Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan secara syara‟ dan disepakati. Sesuai dengan
ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal
lain yang ada kaitanya dengan jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya
tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.
Jual beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh masyarakat, karena
dalam setiap pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling
untuk meninggalkan akad ini. Dari akad jual beli ini masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan pokok (primer), kebutuhan tambahan
(sekunder) dan kebutuhan tersier.
Kehidupan bermuamalah memberikan gambaran mengenai kebijakan
perekonomian. Banyak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memenuhi
kehidupannya dengan cara berbisnis. Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu
organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya untuk
mendapatkan laba.
Suatu akad jual beli di katakan sebagai jual beli yang sah apabila jual beli itu
disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat sah yang di tentukan, bukan milik orang
lain, tidak tergantung pada hak khiyar. Sebaliknya jual beli di katan batal apabila
salah satu rukun atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada
dasarnya tidak disyariatkan, seperti jual beli yang di lakukan anak kecil, orang gila,
atau barang yang di jual itu barang-barang yang di haramkan oleh syara‟, seperti
bangkai, darah, babi, dan khamar. Akan tetapi, dewasa ini, masyarakat melakukan
transaksi jual beli dengan menghalalkan segala cara hanya untuk meraup keuntungan
yang besar tanpa memperhatikan apakah transaksi jual beli yang diakukannya sudah
sesuai apa yang telah disyariatkan atau tidak.
Dalam melaksanakan kemitraan ekonomi dalam jual beli agar sesuai dengan
tujuan dan prinsip dasar fiqih muamalah maka harus memenuhi asas-asas muamalah
yang meliputi pengertian-pengertian dasar yang dikaitkan sebagai teori yang
membentuk hukum muamalah, asas-asas tersebut yakni:
1
1. Asas Taba‟dul Manafi
Bahwa segala bentuk kegiatan muamalah harus memberikan
keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini
bertujuan menciptakan kerjasama antara individu atau pihak-pihak dalam
masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluan masing-masing dalam
rangka kesejahteraan bersama.
2. Asas Pemerataan
Merupakan penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalat yang
menghendaki agar harta itu tidak dikuasai oleh segelintir orang sehingga
harta itu harus terdistribusikan secara merata diantara masyarakat, baik
kaya maupun miskin.
3. Asas Antaradim atau Suka Sama Suka
Merupakan kelanjutan dari prinsip pemerataan, bahwa setiap bentuk
muamalat antar individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan
masing-masing. Kerelaan disini dapat berarti kerelaan melakukan suatu
bentuk muamalat maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima
atau menyerahkan harta yang dijadikan objek perikatan dalam bentuk
muamalat lainnya.
4. Asas Adam Al-Gharar
Bahwa pada setiap bentuk muamalat tidak boleh adanya gharar
yaitu tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa
dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur
kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan.
5. Asas Al-Birr wa at-taqwa
Merupakan bentuk muamalat yang termasuk dalam kategori suka sama
suka ialah sepanjang bentyk muamalat dan pertukaran manfaat itu dalam
rangka pelaksanaan saling tolong menolong antar sesame manusia untuk
al-birr wa at-taqwa, yakni kebijakan dan kebijakan dalam berbagai
bentuknya.
6. Asas Musyarakah
Asas ini menghendaki bahwa setiap bentuk muamalat merupakan
musyarakah yakni kerjasama antar pihak yang saling menguntungkan
bukan hanya pihak yang terlibat, melainkan juga bagi kelurusahan
masyarakat. Asas ini melahirkan bentuk pemilikan. Pertama, milik pribadi
2
atau perorangan adalah harta atau benda dan manfaatnya dapat dimiliki
perorangan. Kedua, milik bersama atau milik umum yang disebut hak
Allah atau haqqullah.
Enam prinsip diatas mengungkapkan bahwa jual beli bukan hanya
sekedar kegiatan tukar menukar barabf oleh kedua belah pihak yang saling
membutuhkan, tetapi jual beli merupakan manifestasi manusia untuk
saling tolong menolong, sehingga tidak dibenarkan dalam jual beli terdapat
sifat saling merugikan. Jual beli harus saling menguntungkan.
B. Rumusan Masalah
Pada dasarnya suatu akad jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sah apabila
jual beli itu disyariatkan, yaitu memenuhi rukun dan syarat sah jual beli. Jual beli
tidak boleh mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak karena barang
yang diperjual belikan tidak dapat dipastikan adanya, atau tidak dapat dipastikan
jumlah dan ukurannya.
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Apa saja klasifikasi jual beli dalam Islam?
2. Apa saja larangan jual beli dalam Islam?
3. Bagaimana jual beli yang dilarang dalam Islam?
4. Bagaimana cara menetapkan harga yang adil dalam jual beli?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, adapun tujuan yang dicapai oleh penulis yaitu :
1. Untuk mengetahui klasifikasi jual beli dalam Islam.
2. Untuk mengetahui larangan jual beli dalam Islam.
3. Untuk mengetahui kegiatan jual beli yang dilarang dalam Islam.
4. Untuk mengetahui cara penetapan harga yang adil dalam jual beli.

3
BAB II
JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli Dan Dasar Hukum Jual Beli Dalam Islam
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah saling tukar menukar antara benda dengan harta benda atau
harta benda dengan uang ataupun saling memberikan sesuatu kepada pihak lain,
dengan menerima imbalan terhadap benda tersebut dengan menggunakan
transaksi yang didasari saling ridha yang dilakukan secara umum.
Berdasarkan penjabaran di atas terdapat beberapa masalah tentang jual beli,
maka terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian jual beli baik secara
etimologi maupun secara terminologi. Jual beli menurut istilah atau etimologi
َ ‫ُيقَا بَهَت ش َْى ٍء ِب‬
‫ش ْى ٍء‬

Tukar menukarsesuatu dengan sesuatu yang lain. 1 (1Ahmad Wardi


Muslich, Fikih Muamalah. Amzah, Jakarta, 2010, Cet Ke-1, hlm., 173)
Sedangkan jual beli menurut bahasa adalah sebagaimana di jelaskan berikut
ini.
ً‫طهَقُ ا ْن ًُبَا د َ نَت‬
ْ ‫ا َ ْنبَ ٍْ ُغ َي ْؼَُا ُِ نُغَتً ُي‬
Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara mutlak. 2 (2
Sayyid Sabiq, Alih Bahasa Oleh, Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah,Alma‟rif,
Bandung, 1997, hlm., 47)
Berdasarkan pengertian tersebut maka jual beli adalah tukar menukar apa saja,
baik antara barang dengan barang, barang dengan uang atau uang dengan uang.
Untuk lebih jelas tentang pengertian jual beli dapat dilihat dibawah ini:
a. Menurut Hanafiah sebagaimana dikemukakan oleh Ali Fikri, menyatakan
bahwa jual beli memiliki dua arti yaitu arti khusus dan arti umum.
1) Arti khusus yaitu :

َ ‫ػ ْه‬
ُ ‫ى ََ ْح ِٕ ِِ َٔ ْج ٍّ َي ْخ‬
ْٕ ‫ص‬ َ ‫س ِْهؼَ ِت‬ َّ ‫ب َٔ ا ْن ِف‬
ّ ‫ظتِ) َٔ ََ ْح ِٕ ِْ ًَا ا َ ْٔ ُيبَا دَ نَّ ُ ا ن‬ ِ َْ َّ ‫َٔ ْ َُٕ بَ ٍْ ُغ ا ْنؼٍَ ٍِْ (ا َ نز‬
‫ص‬
ٍ
Artinya: Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas
dan perak) dan semacamnya, atau tukar-menukar barang dengan uang
atau semacam menurut cara yang khusus.3 (3Ahmad Wardi Muslich,
Op., Cit. hlm., 175).

4
2) Arti umum yaitu :
ْ ٌَ ‫ص فَا ْن ًَا ُل‬
‫ش ًَ ُم َيا كَا ٌَ ر َ ا تًا ا َ ْٔ ََ ْقذً ا‬ َ ‫َٔ ْ َُٕ ُي َبا دَ نَتُ ا ا ن ًَا ِل ِبا ْن ًَا ِل‬
ُ ‫ػهًَ َٔ َخ ِّ ُي ْج‬
ِ ْٕ ‫ص‬
Artinya: Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta menurut
4
cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang. (4Ahmad
Wardi Muslich, Op., Cit. hlm., 176 ).

b. Menurut Hanabilah memberikan definisi jual beli sebagai berikut :


َ ‫ػهٍَا نتَّا ْء ِب ٍْ ِذ‬
ْٔ َ ‫غٍ ُْش ِس َبا ا‬ َّ ‫َي ْؼًَُ ا ْن َبٍ ِْغ فًِ ا ن‬
َ ‫ش ْش عِ ُي َبا دَ نَُّ َيا ٍل ِب ًَا ِل ا َ ْٔ ُي َبا دَ نَتُ َي ُْفَ َؼ ٍت ُي َبا َح ٍت‬
ٍ ‫قَ ْش‬
‫ض‬
Artinya: Pengertian jual beli menurut syara‟ adalah tukar-menukar harta
dengan harta tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang
5
mubah untuk waktu selamanya, bukan riba dan bukan hutang. (5 Ahmad
Wardi Muslich, Op., Cit. hlm., 176)
2. Dasar Hukum Jual Beli Dalam Islam
Dasar hukum jual beli adalah al-Qur‟an dan alhadits, sebagaimana
disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 275:
ٰ َّ‫انش ٰبٕا َٔا َ َحم‬
ُ‫ّلل‬ ّ ِّۗ ِ ًَ ‫شٍ ْٰط ٍُ يٍَِ ْان‬
ّ ِ ‫س ٰرنِكَ بِاَََّ ُٓ ْى قَانُ ْٕا اََِّ ًَا ْانبَ ٍْ ُغ يِْْ ُم‬ َّ ‫ي ٌَت َ َخبَّطُُّ ان‬ ّ ِ ٌَْٕ ُ‫اَنَّ ِزٌٍَْ ٌَأْكُه‬
ْ ‫انش ٰبٕا ََل ٌَقُ ْٕ ُي ٌَْٕ ا ََِّل َك ًَا ٌَقُ ْٕ ُو انَّ ِز‬
ٰۤ ُ َ ‫ٕا فَ ًَ ٍْ َج ۤا َء ِٗ َي ْٕ ِػ‬
ِّۗ ‫انش ٰب‬
ِ َُّ‫ب ان‬
‫اس ۚ ُْ ْى فِ ٍْ َٓا‬ ُ ٰ‫صح‬ ْ َ ‫ٔنىِٕكَ ا‬ ‫ػادَ فَا‬ َ ٍْ ‫ّلل ِّۗ َٔ َي‬ ِ ٰ ‫ف َٔا َ ْي ُش ِٗ اِ َنى‬ َ ‫ظتٌ ِّي ٍْ َّس ِبّ ّٖ فَا َْت َٰٓ ى فَ َهّٗ َيا‬
َ ِّۗ ‫س َه‬ ّ ِ ‫ْانبَ ٍْ َغ َٔ َح َّش َو‬
ٌَُْٔ ‫ٰخ ِهذ‬
Artinya : Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri,
kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu
terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai
kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga
apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka.
Mereka kekal di dalamnya.
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah
menghalalkan jual beli kepada hamba-hamba-Nya dengan baik dan melarang praktek
jual beli yang mengandung riba.

‫ّلل َكاٌَ بِكُ ْى‬ َ ُ‫اض ِّي ُْكُ ْى ِّۗ َٔ ََل ت َ ْقتُهُ ْٕا ا َ َْف‬
َ ٰ ٌَِّ ‫سكُ ْى ِّۗ ا‬ ٍ ‫ػ ٍْ ت ََش‬ َ ‫ٌٰاٌَُّ َٓا انَّ ِزٌٍَْ ٰا َيُُ ْٕا ََل ت َأْكُهُ ْٕا ا َ ْي َٕانَكُ ْى بَ ٍَُْكُ ْى بِ ْانبَاطِ ِم ا ََِّل ا َ ٌْ تَكُ ٌَْٕ تِ َج‬
َ ً ‫اسة‬
‫َسحِ ٍْ ًًا‬

5
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar
suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa:29).
Allah mengharamkan kepada umat Islam memakan harta sesama dengan jalan
batil, misalnya dengan cara mencuri, korupsi, menipu, merampok, memeras, dan
dengan jalan lain yang tidak dibenarkan Allah, kecuali dengan jalan perniagaan atau
jual beli dengan didasari atas dasar suka sama suka dan saling menguntungkan. Nabi
SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bazzar yang berbunyi:
Dari Rif‟ah Ibn Rafi sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya “usaha apa
yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab “Usaha seseorang dengan tangannya
sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur)”. (H.R. Al-Al-Bazzar dan disahihkan
oleh al-Hakim) (al-Shan‟ani, t.th: 4).
Dari Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli melempar kerikil
dan jual beli Garar (H.R. Muslim) (Muslim,t.th : 156-157).
Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah atau boleh,
namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa menjadi wajib dan
bisa haram seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga persedian
dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam ini maka pemerintah boleh
memaksa para pedagang menjual baraang sesuai dengan harga dipasaran dan para
pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah didalam menentukan harga
dipasaran serta pedangan juga dapat dikenakan saksi karena tindakan tersebut dapat
merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat.
3. Rukun & Syarat Jual Beli Dalam Islam
Setelah diketahui pengertian dan dasar hukumnya, bahwa jual beli (bisnis)
merupakan pertukaran harta atas dasar saling rela dan atas kesepakatan bersama.
Suapaya bisnis yang kita lakukan itu halal, maka perlu memperhatikan rukun dan
syarat jual beli (bisnis). Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan (DIKNAS, 2002:966). Sedangkan syarat adalah ketentuan
(peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan (DIKNAS,
2002:1114). Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn)
jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang dansandaran,
kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan syarat (Arab,

6
syarth jamaknya syara‟ith) secara literal berarti pertanda, indikasi dan
memastikan.
Menurut istilah rukun diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi
eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu
dengan rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak
demikian, maka subjek (pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad
menjadi rukun bagi sifat, dan yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat
(yang mensifati). Adapun syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti
diformulasikan Muhammad Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidakadaannya
mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri. Hikmah dari
ketiadaan syarat itu berakibat pula meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum
(Amin,2004:95). Dalam syari‟ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah
atau tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu (Dahlan, 1996:.1510).
Definisi syarat berkaitan dengan sesuatu yang tergantung padanya
keberadaan hukum syar‟i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada (Dahlan, 1996: 1691).
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, yaitu rukun
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk
dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri (Dahlan,
1996: 1692). Misalnya, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian
dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam salat, maka shalat itu
batal, tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan
bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah.
Menurut jumhur ulamak rukun jual beli itu ada 4 (Zakaria, t.th:158), yaitu:
Pertama, Akad (ijab qobul), pengertian akad menurut bahasa adalah
ikatan yang ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh
ijab qabul menurut cara yang disyariatkan sehingga tampak akibatnya (al-
Zuhaily,t.th:115). Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy aqad secara bahasa : Al
Rabt (mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain, sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sebagai sepotong
7
benda (1979 : 21). Sedangkan aqad menurut istilah : perkataan antara ijab qabul
dengan cara yang dibenarkan oleh syara‟ yang menetapkan kedua belah pihak
(Hasby,1979 : 21).
Mengucapkan dalam akad merupakan salah satu cara lain yang dapat
ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga dengan cara lain yang dapat
menggambarkan kehendak untuk berakad para ulama menerangkan beberapa cara
yang ditempuh dalam akad diantaranya:
1) Dengan cara tulisan, misalnya, ketika dua orang yang terjadi transaksi
jual beli yang berjauhan maka ijab qabul dengan cara tulisan (kitbah).
2) Dengan cara isyarat, bagi orang yang tidak dapat melakukan akad jual
beli dengan cara ucapan atau tulisan, maka boleh menggunakan
isyarat.
3) Dengan cara ta‟ahi (saling memberi), misalnya, seseorang melakukan
pemberian kepada orang lain, dan orang yang diberi tersebut
memberikan imbalan kepada orang yang memberinya tanpa ditentukan
besar imbalan.
4) Dengan cara lisan al-hal, menurut sebagian ulama mengatakan, apabila
seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain
kemudian orang itu pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu
berdiam diri saja hal itu dipandang telah ada akad ida‟ (titipan) antara
orang yang meletakkan barang titipan dengan jalan dalalah al hal.
Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual
beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul
menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qobul boleh dilakukan dengan lisan atau
tulis. Ijab qobul dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling
memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang). Pada dasarnya akad bapat
dilakukan dengan lisan langsung tetapi bila orang bisu maka ijab qobul tersabut
dapat dilakukan dengan surat menyurat yang pada intinya mengandung ijab qobul.
Kedua, orang yang berakad (subjek) dua pihak terdiri dari bai‟(penjual)
dan mustari (pembeli). Disebut juga aqid, yaitu orang yang melakukan akad
dalam jual beli, dalam jual beli tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang yang
melakukannya, dan orang yang melakukan harus :

8
1) Beragama Islam, syarat orang yang melakukan jual beli adalah orang
Islam, dan ini disyaratkan bagi pembeli saja dalam benda-benda
tertentu. Misalnya, seseorang dilarang menjual hamba sahaya yang
beragama islam sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan
merendahkan abid yang beragama islam. Sedangkan Allah melarang
orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk
merendahkan mukmin, dalam firmanNya :
ٌ‫َصٍْب‬ ِ َ ٌٍَْ‫ّللِ َقانُ ْٕا ا َ َن ْى ََ ُك ٍْ َّي َؼ ُك ْى ۖ َٔا ٌِْ َكاٌَ ن ِْه ٰكف ِِش‬ ٰ ٍَِ‫ص ٌَْٕ ِبكُ ِّۗ ْى فَا ٌِْ َكاٌَ نَكُ ْى فَتْ ٌح ّي‬ ُ ‫ۨا َّن ِزٌٍَْ ٌَت ََش َّب‬
ٰ ‫اّٰللُ ٌَحْ كُ ُى بَ ٍَُْكُ ْى ٌَ ْٕ َو ْان ِق ٍٰ ًَ ِت ِّۗ َٔنَ ٍْ ٌَّجْ ؼَ َم‬
ُ ‫ّلل‬ ٰ َ‫ػهَ ٍْكُ ْى ََٔ ًََُْ ْؼكُ ْى ّيٍَِ ْان ًُؤْ ِيٍٍَُِْ ِّۗ ف‬
َ ْ‫قَانُ ْٕا اَنَ ْى ََ ْست َ ْح ِٕر‬
َ ٍٍَُِْ‫ࣖ ن ِْه ٰكف ِِشٌٍَْ َػهَى ْان ًُؤْ ِي‬
‫سبٍِ ًْل‬
Artinya : (Mereka itu adalah) orang-orang yang menunggu-nunggu
(peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat
kemenangan dari Allah, mereka berkata, “Bukankah kami (turut
berperang) bersamamu?” Jika orang-orang kafir mendapat bagian (dari
kemenangan), mereka berkata, “Bukankah kami turut
memenangkanmu dan membela kamu dari orang-orang mukmin?”
Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan
orang-orang mukmin. (QS. An-Nisa:141)
2) Berakal, yang dimaksud dengan orang yang berakal disini adalah orang
yang dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik baginya.
Maka orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sekalipun miliknya
sendiri. Sebagaiman firman Allah dalam surat An-Nisa: 5 :
‫اس ُصقُ ُْْٕ ْى فِ ٍْ َٓا َٔا ْكسُ ُْْٕ ْى َٔقُ ْٕنُ ْٕا نَ ُٓ ْى قَ ْٕ ًَل‬ ٰ ‫سفَ َٓ ۤا َء ا َ ْي َٕانَكُ ُى انَّت ًِْ َج َؼ َم‬
ْ َّٔ ‫ّللُ نَكُ ْى قِ ٍٰ ًًا‬ ُّ ‫َٔ ََل تُؤْ تُٕا ان‬
‫َّي ْؼ ُش ْٔفًا‬
Artinya : Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang
Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan
pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang baik. (QS. An-Nisa:5).
3) Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan kehendaknya
sendiri yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tidak
dipaksa. Hal ini berdasarkan Hadis nabi Muhammad SAW : “Dari
Daud Ibn Salih al-Madani dari ayahnya ia berkata “saya mendengar
9
Abi Said al-Khudri berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan dari adanya saling
kerelaan” (HR. Ibnu Majah) (Majah, t.th:737).
4) Baligh, baligh atau telah dewasa dalam hukum Islam batasan menjadi
seorang dewasa bagi laki-laki adalah apabila sudah bermimpi atau
berumur 15 tahun dan bagi perempuan adalah sesudah haid.
5) Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak
mubazir yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual
beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir). Sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 5 tersebut di atas.
Ketiga, ma‟kud „alaih (objek) untuk menjadi sahnya jual beli harus ada
ma‟qud alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang menjadi sebab
terjadinya perjanjian jual beli (Chairuman dan Suhwardi, 1996: 37). Barang yang
dijadikan sebagai objek jual beli ini harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Bersih barangnya, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan
bukanlah benda yang dikualifikasikan kedalam benda najis atau
termasuk barang yang digolongkan diharamkan. Hal ini berdasarkan
hadis Nabi Muhammad SAW : Dari Jabir Ibn Abdillah, bahwa ia
mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun kemenangan
Makkah: “ Sesungguhnya Allah telah melarang (mengharamkan) jual-
beli arak, bangkai, babi dan patung” lalu seseorang bertanya
“bagaimana dengan lemak bangkainya, karena dipergunakan untuk
mengecat kayu dan minyaknya untuk lampu penerangan? Kemudian
Rasulullah SAW menjawab “Mudah-mudahan Allah melaknat orang-
orang yahudi karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak
bangkai pada mereka, tetapi menjadikannya, menjualnya serta
memakannya (hasilnya) (Muslim,t.th: 689).
Dalam hadis di atas menurut Syafi‟iyah diterangkan bahwa
arak, bangkai, babi dan patung adalah haram dijual belikan karena
najis, adapun berhala jika dipecahpecah menjadi batu biasa boleh
dijual sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau yang
lainnya (Suhendi,2007:72).

10
2) Dapat dimanfaatkan, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan
harus ada manfaatnya sehingga tidak boleh memperjual belikan
barang-barang yang tidak bermanfaat.
3) Milik orang yang melakukan aqad, maksudnya bahwa orang yang
melakukan perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah pilihan sah
barang tersebut dan atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang
tersebut. Dengan demikian jual beli barang yang dilakukan oleh yang
bukan pemilik atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik dipandang
sebagai perjanjian yang batal (alJaziri, 2003:.103).
4) Mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjual belikan dapat
diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya,
bentuknya, sifatnya dan harganya. Sehingga tidak terjadi kekecewaan
diantara kedua belah pihak.
5) Barang yang di aqadkan ada ditangan, maksudnya adalah perjanjian
jual beli atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam
kekuasaan penjual) adalah dilarang, sebab bisa jadi barang sudah rusak
atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan
(Chairuman dan Suhwardi, 1996: 40).
6) Mampu menyerahkan, maksudnya adalah keadaan barang haruslah
dapat diserah terimakan. Jual beli barang tidak dapat diserah
terimakan, karena apabila barang tersebut tidak dapat diserah
terimakan, kemungkinan akan terjadi penipuan atau menimbulkan
kekecewaan pada salah satu pihak.
Benda yang diperjual belikan dapat mencakup barang atau uang, sifat
benda harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat
dibenarkan penggunaanya menurut syara‟. Benda-benda seperti alkohol, babi,
dan barang terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual beli
tersebut dipandang batal jika dijadikan harga tukar menukar, maka jual beli
tersebut dianggap fasid (Masduki, 1987:5).
Keempat, ada nilai tukar pengganti barang, nilai tukar pengganti barang,
yaitu sesuatu yang memenuhi tiga syarat; bisa menyimpan nilai (store of value),
bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan
alat tukar (medium of exchange).

11
Empat rukun tersebut, memuat beberapa syarat yang harus di penuhi
dalam juala beli (bisnis), yaitu syarat sahnya ijab qobul dalam kitab fiqh
disebutkan minimal ada tiga :
1) Jangan di selingi dengan kata–kata lain antar ijab qobul.
2) Orang – orang yang berakad (penjual dan pembeli).
3) Jangan ada yang memisahkan maksudnya penjual dan pembeli masih
ada interaksi tentang ijab qobul.
B. Klasifikasi Jual Beli dalam Islam
1. Macam-Macam Jual Beli Dalam Islam
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu :
a. Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi :
1) Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu
akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2) Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual
beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus
dipegang ditempat akad berlangsung.
3) Jual beli benda yang tidak ada, jual beli seperti ini tidak
diperbolehkan dalam agama Islam.
b. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli :
1) Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan.
Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2) Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat.
Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu
majlis akad dan ini dibolehkan menurut syara‟.
3) Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan
barang tanpa ijab qabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan
yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama
syafiiyah hal ini dilarang karena ijab qabul adalah rukun dan syarat
jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi
membolehkannya.

12
c. Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat
dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini,
jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu :
1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2) Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu
syarat dan rukunnya.
C. Khiyar dalam Bisnis Islam
Bisnis dalam Islam di berikan keleluasan untuk memilih untuk membatalkan
akad jual beli (bisnis) atau meneruskan akad jual beli (bisnis) dalam hukum Islam
dinamakan khiyar. Khiar adalah mencari kebaikan dari kedua perkara yaitu
melangsungkan atau membatalkan (Sabiq,1988:100). Sedangkan khiyar dalam jual
beli menurut hukum Islam adalah diperbolehkannya memilih apakah jual itu
diteruskan apa dibatalkan karena suatu hal (suhendi, 2007:83). Adapun dasar hukum
khiyar di jelaskan pada hadits sebagai berikut : Dari Ibnu Umar, ia berkata :
Rosulullah SAW bersabda : masingmasing penjual dan pembeli, tidak akan terjadi
jual beli dianatara mereka sampai mereka berpisah, kecuali dengan jual beli khiyar
(Muslim,t.th:22). Khiyar secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu :
Pertama, Khiyar Majelis , artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih
akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya saat teransaksi masih berlangsung
ditempat teransaksi, apabila akad dalam jual beli telah dilaksanakan oleh pihak
penjual dan pembeli maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan
selama keduanya masih berada di tempat akad (Sabiq, 1988:101). Rasulullah SAW
bersabda “Sesungguhnya Rosulullah SAW pernah bersabda : penjual dan pembeli,
masing-masing mempunyai hak atau kesempatan berfikir sebelum berpisah mengenai
jadi atau tidaknya jual beli”. Khiyar majelis dinyatakan gugur apabila dibatalkan
penjual dan pembeli setelah akad, apabila salah satu dari keduanya membatalkan
maka khiyar yang lain masih berlaku dan khiyar terputus apabilah salah satu dari
keduanya telah meninggal dunia (Sabiq, 1988: 209).
Kedua, Khiyar Syarat, yaitu penjual dan pembeli di dalamnya disyaratkan
sesuatu boleh penjjual maupun pembeli, misalnya pakaian jika cocok atau pas dipakai
di beli kalau tidak pas atau tidak cocok boleh di kembalikan. Dalam penjualan yang di
dalamnya disyaratkan sesuatu yang baik oleh penjual maupun pembeli
(Suhendi,2007:84).
13
Ketiga, Khiar Aib, dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda –
benda yang dijual belikan, misalnya jika kita beli krudung satu kodi ternyata samapai
rumah ada yang cacat boleh dikembalikan. Khiyar Aib (cacat) yaitu apabila barang
yang telah dibeli ternyata ada kerusakan atau cacat sehingga pembeli berhak
mengembalikan barang tersebut kepada penjual (Rasjid,1976:277). Hak yang dimiliki
oleh salah seorang dari aqidain untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika menemukan cacat pada objek akad dimana pihak lain tidak
memberitahukannya pada saat akad.

14
BAB III
LARANGAN DALAM JUAL BELI

A. Jual Beli Yang Dilarang dalam Islam


Macam-macam jual beli yang dilarang dan batal hukumnya dalam
Islam adalah sebagai berikut :
1. Barang yang hukumnya najis oleh agama, seperti anjing, babi, bangkai
dan khamar.
2. Jual beli sperma (mani) hewan, seperti menjual sperma sapi jantan untuk
mengawinkan sapi betina agar dapat memperoleh keturunan.
3. Jual beli anak binatang yang masih dalam perut induknya. Jual beli seperti
ini dilarang karena barangnya belum ada dan tidak nampak.
4. Jual beli dengan muhaqallah, yakni jual beli tanaman yang masih di ladang
atau di sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba
didalamnya.
5. Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum
pantas untuk dipanen. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih
samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin
kencang atau yang lainnya sebelum diambil oleh si pembeli.
6. Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh.
Misalnya seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya maka orang
yang menyentuh kain tersebut telah membeli kain itu. Hal ini dilarang
karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian
bagi salah satu pihak.
7. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar,
seperti seseorang berkata : ”lemparkan kepadamu apa yang ada padaku”.
Setelah terjadi lempar melempar, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang
karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab qabul.
8. Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah basah dan buah yang
kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi yang basah yang
ukurannya dengan cara kiloan. Hal ini akan membuat rugi salah satu
pihak.
9. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.

15
10. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir sama
dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja disini diangap
sebagai syarat, seperti seseorang berkata, “aku jual rumah butut ini
kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku” . Hal ini
dilarang karena dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
11. Jual beli gharar. Gharar adalah tipuan, ketidakpastian, dan hal-hal lain
yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Seperti penjualan ikan yang
masih dikolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus
tetapi dibawahnya jelek.
12. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual. Misalnya
seseorang menjual benda itu ada yang dikecualikan salah satu bagiannya.
Jual beli ini sah apabila benda yang dikecualikan tadi jelas. Namun jika
benda tadi tidak jelas maka jual beli batal.
13. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini menunjukan
kurang percaya antara penjual dan pembeli. Jumhur ulama berpendapat
bahwa seseorang yang membeli sesuatu dengan takaran dan telah
diterimanya, kemudian ia jual kembali maka ia tidak boleh menyerahkan
kepada pembeli kedua dengan takaran yang pertama sehingga ia harus
menakarnya lagi untuk pembeli yang kedua.

16
BAB IV
HARGA YANG ADIL
A. Penetapan Harga Yang Adil dalam Islam
Harga merupakan satu-satunya unsur bauran pemasaran yang bersifat
fleksibel, artinya dapat diubah dengan cepat. Berbeda halnya dengan karakteristik
produk atau komitmen terhadap saluran distribusi. Kedua hal terakhir tidak dapat
diubah atau disesuaikan dengan mudah dan cepat, karena biasanya menyangkut
keputusan jangka panjang.
Harga dalam fiqh Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu
barang, yaitu as - saman dan as - si„ r . As - saman adalah patokan harga suatu
barang, sedangkan as - si„ r adalah harga yang berlaku secara aktual didalam pasar.
Ulama fiqh membagi as - si„ r menjadi dua macam.
Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah.
Dalam hal ini, pedagang bebas menjual barang dengan harga yang wajar, dengan
mempertimbangkan keuntungannya.
Kedua, harga suatu komoditas yang ditetapkan pemerintah setelah
mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang maupun produsen
serta melihat keadaan ekonomi yang riil dan daya beli masyarakat. Penetapan harga
pemerintah ini disebut dengan at - tas„ ir al – jabbari.
B. Dasar Hukum
Semua ibadah pada dasarnya akan menjadi haram jika tidak ada dalil yang
memerintahkannya, begitupun juga termasuk dalam bermuamalah atau bertransaksi
hukumnya halal kecuali ada dalil yang melarangnya, seperti halnya dalil yang
berkaitan dengan muamalah berikut sebagaimana firman Allah swt dalam surat an-
Nisa„ ayat 29 :
‫اض ِّي ُْكُ ْى ِّۗ َٔ ََل ت َ ْقتُهُ ْٕا‬
ٍ ‫ػ ٍْ ت ََش‬ َ ‫ي ٰۨۨاٌَُّ َٓا انَّ ِزٌٍَْ ٰا َيُُ ْٕا ََل ت َأْكُهُ ْٕا ا َ ْي َٕانَكُ ْى بَ ٍَُْكُ ْى بِ ْانبَاطِ ِم ا ََِّل ا َ ٌْ تَكُ ٌَْٕ تِ َج‬
َ ً ‫اسة‬
‫ّللَ َكاٌَ بِكُ ْى َسحِ ٍْ ًًا‬
ٰ ٌَِّ ‫سكُ ْى ِّۗ ا‬
َ ُ‫ا َ َْف‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar
suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa‟:29).

17
C. Konsep Penetapan Harga
Langkah 1 : memilih tujuan penetapan harga. Mula-mula perusahaan
memutuskan dimana perusahaan ingin mempromosikan penawaran pasarnya.
Semakin jelas tujuan perusahaan, semakin mudah perusahaan menetapkan harga. 5
tujuan utama adalah kemampuan bertahan, laba saat ini maksimum, pangsa pasar
maksimum, dan kepemimpinan kualitas produk.
Langkah 2 : menentukan permintaan. Setiap harga akan mengarah ke tingkat
permintaan yang berbeda dan karena itu akan memiliki berbagai dampak pada tujuan
pemasaran perusahaan.
Langkah 3 : memperikirakan biaya. Permintaan menetapkan batas atas harga
yang dapat dikenakan perusahaan untuk produknya. Biaya menetapkan batas bawah.
Perusahaan ingin mengenakan harga yang dapat menutupi biaya memproduksi,
mendistribusi, dan menjual produk, termasuk tingkat pengembalian yang wajar untuk
usaha dan risikonya. Tetapi ketika perusahaan menetapkan harga produk yang dapat
menutupi biaya penuh mereka, profitabilitas tidak selalu menjadi hasil akhirnya.
Langkah 4 : menganalisis biaya, harga, dan penawaran pesaing. Dalam
kisaran kemungkinan harga yang ditentukan oleh permintaan pasar dan biaya
perusahaan, perusahaan harus memperhitungkan biaya, harga dan kemungkinan reaksi
harga pesaing.
Langkah 5 : memilih metode penetapan harga. Perusahaan memilih metode
penetapan harga yang mencakup satu atau lebih dari tiga pertimbangan.

18
BAB V
KESIMPULAN
Bagi umat Islam yang melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada
norma-norma hukum Islam, akan mendapatkan berbagai hikmah diantaranya : bahwa
jual beli (bisnis) dalam Islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap
sesama, akan menumbuhkan berbagain pahala, bisnis dalam Islam merupakan salah
satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnya barang yang dimakan untuk dirinya
dan keluarganya, bisnis dalam Islam merupakan cara untuk memberantas kemalasan,
pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, berbisnis dengan jujur, sabar, ramah,
memberikan pelayanan yang memuaskan sebagai mana diajarkan dalam Islam akan
selalu menjalin persahabatan kepada sesama manusia.
Dalam penulisan makalah ini, kita sama-sama belajar tentang jual beli dalam
Islam. Kita jadi mengetahui klasifikasi jual beli dalam Islam, mengetahui larangan
jual beli dalam Islam, mengetahui kegiatan jual beli yang dilarang dalam Islam dan
mengetahui cara penetapan harga yang adil dalam jual beli.

19

Anda mungkin juga menyukai