Anda di halaman 1dari 28

JUAL BELI BARTER HANDPHONE DENGAN PENAMBAHAN UANG

PERSPETIF HUKUM EKONOMI SYARIAH DI PASAR 45 KOTA MANADO

Marleni Taroreh ( marlenitaroreh006@gmail.com )

Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Manado

Jl. Dr. S.H Sarundajang Kawasan Ringroad 1 Kelurahan Malendeng Kecamatan


Paal Dua Kota Manado.

ABSTRAK

Seiring dengan berkembangnya zaman, manusia melakukan transaksi jual


beli dengan berbagai macam cara yang di mana alat ukurnya adalah uang.
Berbeda dengan zaman dahulu jual beli dilakukan dengan barter. Barter adalah
suatu bentuk transaksi pertukaran kepemilikan antara dua barang yang berbeda.
Namun pada masa ini praktik jual beli barter masih bisa ditemukan khususnya di
Kota Manado. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik jual beli barter di
psar 45 sudah sesuai dengan hukum ekonomi syariah atau belum.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan, sedangkan sifat penelitian
adalah metode kualitatif . penelitian ini menggunakan jenis pendekatan yuridis
normative dan sosiologi. Adapun teknik pengumpulan data yaitu berdasarkan
wawancara dan dokumentasi. Sumber data penelitian ini bersumber pada data
primer dan sekunder. Adapun penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dan lokasi
penelitian ini mengambil tempat di pasar 45 kota manado.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa praktik jual beli barter handphone
di pasar 45 sudah sesuai dengan rukun al-bai’ tetapi pada jual beli secara barter di
pasar 45 ini belum memenuhi syarat al-bai’ dikarenakan dalam praktik jual
belinya mengandung unsur Gharar. Praktik jual beli secara barter di pasar 45
sebelum melakukan transaksi setiap pembeli harus memeriksa kelengkapan
barang agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.sedangkan perspektif
hukum ekonomi syariah terhadap praktik jual beli barter tidak diperbolehkan
karena mengandung unsur gharar.

Kata kunci : Jual Beli, Barter Handphone, Penambahan Uang, Hukum Ekonomi
Syariah
A. Pendahuluan

Pada kehidupan yang bermasyarakat setiap orang harus memiliki


kepentingan terhadap sesama manusia sehingga akan menimbulkan hubungan
antara hak dan kewajiban. Setiap hak dan kewajiban yang ada telah diatur
dalam kaidah-kaidah hukum dan bertujuan untuk menghidari terjadinya
adanya bentrokan berbagai kepentingan. Kaidah hukum yang mengatur
hubungan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat tersebut dikenal
dengan kata mu’amalah.1
Muamalah sebagai sistem sosial kemasyarakatan Islam, dapat
dipahami dari tujuan syari’ah dalam rangka terpeliharanya lima hal yang
bersifat mutlak bagi manusia yaitu: 1) agama; 2) jiwa; 3) akal; 4) keturunan;
5) harta benda. Sehingga dapat terciptanya kehidupan yang sejahtera dan
damai.2
Salah satu bentuk muamalah adalah transaksi jual beli, didalam agama
Islam jual beli dibolehkan (halal) atau tidak ada suatu sebab yang
melarangnya. Sesuai dengan kaidah fiqh yang berhubungan dengan muamalah
yaitu prinsip dasar yang di mana halal atau diperbolehkan maksudnya semua
akad dipandang halal kecuali ada yang mengharamkannya.3
Jual beli adalah suatu perwujudan dari muamalah tersebut, yang
merupakan perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara sukarela di antara kedua belah pihak, di mana pihak yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah ditetapkan secara syara’. Sesuai dengan ketetapan hukum
maksudnya ialah kedua belah pihak harus memenuhi persyaratan, rukun-rukun
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan jual beli, sehingga bila syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’. 4 Jual
beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh masyarakat, karena
1
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h.1

2
Enang Hidayat, Fiqh Jual Beli (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2015), h.51.

3
Hassan Saleh,Kajian Fiqh dan Fiqh Kontemporer (Jakarta: raja Grafindo persada, 2008),
h.291.
dalam setiap pemenuhan kebutuhannya masyarakat tidak bisa berpaling untuk
meninggalkan akad ini.5 Dalam melakukan praktik jual beli dalam Islam
dilarang adanya perbuatan yang mengarah pada riba, gharar, dan maysir.6
Seiring dengan berkembangnya zaman, manusia melakukan transaksi
jual beli dengan berbagai macam cara yang di mana alat ukurnya adalah uang.
Berbeda dengan zaman dahulu jual beli dilakukan dengan barter. Barter adalah
suatu bentuk transaksi pertukaran kepemilikan antara dua barang yang
berbeda. Namun pada masa ini praktik jual beli barter masih bisa ditemukan
khususnya di Kota Manado.
Pada sepanjang jalan pasar 45 yakni yang menjadi pusat Kota Manado,
terlihat banyak sekali penjual handphone, di mana ketika melewati jalan
tersebut akan langsung diberikan pertanyaan terkait jual beli handphone.
Bentuk transaksi jual beli handphone tersebut berupa jual beli handphone baru
atau second dan adanya penambahan uang. Transaksi tersebut haruslah
disepakati bersama jika kedua belah pihak menyetujuinya. Namun dalam
kenyataannya berdasarkan praobservasi yang dilakukan oleh peneliti,
ditemukan adanya pihak yang merugikan dengan praktik jual beli barter
handphone penambahan uang tersebut. Bagi para penjual handphone, hal
tersebut seringkali dirasakan dan menyebabkan kerugian. Salah satunya ketika
seorang yang melakukan jual beli barter handphone hasil curian. Hal ini
mengakibatkan sipenjual dicari oleh penegak hukum padahal sipenjual tidak
mengetahui bahwa handphone tersebut merupakan hasil barang curian. Maka
dari itu sipenjual haruslah lebih berhati-hati dalam melaukan praktik jual beli
barter handphone dengan penambahan uang tersebut. Dalam Islam perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang dilarang karena termasuk dalam unsur
gharar.

4
Hendi Suhendi, Fiqh muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h.68-69.

5
Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: pustaka pelajar,
2008), h.69.
6
H. Syaikhu, dkk fikih muamalah (Yogyakarta: K-Media, 2020), h.75
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk
meneliti lebih jauh tentang “ Jual Beli Barter Handphone Dengan
Penambahan Uang Perspektif Hukum Ekonomi Syariah” (Studi Kasus Pasar
45 Kota Manado)

Adapun rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini yang


pertama bagaimana Praktik Jual Beli Handphone secara barter di pasar 45 dan
yang kedua apakah praktik jual beli handphone secara barter sesuai dengan
Hukum Ekonomi Syariah. Berdasaran rumusan masalah tersebut dapat
dijabarkan melalui tujuan penelitian yang pertama untuk mengetahui
bagaimana praktik jual beli handphone secara barter di pasar 45. Dan yang
kedua untuk mengetahui apakah praktik jual beli secara barter sesuai dengan
Hukum Ekonomi Syariah.

B. Metode Penelitian

Adapun metode yang di tempuh dalam mengumpulkan data, jenis


penelitian kualitatif sedangkan sifat peneliian bersifat deskriptif. Sumber data
yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder, sumber
data primer dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi
oleh peneliti dengan penjual dan pembeli handphone. Dan sumber data
sekunder dalam penelitian ini meliputi buku-buku dan jurnal yang berkaitan
dengan jual beli barter handphone serta catatan dan dokumentasi yang ada di
lapangan serta sumber lain yang dapat digunakan sebagai pelengkap data
primer. Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik observasi wawancara dan dokumentasi.

analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan cara mengordinasikan
data dan memilih mana yang penting serta yang perlu dipelajari, serta
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Jual Beli

Jual beli atau bai’’ adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.


Sedangkaan berdasarkan pendapat istilah adalah menukar harta dengan
harta berdasarkan pendapat cara-cara yang telah di tetapkan-syara’.
Hukum jual beli adalah halal atau boleh.7
Akad jual beli yaitu akad pertukaran aset dengan aset tanpa batas
waktu, yang apabila seorang membeli suatu barang dari penjual dia tidak
disyaratkan memiliki barang tersebut dalam waktu tertentu tetapi
kepemilikannya mutlak (menjadi hak miliknya). Dalam fikih jual beli
merupakan induk dari seluruh akad-akad mu’awadhoh yang menjadi dasar
bagi para ahli ilmu ushul fikih untuk melakukan qiyas terhadap hukum-
hukumnya.
Dalam jual beli penjual atau bai’’ adalah pihak yang menyerahkan
barang dan diberikan kepada pembeli, sedangkan pembeli musytari
(mubta’) adalah pihak yang menyerahkan harga barang. Pada umumnya
harga ini berbentuk uang. Bai’’ merupakan pembahasan yang paling luas
dibanding dengan akad-akad lain, bai’’ mencakup banyak sekali akad-
akad yang bersifat atau memiliki karakteristik jual beli, di antaranya
adalah muqoyadhoh shoraf, istishna, jual beli amanah (murabahah,
tauliyah, wadiah) dan bai’’ wafa.8
1. Dasar Hukum Jual beli
a. Al-Qur’an
Dalil mengenai masalah jual beli sebelum ada ijma’ialah beberapa ayat,
seperti firman-Nya:
1)Surah A-Baqarah (2) ayat 275:
       
       

7
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah Dari Klasik Hingga Kontemporer (Malang:
UIN-Maliki Press, 2018), h.29.
8
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah (Cet. 1; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), h.75.
       
       
         
       

Terjemahnya:
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian
itu arena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti,
maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
utusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka
mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.9

2) Al-baqarah ayat 188


       
      
  
Terjemahnya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”10

b. Hadis

9
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Al Karim dan terjemahannya (bogor: Halim
publishing & distributing, 2007), h.47.
10
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Al Karim dan terjemahannya (bogor: Halim
publishing & distributing, 2007), h. 29
‫ هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم سئل أي‬Z‫عن رفاعة بن رافع رضي‬
‫رواه‬، ‫ عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور‬: ‫ يا قال‬:‫الكسب أطيب؟ قال‬
‫البزار وصححه الحاكم‬

Artinya:
Dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ditanya:”Apakah pekerjaan yang paling
bai’k/afdhol?” Beliau menjawab:”Pekerjaan seorang laki-laki dengan
tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan setiap jual beli yang
mabrur. (Hadits riwayat al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-
Hakimrahimahumallah).11

c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya
sendiri, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau
barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan
barang lainnya yang sesuai.12
2. Rukun dan Syarat Jual Beli
a. Rukun Jual Beli
Menurut pasal 56 rukun bai’ terdiri atas:
1) Pihak-pihak
2) Objek; dan
3) Kesepakatan.

Menurut pasal 57

11
Taudhilul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Kitab al-Buyu’ hadits no. 660, diterjemahkan
oleh Abu Yusuf Sujono.
12
Mardani, fiqh Ekonomi Syariah Fikih Mua’malah, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), h.105.
Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian jual beli terdiri atas
penjual, pembeli, dan pihak lain yang teribat dalam perjanjian tersebut.
Menurut pasal 58
Objek jual beli terdiri atas benda yang berwujud maupun yang
tidaak berwujud, yang bergerak maupun tidak bergerak, dan yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar.
Menurut pasal 59
a) Kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan, dan isyarat.
b) Kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) memiliki
makna hukum yang sama
Menurut pasal 60
Kesepakatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan
masing-masing pihak, bai’k kebutuhan hidup maupun pengembangan
usaha.
Menurut pasal 61
Ketika terjadi perubahan akad jual beli akibat perubahan harga,
maka akad terakhir yang dinyatakan berlaku.13
Selanjutnya Menurut jumhur ulama rukun jual beli terbagi menjadi empat
yaitu:14
a. Rukun Jual Beli :
1) Shighat
Shighat merupakan bentuk ungkapan dari ijab dan qabul. Para ulama
sepakat bahwa landasan agar terwujudnya suatu akad adalah dengan
timbulnya sikap yang menunjukkan kerelaan atau persetujuan kedua belah
pihak untuk merealisasikan kewajiban diantara mereka.
2) Aqid (Penjual dan Pembeli)
Rukun jual beli kedua adalah aqid yakni orang yang melakukan akad.
Penjual dan pembeli sebagai orang yang melakukan akad harus memiliki
ahliyah (kecakapan) dan wilayah (kekuasaan).
13
Pusat pengkajian ukum islam dan masyarakat madani, kompilasi hukum ekonomi
syariah (cet ke-1 jakarta: kencana 2009),h. 30-31.
14
Ahmad Wardi Muslich Fiqh Muamalat (Cet. 4; Jakarta: Amzah, 2017), h. 180.
3) Ma’qud Alaih (objek akad jual beli)
Ma’qud Alaih atau objek akad merupakan barang yang dijual (mabi’)
dan harga/uang (tsaman).
b. Syarat Jual Beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu:15
1) Syarat in’iqad (terjadinya akad)
Syarat in’iqad adalah syarat harus terpenuhi agar akad jual beli
dipandang sah menurut syara’. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka akad
jual beli menjadi batal.
a) Syarat ‘Aqid
(1) Akid harus berakal yakni mumayyiz.
(2) Akid harus berbilang (tidak sendirian).
b) Syarat Akad (Ijab dan Qabul)
Syarat akad sangat penting karna qabul harus sesuai dengan ijab
apabila terdapat perbedaan maka jual beli tersebut tidak sah
c) Syarat Tempat Akad
Ijab dan qabul harus terjadi dalam satu majelis
d) Syarat Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad)
(1) Barang yang dijual harus maujud (ada) oleh karena itu, tidak sah jual
beli barang yang tidak ada (ma’dun) atau yang dikhawatirkan tidak
ada.
(2) Barang yang dijual harus malmutaqawwim yakni setiap barang yang
dikuasai secara langsung boleh diambil manfaatnya
(3) Barang yang dijual harus barang yang dimiliki
(4) Barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya
akad jual beli. Dengan demikian, tidak sah menjual barang yang tidak
bisa diserahkan
2) Syarat sahnya akad jual beli
Agar terjadinya syarat sah jual beli maka harus terhindar dari enam
macam aib sebagai berikut:

15
Ahmad Wardi Muslich Fiqh Muamalat, h. 186.
a) Ketidakjelasan (Al-jahalah)
(1) Ketidajelasan dalam barang yang dijual, bai’k jenisnya, macamnya
atau kadarnya menurut pandangan pembeli
(2) Ketidakjelasan harga
(3) Ketidakjelasan masa (tempo)
(4) Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan
b) Pemaksaan (Al-Ikrah)
Pengertian pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipaksa)
untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disukainya. Paksaan ini ada dua
macam:16
(1) Paksaan absolut yaitu paksaan dengan ancaman yang sangat berat,
seperti akan dibunuh,atau dipotong anggota badannya;
(2) Paksaan relatif yaitu, paksaan dengan ancaman yang lebih ringan,
seperti dipukul.
Kedua ancaman tersebut mempunyai pengaruh terhadap jual beli,
yakni menjadikannya jual beli yang fasid menurut jumhur ulama.
c) Pembatasan dengan Waktu (At-Tauqit)
Jual beli dengan dibatasi waktu hukumnya fasid karena kepemilikan
suatu barang tidak bisa dibatasi waktu.
d) Penipuan (Al-Gharar)
Gharar adalah penipuan dalam sifat barang
e) Kemudaratan (Adh-Dharar)
Kemudaratan ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual tidak
mungkin dilakukan kecuali dengan memasukkan emudaratan kepada
penjual, dengan barang objek selain akad
f) Syarat yang Merusak
Adalah setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang
bertransaksi tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara’ dan adat
kebiasaan atau tidak dikehendaki oleh akad atau tidak selarasnya dengan
tujuan akad.

16
Ahmad Wardi Muslich Fiqh Muamalat, h. 190-191.
3) Syarat Kelangsungan Jual Beli (syarat nafadz);
a) Kepemilikan atau kekuasaaan
b) Pada benda yang dijual tidak terdapat hak orang lain
4) Syarat mengikat (syarat luzum).
Untuk mengikatnya jual beli disyaratkan terbebas dari salah satu jenis
khiyar yang membolehkan kepada salah satu pihak untuk membatalkan
akad jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar ru’yah, dan khiyar ‘aib.17
3. Macam-Macam Jual Beli
a. Jual beli ‫ولي‬ZZ‫( فض‬fudhuli), adalah jual beli yang ijab atau qabulnya
dilakukan oleh orang yang bukan berkepentingan langsung maupun
wakilnya.18
b. Jual beli ‫يه‬ZZ‫( النس‬an-nasi’ah), adalah barang yang diperjual belikan
diserahkan saat itu juga, sedangkan harganya diserahkan belakangan.
c. Jual beli ‫الم‬ZZ‫(س‬salam), adalah harganya diserahkan saat itu juga,
sementara barangnya belakangan (kebalikannya jual beli ‫يه‬ZZZ‫النس‬
nasi’ah).
d. Jual beli ‫( الشريف‬ash-sharf), adalah khusus berkenaan dengan emas
dan perak.
e. Jual beli ‫( مرابحة‬murabahah), adalah jual beli dengan keuntungan
tertentu (sesuai kesepakatan kedua belah pihak)
f. Jual beli ‫( الموضحة‬al-muwadha’ah), adalah jual beli dengan kerugian
tertentu.
g. Jual beli ‫( طولية‬tauliyah), adalah jual beli sesuai dengan modal. 19
4. Persyaratan dalam jual beli
Adapun dalam jual beli memiliki perbedaan antara syarat dan
persyaratan jual beli. Dalam syarat sah jual beli itu sudah ditentuan dalam
agama, sedangkan ketika memberikan persyaratan dalam jual beli yang

17
Muslich Fiqh Muamalat, h. 200.
18
Muhammad Yunus, dkk., “Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap Akad Jual Beli Dalam
Transaksi Online Pada Aplikasi Go-Food”, Jurnal Eekonomi dan Keuangan Ssyariah Vol. 2 No. 1
(Januari 2018), h.148.
19
Muhammad Yunus, dkk., “Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap Akad Jual Beli Dalam
Transaksi Online Pada Aplikasi Go-Food”, h.149.
ditetapkan oleh salah satu pelaku transaksi. Dan apabila syarat syarat sah
dari jual beli tersebut dilanggar, maka akad yang dilakukan tersebut tidak
sah. Namun apabila persyaratan dalam jual beli tersebut yang dilanggar,
maka akad tetap dinyatakan sah hanya saja para pihak yang telah
memberikan persyaratan berhak khiyar agar dapat melanjutkan atau
membatalan akad.
Adapun persyaratan yang dibenarkan agama, misalnya:
a. Persyaratan yang dimana sudah sesuai dengan tuntutan akad.
b. Persyaratan tausiqiyah, adalah para penjual memberikan syarat kepada
pembeli untuk mengajukan dhamin (pinjaman/guarantor) atau barang
agunan. Yang biasanya jual beli tersebut tidak tunai atau kredit. Apabila
ketika pembeli terlambat memenuhi angsuran tersebut maka para
penjual berhak untuk menuntut penjamin membayar dan menjual
barang agunan tersebut.
c. Persyaratan washfiyah, adalah persyaratan yang dimana pembeli
mengajukan persyaratan dalam kriteria tertentu pada suatu barang
dengan cara tertentu pada pembayaran.
d. Persyaratan yang ada manfaat pada barang.
e. Persyaratan taqyidiyyah, adalah apabila salah satu pihak mensyaratkan
hal-hal yang bertentangan kewenangan pemilik.
f. Persyaratan akad fi akad adalah persyaratan yang dimana
menggabungkan satu akad dengan 2 akad.
g. Persyaratan jaza’i (persyaratan denda /kausul penalti), adalah suatu
persyaratan yang dimana ada suatu akad tentang pengenaan denda
apabila ketentuan dalam akadnya tidak terpenuhi.20
5. jual beli yang dilarang
Dalam islam dibolehkan semua jenis dalam jual beli untuk bisa
mendatangkan kebai’kan. Sebaliknya apabila mengharamkan jual beli yang
dimana di dalamnya ada ketidakjelasan dan gharar (kecurangan) atau

20
Dr.mardani, fiqh ekonomi syariah fiqh muamalah, edisi pertama kencana
(Jakarta:2012), h. 109-111.
kemudaratan yang dapat menimbulkan sakit hati yang bisa menimbulkan
kebencian dan pertentangan. Maka dari itu bentuk dari jual beli yang
terlarang sebagai berikut:
a. jual beli mulamasah adalah berupa perkataan para penjual kepada pembeli,
“ apabila baju apa saja yang telah kamu pegang maka itu harus kamu beli
dengan harga tertentu” jual beli ini dianggap tidak sah karna di dalamnya
terdapat unsur jahalah (ketidakjelasan) atau gharar (kecurangan)
b. jual beli najasy adalah jual beli yang dimana ketika sesesorang
menambahkan harga barang padahal dia tidak ingin membelinya. Jual beli
ini termasuk dalam haram karena didalamnya mengandung kecurangan
dan penipuan kepada para pembeli.
c. Dua akad dalam satu transaksi, yang dimana ketika para penjua berkata
kepada pembeli seperti “apabila saya menjual barang ini kepadamu maka
syaratnya kamu harus menjual barang tersebut kepadaku atau kamu
membeli dariku ini. Jual beli ini dianggap tidak sah, karna dalam
transaksinya bergantung kepada syarat yang pertama, dan harganya tidak
tetap
d. Jual beli hadir libadi jual beli yang dimana makelar yang menjual suatu
barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pada saat itu.
e. Jual beli yang dimana masih adanya transaksi orang lain.
f. Jual barang yang belum diterima.
g. Jual beli ainah adalah etika menjual barang yang dimana dibayar dengan
belakangan atau dicicil setelah itu dia membeli kembali barang tersebut
dengan harga yang lebih rendah dari harga yang dijualnya.21
A. Barter
1. Pengertian Barter
Pertukaran barang dengan barang (barter) adalah suatu kegiatan tukar-
menukar barang yang terjadi tanpa adanya perantara uang. Yang
menghadapkan manusia pada kenyataannya bahwa apa yang diproduksi

21
Nurul mukhlisin, lc.m.ag, intisari fiqih islami lengkap dengan jawaban praktis atas
permasalahan fiqih sehari-hari, cetakan pertama (Surabaya:2007) h. 149-151.
sendiri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk memperoleh
barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri mereka mencari dari orang
yang mau menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang barang yang
lain yang dibutuhannya. Oleh karena itu terjadilah sistem barter yaitu tukar
menukar barang dengan barang dengan tujuan memperoleh keuntungan
bersama. Ketika melakukan sistem barter harus mempunyai dasar saling rela
agar juga kedua belah pihak bisa saling menguntungkan satu sama lain.22
Tukar menukar barang atau barter dilakukan untuk memenuhi suatu
kebutuhan manusia yang bertujuan untuk menukar barang yang dibutuhkan
oleh seseorang yang tidak dimilikinya yang dilakukan sesuai dengan akad
yang berlaku agar tidak ada yang dirugikan dan kedua belah pihak saling
menguntungkan satu sama lain.
2. Dasar Hukum jual beli barter
Dalam Q.S an-Nisa’ ayat 29:
      
          
      

Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (Q.S an-Nisa’ ayat 29).23

ayat di atas telah dijelaskan bahwa setiap dalam sebuah transaksi harus
menggunakan cara yang benar maupun sebaliknya jangan menggunakan
dengan cara yang bathil, dalam islam teah mengatur agar manusia atau seluruh

22
Moh. Sa’I Affan, Tradisi Jual Beli Barter Dalam Kajian Hukum Islam, h.21
23
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Al Karim dan terjemahannya (bogor: Halim
publishing & distributing, 2007), h. 83
umatnya untuk selalu bertransaksi dengan cara yang benar dan sah menurut
hukum islam.
3. Rukun dan Syarat barter
a. Rukun barter
Dalam transaksi sistem barter terdapat beberapa rukun yang harus
dipenuhi, antara lain sebagai berikut:
1) Penjual
Penjual disini yang dimana ialah seorang yang memiliki suatu
barang yang akan ditukarkan, dalam penelitian ini diibaratkan orang
yang memiliki makanan.
2) Pembeli
Pembeli disini ialah ketika ada Orang yang akan menukarkan
barang yang ia miliki , pada penelitian ini penjual diibaratkan orang
yang memiliki berupa padi.
3) Barang yang dipertukarkan
Barang yang dipertukarkan disini yaitu apabila kedua barang yang
akan ditukarkan oleh kedua pihak yang akan melakukan sistem
transaksi barter, barang tersebut harus ada.
4) Ijab qabul
Ijab qabul disini seperti serah terima yang telah dilakukan oleh
kedua pihak yang bertransaksi sama-sama sudah mempunyai rasa
saling rela dalam transaksi tersebut.
b. Syarat-syarat Barter
Adapun syarat-syarat barter adalah sebagai berikut:
1) Jenis dari suatu barang yang akan dipertukarkan harus memiliki
nilai yang sama. Dengan samanya nilai barang yang akan
ditukarkan tersebut , maka akan memimalisir ketika terdapat suatu
kelebihan atau yang sering disebut dengan riba.
2) Adapun syarat berikutnya yaitu harus adanya kecocokan dan sama-
sama dibutuhkan antara barang yang akan dipertukarkan oleh
kedua belah pihak. Dengan begitu kedua belah pihak yang telah
melakukan transaksi tidak ada yang merasa dirugikan karena
keduanya sudah sama-sama membutuhkan barang yang telah
dipertukarkan tersebut.24
B. Jual beli secara barter
Jual beli secara barter adalah jual beli yang dimana suatu transaksi
pertukaran kepemilikan antara dua barang yang berbeda jenis,seperti
menukar beras dengan tahu atau perdagangan secara komersial yang
mencakup penyerahan satu barang untuk memperoleh barang yang lain
yang sering disebut saling tukar menukar. Bebrapa kalangan berpendapat
bahwa barter sebaiknya tidak dilakukan dengan alasan bahwa bisa jadi
salah satu pihak dirugikan karena perbedaan harga yang signifikan, yang
perludiatur dalam jual beli barter ini adalah sistem informasi harganya
yang bukan pada jenis transaksinya. Semua pihak yang bermaksud
melakukan proses barter harus diberian kesempatan dalam memperoleh
informasi mengenai harga barang-barang yang di pertukarkan.25
Adapun dalam barter terjadi proses jual beli namun
pembayarannya tidak menggunakan uang, melainkan barang. Tentunya
nilai barang yang dipertukarkan tidak jauh berbeda atau jauh berbeda atau
sama nilainya.jual beli seperti ini lazim digunakan pada zaman dahulu
ketika mata uang belum berlaku. Namu pada saat ini ketika mata uang
sudah berlaku di seluruh penjuru dunia , bahkan pada jaman sekarang
sudah ada transaksi elektronik, sampai saat ini barter masi berlangsung di
beberapa tempat seperti di pasar 45 Kota Manado.
Menurut (sunarto Zulkifli dalam bukunya panduan praktis
transaksi perbankan syari’ah). Beliau menganggap bahwa transaksi barter
dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan syariah, namun diperlukan
aturan main dengan jelas terutama mengenai harga.26
C. Gharar
24
Nur Rachmat Arifin dkk, jurnal ekonomi islam, “analisis praktek barter pasca panen
padi ditinjau dari perspektif ekonomi islam” volume 10, Nomor 2, November 2019 h. 172.
25
Sunarto Zulkifli, panduan praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Halim,
2004, h. 47
26
Zulkifli, panduan praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta:, 2004, h. 42
1. Pengertian Gharar
Adapun dalam bahasa arab gharar adalah al-khatr; atau pertaruhan,
majhul al-aqibah; dan tidak jelas hasilya, adapun gharar juga dapat
diartikan yaitu sebagai al-mukhatharah;atau pertaruhan dan aljahalah;
atau ketidakjelasan. Gharar adalah suatu bentuk keraguan, tipuan, atau
suatu tindakan yang dimana bertujuan untuk merugikan orang lain.
Maka dari itu jika dilihat dari beberapa arti dari kata tersebut, maksud
dari gharar dapat diartikan sebagai semua bentuk jual beli yang dimana
didalamnya mengandung berbagai unsur-unsur ketidakjelasan, dan
pertaruhan atau perjudian. Dari semuanya mengakibatkan atas hasil yang
tidak pasti terhadap hak dan kewajiban dalam suatu transaksi/jual beli.
Menurut pandangan madzhab syafi’I gharar yaitu segala sesuatu yang
dimana akibatnya tersembunyi dari pandangan dan segala sesuatu yang
dapat memberikan suatu bentuk akibat yang tidak diinginkan/ akibat yang
menakutkan. Sedangkan menurut pendapat imam al-Qarafi mengatakan
gharar yaitu suatu dari bentuk akad yang tidak dapat diketahui dengan
tegas bahwa apakah evek akad tersebut terlaksana atau tidak.27
Adapun jual beli gharar juga merupakan jual beli yang dimana tidak
ada kepastian pada barangnya. Jual beli gharar mengandung berbagai
resiko dan akan membawa mudharat karena dapat mendorong seseorang
untuk mendapatkan apa yang diinginkan padahal pada akhirnya akan
merugikan kedua belah pihak dan dapat membahayakan satu sama lain.
Maka dari itu segala sesuatu yang jual belinya belum ada ketidakjelasan
bai’k dalam bertransaksi maupun tidak termasuk dalam kuasannya maka
itu termasuk dalam jual beli gharar.28
2. Landasan hukum terhadap larangan Gharar
a. Al-Qur’an
Dalam jual beli paktik gharar juga merupakan suatu tindakan yang
dimana dapat memakan harta orang lain dengan cara yang barthil.
27
Nadratuzzaman Hosen, “analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi” Al-Iqtishad:
Vol. 1, januari 2009 h. 54-55.
28
Mardani, fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta:kencana, 2012), h. 29
Seperti Allah SWTberfirman dalam Q.s Al-Baqarah ayat 188

       


       

Terjemahnya:
Dan janganlah sebahagian kamu memmakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.s- Al-
Baqarah;188)29

Adapun dalam al-Qur’an dengan tegas melarang bai’k semua


bentuk transaksi bisnis yang dimana mengandung unsur kecurangan dalam
segala bentuk terhadap para pihak-pihak yang lain: hal itu mungkin dalam
segala bentuk dari penipuan atau kejahatan, atau memperoleh suatu
keuntungan dengan tidak semestinya atau berbagai resiko yang menuju
dalam ketidakpastian dalam suatu bisnis atau sejenisnya. Dalam Q.s al-
An’am [6]: 152 dijelaskan sebagai berikut:
         
         
           

        30

Terjemahnya:
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak

29
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Al Karim dan terjemahannya (bogor: Halim
publishing & distributing, 2007), h.29
30
memikulkan beban kepada seorang melainkan sekedar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah
kamu berlaku adil, kendatipun iaadalah kerabat (mu), dan
penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. (Q.s. al-An’am [6]: 152).31

Gharar hukumnya dilarang dalam islam, karena itu dalam


melakukan transaksi atau memberikan syarat dalam akad yang termasuk
dalam unsur ghararnya hukumnya tidak boleh. Sebagaimana dalam hadis
menyebutkan:
‫نهى ر سو ل هللا صلى هللا عليه و سلم عن ل بيع الغرر‬

Artinya:
Rasulullah Saw. Melarang jual beli yang mengandung gharar. (H.r.
Bukhari Muslim).32
b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Adapun tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam pasal 378
(KUHP) sebagai berikut:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu
atau martabat (hoedaninghed) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.33
3. Bentuk gharar

31
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Al Karim dan terjemahannya (bogor: Halim
publishing & distributing, 2007), h.149.
32
Efa rodiah Nur, “Riba dan Gharar: suatu tinjauan hukum dan etika dalam transaksi
bisnis modern” Al-Adalah Vol. XII, No. 3, juni 2015, h. 656.
33
M.hukumonline.com, pasal untuk menjerat pelaku penipuan dalam jual beli diakses
pada tanggal 18 mei 2021
Menurut Abdullah muslih bentuk-bentuk daritransaksi gharar terbagi 3
sebagai berikut:
a. Jual beli barang yang belum ada (ma’dun)
Jual beli yang dimana tidak adanya kemapuan dari para penjual
untuk menyerahan objek dari akad pada saat terjadinya akad tersebut
bai’k objek kad itu ada atau belum ada (bai’’ al-ma’dun).
b. Jual beli barang yang tidak jelas (majhud)
Jual beli yang dimana apabila penjual menjual sesuatu yang belum
dibawah penguasan penjual tersebut, tidak adanya kepastian dari
barang yang ingin dijual tersebut dan tidak ada tindakan kepastian
tentang waktu penyerahan dari objek akad tersebut. Selain itu dalam
kondisi akadnya tidak dapat dijamin kesesuaiannya dalam menentukan
transaksi tersebut.
c. Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan
Jual beli seperti contonya tidak ada kepastian mengenai
pembayarannya dan mengenai barang yang dijual, tidak ada kepastian
harga barang yang dijual, dan terdapat unsur keterpaksaan dalam jual
beli tersebut.34
1. Praktek Jual Beli Handphone Secara Barter Di Pasar 45
Berdasarkan hasil wawancara diatas praktik jual beli barter
handphone dengan penambahan uang di pasar 45 kota manado masih
dengan menggunakan cara tradisional maksudnya mereka melakukan
penawaran mengenai jual beli handphone dan tukar tambah handphone
kepada siapa saja yang lewat. Sistem transaksi yang terjadi di pasar 45 kota
manado sudah sesuai dengan rasa saling percaya satu sama lain antara
penjual dan pembeli. Para pembeli mereka mengatakan bahwa mereka
percaya dengan barang yang dijual akan tetapi apabila terjadi sesuatu pada
handphone maka handphone tersebut dikembalikan kepada penjual agar

34
Hosen, “analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi”, Al-Iqtishad: Vol. 1, januari
2009 h. 54-55.
bisa diganti dengan barang yang sejenis dan yang memiliki kualitas yang
baik sesuai dengan peranjian pada saat perjanjian.
Praktik jual beli secara barter di pasar 45 adanya kesepakatan dan
perjanjian di antara kedua belah pihak sebelum melaksanakan transaksi jual
beli, para pihak yang melakukan jual beli secara barter, adanya objek atau
barang. Barang yang dijual di pasar 45 merupakan handphone
second/bekas akan tetapi masih bagus dan layak dipakai tetapi ada juga
beberapa penjual yang menjual handphone yang masih baru. Selanjutnya
mengenai harga yang ditetapkan semua penjual mengatakan harus sesuai
dengan tipe handphone yang dijual.
Dari hasil wawancara yang bisa disimpulkan jual beli secara barter di
pasar 45 sudah sesuai dengan rukun al-bai’ tetapi pada jual beli secara
barter di pasar 45 ini belum memenuhi syarat al-bai’ dikarenakan dalam
praktik jual belinya mengandung unsur Gharar. Praktik jual beli secara
barter di pasar 45 sebelum melakukan transaksi setiap pembeli harus
memeriksa kelengkapan barang agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan.
Faktor-faktor yang mendorong pembeli untuk melakukan jual beli
secara barter di pasar 45 yaitu karena harga handphone yang termasuk
sangat murah walaupun termasuk barang second/bekas tetapi kualitas
handphone yang dijual masih tergolong bagus. Maka dari itu pembeli
banyak yang lebih memilih membeli handphone di pasar 45. Ketimbang
membeli di toko resminya.
2. Praktek Jual Beli Handphone Secara Barter Sesuai Dengan Hukum
Ekonomi Syariah
Mengenai perspektif hukum ekonomi syariah terhadap praktik jual
beli secara barter yang dilakukan di pasar 45 praktik jual beli yang dilakukan
oleh masyarakat bahwa jika dilihat berdasarkan hukum ekonomi syariah sudah
sesuai berdasarkan rukun bai’ dalam islam tidak diperbolehkan karena dalam
praktik jual beli secara barter di pasar 45 masih termasuk unsur gharar yang
termasuk dalam syarat tidak sah nya dalam jual beli yang dimana dalam jual
belinya ada unsur ketidakjelasan dan penipuan yang terjadi antara kedua belah
pihak seperti barang yang diperjual belikan termasuk barang hasil curian akan
tetapi salah satu pihak tidak mengetahui kalau handphone tersebut merupakan
barang hasil curian. ini menunjukkan bahwa penjual dan pembeli dirugikan
satu sama lain tetapi menurut penjual handphone di pasar 45 sudah pasti akan
mengalami kerugian dalam jual beli maka dari itu beberapa penjual handphone
di pasar 45 selalu periksa dengan teliti mengenai kelengkapan handphone
tersebut. ada juga penjual yang hanya langsung membeli tanpa menanyakan
kelengkapan handphone. sedangkan menurut beberapa pembeli handphone
ketika melakukan jual beli di pasar 45 mereka sudah mempercayai penjual
handphone tersebut karena sebelum melakukan pembelian pembeli selalu
memeriksa kelengkapan handphone yang akan dibeli untuk menghindari
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi ada pembeli yang tidak
sengaja membeli barang curian karena pada saat itu pembeli langsung
membeli handphone yang dijual tanpa menanyakan kelengkapan barang
tersebut. pembeli dan penjual sampai dipanggil oleh penegak hukum untuk
diberikan keterangan mengenai handphone yang dibeli.
Hadis mengenai jual beli barter yang diperbolehkan:
Sabda nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim yang Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Amru
An Naqid dan Ishaq bin Ibrahim dan ini adalah lafadz Ibnu Abu Syaibah,
Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua
berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari Khalid Al Khaddza' dari Abu Qilabah dari Abu Al
Asy'ats dari 'Ubadah bin Shamit dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan
garam dengan garam,tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan
sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu
asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya." (HR. Muslim).”35

35
Ibnu Qudamah, Al- Mughni, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 362
Mengenai penjelasan dari hadis diatas bahwa praktik jual beli barter
sudah sesuai dengan syari’at islam yang dimana barang yang dijual sama
jenis dan transaksi yang dilakukan yaitu secara langsung dan sesuai dengan
kesepakatan antara kedua belah pihak. akan tetapi praktik jual beli barter di
pasar 45 tidak diperbolehkan karena mengandung unsur gharar.
Berdasarkan kesimpulan diatas mengenai praktik jual beli barter di
pasar 45 sudah sesuai dengan rukun bai’ adapun akad yang dilakukan yaitu
sesuai dengan kesepakatan dan adanya unsur kejujuran antara kedua belah
pihak. Akan tetapi tidak diperbolehkan dalam islam karena mengandung
unsur ghoror yang dimana barang yang dijual dipasar 45 adanya
ketidakjelasan dan adanya penipuan karena barang yang dijual merupakan
barang hasil curian.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang dibahas penulis menyimpulkan bahwa:
1. Praktik jual beli barter di pasar 45 Kota Manado
praktik jual beli barter handphone dengan penambahan uang di pasar
45 kota manado masih dengan menggunakan cara tradisional
maksudnya mereka melakukan penawaran mengenai jual beli
handphone dan tukar tambah handphone kepada siapa saja yang lewat.
Sistem transaksi yang terjadi di pasar 45 kota manado sudah sesuai
dengan rasa saling percaya satu sama lain antara penjual dan pembeli.
Para pembeli mereka mengatakan bahwa mereka percaya dengan
barang yang dijual akan tetapi apabila terjadi sesuatu pada handphone
maka handphone tersebut dikembalikan kepada penjual agar bisa
diganti dengan barang yang sejenis dan yang memiliki kualitas yang
baik sesuai dengan peranjian pada saat perjanjian Praktik jual beli
secara barter di pasar 45 adanya kesepakatan dan perjanjian di antara
kedua belah pihak sebelum melaksanakan transaksi jual beli, para
pihak yang melakukan jual beli secara barter, adanya objek atau
barang. Barang yang dijual di pasar 45 merupakan handphone
second/bekas akan tetapi masih bagus dan layak dipakai tetapi ada juga
beberapa penjual yang menjual handphone yang masih baru.
2. Praktek Jual Beli Handphone Secara Barter Sesuai Dengan Hukum
Ekonomi Syariah, mengenai perspektif hukum ekonomi syariah
terhadap praktik jual beli secara barter yang dilakukan di pasar 45
praktik jual beli yang dilakukan oleh masyarakat bahwa jika dilihat
berdasarkan hukum ekonomi syariah sudah sesuai berdasarkan rukun
bai’ dalam islam tidak diperbolehkan karena bersifat gharar yang
dimana dalam jual belinya ada unsur ketidakjelasan dan penipuan yang
terjadi antara kedua belah pihak seperti barang yang diperjual belikan
termasuk barang hasil curian akan tetapi salah satu pihak tidak
mengetahui kalau handphone tersebut merupakan barang hasil curian.
Saran
1. Untuk masyarakat ketika dalam proses jual beli barter agar selalu
berhati-hati dalam membeli/menjual handphone di pasar 45 sebelum
membeli kiranya memeriksa lebih detail dan menanyakan kejelasan
mengenai handphone yang akan dibeli agar tidak terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan.
2. Untuk penjual handphone agar kiranya tetap selalu berkata jujur dalam
jual beli dan memberikan kejelasan mengenai handphone yang dijual
adapun sebaiknya praktik jual beli harus bersifat islami/syariah serta
dalam praktik jual beli barter tersebut harus saling meridhoi agar
nantinya tidak adanya kerugian antara penjual dan pembeli.
3. Untuk penjual agar lebih terbuka dan bekerja sama dengan pembeli
mengenai handphone yang ingin dijual agar nantinya penjual dan
pembeli mendapatkan keuntungan dan tidak adanya kerugian antara
satu sama lain dan kiranya penjual selalu memeriksa handphone yang
ingin dijual agar tidak ada pelanggan yang merasa kecewa dan
mengembalikan barang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Azhar Basyir Ahmad, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press,


2004

Djuwaini Dimyauddin, pengantar Fiqih Muamalah, Yogyakarta: pustaka


pelajar, 2008

Farroh Hasan Akhmad, Fiqih Muamalah Dari Klasik Hingga Kontemporer


Malang: UIN-Maliki Press, 2018

Hidayat Enang, Fiqh Jual Beli Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2015.

Hosen Nadratuzzaman, “analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi”


Al-Iqtishad: Vol. 1, januari 2009

Hosen, “analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi”, Al-Iqtishad: Vol.


1, januari 2009
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Al Karim dan terjemahannya bogor:
Halim publishing & distributing, 2007

M.hukumonline.com, pasal untuk menjerat pelaku penipuan dalam jual beli


diakses pada tanggal 18 mei 2021
Mardani, fiqh Ekonomi Syariah Fikih Mua’malah, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012

Mardani, fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta:kencana, 2012

Mukhlisin Nurul, lc.m.ag, intisari fiqih islami lengkap dengan jawaban


praktis atas permasalahan fiqih sehari-hari, cetakan pertama
Surabaya:2007

Pusat pengkajian ukum islam dan masyarakat madani, kompilasi hukum


ekonomi syariah cet ke-1 jakarta: kencana 2009

Qudamah Ibnu, Al- Mughni, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008

Rachmat Arifin Nur dkk, jurnal ekonomi islam, “analisis praktek barter
pasca panen padi ditinjau dari perspektif ekonomi islam” volume 10,
Nomor 2, November 2019

Rodiah Nur Efa, “Riba dan Gharar: suatu tinjauan hukum dan etika dalam
transaksi bisnis modern” Al-Adalah Vol. XII, No. 3, juni 2015

Sa’I Affan Moh, Tradisi Jual Beli Barter Dalam Kajian Hukum Islam,

Sahroni Oni dan Hasanuddin M, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah Cet. 1; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016

Saleh Hassan,Kajian Fiqh dan Fiqh Kontemporer Jakarta: raja Grafindo


persada, 2008

Suhendi Hendi, Fiqh muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2002

Syaikhu H, dkk fikih muamalah Yogyakarta: K-Media, 2020

Taudhilul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Kitab al-Buyu’ hadits no. 660,
diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono.
Wardi Muslich Ahmad Fiqh Muamalat Cet. 4; Jakarta: Amzah, 2017

Yunus Muhammad, dkk., “Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap Akad Jual


Beli Dalam Transaksi Online Pada Aplikasi Go-Food”, Jurnal Eekonomi
dan Keuangan Ssyariah Vol. 2 No. 1 Januari 2018

Zulkifli Sunarto, panduan praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta:


Zikrul Halim, 2004

Zulkifli, panduan praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta:, 2004

Anda mungkin juga menyukai