipu orang dalam hal jual beli.
Maka beliau bersabda, “Apabila engkau berjual beli, maka katakanlah,‛tidak boleh ada tipuan’.”

Jual Beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang kuat
baik dari Alquran maupun

al-Hadits.

1. Alquran Surat al-Baqarah, 2: 275:

‫وأحل هللا البيع وحرم الزيا‬

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba

2. Alquran Surat an-Nisa, 4: 29:

‫ وال تقتلوا أنفسكم إن هللا كان بكم رحيما‬، ‫يا أيها الذين آمنوا ال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجارة عن تراض منكم‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu.

3- Hadits Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Abu Sa'id al-Khudri:

- ‫انما البيع عن تراض – رواه ابن ماجه‬

Sesungguhnnya jual beli itu berdasarkan perizinan timbal balik.

1.3 Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun jual beli terdiri (1) Penjual dan pembell, (2) Barang yang diperjualbelikan, (3) Harga
(uang), (4) Ijab dan qabul 1. Penjual dan pembeli, diperlukan syarat memiliki kecakapan
bertindak hukum sempuma (berakal, baligh, dan rusyd) Jual beli yang dilakukan anak kecil dan
orang gila hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil tetapi sudah mumayiz" hukumnya sah, hanya
akibat hukumnya (seperti serah terima barang dan harga) belum dapat dilaksanakan, kecuali
sudah ada izin dari wali Tetapi jika barang yang diperjualbelikan itu barang yang ringan ringan
atau kecil-kecilan, tidak diperlukan izin dari wali (Anwar,2007). 2. Barang yang diperjualbelikan
(objek jual beli), syarat-syaratnya adalah:
a. Barang itu ada ketika transaksi (akad), atau barang itu tidak ada ketika akad, tetapi pihak
penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu (misal barang itu masih
digudang, karena di ruangan tokonya tidak bisa memuat banyak barang) (Haroen, 2000). Contoh
lain, dalam jual beli salam, yaitu jual beli barang pesanan, pembayaran di muka secara tunai,
sedang barang diserahkan di kemudian hari sesuai dengan kesepakatan. Jual beli salam ini,
barang belum ada ketika akad, tetapi penjual menjelaskan spesifikasi barang tersebut dan akan
diserahkan kepada pembeli pada waktu yang telah disepakati (Jual Bell Salam akan dibahas pada
sub bab. selanjutnya).

b. Barang itu dapat dimanfaatkan atau bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, darah, khamer,
binatang babi tidak sah menjadi objek jual beli, karena barang-barang tersebut yang oleh syari'ah
tidak boleh dimanfaatkan bagi orang Islam (Haroen, 2000). Barang itu telah dimiliki, artinya
barang yang belum

c.dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan. Seperti memperjualbelikan ikan di laut, atau
emas yang masih dalam tanah, karena ikan dan tanah ini belum dimiliki penjual (Haroen, 2000).
Termasuk dalam pengertian ini, bahwa barang yang masih ada dalam kekuasaan orang lain,
seperti sedang disewakan atau masih menjadi barang jaminan utang.

d. Barang itu dapat diserahkan ketika akad berlangsung atau pada waktu lain yang disepakati
bersama ketika akad berlangsung (seperti jual bell salam). Kriteria barang harus dijelaskan
spesifikasinya, baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya.

3. Harga (uang), diperlukan syarat-syarat; yaitu:

a. Harga yang disepakati kedua pihak (pembeli dan penjual) harus jelas jumlah nominalnya.

b. Harga boleh diserahkan ketika akad, baik dengan uang tunai maupun cek atau kartu kredit.
Jika harga barang dibayar kemudian (utang), waktu pembayarannya harus jelas. C. Jika jual beli
itu dilakukan dengan cara barter (tukar menukar sesama barang), kalau barangnya sejenis maka
nilai harga, kuantitas dan kualitas harus sama, tetapi jika barangnya tidak sejenis, maka nilai
harga, kuaitas, dan kuantitas boleh berbeda tetapi penyerahannya ketika akad berlangsung (tunal)
(Haroen, 2000).

4. liab qabul, disyaratkan:

a. Ungkapan ijab qabul secara jelas, ada kesesuaian antara ijab dengan qabul. Misalnya, penjual
mengatakan: "saya jual laptop Toshiba ini sehaga 5 (lima) juta". Pembell menjawab: "saya bell
laptop Toshiba itu dengan harga 5 (lima) juta". Ungakapan ijab qabul dalam jual beli merupakan
kongkretisasi (perwujudan) dari unsur saling ridho (suka sama suka), karena saling ridho itu
termasuk urusan batin, maka sebagai kongkretisasinya dalam bentuk ijab qabul. Dengan adanya
saling ridho dalam bentuk ijab qabul, maka
jual beli atas dasar paksaan, ada unsur penipuan, terdapat madhorot (bahaya-kerugian) dan hal-
hal lain yang membuat akad jual beli menjadi rusak ataupun terdapat unsur riba dipandang tidak
sah.

b.Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, artinya penjual dan pembell hadir atau berada
dalam satu tempat (toko, pasar, dan lain-lain). Teori kesatuan majelis bila dikaitkan dengan
kondisi zaman sekarang akan mengalami kesulitan, misalnya transaksi itu bisa berlangsung
melalui pesawat telepon, dalam kondisi demikian, pelaku jual beli tidak dalam satu tempat
artinya bisa juga pembeli ada di Solo, penjualnya ada di Jakarta (ash-Shawl, 2004). Oleh sebab
itu makna satu majelis tidak diartikan secara fisik, melainkan bisa juga kesatuan masa
berlangsungnya negoisasi baik lewat percakapan telepon atau e-mail. Selama percakapan itu
masih berlangsung, dan line telepon masih tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada
dalam kategori satu majelis (lokasi akad). Satu majelis tidak berarti harus bertemu secara fisik
dalam satu tempat, yang terpenting adalah kedua pihak mampu mendengarkan maksud masing
masing, apakah akan menyetujui atau menolaknya.

c. Ungkapan ijab qabul boleh dengan cara tertulis, lisan, isyarat atau sikap yang menunjukan
adanya bentuk ijab qabul. Apalagi dalam zaman modern sekarang ini, ungkapan ijab qabul tidak
lagi diucapkan, tetapi cukup dengan sikap mengambil barang dan membayarnya dari pembeli ke
penjual, menerima uang dan menyerahkan barang dari penjual kepada pembeli (seperti belanja di
swalayan) (Haroen, 2000). Dalam ijab dan qabul perlu dipertimbangkan sifat atau keadaan
barang yang menjadi objek jual beli, jika yang menjadi objek jual beli berupa barang yang kecil-
kecilan tidak perlu pakai jab qabul secara formal atau tertulis, tetapi jika objek jual beli berupa
barang yang bernilai secara ekonomi, maka diperlukan ijab qabul secara formal atau tertulis
(semacam kuitansi atau sertifikat balik nama jika objek jual beli berupa tanah atau bangunan
rumah). Dari syarat-syarat di atas, dapat dipahami bahwa jual bell sudah dipandang sah, jika
rukun dan syarat telah terpenuhi. Hanya saja akad jual beli tersebut belum mengikat kedua belah
pihak. (penjual dan pembel), kecuali jual beli tersebut sudah terbebas dari Khiyar (hak pilih bagi
salah satu pihak yang melakukan jual beli untuk melangsungkan atau membatalkan jual bell,
karena terdapat beberapa faktor atau sebab-sebab tertentu, seperti barang yang dijualbelikan
terdapat cacat atau kerusakan, dan cacat atau kerusakan barang tersebut tidak diketahui ketika
akad berlangsung, maka hukum muamalat Islam memberikan hak khiyar bagi pembeli untuk
melangsungkan atau membatalkan akad jual beli tersebut) (Khiyar akan dibahas pada sub bab
selanjutnya).

Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila jual beli sudah terpenuhi rukun dan semua syarat di
atas, secara hukum jual beli itu dipandang sah dan mengikat kedua belah pihak, artinya masing
masing pihak (penjual atau pembeli) tidak boleh membatalkan jual bell tersebut kecuali ada izin
dari salah satu pihak..
2.1 Jual beli yang di larang

Transaksi dalam Islam haruslah didasari dengan adanya saling suka, hal ini untuk memperoleh
suatu transaksi yang saling menguntungkan dengan cara yang adil, sehingga tidak menimbulkan
kerugian terhadap pihak lainnya. Allah SWT telah berfirman:

‫اض ِّمن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُ ٓو ۟ا َأنفُ َس ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬ ۟ ‫۟ ْأ‬ ٓ
ٍ ‫ٰيََأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُوا اَل تَ ُكلُ ٓوا َأ ْم ٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْٱل ٰبَ ِط ِل ِإآَّل َأن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً عَن تَ َر‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Q.S An-Nisa : 29)

Adapun sebab mengapa sebuah transaksi dilarang yaitu karena haram zatnya (objek yang
diperjualbelikan seperti minuman beralkolhol, babi, dan bangkai), haram selain zatnya (cara
bertransaksinya), dan tidak sah (lengkap) akadnya (rukun dan syarat yang tidak terpenuhi dan
terjadinya ta’alluq).

Diantara beberapa jenis jual beli yang dilarang dalam Islam antara lain;
1. Bai’ al-Talji’ah (‫)بيع التلجئة‬

Bai’ al-Talji’ah merupakan suatu bentuk jual beli yang dilakukan oleh seorang penjual yang
dalam kondisi terdesak (terpaksa) karena khawatir hartanya diambil oleh orang lain. Atau harta
yang masih dalam status sengketa sehingga agar tidak mengalami keruguan, harta tersebut dijual
kepada pihak lain. Pilihan untuk menjual barang dilatarbelakangi oleh tujuan untuk
menyelamatkan hartanya atau mendapatkan keuntungan lebih sebelum harta dibagi dengan
pemilik lainnya. Jenis jual-beli seperti ini termasuk jenis jual beli yang dilarang dalam Islam,
karena dapat menimbulkan ketidakpastian, sengketa di kemudian hari serta dapat menimbulkan
kerugian pada salah satu pihak, terutama pihak pembeli.

Bahkan dalam fikih Islam dikenal istilah “al-Hajru” yaitu; pencegahan atau menahan seseorang
untuk melakukan transaksi atau membelanjakan hartanya (termasuk menjual) karena dianggap
belum cakap demi menjaga keselamatan harta benda tersebut. Pada dasarnya “al-Hajru” ini
sering dikaitkan dengan persoalan ketidakcakapan seseorang dalam melakukan transaksi jual-
beli jika pelakunya masih terlalu kecil, gila atau dalam kondisi tertentu yang tidak
memungkinkan untuk melakukan transaksi secara sadar dan bertanggung jawab serta dapat
mengakibattkan keruguan bagi yang bersangkutann maupun pihak lain. Namun “al-hajru” juga
dapat diterapkan dalam kasus yang berbeda untuk menghindari kerugian bagi pihak lain maupun
yang bersangkutan.

Diantara hikmah disyari’atkannya hal ini adalah; untuk menjaga hak orang lain, misalnya; orang
yang sakit parah dilarang menjual hartanya melebih 1/3 hartanya, guna menjaga hak ahli
warisnya. Atau salah seorang ahli waris dilarang menjual harta warisan sebelum harta warisan
tersebut dibagikan kepada ahli waris lain yang masih memiliki hak kewarisan, dan lainnya.
Hikmah yang lain adalah untuk menjaga haknya sendiri, misalnya; anak yang masih kecil atau
orang gila, mereka harus dicegah untuk melakukan transaksi jual beli untuk menjaga hartanya
dari kepunahan.

Adapun contoh bai’ al-talji’ah antara lain;: menjual barang atau tanah yang masih dalam posisi
sengketa, atau menjual barang atau rumah untuk mengelak dari proses lelang yang akan
dilakukan oleh bank atau pemberi hutang. Menjual barang yang masih dalam sengketa tentu
merupakan tindakan yang tidak dibenarkan baik berdasarkan norma, hukum terlebih lagi agama.

2. Jual Beli dengan Sistem Uang Hangus (‫)بيع العربون‬

Jual-beli ‘Urbun (bai’ al-‘Urbun) adalah suatu sistem atau bentuk jual beli dimana pembeli
membayar sejumlah uang (uang muka) untuk menunjukkan keseriusan dalam melakukan
transaksi jual beli. Jika jual beli tersebut dilanjutkan, maka uang muka tersebut akan menjadi
bagian dari harga barang yang diperjual belikan, sehingga pembeli hanya menggenapkan atau
melengkapi kekurangan dari harga barang. Namun jika transaksi jual beli dibatalkan, maka
keseluruhan uang muka menjadi milik calon penjual dan sedikitpun tidak dikembalikan kepada
calon pembeli. Dalam istilah yang lebih populer jenis jual beli seperti ini sering disebut dengan
“jual beli dengan sistem uang hangus”.

Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini,
sebagaimana dijelaskan oleh para sahabat; “Naha Rasulullah saw ‘an bai’ al-‘Urbun” (Rasulullah
saw telah melarang jual beli ‘Urbun).

Jenis jual beli ini termasuk yang diharamkan karena penuh dengan kezaliman, rekayasa serta
mengambil hak orang lain secara bathil dan dapat merugikan pihak lain. Sebab pada prinsifnya
uang muka merupakan hak milik pembeli, sehingga jika terjadi pembatalan transaksi karena
faktor-faktor tertentu, maka uang muka harus dikembalikan kepada calon pembeli, karena
pembeli tidak mengambil sedikitpun dari barang yang sedang ditransaksikan. Namun jika
pembatalan itu dilakukan secara sepihak tanpa alasan yang dibenarkan dan dapat merugikan
pihak calon penjual, maka calon penjual dapat meminta kompensasi yang wajar menurut
kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan
dan dikhianati.

Hal ini juga berlaku pada bisnis transportasi yang banyak ditemukan dewasa ini, seperti;
seseorang memesan travel beberapa hari sebelumnya untuk tujuan tertentu, namun sehari atau
pada saat jadwal pemberangkatan tiba si calon penumpang membatalkan secara sepihak dengan
alasan tertentu. Maka pihak pemilik jasa travel merasa dirugikan oleh calon penumpangnya
karena bangku yang sudah dipesan tidak dapat diberikan (dijual) kepada pemesan lainnya
karena sudah terlanjur dipesan oleh calon penumpang pertama. Konsekwensinya adalah terjadi
kekosongan yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik jasa travel tersebut. Terhadap kasus
seperti ini, pemilik travel dapat mengambil sebagian dari uang muka (seperti; 25% atau 50%)
sebagai kompensasi terhadap kerugian yang dideritanya. Atau pihak pemilik jasa travel dapat
membuat regulasi (peraturan) yang ditempelkan atau dipublikasikan sehingga diketahui oleh para
calon penumpang, bahwa jika terjadi pembatalan pada hari pemberangkatan maka akan dipotong
sebesar 25% atau lebih dari uang muka atau dari tarif yang telah ditentukan.

3. Bai’ Ihtikar (‫)بيع اإلحتكار‬

Jual beli Ihtikar adalah salah satu jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, yaitu suatu jenis jual
beli dengan sistem penimbunan. Dimana seorang penjual (pedagang) sengaja memborong barang
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak lalu menimbunnya,
sehingga menyebabkan kelangkaan barang di pasaran, yang pada akhirnya mengakibatkan harga
barang melambung tinggi sehingga mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat dan lemahnya
daya beli mereka.

Motif utama dari pelaku jual beli ini adalah untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda,
karena biasanya mereka akan menjual barang timbunannya setelah harga melonjak naik di
pasaran. Oleh sebab itu Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini dan dikategorikan sebagai
bentuk kesalahan dan kezhaliman kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda, sebagaimana
diriwayatkan dari Ma’mar;

َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:‫ِّث َأ َّن َم ْع َمرًا قَا َل‬


‫ َو‬Ÿُ‫ َر فَه‬Ÿ‫لَّ َم َم ِن احْ تَ َك‬Ÿ ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬ ِ َّ‫ َكانَ َس ِع ْي ُد ابْنُ ْال ُم َسي‬:‫ع َْن يَحْ َي َوهُ َو ابْنُ َس ِع ْي ٍد قَا َل‬
ُ ‫ب يُ َحد‬
‫ – رواه مسلم و أحمد و أبو داود‬.… ‫اطٌئ‬ ِ َ‫خ‬

“Dari Yahya beliau adalah ibn Sa’id, ia berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab memberitakan
bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang menimbun barang, maka ia
telah melakukan kesalahan (berdosa) …”(HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawu)

Dalam prakteknya, jenis jual beli ini sering kali terjadi di tengah masyarakat baik yang
menyangkut kebutuhan pokok masyarakat (sembako) maupun kebutuuhan-kebutuhan lainnya,
terutama dalam momen-momen tertentu seperti lebaran atau pergantian tahun, atau bahkan
ketika berhembusnya wacana kenaikan harga barang oleh pemerintah. Sehingga tidak jarang
karena kezhaliman ini, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng, bumbu-bumbu
dapur, bensin, solar, hingga air mineral.

Praktek seperti ini, disamping merupakan bentuk egoisme dan kezhaliman terhadap masyarakat
luas, namun juga salah satu bentuk kebiadaban (kezhaliman) dan dosa kemanusiaan yang sangat
besar.

4. Jual Beli Benda Najis

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan benda-benda najis di sini adalah makanan, minuman atau
hewan yang dianggap najis dan dilarang untuk dikonsumsi seperti babi, anjing, minuman keras,
bangkai dan lain sebagainya. Benda-benda ini tidak hanya dilarang untuk dikonsumsi secara
langsung, namun juga dilarang untuk diperjual belikan. Bahkan orang yang memakan hasil
penjualannya sama dengan mengkonsumsi barang itu sendiri.

Dalam hadis nabi saw, banyak menjelaskan tentang larangan mengkonsumsi dan memperjual
belikan benda-benda najis ini, antara lain:

‫ ِة‬Ÿَ‫ر َو ْال َم ْيت‬Ÿ


ِ Ÿ‫ح َوه َُو بِ َم َّكةَ ِإ َّن هللاَ َو َرسُوْ لَهُ َح َّر َم بَ ْي َع ْالخَ ْم‬
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل عَا َم ْالفَ ْت‬ َ ِ‫ُول هللا‬ َ ‫ع َْن َجابِ ِر ا ْب ِن َع ْب ِد هللاِ َأنَّهُ َس ِم َع َرس‬
َ‫ال ال‬Ÿ َ Ÿَ‫ فَق‬. ُ‫ا النَّاس‬ŸŸَ‫بِ ُح بِه‬Ÿ‫َص‬ ْ ‫وْ ُد َويَ ْست‬ŸŸُ‫ُطلَى بِهَا ال ُّسفُنُ َويُ ْدهَنُ بِهَا ْال ُجل‬ ْ ‫َو ْال ِخ ْن ِزي ِْر َواَألصْ ن َِام فَقِ ْي َل يَا َرسُوْ َل هللاِ َأ َرَأيْتَ ُشحُوْ ُم ْال َم ْيتَ ِة فَِإنَّهُ ي‬
‫وْ هُ ثُ َّم‬ŸŸُ‫حُوْ ُمهَا َأجْ َمل‬Ÿ‫ َّر َم َعلَ ْي ِه ْم ُش‬Ÿ‫ َّل لَ َّما َح‬Ÿ‫ َّز َو َج‬Ÿ‫وْ َد ِإ َّن هللاَ َع‬ŸŸُ‫ َل هللاُ ْاليَه‬Ÿَ‫ك قَات‬ َ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِع ْن َد َذال‬
َ ِ‫هُ َو َح َرا ٌم ثُ َّم قَا َل َرسُو َل هللا‬
‫ – رواه الجماعة‬.ُ‫بَا ُعوْ هُ فََأ َكلُوْ ا ثَ ُمنَه‬

“Dari jabir Ibn Abdullah r.a. ia mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu tahun
kmenangan, ketika itu beliau di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan
jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala. Kemudian ditanyakan kepada beliau: Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk
mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orang-orang untuk penerangan.
Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau bersabda: Allah melaknat orabr-orang
Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya, mereka mencairkan lemak itu,
kemudian menjualnya dan makan hasil penjualannya”. (HR. al-Jama’a)

‫ َّر َم‬Ÿ‫ا َوِإ َّن هللاَ ِإ َذا َح‬ŸŸَ‫وْ َأ ْث َمانِه‬ŸŸُ‫ت َعلَ ْي ِه ُم ال ُّشحُوْ ُم فَبَا ُعوْ هَا َو َأ َكل‬
ْ ‫ لَ َعنَ هللاُ ْاليَهُوْ َد ُح ِّر َم‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ‫س َأ َّن النَّبِ َي‬
ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعبَّا‬
‫ – رواه أحمد و أبو داود‬.ُ‫َعلَى قَوْ ٍم َأ ْك َل َش ْيٍئ َح َّر َم َعلَ ْي ِه ْم ثَ َمنَه‬

“Dari Ibnu Abbas Nabi saw bersabda: Allah melkanat orang-orang Yahudi, karean telah
diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan memakan
hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan
sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Bahkan dalam hadis lain, Rasulullah saw menjelaskan tentang akibat dari mengkonsumsi barang
najis seperti khamar dan lainnya, antara lain dalam hadisnya:

ْ ‫لَّ َم لُ ِعن‬Ÿ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬


‫َت‬ َ ِ ‫و ُل هَّللا‬Ÿ‫ال َر ُس‬Ÿ َ Ÿَ‫و ُل ق‬ŸŸُ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ ْالغَافِقِ ِّي َوَأبِي طُ ْع َمةَ َموْ اَل هُ ْم َأنَّهُ َما َس ِم َعا ا ْبنَ ُع َم َر يَق‬
– ‫اربِهَا َو َساقِيهَا‬ ِ ‫ص ِرهَا َوبَاِئ ِعهَا َو ُم ْبتَا ِعهَا َو َحا ِملِهَا َو ْال َمحْ ُمولَ ِة ِإلَ ْي ِه َوآ ِك ِل ثَ َمنِهَا َو َش‬ ِ ‫ْالخَ ْم ُر َعلَى َع ْش َر ِة َأوْ ُج ٍه بِ َع ْينِهَا َوعَا‬
ِ َ‫ص ِرهَا َو ُم ْعت‬
‫رواه أحمد و ابن ماجة‬

“Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah mantan budak mereka,
keduanya mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw bersabda: ” dilaknat (akibat) khamar
sepuluh pihak; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, yang minta
dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil penjualannya,
peminumnya dan yang menuangkannya (pelayannya), “ (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

5. Jual Beli dengan Penipuan

Jenis jual beli ini telah umumm dikenal di tengah masyarakat sebagai salah satu bentuk jual beli
yang dilarang dan tidak disukai oleh masyarakat, baik dengan cara-cara tradisional hingga cara-
cara penipuan yang moderen. Sehingga dalam pembahasan ini penulis hanya mengemukakan
salah satu dalil yang melarang disertai beberapa contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang
banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Adapun salah satu dalil yang melarangnya adalah
sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra:

‫ب‬
َ ‫اح‬ َ ‫ت َأ‬
َ ‫صابِ ُعهُ بَلَالً فَقَا َل َماهَ َذا يَا‬
ِ Ÿ‫ص‬ ْ َ‫ص ْب َر ِة طَ َع ٍام فََأ ْد َخ َل يَ َدهُ فِ ْيهَا فَنَال‬
ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َّر َعلَى‬ َ ِ‫ع َْن َأبِى هُ َر ْي َرةَ َأ َّن َرسُوْ َل هللا‬
‫ – رواه مسلم‬.‫ْس ِمنِّى‬ َ ‫ق الطَّ َع ِام َك ْي يَ َراهُ النَّاسُ َم ْن غَشَّ فَلَي‬ َ ْ‫صابَ ْتهُ ال َّس َما ُء يَا َرسُوْ َل هللاِ قَا َل َأفَالَ َج َع ْلتَهُ فَو‬
َ ‫الطَّ َع ِام قَا َل َأ‬

“Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw lewat pada setumpuk makanan, kemudian beliau
memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, maka jari-jari beliau terkena
makanan yang basah. Beliau bertanya; Apa ini wahai pemilik (penjual) makanan ? Ia menjawab:
Terkena hujan, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Mengapa kamu tidak menaruh yang basah ini
di atas agar dapat dilihat orang ? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan golonganku”. (HR.
Muslim)
Sedangkan contoh-contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang banyak beredar di tengah-tengah
masyarakat antara lain; menjual sembako (contoh: beras) dengan takaran atau neraca yang
direkayasa (dilas atau dipasang magnet) sehingga berat barang tidak sesuai dengan realitanya,
menjual buah yang sesungguhnya sudah tidak layak namun diberikan zat pewarna sehingga
terkesan masih segar, menjual daging sapi namun dicampur dengan daging babi dan sejenisnya,
menjual ayam yang sudah menjadi bangkai (ayam tiren) lalu direkayasa seolah ayam yang baru
disembelih, barang kemasan yyang sudah kadaluarsa atau terbuat dari bahan-bahan haram lalu
disembunyikan masa kadaluarsanya atau ditempelkan llabel halal, dan lain sebagainya.

Cara cerdas agar seseorang tidak menjadi korban penipuan dalam transaksi jual beli adalah;
hendaknya para calon pembeli berhati-hati dan waspada dengan berbagai modus yang banyak
dilakukan oleh para penipu yang hanya mementingkan keuntungan pinansial tanpa memikirkan
dampak dan kerugian bagi para pembeli, tidak terlalu konsumtif dan harus jeli melihat barang
yang akan dibelinya baik yang terkait dengan bahan dasarnya, rupanya hingga labelnya.

6. Bai’ al-wafa’ (‫)بيع الوفاء‬

Bai al-wafa’ adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan, dimana seorang menjual
barangnya kepada pihak lain dengan syarat barang tersebut harus dijual pada dirinya (penjual)
dengan harga tertentu dan pada saat tertentu sesuai dengan perjanjian. Atau menjual barang
dalam batas waktu tertentu, jika waktu itu tiba maka seorang pembeli harus menjual kembali
barangnya kepada penjual pertama itu. Misalnya penjual mengatakan kepada calon pembeli,
barang ini saya jual dengan harga satu juta rupiah, dengan syarat tiga bulan yang akan datang
kamu harus menjual barang tersebut kepada saya dengan harga tertentu.

Jenis jual beli ini termasuk jenis jual beli yang terlarang, karena termasuk rekayasa dan
memberikan ketidakpastian, atau kepemilikan yang tidak utuh terhadap barang yang dibeli oleh
seseorang. Padahal dalam syariat Islam, jual beli merupakan salah satu cara terjadinya perubahan
kepemilikan (al-Taghayyur al-Milkiyah) dari seseorang kepada orang lain. Dengan terjadinya
perubahan kepemilikan tersebut, maka seorang pembeli berhak memiliki barang yang
dimilikinya tanpa terikat dengan waktu tertentu. Ia berhak untuk mengggunakannya dalam waktu
yang dia inginkan serta berhak menghibahkan atau menjual barang (harta) nya kepada siapapun
secara leluasa.

7. Jual Beli Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabazah dan Muzabanah

Larangan tentang keempat jenis jual beli ini telah disebutkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik ra, sebagai berikut:

‫ َذ ِة‬Ÿَ‫ ِة َو ْال ُمنَاب‬Ÿ‫ َر ِة َو ْال ُمالَ َم َس‬Ÿ‫اض‬


َ ‫ ِة َو ْال ُم َخ‬Ÿَ‫لَّ َم ع َِن ْال ُم َحاقَل‬Ÿ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬
َ ِ‫وْ ُل هللا‬Ÿ‫ض َى هللاُ َع ْنهُ َأنَّهُ قَا َل نَهَى َر ُس‬ ِ ‫ع َْن َأن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
ِ ‫ك َر‬
‫وال ُمزَ ابَنَ ِة – رواه البخارى‬ ْ
“Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli al-Muhaqalah, al-
Mukhadharah, al-Mulamasah, al-Munabazah dan jual beli al-Muzabanah.” (HR. Al-Bukhari)

Adapun pengertian dari kelima jenis jual beli tersebut adalah;

Jual beli al-Muhaqalah adalah; jenis jual beli dengan cara sewa menyewa tanah, baik berbentuk
sawah, kebun maupun berbentuk tambak dengan cara hasilnya nanti dibagi antara pemilik tanah
dengan penyewa tanah.

Jual beli al-Mukhadharah adalah; pengadaan jual beli buah-buahan yang masih berada di atas
pohon yang belum diketahui secara pasti kualitas (baik-buruknya) buah yang masih diatas pohon
itu pada saat terjadinya musim panen. Pengertian jual beli seperti ini daalam praktek masyarakat
di Indonesia sering disebut dengan jual beli Ijon.

Jual beli al-Mulamasah adalah; mengadakan jual beli dengan cara meraba barang yang akan
diperjual belikan dengan tanpa melihat barangnya.

Jual beli al-Munabazah adalah; mengadakan jual beli dengan cara saling melemparkan barang-
barang yang akan dijual belikan dengan tampa memeriksanya kembali.

Jual beli al-Muzabanah adalah; mengadakan jual beli kurma basah dengan kurma kering yang
masih berada di atas pohon. Hal ini juga berlaku terhadap semua jenis buah-buahan lainnya,
sehingga taksiran perbedaan volume (baik secara kuantitas maupun kualitas) antara yang basah
apabila telah kering tidak dapat diketahui.

Dengan melihat definisi dari kelima jenis jual beli yang dilarang tersebut, dapat difahami bahwa
di antara faktor yang menyebabkan dilarangnya praktek jual beli tersebut antara lain; faktor
jahalah (kesamaran atau ketidaktahuan) terhadap kuantitas dan kualitas barang, tidak
memberikan kepastian, adanya unsur maisir (spekulasi yang tidak dibenarkan), mengandung
unsur riba, kezhaliman terhadap salah satu pihak yang bertransaksi, berpeluang menimbulkan
penyesalan dari salah satu di antara dua belah pihak karena dapat menyebabkan kerugian bahkan
dapat memunculkan ketidak harmonisan karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan
yang dihadapinya.

Faktor-faktor tersebut dapat dibuktikan, salah satunya ialah pada praktek jual beli Muzabanah.
Secara substantif, definisi jual beli Muzabanah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama
adalah; setiap jual beli barang yang tidak/belum diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya
kemudian ditukar dengan barang lain yang sudah jelas timbangan atau jumlahya. Seperti;
menukar kurma atau padi/beras yang sudah ditimbang dengan kurma atau padi yang masih
berada di pohonnya. Dalam praktek seperti ini terdapat beberapa unsur larangan seperti; adanya
unsur riba, karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika
menukar barang ribawi yang sejenis harus dengan cara tunai dan takaran yang sama. Pada contoh
praktek tersebut juga terdapar unsur kezhaliman karena dapat merugikan salah satu pihak, serta
adanya unsur maisir, karena adanya ketidakpastian dan spekulasi yang dilarang.

Oleh sebab itu, Rasulullah saw menegaskan dalam hadis lain dari sahabat Abdullah bin Umar ra;

‫ ُع‬Ÿ‫التَّ ْم ِر َك ْياًل َوبَ ْي‬ŸŸِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن ْال ُم َزابَنَ ِة َو ْال ُم َزابَنَةُ بَ ْي ُع الثَّ َم ِر ب‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما َأ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن ُع َم َر َر‬
‫ب بِ ْالكَرْ ِم َك ْياًل – رواه البخاري ومسلم‬ ِ ‫ال َّزبِي‬

“Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw melarang Al Muzaabanah. Al Muzaabanah
adalah menjual kurma matang dengan kurma mentah yang ditimbang dan menjual anggur kering
dengan anggur basah yang ditimbang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

8. Jual Beli ‘Inah

Selain dari kelima jenis jual beli di atas, masih terdapat lagi beberapa jenis jual beli yang
dilarang oleh agama (Islam) karena memiliki unsur riba, yaitu jual beli ‘Inah, yaitu; suatu jenis
jual beli dimana seseorang menjual barang kepada orang lain (pembeli) secara tidak tunai,
kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tersebut secara tunai dengan harga yang lebih murah.

Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali memperdaya pihak lain agar mendapatkan
keuntungan dari transaksi utang piutang yang dikemas dengan akad atau transaksi jual beli.

Contoh jual beli ‘Inah: “Seorang Pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh seseorang (pihak lain
atau calon pembeli). Karena pada saat transaksi pihak yang ditawarkan belum memiliki uang
tunai, maka pemilik tanah mengatakan kepadanya; Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit
seharga 200 juta rupiah dengan tenggang waktu pelunasan sampai dua tahun ke depan. Namun
beberapa waktu kemudian, pemilik tanah mengatakan kepada pihak pembeli, sekarang saya
membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.

Sebenarnya di sini, pemilik tanah telah melakukan tipu muslihat, karena ia sesungguhnya ingin
meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai
perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut
transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena dalam hadis Nabi saw disebutkan:
“setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”

Sedangkan hadis yang melarang jenis jual beli ‘Inah ini terdapat dalam hadis riwayat Abu
dawwud sebagai berikut:

‫ر ْكتُ ْم‬Ÿَ
َ ‫ع َوت‬ِ ْ‫ال َّزر‬Ÿِ‫يتُ ْم ب‬Ÿ‫ض‬ ِ ‫ر َو َر‬Ÿِ َ‫اب ْالبَق‬Ÿ
َ Ÿَ‫ذتُ ْم َأ ْذن‬Ÿ
ْ Ÿَ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل ِإ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم بِ ْال ِعينَ ِة َوَأخ‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬
ُ ‫ال َس ِمع‬
َ َ‫ع َْن اب ِْن ُع َم َر ق‬
ُ‫ال َأبُو دَا ُود اِإْل ْخبَا ُر ِل َج ْعفَ ٍر َوهَ َذا لَ ْفظُه‬ ‫اًّل‬
َ َ‫ْال ِجهَا َد َسلَّطَ هَّللا ُ َعلَ ْي ُك ْم ُذ اَل يَ ْن ِز ُعهُ َحتَّى تَرْ ِجعُوا ِإلَى ِدينِ ُك ْم ق‬

“Dari Ibnu Umar ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika kalian berjual beli
secara cara ‘inah, mengikuti ekor sapi, ridha dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad,
maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian
hingga kalian kembali kepada agama kalian.” Abu Daud berkata, “Ini adalah riwayat Ja’far, dan
hadits ini adalah lafadznya.” (HR. Abu Daud)

9. Bisnis (Jual Beli) Jasa Tato

Seni tato merupakan salah satu jenis bisnis yang cukup digemari oleh sebagian orang terutama
anak-anak muda. Bahkan dianggap sebagai karya seni yang menjadi ciri khas dan identitas
sekelompok orang. Orang yang menggunakannya pun merasa percaya diri, macho dan gaul,
tetapi oleh sebagian orang, para penggunanya justru sering diidentikkan dengan penilaian-
penilaian negatif, seperti preman, anak jalanan dan lain sebagainya.

Dalam Islam, praktek tato atau bertato ini mendapatkan perhatian yang sangat serius, bahkan
termasuk salah satu perbuatan yang dikutuk atau dimurkai oleh Rasulullah saw. Maka jika hal ini
termasuk perbuatan yang dimurkai (dilaknat) oleh Rasulullah saw, maka tentu memfasilitasi dan
menjual jasa tato juga bagian yang terlarang. Hal ini dapat dijumpai penjelasannya dalam
beberapa hadis Nabi saw, antara lain:

‫ ِه‬Ÿِ‫ا َو ُمو ِكل‬ŸŸَ‫ل ال ِّرب‬Ÿ ِ ‫ َّد ِم َوثَ َم ِن ْال َك ْل‬Ÿ‫لَّ َم نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ال‬Ÿ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬
ِ Ÿ‫ب َوآ ِك‬ َّ ِ‫ْت َأبِي فَقَا َل ِإ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ُ ‫ع َْن عَوْ ِن ْب ِن َأبِي ُج َح ْيفَةَ قَا َل َرَأي‬
‫ – رواه البخاري‬.‫َو ْال َوا ِش َم ِة َو ْال ُم ْستَوْ ِش َم ِة‬

“Dari Aun bin Abu Juhaifah dia berkata; aku pernah melihat Ayahku berkata; sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil (menjual) darah dan hasil penjualan anjing,
memakan riba dan yang memberi makan dan yang mentato dan yang meminta ditato.” (HR. Al-
Bukhari)

Dalam hadis lain disebutkan:

ُ‫َأ ْلتُه‬Ÿ ‫ت فَ َس‬


ْ ‫ْت َأبِي ا ْشت ََرى َحجَّا ًما فََأ َم َر بِ َم َحا ِج ِم ِه فَ ُك ِس َر‬ُ ‫َح َّدثَنَا َحجَّا ُج بْنُ ِم ْنهَا ٍل َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ قَا َل َأ ْخبَ َرنِي عَوْ نُ بْنُ َأبِي ُج َح ْيفَةَ قَا َل َرَأي‬
‫ َل‬Ÿ‫ َمةَ َوآ ِك‬Ÿ‫ َمةَ َو ْال ُم ْستَوْ ِش‬Ÿ‫اش‬ ِ ‫ ِة َولَ َعنَ ْال َو‬Ÿ‫ب اَأْل َم‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ال َّد ِم َوثَ َم ِن ْال َك ْل‬
ِ Ÿ‫ب َو َك ْس‬ َ ِ ‫ال ِإ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ َ‫ع َْن َذلِكَ ق‬
‫ – رواه البخاري‬.‫ص ِّو َر‬ ْ
َ ‫ال ِّربَا َو ُمو ِكلَهُ َولَ َعنَ ال ُم‬

“Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada kami Syu’bah
berkata, telah mengabarkan kepada saya ‘Aun bin Abu Juhaifah berkata; Aku melihat Bapakku
membeli tukang bekam lalu memerintahkan untuk menghancurkan alat-alat bekamnya.
Kemudian aku tanyakan masalah itu. Lalu Bapakku berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah melarang harga (uang hasil jual beli) darah, anjing, memeras budak wanita dan
melarang orang yang membuat tato dan yang minta ditato dan pemakan riba’ dan yang
meminjamkan riba, serta melaknat pembuat patung.” (HR. Al-Bukhari)

10. Bisnis (Jual Beli) Prostitusi

Prostitusi (zina/pelacuran) merupakan salah satu penyakit masyarakat (pekat) yang sudah lama
muncul dan berkembang baik secara liar maupun secara terorganisir (baca: lokalisasi). Bahkan,
bisnis ini dikembangkan oleh sebagian oknum untuk meraup keuntungan finansial sebanyak
mungkin baik dengan cara yang santun maupun cara-cara pemaksaan, penculikan, penipuan dan
berbagai cara yang tidak manusiawi.

Pada zaman moderen, penyakit masyarakat ini semakin mengkhawatirkan karena sering
dijadikan solusi oleh sebagian orang untuk mencari dan mencukupi penghidupan. Jual beli
kenikmatan ini telah diharamkan dan dilaknat oleh Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan
dalam hadisnya;

ِ ‫ َو‬Ÿ‫ر ْالبَ ِغ ِّي َوح ُْل‬Ÿ


‫ان‬ ِ ‫لَّ َم نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬Ÿ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬
ِ Ÿ‫ب َو َم ْه‬ َ ِ ‫و َل هَّللا‬Ÿ‫هُ َأ َّن َر ُس‬Ÿ‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬Ÿ‫ض‬
ِ ‫ي َر‬
ِّ ‫ار‬ َ ‫عُو ٍد اَأْل ْن‬Ÿ‫ح ع َْن َأبِي َم ْس‬
ِ Ÿ‫ص‬
‫ – رواه البخاري‬.‫ْال َكا ِه ِن‬

“Dari Abu Mas’ud Al Anshariy ra. bahwa Rasulullah saw melarang uang hasil jual beli anjing,
mahar seorang pezina (prostitusi) dan upah bayaran dukun.” (HR. Al-Bukhari)

11. Jual Beli Babi dan Anjing

Keharaman dan kenajisan tentang dua jenis benda atau makhluk ini banyak dijumpai baik dalam
al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Berikut ini merupakan dalil tentang kenajisan sekaligus
keharaman babi dan anjing baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw:

‫ا‬ŸŸ‫بُ ُع ِإاَّل َم‬Ÿ‫الس‬ َ Ÿ‫ا َأ َك‬ŸŸ‫ ةُ َو َم‬Ÿ‫ةُ َوالنَّ ِطي َح‬Ÿَ‫و َذةُ َو ْال ُمتَ َر ِّدي‬ŸŸُ‫ير َو َما ُأ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه َو ْال ُم ْن َخنِقَةُ َو ْال َموْ ق‬
َّ ‫ل‬Ÿ ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬
ْ ‫حُرِّ َم‬
3 :‫ب َوَأ ْن تَ ْستَ ْق ِس ُموا بِاَأْل ْزاَل ِم…… – المائدة‬ ِ ‫ص‬ُ ُّ‫َذ َّك ْيتُ ْم َو َما ُذبِ َح َعلَى الن‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkanjuga) mengundi nasib dengan anak panah…. “ (QS.
Al-Ma’idah: 3)

َ ‫لَّ َم‬Ÿ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬


‫ا ِء‬ŸŸَ‫و ُر ِإن‬ŸŸُ‫طه‬ َ ِ ‫و ُل هَّللا‬Ÿ‫يث ِم ْنهَا َوقَا َل َر ُس‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َذ َك َر َأ َحا ِد‬
َ ِ ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ ع َْن ُم َح َّم ٍد َرسُو ِل هَّللا‬
‫ – رواه مسلم‬.‫ت‬ ٍ ‫َأ َح ِد ُك ْم ِإ َذا َولَ َغ ْال َك ْلبُ فِي ِه َأ ْن يَ ْغ ِسلَهُ َس ْب َع َمرَّا‬

“Dari Abi Hurairah, Muhammad Rasulullah sawbersabda: “Sucikanlah bejana kalian apabila ia
dijilat oleh anjing dengan mencucinya tujuh kali.” (HR. Muslim)

Selain ayat dan hadis tersebut di atas, secara khusus tentang keharaman mengkonsumsi dan
memakan hasil penjualan anjing dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi saw., antara lain:

‫ – رواه‬.‫ر ْالبَ ِغ ِّي‬Ÿ


ِ Ÿ‫ا ِه ِن َو َم ْه‬ŸŸ‫وا ِن ْال َك‬Ÿ
َ Ÿ‫ب َوح ُْل‬
ِ ‫لَّ َم ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬Ÿ ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬ ِ ‫عُو ٍد َر‬Ÿ ‫ع َْن َأبِي َم ْس‬
َ ‫ا َل نَهَى النَّبِ ُّي‬ŸŸَ‫هُ ق‬Ÿ‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬Ÿ ‫ض‬
‫البخاري ومسلم‬

“Dari Abu Mas’ud ra., ia berkata; Nabi saw melarang untuk memakan hasil keuntungan dari
anjing, dan dukun dan pelacur (prostitusi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

12. Jual Beli Khamar dan Obat Terlarang


Salah satu jenis jual beli yang dilarang adalah Jual beli khamar dan sejenisnya. Mengkonsumsi
barang-barang terlarang ini telah disebutkan secara tegas baik dalam al-Qur’an maupun hadis
Nabi saw. Ketika Allah dan Rasulnya melarang mengkonsumsi sesuatu, maka sesuatu itupun
dilarang untuk diperjual belikan, sebab memakan hasil penjualan barang haram sama dengan
mengkonsumsinya. Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman mengkonsumsi
khamar dan sejenisnya antara lain;

219 :‫اس َوِإ ْث ُمهُ َما َأ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما – البقرة‬


ِ َّ‫ك َع ِن ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْي ِس ِر قُلْ فِي ِه َما ِإ ْث ٌم َكبِي ٌر َو َمنَافِ ُع لِلن‬
َ َ‫يَ ْسَألُون‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya….” (QS. Al-Baqarah: 219)

90 :‫صابُ َواَأْل ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُونَ – المائدة‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِإنَّ َما ْالخَ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواَأْل ْن‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 90)

Sedangkan hadis Nabi yang melarang dan melaknat bisnis dan mengkonsumsi khamar antara
lain;

ِ َّ‫ َرَأه َُّن َعلَى الن‬Ÿ َ‫ ِج ِد فَق‬Ÿ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإلَى ْال َم ْس‬
‫اس ثُ َّم‬ َ ‫ُور ِة ْالبَقَ َر ِة فِي ال ِّربَا َخ َر َج النَّبِ ُّي‬ ْ َ‫ت لَ َّما ُأ ْن ِزل‬
ُ َ‫ت اآْل ي‬
َ ‫ات ِم ْن س‬ ْ َ‫ع َْن عَاِئ َشةَ قَال‬
‫ – رواه البخاري‬.‫َح َّر َم تِ َجا َرةَ ْال َخ ْم ِر‬

“Dari ‘Aisyah berkata; Ketika turun ayat-ayat dalam Surah al-Baqarah tentang masalah riba,
Nabi saw keluar ke masjid lalu membacakan ayat-ayat tersebut kepada manusia. Kemudian
beliau mengharamkan perdagangan khamar.” (HR. Al-Bukhari)

ْ ‫لَّ َم لُ ِعن‬Ÿ‫ ِه َو َس‬Ÿ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬Ÿ‫ص‬


‫َت‬ َ ِ ‫و ُل هَّللا‬Ÿ‫ال َر ُس‬Ÿ َ Ÿَ‫و ُل ق‬ŸŸُ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ ْالغَافِقِ ِّي َوَأبِي طُ ْع َمةَ َموْ اَل هُ ْم َأنَّهُ َما َس ِم َعا ا ْبنَ ُع َم َر يَق‬
.‫اقِيهَا‬Ÿ‫اربِهَا َو َس‬ ِ Ÿ‫ا َو َش‬ŸŸَ‫َص ِرهَا َوبَاِئ ِعهَا َو ُم ْبتَا ِعهَا َو َحا ِملِهَا َو ْال َمحْ ُمولَ ِة ِإلَ ْي ِه َوآ ِك ِل ثَ َمنِه‬
ِ ‫ص ِرهَا َو ُم ْعت‬ ِ ‫ْالخَ ْم ُر َعلَى َع ْش َر ِة َأوْ ُج ٍه بِ َع ْينِهَا َوعَا‬
‫– رواه الترميذي و إبن ماجة‬

“Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah bekas budak mereka, keduanya
mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Khamer
dilaknat atas sepuluh bagian; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya,
yang minta dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil
penjualannya, peminumnya dan yang menuangkannya, “ (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

13. Riba

Riba dapat diartikan sebagai mengambil “kelebihan” yang dilakukan dalam bertransaksi yang
bertentangan dengan syariat. Hal ini sudah jelas tercantum dalam Al-Qur’an yaitu:
۟ ُ‫ض َعفَةً ۖ َوٱتَّق‬
َ‫وا ٱهَّلل َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬ َ ٰ ‫وا ٱل ِّربَ ٰ ٓو ۟ا َأضْ ٰ َعفًا ُّم‬ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
۟ ُ‫وا اَل تَْأ ُكل‬
َ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakawalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S Al-Imran : 130)

Jenis riba digolongkan menjadi empat yaitu, riba fadhl, riba nasi’ah, riba qard, dan riba jahiliyah.
Riba fadhl yakni terjadinya pertukaran antara barang sejenis dengan takaran yang berbeda, atau
pertukaran barang itu termasuk dalam jenis barang ribawi (harus dibayar sesuai dengan jumlah
timbangannya dan kualitasnya) seperti kurma, gandum, emas, sya’ir (gandum merah), garam,
dan perak. Riba nasi’ah lahir sebab adanya perubahan atau perbedaan tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Riba qard yaitu adanya tambahan tertentu yang disyaratkan kepada yang berhutang pada saat
melakukan awal transaksi. Terakhir, riba jahiliyah yaitu utang harus dibayar melebihi dari
pokoknya karena si peminjam tidak dapat membayar sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan.

14. Risywah

Risywah ialah perbuatan yang memberi sesuatu kepada pihak lainnya, padahal bukan haknya
atau juga dikenal dengan istilah suap menyuap. Menurut pendapat para ulama bahwa ar-Rasyi
(penyuap) dan al-Murtasyi (penerima suap) perbuatan ini termasuk ke dalam kelompok dosa
besar. Hal ini termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yaitu sebagai berikut.

َ‫اس بِٱِإْل ْث ِم َوَأنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ۟ ‫ْأ‬ ۟ ۟ ‫ْأ‬


ِ َّ‫َواَل تَ ُكلُ ٓوا َأ ْم ٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْٱل ٰبَ ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَآ ِإلَى ْٱل ُح َّك ِام لِتَ ُكلُوا فَ ِريقًا ِّم ْن َأ ْم ٰ َو ِل ٱلن‬
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu
mengetahui.”

15. Menimbun Barang

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫الَ يَحْ تَ ِك ُر ِإالَّ خ‬


‫َاطٌئ‬

“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim
no. 1605).

Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan
mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun
barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli
hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan
berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang
wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli
barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli
barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka.
Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan
penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.

Al Qodhi Iyadh rahimahullah berkata, “Alasan larangan penimbunan adalah untuk


menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang
menyusahkan mereka wajib dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu
negeri menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka itu
wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah ‘menghindarkan
segala hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang.” (Ikmalul
Mu’lim, 5: 161).

Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan seperti yang
dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang
banyak (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 395).
BAB III

Kesimpulan dan saran

A. Kesimpulan
Jual beli adalah peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang
diperbolehkan oleh syara'. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (s) atau (c). Rukun jual beli
ada tiga yaitu, adanya 'aqid (penjual dan pembeli), ma'qud 'alaih (barang yang diperjual belikan),
dan sighat (ijab qobul). Syaratnya 'aqid baligh dan berakal, islam bagi pembeli mushaf, dan tidak
terpaksa, syarat bagi ma'qud 'alaih adalah suci atau mungkin disucikan, bermanfaat, dapat
diserah terimakan secara cepat atau lambat, milik sendiri, diketahui/dapat dilihat. Syarat sah
shighat adalah tidak ada yang membatasi (memisahkan), tidak diselingi kata kata lain, tidak
dita'likkan (digantungkan) dengan hal lain, dan tidak dibatasi waktu.

Jual beli ada tiga macam yaitu, menjual barang yang bisa dilihat hukumnya boleh/sah, menjual
barang yang disifati (memesan barang) hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai
dengan sifatnya (sesuai promo), menjual barang yang tidak kelihatan Hukumnya tidak
boleh/tidak sah.

B. Saran

Sebagai umat Islam sebaiknya kita selalu melakukan jual beli sesuai dengan syariat hukum
Islam.

.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad sarwat,Lc.MA,2018, fiqih jual-beli

https://ihram.republika.co.id/berita/qtc3e7335/rukun-dan-syarat-jual-beli-yang-mesti-
diperhatikan-umat

https://prospeku.com/artikel/jual-beli-dalam-islam---2812

Drs. Harun, MH,2017, fiqih muamalah

https://muhammadiyah.or.id/jual-beli-dilarang/

https://rumaysho.com/2410-bentuk-jual-beli-yang-terlarang-3.html

https://www.idntimes.com/life/inspiration/shafira-arifah-putri/transaksi-yang-dilarang-dalam-
islam-c1c2

Anda mungkin juga menyukai