Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan
dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu
untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan
antara manusia satu dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan
keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan
kontrak. Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah.
Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti
hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universival
memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
diimplementasikan dalam setiap masa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Akad atau Perikatan?
2. Apa saja Bentuk-bentuk dari atau Perikatan?
3. Berapakah Penggolongan Perikatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Menjelaskan pengertian dari Akad atau Perikatan.
2. Menjelaskan bentuk-bentuk dari Akad atau Perikatan.
3. Menjelaskan penggolongan-penggolongan Akad atau Perikatan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum Perikatan Islam


Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari Hukum Islam bidang muamalah
yang mengatur prilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya.
Menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH hukum perikatan islam merupakan
seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an. As-Sunnah (Hadits),
dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau
lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.
Lebih lanjut beliau menerangkan, bahwa kaidah-kaidah hukum yang
berhubungan langsung dengan konsep Hukum Perikatan Islam ini adalah
bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW (As-Sunnah).
Adapun kaidah-kaidah fiqh berfungsi sebagai pemahaman dari syariah yang
dilakukan oleh manusia (para ulama mazhab) yang merupakan suatu bentuk dari
ijtihad. Pada masa ini bentuk ijtihad di lapangan Hukum Perikatan ini
dilaksanakan secara kolektif oleh para ulama yang berkompeten dibidangnya.
Dari ketiga sumber tersebut, umat Islam di mana pun berada dapat
memperaktikkan kegiatan usahanya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari pengertian di atas, tampak adanya kaitan yang erat antara Hukum
Perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam
menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-
sumber Hukum Islam tersebut. Hal ini menunjukkan adanya sifat “religious
transendental” yang terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi Hukum
Perikatan Islam itu sendiri yang merupakan pencerminan otoritas Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Mengetahui segala tindak tanduk manusia dalam hubungan
antarsesamanya.1

1
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, hlm 3

2
B. Bentuk-bentuk Perikatan Islam dalam Kegiatan Usaha
1. Pertukaran
akad ini terbagi menjadi dua jenis2 yaitu:
a) Pertukaran barang yang sejenis, akad ini terdiri dari dua yaitu:
1) pertukaran uang dengan uang (sharf=penambahan, penukaran,
penghindaran, pengalihan, atau transaksi jual beli)3, yaitu perjanjian jual
beli satu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi ini dapat dilakukan baik
dengan sesame mata uang sejenis maupun yang tidak sejenis. Dasar
hukum dibolehkannya as-Sharf adalah dari Hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh HR. Muslim yang berbunyi: “Diriwayatkan oleh Abu
Ubadah bin ash Shamid berkata, bahwa telah bersabda Rasulullah SAW,
‘Emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, bur
dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, sama dan jenis haruslah dari tangan ke tangan (sah). Maka
apabila berbeda jenisnya jualah sekehendak kalian dengan syarat
kontan.’”
Menurut para ulama, rukun dan syarat yang harus dpenuhi dalam jual beli
mata uang adalah sebagai berikut:
 pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot).
 Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial
bukan spekulasi.
 Harus dihindari jual beli bersyarat.
 Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang
diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
 Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau jual beli
tanpa hak kepemilikan (bai al-alfudhuli).
 Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ketentuan tentang
as-Sharf ini belum diatur. Kebijakan pelaksanaan as-Sharf ini
diserahkan menurut kebiasaan yang berlaku di kalangan bisnis valuta

2
Ibid, hlm 105
3
Ibid, hlm 106

3
asing yang sudah berjalan selama tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah.
2) Pertukaran barang dengan barang (barter)4. Islam pada prinsipnya
membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang. Namun dalam
pelaksanaannya bila tidak memerhatikan ketentuan syariah dapat menjadi
barter yang mengandung unsur riba. Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan
Hadits yang membahas mengenai riba seperti QS. Ar-Ruum: 39, an-Nisaa:
160-161, Ali Imran: 130, dan Al-Baqarah: 278-279. Selain itu menurut
para ulama barang ribawi meliputi:
 Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun lainnya.
 Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan
makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
b) Pertukaran barang yang tidak sejenis, terdiri dari dua yaitu5:
1) Pertukaran uang dengan barang atau jual beli (al-Bay’i)6 pada umumnya,
yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela memindahkan milik dengan
ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah). Terdapat
sejumlah ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang jual beli salah satunya
dalam QS.An-Nisaa: 29 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Rukun dan syarat jual beli bagi penjual dan pembeli yaitu sama dengan
syarat subjek akad pada umumnya. Untuk uang dan benda yang dibeli
syaratnya yaitu suci, ada manfaatnya, dapat diserahkan, milik si penjual, dan
barang itu diketahui oleh kedua pihak. Bentuk-bentuk jual beli ini terdiri
dari:
 Jual beli sahih, yaitu jual beli yang disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat
yang ditentukan.
4
Ibid, hlm 108
5
Ibid, hlm109
6
Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hlm101

4
 Jual beli batal, yaitu jual beli yang tidak terpenuhi salah satu atau seluruh
rukunnya.
 Jual beli fasid, yaitu jual beli yang belum terpenuhi syarat dan rukunnya,
tetapi jika diperbaiki maka menjadi sah.
Sedangkan jula beli dalam bentuk khusus terdiri dari:
 Murabahah (jual beli di atas pokok), yaitu pembelian oleh satu pihak untuk
kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan
pembelian terhadap satu barang dengan keuntungan yang transparan. Rukun
dan syarat dalam transaksi murabahah yaitu barang milik penjual, penjual
memberitahukan harga sebenarnya dari barang dan besarnya keuntungan,
penjual menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang.
 As-Salam/ As-Salaf (jual beli dengan pembayaran dimuka), merupakan
pembelian barang yang diserahkan kemudian hari sementara pembayaran
dilakukan di muka. Dasar hukumnya tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 282.
Syarat-syaratnya yaitu uang dibayar di tempat akad (terlebih dahulu), barang
menjadi utang si penjual, barang dapat diberikan sesuai waktu yang
dijanjikan, barang tersebut jelas ukuran, takaran atau bilangannya, diketahui
sifat-sifat atau jenisnya dengan jelas, dan disebutkan tempat menerimanya.
 Al-Istishna (jual beli dengan pesanan), yaitu kontrak penjualan antara
pembeli dan penjual barang, di sini pembuat barang (shani’) menerima
pesanan dari pembeli (mustashni’) untuk membuat barang dengan
spesifikasi yang telah disepakati dengan harga dan sistem pembayarannya
bisa di muka, cicilan, atau ditangguhkan.
Jual beli dalam KHES, ketentuan jual beli di atur dalam Buku kedua Bab 4
tentang Ba’i dan Bab 5 tentang akibat Ba’i7

2) Pertukaran barang dengan uang seperti sewa (Ijarah)8

7
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm 118
8
Ibid, hlm 123

5
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan
imbalan. Menurut Ulama Syafi’I adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang
dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Sedangkan menurut Ulama Maliki dan Hambali adalah pemilikan manfaat sesuatu
yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.berdasarkan definisi
di atas, akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat, akad itu hanya ditujukan
kepada adanya manfaat pada barang atau jasa. Dasar hukumnya diantaranya
terdapat dalam QS. Al-Qashash: 26 yang berbunyi “salah seorang dari kedua
wanita itu berkata:’ya bapakku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
Rukun dan syarat ijarah yaitu kedua pihak saling rela, manfaat dari ijarah
diketahui jelas, orang yang menyewa barang berhak memanfaatkannya, pada
ijarah yang bersifat jasa objek ijarah bukan merupakan kewajiban bagi orang
tersebut, objek ijarah merupakan sesuatu yang bisa disewakan, upah/sewa harus
jelas dalam akad, yang terakhir ulama Hanafi mengatakan upah atau sewa itu
tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.
Pengaturan tentang ijarah dalam KHES terdapat pada Bab 10.

2. Kerja sama dalam Kegiatan Usaha (Syirkah)


Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath9, artinya campur atau
percampuran. Secara etimologi asy-syirkah yaitu campuran antara sesuatu dengan
yang lainnya, yang berarti seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang
lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi. Syirkah juga bisa diartikan sebagai
ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan.10

 Dasar Hukum syirkah


1. Al-Qur’an

9
Wawan Muhawan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, hlm 289
10
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,op,cit hlm 127

6
Daud berkata : “sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
minta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang
beriman dan mereka yang mengerjakan amal yang shaleh dan amat
sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui, bahwa kami mengujinya,
maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertobat.” (Q.S shaad (38) :24)
2. Hadist Rasul
Imam Ad-daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda : “aku jadi yang ketiga antara dua orang berserikat selama yang
satu tidak berkhianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat
kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya.”11
 Rukun dan Syarat
Syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah rukun
syirkah ada dua yaitu ijab dan kabul. Berikut adalah syarat yang berhubungan
dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian berikut yaitu12 :
1. Sesuatu yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat a) yang
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima
sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan yaitu
pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus dipenuhi yaitu a) bahwa modal yang dijadikan
objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti Riyal dan
Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah
dilakukan, baik jumlahnya sama atau berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa disyaratkan a)
modal (pokok harta) dalam syirkah muwafadhah harus sama, b) bagi yang

11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, op.cit. hlm 127
12
Ibid, hlm 128

7
ber-syirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad
disyaratkan syirkah umm, yaitu pada semua macam jual beli atau
perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-
syarat syirkh mufawadhah.
Adapun hal-hal yang menyebabkan berakhirnya akad perserikatan secara
umum yaitu :
1. Pada syirkah anwal, akad dinyatakan batal bila semua atau sebagian modal
perserikatan hilang, karena objek perserikatan ini adalah harta.
2. Pada syirkah mufawadhah, perserikatan dinyatakan batal bila modal
masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena mufawadhah berarti
persamaan baik dalam modal, kerja maupun keuntungan.13
3. Salah satu pihak membatalkan syirkah meskipun tanpa persetujuan pihak
lainnya.
4. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian
mengelola harta) baik karena gila ataupun yang lainnya.
5. Salah satu pihak meninggal dunia, namun apabila syirkah dilakukan lebih
dari dua orang maka yang batal hanyalah orang yang meninggal saja.
Apabila ahli waris ingin ikut serta dalam syirkah maka harus dibuatkannya
perjanjian baru.
6. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas
harta yang menjadi saham syirkah (mahzab Maliki, Syafi’i, Hanbali),
sedangkan (Mahzab Hanafi) berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak
membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.14
 Bentuk Syirkah
Syirkah secara umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu :
1. Syirkah Ibahah, yaitu persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan
menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.

13
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm 128
14
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, op, cit., hlm 134

8
2. syirkah Amlak, (milik) yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih untuk
memiliki suatu benda. Syirkah Amlak terbagi menjadi dua yaitu :
a. syirkah Milik Jabriyah yaitu berkumpulnya dua orang atau lebih dalam
pemilika suatu benda secara paksa, seperti ahli waris.
b. Syirkah Milik Ikhtiyariyah yaitu berkumpulnya dua orang atau lebih
dalam pemilikan benda dengan ikhtiyar keduanya.
3. Syirkah Akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul
dengan adanya perjanjian. syirkah akad terbagi menjadi empat yaitu :
a. Syirkah amwal yaitu kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan
harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara
mengelola harta itu, bagi yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan. Syirkah amwal terbagi menjadi dua yaitu :
1) Syirkah al-Inan, yaitu setiap yang berserikat menyerahkan hartanya
dengan modal masing-masing tidak harus sama.
2) Syirkah al-Mufawadhah yaitu setiap yang berserikat menyerahkan
hartanya dengan modal masing-masing yang disertakan harus sama.
Hak untuk emlakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus
sama dan setiap anggota adalah penanggung dan wakil dari anggota
lainnya.
b. Syirkah ‘Amal/’Abdan yaitu (persekutuan kerja/fisik) perjanjian
persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari
pihak ketiga yang akan dikrjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi
antara para anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka.
c. Syirkah wujuh yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih degan modal
harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama-sama tersebut
dengan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Syirkah ini
berdasarkan kepercayaan dan kedibilitas.
d. Syirkah Muharabah (qiradh) yaitu berupa kemitraan terbatas adalah
perseroan terbatas antara tenaga dan harta, seseorang (pihak
pertama/supplier/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada
pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola) yang digunakan untuk

9
berbisnis dengan ketenuan bahwa keuntungan jyang diperoleh akan dibagi
oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi
kerugian maka dibebankan kepada harta bukan dibebankan kepada
pengelola, yang bekerja.
 Syirkah dalam KHES
Syirkah dalam KHES diatur dalam buku kedua pada Bab 6 dan 7. Pada Bab 6
pengaturan tentang syirkah dibagi menjadi enam bagian yang terdiri atas : syirkah
al-Amwal (pasal 146-147); syirkah Abdan (pasal 148-164); syirkah Mufawadhah
(pasal 165-172); syirkah ‘inan (pasal 173-177); syirkah musytarakah (pasal 178-
186). Pada Bab 7 khusus syirkah membahas tentang mudharabah terbagi menjadi
dua bagian yaitu tentang : syarat mudharabah (pasal 187-193) dan ketentuan
mudharabah (pasal 94-210).

3. Pemberian Kepercayaan dalam Kegiatan Usaha


a) Wadi’ah (Titipan)
Al-wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang ditempatkan bukan pada
pemiliknya supaya dijagnya15. Wadi’ah juga bisa diartikan menitipkan sesuatu
harta atau barang pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya16.
 Dasar Hukum wadi’ah
1. Al-Qur’an
“.............jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya............” (Q.S Al-Baqarah (2) : 283)
2. Hadist Rasul
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali
bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan
jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Dar al-Quthuni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari
kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda :

15
Ibid, hlm 179
16
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm 137

10
“siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (riwayat
Daruquthni)
“tidak ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat” (riwayat al-
Baihaqi)
3. Ijtihad
Berdasarkan firman Allah SWT. Dan Hadist Rasul para ulama fiqh sepakat
mengatakan, bahwa akad wadi’ah (titipan) boleh dan disunnahkan dalam
rangka saling tolong menolong antara sesama manusia.
 Rukun dan Syarat al-Wadi’ah
Menurut Syafi’iyah al-Wadi’ah memeiliki tiga rukun yaitu :
1. Barang yang dititipkan, syarat benda adalah sesuatu yang dapat dimiliki
menurut syara’
2. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan sudah
baligh, berakal, serta syarat-syarat yang lain sesuai dega syarat berwakil
3. Ijab dan kabul, disyaratkan dapat dimengerti oleh kedua belah pihak baik
dengan jelas maupun samar.
 Hukum Menerima Benda Titipan
Hukum menerima benda titipan ada empat yaitu17 :
a. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya
bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya.
Dianggap sunat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas
pula untuk menerima titipan.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang
percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda
tersebut, sementara orag lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya
untuk memelihara benda-benda tersebut.
c. Haram, apabila seorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-
benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda
titipan sebab dengan menerima benda titipan, berarti memberikan

17
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, op, cit., hlm 184

11
kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda
titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
d. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu
menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada
kemampuannya, maka bagi orang yang seperti ini dimakruhkan menerima
benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang
menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau
menghilangkannya.
 Ketentuan Wadi’ah18
Akad wadi’ah dari sifat amanah menjadi sifat adh-dhamanah (ganti rugi)
yaitu:
1. Barang itu tidak dipelihara secara semestinya oleh orang yang dititipi.
Apabila seseorang merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaa
mencegahnya, padahal ia mampu maka ia dianggap melakukan kesalahan
karena memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan
tersebut ia dikenakan ganti rugi.
2. Barang titipan itu dititipkan oleh penerima titipan (pihak ketiga) yang bukan
keluarga dekat dan bukan juga menjadi tanggingjawabnya. Resiko tetap
ditanggug pihak kedua (penerima titipan) tersebut. Apabila barang itu rusaka
atau hilang dalam kasus ini orang yang dititipi dikenakan ganti rugi.
3. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, jika barang titipa
tersebut rusak ketika dimanfaatkan oleh pihak yang dititipi maka pihak yang
dititipi tersebut wajib mengganti kerusakan barang tersebut. Karena barang
tersebut ditipkan hanya untuk dipelihara sehingga pemanfaatan barang titipan
merupakan penyelewengan.
4. Orang yang dititipi mengingkari wadi’ah itu.
5. Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya
sehingga sulit untuk dipisahkan.

18
Adiwarman A. Karim. Bank Islam (Analisis Fiqh dan Keuangan). Hlm 351

12
6. Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan, kecuali
syarat seperti tempat pemindahannya sama dengan syarat-syarat yang
dikemukakan penitipan barang.
7. Barang titipan dibawa pergi jauh (as-safar).
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda
titipan milik orang lain dan barang titipan tersebut tidak ditemukan maka ini
merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh ahli waris.
Bila seseorang menerima benda-benda titipan sudah sangat lama waktunya
sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda titipan
tersebut dan sudah mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat
diperoleh keterangan yang jelas, maka barang titipan tersebut dapat digunakan
untuk kepentingan agama Islam, dengan mendahulukan hal-hal yang palin
penting diantara masalah-masalah yang penting.
 Wadi’ah dalam KHES
Pada KHES wadi’ah diatur pada buku kedua dalam Bab 14, pada Bab 14 ini,
pegaturannya dibagi menjadi empat bagian yang meliputi : rukun dan syarat
wadi’ah (pasal 374-375); penyimpanan dan pemeliharaan wadi’ah bih (pasal
376-384); dan pengembalian wadi’ah bih (pasal 386-390).

b) Rahn (barang jaminan)


Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut mimiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.19 Benda yang
dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga
penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan
sehingga yang diserahkan adalah sertifikat sawah.

 Dasar Hukum
19
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, op.cit. hlm 128

13
1. Al-Qur’an
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)......................” (Q.S Al-
Baqarah (2):283)
2. Hadist
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasa, dan Ibnu Majah dari Anas r.a ia
berkata : ”Rasulullah SAW. Merungguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di
Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”
3. Ijtihad
Para ulama sepakat, bahwa rahn boleh dilakukan dalam perjalanan ataupun
tidak, asalkan barang jaminan itu bisa langsung dikuasai (al-qabdh) secara hukum
oleh pemberi piutang. Contohnya yaitu sertifikat tanah. Rahn dibolehkan karena
banyak kemashlahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan
antarsesama manusia.
 Rukun dan syarat gadai
1. Aqid, kedua belah pihak yang melakukan akad (ar-Raahin dan al-Murtahin)
syaratnya yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
2. Ijab dan kabul,
3. Al-Marhuun bihi, utang disyaratkan yaitu:
a. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang yang berutang
(pemiliknya)
b. Berupa utang yang dimungkinkan untuk dipenuhi dan dibayar dari al-
Marhuun (barang yang digadaikan)
c. Hak yang menjadi al-Marhuun bihi harus diketahui dengan jelas dan
pasti.
4. Al-Marhuun (barang yang digadaikan) disyaratkan sebagai berikut :
a. Boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang
b. Bernilai dan dapat dimanfaatkan
c. Jelas dan tertentu

14
d. Milik sah orang yang ebrutang
e. Tidak terkait dengan hak orang lain
f. Berupa harta yang utuh, tidak bertebarang dalam beberapa tempat
g. Boleh diserahkan, baik materi atau manfaatnya.
h.
 Rahn dalam KHES
Rahn diatur dala KHES pada buku kedua Bab 13. Pada Bab 13 ini pengaturan
tentang rahn dibagi menjadi delapan bagian yang terdiri atas : rukun dan syarat
rahn (pasal 329-332); penambahan dan penggantian harta rahn (pasal 323-336);
pembatalan akad rahn (pasal 343-353); hak raahin dan penjualan harta rahn
(pasal 363-369).

c) Wakalah (perwakilan)
Menurut para fuqaha, wakalah berarti pemberian kewenangan atau kuasa
kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa)
secara syar’i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang
ditentukan.20
 Dasar Hukum
1. Al-Qur’an
“jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Q.S Yusuf (12) : 55)
2. Hadist
“bahwasannya Rasulullah SAW. Mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang
Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah bintil-Harist.” (Malik no 678,
kitab al-muwathth’, bab haji)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain
untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar utang, mewakilkan
penetapan had fan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi
kandang hewan dan lain-lainnya.

20
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm 145

15
3. Ijma
Para ulama pun bersepakat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah
mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa
hal tersebut termasuk jenis tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa.
Yang diserukan dalam surat (Q.S Al-Maidah (5) : 2).
 Rukun dan Syarat
Rukun dan syarat al-Wakalah adalah sebagai berikut :
1. Orang yang mewakilkan, syaratnya ialah dia merupakan pemilik barang
atau dibawah kekuasaanya dan dapat bertindak pada harta tersebut.
2. Wakil (yang mewakili) syaratnya yaitu berakal.
3. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan) syaratnya yaitu :
a. Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain
untuk mengerjakannya contohnya yaitu tidak diwakilkan dalam urusan
shalat.
b. Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal
mewakilkan sesuatu yang akan dibeli.
c. Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih
samar. Contonya “ aku jadikan enkau sebagi wakilku untuk
mengawinkan salah seorang anakku”.
4. Shighat, lafaz mewakilkan.
 Akhir al-Wakalah
Akad al-wakalah akan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut :
1. Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat akad
yaitu orang yang erakad masih hidup.
2. Bila salah seorang yang berakad gila.
3. Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti dalam
keadaan seperti ini al-Wakalah tidak berfungsi lagi.
4. Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil.
5. Wakil mengundurkan diri dari akad wakalah.
6. Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.

16
 Wakalah dalam KHES
Pada KHES wakalah diatur juga dalam buku kedua pada Bab XVII.
Pengaturan tentang wakalah ini dibagi menjadi tujuh bagian, yang terdiri atas :
rukun dan macam wakalah (pasal 457-461); syarat wakalah (pasal 465-474);
pemberian kuasa untuk pembelian (pasal 475-491); pemberian kuasa untuk
gugatan (pasal 513-515); dan pencabutan kuasa (pasal 516-525).

d) Kafalah (Tanggungan)
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban),
dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah, para ulama
mengemukakan definisi yang berbeda-beda, antara lain adalah:
“Menggabungkan satu dzimah (tanggungjawab) kepada dzimah lain dalam
penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda”.21
 Dasar Hukum
a). Al-Qur’an
Ya’qub berkata: “aku sekali-sekali tidak akan melepaskannya (pergi)
bersama-sama kamu,sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas
nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali
kamu dikepung musuh, maka Ya’qub berkata: “Allah adalah saksi terhadap apa
yang kita ucapkan (ini).” (Q.S Yusuf (12): 66)
b). Hadist Rasul
HR. Abu Daud : “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin
hendaklah membayar.”
c). Ijtihad
Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam
mu’amalah dan agar yang berpiutang tidak merugikan karena ketidakmampuan
yang berhutang.
 Ketentuan

21
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, op, cit., hlm 187

17
Secara umum kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu:22
a). Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi-alwajhi, yaitu adanya
kesediaan pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin, atau al-za’im) untuk
menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan
(makful lah).
b). kafalah dengan harta
Kafalah harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau
kafil dengan pembayaran atau (pemenuhan) berupa harta ada tiga macam yaitu:
1. Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban
orang lain. Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut:
1) Utang tersebut bersifat mengikat atau tetap (mustaqir) pada waktu
terjadinya transaksi jaminan, seperti utang qiradh, upah, dan mahar.
2) Hendaklah barang yang dijamin diketahui.
2. Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-
benda tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti menyerahkan barang
jualan kepada pembeli. Dalam hal ini disyaratkan materi yang dijain tersebut
adalah untuk ashil. Namun bila bukan berbentuk jaminan, maka kafalah
batal.
3. Kafalah denga ‘aib, maksudnya adalah jaminan jika barang yang dijual
ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-
hl lainnya, maka penjaminan (pembawa barang) bersedia memberi jaminan
kepada penjual untuk memnuhi kepentingan pembeli (mengganti barang
yang cacat tersebut).
4. Kafalah dalam KHES
Dalam KHES kafalah diatur pada Bab XI. Pada Bab XI pengaturan tentang
kafalah dibagi menjadi 4 bagian, yang terdiri atas: rukun dan syarat kafalah
(pasal 291-297), kafalah muthlaqah dan muqayyadah (pasal 298-302),
kafalah atas diri dan harta (pasal 303-310), an pembebasan dari akad kafalah
(pasal 311-317).

22
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm149

18
e) Hiwalah (Pengalihan Utang)
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain.
Alam hal ini ada tiga pihak yang terlibat: muhil atau madin, pihak yang memberi
utang (mihal atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal a’alih).23
 Dasar Hukum
Hiwalah dibenarkan oleh nabi Muhammad SAW dalam Hadist yang
diriwayatkan oleh mayoritas jumhur ulama dengan lafal yang berbeda.
“Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orng kaya merupakan
perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah
membayar utang, maka hendaklah ia beralih”. Disamping itu terdapat
kesepakatan ulama (‘ijma) yang menyatakan, bahwa tindakan hiwalah boleh
dilakukan.
 Ketentuan24
Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yaitu
sebagai berikut:
a) sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti.
b) apabila pengalihan utang dalam betuk hiwalah muqayyadah semua ulama
fiqih sepakat, bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua
maupun utang puhak ketiga kepada pihak pertama, mestilah sama jumlah
dan kualitasnya.
c) ulama dari Madzhab syafi’I menambahkan, bahwa kedua utang itu mesti
sama waktu jatuh tempo pembayarannya.
Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum yaitu sebagai
berikut:
a) jumhul ulama berpendapat, bahwa kewajiban pihak pertama untuk
membayar utang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas.

23
Hendi Suhendi, fiqh Muamalah, op, cit., hlm99
24
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm153

19
b) lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pebayaran utang kepada
pihak ketiga.
c) menurut mazhab hanafi. Jika akad hiwalah muthlaqah terjadi karena
inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama
dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang
piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang
piutang antar ketiga pihak tidak sama.

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila
terjadi hal dibawah ini:
a) salah satu pihak yang sedang melakukan akad membatalkan akad hiwalah
sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan demikian, pihak kedua
kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.
Demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga.
b) Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
c) pihak kedua wakaf, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang
mewarisi harta pihak kedua.
d) pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan
utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
e) pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk
membayar utang yang dialihkan itu.
f) hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena
pihak ketiga mengalami bangkrut, wafat dalam keadaan bangkrut, atau
dalam keadaan tidak ada bukti autentik tentang bukti hiwalah, sementara
pihak ketiga mengingkari akad itu.
 Hiwalah dalam KHES
Hiwalah atau hawalah diatur pada Bab XII, Pengaturan tentang Hawalah ini
dibagi menjadi dua bagian, yang terdiri atas: rukun dan syarat hawalah (pasal
318-321) dan akibat Hawalah (pasal 322-328).

g) Al-Ariyah (Pinjam-Meminjam)

20
Menurut etimologi, al-ariyah berarti suatu yang dipinjam, pergi, dan kembali
atau beredar. Sedangkan menurut terminology fiqih, ada dua definisi yang
berbeda. Perta,a, ulama Maliki dan Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan
manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’I dan Hambali
mendefinisikannya dengan kebolehan mamanfaatkan barang orang lain tanpa
ganti rugi.25
 Dasar Hukum
a). Al-Qur’an
“… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa an pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (Q.S
al-maidah (5):2)
 Ketentuan
Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad.
Apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan
memanfaatkannya. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ‘ariyah
merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki akad yang dia pinjam.
Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imblan dari pihak peminjam.

C. Penggolongan Akad
Akad secara garis besar berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini
berdasarkan asas (dasar), tujuan, ketentuan, sifat, dan hukum-hukum yang ada
dalam akad-akad itu sendiri. Para ulama mengemukakan, bahwa akad dapat
diklasifikasikan dalam berbagai segi, antara lain dilihat dari penjelasan berikut
ini:26
1. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi menjadi
dua, akad shahih dan akad tidak shahih.
a) Akad shahih, yaitu akad yang elah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad shahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang

25
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, op, cit., hlm 91
26
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm158

21
ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad.
Maliki membaginya menjadi dua macam yaitu :
1) Akad nafiz yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun
dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
2) Akad mawquf akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak
hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan akad
itu.
b) Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu
tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama
Hanafi memabgi akad tidak shahih menjadi dua macam yaitu :
1) Akad batil yaitu akad yang tidak memnuhi salah satu rukunnya
atau ada larangn langsung dari syara’.
2) Akad fasid, yaitu akad yang pada dasarnya dsyariatkan tetapi sifat
yang diakadkan itu tidak jelas.
2. Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh
syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa
menyewa, dan lain-lain.
b) Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang jaman dan
tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa’ dan lain-lain.
3. Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak, terbagi dua yaitu sebagai
berikut:
a) Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’,
umpamanya jual beli, rahn (gadai) dan lain-lain.
b) Akad mamnu’ah yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual
anak binatang yang masih dalam kandungan.
4. Dilihat dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu sebagai berikut:

22
a) Akad ‘ainiyah, yakni akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan
melaksanakannya apa yang diakadkan itu. Misalnya, benda yang dijual
diserahkan kepada yang membeli.
b) Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata
berdasarkan akad itu sendiri. Misalnya, benda yang sudah diwakafkan
otomatis menjadi benda wakaf.
5. Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad. Dari sudut ini dibagi menjadi
dua bagian:
a) Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu.
Misalnya, pernikahan yang harus dilakukan dihadapan para saksi.
b) Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang
tidak perlu ditempat yang ditentukan dan tidak perlu di hadapan
pejabat.
6. Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi menjadi
empat macam:
a) Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu ‘aqduzziwaj. Seperti akad
nikah tidak bisa dicabut namun bisa diakhiri dengan jalan yang
ditetapkan oleh syariat yaitu talak khulu’ atau karena keputusan hakim.
b) Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak.
c) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak
pertama.
d) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak yang
kedua.
7. Dilihat dari segi tukar menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga:
a) Akad mu’awadlah adalah akad yang berlaku atas dasar timbal balik.
b) Akad tabarru’at adalah akad-akad yang berdasarkan pemberian dan
pertolongan.
c) Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi
mu’awadlah pada akhirnya. Seperti kafalah ini permulaan adalah
tabarru’ tetapi pada akhirnya menjadi mu’awadlah ketika si kafil
meminta kembali uangnya kepada si madin.

23
8. Dilihat dari keharusan membayar ganti dan tidak, maka dari segi ini dibagi
menjai tiga golongan:
a) Akad dhamanah yaitu tanggung jawab pihak keduansesuadah barang-
barang itu diterimanya.
b) Akad amanah yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang punya bukan
oleh yang memegang barang.
c) Akad yang dipengaruhi beberapa unsur, maksudnya dari satu segi yang
mengharuskan dhamanah dan segi yang lain merupakan amanah yaitu
ijarah, Rahn.
9. Dilihat dari segi tujuan akad dibagi menjadi empat golongan.
a) Yang tujuannya tamlik yaitu untuk memperoleh sesuatu seperti jual
beli.
b) Yang tujuannya mengukuhkan kepercayaan saja yaitu Rahn dan
kafalah.
c) Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan yaitu wakalah dan wasiyat.
d) Yang tujuannya memelihara yaitu wadi’ah
10. Dilihat dari segi waktu berlakunya, dibagi dua yaitu sebgai berikut:
a) Akad fauriyah yaitu akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan
waktu yang lama.
b) Akad mustamirriah yaitu akad yang pelaksanaannya memerlukan
waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya.
11. Dilihat dari segi ketergantungan dengan yang lain, akad dari segi ini di bagi
menjad dua:
a) ‘akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya
sesuatu yang lain.
b) ‘Akad tab’iyah yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena
memerlukan sesuatu yang lain. Seperti akad Rahn tidak akan dilakukan
bila tidak ada utang.
12. Dilihat dari maksud dan tujuannya, akad terbagi menjadi dua jenis, yaitu
sebagai berikut:

24
a) Akad tabarru’ yaitu akad yang dimaksudkan untuk tolong menolong
hanya mengharakan ridha ilahi tanpa adanya unsur untuk mendapatkan
keuntungan.
b) Akad tijari yaitu akad yang dimaksudkan utuk mencari keuntungan
berdasarkan rukun dan syarat yang harus dipenuhi semuanya. 27

27
Ibid, hlm 159-164

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH hukum
perikatan islam merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an. As-Sunnah (Hadits), dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan
menjadi objek suatu transaksi.
Berikut adalah bentuk-bentuk perikatan islam dalam kegiatan usaha :

1. Pertukaran
a. Pertukaran uang dengan uang
b. Barter meliputi dua aspek yaitu jual beli dan ijarah.
2. Kerjasama dalam kegiatan usaha (syirkah). Bentuk bentuk syirkah yaitu :
a. Syirkah ibahah
b. Syirkah amlak (milik)
c. Syirkah akad
3. Pemberian kepercayaan dalam kegiatan usaha. Ada lima akad yaitu :
a. Wadi’ah (titipan)
b. Rahn (barang jaminan)
c. Wakalah (perwakilan)
d. Kafalah (tanggungan)
e. Al-ariyah (pinjam-meminjam)

Penggolongan akad terbagi menjadi dua belas bagian yaitu :

1. Akad dilihat dari segi keabsahan menurut syara’


2. Akad dilihat dari segi penamaannya
3. Akad dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak

26
4. Akad dilihat dari segi bendanya
5. Akad dilihat dari bentuk cara melakukan akad
6. Akad dilihat dari dapat tidaknya dibatalkannya akad
7. Akad dilihat dari segi tukar menukar hak
8. Akad dilihat dari keharusan membayar ganti rugi
9. Akad dilihat dari tujuan akad
10. Akad dilihat dari waktu berlakunya
11. Akad dilihat dari ketergantungan dengan yang lain
12. Akad dilihat dari maksud dan tujuannya akad.

B. Saran

Dari teori diatas tentang bentuk-bentuk perikatan atau akad dan


penggolongannya tentunya masih kurang lengkap apabila hanya dipaparkan
melalui makalah ini, lebih lagi penjelasan penulis sampaikan sangatlah kurang.
Hal itu disebabkan karena terbatasnya pengetahuan serta referensi yang penulis
dapatkan dan referensi yang kami baca. Oleh karena itu kami meminta kritik dan
saran kepada para pembaca yang bersifat membangun.

27
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.


(Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP)

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.


(Jakarta:GEMA INSANI)

Hariri, Wawan Muhawan. 2011. Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum


Perikatan dalam Islam. (Bandung:CV. Pustaka Setia)

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. (Depok:PT.RAJAGRAFINDO


PERSADA)

A.Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam (Analisis Fiqh dan Keuangan).


(Jakarta:PT.RAJAGRAFINDO PERSADA)

28

Anda mungkin juga menyukai