Anda di halaman 1dari 6

RESUME

Fiqh Muamalah terdiri dari kata "Fiqh" dan "Muamalah". Fiqh secara bahasa berarti al-fahmu

(paham), dan secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara' amaliyah yang digali

atau diperoleh dari dalil-dalil yang tafshili (rinci). Dengan kata lain, fiqh berarti kumpulan

Hukum Syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia (mukallaf)² yang digali dari

dalil-dalil yang rinci. Pembagian fikih muamalah tergantung dari persepsi masing-masing

fuqaha, yaitu muamalah dalam arti luas atau dalam arti sempit atau konteks kekinian. Ibnu

Abidin membagi muamalah dalam persepsi luas sehingga muamalah terdiri dari lima bagian.

Dalam era kontemporer, ulama sudah mengklasifikan muamalah sesuai dengan rumpunnya

masing-masing. Pernikahan dan yang berkaitan dengannya seperti mahar, syarat sah

pernikahan dan perceraian dibahas secara khusus dalam fikih munakahat. Hal-hal yang

berkaitan dengan harta warisan difokuskan pada fikih mawaris atau tirkah.

Demikian pula dengan tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya

dirincikan di dalam pembahasan fikih jinayah. Ruang lingkup fiqh muamalah terbagi dua, yaitu

ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab dan kabul, saling meri- dhai, tidak ada

keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan,

pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada

kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat. Ruang lingkup yang bersifat

madiyah yaitu mencakup segala aspek kegiatan ekonomi manusia sebagai berikut:
Dalam ruang lingkupnya Fiqh Muamalah dibagi menjadi 2 yaitu AlMuamalah Al-Adabiyah dan

Al-Muamalah Al-Madiniyah. Tujuan fiqh muamalah adalah selalu berusaha untuk mewujudkan

kemaslahatan dan meminimalisir permusuhan dan perselisihan antara manusia satu dengan

yang lainya, selain itu, tujuan allah SWT menurunkan syari'ah adalah untuk kemakmuran dan

kemaslahatan umatnya, bukan untuk memberi beban atau mengekang ruang gerak umatnya

karena aturan tersebut.

Pembagian fikih muamalah tergantung dari persepsi masing-masing fuqaha, yaitu muamalah

dalam arti luas atau dalam arti sempit atau konteks kekinian. Seperti mana yang telah

dipaparkan sebelumnya, Ibnu Abidin membagi muamalah dalam persepsi luas sehingga

muamalah terdiri dari lima bagian, yaitu:

a. Mu‟awadah maliyah (transaksi keuangan)

b. Munakahat (hukum pernikahan)

c. Mukhashamat (pertikaian)

d. Amanat

e. Tirkah (warisan)

Harta adalah sesuatu benda yang bernilai ekonomi baik yang bersifat materi maupun non

materi (manfaat, jasa, dan hak) dan dapat dimanfaatkan secara wajar. Dengan demikian,

sesuatu dapat dipandang sebagai harta jika terpenuhi dua unsur, yaitu (a) bersifat materi atau

non materi, (b) dapat dimanfaatkan secara wajar. Status harta adalah mutlak milik Allah Swt,

harta yang dimiliki manusia hanyalah amanat atau titipan dari Allah, yang akan dimintai

pertanggungan jawab di akhirat. Oleh sebab itu, pemanfaatan atau penggunaan harta harus
sesuai dengan aturan atau petunjuk Allah Swt. Atas dasar ini, fungsi utama harta yang dimiliki

oleh manusia adalah sebagai sarana pengabdiannya kepada Allah Swt. Allah swt

memerintahkan manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya. Usaha mencari harta

dan memilikinya itu harus dengan cara yang halal.

Hakikatnya bahwa kedudukan harta merupakan amanah atau titipan Allah SWT kepada

manusia. Dan karena itu adalah amanah, maka manusia wajib menggunakan harta tersebut

untuk mengabdi kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Tidak diperbolehkan untuk maksiat, tidak

boleh membelanjakannya secara berlebihan (baros, mubadzir) atau merelakan uang dengan

cara yang tidak mendatangkan manfaat. Manusia harus memastikan. agar hartanya itu

digunakan untuk taqarrub ilalAllah (mendekatkan diri kepada allah) atau untuk kemaslahatan

dunia akhirat.

Harta dapat ditinjau dari berbagai segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, setiap bagian

memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Macam-macam harta sebagai berikut :

1. Harta mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim

2. Harta mitsli dan qilmi

3. Harta istihlaki dan isti'mali

4. Harta manqul dan ghair manqul

5. Harta mamluk, mubah, dan mahjur

6. Harta mal qabil li al-qismah dan mal ghairu qabil li al-qismah

7. Harta al-ashl dan al-samar

8. Harta 'ain dan dayn


Al-Bai' adalah transaksi jual beli yang merupakan salah satu bentuk akad dalam Islam. Dalam

terminologi fiqih, al-Bai' merupakan peralihan kepemilikan suatu barang dari seorang penjual

kepada pembeli dengan imbalan tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sistematika

jual beli merujuk pada serangkaian proses dan tahapan yang harus dilalui dalam melakukan

transaksi jual beli dengan cara yang teratur dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku,

berikut merupakan tahapan-tahapan sistematika dalam jual beli meliputi:

Identifikasi Kebutuhan, pencarian dan penelitian, Evaluasi dan perbandingan, Negosiasi,

Pembayaran, Pengiriman atau penyerahan, Penerimaan dan pemeriksaan, Penyelesaian

transaksi, Pemeliharaan dan layanan pelanggan, dan Evaluasi kinerja. Rukun jual beli adalah

syarat-syarat atau unsur-unsur penting yang harus ada dan dipenuhi dalam sebuah transaksi

jual beli agar transaksi tersebut sah menurut hukum Islam. Dalam konteks hukum Islam atau

fiqh, ada beberapa rukun yang harus ada dalam suatu transaksi jual beli agar dianggap sah.

Berikut mengenai rukun-rukun jual beli: Al-Ma’qud ‘Alaih (barang yang dijual), Al-Mut’aqqad

(pembeli dan penjual, Al-Musawamah (kesepakatan atau akad), Al-Mut’aqqad ‘Alaih (harga), Al-

Mustahil (kemungkinan atau kepemilikan). Prinsip-prinsip jual beli diantaranya ialah: Prinsip

keadilan, Suka sama suka, Bersikap benar Amanah dan jujur, Tidak mubadzir (boros), dan Kasih

sayang.

Bai’ Murabahah merupakan suatu transaksi jual beli yang diperbolehkan dan dimana

keuntungannya telah disepakati oleh kedua belah pihak yang kemudian di satukan membentuk

barang dan harga baru yang nantinya dibayar oleh nasabah. Tak terlupa untuk selalu

memerhatikan rukun, syarat, ketentuan umum dan sebagainya agar transaksi tersebut tidak
melenceng dari jalurnya. Dalam Bai’ Al-Murabahah, penjual harus memberitahu harga produk

yang hendak dibeli supaya dapat mengira-ngira keutungan yang akan didapatkan ketika dijual

kembali.

Sistematika jual beli merujuk pada serangkaian proses dan tahapan yang harus dilalui dalam

melakukan transaksi jual beli dengan cara yang teratur dan sesuai dengan prinsi-prinsip yang

berlaku. Ini mencakup segala hal mulai dari persiapan sebelum transaksi hingga penyelesaian

setelahnya. Sistematika jual beli ini dapat bervariasi tergantung pada jenis barang atau jasa

yang diperdagangkan, peraturan hukum yang berlaku, dan kebijakan bisnis dari pihak-pihak

yang terlibat.

Suatu jual beli tidak sah apabila tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu:

1. Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk

melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya berdasarkan firman Allah dalam QS.

An-Nisaa’/4: 29, dan hadits Nabi Riwayat Ibnu Majah.

2. Pelaku akad adalah orang yang diperbolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah

baligh, berakal, dan mengerti.

3. Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak.

4. Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama.

5. Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan.

6. Objek jual beli diketahui oleh kedua belah piltak saat akad.

7. Harga harus jelas saat transaksi.


Syariah Nasional yakni pada Nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam Fatwa tersebut disebutkan

bahwa ketentuan umum mengenai murabahah yakni sebagai berikut:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan dalam syariat Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati

kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian

ini harus sah dan bebas dari riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika

pembelian dilakukan secara hutang.

Sutan Remi Syaahdeni mendefinisikan al-murabahah merupakan salah satu bentuk kerjasama

yang ditawarkan oleh bank syariah berupa jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk

transaksi jual beli dengan cicilan. Sedangkan murabahah dalam teknis perbankan adalah akad

jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli

barang dengan keuntungan yang telah disepakati bersama yakni bisa membayar dengan cicilan

atau penangguhan. Murabahah pada umumnya dapat diterapkan untuk pembelian barang-

barang investasi, baik domestik maupun luar negeri. Di kalangan perbankan syariah di

Indonesia banyak menggunakan murabahah secara berkelanjutan seperti digunakan untuk

modal kerja.

Anda mungkin juga menyukai